Professional Documents
Culture Documents
Studi Tematik Tentang Istri Istri Nabi S
Studi Tematik Tentang Istri Istri Nabi S
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister
Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
ERY KHAERIYAH
NIM : 99.2.00.1.05.01.0108
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya yang berjudul Studi Tematik
Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an adalah benar-benar karya asli saya.
Apabila di kemudian hari terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis ini, maka
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya pribadi.
Ery Khaeriyah
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing I Pembimbing II
Tanggal………………………………. Tanggal……….…………………..
iii
PENGESAHAN
Penguji I Penguji II
Pembimbing I Pembimbing II
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN
Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 158 Tahun 1987, Nomor
0543 b/u/1987 Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Namun dikarenakan hal teknis, maka terdapat modifikasi pada Pedoman Transliterasi
I. Konsonan
v
II. Madd dan Diftong
â = a panjang
î = i panjang
û = u panjang
او = au
اي = ai
Qamariyah, tetap ditulis al- (misal al-kitab). Sedangkan alif lam ( ) الdalam kalimat,
yang bersambung dengan huruf Syamsiyah, ditulis sesuai dengan bunyinya yaitu
huruf l diganti dengan huruf yang sama dengan huruf awal kata tersebut (misal al-
IV. Singkatan-singkatan
H = Hijriyah
M = Masehi
W = wafat
Q. S. = Al-Qur’ân Sûrah
h. = halaman
vi
Abstrak
Studi Tematik Tentang Istri-istri Nabi saw dalam Al-Qur’an.
viii
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah, Segala puji bagi Allah swt, karena atas nikmat dan karunia-
Nya, Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa
Dalam keadaan yang penuh keterbatasan, tentunya tesis ini tidak akan
selesai tanpa bantuan, saran, masukan, dorongan, support dan do’a dari banyak pihak
dalam proses penulisan dan penyelesaiannya. Oleh karena itu, Penulis merasa perlu
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A., selaku Direktur Pascasarjana UIN
2. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M. A. dan Bapak Dr. A. Wahib Mu’thi,
3. Bapak Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. dan Dr. Fuad Jabali, M. A sebagai penguji
yang telah memberikan saran, masukan, dan kritik dalam perbaikan tesis ini.
4. Para Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membekali
5. Orang Tua Penulis yang telah memberikan kasih sayang, dorongan dan dukungan
baik moril maupun materil kepada penulis untuk senantiasa menuntut ilmu.
Begitu pula seluruh keluarga besar yang telah memberi dorongan dan
dukungannya.
ix
6. Ketua STAIN Cirebon, Bapak Dr. H. Imron Abdullah, M. Ag. yang senantiasa
mendorong penulis, begitu pula dengan keluarga besar Perpustakaan, Pusat Studi
7. Keluarga Besar Yayasan Al-Kamal di mana penulis pernah bernaung, yang telah
terselesaikannya tesis ini, serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
amal sholeh.
Tesis ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran penulis nantikan demi perbaikan. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini
Penulis,
Ery Khaeriyah
x
DAFTAR ISI
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah melalui
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada manusia
agar dijadikan pedoman dan tuntunan hidup. Bahkan Al-Qur’an menamakan dirinya
manusia dari kegelapan kepada terang benderang, serta membimbing mereka ke jalan
yang lurus.1 Al-Qur’an berisi pesan-pesan yang sarat makna bagi kehidupan manusia
kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi,
maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Yang
Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Pada setiap problem itu Al-Qur’an meletakkan
sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan
landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula untuk setiap zaman.2
1
Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.tmp: Mansyurât al-‘Ashr al-
Hadîts, 1973), h. 9
2
Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits, h. 19
2
luas mencakup berbagai sendi kehidupan, duniawi maupun ukhrawi sehingga bila
ada beberapa tema yang dibahas dalam al-Qur’an, yaitu Tuhan, manusia sebagai
eskatologi, setan dan kejahatan, dan lahirnya masyarakat Muslim. Sedangkan Quraish
tentang asal usul manusia, kekuatan, kelemahan, dan kelebihan manusia, Al-Qur’an
mengenai beberapa tokoh yang dapat dijadikan teladan yang terungkap dalam ayat-
ayatnya secara tegas ataupun tidak terungkap secara langsung namun dapat difahami
Muhammad saw yang di dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât al-
3
Ia adalah seorang guru besar tentang pemikiran Islam di University of Chicago.
4
Diterjemahkan dari Major Themes of the Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), Cet. 2, h. vii
5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1995), Cet. XIV
3
ibu dari orang-orang yang beriman. Diungkapkan dalam bentuk jamak (ummahât),
hidup berjumlah 11 orang. Sebutan ini mengandung implikasi yang luar biasa baik
secara hukum, sosial, politis dan etik bagi peran dan posisi isteri-isteri Rasulullah
...
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33:6)
Ayat ini menjelaskan tentang posisi Nabi bagi orang-orang yang beriman. Ia
adalah orang yang harus diutamakan oleh kaum Mu’minin, sebagaimana posisi
seorang bapak bagi anak-anaknya bahkan melebihi dari seorang bapak.7 Karena jika
seorang bapak mendidik dan membimbing anaknya di dunia saja, sementara Nabi
mendidik kaum Mu’min di dunia dan akhirat sehingga kedudukannya lebih utama.8
6
Istilah ini menurut Imam as-Syâfi‘î dan Imam al-Ghazâlî sebagaimana dikutip al-Alûsî
tidak berlaku bagi istri-istri yang sudah diceraikannya. Lihat Abû al-Fadhl Syihâb ad-Dîn as-Sayyid
Mahmûd Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab‘ al-Matsânî, (Beirut: Ihya
at-Turâts al-‘Arabî, t.th.), Juz 21, h. 152.
7
Banyak hadits yang menerangkan gambaran posisi Nabi bagi kaum mu’minin, di antaranya
Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawiyah dari Abu
Hurairah ra. Nabi berkata: “Tidaklah seorang mu’min kecuali akulah manusia yang paling utama
baginya di dunia dan akhirat, bacalah oleh kamu (ayat 6 al-Ahzâb). Maka siapa saja seorang mu’min
meninggal sementara ia meninggalkan harta, maka kerabatnya yang mewarisi harta tersebut. Dan
barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang telantar, maka datanglah kepadaku
karena aku adalah walinya”. Lihat Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr As-Sayûthî, Ad-Durr
al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), Cet. I, Juz 5, h. 350.
Lihat pula al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 151
8
Perhatikan Muhammad Ar-Râzî Fakhr ad-Dîn ibn al-‘Allâmah Dhiyâ ad-Dîn, Tafsîr Fakhr
ar-Râzî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Juz. 25, h. 196.
4
Karena demikian posisi Nabi, maka isteri-isterinya menempati posisi sebagai ibu bagi
mahram). 11 Mereka ini adalah pendamping Nabi saw yang turut berperan dalam
dakwah Nabi saw dan pengembangan Islam serta memberikan teladan kepada umat
Islam. Mereka banyak menyokong dan membantu Nabi saw dengan kekuatan pribadi
pergaulan yang luas dalam mensyiarkan syariat Allah swt dan pengaruh kekuasaan
Islam di muka bumi. Mereka ini adalah golongan yang dikatakan Allah swt melalui
firman-Nya:
9
Karena ayat ini menegaskan Ummahât al-Mu’minîn, disinyalir menurut beberapa riwayat
ada penggalan kalimat yang tercecer yaitu kalimat wa huwa abu lahum (dan ia adalah bapak kamu).
Perhatikan as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351.
10
as-Sayûthî, Ad-Dur al-Mantsûr, Juz 5, h. 351. Ibnu Sa‘îd, Ibnu Mundzir dan Imam al-
Baihaqî meriwayatkan dalam Kitab Sunannya bahwa ‘Âisyah ketika ditanya tentang ayat ini oleh
seorang perempuan, ia mengatakan: “Aku adalah ibu bagi kaum pria di antara kamu dan aku bukanlah
ibu bagi kaum wanita”. Sementara Ummu Salamah dalam riwayat Sa‘id mengatakan: “Aku adalah ibu
bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan”.
11
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz. 21, h. 151
5
Mereka ini, selain menjadi isteri Nabi saw juga menjadi tempat rujukan
ilmu kaum perempuan zaman itu. Bahkan, setelah Nabi saw wafat, beberapa di antara
mereka terus menjadi sumber rujukan utama kaum Muslimin. Hal ini dapat dilihat
melalui peranan Saudah r.a., ‘Âisyah r.a.12, Hafshah r.a., Syafiyyah r.a., Ummu
Habîbah r.a. dan Ummu Salamah r.a.13, di mana mereka termasuk bagian dari ahli
Dalam sejarah tercatat bahwa ‘Âisyah r.a. termasuk salah seorang dari tujuh
ahli Majlis Syura selain ‘Umar Ibn Khattâb r.a., ‘Ali bin Abî Thâlib r.a., ‘Abdullah
Ibn Mas’ûd r.a., Zaid bin Tsâbit r.a., ‘Abdullah bin ‘Abbâs r.a., dan ‘Abdullah bin
Umar r.a.. ‘Âisyah r.a, Hafshah r.a. dan Ummu Salamah r.a. juga banyak
meriwayatkan hadits dari Nabi saw yang menjadikan mereka sebagai golongan
Muhadditsah. Kehadiran mereka ini sesungguhnya telah dapat membantu Nabi saw
Dalam hal ini, Islam telah mengangkat martabat perempuan yang pada
awalnya dinilai sebagai golongan yang lemah dan berada pada taraf yang sangat
rendah di mata masyarakat Arab Jahiliah saat itu. Ini membuktikan bahwa perempuan
yang berilmu harus diberikan penghormatan yang tinggi dalam Islam karena telah
12
‘Âisyah bahkan sangat menonjol dan mendalam ilmu pengetahuannya, sampai-sampai
dikenal secara luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi
Muhammad saw: “Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (‘Âisyah)”.
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1995), Cet. IX, h. 278
13
Lihat ‘Abdul Halîm Abû Syuqqah, Tahrîr al-Mar’ah fî ‘Ashr ar-Risâlah, (Kuwait: Dâr al-
Qalam, 1990), Cet. I, Terjemah Bahasa Indonesia Kebebasan Wanita oleh Chairul Halim, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), Jil. I, Cet. III, h. 233-236
6
kelangsungan perjuangan. Nabi saw banyak dibantu oleh kemantapan dan keutuhan
jiwa raga Khadîjah binti Khuwailid r.a., dan juga materi yang dimilikinya. Sayyidah
Khadîjah r.a.,, Ummul Mu’minin yang pertama dalam sejarah Islam adalah seorang
penolong, pembela, dan pelindung Nabi saw dari setiap ancaman orang-orang
musyrik Quraisy.
mereka sebagai suatu kekhususan bagi beliau yang tidak diberikan kepada manusia
lain. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah swt mengizinkan Nabi saw untuk menikahi
Sejarah mengenal bahwa rumah yang pernah ditinggali Nabi bersama istri-
istrinya tidak hanya satu, tetapi dua rumah. Rumah pertama berada di Makkah,
tempat Nabi hidup bersama istri pertamanya, Khadijah r. a. Ketika itu Nabi saw
Arab, dan kehidupan seluruh umat manusia. Sedangkan rumah Nabi saw yang kedua
berada di Madinah. Di sana beliau hidup bersama semua istrinya, kecuali Khadijah
r. a.14
14
‘Âisyah ‘Abdurrahman Bint Asy-Syâthi’ (Selanjutnya disebut Bintusy Syâthi,), Nisâ’ an-
Nabiy ‘Alaih ash-Shalâh wa as-Salâm, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Tth.), terjemah Bahasa
Indonesia Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki
Alkaf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), Cet. I, h. 17
8
Perkawinan Nabi saw dengan para isteri beliau bukanlah didasari atas
seluruh istri yang dinikahinya, hanya seorang saja yang berstatus gadis, yaitu ‘Âisyah
r.a.15, sedangkan yang lain berstatus janda.16 Di antaranya, ada yang merupakan janda
dari para sahabat yang telah gugur di medan jihad.17 Ada pula yang merupakan
tawanan/tahanan perang,18 dan ada juga yang telah diceraikan oleh suaminya
terdahulu.19 Dalam hal ini, Nabi saw menikahi mereka sebagai langkah untuk
menjaga kebajikan mereka, di samping tuntunan atau arahan wahyu Allah swt, seperti
pernikahan beliau dengan ‘Âisyah r.a. dan Zainab binti Jahsy r.a.20
Dalam kasus pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy r.a.yang dinikahi
15
A. Khalîl Jam’ah, Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah (buku satu), (Damaskus:
Dâr Ibn Katsîr, Tth). dan Syaikh Muhammad bin Yûsuf Ad-Dimasyqi, Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu
‘Alaih Wa Sallam (buku dua), (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr, Tth), Terjemahan Bahasa Indonesia: Istri-
istri Para Nabi oleh Fadhli Bahri, Lc., (Jakarta: Darul Falah, 2002), Cet. II, h. 362, Bintusy Syâthi’,
Istri-istri Nabi, h. 69
16
seperti Saudah binti Zam’ah yang merupakan janda dari Sakrân bin ‘Âmr dari Bani ‘Âmir bin
Lu’ay. Ia dan suaminya termasuk dalam rombongan orang-orang Islam yang berhijrah ke Habasyah
pada hijrah yang kedua, kemudian suaminya meninggal di sana. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para
Nabi, h. 430
17
yaitu Ummu Salamah, Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb, dan Zainab binti Khuzaimah
18
yaitu Juwairiyah binti Al-Hârits dan Shafiyyah binti Huyay
19
yaitu Zainab binti Jahsy yang merupakan janda dari Zaid bin Hâritsah
20
Zainab binti Jahsy adalah salah seorang wanita yang dinikahi berdasarkan perintah Allah
dalam Al-Qur’an surah al-Ahzâb/33: 36-38.
9
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi
perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia
telah sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (36) “Dan (ingatlah) ketika kamu
berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan
kamu (juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan
bertakwlah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa
yang allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan
kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya kepada istri-isterinya. Dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi.” (37) “Tidak ada satu keberatanpun atas Nabi tentang
apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang
demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan
adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (38) (Q S. Al-
Ahzab/33: 36-38)
saat itu yang menyamakan status anak angkat dengan anak kandung. Zainab adalah
bekas istri anak angkat Nabi saw yaitu Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl bin Ka’ab dari
Nama-nama para istri Nabi saw tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara
langsung. Yang ada dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka
10
sebagai penyebab turunnya suatu ayat. Meskipun demikian, secara spesifik dan
pribadi, tidak semua istri-istri Nabi saw menjadi penyebab turunnya ayat. Akan
isteri Nabi, meskipun kasusnya bersifat personal dan insidentil (pada seorang atau
dua orang isteri Nabi) tetapi memiliki implikasi hukum yang bersifat mengikat
Dengan demikian ayat serta kasus yang melatarbelakangi penurunannya (asbâb an-
hubungan antara perempuan sebagai isteri, dan laki-laki sebagai suami, dengan
mempunyai kelebihan iman dan takwa serta amal shaleh. Al-Qur’an menjelaskan
betapa keimanan mereka telah membuat mereka selamat dari fitnah. ‘Âisyah dalam
kepada Nabi saw dalam Q. S. An-Nûr/24: 11-19 yang menjelaskan tentang sucinya
Meskipun demikian, istri-istri Nabi saw yang mendapat gelar Ummahât al-
Mu’minîn juga manusia biasa yang pernah melakukan kesalahan sehingga Allah swt
tentang adanya kecemburuan di antara para istri Nabi saw sehingga bersekongkol
untuk menjatuhkan istri yang lain. Begitu pula tentang adanya keinginan dari istri-
istri Nabi saw untuk hidup layak dan menikmati keindahan duniawi.
peringatan, petunjuk, sekaligus janji dan ancaman kepada para istri nabi. Sebagai
seorang pendamping manusia pilihan Allah, hendaknya mereka menjadi teladan bagi
umat manusia khususnya bagi kaum muslimah. Demikian pula saat istri-istri Nabi
meminta nafkah lebih kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi dan Rasul
yang hidup dalam kesederhanaan dan bukan seorang Nabi yang hidup dalam
kekayaan yang melimpah, karena kehidupan beliau merupakan teladan dan tuntunan
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Nabi itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q. S. Al-Ahzab/33: 21)
Sehingga Allah swt menyuruh Nabi saw memberikan pilihan kepada istri-
istrinya antara memilih kehidupan duniawi atau Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah:
12
Maka kemudian istri-istri Nabi saw sebagai orang-orang yang suci memilih Allah dan
Rasul-Nya.
Memang, betapa berat beban mereka sebagai istri Nabi yang harus
memberikan contoh dan teladan kepada manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an
Mu’minîn dan betapa keistimewaan mereka itu juga berkaitan dengan hak-hak dan
Yang jelas, istri-istri Nabi saw begitu banyak meninggalkan suri tauladan
kepada kaum perempuan masa kini, baik dalam soal keilmuan, komunikasi,
diplomasi, perdamaian, politik dan langkah-langkah strategi serta aspek yang lainnya.
Pengorbanan mereka bukan sebatas membantu kaum perempuan saja, tetapi juga
gelar kehormatan yang mereka sandang bukanlah gelar yang ringan, karena gelar
tersebut mengandung konsekwensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus
21
Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan
menurut kemampuan suami. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain asy-Syarifain, h. 671
13
Atas dasar inilah, penulis merasa tertarik untuk mengkaji keberadaan istri-
istri Nabi sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang memegang peranan penting dalam
dakwah Nabi dan pengembangan Islam kaitannya dengan kemuliaan dan kesucian
mereka dalam al-Quran untuk diambil pelajaran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan
istri-istri Nabi saw tentang bagaimana relasi suami istri dalam sebuah keluarga.
Untuk itu, penulis mengangkatnya dalam bentuk tesis yang berjudul: Studi Tematik
B. Pembatasan Masalah
sangat luas dari sejak Nabi Adam as sampai Nabi Muhammad saw, baik sebagai istri
yang mendukung karir suaminya sebagai seorang Nabi dan rasul utusan Allah yang
mendapat tugas menyampaikan ajaran agama samawi dari Allah, maupun yang tidak
dalam tesis ini dibatasi pada pandangan Al-Qur’an tentang istri-istri Nabi Muhammad
mereka.
14
C. Perumusan Masalah
saw, dengan rincian masalah, apa keistimewaan, kewajiban dan tanggung jawab,
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk diketahui bagaimana relasi suami istri
mempunyai peranan terhadap suami, rumah tangga dan anak-anak, bahkan umat
sehingga diharapkan bisa diketahui bagaimana eksistensi para istri Nabi saw
berpengaruh terhadap kehidupan sosial keagamaan umat Islam saat ini. Sebab,
agama dan masyarakat Islam saat itu. Hal itu tentunya akan ditelaah dan dianalisis
dalam disiplin ilmu yang penulis pelajari, dikaitkan dengan kehidupan mereka saat
itu.
Oleh karena itu, secara khusus, tujuan penulis mengangkat topik ini adalah
sebagai berikut :
2. Umat Islam dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari kehidupan istri-istri Nabi
E. Kajian Pustaka
mengkaji tentang istri-istri Nabi saw, khususnya berdasarkan kajian Al-Qur’an secara
tematik.
Bahasa Indonesia dengan judul Istri-istri Nabi Fenomena Poligami di Mata Seorang
Tokoh Wanita oleh ‘Abdullah Zaki Alkaf, tidak menjelaskan kedudukan istri-istri
Nabi secara khusus menurut pandangan Al-Qur’an. Sedangkan buku Istri-istri Para
Nabi yang diterjemahkan oleh Fadhil Bahri, Lc. dari dua buah buku yang digabung
menjadi satu: buku satu berjudul Nisâ’ al-Anbiyâ’ fî Dhau’ al-Qur’ân wa as-Sunnah
karya Ahmad Khalîl Jam’ah, dan buku kedua berjudul Azwâj an-Nabiy Shalla Allâhu
buku yang membahas tentang istri-istri Nabi dari sejak Nabi Adam sampai Nabi
Maka tesis ini akan berupaya membahas tentang istri-istri Nabi saw
secara khusus dalam Al-Qur’an. Pembahasan tentang istri-istri Nabi saw ini dianggap
F. Metodologi Penelitian
adalah melalui lilbrary research (kajian pustaka) dengan mengacu kepada Al-Qur’an
adalah kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang mendukung tema tersebut. Karena
objek penelitian ini adalah Al-Qur’an, maka metode pembahasan dan analisis yang
penulis gunakan adalah metode Tafsir. Adapun metode Tafsir yang digunakan dalam
Maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an tentang
tema tertentu,22 maka tafsir ini juga dinamakan tafsir tematik. Dalam hal ini,
penelitian didasarkan pada data-data yang ada dalam ayat al-Qur’an yang berkaitan
mempelajari dan membaca data-data dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku lain yang
Dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, akan ditarik
kesimpulan dari hal-hal yang dijadikan obyek penelitian. Kemudian penulis akan
Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan untuk
22
‘Abd al-Hayy al-Farmâwî, Al-Bidâyah fî at-Tafsîr al-Maudhû‘i, (Kairo: Al-Maktabah al-
Jumhûriyah, 1977), h. 23
17
G. Sistematika Penulisan
untuk Istri-istri Nabi saw, Gelar Ummahât al-Mu’minîn bagi Istri-istri Nabi saw, serta
Nama-nama Istri-istri Nabi saw yang berisi riwayat singkat kehidupan mereka.
Nabi saw. Dalam bab ini, diungkap persoalan Keistimewaan, Kewajiban dan
karya ilmiah ini. Dalam bab ini, penulis akan menarik kesimpulan dan saran dari
Di antara tokoh yang dapat dijadikan teladan adalah para istri Nabi yang di
dalam Al-Qur’an mendapat gelar kehormatan Ummahât al-Mu’minîn. Dalam Al-
Qur’an, selain digambarkan sebagai perempuan yang memiliki kelebihan sebagai
jiwa yang dididik dalam lingkaran kenabian, mereka juga perempuan biasa yang
mengalami pergulatan batin sebagai seorang istri dan manusia pada umumnya.
Karena itu, Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada para istri Nabi melalui
pendidikan Nabi terhadap mereka.
Sebagai istri dari seorang Nabi yang menjadi panutan umat dan mempunyai
tugas menyampaikan misi ilahi, mereka mendapatkan kewajiban-kewajiban dan
19
tanggung jawab tertentu serta hak-hak istimewa jika mereka mampu menjalankan
tugas mereka mendampingi Nabi dan ikut menjadi teladan.
BAB II
AL-QUR’AN
1. Azwâj an-Nabiy
: ... -
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)
-
:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut’ah2 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
(Q.S. al-Ahzâb/33: 28)
1
Kedua term/lafaz tersebut, dalam terjemahnya diartikan sama, yaitu istri-istri Nabi. Lihat Al-
Qur’an dan Terjemahnya, Khadîm al-Haramain asy-Syarîfain, h. 671-672
2
Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan
menurut kesanggupan suami. Khadîm al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 671
19
-
: …
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-
istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu
miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang
dikaruniakan Allah untukmu…” (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)
-
:
“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabiullah dan tidak (pula)
menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33:
53)
:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan
isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya3 ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Ahzâb/33: 59).
5 … -
3
Beragam pendapat yang menafsirkan makna jilbab. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya, h.
678, jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Sedangkan dalam CD Holy Qur’an, jilbab adalah sesuatu yang menutupi aurat perempuan.
20
“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti
kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari pada kamu…” (At-Tahrim/66:
5)
2. Nisâ’ an-Nabiy
:
“Hai isteri-isteri Nabi, baranga siapa di antara kamu mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada
mereka dua kali lipat. Dan demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q. S. al
Ahzâb/33: 30)
:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 32)
Haramain asy-Syarifain, lafaz azwâjuka, azwâjuhu, azwâjan4 dan nisâ an-Nabiy pada
ayat-ayat di atas diartikan sama yaitu istri-istri Nabi saw, padahal bila melihat asal
Kata azwaj merupakan bentuk jama’ dari zawj. Kata zawj berasal dari zâja-
penggunaannya, kata zawj biasa diartikan dengan setiap pasangan dari sesuatu yang
dari benda-benda yang berpasangan, seperti pasangan sandal dan sepatu, langit dan
bumi, musim dingin dan musim panas.7 Khusus bagi manusia lebih sering disebut
suami-isteri.8
Sedangkan kata nisâ/ ﻧﺴﺎءadalah bentuk jama’ dari mar’ah/ ﻣﺮأةyang berarti
perempuan yang sudah matang atau dewasa,9 berbeda dengan kata أﻧﺜﻲyang berarti
jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang berusia
lanjut.10 Kata ﻧﺴﺎءberarti jender11 perempuan, sepadan dengan kata رﺟﺎلyang berarti
4
idhâfah ke an-Nabiy karena kontek ayat sedang membahas tentang Nabi Muhammad saw
5
Lihat Al-Munjid, Al-Munjid Al-Abjadi, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1968), h.525, Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir, (Ttmp: Pustaka Progressif, 1984), h. 630, dan Nasaruddin ‘Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Persfektif Al-Qur’ân, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. II, h. 173
6
Mufradât Alfâdz Al-Qur’ân, h. 220. Bandingkan dengan Ibn Mandzûr, Lisân al-‘Arab, Jilid II,
h. 291
7
Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173
8
dalam kitab fiqh, isteri disebut زوﺟﺔbentuk jamaknya زوﺟﺎت, sedangkan suami disebut زوج.
bentuk jamaknya ازواج. Lihat misalnya Sayyid Quthb, Fiqh as-Sunnah, (Mesir: Maktabah Dâr al-
Turâts, T. Th.), Jilid II, h. 100-110 . Lihat Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173
9
Lisân al-‘Arab, jilid XV, h. 321. Bandingkan dengan Mu’jam Mufradât Al-Fâdz al-Qur’ân,
h.513
10
Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 159
11
Jender ialah Pembedaan Peran, status, pembagian kerja yang dibuat oleh masyarakat
berdasarkan jenis kelamin. Jender berbeda dengan jenis kelamin/sex. Jenis kelamin atau sex adalah
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menghasilkan sel telur, hamil dan
22
jender laki-laki. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah woman (jamaknya women)
yang merupakan lawan kata dari man. Kata ini selain berarti jender perempuan juga
manusia (dia laki-laki dan kamu laki-laki) sehingga mempunyai ma’na istri (pasangan
dia dan kamu laki-laki, berarti pasangan suami). Karena konteks ayat di atas
pembahasannya tentang Nabi Muhammad saw, maka kata azwâj yang merupakan
jama’ dari zawj berarti istri-istri Nabi saw. Sedangkan kata nisâ yang secara umum
berarti perempuan, pada ayat di atas selalu di-idhâfah-kan dengan kata an-nabiy
sehingga ma’nanya menjadi istri-istri Nabi. Dengan demikian maka kedua lafaz
Meskipun demikian, bila melihat asal kedua kata tersebut yang berbeda, Al-
Alûsî dalam kitab tafsirnya Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’
dengan lafaz nisâ an-nabiy, bukan azwâj an-Nabiy, hal itu dikarenakan
pengungkapan keadaan mereka sebagai nisâ dalam beberapa tempat itu lebih
sebagaimana jelas ma’nanya bagi orang yang memperhatikan. Dengan demikian, ayat
yang mengandung lafaz nisa an-Nabiy, menurut penulis, mengandung pelajaran dan
hukum yang berharga pula bagi perempuan secara umum karena keadaan istri-istri
Nabi seperti perempuan biasa pada umumnya yang bisa saja melakukan kesalahan.
Sedangkan pada ayat yang di dalamnya terkandung lafaz azwâj an-Nabiy, hukum
Ahzâb tersebut berisi pengajaran langsung dari Allah kepada istri-istri Nabi saw --
tanpa melalui Nabi saw-- menyangkut hukum-hukum yang berlaku bagi mereka,
sedangkan pada Q. S. Al-Ahzâb ayat 28 dan 59 berisi pengajaran Allah bagi para
istrinya melalui perantaraan Nabi saw. Hal ini menandakan jelasnya nasehat yang
dimaksudkan bagi mereka14 karena mereka manusia biasa juga yang mempunyai
….
24
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang yang beriman dari diri
mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu mereka….” (Q. S. Al-Ahzab/33: 6)
kata, yaitu ummahât dan al-mu’minîn. Gabungan dua buah kata (isim) ini disebut
idhafah15
Ummahât adalah bentuk jama‘ dari kata al-umm yang berarti “ibu” untuk
manusia. Sedangkan bentuk jamak al-umm untuk hewan adalah amât ()أﻣﺎت. Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu berarti orang yang melahirkan, sebutan untuk
wanita yang sudah bersuami, panggilan kehormatan kepada wanita yang sudah/belum
menikah.16 Selain berarti ibu, al-umm juga berarti asal, pangkal, sumber, induk.17
manusia dan hewan. Umm al-Qurâ yang berarti ibu negeri merupakan sebutan untuk
Mekkah,18 Umm al-Kitâb yang berarti pokok-pokok isi Al-Qur’an adalah nama lain
untuk Surah al-Fâtihah. Kepala atau pemimpin disebut imâm yang terambil dari kata
ّ أمّ – ﯾﺆم.19
14
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 184.
15
Idhafah adalah mencampurkan dua isim (kata benda) atas satu jalan yang memberi faidah
kepada ma’rifat atau takhsis. Syekh Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy, Matan Alfiyah,
alih bahasa H. Moch. Anwar, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), Cet. IV, h. 208
16
atau bersuami. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.
364-365 dan tim Prima pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Ttmp: Gitamedia Press, Tth), h. 293
17
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 42-43
18
Lihat Q. S. Asy-Syûrâ/42: 7
19
Lihat Q. S. Al-Furqân/25: 74
25
fa’il dari âmana - yu’minu ( ) أﻣﻦ – ﯾﺆﻣﻦyang berarti beriman. Maka al-mu’min
Maka ma’na Ummahât Al-Mu’minîn secara etimologi adalah para ibu orang-
orang yang beriman. Ibu di sini bukan berarti ibu yang melahirkan, akan tetapi
panggilan kehormatan bagi wanita yang sudah menikah (istri-istri Nabi saw). Ibu ini
berfungsi sebagai asal, pangkal, sumber, induk, pemimpin sesuatu yang menjadi
Islam dari Nabi saw dan kemudian mereka menjadi sumber rujukan ilmu bagi orang-
orang yang beriman setelah wafatnya Nabi dan menjadi contoh/tauladan yang harus
diikuti..
dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi saw yang menempati kedudukan ibu bagi orang-
orang yang beriman. Mereka disebut ibu karena kedudukan mereka –dalam hukum--
adalah seperti kedudukan ibu kandung yang melahirkan, yaitu haram dinikahi
dalam hal yang lain, seperti hubungan waris mewarisi, hukum melihat auratnya atau
20
Para ulama sepakat tentang kewajiban menghormati dan memuliakan mereka, serta keharaman
menikahi mereka. Selanjutnya mereka menetapkan bahwa kemuhriman itu tidak berlaku bagi anak-
anak perempuan mereka dan saudara-saudara perempuan mereka. Muh. Nasib ar-Rifâ‘î, Taysîr al-‘Alî
al-Qadîr likhtishâri Tafsîr Ibn Katsîr, (Riyadh: Maktabah Ma‘ârif, 1989), Terjemah Bahasa Indonesia
Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh SyihAbûddin, Jilid III, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), Cet. II, h. 829
26
berkhalwat dengan mereka, sama hukumnya dengan wanita lain yang tidak ada
hubungan mahram.
Muhammad saw di antara umatnya. Hendaknya Nabi lebih mereka utamakan dari diri
mereka sendiri dalam urusan dunia maupun agama. Maka sekalipun orang-orang
yang beriman mengutamakan diri mereka, tetapi sebenarnya Nabi saw lebih banyak
dan membantu mereka, selalu berkeinginan agar mereka menempuh jalan yang lurus
yang dapat menyampaikan mereka kepada kebahagiaan yang abadi. Karena itu maka
Nabi sebenarnya lebih berhak atas diri mereka sendiri, cinta Nabi kepada kaum
Sebab turunnya ayat ini adalah bahwasanya tatkala Nabi saw bermaksud
pergi ke perang Tabuk, beliau menyuruh manusia untuk menyiapkan segala yang
diperlukan dan pergi berangkat perang. Namun sebagian mereka berkata bahwa
mereka akan meminta izin terlebih dahulu kepada bapak dan ibu mereka, sehingga
Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini, maka hendaknya kaum Muslimin
mengikuti segala perintah Nabi. Nabi adalah pemimpin kaum Muslimin yang
memimpin mereka dalam kehidupan duniawi dan pemimpin mereka ke jalan Tuhan.
Apabila beliau mengajak kaum muslimin berperang di jalan Allah, hendaklah mereka
21
Al-Alûsi, Tafsir Rûh al-Ma‘ânî, Juz 21, h. 151
27
segera ikuti, tidak perlu menunggu izin dari ibu maupun bapak mereka. Hendaknya
kaum muslimin juga bersedia menjadi tebusan, perisai, dan pemelihara Nabi saw.
Karena itu, Nabi saw adalah bapak dari kaum muslimin, dan dengan
demikian, istri-istri beliaupun adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin. 22 Prinsip ini
….
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu, tetapi dia adalah Nabi dan penutup para Nabi … ” (Q. S. al-Ahzâb/33:
40)
Yang dimaksud di sini ialah bahwa Nabi Muhammad itu bukan bapak
angkat dari seseorang, melainkan bapak dari seluruh orang-orang yang beriman.23
kaum Muslimin:
22
Bahkan dalam riwayat ‘Ikrimah terdapat bacaan وھﻮ اﺑﻮھﻢ وأزواﺟﮫ أﻣﮭﺎﺗﮭﻢ. Lihat Ibnu ‘Arabî,
Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), Cet. I, h. 541
23
Lihat Team Tafsir Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII,
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 1995), h. 715-718
28
“Abdullah bin Muhammad telah berbicara kepada kami, Abû ‘Âmir telah
berbicara kepada kami, Fulaih telah berbicara kepada kami dari Hilal dari
‘Ali dari Abdurrahman bin Abû ‘Amrah dari Abû Hurairah, Bahwasanya Nabi
Saw bersabda: ‘Tidak seorangpun dari orang-orang yang beriman, kecuali
akulah yang paling dekat kepadanya di dunia dan di akhirat. Bacalah firman
Allah jika kamu sekalian menghendaki: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang yang beriman dari diri mereka sendiri. Maka barang siapa di
antara orang-orang yang beriman meninggal dan meninggalkan harta, maka
harta itu hendaknya diwariskan kepada ‘ashabahnya (ahli warisnya). Dan
barang siapa yang meninggalkan hutang atau anak-anak yang telantar, maka
hendaklah datang kepadaku, karena akulah walinya (orang yang akan
mengurus keadaannya).”24
bagi orang-orang mu’min untuk mengawini istri-istri Nabi karena kedudukan mereka
Ahzâb/33: 5325:
“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabi dan tidak (pula) menikahi
istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33: 53)
Menurut para mufassir, keharaman tersebut berlaku bagi istri-istri Nabi yang
sudah digauli dan tidak berlaku bagi istri-istri Nabi yang dicerai tapi belum digauli.26
24
Al-Bukhori, Shahîh Al-Bukhârî, Kitab Fî al-Istiqrâdh wa adâ’ ad-duyûn wa al-hijr wa at-
taflîs, Bab Ash-sholâh ‘alâ man taroka dainan, Hadits No. 2224, CD Room. Berdasarkan ayat dan
hadits di atas, para ulama sependapat bahwa setelah Rasulullah saw meninggal dunia, imam
menggantikan kedudukan beliau. Karena itu imam wajib membayar hutang orang-orang fakir yang
meninggal dunia, sebagaimana Rasulullah saw melakukannya. Imam membayar hutang itu dengan
mengambil dari Baitul Mâl dari kas negara.
25
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 295, footnote no. 43
26
Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542
29
Dengan demikian, gelar Ummahât al-Mu’minîn adalah gelar yang berlaku bagi istri-
istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli.
Sementara itu, putri-putri para istri Nabi saw tidak dapat dianggap sebagai
perempuan dari putri-putri para istri beliau juga tidak boleh dikatakan sebagai paman
perempuan yang beriman) berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Sa‘ad dan
Baihaqî dari Masrûq bahwa seorang wanita berkata kepada ‘Âisyah r. a., ”Wahai
ibuku.” ‘Âisyah berkata, “Aku bukan ibumu, tapi ibu kaum laki-laki kalian.”28
Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat apakah istri-istri Nabi itu menjadi
ibu bagi kaum laki-laki dan perempuan secara umum, atau mereka menjadi ibu bagi
“Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut berlaku bagi kaum laki-laki dan
kaum perempuan, dan ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya
khusus bagi kaum laki-laki karena yang dimaksud dengan Ummahât al-
Mu’minîn ialah menempatkan para istri Nabi saw pada posisi ibu mereka dalam
kemahraman (haram dinikahi) di mana dimungkinkan terdapat kehalalan
(maksudnya halal dinikahi), sedang kehalalan itu tidak terjadi di antara sesama
kaum perempuan. Dengan demikian tidak ada kemahraman antara para istri
Nabi Saw dengan kaum perempuan muslim.”29
27
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294
28
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294
29
Setelah itu Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542, menyebutkan atsar di atas dan berkata,
“Atsar ini shahih.”
30
Dengan demikian, istri-istri Nabi saw tersebut mendapat gelar Ummahât al-
Mu’minîn (ibu orang-orang yang beriman) karena berkaitan dengan hukum, yaitu
diharamkan menikahi ibu mereka. Oleh karena itu, kedudukan istri-istri Nabi dalam
hal ini sama kedudukannya dengan ibu mereka. Meskipun demikian orang-orang
yang beriman tetap tidak boleh melihat ataupun berduaan dengan para istri Nabi saw
dinikahi –sehingga mereka menjadi ibu bagi kaum laki-laki yang beriman--, penulis
juga bagi perempuan –ibu bagi perempuan yang beriman--, karena dari segi bahasa,
apa yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dalam bentuk Jama’ Muzakkar Sâlim juga
mencakup juga bagi اﻟﻤﺆﻣﻨﺎتkarena gelar tersebut merupakan gelar kehormatan yang
harus diakui oleh seluruh orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan,
bahwa istri-istri Nabi adalah wanita terhormat yang diberi kedudukan yang mulia
oleh Allah karena mereka adalah wanita yang bertakwa, shalihah, sehingga patut
dijadikan teladan oleh siapapun yang beriman kepada Allah dan Nabi-Nya, baik laki-
30
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 294
31
Nabi saw dalam sejarah dikenal mempunyai banyak istri. Di antara mereka
ada yang dinikahi beliau secara sah dan digauli, ada yang dinikahi tapi dicerai
sebelum digauli, dan ada yang sudah dilamar tapi tidak jadi menikah.31 Dalam tesis
ini hanya akan dikemukakan nama-nama isteri yang mendapat gelar Ummahât al-
yang berlaku bagi istri-istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli.
Bint Asy-Syâthi‘32 menyebutkan 1133 nama yang mendapat gelar Ummahât al-
Mu’minîn. Mereka adalah istri-istri Nabi yang resmi dinikahi olehnya dan telah
digauli Nabi.34 Kesebelas istri Nabi saw tersebut adalah istri-istri Nabi yang terkenal
menurut kesepakatan ulama. Mereka ada yang berasal dari suku Quraisy, bangsa
Arab non Quraisy tapi masih sekutu Quraisy, dan bukan berasal dari Arab namun dari
Bani Israil.
31
Al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat ﻗﻞ ﻷزواﺟﻚ, Tafsir Al-Qurthuby, CD Room
32
Nama asli beliau ialah Dr ’Aisyah Abdurrahman Bint asy-Syathi’. Beliau adalah guru besar
Sastra dan Bahasa Arab pada Universitas ‘Ain Asy-Syams Mesir. Ia juga pernah menjadi guru besar
tamu di Universitas Islam Umm Durmân, Sudan dan Universitas Qarawiyyin, Maorko. Kajian-
kajiannya yang telah dipublikasikan adalah studinya mengenai Abû al-A’la Al-Ma’arri. Ia merupakan
seorang penulis wanita muslim kenamaan. Lahir di Dumyat, sebelah barat Delta Nil, Mesir. Ia
merupakan salah seorang mufassir dari kalangan wanita, kitab tafsirnya yang terkenal adalah At-Tafsîr
al-Bayân li al-Qur’ân al-Karîm. Adapun bukunya yang membahas tentang istri-istri Nabi adalah
Tarajim Sayyidat Bait an-Nubuwwah (Biografi Istri-istri Nabi), Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,1984.
Buku ini merupakan koleksi dari terbitan sebelumnya pada tahun 1960-an tentang Ibu Nabi Saw; Istri-
istri Nabi Saw (1965); Putri-putri Nabi Saw; Sayyidah Zainab, Putri Imam Ali; dan Sayyidah
Sukainah, putri Imam Hasan. Lihat dalam Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender: Wanita
dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Tafsir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h.307, footnote no. 3 yang
diterjemahkan oleh H.M.Mochtar Zoerni dari judul aslinya dalam bahasa Inggris Women in the
Qur’an, Traditions, and Interpretations, (New York: Oxford University Press, 1994).
33
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah istri-istri Nabi, ada yang menyebut 11, 12, 13,
14, 15 dan sebagainya. Perbedaan pendapat mengenai jumlah mereka tersebut disebabkan perbedaan
status istri-istri Nabi sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu yang dinikahi beliau secara sah dan
digauli, yang dinikahi tapi dicerai sebelum digauli, dan yang sudah dilamar tapi tidak jadi menikah
32
Istri-istri Nabi yang berasal dari Quraisy ada enam orang,35 yaitu:
1. Khadîjah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qushai bin Kilab bin
Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib bin Fihr bin Mâlik bin An-Nadhr bin
Kinânah. 36
2. ‘Âisyah binti Abû Bakar37 bin Abû Quhâfah bin Amir bin ‘Amr Ka‘ab bin Sa‘ad
3. Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththâb bin Nufail bin ‘Abd al-‘Uzza bin Riyah bin
‘Abdullah bin Qurath bin Razah bin ‘Âdî bin Ka’ab bin Luai.
4. Ummu Habîbah binti Abû Sufyân bin Harb bin Umaiyah bin ‘Abdu Syam bin
‘Abdu Manâf bin Qushai bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib. Ia
5. Ummu Salamah binti Abû Umaiyyah Hindun bin Suhail bin al-Mughîrah bin
‘Abdullah bin ‘Amr bin Makhzûm bin Yaqadzah bin Murrah bin Ka’ab bin Luai
6. Saudah binti Zam'ah bin Qais bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Wadd bin Nashr bin
Sedangkan istri-istri Nabi dari wanita Arab selain Quraisy, namun dari sekutu-
34
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 5-7
35
Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 287-288
36
Al-Hâfizh Ibnu Hajar berkata di Fath al-Bârî 7/167, “Khadîjah binti Khuwailid adalah istri
Rasulullah saw yang nasabnya paling dekat dengan beliau.”
37
Nama asli Abû Bakar adalah Abdullah, gelarnya Atiq. Lihat Syihâb ad-Dîn Abû al-Fadhl
Ahmad bin ‘Ali Bin Hajar Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, (Beirut: Dar Shâdir, T.
Th.), j. 4, h. 170-171
33
1. Zainab binti Jahsy bin Ri‘ab bin Ya'mur bin Shabîrah bin Murrah bin Kâbir bin
2. Maimunah binti al-Hârits bin Hazn bin Bujair bin al-Huzâm bin Ruwaibah bin
‘Abdullah bin Hilâl bin ‘Âmir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Hawâzin bin
Manshûr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Jadi Maimunah berasal dari
kabilah Al-Hilâl.
3. Zainab binti Khuzaimah bin Al-Hârits bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Abdu Manâf
bin Hilâl bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah bin Hawâzin bin Manshûr bin
‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Jadi Zainab binti Khuzaimah berasal dari
kabilah Al-Hilâl.
4. Juwairiyah Binti al-Harits Bin Abû Dhirar bin Habîb bin Aidz bin Mâlik bin
Jadzîmah alias al-Musthaliq bin Sa‘ad bin Ka‘ab bin Amr alias Khuzâ‘ah bin
Rabî‘ah bin Harîtsah bin ‘Amr bin ‘Amir Mai as-Sama’. Jadi Juwairiyah Binti al-
Istri Nabi saw yang tidak berasal dari Arab, namun dari Bani Israel ada satu
orang yaitu Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab dari Bani An-Nadhir. Mereka inilah
istri-istri yang terkenal yang digauli oleh beliau dan disepakati para ulama.38
Di antara seluruh istrinya tersebut, ada dua orang yang lebih dahulu
meninggal dari Nabi saw yaitu Khadîjah dan Zainab binti Khuzaimah. Sehingga saat
wafatnya, Nabi meninggalkan sembilan orang istri39 yaitu ‘Âisyah, Hafshah, Ummu
38
Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h.288-289
39
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 289
34
Salamah, Ummu Habîbah, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Jahsy, Maimunah binti
Huyay al-Akhthab.
Selain itu masih ada istri-istri Nabi saw yang pernah dinikahi Nabi saw tapi
tidak digauli. Mereka ini telah dicerai oleh Nabi saw. Para ahli berbeda pendapat
mengenai nama dan jumlah mereka. Mereka ini tidak termasuk mendapat gelar
menikahi istri-istri Nabi saw setelah beliau wafat menurut pendapat para mufassir
ditujukan bagi istri-istri Nabi saw yang telah digaulinya dan bukan bagi istri-istri
2. Saudah binti Zam’ah. Dinikahi Nabi saw pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh
40
Ibnu ‘Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, j. 3, h. 542
41
Seorang penulis biografi muslim yang paling otoritatif. Karya besarnya Ath-Thabaqât Al-
Kubrâ, merupakan kumpulan narasi biografis paling awal dan paling penting di dunia Islam. Ibnu
Sa’ad lahir pada 168 H/764-5 M di Basrah dan wafat pada tahun 230 H/845 M. Dia pindah ke Bagdad
untuk belajar di bawah bimbingan ulama-ulama di sana, khususnya Muhammad Ibnu ‘Umar al-
Waqidi. Dia juga mengunjungi Kufah dan Madinah dalam perjalanannya mencari ilmu. Keandalan
catatan biografis Ibnu Sa’ad diakui oleh banyak ahli tarikh Islam, antara lain Ibnu Hajar al-‘Asqalânî,
Adz-Dzahabî, Al-Khatîb al-Baghdâdî, dan Ibnu Khallikan. Muhammad Ibnu Sa’ad, Purnama
Madinah; 600 Sahabat-Wanita Rasulullah Saw yang Menyemarakkan Kota Nabi, (Bandung: Al-
Bayan, 1997), cet. I. Buku ini merupakan terjemahan ringkas dari jilid kedelapan kitab Ath-Thabaqât
Al-Kubrâ yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Aisha Bewley, The Women at Madina,
terbitan Taha Publishing Ltd. London, 1995, penerjemah Bahasa Indonesia Eva Y. Nukman. Tentang
urut-urutan pernikahan Nabi saw dengan istri-istrinya, lihat hal 193-198
35
3. ‘Âisyah binti Abû Bakr ash-Shiddîq. Dinikahi Nabi saw di Mekkah umur enam
tahun pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian. Karena sewaktu dinikahi di
5. Ummu Salamah. Nabi saw menikahinya pada akhir bulan Syawwal tahun
keempat Hijriyah.
7. Zainab binti Jahsy. Nabi saw menikahinya pada bulan Zulqa’dah tahun kelima
Hijriyah.
8. Zainab binti Khuzaimah yang meninggal ketika Nabi saw masih hidup.
10. Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab. Sebelumnya ia adalah hak milik Nabi saw,
11. Maimunah binti al-Hârits al-Hilaliyah yang dinikahi pada bulan Dzulqa’dah tahun
ketujuh Hijriyah
42
Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah SAW dalam Merubah Sosial Budaya Dunia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. 1, h. 48
36
:
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu
yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki
yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-
laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-
anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari
saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan
kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzâb/33: 50)
Pada ayat ini Allah swt secara jelas telah menghalalkan bagi Nabi
Muhammad saw mencampuri wanita-wanita yang telah dinikahi dan telah diberikan
mas kawinnya kepada mereka. Begitu pula hamba sahaya (jariyah-jariyah) yang
diperoleh dalam peperangan, seperti Shafiyah binti Huyay bin Akhthab yang
diperoleh saat perang Khaibar. Shafiyah kemudian dimerdekakan oleh Nabi dan
kemerdekaannya itu dijadikan mas kawin. Demikian juga Juwairiyah binti Al-Hârits
dari Bani Musthaliq yang dimerdekakan dan dinikahi Nabi saw. Adapun hamba
sahaya yang dihadiahkan kepada Nabi adalah Siti Raihanah binti Syam’un dan
37
Mariyah Qibtiyah yang melahirkan putera Nabi yang bernama Ibrahim. Demikian
pula Allah menghalalkan kepada Nabi untuk mengawini anak-anak perempuan dari
dari saudara perempuan ibunya yang turut hijrah bersama Nabi dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw kalau Nabi mau mengawininya.
Kelonggaran-kelonggaran ini hanya khusus untuk Nabi, tidak untuk semua mukmin.
yang melarang Nabi saw untuk menambah atau mengganti mereka dengan istri yang
lain:
:
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan
tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain) meskipun
kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya)
yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Q.
S.Al-Ahzâb/33: 52)
Nama istri-istri Nabi saw tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara langsung.
Yang ada dalam al-Qur’an adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan Istri-istri Nabi saw
sebagai penyebab turunnya suatu ayat. Meskipun demikian, secara spesifik dan
pribadi, tidak semua Istri-istri Nabi saw menjadi penyebab turunnya ayat. Akan
khususnya kehidupan mereka setelah menikah dengan Nabi saw. Mereka adalah
pribadi-pribadi yang dipelihara oleh Allah dalam kesucian iman dan ajaran yang
benar. Keteladanan mereka dapat dilihat dari akhlak mereka yang mulia, fikiran yang
cerdas, kepribadian yang kuat dan tangguh, yang kesemuanya memberikan peranan
yang sangat besar dalam dakwah Islam. Sehingga wajarlah jika kemudian Al-Qur’an
keberhasilan mereka dalam memikul beban dan tanggung jawab yang berat yang
harus mereka emban sebagai istri seorang Nabi yang mempunyai tugas yang mulia di
Khadîjah adalah putri Khuwailid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qushai Al-
Qurasyiyyah al-Asadiyyah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib bin
Fihr bin Mâlik bin An-Nadhr bin Kinânah.43 Ibunya adalah Fathîmah binti Zaidah
bin al-Asham, nama al-Asham adalah Jundab bin Harim bin Rawâhah bin Hijr bin
‘Abd bin Maish bin ‘Âmir bin Luai.44 Khadîjah lahir kira-kira 15 tahun sebelum
43
Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad Ibnu ‘Abdil Barr al-Qurthubi, Al-Istî’âb fî
Ma’rifah al-Ashhâb, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), cet. 1, juz. 4, h. 379. Al-Hâfiz Ibnu
Hajar berkata di Fath al-Bâri j. 7, h. 167, “Khadîjah binti Khuwailid adalah istri Rasulullah Saw yang
nasabnya paling dekat dengan beliau.”
44
Lihat al-Qurthubi, Al-Istî’âb, h. 379. Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 312
45
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 23
39
Sebelum menikah dengan Nabi saw, Khadîjah bersuamikan ‘Âtiq bin Aidz
bin Abdullah bin Amr bin Makhzûm. Darinya Khadîjah mempunyai satu anak
wanita, yaitu Hindun. Setelah bersuamikan ‘Âtiq bin Aidz, Khadîjah bersuamikan
Abû Hâlah Mâlik46 bin Nabbasy bin Zurârah bin Waqdân bin Habîb bin Salamah bin
‘Adî bin Usayyid bin ‘Amr bin Tamîm, sekutu Bani ‘Abdudar bin Qushai. Khadîjah
melahirkan dua anak dari Abû Hâlah, yaitu Hindun dan Hâlah. Jadi keduanya adalah
saudara laki-laki anak-anak Nabi saw Meskipun demikian, sebagian besar ulama
mengatakan bahwa Khadîjah binti Khuwailid lebih dahulu menikah dengan Abû
Hâlah.47
mengurusi perniagaan sehingga beliau menjadi seorang yang kaya raya. Suatu ketika,
beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya. Maka tatkala beliau
memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, beliau meminta kepada
melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amîn pun
46
Sebagian besar sumber menyebutkan bahwa nama asli Abû Hâlah ialah Hindun. al-Hâfiz
menukil dari Ibnu Katsîr di Fath al-Bâri, j. 7, h. 167 empat nama bagi Abû Hâlah: Mâlik menurut
Az-Zubair, Zurârah menurut Ibnu Mandah, Hindun menurut penegasan Al-Askari, dan An-Nabasy
menurut penegasan Abû Ubaid. Menurut Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 313 di
sebagian nasabnya juga terdapat perbedaan pendapat.
47
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 312-313.
40
menghasilkan laba yang banyak. Khadîjah merasa gembira dengan hasil yang banyak
kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka
pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagaimana kebanyakan laki-
laki lain.
seorang wanita muda, tetapi sudah menjadi seorang wanita dewasa, sudah banyak
makan asam-garam kehidupan di dunia ini, pernah dua kali menikah dengan pria dari
kalangan Quraisy, dan sudah berpengalaman bergaul dengan kaum pria lain, yang
(Syria).48
Maka di saat dia bingung dan gelisah karena problem yang menggelayuti
berangkatlah Abû Thâlib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadîjah yang
bernama ‘Amru bin Asad untuk melamar Khadîjah bagi putra saudaranya, dan
dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadîjah membuka pintu bagi keluarga dan
handai taulan dan di antara mereka terdapat Halimah as-Sa'diyah yang datang untuk
dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari
Khadîjah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang menjadi
suami tercinta.
ditemukannya pada pria-pria lain yang telah berebut mengetuk pintu rumahnya untuk
melamarnya. Yang pasti, pada waktu itu, Siti Khadîjah melihat Muhammad tidak
lebih sebagai gambaran seorang laki-laki yang ideal, bukan sebagai seorang calon
Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amîn dan
jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai
48
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 23
49
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 47
42
mengambil salah seorang putra pamannya, Abû Thâlib, maka Khadîjah menyediakan
suatu ruangan bagi ‘Alî bin Abî Thâlib r.a. agar dia dapat mencontoh akhlak
sedangkan Khadîjah 40 tahun. Dari Khadîjah, Nabi saw dikaruniai putra-putri yang
Perkawinan Nabi Saw dengan Khadîjah berlangsung selama lima belas tahun
Nabi saw tidak menikah dengan wanita lain hingga Khadîjah wafat.
Khadîjah hidup bersama Nabi saw selama dua puluh empat tahun beberapa bulan.52
Khadîjah wafat dalam usia 65 tahun pada bulan Ramadhan tiga tahun
sebelum hijrah atau tahun kesepuluh kenabian. Ia dimakamkan di Hajun. Nabi sendiri
yang masuk ke dalam liang kuburnya. Saat itu shalat Jenazah belum diwajibkan.53
Keutamaan Khadîjah
berakhlak mulia. Bahkan pada zaman Jahiliyah ia dijuluki ath-Thâhirah yakni yang
50
Bint Asy- Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 23
51
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 23
52
Diriwiyatkan Ath-Thabrânî di Al-Kabîr, 22/450 sampai dengan kata hingga ia wafat.
53
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 24-25
43
bersih dan suci.54 Beliau memang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan
pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal
sebagai seorang yang teguh dan cerdik serta memiliki perangai yang luhur. Karena
membantu, dan membela suami. Pada saat Nabi Muhammad menerima wahyu yang
pertama dan resmi diangkat Allah menjadi seorang rasul, maka Khadîjah adalah
orang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali
masuk Islam. Bahkan di antara empat orang yang termasuk golongan yang memeluk
Islam pertama kali (as-Sâbiqûn al-Awwalûn) dialah satu-satunya orang dari kalangan
Muhammad, maka Khadîjah adalah seorang istri yang selalu mendukung dan
membantu suami. Ia berdiri kokoh membela Nabi, ibarat sebuah gunung yang tegar,
54
Al-‘Asqalânî, Al-Istî’âb, j. 4, h. 379
44
Nabi Saw pernah bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imrân, sebaik-
55
Bunyi teks hadits tersebut adalah:
padahal ia telah meninggal dan engkau telah diberikan yang lebih baik darinya?”57.
matanya:
58
57
maksud yang lebih baik dari Khadîjah adalah ‘Aisyah sendiri.
58
Teks lengkap hadits di atas adalah:
….
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab Bâqî Sanad al-Anshâr, bab Hadîts ‘Âisyah, Hadits no
23719. Muslim juga meriwayatkan tentang keutamaan Khadîjah dalam Shahîh Muslim, Bab
Keutamaan Shahabat, Hadits No. 4458-4467
46
Beliau adalah Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdu
Wadd bin Nashr bin Mâlik bin Hisl bin Amir bin Luai bin Ghâlib60 Al-Quraisyiyah
Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syumûs binti Qais bin Amru bin Zaid bin Labîd
bin Khidasy bin Amir bin Ghanm bin ‘Âdî bin An-Najjâr. Asy-Syumus adalah putri
saudara laki-laki Salma binti Amr bin Zaid dan Salma adalah ibu Abdul Muthâlib. 61
Saudah masuk Islam sejak awal dan berbaiat. Sebelumnya pernah menikah
dengan As-Sakrân bin Amr bin Abdu Syam bin Abdu Wudd bin Amir bin Luai. As-
Sakrân adalah saudara laki-laki Suhail, Sal, Hathib, dan Salith bin Amru Al-Amîrî
yang semuanya adalah sahabat-sahabat Nabi saw. As-Sakrân masuk Islam bersama
Saudah, kemudian bersama delapan orang dari bani Amir62 termasuk orang yang
pertama kali hijrah ke Habasyah pada hijrah kedua meninggalkan kampung halaman
dan hartanya. Namun ketika tiba di Mekkah As-Sakrân bin ‘Amru meninggal dunia.
menikah lagi tapi tidak seorangpun di antara mereka yang berani menyampaikan
keinginan tersebut hingga akhirnya Khaulah binti Hakîm, sosok wanita yang berani
59
Bint asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 35
60
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430
61
Saudah mempunyai nama panggilan Umm al-Aswad. An-Nawâwî, Tahdzîb, 2, h. 348. A.
Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430
62
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 71
47
namun dikarenakan ‘Âisyah masih terlalu muda dan dengan kemudaannya tersebut ia
belum mampu mengurus rumah tangga sementara Nabi saw perlu pendamping yang
dapat mengurus anak-anaknya dan rumah tangga, maka kemudian Nabi memilih
untuk lebih dahulu menikahi Saudah binti Zam’ah dan berkumpul dengannya.64
Meskipun demikian, sebelum menikah dengan Saudah, sebenarnya Nabi saw telah
terlebih dahulu melangsungkan akad nikah dengan Âisyah dan tiga tahun kemudian
Saudah Binti Zam’ah adalah wanita yang pertama kali dinikahi Nabi saw
satunya isteri beliau setelah wafatnya Khadîjah-- Nabi saw mengarungi bahtera
rumah tangga selama tiga tahun atau lebih, hingga kemudian beliau menikahi ‘Âisyah
binti Abû Bakar As-Shiddiq.65 Nabi saw menikahi Saudah di bulan Ramadhan tahun
beberapa pertimbangan, beliau terlebih dahulu menikahi Saudah binti Zam'ah. Selain
karena pertimbangan usia yang cukup untuk mengelola rumah tangga, Nabi saw
menikahi Saudah dikarenakan Saudah adalah wanita yang mulia. Ia adalah wanita
63
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430 mengutip pendapat Ibnu Ishâq dan Al-Wâqidî
di Jawâmi’ As-Sîrah, h. 66 mengatakan di Mekkah, sedangkan Musa bin Uqbah dan Abû Ma’syar di
Ushud Al-Ghâbah, 2, 412 mengatakan di Habasyah.
64
Aba Firdaus al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2001), Cet. IV, h. 52
65
Lihat al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah, h. 51-52
66
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 57
48
bertambah siksaan dan intimidasi yang diterima olehnya, suami, dan dan delapan
orang dari bani Amir karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan. Selain ujian
itu, ia juga harus kehilangan suami –sang muhajirin-- yang dicintainya di negeri asing
samping juga ujian di negeri asing. Oleh karena itu, maka Nabi saw menaruh
perhatian yang istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda
tersebut.
tidurnya. Dalam mimpinya tersebut sepertinya Nabi saw berjalan hingga menginjak
berkata kepadanya, “Jika mimpimu benar, aku akan meninggal dunia, kemudian
engkau pasti dinikahi Muhammad.” Pada malam lainnya Saudah bermimpi melihat
berkata, “Jika mimpimu benar, maka tidak lama lagi aku akan meninggal dunia dan
engkau akan menikah sepeninggalku.” Sejak hari itu, As-Sakrân, suami Saudah jatuh
Setelah beberapa lama menikah dan telah hadir dalam rumah tangga Nabi
saw istri-istri yang lain seperti ‘Âisyah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Jahsy dan
49
diceraikan oleh Nabi saw, akan tetapi Saudah tetap bertahan ingin menjadi istri Nabi
Oleh karena itu, demi mempertahankan statusnya sebagai istri seorang Nabi,
kedudukan ‘Âisyah di hati Nabi, ‘Âisyah adalah istri yang paling dicintai Nabi,
sehingga hari giliran Âisyah menjadi dua hari, hari gilirannya dan hari giliran Saudah.
Nabi saw kemudian menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang
67
Bint Asy-Syâthi, istri-istri Nabi, h. 75
68
Shahih Bukhârî, Kitab Nikah, Bab Perempuan yang Memberikan Hari Giliran suaminya,
Hadits No. 4811, CD Room
50
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyûz69 atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya…” (Q.S. an-Nisâ/4: 128)
memberikan gilirannya kepada ‘Âisyah untuk menjaga hati Nabi saw. Bahkan Saudah
Saudah r.a. mampu menunaikan kewajiban dalam rumah tangga Nabi dan
melayani putri-putri Nabi saw. Selain itu ia mampu mendatangkan kebahagiaan dan
ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya di sisi
sebaik-baik makhluk di dunia serta karena mendapat gelar umm al-mu’minîn dan
menyatakan bahwa Saudah wafat pada akhir pemerintahan ‘Umar bin Khattab.71
69
Nusyûz menurut bahasa artinya naik, yaitu merasa lebih tinggi daripada yang lain (Al-Qâmûs
Al-Muhîth, h. 201). Sedang menurut istilah Ulama Fiqh ialah pelanggaran dari pihak istri atau suami
atau keduanya. (Syaikh Shalih Ghanim as-Sadlan, kitab An-Nusyûz, h. 18-19). Sedangkan dalam Al-
Qur’an dan Terjemahnya, nusyûz adalah meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyûz dari pihak
istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Al-Qur’an dan Terjemahnya, foot note no. 291,
h. 123. Sedangkan nusyûz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya; tidak mau
menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Al-Qur’an dan Terjemahnya, foot note no. 357, h.
143
70
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 58
71
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 77
51
Sedangkan Ibnu Sa’ad menukil pendapat Abdullah bin Muslim dan Al-Wâqidi,
menyatakan bahwa Saudah wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54 Hijriyah
mengingat perilaku beliau. Selain itu, ‘Âisyah juga terkesan akan keindahan
‘Âisyah adalah istri Nabi yang dinikahi dalam keadaan gadis, sementara istri
yang lainnya dinikahi dalam keadaan janda. Ia adalah istri yang paling dicintai Nabi.
72
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 61
73
Riwayat Bukhârî dalam kitab Nikah, Hadits No. 4811, Riwayat Muslim dalam kitab Susuan,
Hadits No. 2657, Riwayat Abû Dâwud dalam kitab Nikah, Hadits No.1826, Riwayat Ibnu Mâjah
dalam kitab Nikah, Hadits No. 1962, Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam juz VI, Muka Surat 68, 76,
117
52
‘Âisyah adalah putri Abû Bakar Shiddiq,74 sahabat Nabi saw yang pertama
kali beriman kepada Nabi saw. Ibunya adalah Ummu Rumân binti ‘Umair bin Amir
dari Bani Al-Hârits bin Ghanam bin Kinânah.75 ‘Âisyah mempunyai gelar (kuniyah)
putra Zubair. 76
Abû Bakar menikahkan Nabi dengan ‘Âisyah, yang pada saat itu baru
berumur enam atau tujuh tahun.77 Sebelumnya ia sudah dilamar untuk Jubair bin
Muth’im bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Thaim bin Murrah.78 Nabi
menikahinya pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian, tiga tahun sebelum
setelah hijrah di mana saat itu ‘Âisyah berumur sembilan tahun.79 Nabi saw
Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah berasal dari Bani Taim yang terkenal dengan
sifat-sifat pemurah, berani, jujur dan memiliki pandangan yang tepat. Mereka juga
74
Nama asli Abû Bakar adalah ‘Abdullah atau ‘Atiq –bin Abû Quhâfah –nama asli Abû
Quhâfah ialah Utsmân—bin Amir bin Amr Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai.
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 335
75
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
76
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 336
77
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 82. Terdapat dua pendapat tentang usia ‘Âisyah saat
dinikahi Nabi. Dalam Shahîh Bukhârî, Kitab Manâqib kaum Anshâr, bab Pernikahan Rasulullah saw
dengan ‘Âisyah, hadits no. 3894, ‘Âisyah mengatakan bahwa ia dinikahi Nabi dalam usia enam tahun.
Sedangkan dalam Shahîh Muslim, hadits no. 1422, ‘Âisyah dinikahi dalam usia tujuh tahun. Namun
jika kedua hadits tersebut disatukan, dapat diambil kesimpulan bahwa ‘Âisyah dinikahi Nabi saw saat
usia enam tahun dan masuk tahun ketujuh.
78
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
79
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 61
80
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 62
53
menjadi contoh tentang perlakuan yang baik terhadap kaum wanita dan sikap yang
lemah lembut dan bagus dalam pergaulannya.81 Selain itu ayah ‘Âisyah (Abû Bakar)
memiliki sifat yang mudah bergaul dengan baik kepada teman-temannya, dia juga
dari golongan sahabat. Pada jaman jahiliyah dia pernah menikah dengan ‘Abdullah
bin al-Hârits al-Asady dan mempunyai anak, yaitu Thufail. Kemudian ‘Abdullah
meninggal dan Ummu Rumân dinikahi oleh Abû Bakar. Dari pernikahannya dengan
diangkat menjadi Rasul.84 Nabi Muhammad mengenal ‘Âisyah sejak masa kanak-
kanaknya, dan beliau menempatkan ‘Âisyah dalam hatinya sebagai seorang anak
yang berharga. Nabi menyaksikan langsung ‘Âisyah yang tumbuh bertambah dewasa.
dan spontanitas yang mengagumkan. Di samping itu, lidahnya juga fasih dan
menasihati Ummu Rumân dengan sabdanya: “Wahai Ummu Rumân, aku nasihatkan
81
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
82
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
83
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 84
84
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 336
85
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 85
54
agar Engkau memelihara ‘Âisyah dengan baik, dan selalu mengingat aku ketika
Engkau menjaganya.”86
Sesudah datang Hafshah, datang lagi istri-istri Nabi yang lain, sehingga petak
rumah yang sembilan itu penuh. Di antara mereka ada Zainab binti Jahsy, wanita
muda yang cantik, Ummu Salamah binti Abû Umayah, yang memiliki julukan
penyedia perbekalan rombongan dan dikenal sebagai wanita yang memiliki garis
kebapakan yang tinggi. Juga ada Juwairiyyah binti al-Hârits tempat tertujunya mata
orang karena kecantikannya. Shafiyyah binti Huyai, bunga mekar orang Yahudi yang
halus mempesona, dan Ummu Habîbah binti Abû Sufyân pemimpin dan panglima
tentara Mekkah. 87
Di antara para istri Nabi, ‘Âisyah adalah istri yang paling pencemburu dan
paling gigih berjuang untuk memonopoli kasih sayang Nabi. ‘Âisyah beralasan
bahwa dialah wanita pertama yang telah membukakan hati Nabi setelah Khadîjah
wafat. Dan hanya dia sendiri yang dinikahi Nabi dalam keadaan gadis. Dia pun
merasa bahwa dia adalah ‘Âisyah binti Abû Bakar, sahabat Nabi paling terkemuka.88
Pada tahun keenam Hijriyah, yaitu setelah Nabi saw menikahi Zainab binti
Jahsy terjadi peristiwa tuduhan atau Hadits al-Ifki. Ketika itu Nabi Muhammad saw
86
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83
87
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 104
88
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 105
55
berpergian atau berperang. Saat itu, ‘Âisyahlah yang mendapat giliran. Maka ‘Âisyah
setengah malam. Saat mereka berangkat, tidak ada seorangpun yang mengetahui
Madinah saat subuh, lalu unta yang membawa Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah dituntun
‘Âisyah. Tidak lama kemudian terlihat dari jauh, ‘Âisyah menunggang unta yang
dituntun oleh seorang laki-laki yang mereka kenal, yaitu Shafwân bin Mu’thil as-
Silmiy. Beliau mendengarkan cerita ‘Âisyah tentang sebab mengapa dia tertinggal.
Ternyata waktu itu ‘Âisyah sedang keluar untuk buang hajat sebelum
keberangkatan diumumkan. Saat itu, kalung permata yang dipakainya jatuh dari leher
dan tidak mendapati kalung itu, dan orang-orang sudah siap untuk berangkat. ‘Âisyah
pun segera kembali ke tempat tadi, mencarinya hingga dapat. Peristiwa selanjutnya,
“Orang-orang datang, dan jarak saya begitu jauh, mereka menuntun unta
saya dan memegang haudaj, mengira bahwa saya berada di dalamnya, karena
89
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111
90
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111
56
badan saya enteng. Maka mereka kemudian membawa haudaj itu dan
mengikatnya ke atas unta, dan tidak menyadari bahwa saya tak ada di dalamnya.
Mereka pun menuntun unta itu lalu berangkat. Kemudian, saya kembali ke
tempat tersebut tidak ada lagi orang yang memanggil atau menyahut, semua
orang sudah berangkat.
Saya membungkus diri dengan kainku, lalu berbaring di tempat itu, dan
merasa yakin, tentu orang-orang akan menyadari kehilangan saya dan akan
kembali. Sungguh, demi Allah, saya sedang berbaring tiba-tiba lewat Shafwân
bin Mu’thil as-Silmiy, yang rupanya ketinggalan juga dari pasukan karena suatu
keperluan, dan tidak menginap bersama rombongan. Dia melihat pakaian hitam
saya, lalu datang mendekati sehingga dia berdiri di dekat tempat saya – dulu
Shafwân pernah melihat ‘Âisyah sebelum hijab diwajibkan atasnya. Maka
ketika dia melihat saya, dia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ini
yang dibawa Nabi saw mengapa sampai tertinggal, wahai yang dilimpahi
rahmat Allah?”
Saya tidak berbicara dengannya. Kemudian dia mendekatkan untanya seraya
berkata, “Silakan naik” dan dia mundur, lalu saya pun naik, dan dipegangnya
kendali unta itu, lalu dengan cepat berangkat menyusul rombongan. Demi
Allah, kami tidak bertemu orang-orang lagi, sampai pagi-pagi, dan rupanya
rombongan sudah sampai disini, dan sampai juga laki-laki ini menuntun unta
yang aku tunggangi.”91
‘Abdullah bin Ubay bin Salul, yang dendamnya terhadap Nabi saw tidak
kunjung habis, terus berusaha membuat tipu muslihat untuk menjatuhkan beliau.
Sekelompok orang yang menerima berita tentang peristiwa itu bertemu dan
menambahi berita tersebut dengan cerita-cerita yang mereka reka sekehendak hati,
Dari Ibnu Salul dan orang-orang yang berada di sekitarnya, berita tuduhan
itu tersiar ke seluruh penjuru kota Madinah. Dan berita itu diulang-ulang (ditiupkan
oleh musuh-musuh Muslimin) oleh beberapa orang, diantaranya Hisan bin Tsabit,
penyair Nabi saw, Misthah bin Utsatsah, keponakan Abû Bakar dan tempat curahan
91
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111-113
92
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 113
57
hatinya, dan juga Hammah binti Jahsy, sepupu Nabi, dan adik istri Nabi Zainab binti
Jahsy. 93
Akhirnya berita itu sampai juga ke telinga Nabi saw juga ke telinga Abû
Bakar dan Ummu Rumân, yang lalu menutup telinganya rapat-rapat. Tetapi tidak
seorangpun di antara mereka, yang berani berterus terang kepada ‘Aisyah mengenai
berita yang tersiar menakutkan itu, karena ‘Aisyah, sejak pulang dari perang Bani
‘Aisyah mengetahui apa yang dibicarakan orang tentang dirinya dari Ummu
Misthah binti Abû Rahm bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf, yang ibunya adalah
binti Shakhar bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym, adik ibu Abû Bakar.
Mengenai kejadian ini turun ayat Al-Qur’an surat an-Nûr/24 ayat 11-19.
dan yang menyebarkan tuduhan itu pun didera, sesuai dengan firman Allah:
( : )
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali pukulan, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.” (QS. An-Nûr/24: 4)94
93
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 113
94
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 119
58
Keutamaan ‘Aisyah
cerdas dan berfikiran tajam, serta kuat hafalannya sehingga ia menjadi tempat
dengan Nabi, sebagai istri dan pendamping Nabi, membuatnya banyak mengetahui
dibandingkan dengan ilmu-ilmu istri-istri Nabi yang lain, dan ditambah dengan ilmu
Hisyâm bin Urwah meriwayatkan dari kakeknya, dia berkata: “Saya belum
pernah melihat seorang wanita yang lebih mengetahui ilmu fiqih, kedokteran dan
Selain itu ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh istri-istri Nabi yang
lain, di antaranya:
al- ifki).
95
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 125. Disebutkan dengan dua istilah yang berbeda dalam
hal ini untuk menjelaskan betapa ‘Âisyah sangat faham dengan ucapan-ucapan Nabi dan perbuatannya.
96
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 125
97
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126
59
4. Jibril membawa gambarnya dari surga dan menyampaikan bahwa ia adalah istri
Nabi saw.
5. ‘Âisyah dan Nabi saw pernah mandi janabah dari bejana yang sama, di mana
Nabi tidak pernah melakukan hal tersebut dengan istri-istri yang lain.
‘Âisyah adalah salah seorang di antara istri-istri Nabi saw yang dijamin
masuk surga selain Khadîjah, Zainab binti Jahsy, dan Hafshah binti ‘Umar bin
Khaththâb.
dermawannya, pernah suatu ketika ‘Âisyah dikirim uang sejumlah 100.000 dirham, ia
membagikan uang tersebut sampai habis padahal saat itu ia sedang berpuasa dan ia
98
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 65, Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 378-
381
99
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 66-67
100
Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 66-67
60
pakaiannya. Ia juga seorang yang tidak sombong, ketika akan meninggalnya, ia ingin
‘Âisyah wafat dalam usia 66 tahun. Menurut berita yang paling kuat, bahwa
1. Peristiwa Tuduhan terhadap ‘Âisyah (Hadits al-Ifki) dalam Surah An-Nûr/24: 11-
19
101
Di dalam kitab Shahîh al-Bukhâri diterangkan bahwa ‘Âisyah mewasiatkan kepada ‘Abdullah
bin Zubair, anak kakaknya, Asma’, agar beliau dikuburkan bersama-sama rekan-rekannya di
Pekuburan Baqi. Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126
102
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126
61
2. Teguran Allah kepada Nabi saw akibat perbuatan ‘Âisyah dan Hafshah yang
cemburu terhadap Zainab Binti Jahsy –menurut satu riwayat- atau terhadap
103
Riwayat Bukhâri dalam kitab Tafsîr Al-Qur’ân, Hadits No. 4531, Riwayat Muslim dalam
kitab Talak, Hadits No. 2694, Riwayat Tirmizi dalam kitab Makanan, Hadits No. 1754, Riwayat
Nasâ’i dalam kitab Talak, Hadits No. 3367, Sumpah Nazar dan Pertanian, Hadits No. 3735, Sepuluh
Orang Wanita, Hadits No. 3896, Riwayat Abû Dawud dalam kitab Minuman, Hadits No.3227, 3227,
Riwayat Ibnu Mâjah dalam kitab Makanan, Hadits No. 3314, Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam juz
VI, Muka Surat 221, Riwayat Ad-Dârimi, dalam kitab Makanan, Hadits No. 1986. CD Room Hadits
64
3. ‘Âisyah yang pertama kali ditanyai Nabi saw saat ayat takhyîr (Q. S. al-Ahzâb/33:
28) turun.
:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut`ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik….”
(Q. S. Al-Ahzâb: 28)
Ketika turun ayat takhyîr (pilihan antara cerai atau tidak bagi istri-istri),
Nabi saw menemui ‘Âisyah terlebih dahulu sebelum istri yang lainnya, dan
berkata: “Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu dan aku ingin engkau tidak
‘Âisyah berkata, “Sesuatu apakah itu?” Rasul saw kemudian membacakan ayat
Hak pilih yang dimulai dengan ‘Âisyah terlebih dahulu, menurut Imam an-
Nawâwî, 104 menunjukkan kelebihan dirinya atas istri-istri Nabi yang lain. Saat
ayat ini turun, istri-istri Nabi saw ada sembilan orang selain Khadîjah dan Zainab
Ayat takhyîr ini turun berkaitan dengan keinginan istri-istri Nabi untuk
104
Syarh Shahîh Muslim, J. 10, h. 78-79
65
4. Ayat Tayammum
Mengenai sebab turun ayat ini, Hisyâm bin ‘Urwah meriwayatkan dari
ayahnya bahwa dalam suatu perjalanan bersama Nabi saw, ‘Âisyah kehilangan
kalung yang dipinjamnya di suatu tempat yang biasa disebut “Shalshal”. Setelah
sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Tidak lama kemudian, tiba waktu
shalat sedangkan saat itu tidak ditemukan air sedikitpun di tempat tersebut.
Akhirnya mereka shalat tanpa berwudhu. Lalu turunlah ayat tersebut. Maka Usaid
kebaikan. Demi Allah, tidak pernah turun kepadamu suatu musibah kecuali Allah
Beliau adalah Hafshah putri dari ‘Umar bin Khaththâb bin Nufail bin ‘Abdul
‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurath bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai,
seorang shahabat agung yang melalui perantaranya Islam memiliki wibawa. Hafshah
adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan wanita
yang disegani. Ibunya adalah Zainab binti Maz’un bin Habîb bin Wahb bin Hudzafah
bin Jumah. Ia lahir pada saat orang-orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun
Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia bernama
Khunais bin Khudzâfah bin Qais bin ‘Adiy as-Sahmiy Al-Quraisy yang pernah
berhijrah dua kali, ke Habasyah dan Madinah, ikut dalam perang Badar dan perang
Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami
pada waktu perang Badar.107 Ketika suaminya meninggal, Hafshah masih muda dan
berumur 18 tahun.
Setelah menjadi janda dan sebelum menikah dengan Nabi, ‘Umar bin
105
Muhammad Ibrahim Salim, Nisâ’ Haula ar-Rasul: Al-Qudwah al-Hasanah wa al-Uswah
ath-Thayyibah li Nisâ’ al-Usroh al-Muslimah, alih bahasa Abdul Hayyie al-Kattani dan Zahrul Fata,
Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah Saw, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 129.
Lihat pula Aba Firdaus Al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah., h. 245-246
106
A. Khalîl Jam’ah., Istri-istri Para Nabi, h. 396, Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 77
107
Ada yang mengatakan karena luka pada perang Uhud. Namun pendapat pertama lebih
terkenal. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 396.
67
Abû Bakar dan ‘Utsmân bin ‘Affân –yang saat itu baru ditinggal wafat istrinya,
Ruqayyah binti Nabi saw-- untuk menikahi anaknya dikarenakan hatinya sedih
melihat anaknya yang berduka setelah kematian suaminya. Namun kedua sahabatnya
menolak. Kemudian beliau menghadap Nabi saw dan mengadukan keadaan dan
sikap Abû Bakar maupun ‘Utsmân. Maka tersenyumlah Nabi saw seraya berkata:
"Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abû Bakar dan
‘Utsmân sedangkan ‘Ustmân akan menikahi wanita yang lebih baik daripada
Hafshah (yaitu putri beliau Ummu Kultsum r.a. )"
kemudian beliau rujuk kembali. Tentang sebab rujuknya, ada beberapa riwayat. Ada
yang menerangkan bahwa rujuk terjadi karena Nabi merasa kasihan melihat ‘Umar
yang memukuli kepalanya sambil berkata, “Allah sudah menghinakan dan tidak
menemui Nabi saw dan berkata, “Sungguh, Allah menyuruh Rasulullah supaya rujuk
Sedang dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Malaikat Jibril a.s. turun
menemui Nabi saw dan berkata, “Rujuklah kepada Hafshah, karena dia adalah
seorang wanita yang sering berpuasa, dan beribadah pada malam hari, dan
108
yakni riwayat Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dengan sanad yang berlainan, yang seluruhnya dapat
dikompromikan bahwa beliau menceraikan Hafsah dengan talak satu. Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi,
h. 139
68
Di antara istri-istri Nabi, selain ‘Âisyah, Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb
dikenang dalam sejarah sebagai Umm al-Mu’minîn yang memelihara naskah pertama
dari Al-Qur’an, Kitab berbahasa Arab yang terbesar kemuliaanya, dan mukjizat Islam
yang kekal setelah Nabi saw meninggal. Pada mulanya, ‘Umar bin Khaththâb
yang saat itu masih berserakan dalam catatan, sebelum habis dan meninggal orang-
orang yang menghafalnya. Abû Bakar menerima nasihat ‘Umar. Kemudian beliau
bin Affan, catatan Al-Qur’an tersebut diminta untuk disalin menjadi empat eksemplar
lainnya dibakar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan umat dari perselisihan
tempat para Umm al-Mu’minîn lainnya. Marwan bin Hakam yang saat itu menjadi
109
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 139
110
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 144
69
gubernur Madinah, ikut menshalatkannya. 111 Saat wafat, Hafshah berumur 60 tahun.
Hafshah dan ‘Âisyah adalah dua istri Nabi yang saling mencintai. Suatu
ketika Hafshah pergi ke rumah ayahnya dan berbicara dengannya, kemudian Nabi
saw pergi menemui budak beliau –Mariyah Al-Qibtiyah-- dan bersama Nabi saw,
Mariyah pergi ke rumah Hafshah. Hari itu adalah hari giliran Nabi saw mendatangi
Mariyah sehingga ia cemburu. Setelah Mariyah keluar, Hafshah masuk dan berkata
kepada Nabi, “Sungguh aku tahu orang yang di sampingmu tadi. Demi Allah, engkau
telah menyakitiku.” Nabi lalu meminta keridaan Hafshah dan memintanya menjaga
sebuah rahasia, yaitu Nabi mengharamkan Mariyah untuknya demi keridaan Hafshah
‘Âisyah. 113 Saat itu, turunlah wahyu kepada Nabi Q.S. At-Tahrîm/66: 1:
: /
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah
menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Tahrîm/66: 1)
111
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 144, Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 81
112
Seperti dikatakan Imam Nawâwî di Tahzîb, j. 2, h. 339. Buku-buku tersebut dikumpulkan di
buku Baqi bin Mukhallad, seperti dikatakan Az-Zahabi di Siyar A’lâm an-Nubalâ, j. 2, h. 230
113
Ibnu Jarîr At-Thabârî, at-Tafsîr, j. 28, h. 157. Muhammad bin Sa’ad As-Suyûthi, Ad-Durr al-
Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma‘tsûr, j. 8, h. 214-215
70
Ibnu Katsîr mengambil riwayat dari ‘Umar bin Khaththâb yang berkata,
/
:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian
membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” (Q.S. At-Tahrîm/66: 2)114
Keutamaan Hafshah
setelah Nabi saw memaafkan beliau. Kemudian Hafshah hidup bersama Nabi dengan
hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Nabi
wafat dan Khalifah dipegang oleh Abû Bakar ash-Shiddîq, Hafshah-lah yang
Hafshah mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta'at kepada
Allah, rajin shaum dan juga shalat. Sehingga Jibril menurunkan wahyu kepada Nabi
"Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah
istrimu di surga". 115
shalat malam), yang merupakan tingkatan ibadah yang paling tinggi yang mesti
masuklah Zainab binti Khuzaimah yang terkenal dengan gelar Umm al-Masâkîn, Ibu
orang-orang miskin, pada zaman Jahiliyah. Ia adalah Zainab binti Khuzaimah bin al-
Hârits bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Abdu Manâf bin Hilâl bin ‘Âmir bin
Sha‘sha‘ah116 bin Muawiyah bin Bakr bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin
114
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Semarang: Toha Putra, tth,) J. 4, h. 412
115
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi., h. 139. Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât, j. 8, h. 84, A. Khalîl
Jam’ah, Nisa’ Mubasysyarât bi al-Jannah, alih bahasa Kathur Suhardi, Wanita yang Dijamin Surga,
(Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet. II, h. 463
116
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 147 3, h. 179
117
Banyak riwayat tentang nama suaminya. Ada yang mengatakan namanya Abdullah bin Jahsy,
anak saudara perempuan dari ayah Nabi saw dan saudara laki-laki dari istri beliau, Zainab binti Jahsy.
Ada pula yang mengatakan, pada mulanya Zainab Binti Khuzaimah adalah istri dari Thufail bin al-
Hârits bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf. Kemudian Thufail meninggal atau menceraikannya dan
digantikan oleh ‘Ubaidah bin al-Hârits. Lihat Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 944. Riwayat ketiga
mengatakan bahwa sebelum dinikahi Nabi saw, ia adalah istri ‘Ubaidah bin al-Hârits bin al-Muththalib
bin ‘Abdu Manâf, dan sebelum itu ia adalah istri Jahm bin ‘Amr bin al-Hârits putera pamannya. Lihat
Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 147-148
72
yang kemudian terbunuh pada saat perang Badar.118 Nabi Saw menikahi Zainab binti
Khuzaimah pada awal bulan Ramadhan tahun 3 Hijriyah. Ia tinggal bersama Nabi
saw selama delapan bulan,119 kemudian meninggal pada akhir Rabi’ al-Akhir tahun 4
Baqi. 120
tidak banyak menulis biografi beliau. Selain itu, kalaupun ada, kebanyakan mereka
berbeda pendapat tentang tiga hal, nama suaminya sebelum Nabi saw, waktu mati
syahid suaminya, dan nama wali yang menikahkannya. Meskipun demikian, mereka
sepakat pada satu hal, bahwa Zainab mempunyai sifat-sifat yang baik, pemurah dan
kasih sayang terhadap fakir miskin. Setiap namanya disebut, selalu disertai dengan
118
Menurut Bint Asy-Syâthi di perang Uhud, Istri-istri Nabi, h. 147
119
ada yang mengatakan selama tiga bulan , Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 148-149
120
Lihat Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 108-109
121
Lihat Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 149-150
122
Ibnu Hisyam, As-Sîrah, j. 4, h. 296
123
Al-Qurthûbî, al-Istî’âb, j. 8, h. 94
73
6. Ummu Salamah
Beliau adalah Hindun binti Abî Umayyah Suhail bin al-Mughîrah bin
‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm. 124 Ayahnya adalah putra dari salah seorang
bahkan mendapat julukan "Zâd ar-Rakbi" yakni seorang pengembara yang berbekal.
Dijuluki demikian karena apabila melakukan perjalanan, tidak pernah lupa mengajak
teman dan juga membawa bekal, bahkan ia mencukupi bekal milik temannya.125
Adapun ibunya bernama 'Atîkah binti Âmir bin Rabî'ah bin Mâlik bin Jazîmah bin
‘Alqamah Jazl ath-Th’ân bin Farâs bin Ghanm bin Mâlik bin Kinânah.126
wanita yang berparas cantik, berkedudukan, dan seorang wanita yang cerdas. Pada
mulanya ia dinikahi oleh Abû Salamah ‘Abdullah bin ‘Abd al-Asad bin Hilâl bin
‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm.127 Bersama Ummu Salamah, Abu Salamah
seorang shahabat Nabi yang agung yang mengikuti dua kali hijrah, ke Habasyah dan
Bagi suaminya, Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri, baik dari segi
kesetiaan, kata'atan dan dalam menunaikan hak-hak suaminya. Dia telah memberikan
124
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86
125
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458
126
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86
127
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87
74
memikul beban ujian dan kerasnya siksaan orang-orang Quraisy sehingga kemudian
kaum muslimin dan kaumnya Abû Thalib) dan setelah masuk Islamnya Hamzah bin
hijrah ke Madinah setelah peristiwa Bai'atul Aqabah al-Kubrâ, Abû Salamah bertekad
menahan Ummu Salamah sehingga hanya Abû Salamah yang pergi dan putranya
dibawa oleh Bani Abdul Asad, keluarga suaminya. Meskipun demikian, akhirnya ia
dan anaknya dapat bertemu kembali dan dengan bantuan ‘Ustman bin Thalhah,
128
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458, Ibnu Sa’ad, Ath-
Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87
129
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458. Lihat pula Bint
Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 156-158.
75
bekal bagi suaminya untuk berjihad dan mengibarkan bendera Islam. Abû Salamah
adalah sahabat yang mengikuti perang Badar dan perang Uhud. Pada Perang Uhud
inilah beliau terkena luka yang parah karena terkena panah pada bagian lengan
sehingga beliau tinggal menetap untuk mengobati lukanya hingga merasa sudah
sembuh.
Dua bulan setelah perang Uhud, Nabi saw mendapat laporan bahwa Bani
pasukan menuju “Qathn”, yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi disertai
pasukan sebanyak 150 orang. Di antara mereka adalah ‘Ubaidullah bin al-Jarrah dan
dengan antusias. Beliau menggerakkan pasukannya pada gelapnya subuh saat musuh
mereka kembali dalam keadaan selamat dan membawa ghanîmah. Di samping itu,
mereka dapat mengembalikan sesuatu yang hilang yakni kewibawaan kaum muslimin
Pada pengiriman pasukan inilah luka yang diderita oleh Abû Salamah pada
hari Uhud kembali kambuh yang menyebabkannya meninggal dunia. Di saat-saat dia
mengobati lukanya, beliau berkata kepada istrinya: “Wahai Ummu Salamah, aku
Pada suatu pagi Nabi saw datang untuk menengoknya dan beliau terus
menunggunya hingga Abû Salamah wafat. Maka Nabi saw memejamkan kedua mata
seraya berdo'a:
dengan hati yang dipenuhi dengan keimanan dan jiwa yang diisi dengan kesabaran,
beliau pasrah dengan ketetapan Allah dan qadar-Nya. Ia ingat do'a Nabi saw yang
Sebenarnya ada rasa tidak enak pada jiwanya manakala dia membaca do'a:
"Wakhluflii khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya)
karena hatinya bertanya-tanya: 'Lantas siapakah gerangan yang lebih baik daripada
Abû Salamah?'. Akan tetapi beliau tetap menyempurnakan do'anya agar bernilai
yang bermaksud untuk melamar beliau sebagaimana kebiasaan kaum muslimin dalam
77
Nabi saw turut memikirkan nasib wanita yang mulia ini; seorang wanita
mukminah, jujur, setia dan sabar. Beliau melihat tidak bijaksana rasanya apabila dia
dibiarkan menyendiri tanpa seorang pendamping. Pada suatu hari, pada saat Ummu
Salamah sedang menyamak kulit, Nabi saw datang dan meminta izin kepada Ummu
sebuah bantal yang terbuat dari kulit dan diisi dengan ijuk sebagai tempat duduk bagi
Nabi. Maka Nabi pun duduk dan melamar Ummu Salamah. Tatkala Nabi selesai
berbicara, Ummu Salamah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
Tiba-tiba beliau ingat hadits yang diriwayatkan oleh Abû Salamah, yakni; "Wakhlufli
khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya), maka hatinya
berbisik: 'Dia lebih baik daripada Abû Salamah'. Hanya saja ketulusan dan
yang ada pada dirinya kepada Nabi. Dia berkata: “Marhaban ya Rasulullah,
bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan anda, ya Rasulullah. Hanya saja saya
adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku takut jika engkau melihat sesuatu
yang tidak anda senangi dariku maka Allah akan mengadzabku, lagi pula saya adalah
seorang wanita yang telah lanjut usia dan saya memiliki tanggungan keluarga.” Maka
Nabi saw bersabda: “Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita yang telah lanjut
usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan tiadalah aib manakala dikatakan
dia telah menikah dengan orang yang lebih tua darinya. Mengenai alasanmu bahwa
78
engkau memiliki tanggungan anak-anak yatim, maka semua itu menjadi tanggungan
Allah dan Rasul-Nya. Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita pencemburu,
maka aku akan berdo'a kepada Allah agar menghilangkan sifat itu dari dirimu.”130
Maka beliau pasrah dengan Nabi saw. Dia berkata: “Sungguh Allah telah
menggantikan bagiku seorang suami yang lebih baik dari Abû Salamah, yakni Nabi
saw.” Maka jadilah Ummu Salamah sebagai Umm al-Mu’minîn. Beliau hidup dalam
rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu
kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati
Keutamaannya
Ummu Salamah bukan hanya seorang wanita yang memiliki tubuh yang
menarik dan wajah yang rupawan, bahkan ia adalah seorang wanita yang cerdas dan
matang dalam memahami persoalan dengan pemahaman yang baik dan dapat
mengambil keputusan dengan tepat pula. Hal itu ditunjukkan pada peristiwa
ketika itu, para shahabat tidak mengerjakannya karena sifat manusiawi mereka yang
merasa kecewa dengan hasil perjanjian Hudaibiyah yang banyak merugikan kaum
muslimin. Berulangkali Nabi saw memerintahkan mereka akan tetapi tetap saja tak
seorangpun mau mengerjakannya. Maka Nabi saw masuk menemui Ummu Salamah
dalam keadaan sedih dan kecewa. Beliau ceritakan kepada Ummu Salamah perihal
130
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 91
79
kaum muslimin yang tidak mau mengerjakan perintah beliau. Maka Ummu Salamah
berkata: “Wahai Rasulullah apakah anda menginginkan hal itu? Jika demikian, maka
silahkan anda keluar dan jangan berkata sepatah katapun dengan mereka sehingga
anda menyembelih unta anda, kemudian panggillah tukang cukur anda untuk
Nabi saw menerima usulan Ummu Salamah. Maka beliau berdiri dan keluar
tidak berkata sepatah katapun hingga beliau menyembelih untanya. Kemudian beliau
panggil tukang cukur beliau dan dicukurlah rambut beliau. Manakala para shahabat
melihat apa yang dikejakan oleh Nabi saw, maka mereka bangkit dan menyembelih
kurban mereka, kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain secara
bergantian.131
131
Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah, h. 93
132
H.R. Ibnu Sa’ad namun sanadnya agak lemah karena terdapat Al-Waqidi. Lihat Ali Usman,
Partisipasi Keluarga Rasulullah, h. 92-93
80
Kecantikan hatinya juga dapat dilihat dari peristiwa mengurung dirinya Nabi
Muhammad saw yang telah berlalu. Saat Nabi saw jatuh sakit, Ummu Salamahlah
yang memberikan usulan kepada istri-istri yang lain untuk merelakan gilirannya
diberikan kepada ‘Âisyah dan menyerahkan perawatan Nabi kepada ‘Âisyah. 133
kaum muslimin dan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beliau selalu andil
dengan kecerdasannya dalam setiap persoalan untuk menjaga lurusnya umat dan
mencegah mereka dari penyimpangan, terlebih lagi terhadap para penguasa dari para
Khalifah maupun para pejabat. Beliau singkirkan segala kejahatan dan kezhaliman
terhadap kaum muslimin, beliau terangkan kalimat yang haq dan tidak takut terhadap
celaan dari orang yang suka mencela dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
dalam usia 84 tahun. Beliau adalah istri Nabi saw yang terakhir wafat.135 Beliau
wafat setelah memberikan contoh kepada wanita dalam hal kesetiaan, jihad dan
kesabaran.
Zainab binti Jahsy adalah seorang istri Nabi saw yang mendapatkan
keutamaan karena pernikahannya dengan Nabi berdasarkan firman Allah (Q. S. al-
133
Ahmad Khoiron Mustafit, Inner Beauty Istri-istri Nabi Muhammad saw, (Jakarta: Qultum
Media, 2004), Cet. 1, h.93
134
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87. Namun dalam riwayat Ibnu Abî Haitsamah
oleh Ibnu Hajar al-‘Atsqalâni dalam Al-Ishâbah, j. 4, h. 460 dikatakan bahwa Ummu Salamah wafat
pada tahun 61 H.
135
Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 460
81
Ahzâb/33: 36-38). Selain itu, pada saat pernikahannya dengan Nabi turun ayat hijâb
Zainab adalah istri yang paling dekat nasabnya kepada Nabi saw. Nasabnya
secara lengkap adalah Zainab binti Jahsy bin Ri‘ab bin Ya'mur bin Shabîrah bin
Murrah bin Kabîr bin Ghanm bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah.136 Zainab binti
Jahsy adalah wanita muda, bangsawan, cantik, dan keturunan Bani Asad bin
Khuzaimah al-Mudharry, cucu Abdul Muththalib, putri saudara perempuan ayah Nabi
Muhammad saw.137 Ibu beliau bernama Umaimah Binti ‘Abdul Muthallib. Para ahli
riwayat menceritakan bahwa Zainab berkulit putih, sintal, dan termasuk wanita
sempurna di antara wanita Quraisy. Zainab pun merasa bangga dengan kecantikannya
dan dengan keturunannya yang mulia.138 Pada mulanya nama beliau adalah Barrah,
namun tatkala diperistri oleh Nabi, beliau diganti namanya dengan Zainab.139
dengan Zaid bin Haritsah bin Syarâhîl bin Ka’ab dari Bani Zaid al-Lât. Pernikahan
Zainab dengan Zaid maupun dengan Nabi saw adalah pernikahan yang didasari
wahyu Allah swt. Ayat berikut turun terhadap Zainab binti Jahsy.
136
Ahmad Khalîl Jam‘ah, Istri-istri Para Nabi, h. 438
137
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173
138
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173
139
Berdasarkan hadits riwayat Abû Hurairah r.a yang berkata: “Sesungguhnya nama Zainab
pada mulanya ialah Barrah. Ada orang mengatakan: ‘Dia membersihkan dirinya. Lalu Nabi Saw
memberinya nama Zainab.’” Lihat Bukhori dalam kitab Adab/Etika, Hadits No. 5724, Muslim dalam
kitab Adab, Hadits No. 3990, Ibnu Majah dalam kitab Adab/Etika, Hadits No. 3722, Ahmad bin
Hanbal dalam kitab Juz 2, Muka Surah 459, Ad-Darimi dalam Kitab Meminta Izin, Hadits No. 2582
82
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi
perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (36) “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah
kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya
tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya kepada istri-isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi.” (37) “Tidak ada satu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah
ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai
sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (38) (Q S. Al-Ahzâb /33: 36-38)
Zaid tadinya adalah budak Nabi yang kemudian dimerdekakan dan menjadi
Zaid sering dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Namun sesudah turun
ayat tersebut, Zaid dipanggil dengan nama ayah kandungnya, Zaid bin Haritsah. Zaid
merupakan orang yang pertama kali masuk Islam setelah ‘Ali bin Abî Thâlib. 140
Zaid sebenarnya bukanlah seorang budak. Pada suatu ketika dia pergi
bersama ibunya, yaitu Su’dâ binti Tsa’labah untuk mengunjungi keluarga Bani Mi’an
bin Thay’. Lalu Zaid dirampas dari ibunya oleh pasukan berkuda dari Bani Al-Qain
bin Jisr, dan mereka menjualnya di salah satu pasar yang ada di Jazirah Arab, yaitu
pasar Ukaz. Zaid pun kemudian dibeli oleh Hakîm bin Hizâm bin Khuwailid,
keponakan Khadîjah binti Khuwailid, istri Nabi saw, yang sedang mengadakan
Suatu hari, Khadîjah –yang pada waktu itu telah menjadi istri Nabi saw–
datang mengunjungi Hakîm bin Hizâm bin Khuwailid. Ketika Khadîjah hendak
untuk dibawa serta. Lalu Khadîjah memilih Zaid, dan seterusnya membawa pulang ke
Makkah. Sesampainya di rumah, suaminya, Nabi saw melihat Zaid, lalu meminta
kepadanya agar anak itu diserahkan kepadanya untuk menjadi pelayan pribadinya.
84
Ayah Zaid, Hâritsah, yang merasa sedih karena kehilangan Zaid kemudian
mengembara mencari berita tentang Zaid dan hingga ia mendengar kabar tentang
anaknya yang berada di Makkah, di rumah Nabi saw. Sesampainya di hadapan Nabi,
memberikan pilihan kepada Zaid antara beliau atau ayahnya. Namun Zaid lebih
memilih tetap bersama Nabi. Maka dalam suasana yang tegang itu, Nabi saw tampil
dekat Ka’bah, ke hadapan kerumunan orang-orang pembesar Quraisy yang saat itu
sedang berada di sana. Beliau meresmikan di hadapan mereka, bahwa Zaid adalah
anaknya, waris-mewarisi dengannya. Dan sejak itu, dia dipanggil dengan nama Zaid
bin Muhammad.142
Setelah Zaid cukup dewasa, maka Nabi saw memilihkan seorang istri
untuknya, yaitu Zainab binti Jahsy. Akan tetapi Zainab menolak, begitu pula
kakaknya, Abdullah bin Jashy, mereka tidak setuju, bahwa seorang wanita bangsawan
dengan kerendahan hati kepada Nabi saw agar jangan menghubungkan kehinaan itu
kepada keluarga mereka, karena pada waktu itu, tidaklah pantas seorang putri
Zainab memberi alasan panjang lebar, yang akhirnya dia berkata, ‘Sungguh, saya
tidak mau kawin dengan dia selama-lamanya.’ Kemudian Nabi saw mengemukakan
140
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 175
141
Ibnu Hisyam, As-Sîrah, Juz II, h. 151
85
kepada mereka berdua, kedudukan Zaid terhadap beliau dan terhadap agama Islam,
dan kakaknya, meskipun sangat sayang kepada Nabi saw dan begitu ingin
menaatinya, tetapi tidak mau menerima, hingga akhirnya turunlah firman Allah:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi
perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan
barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (QS. ِAl-Ahzab/33: 36)
Setelah turun ayat tersebut akhirnya Zainab menikah dengan Zaid. Dengan
pernikahan Zaid dan Zainab, Nabi saw telah melaksanakan dan mengajarkan ajaran
tetap tidak dapat melupakan bahwa dia adalah putri bangsawan yang tidak pernah
mengalami status budak sejak nenek moyangnya, dan sedetik pun dia tidak merasa
bahagia untuk menjadi istri dari seorang bekas budak seperti Zaid, yang dulu
maka dia mengadukan hal tersebut kepada Nabi saw. Berulang kali dia mengadukan
buruknya perlakuan Zainab kepada dirinya, sedang Nabi saw selalu menasihati
142
Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173-175
86
agar Zaid menetapkan hatinya terhadap istrinya, serta supaya dia bertakwa kepada
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) memberi nikmat kepadanya:
Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah kepada Allah,…” (Q.S Al-Ahzâb
/33:37)
bin Abû Dhirâr bin Al-Hârits bin Abu Dhirar bin Al-Harits Al-Mushthaliq adalah
kemudian Nabi saw mengubah namanya menjadi Juwairiyah karena beliau tidak suka
kalau dikatakan bahwa beliau keluar dari sisi Barrah.144 Sebelum diperistri oleh Nabi
yang terjadi di dekat Al-Muraisi, 146 Bani al-Musthaliq mengalami kekalahan. Wanita-
143
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 465.
144
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, Ibid
145
Ibnu Sa’ad, Thabaqat…, j. 8, h. 116
146
Al-Muraisi ialah mata air milik Bani al-Musthaliq dari arah Qadid setelah pantai dari
Madinah ke Mekkah. Di perang tersebut, Nabi saw berhasil mengalahkan Bani Al-Musthaliq. Setelah
87
wanita dari kalangan Bani Al-Musthaliq banyak yang tertangkap sebagai tawanan,
salah satunya adalah Juwairiyah binti Al-Hârits yang saat itu masih bernama Barrah.
Juwairiyah menjadi bagian Tsabit bin Qais bin Syammas. Kemudian ia datang kepada
Nabi saw untuk meminta bantuan kemerdekaan dirinya.147 Ketika itu Nabi saw
kemudian dibayarkan Nabi saw dan setelah itu menikah dengan Nabi. Maka,
mereka segera melepaskan tawanan Bani al-Musthaliq yang ada pada mereka. Maka,
dengan Nabi saw, sekitar seratus orang --dalam satu riwayat 40 orang-- dari
dari Mujahid150 bahwa Juwairiyah berkata kepada Nabi saw, ‘Sesungguhnya istri-
itu beliau membunuh beberapa orang Bani Al-Musthaliq, menawan wanita dan anak-anak. Ahmad
Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 466
147
Juwairiyah adalah wanita yang manis dan cantik, siapapun yang melihatnya pasti tertarik
padanya.
148
Satu ‘Uqiyah adalah 12 Dirham atau 28 gram. Kamus Al-Munawwir, h. 48
149
Al-Waqidi sebagaimana tertulis di At-Tahdzîb, Imam Nawâwî, j. 2, h. 336. Ibnu Hisyam,Di
As-Sîrah, j. 3, h. 289 dikatakan bahwa perang Bani al-Musthaliq terjadi pada tahun 6 H.
150
ia adalah Mujâhid bin Jubair Imâm Abû al-Hajjâj al-Makhzûmî, seorang bekas budak kabilah
Makhzûm, Al-Makkî, Qâri’, Ahli Tafsir, Hâfidz yang mendengar hadits dari Sa’ad, ‘Âisyah, Abû
Hurairah, Ummu Hâni’, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbâs. Ia dekat dengan Ibnu ‘Abbâs dan
salah satu gudang ilmu. Ia wafat pada tahun 103 H. Tadzkirah al-Huffâzh
88
istrimu berbangga diri terhadapku, mereka berkata, ‘Engkau tidak dinikahi Nabi saw.’
Nabi saw bersabda, ‘Bukankah aku telah memberi mahar yang sangat besar?
Bukankah aku telah memerdekaan empat puluh budak dari kaummu?’. Selain itu,
dengan pernikahannya tersebut, ayahnya Al-Hârits bin Dhirâr, juga masuk Islam.151
melihat bulan berjalan dari Yatsrib (Madinah) hingga jatuh di pangkuannya pada tiga
Keutamaannya
151
Sebagaimana dikutip Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 466-467 dari Thabrânî,
Al-Kabîr, j. 24, h. 59 dari jalur Abdurrazaq, juga dari Al-Mushannaf, j. 7, h. 271, dan Hakim, Al-
Mustadrak, j. 4, h. 25-26.
89
Shafiyah154 adalah puteri dari Huyay bin Akhthab bin Sa’ayah155 bin
Tsa’labah bin Amir bin ‘Ubaid bin Ka’ab bin Al-Khazrâj bin Habîb bin An-Nadhîr
bin Yanhum. Ayahnya adalah pemuka Bani Nadhîr, berasal dari anak keturunan
(kabilah) Lawai bin Ya’qub a.s., dari anak keturunan Nabi Hârûn bin ‘Imrân, saudara
152
Diriwayatkan Muslim di kitab Zikir, do’a, tasbih, taubat, dan istighfar, bab Tasbih di awal
siang dan hendak tidur’. CD Room, Hadits no. 2726. Ahmad, Al-Musnad, 324-325
153
Sedangkan al-Waqidi mengatakan Juwairiyah wafat pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 56 H.
Ada pula yang mengatakan beliau wafat dalam usia 65 tahun. Tentang wafatnya lihat Ibnu Hajar Al-
‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 266, al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h. 367, Ibnu Sa’ad, Thabaqat, j. 8, h.
120.
154
Ahmad Khalîl Jam’ah dalam Istri-istri Para Nabi, h. 470 mengutip dari Ibnu Zubalah, di Al-
Muntakhab, h. 58 meriwayatkan bahwa nama Shafiyah adalah Habîbah, namun ia diberi nama
Shafiyah karena ia shafiyah (pilihan) Nabi saw di perang Khaibar. Shafiyah juga diberi nama
panggilan Ummu Yahya, sebagaimana disebut Al-Hafizh Ibnu Hajar di Fath al-Bâri’ ketika
menjelaskan hadits no. 2035.
155
Ibnu Sa’ad, Thabaqat, j. 8, h. 120. Dalam Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h. 426 dikatakan
Syu’bah, sedang dalam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 346 dikatakan Sa’anah.
90
Nabi Mûsâ a.s.156 Ibunya bernama Barrah binti Samuel157 saudara perempuan Rifâ’ah
memberikan semua tawanan dan budaknya kepada Nabi saw. Sedangkan ayahnya
Sebelum menikah dengan Nabi, Shafiyah pernah menikah dua kali, pertama
dengan Salâm bin Misykam yang kemudian menceraikannya, kedua dengan Kinânah
–ia penyair- bin Ar-Rabî‘ bin Al-Huqaiq An-Nadhri.159 Dari kedua suaminya, ia tidak
pertempuran yang sangat hebat, yaitu perang Khaibar pada bulan Muharram161 tahun
7 H. Kinânah tertangkap dan dipertemukan kepada Nabi saw dalam keadaan masih
hidup. Kinânah adalah orang yang menyimpan harta perbendaharaan Bani Nadhîr.
Namun Kinânah tidak mau mengakui sehingga Nabi saw berkata, ”Seandainya kami
menemukan harta itu padamu, apakah engkau rela dibunuh?” dan Kinânah bersedia.
156
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, Ibid
157
Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, Ibid
158
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, Ibid
159
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, Ibid
160
Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471-472. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri
Nabi, h. 208
161
akan tetapi Ahmad Khalîl Jam’ah menyebutkan perang itu terjadi di bulan Ramadhan. Istri-
istri Para Nabi, h. 477
91
Muhammad bin Maslamah yang adiknya, Mahmud bin Maslamah, telah dibunuh oleh
Tadinya Shafiyah adalah bagian fay’i164 Dihyah Al-Kalbi, namun Nabi saw
Shafiyah sebagai maharnya. Shafiyah menikah dengan Nabi saw pada saat umurnya
Shahba’ selama tiga hari dan Nabi saw membuat makanan hais di hamparan kulit
Sebelum menikah dengan Nabi saw, Shafiyah pernah bermimpi bulan jatuh
(Madinah)?”. Shafiyah juga pernah merasa sangat benci kepada Nabi saw karena
Nabi saw telah membunuh ayah dan suaminya. Namun kebenciannya tersebut hilang
setelah Nabi saw meminta maaf kepadanya sambil berkata, ”Wahai Shafiyah,
162
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 208 mengutip dari dari Ibnu Hisyâm, As-Sîrah Ibnu
Hisyâm, j. 3, h. 351, Târîkh ath-Thabâriy, j. 3, h. 95, dan Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 2, h. 81
163
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471
164
Fay’i adalah harta hasil rampasan perang
165
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 129. Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471-
477
166
dalam riwayat lain, bendungan ar-Rauha. Menurut Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para
Nabi, h. 472, 476, keduanya benar. Sedang Ibnu Hajar, Fath al-Bâri’, j. 7, h. 548 menguatkan yang
92
Ketika Shafiyah telah menikah dengan Nabi dan tinggal di rumah Nabi di
Madinah, suatu hari ia mendengar kata-kata yang menyakitkan dari istri Nabi yang
lain, yaitu ‘Âisyah dan Hafshah. Ia mengadukan masalah tersebut kepada Nabi,
kemudian Nabi menjawab, ”Kenapa engkau tidak katakan kepada mereka berdua
tentang kebaikan yang ada pada dirimu, yaitu bahwa suamiku adalah Nabi
Suatu riwayat diterangkan168 bahwa Nabi saw bepergian, dan ikut bersama
beliau dua istrinya, yaitu Shafiyah dan Zainab binti Jahsy. Di tengah perjalanan, unta
yang ditumpangi Shafiyah sakit, sedang Zainab memiliki unta cadangan, lalu Nabi
saw berkata pada Zainab, “Unta yang ditunggangi Shafiyah sakit, bagaimana jika
engkau berikan satu untamu kepadanya?” Zainab menjawab, “Saya memberi Yahudi
itu?” Mendengar itu, Nabi memalingkan muka dengan marah, selanjutnya beliau
pertama, yaitu Ash-Shahba’, karena ar-Rauha terletak antara Mekkah dan Madinah, sedangkan ash-
Shahba’ terletak sekitar 12 mil dari Mekkah
167
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 478
168
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127, Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 216-217
mengutip dari Sunan Abî Dâwûd
169
Dalam riwayat lain diterangkan, bahwa Nabi tidak mendekati Zainab karena peristiwa
tersebut mulai bulan Dzulhijjah, Muharram, sampai sebagian bulan Safar. Setelah cukup lama barulah
Nabi mendekati Zainab kembali seperti biasanya. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 217 mengutip
dari Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1850
93
yang meriwayatkan hadits darinya ialah keponakan dan budaknya, Kinânah, serta
budaknya yang lain, yaitu Yazid bin Mat’ab, Imam Zain al ‘Âbidîn Âli bin al-Husain
Ummu Habîbah adalah putri Abû Sufyân --orang terkemuka di Mekkah dan
pemimpin kaum musyrikin, musuh Nabi saw-- bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdu
Syams bin ‘Abdu Manâf bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib. Ummu
Ibunya adalah Shafiyah binti Abû Al-‘Ash (bin Umaiyah). Shafiyyah adalah
Nama asli Ummu Habîbah ialah Ramlah menurut pendapat yang paling
170
Ada juga yang mengatakan tahun 52 H. Kedua pendapat tersebut disebutkan Al-Waqidi di
Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 128-129. Tahun 50 H dikuatkan oleh Ibnu Hajar, Fath al-Bâri’,
penjelasan hadits no. 2035. Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 482
171
Sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad dari Al-Wâqidi, Thabaqât, j. 8, h. 128. Lihat juga
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 482
172
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 218
173
Az-Zahabi berkata di Siyaru A’lam an-Nubalâ’ 2/219, ”Ummu Habîbah ialah salah seorang
putri paman Nabi saw dari jalur ayah. Di antara istri-istri Nabi, istri yang paling dekat nasabnya
94
bin Jahsy. 175 Ummu Habîbah dan suaminya telah memeluk Islam sementara ayahnya,
Abû Sufyân, masih kafir. Untuk menghindari gangguan ayahnya, Ummu Habîbah
bersama suaminya hijrah ke Habasyah pada hijrah kedua dalam keadaan hamil tua.
Ummu Habîbah.176
dengan beliau ialah Ummu Habîbah.” Sebagaimana dikutip Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istriPara
Nabi, h. 420
174
Diriwayatkan dari Mush’ab bin ‘Abdullah oleh Al-Hâkim di Al-Mustadrak 4/20. Dua nama
Ummu Habîbah tersebut juga disebutkan di Ansâb al-Asyrâf I/438 dan Jawâmi As-Sîrah h. 35. Imam
An-Nawâwî berkata di At-Tahzîb-nya 2/359, “Nama asli Ummu Habîbah ialah Ramlah. Ada lagi yang
mengatakan Hindun. Nama Ummu Habîbah menurut pendapat yang benar dan terkenal ialah Ramlah
dan itulah pendapat sebagian besar ulama.”
175
‘Ubaidillah adalah anak saudara perempuan ayah Nabi Saw, kakak Zainab binti Jahsy
176
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225
177
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225, As-Simth ats-Tsamîn, h. 96.
178
yang merupakan agama penduduk Habasyah
179
Lihat Al-Mustadrak, 4/20
95
kepada An-Najasyi untuk melamar Ummu Habîbah yang saat itu berada di Habasyah.
Setelah itu Ummu Habîbah dinikahi Nabi saw yang diwakili oleh An-Najasy,
sekaligus memberikan maharnya sebesar empat ratus dinar.181 Sedangkan dari pihak
Ummu Habîbah diwakili oleh Khalîd bin Sa’îd bin al-‘Ash. 182 Pernikahan tersebut
terjadi pada tahun 7 H.183 Setelah itu Ummu Habîbah dibawa pulang ke Madinah
untuk bertemu Nabi saw dengan diantar Syurahbil bin Hasanah.184. Beberapa saat
kemudian Nabi saw datang bersama kaum muslimin dari perang Khaibar. Saat itu
usia Ummu Habîbah kira-kira 40 tahunan. 185 Pada saat Ummu Habîbah menikah
dengan Nabi saw, ayahnya Abû Sufyân masih musyrik di Mekkah dan memerangi
Nabi saw.
180
Pernyataan di atas adalah perkataan Ummu Habîbah yang diriwayatkan Ibnu Sa’ad dari
Ismâ’îl bin ‘Amr bin Sa’îd Al-Umawî di Thabaqât, j. 8, h. 97-98, Al-Hakim di Al-Mustadrak 4/20-22,
dan Ibnu Zubalah di Al-Muntakhab h. 59-61. Tentang kisah tersebut, Az-Zahabi berkata di Siyaru
A’lam an-Nubalâ’ 2/221, ”Kisah tersebut mungkar.” Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi, Istri-
istriPara Nabi, h. 421-422
181
Tentang jumlah mahar dan siapa yang melangsungkan akad pernikahan, terdapat perbedaan
pendapat. Tentang mahar, ada yang mengatakan dua ratus dinar dan empat ribu dirham, namun
pendapat pertama (empat ratus dirham) lebih kuat. Imam Nawawi menyebut dalam Tahdzîb-nya 2/359,
”Al-Kalabadzi Abû Nashr berkata, ’An-Najasyi memberi mahar kepada Ummu Habîbah sebesar empat
ribu dirham dan mengirimnya kepada Nabi saw bersama Syurahbil bin Hasanah.’ Abû Nu’aim berkata,
‘An-Najasyi memberi mahar Ummu Habîbah sebesar empat ratus dinar’.” A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri
Para Nabi, h. 421
182
Seorang pembesar Muhajirin dari keluarganya, Bani Umayyah. Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-
istri Nabi, h. 228-229, A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421
183
Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât, Al-Baladzri di Ansâb al-Asyrâf, dan Ibnu Katsir di Al-Fushûl,
mengatakan bahwa itu terjadi pada tahun 7 H. Ada yang mengatakan tahun 6 H, namun pendapat
pertama lebih kuat. Al-Baihaqi menyebutkan di Ad-Dalâil 3/462 dari Ibnu Mandah bahwa An-Najasyi
menikahkan Nabi Saw dengan Ummu Habîbah pada tahun 6 H. Itu pula yang dikatakan Abû Ubaidah
di Tasmiyatu Azwâj an-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam, h.64. Itu dinukil Imam Nawâwî di
Tahdzîb-nya 2/359 dari Abû Ubaidah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421
184
Diriwayatkan Thabrânî di Al-Kabîr 23/219 dan Al-Basawi di buku Al-Ma’rifah wa at-Târîkh
3/322. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 422
185
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 231
96
Pada suatu hari ayahnya tiba di Madinah186 dan mendatangi Nabi --yang
ketika hendak duduk di atas kasur Nabi saw, Ummu Habîbah melipat kasur tersebut,
sehingga Abû Sufyân berkata, ”Putriku, apakah engkau lebih mencintai kasur ini dari
pada ayahmu sendiri atau lebih mencintai ayahmu dari pada kasur tersebut?” Ummu
Habîbah menjawab, “Itu kasur Rasûlullâh saw, sedang engkau orang najis dan
musyrik.”188
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ibnu Abbas r. a. bahwa ketika Nabi saw
:
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kalian dengan
orang-orang yang kalian musuhi di antara mereka dan Allah Maha Kuasa dan
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Mumtahanah/60: 7)189
Keutamaannya
Ummu Habîbah mempunyai sifat wara’, hal itu terlihat dari hadits yang
186
sebagai utusan kaum musyrikin untuk memperbaharui perjanjian dengan Nabi Saw karena
mereka melanggar perjanjian Hudaibiyah. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 232.jadi tahun ………..
187
yang kemudian Nabi saw dan kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah. Peristiwa
tersebut dalam sejarah dikenal dengan “Fathu Makkah”. Pada peristiwa itu Abû Sufyân masuk Islam.
188
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 232-233
189
Diriwayatkan Ibnu Sa’ad 8/99 dan Al-Baihaqi di Ad-Dalâil 3/459. As-Sayûthi di Ad-Durr al-
Mantsûr 8/130 mensanadkan hadits di atas kepada Abd. Bin Humaid, Ibnu Al-Munzir, Ibnu ‘Adi, Ibnu
97
Selain itu, Ummu Habîbah juga konsisten dengan hadits Nabi saw,
Mardawaih, Al-Baihaqi, dan Ibnu ‘Asâkir dari jalur Al-Kalbi dari Abû Shâlih dari Ibnu ‘Abbâs r.a.
Baca Târîkh ad-Dimasyqa 1/171. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 422
190
Diriwayatkan al-Hâkim 4/22-23, Ibnu Al-Jauzi di Shifah ash-Shafwah 2/46, dan Ibnu Sa’ad
di Ath-Thabaqât 8/100. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 428-429
98
mimbar: Wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak halal berhias
karena kematian mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya
yaitu selama empat bulan sepuluh hari.’”191
َ
“Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami,
Abû Khâlid yaitu Sulaimân bin Hayyân telah menceritakan kepada kami dari
Dawud bin Abû Hind dari Nu’mân bin Sâlim dari ‘Amr bin Aus berkata:
‘Anbasah bin Abû Sufyân dalam keadaan sakit yang menimbulkan kematiannya
telah menceritakan kepadaku: Saya mendengar Ummu Habîbah berkata, saya
mendengar Rasûlullâh saw bersabda, ’Barang siapa mengerjakan shalat dua
belas raka’at sehari semalam, rumah di surga dibangunkan untuknya karena
shalat-shalat tersebut.’ Ummu Habîbah berkata, ‘Aku tidak meninggalkan
shalat-shalat tersebut semenjak aku mendengarnya dari Rasûlullâh saw.’192
Bâqi’. Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun wafat Ummu Habîbah. Ada
yang mengatakan Ummu Habîbah wafat pada tahun 44 H pada masa kekhalifahan
191
Diriwayatkan Bukhâri di Kitâb Jenâzah, bab ’wanita tidak berhias kepada selain suaminya’,
hadits no. 1280, dan Muslim –redaksi di atas menurutnya—di kitab perceraian, bab ‘kewajiban tidak
berhias bagi wanita yang menjalani ‘iddah kematian’, hadits no. 1486. Ibnu Atsîr di Jâmi‘ al-Ushûl
8/149 mensanadkan hadits di atas ke sisa enam buku hadits. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h.
429
99
Muawiyah bin Abû Sofyan.193 Ada juga yang mengatakan ia wafat satu tahun
sebelum wafatnya Muawiyah pada tahun 59 H.194 Selain itu, ada pendapat yang
Maimunah binti Al-Harits adalah wanita terakhir yang dinikahi Nabi saw.197
Barrah dengan “Maimunah” karena resepsi pernikahan beliau dengan Barrah terjadi
pada waktu yang dipenuhi berkah dan kemenangan, di mana beliau memasuki
Mekkah untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun berselang, dan beliau membawa
Maimunah adalah putri Al-Hârits bin Hazn bin Bujair bin Al-Huzâm bin
Ruwaibah bin ‘Abdullah bin Hilâl bin ‘Âmir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah (bin
192
Diriwayatkan Muslim di ‘Shalatnya para musafir dan qasharnya’, bab ‘Keutamaan shalat-
shalat rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, serta penjelasan tentang shalat-shalat rawatib
tersebut’, hadits no.828. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 429
193
Al-Qurthûbî, Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1845. Hanya pendapat itu yang ada menurut Ibnu Sa’ad di
Thabaqât, j. 8, h. 100. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424
194
Imam An-Nawâwî, Tahdzîb j. 2, h. 359. Namun riwayat di atas dianggap lemah oleh Imam
Nawâwî dan Ibnu Hajar dalam pembahasan biografi Ummu Habîbah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para
Nabi, h. 424
195
Pendapat Ibnu Hibban dan Ibnu Qani’ dalam Al-Ishabah j. 7, h. 654 di pembahasan biografi
Ummu Habîbah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424
196
Imam An-Nawâwî, Tahdzîb, menukil dari Ibnu ‘Asâkir, Tarikh ad-Dimasyqa, menyatakan
bahwa Ummu Habîbah pergi ke Damaskus untuk mengunjungi saudaranya, Muawiyah. Ada yang
mengatakan ia wafat di sana. Yang benar ia wafat di Madinah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi,
h. 424
197
Maksudnya di antara wanita yang beliau gauli. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 462,
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, j. 7, h. 132.
198
Maimunah adalah pecahan kata al-Yumnu yang berarti keberkahan, dan kata al-mainun yang
berarti diberkahi, menurut Imam Nawâwî di Tahdzîb-nya, j. 2, h. 356. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri
Para Nabi, h. 455
100
Bakr) bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Dengan
Ibu Maimunah adalah Hindun binti ‘Auf201 bin Zuhair (bin Al-Hârits) bin
Hamathah bin Himyâr. Ada yang mengatakan bahwa wanita termulia yang pernah
1. Nabi saw
1. Ummu Al-Fadhl Lubabah Al-Kubrâ, istri Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthâlib r.a. Ia
adalah wanita pertama yang beriman kepada Nabi saw setelah Khadîjah r.a.205
199
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268
200
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 455
201
Dalam Tahdzîb, j. 2, h. 356, Imam Nawâwî menyebut nama ibu Maimunah adalah Hindun
binti ‘Amr. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 455
202
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457
203
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266
204
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457
205
Ia adalah wanita bangsawan yang dalam sejarah Islam diterangkan bahwa ia pernah memukul
Abû Lahab ketika Abû Lahab masuk ke rumah adiknya, Al-‘Abbas, dan menyeret budaknya, Abû
101
2. Lubabah As-Shughrâ, istri Walîd bin Mughîrah Al-Makhzûmi dan Ibu Khâlid bin
Wâlid.
3. ‘Ashma’ binti Al-Hârits.206 Ia diperistri Ubay bin Khalaf dan melahirkan Abû
Ubay.207
4. ‘Azzah binti Al-Hârits. Ia diperistri Ziyâd bin ‘Abdullah bin Mâlik Al-Hilâli.
1. Asmâ’ binti ‘Umais. Ia diperistri Ja’far bin Abû Thalib. Dari pernikahannya
dengan Ja’far ia melahirkan Abdullah, Muhammad, dan ‘Aun. Setelah Ja’far bin
Abû Thalib gugur sebagai syahid, Asma’ binti Umais dinikahi Abû Bakar r.a.
dan melahirkan Muhammad bin Abû Bakar. Setelah Abû Bakar wafat, ia dinikahi
Ali bin Abû Thâlib r.a. yang kemudian melahirkan Yahya bin Ali bin Abû Thâlib.
2. Salmâ binti ‘Umais. Ia diperistri Hamzah bin ‘Abdul Muthâlib r.a. dan
melahirkan Amatullâh208 binti Hamzah. Setelah Hamzah bin Abdul Muthâlib r.a.
Rafi’ dan memukulinya hanya karena Abû Rafi’ masuk Islam. Melihat hal itu maka Ummu al-Fadhl
bangkit mengambil kayu yang ada disana lalu kemudian dipukulkan ke kepala Abû Lahab sehingga
menyebabkan luka yang mengkhawatirkan, sambil berkata: “Engkau menganggap dia lemah karena
tuannya tidak ada di sini?” Setelah itu Abû Lahab hidup tujuh hari lagi karena penyakit yang
ditimpakan Allah kepadanya yang menyebabkan kematiannya. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h.
265 mengutip dari Ibnu Hisyam, As-Sîrah, Juz II, h.301
206
Menurut Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât, j. 8, h. 279, Lubabah As-Shughra adalah ‘Ashma’.
Sedang pendapat kedua, yaitu sebagaimana pendapat diatas, adalah menurut Muhammad bin Yusuf ad-
Dimasyqi dalam A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 456
207
Menurut Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi dalam Istri-istri Para Nabi. Sedang menurut
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266, ‘Ashma’ binti Al-Hârits melahirkan Abân.
208
Itu adalah namanya di buku aslinya, menurut Abû ‘Umar di Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h.
1861. Yang benar namanya ialah Umamah menurut Al-Hâfiz Ibnu Hajar di Al-Ishâbah. Al-Khatib
menyebutkan bahwa Al-Wâqidi menamakannya ‘Imârah dan Ibnu As-Sakan menamakannya
Fathimah. Baca Al-Hâfiz Ibnu Hajar, Al-Ishâbah, j. 7, h. 500-501. Ibnu Sa’ad membuat biografi
102
wafat, ia dinikahi Syadad bin Usamah bin Al-Had Al-Laitsi dan melahirkan
3. Salamah binti ‘Umais. Ia diperistri Abdullah bin Ka’ab bin Munabbih Al-
Khats’ami. 209
Empat bersaudara yang terdiri dari Maimunah binti Al-Hârits dan kakaknya,
Ummu Fadhl Lubabah al-Kubrâ binti Al-Hârits serta dua adik se-ibu Maimunah yaitu
Asma’ dan Salma binti Umais dinamai Nabi saw dengan “wanita-wanita bersaudara
yang beriman.”210
Sebelum dinikahi Nabi saw, ia bersuamikan Abû Ruhm bin ‘Abd al-‘Uzza
al-Amîri al-Qurasyi dari Bani Mâlik bin Hisl.211 Sebelumnya Maimunah belum
beragama Islam, namun hatinya telah terpikat kepada Agama Islam. Pada saat Nabi
saw melakukan umrah pengganti212 di tahun 7 H213 ia terpikat kepada Nabi saw dan
menyampaikannya kepada suaminya, ‘Abbas bin Abdul Muthâlib, yang tidak lain
adalah paman Nabi saw. Kemudian Abbas menemui Nabi saw untuk menyampaikan
khusus tentang dia dan menamakannya Umâmah. Ketika Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât j. 8, h. 48 dan
285 membuat biografi tentang ibunya, Salmâ binti Umais, Ibnu Sa’ad menamakannya ‘Imârah.
209
Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 456-457 dan Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri
Nabi, h. 265-266
210
Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 265-266
211
Terdapat perbedaan pendapat mengenai nama suaminya tersebut. Ada yang mengatakan
Farwah bin Abdul ‘Uzza bin Asad bin Ghanm bin Dudan, Lihat Al-Qurthûbî, Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1917,
Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127.
212
Disebut umrah pengganti karena umat Islam gagal melaksanakan umrah pada tahun 6 H
karena dihalang-halangi oleh kaum musyrikin Mekkah, sehingga dilakukanlah umrah pada tahun
berikutnya. Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 263-265
103
hal tersebut, dan Nabi saw menerimanya.214 Dalam suatu riwayat, Maimunah inilah
yang menyerahkan dirinya kepada Nabi saw,215 sebagaimana diterangkan dalam ayat
…
: / …
“ … dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau
Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua
orang mukmin …“ (Q. S. Al-Ahzâb/33: 50)
Maimunah binti Al-Harits menyerahkan dirinya kepada Nabi saw: “Itu karena
lamaran Nabi saw ia terima ketika mengendarai unta, kemudian ia berkata, ’Unta ini
dan apa saja yang ada di atasnya menjadi milik Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian
Saat menikah dengan Nabi, ia adalah janda berumur 26 tahun yang ditinggal
mati suaminya.217 Pernikahannya dengan Nabi terjadi pada tahun 7 H.218 Resepsi
213
Setelah melaksanakan perang Khaibar dan kembalinya kaum Muhajirin dari Habasyah. Bint
Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 263
214
Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457-459
215
Ibnu Hajar berkomentar, ”Ada yang mengatakan bahwa wanita yang menyerahkan dirinya
kepada Rasulullah itu bukan Maimunah binti Al-Hârits. Ada lagi yang mengatakan bahwa wanita yang
menyerahkan dirinya kepada Rasulullah itu banyak, dan itulah pendapat yang paling mendekati
kebenaran. Ibnu Hajar, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 458
216
h. 646
217
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266
218
Menurut kesepakatan ulama. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 462
104
Mengenai kehidupan Maimunah, para ahli sejarah Islam dan para penulis
seputar kecemburuannya terhadap istri Nabi yang lain seperti terhadap ‘Âisyah yang
mendapat kelebihan sebagai istri yang dicintai Nabi saw, dan terhadap Mariyah,
seorang budak yang dianugerahi kemuliaan menjadi ibu dari Ibrahim, putra Nabi
saw.220 Mereka hanya menyebutkan bahwa Nabi saw sedang berada di rumah
Maimunah saat beliau sakit keras. Dalam keadaan sakit yang kemudian membawa
maut kepada beliau, Maimunah dengan segala kerelaannya segera mengizinkan Nabi
untuk dibawa pindah ke rumah yang paling beliau senangi yaitu rumah ‘Âisyah.221
ia senangi, tempat yang penuh kenangan dengan Nabi saw di mana ia mengadakan
pertemuan dan hubungan yang pertama dengan Nabi saw di sana, di tempat kemah
219
atau Saraf menurut Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268. Di tempat ini ia ia mengadakan
pertemuan dan hubungan pertama dengan Nabi. Tempat ini mempunyai kenangan yang indah baginya
sehingga ia berwasiat bila meninggal nanti agar dikuburkan ditempat tersebut.
220
Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268-269
221
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269
222
Mengenai tahun pastinya Al-Waqidi menegaskan di Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 140 yaitu
tahun 61 H. Mengenai hal ini Az-Zahabi berkomentar, “Maimunah binti al-Hârits tidak hidup hingga
tahun tersebut, karena ia wafat sebelum ‘Aisyah.” Itu pula yang dikatakan Al-Hâfiz Ibnu Hajar Al-
‘Atsqalâni di Al-Ishâbah, j. 8, h. 128.
223
Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269
224
A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 463
105
bin Ishâq bahwa Maimunah binti Al-Hârits wafat di perang Harrah pada tahun 63
H.225
Keutamaannya
Allah, Maimunah adalah orang paling takwa di antara kami, dialah yang paling
225
Al-Harrah adalah perbatasan tanah haram Madinah dari arah timur. Di tempat tersebut pernah
terjadi perang yang terkenal antara pasukan Yazîd bin Mu’âwiyah dengan komandan perang Muslim
bin ‘Uqbah Al-Muzânî –generasi salaf menamakannya Musrif bin Uqbah— dengan penduduk
Madinah yaitu para sahabat dan selain mereka. Di perang tersebut, banyak sekali korban yang jatuh
dan Madinah dihalalkan selama tiga hari. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 463
226
Sebagaimana diceritakanYazid bin Aslam. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269
106
33:
----------
Setelah pada ayat-ayat yang lalu Allah swt menerangkan soal perkawinan secara
global, maka pada ayat berikut ini Allah menerangkan wanita-wanita yang boleh
dinikahi oleh Nabi saw secara terperinci. Tafsir UII, jilid VII, juz 21
mukmin. dalam pengertian bahwa jika ada seorang wanita yang menyerahkan dirinya
untuk dinikahi oleh seorang muslim, walaupun wanita tersebut menyerahkan dirinya
secara suka rela, maka mas kawinnya tetap wajib dibayar. Berbeda jika wanita itu
menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Nabi saw, maka ia boleh dinikahi tanpa mas
kawin.
107
Kesimpulan:
Mekkah ke Madinah.
dinikahi oleh beliau tanpa mas kawin, hal ini berlaku khusus untuk Nabi saw
Di h. 95227
227
Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara kaum musyrik Mekkah dengan kaum
muslimin yang terjadi pada tahun………. Adapun isi perjanjian Hudaibiyah itu
adalah………………………
BAB III
pedoman bagi hidup dan kehidupan manusia. Ayat al-Qur’an ada yang turun
berkaitan dengan sebab tertentu. Ayat tersebut ada yang berlaku umum dan ada pula
yang berlaku khusus. Ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan peristiwa di
lingkaran istri-istri Nabi saw, meskipun kasusnya bersifat personal dan insidentil
(pada seorang atau beberapa orang istri Nabi saw), tetapi memiliki implikasi hukum
yang bersifat mengikat kepada seluruh ummat Islam (al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzi lâ bi
khushûsh as-sabab). Dengan demikian kita dapat mengambil hikmah dari setiap ayat
yang turun.
pembawa risalah dan pentingnya dakwah Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Oleh karena itu, Allah swt sangat menghormati Nabi Muhammad saw sebagai
utusannya, termasuk istri-istrinya yang mendapat gelar kehormatan dari Allah sebagai
Ummahât al-Mu’minîn yang mempunyai peranan sangat penting bukan hanya dalam
mendukung dakwah Nabi, Nabi juga sebagai penerus dan penyambung misi Nabi
baik ketika Nabi saw masih hidup maupun setelah wafatnya. Hal ini terbukti di mana
sejarah telah mencatat bahwa para sahabat menjadikan istri-istri Nabi saw sebagai
tempat rujukan ilmu. Demikianlah di antara peran yang dilakukan istri-istri Nabi saw
107
untuk mendukung Nabi saw sehingga agama Islam menjadi tersebar dan menjadi
Oleh karena itu, maka Allah swt dalam beberapa ayat al-Qur’an memberikan
penghormatan kepada para istri Nabi saw sekaligus bimbingan bagi mereka agar
senantiasa benar dalam melangkah karena mereka adalah teladan dan panutan umat
Islam.
istri Nabi saw, dan karena menjadi inspirasi bagi pandangan sistem keagamaan
terhadap perempuan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena istri-istri Nabi
saw disamping beberapa menjadi tokoh penyebab turunnya ayat atau masuk dalam
lintasan topik bahasan ayat, tetapi juga mereka menjadi perpanjangan tangan Nabi
saw dalam bidang-bidang hukum tertentu yang tidak disampaikan Nabi saw secara
adalah pendamping seorang Nabi. Kedudukan suami mereka sebagai Nabi dan utusan
1
Misalnya ‘Âisyah yang menjadi rujukan para sahabat setelah Nabi wafat, ia banyak
mengeluarkan fatwa dan meriwayatkan sebanyak 2.210 hadits dari Nabi. Dari jumlah tersebut 174
buah muttafaq ‘alaih, 64 buah infarada bih al-Bukhârî dan 68 buah infarada bihi al-Muslim. Lihat
Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987), Cet. V, h. 253
108
Allah adalah sebuah kedudukan yang sangat tinggi yang berbeda dari manusia
lainnya. Hal ini menyebabkan kedudukan mereka sebagai istri Nabi tidaklah ringan
tanggung jawab perempuan muslimah biasa. Oleh karena itu pula, istri-istri Nabi saw
terhadap ‘amal mereka, yaitu berlipatgandanya balasan. Bila di antara mereka ada
yang melakukan perbuatan yang keji, maka akan dilipatgandakan hukuman bagi
bahkan mereka akan mendapatkan rezeki yang mulia (surga). Firman Allah:
:
“Dan barang siapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami
memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki
yang mulia.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 31)
Pada ayat 30 Allah swt memperingatkan istri-istri Nabi saw agar selalu
menjaga diri mereka. Karena mereka adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin dan
109
menjadi contoh teladan bagi mereka. Perintah Allah itu ialah : “Barang siapa di antara
istri Nabi saw yang mengerjakan ﻓﺎﺣﺸﺔ, perbuatan keji, perbuatan yang terlarang dan
sebagainya, maka mereka akan memperoleh azab dua kali lipat dari azab yang
diterima orang biasa.” Pemberian azab dua kali lipat kepada istri-istri Nabi saw ini
ialah karena para istri Nabi saw termasuk orang-orang yang telah mengetahui dengan
adalah penjaga rumah tangga Nabi saw dari segala perbuatan yang jahat yang
Kata ﻓﺎﺣﺸﺔsendiri biasa diartikan sebagai perbuatan yang sangat keji. Ulama
berpendapat bahwa jika kata tersebut berbentuk definitive ma’rifah, yakni pada awal
katanya dibubuhi alif dan lam () اﻟﻔﺎﺣﺸﺔ, maka yang dimaksud adalah perzinahan dan
semacamnya. Namun bila tanpa alif dan lam, maka yang dimaksud adalah dosa
secara umum.3
Memang, manusia tidak luput dari dosa. Demikian pula istri-istri Nabi saw.
Allah swt membuka kemungkinan tersebut pada diri mereka. Meskipun demikian,
perlu digarisbawahi bahwa ancaman ayat di atas adalah bila mereka melakukan dosa
yang demikian jelas, bukan dosa yang merupakan hal-hal kecil, apalagi yang tidak
2
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, (T.Tmp: Universitas Islam Indonesia,
1995), h. 757-758
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. I, vol. 11, h. 259
110
jelas. Dosa dimaksud antara lain nusyuz4 yakni bersifat angkuh dan membangkang
menjadikan Nabi saw memisahkan diri dari mereka selama satu bulan atau kira-kira
Dalam sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim serta Imam Tirmidzi
yang diterima dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir, Ibnu Hatim, Ibnu Mardawaih dan
Baihaqy, mereka menerimanya dari ‘Âisyah ra.: “Bahwa Nabi saw mendatanginya
(‘Âisyah ), ketika disuruh Allah untuk menguji dan menyeleksi istri-istrinya. ‘Âisyah
berkata bahwa Nabi saw memulai dari dirinya sambil berkata: “Aku akan
keputusan orang tuamu.” Nabi saw tahu bahwa kedua orang tuaku tidak menyuruhku
4
Lihat foot note no. 69 Bab II
5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Cet. I, vol. 11, h. 259
6
Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan
menurut kesanggupan suami. Khadîm al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 671
111
meninggalkan beliau. Lalu Nabi saw mengemukakan ayat 28 Surah al-Ahzâb sampai
selesai. Setelah itu aku berkata kepadanya: “Dalam hal apa aku harus meminta
keputusan orang tuaku?, karena aku menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta
kebahagian akhirat.” Kemudian istri-istri Nabi saw yang lain mengikuti apa yang aku
lakukan.”7
riwayat Ibnu Said dari Abi Ja’far dengan kandungan yang sama.8 Dalam riwayat Ibnu
Mundzir, Ibnu Abid Hatim dan Ibnu Mardawaih dari ‘Âisyah , dikabarkan Nabi saw
mendatangi ‘Âisyah untuk yang pertama kali sambil mengungkapkan seperti apa
Sementara dalam riwayat lain dari Ibnu Said dari Umar Ibnu Said dari ayah
dan kakeknya meriwayatkan bahwa Nabi saw menyeleksi dan menguji istri-istri
beliau,10 dan semuanya memilih Allah dan Nabi-Nya kecuali Al-‘Amiriyyah ia lebih
tidak memilih Nabi saw dan kemudian ia hilang akal sampai wafatnya.11
7
Jalâl ad-Dîn bin ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr as-Sayûthî, selanjutnya disebut As-Sayûthî,
Ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), juz. 5, h. 371.
8
As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz. 5, h. 371.
9
As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz. 5, h. 371.
10
ketika ayat ini turun, kebanyakan ulama berpendapat bahwa jumlah istri Nabi pada saat itu
ada sembilan orang dari sebelas orang, karena di antara mereka ada yang telah wafat mendahului Nabi,
yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah.
11
al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 182. Meskipun demikian, riwayat tentang al-‘Amîriyah
tidak populer.
112
Munculnya perintah Allah untuk menguji dan menyeleksi istri-istri Nabi saw
tersebut, menurut salah satu riwayat dilatar belakangi oleh keluhan para istri Nabi
saw ketika Nabi saw mendapatkan kemenangan dalam sebuah peperangan dengan
bani Nadzir dan bani Quraidzah. Para istri Nabi saw menyangka Nabi saw
sementara mereka kesempitan. Nabi saw teramat pedih mendengar keluhan istri-
istrinya, kemudian Allah menyuruh membacakan ayat yang berkaitan dengan posisi
terdapat pada dua ayat di atas, menyimpulkan adanya kemungkinan muncul karakter-
karakter alamiah (thabî’iy) pada diri istri-istri Nabi saw, sebagaimana halnya kaum
perempuan biasa. Akan tetapi mereka secara kualitas keagamaan telah teruji sehingga
Nabi saw, dan Nabi saw sendiri melakukan pendekatan-pendekatan dan komunikasi
para istri Nabi saw, dapat dipandang dari dua sisi: pertama, hal yang manusiawi
(basyariah) jika para istri tersebut terkadang tampil dengan karakternya yang umum;
mengeluh, memiliki keinginan dan hasrat, cemburu, iri dan lain sebagainya, karena
mereka adalah manusia biasa, kedua, peristiwa yang berkaitan dengan istri Nabi saw
dan ajaran Islam mengenai kedudukan dan posisi istri-istri Nabi saw yang mulia dan
istimewa. Di antara keistimewaannya itu adalah mereka mendapatkan dua kali lipat
terhadap para istri Nabi saw dengan dua kali lipat azab jika mereka berbuat
fâhisyah,14 mengandung dua hikmah; pertama, perempuan biasa, jika berzina diberi
azab karena zina mengandung kemafsadatan (mafâsid) sementara istri Nabi saw jika
berzina disamping karena mafâsid juga karena dosa menyakiti hati dan perasaan Nabi
menunjukan kepada kemuliaan para istri Nabi saw, karena sebenarnya istri Nabi
dipelihara oleh Allah dari berbuat dosa.15 Jika perempuan merdeka mendapat sangsi
13
Seperti dijelaskan oleh riwayat Abû Hâtim dari Rabî’ Ibnu Anas yang dikutip oleh al-Alûsî
dalam Rûh al-Ma’ânî, penghargaan kelipatan ganjaran yang menjadi hak para istri Nabi, adalah
penghargaan Allah kepada mereka atas kemuliaan dan keutamaan mereka. Penghargaan tersebut
menjadi hak mereka di dunia dan di akhirat serta tidak hanya diberikan ketika Nabi masih hidup tetapi
juga menjadi hak ketika mereka sudah ditinggalkan Nabi (wafat). Ibid., Juz 22, h. 2.
14
Kata fâhisyah atau fawâhisy adalah perbuatan dosa yang dilakukan secara berpasangan antara
laki-laki dan perempuan seperti zina, liwath. Seperti juga dijelaskan as-Sayûthî dalam ad-Durr al-
Mantsûr, j. 5, h. 371.
15
Muhammad Ar-Râzî Fakhruddîn Ibnu al-‘Allâmah Dhiyâuddîn ‘Umar, selanjutnya disebut
ar-Râzî, Tafsir al-Fakhr ar-Râzî/At-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Juz
25, h. 208
114
lebih besar dibanding hamba sahaya, bisa menjadi tanda atas kemuliaannya, demikian
pula para istri Nabi karena penisbahannya kepada beliau mendapatkan status
Pelipatgandaan azab adalah sesuatu yang amat mudah bagi Allah, sekalipun
terhadap istri-istri Nabi bila mereka berbuat dosa. Hal ini dikarenakan status mereka
sebagai istri Nabi, panutan umat, sehingga perbuatan maksiat yang bersumber dari
mereka lebih berbahaya dari pada perbuatan maksiat yang dilakukan oleh orang
biasa.17 Oleh karena itu, celaan orang terhadap orang ‘alim/orang yang mengetahui
yang berbuat maksiat lebih keras dari pada kepada orang bodoh/yang tidak tahu yang
melakukan maksiat.18
tindakan kejahatan yang sama jenisnya, maka hukuman yang akan diterima oleh
orang-orang yang tahu itu lebih berat dari hukuman yang akan diterima oleh orang
yang tidak tahu. Orang yang tahu telah tahu akibat dari sesuatu perbuatan. Jika ia
melakukan perbuatan itu berarti ia melakukan dengan penuh kesadaran, sedang yang
tidak tahu ia mengerjakan tindakan kejahatan itu, tidak berdasarkan kesadaran dalam
arti yang sebenarnya. Karena itu wajiblah orang-orang tahu itu memperoleh hukuman
dua kali lipat dari hukuman yang diperoleh orang yang tidak tahu. 19 Oleh karena itu
maka hukuman bagi istri Nabi berlaku pula bagi orang yang tahu. Orang yang tahu
16
ar-Râzî, Tafsir ar-Râzî, Juz 25, h. 208
17
Ahmad Mushthafâ Al-Marâghî, selanjutnya disebut al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII,
(Beirût: Dâr al-Fikr, 1995), h. 154
18
al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 154
19
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 758
115
memperoleh hukuman dua kali lipat dari hukuman yang diperoleh orang yang tidak
tahu.20
Setelah Allah swt menerangkan pada ayat 30 bahwa azab kepada istri-istri
Nabi akan dilipatgandakan dua kali lipat jika mereka mengerjakan perbuatan keji,
maka pada ayat 31 Allah swt menerangkan tentang berlipatnya pahala yang akan
diberikan kepada mereka. Mekipun demikian, pahala yang akan diberikan oleh Allah
kepada mereka sebanyak dua kali lipat itu berkaitan dengan mesti adanya dua syarat
ketundukan dan rasa hormat mengisyaratkan makna rela dan puas dengan ketetapan
Allah dan Rasul-Nya serta berusaha untuk selalu menjadikan Allah dan Rasul-Nya
rela dan menerima dengan baik amalan-amalan mereka.21 Kata tersebut menunjukan
kualitas moral yang bermuara pada kualitas bathin, yang meliputi kekhusyu’an dan
kewajiban agama seperti sholat, puasa, zakat. Keduanya merupakan hal yang
berbeda.22
Pahala berlipat ganda yang mereka dapatkan karena di dunia mereka diberi
taufik untuk menafkahkan rezeki yang mereka terima di jalan Allah untuk mencapai
keridhaan-Nya disertai perasaan tulus ikhlas. Mereka juga bebas dari segala ketakutan
20
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 758
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260
22
Lihat al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, juz 22, h. 2
116
dan penyesalan.23 Oleh karena itu, pemberian pahala dua kali itu, adalah karena amal
kebaikan mereka dan karena kerelaan mereka hidup bersama Nabi dalam
perempuan-perempuan lain. 24 Selain itu, pemberian pahala dua kali lipat kepada
”Ummahât al Mu’minîn” yaitu Ibu kehormatan dari segenap kaum mu’minin, dan
karena mereka berada di rumah Nabi saw, tempat turun wahyu Illahi, cahaya hikmat
Selain pahala yang berlipat ganda, Allah swt akan memberikan pula rezki
yang mulia bagi istri-istri Nabi yang taat dan melaksanakan amal shalih. Firman
Allah:
:
“Dan barang siapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami
memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki
yang mulia.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 31)
surga.26 Sedangkan al-Marâghî menganggap bahwa rizki yang mulia bukan hanya
23
Al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid VIII, h. 3
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260
25
Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 3
26
Jalâl ad-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû
Bakr as-Suyûthî, selanjutnya disebut Al-Mahalli dan As-Suyûthî, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr al-
Jalâlain, (Semarang: Al-‘Alawiyyah, T.Th), h. 346
117
surga di akhirat tapi juga kemuliaan di dunia karena mereka menjadi pusat perhatian
gembira (tabsyîr) dan penghargaan kepada istri-istri Nabi karena posisi dan
kedudukan mereka sebagai pendamping Nabi saw, setelah pada ayat sebelumnya
mereka diancam dan diingatkan (indzâr) dengan adzab dua kali lipat jika mereka
berbuat dosa.
berbeda dengan perempuan lain, karena memang berbeda dari segi tanggung
27
Al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid VIII, h. 4
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260
118
)
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 32)
dalam Rûh al-Ma’ânî, kata ahad ( ) اﺣﺪpada ayat tersebut bermakna nafy li al-istigrâq
(negasi untuk keseluruhan) baik sedikit ataupun banyak. Artinya kata اﺣﺪtidak
menunjukan kepada seseorang tetapi pada umumnya kaum perempuan, dan tidak
menunjukan kepada penetapan atas satu subjek (itsbât). Sehingga makna ayat tersebut
adalah masing-masing istri Nabi tidak sama dengan perorangan semua perempuan
mereka kepada Nabi. Kedekatan ini menjadikan mereka mendapat bimbingan khusus
yakni kesempatan lebih banyak untuk mengenal Nabi dan meneladani beliau. Di sisi
kedudukan beliau sebagai suami. Menurut Quraish Shihab, walaupun semua istri
Nabi mendapat kehormatan yang sama, namun antar mereka terjadi perbedaan
29
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 4.
119
peringkat, bukan saja akibat kedekatan Nabi kepadanya, tetapi juga akibat
berbedanya pengabdian dan ketakwaan mereka. Istri Nabi yang paling utama adalah
Khadijah yang melahirkan anak-anaknya untuk Nabi (kecuali satu, yaitu putra beliau
Ibrahim30). Khadijah mendampingi beliau saat kritis serta mencurahkan segala yang
istri nabi yang utama adalah ‘‘Âisyah . Beliau adalah satu-satunya gadis yang
satu riwayat bahwa setengah tuntunan agama diperoleh melalui ‘‘Âisyah ra.31
Berdasarkan ayat di atas, ada syarat tertentu sehingga mereka dapat berbeda
dengan perempuan lain, yaitu jika mereka bertakwa, menghindari segala yang
( ان اﺗﻘﯿﺘﻦjika kamu bertakwa), bukanlah isyarat bahwa di antara mereka ada yang
ketakwaan.33
kalimat ِإنِ ا ﱠﺗﻘَﯿْﺘُﻦﱠmengandung dua hal: pertama, kalimat tersebut berkaitan dengan
lain ditentukan oleh ketakwaan mereka, kedua, kalimat tersebut berkaitan dengan
30
Ibrahim adalah putra Nabi dari budak beliau, Mariyah al-Qibtiyyah. Mariyah adalah hadiah
yang diberikan raja Mukaukis untuk beliau.
31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 261-262
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 261
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 262
120
mereka tidak merendahkan suara ketika berbicara dengan lelaki lain yang bukan
menjaga ketakwaan dan kemuliaan mereka itulah maka Allah memberikan aturan-
aturan atau batasan-batasan kepada para istri Nabi saw sehingga akhirnya mereka
tanda perempuan yang bersuami dan menjadi ciri-ciri istimewa para istri Nabi
Oleh karena itu, selain mendapatkan hak istimewa, para istri Nabi saw pun
mempunyai beban dan tanggung jawab, tugas dan kewajiban yang harus mereka
teladan umat.
34
Ar-Râzî, Tafsir ar-Râzî, juz. 25, h. 209
35
Perhatikan penafsiran as-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 373
121
hal utama yang menjadikan mereka istimewa dan memiliki berbagai beban, tanggung
jawab, tugas dan kewajiban, yaitu bahwa rumah tempat tinggal mereka dengan Nabi
saw adalah rumah tempat dibacakan ayat-ayat Allah dan sumber sunnah Nabi yang
merupakan pengajaran Nabi saw kepada ummatnya. Oleh karena itu maka tempat
tinggal mereka dengan Nabi saw –atau rumah Nabi saw-- adalah sekolah kenabian
komunikasi risalah antara tiga kelompok subjek pembelajaran yaitu Allah swt melalui
Jibril sebagai sumber wahyu, Nabi Muhammad sebagai pengemban risalah dan para
sahabat sebagai sasaran risalah. Maka peran istri Nabi di dalam rumah Nabi tersebut
komunikasi eskatologis Nabi, serta yang paling pertama menerima pengajaran dari
Dengan demikian suasana bathin rumah yang ditempati para istri Nabi
Gambaran suasana bathin rumah Nabi beserta para istrinya diungkapkan dengan jelas
36
Dalam tradisi ilmu hadits misalnya, kualitas hadits yang diterima oleh ‘Âisyah menempati
kualitas hadits paling baik, karena bisa dipertanggungjawabkan validitasnya sehubungan Aiysah
dipastikan menerimanya dari tangan pertama, Nabi sendiri.
122
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.” (QS. al-Ahzâb/33: 34).
Ibnu Said meriwayatkan dari Abû Amâmah Ibnu Sahl ra. ketika
mengomentari ayat ini menjelaskan bahwa Nabi saw shalat sunnah di rumah-rumah
istrinya baik pada malam ataupun siang hari. 37 Sementara ‘Abd ar-Razzâq, Ibnu
Sa’îd, Ibnu Jarîr, Ibnu Mundzîr dan Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Qatâdah,
bahwa Nabi saw mengingatkan istri-istrinya tentang apa yang dibacakannya di rumah
masing-masing dari al-Qur’an dan Sunnahnya tentang hal yang wajib dan hal yang
haram. 38
Dalam hal ini, istri-istri Nabi menjadi beruntung karena mengetahui betul
suasana kemu’jizatan al-Qur’an dan bisa ikut terlibat dalam suasana bathin Nabi
esoteris dan eksoteris wahyu, pada saat itu dari tangan pertama. Para istri Nabi
mengetahui betul rahasia dan nilai mendasar dari setiap ajaran syari’at.39 Ia juga
mampu menyaksikan reaksi spontan Nabi dan respon beliau atas berbagai persoalan
yang muncul dari para sahabat atau dari mereka sendiri secara pribadi, atau yang
berkaitan dengan persoalan ummat dan kenabian. Sesuatu yang boleh jadi tidak bisa
37
as-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, Juz 5, h. 379
38
as-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, Juz 5, h. 379. Perhatikan pula al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz
22, h. 20
39
al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 20
40
Para istri Nabi mendapatkan penjelasan dan bacaan dari setiap wahyu yang turun di
rumahnya masing-masing. Lihat al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 21.
123
berlaku untuk menilai kemegahan dan wibawa rumah istri-istri Nabi saw. Karena
sama dengan kewajiban yang dibebankan kepada para suami (kaum laki-laki), tetapi
pada area dan domain yang berbeda. Dengan demikian relasi yang terjalin antara
suami istri baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat, bukanlah
relasi dominatif, dimana yang satu berlaku dominan atas yang lain, tetapi relasi
komplementaritas; relasi untuk saling melengkapi satu sama lain. Relasi tersebut
Kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepada istri-istri Nabi saw,
jika di analisis dalam beberapa ayat Surah al-Ahzâb dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bagian. Pertama, kewajiban berkaitan dengan posisinya sebagai istri, kedua
saw, keluarganya (rumahnya) dan diri mereka sendiri. Kewajiban tersebut berkaitan
fungsi manajerial di dalam rumah. Sebagaimana disinggung oleh Allah dalam ayat 32
Dalam rangka memelihara kehormatan dan kesucian diri para istri Nabi saw,
Allah swt memberikan petunjuk dan pedoman kepada mereka melalui ayat-ayat Al-
Qur’an. Ayat 32 merupakan tuntunan Allah swt kepada mereka menyangkut ucapan,
dilanjutkan dengan bimbingan menyangkut perbuatan dan tingkah laku pada ayat 33.
menyangkut ucapan adalah aturan atau batasan berupa etika berbicara yang meliputi
Menyangkut gaya berbicara, para istri Nabi saw dilarang berbicara dengan
sikap dan suara yang dibuat-buat “ِ“ ﻓَﻠَﺎ َﺗﺨْﻀَ ْﻌﻦَ ﺑِﺎﻟْﻘَﻮْل. Kata ﺗﺨﻀﻌﻦterambil dari kata
ﺧﻀﻮعyang pada mulanya berarti tunduk. Bila dikaitkan dengan ucapan, maka yang
125
dimaksud dengan kata ini adalah merendahkan suara. Perempuan menurut kodratnya
memiliki suara lemah lembut. Atas dasar itu, maka larangan di sini harus dipahami
dalam arti membuat-buat suara lebih lembut lagi melebihi kodrat dan kebiasaannya
kepada lawan bicara yang pada gilirannya dapat menimbulkan hal-hal yang tidak
direstui agama.41 Meskipun demikian, larangan ini tertuju kepada mereka jika
berbicara kepada yang bukan mahram. Adapun jika berbicara di hadapan suami,
kehormatan dan kesucian diri mereka, yaitu adanya keinginan laki-laki asing terhadap
al-Jalâlain ketika menafsirkan kalimat ٌ ﻓَ َﯿﻄْ َﻤﻊَ اﱠﻟﺬِي ﻓِﻲ ﻗَﻠْﺒِﮫِ ﻣَﺮَضadalah perasaan
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 11, h. 262
42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 11, h. 262
43
Khatib ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, Juz 25, h. 209
44
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, vol 11, h. 262, kata ﯾﻄﻤﻊdigunakan
untuk menggambarkan keinginan pada sesuatu yang biasanya akibat dorongan nafsu dengan adanya
keinginan atau niat untuk berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina
45
al-Mahalli dan As-Suyûthi, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr Jalâlain, h. 346
126
senantiasa berkata dengan perkataan yang ma’ruf ()ﻗَﻮْﻟًﺎ ﻣَﻌْﺮُوﻓًﺎ. Kata ﻣﻌﺮوﻓﺎdi sini
dipahami dalam arti yang dikenal oleh kebiasaan masyarakat. Perintah mengucapkan
yang diucapkan serta gaya pembicaraan. Dengan demikian, ini menuntut suara yang
wajar, gerak gerik yang sopan dan kalimat-kalimat yang diucapkan baik, benar dan
meletakan tangan pada bibirnya ketika berkomuniksi dengan orang lain. Hal itu
membatasi diri dalam mentasharrufkan harta, dan menjaga jarak dengan bukan
muhrim adalah butiran-butiran kebaikan bagi perempuan yang sudah bersuami baik
pada jaman Jahiliyyah maupun dalam ajaran Islam. 48 Sebaliknya nada pembicaraan
yang lembut dan erotis apalagi pembicaraan yang porno (rofats) adalah bentuk
Dalam konteks lembaga perkawinan ayat ini berkaitan dengan fiqh al-
46
al-Mahalli dan As-Suyûthi, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr Jalâlain, h. 346
47
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.
48
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.
49
al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.
127
Seorang istri harus memiliki etika dan karakter yang jelas yang menegaskan
perbedaan mereka dengan perempuan yang belum bersuami. Etika dan karakter
tersebut muncul sebagai akibat dari kualitas ketakwaan yang mencerminkan rasa
tanggung jawab terhadap Allah dan terhadap suaminya. Wujud etika tersebut dalam
bentuk rambu-rambu ketika berhubungan dengan orang lain. Pada ayat di atas
muhrim.
perbuatan dan tingkah laku. Dalam ayat ini Allah ingin memastikan bahwa keluarga
dan orang-orang yang berada dalam lingkaran inti kenabian betul-betul menjadi
cermin baik secara moral dan spiritual bagi perubahan sistem kemasyarakatan
Jahiliyyah yang sudah rusak, dan menghindarkan mereka dari kontaminasi kultur
Kata َ– ﻗَﺮْنbegitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far-- terambil dari kata
َ اﻗﺮَرْنiqrarna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara mantap. Ada
juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata ﻗﺮة ﻋﯿﻦyang berarti
sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian, perintah ayat ini berarti: Biarlah
rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan hati kamu. Ini dapat juga
128
mengandung tuntunan untuk berada di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali ada
kepentingan. 50
Banyak ulama membaca ayat di atas dengan kasrah pada huruf qaf yakni
َﻗِ ْﺮن. Ini terambil dari kata ﻗﺮارyakni berada di tempat. Dengan demikian ayat ini
memerintahkan Ummahât al-Mu’minîn sebagai istri-istri Nabi saw itu untuk berada di
tempat yang dalam hal ini adalah rumah-rumah mereka. Sementara itu, Ibnu
wibawa dan hormat. Ini berarti perintah untuk berada di rumah karena hal itu
berkumpul.52 Makna ini menjadi relevan ketika mendudukan istri sebagai ibu rumah
pendidikan serta pengawasan yang lebih maksimal bagi keluarganya. Di samping itu,
makna ini menjadi relevan jika dikaitkan dengan keharusan pergaulan di dalam
terdapat pada surat an-Nisâ ayat 19 sebab keintiman (intimate) tidak mungkin terjalin
50
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263
52
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 6
129
“... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. …” (Q.S. An-Nisâ/4: 19)
istrinya.54 Inilah fungsi khas (orisinil) seorang istri dalam struktur keluarga muslim
(back to home).55 Dengan kalimat tersebut juga menunjukan keharusan seorang istri
tradisi ilmu ushul fiqh, dilâlah al-amr yang terdapat dalam kalimat ( ) ﻗﺮنboleh jadi
dipastikan istri-istri Nabi saw dan perempuan muslim pada umumnya wajib diam di
secara lebih efektif dengan landasan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah)
53
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 7
54
Perhatikan Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 230. Ini menepis pandangan Barat seolah-olah perempuan
muslim dalam keadaan terbelenggu di rumahnya (kolonialisme gender). Yang justeru terjadi adalah
peran aktif perempuan sebagai manajer dalam miniatur masyarakat paling kecil yaitu keluarga.
Mengatur fungsi-fungsi elemen keluarga secara harmonis. Di sini bisa difahami bahwa persamaan laki-
laki dan perempuan dalam Islam tidak bersifat persamaan kuantitatif, tetapi bersifat komplementaris.
Ini berkali-kali diungkapkan oleh Nasr.
55
Gerakan kembali ke rumah (back to home), ke dalam fungsi orisinil kaum perempuan di
keluarga banyak muncul di Barat dan Amerika ketika gerakan emansipasi cenderung mereduksi
struktur keluarga inti (nuclear family) dan menghancurkan sendi-sendi kekeluargaan.
56
Ibnu Abî Hâtim mengeluarkan hadits yang diterimanya dari Ummi Nailah ra. Berkata: “Abû
Barzah datang ke rumah dan dia tidak menemui istrinya. Kemudian orang memberitahu bahwa istrinya
pergi ke mesjid. Tatkala istrinya datang ia berteriak sambil berkata: “Sesungguhnya Allah telah
melarang perempuan untuk ke luar rumah dan Dia menyuruhnya diam di rumahnya masing-masing,
tidak boleh mengantarkan jenazah, tidak boleh pergi ke mesjid dan tidak boleh menghadiri shalat
jum’at. As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 374
130
yang baik.
kesucian diri. Kesucian (‘iffah) seorang perempuan antara lain melalui kebersahajaan
di dalam berpenampilan sesuai dengan tuntutan syari’at.57 Istri Nabi saw sebagaimana
tercantum pada ayat tersebut di atas dilarang mengeksploitasi dirinya untuk konsumsi
Kata وَﻟَﺎ ﺗَﺒَ ﱠﺮﺟْﻦَ ﺗَﺒَﺮﱡجَ ا ْﻟﺠَﺎھِﻠِﯿﱠﺔِ اﻟْﺄُوﻟَﻰ, dalam maknanya yang lebih luas adalah
murah seperti kaum yang tidak terdidik secara etik (jâhiliyyah)58. Perempuan secara
qudraty memiliki daya tarik. 59 Daya tarik tersebut menyebabkan kaum perempuan
rentan terhadap berbagai gangguan dan komersialisasi baik disadari atau tidak. Pesan
al-Qur’an yang ditujukan kepada Istri Nabi untuk tidak eksplosif (tabarruj) secara
fisik, mengandung pesan preventif dan antisipatif agar kaum perempuan muslimin
Menurut Mujahid, Qatada, dan Ibnu Najih yang diterimanya dari Muqatil
57
Lihat Q.S. al-Ahzâb/33 : 59.
58
Menurut Imam al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyyah yang dimaksud Jahiliyyah dalam ayat
tersebut adalah Jahiliyyah sebelum Islam (qabla as-syar’i). Dengan demikian termasuk di dalamnya
tradisi jahiliyyah jaman Nabi Adam, Nuh, Ibrahim dan Musa berupa sifat-sifat kekafiran, kefasiqan
dan penentangan terhadap sya’riat Allah. Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8. Bandingkan pula
dengan ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, juz 25, h. 210, dan as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 375
59
Dalam al-Qur’an Allah menegaskan bahwa manusia (kaum laki-laki) dijadikan untuk tertarik
dan cinta kepada perempuan, harta dan keturunan. Lihat Q.S. ‘Ali Imrân/3: 14.
131
( ) ﺗﺒﺮجtabarruj terambil dari kata ( ) ﺑﺮجbaraja yaitu nampak dan meninggi. Dari
sini kemudian ia dipahami juga dalam arti kejelasan dan keterbukaan karena
demikian itulah keadaan sesuatu yang nampak dan tinggi.61 Termasuk dalam hal ini
tubuhnya, sehingga setiap mata bisa memandang dengan penuh kekaguman dan
dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak dinampakkan oleh perempuan
baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti berdandan secara
mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan
60
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 7. Perhatikan pula as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5,
h. 375
61
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
62
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8
63
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8
64
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8. Perhatikan pula as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz
5, h. 375 dan ar-Râzî, Tafsîr Ar-Râzî, juz 25, h. 210.
132
rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.65 Firman Allah dalam Q.S.
An-Nur/24: 60:
60 24/
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
nilai-nilai ajaran Ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu,
kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu istilah ini secara
berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum Islam, tetapi menunjuk masa yang
ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran Islam, kapan dan dimana pun.66
Ayat di atas menyifati jâhiliyyah tersebut dengan al-ûla, yakni masa lalu.
Bermacam-macam penafsiran tentang masa lalu itu. Ada yang menunjuk masa Nabi
Nuh as., atau sebelum Nabi Ibrahim as. Agaknya yang lebih tepat adalah menyatakan
masa sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad – selama pada
65
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
66
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
67
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
133
kekafiran, kefasikan, dan penentangan terhadap syariat Islam. 68 Di sisi lain, adanya
apa yang dinamai “Jahiliah yang lalu”, mengisyaratkan akan adanya “Jahiliah
kemudian”. Ini tentu setelah masa Nabi Muhammad saw. Masa kini dinilai oleh
Oleh karena itu, seorang perempuan zaman Nabi akan sama dengan dengan
kecantikan mereka kepada kaum lelaki. Kecuali bila yang ditampakkan adalah
sesuatu yang memang biasa tampak, maka itu diperbolehkan dalam Islam.70 Firman
24/
“…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak darinya…”
(back to home), seperti yang digambarkan oleh ayat tersebut kepada istri-istri Nabi
dan dominasi kaum laki-laki, 71 serta kembali kepada ranah dan domainnya yang
hakiki sesuai dengan qudratnya. Ini adalah fungsi emansipatoris kaum perempuan
Oleh sebab itu pada ayat 59 Surah al-Ahzâb Nabi memerintahkan istri-
istrinya, anak-anak perempuan dan seluruh istri kaum mukminin untuk memakai baju
tertutup (jilbab).
33/
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan
isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya72 ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q. S. al-Ahzâb/33 : 59).
Ayat ini menurut Sa’îd bin Manshûr, Ibnu Sa’îd, ‘Abd Ibnu Hamîd, Ibnu
Mundzir dan Ibnu Abî Hâtim diterimanya dari Abû Mâlik, diturunkan ketika istri-istri
Nabi saw keluar pada malam hari untuk menunaikan hajatnya, kemudian segolongan
kaum munafiq mengganggunya, lalu mereka ditegur dan mereka berkata: “Kami
untuk memaki jilbab) agar dapat dibedakan dengan hamba sahaya (‘amat).73
72
Beragam pendapat yang menafsirkan makna jilbab. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya, h.
678, jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Sedangkan dalam CD Holy Qur’an, jilbab adalah sesuatu yang menutupi aurat perempuan.
73
As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 414. Demikian pula riwayat Ibnu Jarîr dari Abû
Shâlih ra. dengan kasus dan makna yang hampir sama. Sementara menurut riwayat Sa’îd dari
Muhammad bin Ka’ab al-Qurdzy ra. Berkata, “Kaum lelaki munafiq sering mengganggu perempuan
muslim sehingga menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka berkata, “Kami mengira mereka
hamba sahaya”. Maka Allah menyuruh kaum perempuan untuk membedakan diri dari hamba sahaya
dengan mengulurkan jilbab mereka yang menutupi wajah mereka kecuali dua buah mata, karena hal itu
akan mudah dikenal untuk membedakannya dari hamba sahaya.
135
dimanapun, oleh sebab itu meskipun ayat ini berlatar belakang kasus yang terbatas
pada Istri Nabi, akan tetapi khitâb dan dilalahnya berlaku untuk semua kaum
dijelaskan oleh ayat tersebut adalah agar mudah dikenal dan tidak diganggu kaum
lelaki. Dengan memakai jilbab kaum perempuan mu’min jelas identitasnya, sehingga
bisa dibedakan dari perempuan bukan mu’min dan dari hamba sahaya (‘amat).75
Walaupun ayat tentang jilbab ini berdimensi kultur Arab lama, dan geografis
Madinah yang serba terbatas, sebagaimana nampak dalam beberapa riwayat yang
mendampinginya.76 Akan tetapi relevansinya sangat abadi baik secara normatif syar’i
ataupun secara etik antropologik. Karena dalam makna generiknya jilbab adalah
pakaian yang serba tertutup yang tentu saja akan menjamin keselamatan privasi
74
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarîr dan Ibnu Abî Hâtim dan Ibnu Abî
Mardawaih diterima dari Ibnu ‘Abbâs ra ketika mengomentari ayat ini berkata, “Allah menyuruh
perempuan mu’minin ketika keluar rumah memenuhi kebutuhannya agar menutupi wajahnya dari atas
kepala dengan jilbab dan hanya menampakkan bagian mata saja. As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz
5, h. 415.
75
Menurut riwayat Abî Hâtim dari Sâdy r.a. mengomentari ayat ini berkata, “Orang-orang fasiq
ahli Madinah ketika malam gelap sering mendatangi jalan-jalan untuk mengganggu perempuan, dan
rumah-rumah penduduk Madinah padat, sehingga kalau malam tiba kaum perempuan keluar untuk
menunaikan kebutuhannya, sehingga diikuti oleh kaum lelaki yang fasiq. Jika mereka melihat
perempuan berjilbab, mereka berkata, “Ini perempuan merdeka, awas jaga”. Dan jika melihat
perempuan tidak pakai jilbab mereka brkata, “Ini amat, lalu mereka mengganggunya”. As-Sayûthî, ad-
Durr al-Mantsûr, Juz 5, h. 416.
76
Nasr, misalnya berpendapat bahwa tidak adil kalau Barat bersekongkol untuk menilai dan
membangun imej bahwa jilbab adalah lambang ketertindasan perempuan muslim. Padahal jilbab
(pakaian tertutup) adalah pakaian kebesaran kaum perempuan yang ada pada semua agama dan
budaya. Lihat Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, h. 235.
136
perempuan yang serba menarik. Sehingga akan tetap terpelihara kesucian dan harga
Kini penulis kembali kepada aspek hukum yang dikandung oleh perintah
ditunjukkan kepada istri-istri Nabi saw. Persoalan yang dibicarakan ulama adalah
perintah tersebut? Al-Qurthubi (w. 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang pakar
tafsir khususnya dalam bidang hukum menulis antara lain: “Makna ayat di atas adalah
perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-
istri Nabi Muhammad saw, tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah
agar perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena
keadaan darurat. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh oleh Ibnu al-‘Arabi
Katsîr sedikit lebih longgar. Menurutnya ayat tersebut merupakan larangan bagi
perempuan untuk keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama,
mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya al-Hijab, ulama ini antara lain
pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan
77
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266
137
kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah
dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu. “Terbaca
keperluan.” Hal serupa dikemukakan oleh tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan
muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni tidak wajib, tetapi
lebih sempurna.79
“Bolehkah mereka bekerja?“ Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al-
Muslimin menulis, dalam bukunya Ma’rakah at-Taqâlid, bahwa: “Ayat itu bukan
berarti bahwa perempuan tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang perempuan
bekerja. Hanya saja Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam
dasar.”80
menjelaskan bahwa: perempuan pada awal jaman Islam pun bekerja, ketika kondisi
78
Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 672; M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266
79
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266-267
80
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
138
menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya
hak mereka untuk bekerja, tetapi masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung
perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan perempuan
tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai
kebutuhannya.81 Sayyid Quthub, menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah
“waqarna fî buyûtikunna, berarti “berat, mantap, dan menetap”. Tetapi, tulisnya lebih
jauh, “Ini bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini
mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu
apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orang tua dan belajar
yang sifatnya fardhu ’ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi hidup karena
menyatakan ayat ini khusus buat istri-istri Nabi, tetapi larangan ber-tabarruj bagi
seluruh perempuan ditemukan dalam ayat yang lain yaitu pada Q.S. An-Nûr: 6084
81
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
82
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
83
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
84
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267
139
Jaminan kesucian istri-istri Nabi dan kemuliaan mereka sebagai istri seorang
Nabi mengantarkan kepada kewajiban dan tanggung jawab kedua bagi mereka yang
bersifat keagamaan. Dalam ayat 33 Surah al-Ahzâb seperti yang sudah dikemukakan
di atas, setelah istri-istri Nabi saw diperintahkan untuk diam di rumah dan membatasi
melaksanakan kewajiban formal agama berupa shalat dan zakat. Kewajiban tersebut
sebagai bentuk pengabdian serta parameter loyalitas kepada Allah dan Rasulnya.
“…dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-
Nya. …” (Q. S. al-Ahzâb/33: 33)
Pada ayat di atas hanya disebutkan dua kewajiban agama yang dibebankan
kepada istri-istri Nabi saw yaitu shalat dan zakat. Hal tersebut dikarenakan keduanya
adalah asas ibadah badaniah dan ibadah mâliyah.85 Selain itu, keduanya menjadi
parameter ketaatan kepada perintah Allah dan kepada Nabi-Nya. Dengan demikian
85
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 5, h. 12
140
istri-istri Nabi saw sebagai anggota masyarakat (kewajiban yang bersifat sosial
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.” (QS. al-Ahzâb: 34).
melalui cara nasihat dan peringatan. 87 Seperti sudah dijelaskan di awal, Ummahât al-
Mu’minîn menjadi saksi dan terlibat dalam situasi serta proses pembentukan risalah.
Sebagian rumah mereka menjadi tempat turunnya wahyu, sehingga merekalah orang
saja menghafal penekananya pada aspek perolehan pengetahuan itu, sedang zikir
86
Ar-Râzî, Tafsîr Ar-Râzî, juz 25, h. 210
87
Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 20
141
yakni mengingat adalah aspek menghadirkannya. Karena itu ada zikir dengan lidah
dan ada dengan hati. Lalu masing-masing bisa akibat lupa dan bisa juga bukan karena
Sedangkan penggunaan bentuk mudhâri‘ (kata kerja masa kini dan datang)
pada kata ﯾُﺘْﻠََﻰ, mengisyaratkan perlunya mengingat dan memelihara apa yang
Kata ﺣﻜﻤﺔ, pada ayat ini diperselisihkan oleh ulama. Ada yang
memahaminya dalam arti sunnah Nabi, ada juga yang memahaminya dalam arti
umum, mencakup segala macam ilmu amaliah dan amal ilmiah. Firman Allah dalam
pesan-pesan dan hukum-hukum agama yang secara khusus terdapat dalam al-
Qur’an.90
88
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
89
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
90
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
142
Ayat ini memerintahkan kepada para istri Nabi agar senantiasa mengingat
dan memelihara ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi bukan hanya untuk diri mereka
sendiri akan tetapi juga untuk kaum muslimin terutama karena mereka menyaksikan
Selain itu, ayat ini berpesan agar memperhatikan apa yang dibaca di rumah-
rumah Nabi tentang petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini Nabi
saw bersabda: “Seorang penghafal al-Qur’an bagaikan pemilik unta, kalau dia
memperhatikan unta itu akan selalu bersamanya dan bila dia melepaskannya ia akan
pergi menjauh” ( HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibnu Umar). Di sisi lain, Allah
Oleh karena itu, kalimat اذﻛﺮن yang muncul dalam bentuk imperatif,
berfungsi ke dalam diri istri-istri Nabi dan keluar kepada masyarakat. Maksudnya
istri-istri Nabi saw berkewajiban untuk mengingat dan tidak boleh melupakan apa
yang dibacakan di hadapan mereka oleh Nabi berupa ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah,
91
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 268
92
Perhatikan komentar Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 20
143
pengajaran ini menjadi sangat penting untuk mendukung dakwah Nabi dan
Meskipun ayat 34 di atas tidak menunjuk siapa yang membaca ayat-ayat itu,
namun yang jelas, Nabi saw membacakannya kepada keluarga beliau. Namun
sebenarnya cakupan makna/obyeknya lebih luas, yaitu kepada ummat Islam. Maka,
umat Islam dituntut untuk membaca atau mendengarkan --melalui apa atau siapapun--
memelihara pesan-pesannya. “Seorang yang tidak ada di dalam dirinya beberapa ayat
al-Qur’an adalah seperti rumah yang hancur.” Demikian sabda Nabi (HR. At-
muka, merupakan bagian dari penghormatan Allah kepada mereka sebagai istri-istri
Nabi.
Sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang hidup serumah dengan Nabi, para istri
untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama. Selain itu, Nabi senantiasa menegur
mereka bila melakukan kesalahan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang
pendamping Nabi. Sehingga, ketika mereka betul-betul insyaf dan sadar akan
kewajiban mereka dan telah mentaati segala ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya,
tersebut bagi mereka tiada lain agar mereka tetap suci, bersih dari segala dosa.
Jaminan Allah ini diberikan sebagai penghargaan atas prestasi mereka karena
memiliki komitmen keagamaan yang tinggi dalam mendampingi Nabi saw. Firman
Allah:
empat hal. Kekotoran berdasar pandangan agama, akal, tabiat manusia, atau ketiga
hal tersebut sekaligus. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan
agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran dari segi syara’,
meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan
145
keringat yang melekat adalah kotoran dalam pandangan tabiat manusia. Sedang
bangkai adalah kotoran dalam pandangan agama, akal dan tabiat manusia.94
Meskipun secara tekstual ayat ini sedang membahas Istri-istri Nabi, ulama
berbeda pendapat tentang siapa saja yang dicakup oleh Ahl al-Bait pada ayat ini.
Kata اﻟﺒﯿﺖsendiri secara harfiah berarti rumah, yaitu rumah tempat tinggal istri-istri
Nabi Muhammad saw. Rumah itu beliau bangun berdampingan atau menyatu dengan
masjid, yang terdiri dari sembilan kamar yang sangat sederhana95 sesuai dengan
dalamnya, bahkan merekalah yang pertama dituju oleh konteks ayat ini. Sebagian
ulama memperluas dengan memahami kata al-Bait dalam arti Baitullah al-Haram
sehingga Ahl al-Bait adalah penduduk Mekah yang bertakwa. Namun pendapat ini
jelas keluar dari konteks pembicaraan ayat. Meskipun demikian, dari sisi lain, tidak
dapat juga dikatakan bahwa Ahl al-Bait hanya istri-istri Nabi saw saja. Hal ini
dikarenakan redaksi ayat yang digunakan sebagai mitra bicara dalam konteks uraian
untuk pria bersama perempuan. Ayat tersebut tidak menggunakan istilah ﻟﯿﺬھﺐ ﻋﻨﻜﻦ
(yang digunakan terhadap mitra bicara perempuan), tetapi redaksi yang digunakan
adalah ﻟﯿﺬھﺐ ﻋﻨﻜﻢdalam bentuk mudzakkar. Ini berarti ahl al-Bait bukan hanya istri-
94
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264
95
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263-264
146
istri Nabi tetapi mencakup pula sekian banyak pria. Pandangan ini didukung oleh
riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini ini turun di rumah istri Nabi saw, Ummu
Salamah. Ketika itu Nabi saw memanggil Fâthimah, putri beliau bersama suaminya
yakni ‘Ali bin Abî Thâlib dan kedua putra mereka (cucu Nabi saw) yakni al-Hasan
dan al-Husain. Nabi saw menyelubungi mereka dengan kerudung sambil berdoa: “Ya
Allah mereka itulah Ahl Baitku, bersihkanlah mereka dari dosa dan sucikanlah
mereka sesuci-sucinya.” Ummu Salamah yang melihat peristiwa ini berkata: “Aku
ingin bergabung ke dalam kerudung itu, tetapi Nabi saw mencegahku sambil
dalam kerudung itu, bukan karena beliau bukan ahl al-Bait, tetapi karena yang masuk
di kerudung itu adalah yang didoakan Nabi saw secara khusus, sedang Ummu
Salamah sudah termasuk sejak awal dalam kelompok Ahl al-Bait melalui konteks
ayat ini. Atas dasar ini ulama-ulama salaf berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah
adalah seluruh istri Nabi saw bersama Fathimah, ‘Ali bin Abî Thâlib serta al-Hasan
dan al-Husain. 97
96
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 265.
97
Ulama Syi’ah kenamaan, Thabathaba’i membatasi pengertian Ahl al-Bait pada ayat ini
hanya terbatas pada lima orang yang masuk dalam kerudung itu, yaitu Nabi Muhammad saw, ‘Ali bin
Thâlib, Fâthimah az-Zahra’ serta al-Hasan dan al-Husain. Sedang pembersihan mereka dari dosa dan
penyucian mereka dipahaminya dalam arti ‘ishmat yakni keterpeliharaan mereka dari perbuatan dosa.
Bahkan Imâm Mâlik dan Abû Hanîfah berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah semua anggota keluarga
Nabi Muhammad saw yang bergaris keturunan sampai kepada Hâsyim yaitu ayah kakek Nabi saw,
putra ‘Abdullah, putra ‘Abdul Muthâlib, putra Hâsyim. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,
vol. 11, h. 265-266
147
Selain itu, ketika Allah memindahkan khitab ayat (iltifât)98 dari jama’
mudzakar mukhâtab ( )اﻧﺘﻢpada saat membicarakan tentang jaminan yang akan Allah
berikan kepada istri-istri Nabi saw (berupa kesucian diri dan keluarga) menarik untuk
dianalisis. Hal ini menunjukan keistimewaan seorang istri yang shaleh (melalui
gambaran istri-istri Nabi) yang akan memberikan implikasi yang sangat luas bagi
dhamîr ( ) اﻧﺘﻦ. Artinya seorang istri yang shaleh tidak hanya memberi manfaat bagi
semua istrinya, turun ayat yang melarang Nabi saw untuk menambah atau mengganti
98
Perpindahan khitâb (subjek atau objek) ayat sering terjadi dalam Al-Qur’an, untuk
menjelaskan dan memberi tanda adanya perhatian dan dilalah khusus pada ayat. Dalam ilmu balaghah
ini di sebut iltifât.
99
Menurut pandangan ar-Râzî, Allah meninggalkan dhamîr muannats dan menggantinya
dengan dhamîr mudzakar agar mencakup kepada seluruh ahl al-bait baik perempuan atau laki-lakinya,
masuk pada orang yang mendapat jaminan Allah. Ar-Râzî, Tafsîr Ar-Râzî, juz 25, h. 210
148
Ketika itu Nabi saw memiliki sembilan orang istri.100 Mereka semua telah
menjadi Ummahât al-Mu’minîn, dan semua telah rela memilih Allah dan Rasul-Nya
walau hidup dalam kesederhanaan. Di sisi lain, Nabi saw pun menikahi mereka atas
pertimbangan kemaslahatan dakwah atau pemeliharaan kaum lemah. Atas dasar itu,
mereka, dan dalam saat yang sama beliau tidak lagi diperkenankan menikahi wanita
lain, tidak juga menceraikan mereka lalu mengganti salah seorang di antara mereka
Larangan mengganti istri-istri Nabi yang telah ada dengan istri-istri yang lain
()وﻻان ﺗﺒﺪل ﺑﮭﻦ ﻣﻦ اْزواج, dipahami oleh sementara orang sebagai larangan
mempertukarkan istri antar dua orang suami. Al- Qurthubi mengemukakan pendapat
sementara ulama serta riwayat dari ad-Dâraquthni bahwa Abû Hurairah ra.
menyatakan bahwa pada masa Jahiliah pergantian tersebut adalah dengan ucapan
seorang suami kepada pria lain: “Tukarkanlah istrimu kepadaku dan aku pun
ayat ini. Pendapat yang disinggung oleh al-Qurthubi dan ditampiknya ini, sungguh
tidak tepat karena cara hubungan seperti ini sama sekali tidak dikenal pada masa
100
dua orang telah lebih dahulu wafat, Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah.
101
Demikian lebih kurang pendapat Sayyid Quthub, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,
Vol. 11, h. 299-300, h. 306
149
jahiliah. Lebih buruk lagi pendapat itu, jika dikatakan larangan tersebut ditujukan
kepada Nabi. Sungguh jauh dari kesopanan siapa pun yang berpendapat demikian.102
Larangan Allah kepada Nabi untuk menikah lagi atau mengganti istri-istrinya
yang ada dengan wanita lain adalah karena Allah bermaksud hendak memelihara
Nabi,103 demi kebaikan Nabi sebagai pemimpin umat serta kebaikan para istri Nabi
sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang telah rela memilih hidup bersama Nabi dalam
Mereka juga menjadi contoh dan teladan bagi kaum muslimah dalam kesetiaan
dasarnya mempunyai dampak tertentu dari segi hukum. Karena istri-istri Nabi
menjadi ibu dari orang-orang yang beriman, maka mereka mempunyai kedudukan
seperti ibu dari orang-orang yang beriman, orang-orang yang beriman harus
102
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 307
103
sesuai dengan makna kata رﻗﯿﺒﺎ, yang akar katanya terdiri dari huruf-huruf ra’, qaf dan ba’.
Makna dasarnya adalah tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu. Pengawas adalah raqîb, karena
Dia tampil memperhatikan dan mengawasi untuk memelihara yang diawasi. Allah yang bersifat Raqîb,
adalah Dia yang mengawasi, atau yang menyaksikan, atau mengamati dari saat ke saat, makhluk-Nya.
Demikian tiga makna yang dikemukakan al-Qurthubi. Allah Raqîb terhadap segala sesuatu,
mengawasi, menyaksikan dan mengamati segala yang dilihat dengan pandangan–Nya, segala yang
didengar dengan pendengaran-Nya, serta segala yang wujud dengan ilmu-Nya. Perlu pula ditambahkan
bahwa pengawasan ini, bukan bertujuan mencari kesalahan atau menjerumuskan yang diawasi, tetapi
justru sebaliknya. Ayat-ayat al-Qur’an yang menampilkan sifat Allah ini, memberi kesan pengawasan
yang mengandung makna pemeliharaan, demi kebaikan yang diawasi, sejalan dengan makna
kebahasaan yang dikemukakan di atas. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 307-
308
104
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 308
150
sendiri, yaitu harus menghormati Ummahât al-Mu’minîn dan tidak boleh menikah
melahirkan mereka. Keharaman menikahi istri-istri Nabi saw ini berdasarkan ayat:
“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabiullah dan tidak (pula)
menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya
perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33:
53)
Menurut al-Qurthubi larangan mengawini istri Nabi saw pada ayat di atas
meninggal, maka saya akan mengawini istrinya.” Riwayat lain menyatakan bahwa
yang mengucapkan adalah seorang mu’min. Ketika ayat ini turun akhirnya dia
menyumbangkan sepuluh unta untuk jihad fi sabilillah dan melaksanakan ibadah haji
ringan setelah meninggalnya Nabi saw. Selain berdosa, ada alasan lain mengapa istri-
105
mengenai istri Nabi yang akan dinikahi, menurut riwayat Ibnu Abî Hâtim dari Ibnu Zaid dan
as-Suddi adalah ‘Âisyah. Sedangkan orang mu’min yang berniat menikahinya, menurut riwayat Ibnu
Abî Hâtim dari Ibnu ‘Abbâs dan as-Suddi adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah. Lihat K. H. Q. Shaleh dan
H. A. A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl, Edisi Kedua, (Bandung: Diponegoro, 2003), Cet. 10, h. 440-441
151
istri Nabi tersebut haram dinikahi. Syekh Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi106
Nabi Muhammad adalah utusan Allah swt yang membawa kabar gembira
kepada manusia yang beriman akan adanya pahala bagi mereka yang beramal sholeh.
Selain itu, Nabi juga memberikan peringatan kepada umat manusia akan adanya
balasan berupa siksa dan azab bagi manusia yang mengingkari ajaran yang
dibawanya. Oleh karena itu, agar manusia mendapatkan pahala dan terhindar dari
dosa sehingga dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat, Nabi Muhammad diutus
untuk memberikan petunjuk mengenai jalan yang mesti ditempuh manusia. Petunjuk
itu berupa ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnahnya. Sebagai seorang Nabi yang
menghormati Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Allah swt mengatur umat manusia
106
Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 295
107
Maka apabila istri-istri Nabi yang merupakan Ummahât al-Mu’minîn tidak menikah lagi,
otomatis mereka akan menjadi penghuni surga sebagaimana suami mereka, Nabi saw.
152
dengan aturan pergaulan terutama dalam menghadapi Nabi dan rumah tangganya
khalayak ramai.
Ada dua hal pokok yang dikandung ayat ini, pertama, menyangkut etika
menyangkut hijab –yang berkaitan dengan etika berhubungan dengan para istri Nabi.
153
Dalam hal yang pertama, menurut sahabat Nabi, Anas bin Malik, ayat ini
turun ketika Nabi melangsungkan pernikahannya dengan Zainab Binti Jahsy. Ketika
itu Nabi menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka makan,
sebagai undangan. Namun setelah mereka makan, sebagian undangan –dalam riwayat
ini dikatakan tiga orang– masih tetap duduk berbincang-bincang. Nabi saw masuk ke
kamar ‘‘Âisyah lalu keluar, dengan harapan para tamu masih tinggal itu telah pulang,
tetapi belum juga, maka beliau masuk lagi ke kamar istri yang lain, demikian
seterusnya, silih berganti masuk dan keluar ke kamar-kamar semua istri beliau.
Akhirnya mereka keluar juga setelah sekian lama Nabi saw menanti. Anas Ibnu Malik
yang menuturkan kisah ini berkata: “Maka aku menyampaikan hal tersebut kepada
Nabi saw maka beliau masuk. Aku pun ketika itu akan masuk tetapi telah dipasang
Dalam riwayat lain sahabat Nabi saw Anas Ibnu Malik menyatakan bahwa
Sayyidina Umar ra. mengusulkan kepada Nabi saw, “Wahai Nabi, orang baik dan
Ummahât al-Mu’minîn (istri-istri Nabi) memasang hijâb?” Maka turunlah ayat ini
terjadinya undangan Nabi merayakan perkawinan beliau dengan Zainab ra. itu.109
108
HR. Bukhari melalui Anas Ibnu Malik. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,Vol. 11, h.
309-310
109
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,Vol. 11, h. 310
154
Dari ayat ini, ada beberapa aturan kesopanan (etika) yang dijelaskan dalam
di dalamnya :
a. Orang yang beriman dilarang memasuki rumah-rumah Nabi saw kecuali setelah
mendapatkan izin dari beliau ( َﻟَﺎ َﺗ ْﺪﺧُﻠُﻮا ﺑُﯿُﻮتَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ إِﻟﱠﺎ َأنْ ﯾُ ْﺆذَنَ ﻟَﻜُﻢْ إِﻟَﻰ ﻃَﻌَﺎمٍ ﻏَﯿْﺮَ ﻧَﺎﻇِﺮِﯾﻦ
)إِﻧَﺎه. Meskipun redaksi ayat ini menunjukkan adanya undangan untuk makan,
akan tetapi dalam prakteknya, sebelum dan sesudah ayat ini turun, sahabat Nabi
yang datang --baik untuk makan ataupun selainnya— tetap setelah mendapat
b. Bila mendapat undangan makan dari Nabi, hendaknya mereka datang setelah
mengetahui masakan yang disiapkan oleh Nabi dan istri-istrinya sudah siap,
sehingga mereka tidak lama menunggu sampai masaknya makanan yang akan
dihidangkan untuk mereka. Bila makanan belum siap dan mereka masih sibuk
keluarga Nabi saw, dan karena bilamana istri Nabi saw sedang bekerja akan
terlihat sebagian anggota tubuhnya yang tidak boleh terlihat oleh para tamu
c. Hendaknya segera keluar/pulang apabila mereka telah selesai makan tanpa asyik
Nabi saw (tuan rumah), padahal beliau sendiri merasa malu untuk menyuruh
tamu keluar.110
2. menyangkut hijab –yang berkaitan dengan etika berhubungan dengan para istri
Nabi, seorang mu’min apabila ada suatu keperluan --untuk meminta sesuatu,
meminjam sesuatu barang, atau lain sebagainya ke rumah istri-istri Nabi saw,
hendaknya melakukannya dari belakang tabir dan tidak boleh berhadapan secara
langsung. Ditetapkan aturan yang demikian karena hal tersebut lebih mensucikan
hati kedua belah pihak dan tidak pula menyakiti hati Nabi saw. Aturan tentang
tabir ini kemudian menjadikan ayat ini dikenal dengan sebutan ayat hijâb.
110
Dari kandungan ayat ini pula disimpulkan bahwa menghadiri undangan sifatnya sunnah,
meminta izin sifatnya wajib, dan berlama-lama sehingga mengganngu hukumnya haram. M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 311
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tentang istri-istri Nabi saw dalam al-Qur’an dapat diambil
yaitu Azwâj an-Nabiy dan Nisâ an-Nabiy. Pada lafaz Azwâj an-Nabiy, hukum
yang berlaku hanya bagi istri-istri Nabi yang mendapat gelar Ummahât al-
Mu’minîn. Sedang pada Nisâ an-Nabiy, meskipun ayat tersebut turun berkaitan
dengan istri-istri Nabi, akan tetapi ayat tersebut dapat berlaku umum ma’nanya
2. Istri-istri Nabi yang dinikahi beliau secara sah dan sudah digauli adalah Khadîjah
binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, ‘Âisyah binti Abû Bakar ash-Shiddîq,
Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb, Ummu Salamah, Juwairiyah binti al-Hârits
bin Abû Dhirar, Zainab binti Jahsy, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Habîbah
binti Abû Sufyân bin Harb, Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, Maimunah binti
diberikan oleh Allah swt, yaitu Ummahât al-Mu’minîn. Gelar tersebut berasal dari
beriman. Meskipun demikian, ibu di sini bukan berarti ibu yang melahirkan,
Mereka disebut ibu karena kedudukan mereka bagi orang yang beriman adalah
seperti kedudukan ibu kandung yang melahirkan dalam hal kewajiban dihormati
dan dimuliakan, dan haram dinikahi (hubungan mahram). Sedangkan dalam hal
yang lain, seperti hubungan waris mewarisi, hukum melihat auratnya atau
berkhalwat dengan mereka, sama hukumnya dengan wanita lain yang tidak ada
hubungan mahram.
balasan yang berlipat ganda dan rezeki yang mulia (surga), kedudukan yang tidak
sama dengan wanita lain, dan rumahnya adalah tempat dibacakan wahyu Allah
keutamaan, mereka juga mempunyai beberapa kewajiban serta hak sebagai istri
Nabi dan teladan umat. Kewajiban mereka adalah memelihara kehormatan dan
dibolehkan menikah lagi setelah menikahi mereka, mereka haram dinikahi orang
158
lain setelah Nabi saw wafat, dan adanya etika tertentu yang harus dipegang oleh
kaum mu’minin apabila bergaul dengan istri-istri Nabi dalam rumah kenabian.
para pendamping Nabi saw dalam menjalankan misi risalah dan dakwah Islam.
Selain itu, mereka adalah wanita pilihan yang telah rela memilih keridhoan Allah
B. Saran-saran
tokoh atau teladan dalam perilaku sehari-hari. Istri-istri Nabi saw yang mendapat
2. Meskipun ayat-ayat yang disebut dalam tesis ini merupakan ayat yang berkaitan
langsung dengan istri-istri Nabi saw baik sebab turunnya ataupun khithabnya,
namun hendaknya ayat-ayat tersebut tetap dijadikan pedoman bagi umat Islam
pada umumnya dan kaum wanita pada khususnya. Karena ayat-ayat Al-Qur’an
merupakan petunjuk, rahmat dan penawar bagi orang yang beriman. Terutama
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Hâdi, Ahmad, Al-Umm fi al-Qur’ân al-Karîm, terjemah Bahasa Indonesia Al-
Qur’an Berbicara Tentang Ibu oleh Abdul Aziz Salim Basyarahil, Jakarta:
Gema Insani Press, 2001, Cet. IV
Ahmad, KH. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996
Al-Alûsî, Abû al-Fadhl Syihâbuddîn as-Sayyid Mahmûd, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Adzîm wa as-Sab’ al-Matsânî, Beirut: Ihya at-Turâts al-‘Arabî, t.th.
Al-‘Asqalânî, Syihâb ad-Dîn Abû al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali Bin Hajar, Al-Ishâbah fî
Tamyîz ash-Shahâbah, Beirut: Dar Shâdir, T. Th., j. 4
Badr, Abdullah Abu as-Su’ud, Tafsîr Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah Radhiya Allâhu
‘anhu, alih bahasa M. Syamsuddin PT, Jakarta: Darul Falah, 1996
Bin Ishaq, M. Yasar, Sirah Ibnu Ishaq Sejarah Nabi Tertua, Buku ke-1, Dewi
Candraningrum, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002
Al-Biqâ‘î, Burhân al-Dîn Abû al-Hasan Ibrahîm bin ‘Umar, Nazm al-Durâr fî
Tanâsub al-Âyât wa as-Suwâr, Juz VI, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995,
Cet. I
Al-Bukhârî, Abû ‘Abdillah Muhammad bin Ismâ‘îl bin Ibrâhîm Ibnu al-Mughîrah bin
Bardizbah al-Jâfî, Shahîh al-Bukhârî, Indonesia: Dâr Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah,1981
Dayyab, Hifni Bek, et al., Qawâ‘id al-Lughah al-‘Arabiyah, alih bahasa Prof. Drs. H.
Chatibul Umam, et al., Jakarta: Darul Ulum Press, 1991
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, Cet. IV
Ibnu Dhiyâ’ ad-Dîn ‘Umar, Muhammad Ar-Râzi Fakhr ad-Dîn, Tafsîr al-Fakhr ar-
Râzi/At-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtîh al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985, Cet. III
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi,
Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1994, Cet. III
Ibnu ‘Arabî, Abû Bakr Muhammad bin ‘Abd al-Lâh, Ahkâm al-Qur’ân, Beirût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, Cet. I
Ibnu Hisyam, Abû Muhammad ‘Abdul Mâlik, As-Sîrah an-Nabawiyah, Beirût: Dâr
al-Jail, Tth.
Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Semarang: Toha Putra, tth
Ibnu Malik al-Andalusy, Syekh Muhammad bin Abdullah, Matan Alfiyah, alih bahasa
H. Moch. Anwar, Bandung: Al-Ma’arif, 1988
Mustafit, Ahmad Khoiron, Inner Beauty Istri-istri Nabi Muhammad saw, (Jakarta:
Qultum Media, 2004), Cet. 1, h.93
Keraf, Dr. Gorys, Komposisi: Sebuah Kemahiran Bahasa, Ttmp: Nusa Indah
Yayasan Kanisius, 1980, Cet. VI
Al-Mahalli, Jalâl ad-Dîn Muhammad bin Ahmad dan Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân
bin Abû Bakr as-Suyûthî, Tafsir al-Jalâlain, Semarang: Al-‘Alawiyyah, T.Th
162
Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII dan VIII, Beirût: Dâr al-
Fikr, 1995
Al-Munawar, Prof. Dr. H. Said Agil Husin, M. A., Al-Quran membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, Editor Abdul Halim, Jakarta: Ciputat Press, 2002, h. 230
Mustafit, Ahmad Khoiron, Inner Beauty Istri-istri Nabi Muhammad saw, Jakarta:
Qultum Media, 2004, Cet. 1
Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk
Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003
Al-Qurthûbî, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Barr, Al-
Istî’âb fî Ma’rifah al-Ashhâb, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995, cet. 1,
juz. 4
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, terjemahan Bahasa Indonesia Tema-
tema Pokok al-Qur’an oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996, Cet. 2
Razwy, Sayid A. A., Khadijatul Kubra, A Short Story of Her Life, New York: Tahrike
Tarsile Qur’an, 1992, terjemah Bahasa Indonesia Menapak Jalan Suci Sang
Putri Mekah: Sejarah Khadijah al-Kubra, Istri Rasulullah SAW oleh Mustofa
Budi Santoso, Jakarta: Lentera, 2002, Cet. I
Ar-Rifa’I, M. Nasib, Taysîr al-‘Aliy al-Qadîr Likhtishari Tafsîr Ibn Katsîr, Riyadh:
Maktabah Ma‘ârif, 1989, Terjemahan Bahasa Indonesia Kemudahan Dari
Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin, Jilid III, Jakarta: Gema
Insani Press, 2000, Cet. II
163
As-Sayûthî, Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr, Ad-Durr al-Mantsûr fî at-
Tafsîr al-Ma’tsûr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990, Cet. I
As-Shauwaf, Muhammad Mahmud, Istri-istri Nabi yang Suci dan Hikmahnya, alih
bahasa A. Aziz Arief, Padang: Angkasa Raya, 1992
Shihab, Dr. M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1995
Team Tafsir Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII dan
VIII, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 1995
Usman, Ali, Partisipasi Keluarga Rasulullah SAW dalam Merubah Sosial Budaya
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Cet. 1
Yusuf, Amru, Istri Rasulullah Contoh dan Teladan, Jakarta: Gema Insani Press,
2001