You are on page 1of 7
BEBERAPA HAL TENTANG KAJIAN SEJARAH SOSIAL-EKONOMI INDONESIA: SEBUAH SURVAI Soe gzizate Padme) 1. Pengantar ampai dengan awal kemerdekaan In- Seren buku-buku tentang sejarah Indonesia pada umumnya ditulis oleh penulis bangsa Belanda (misalnya karya Eijkman dan Stapel, 1933; Fruin-Mees, 1922). Para penulis karya tersebut pada umumnya berpandangan Neerlando-sen- tis. Oleh karena itu, uraian yang dihasilkan adalah semata-mata menceritakan petua- langan bangsa Eropa, khususnya bangsa Belanda, di dunia Timur. Sangat sedikit ce- rita tentang bangsa Timur dijumpai dalam karya tersebut. Apabila ada cerita tentang bangsa Timur itu, hal itu karena keterlibat- annya dengan kepentingan bangsa Eropa, baik sebagai pembantu yang baik maupun musuh mereka dalam berpetualang. Na- mun, satu karya monumental yang lain dari tema yang lazim pada waktu itu ialah karya Van Leur (1955), yang menempatkan pe- ranan_penting masyarakat pedagang di Asia Tenggara dalam kegiatan ekonomi se- jak sebelum kedatangan bangsa Eropa. Di samping karya bangsa Belanda yang Neerlando-sentris, ada karya tradisional be- tupa babad, tambo, atau hikayat. Berbeda dengan karya bangsa Belanda, karya tra- disional ini berisi kisah pergantian tahta, pe- rebutan kekuasaan, dan kepahlawanan. Oleh karena itu, kisah-kisahnya berkisar pa- da masalah politik dan hampir tidak ada ce- rita tentang rakyat kebanyakan (misalnya Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Hikayat Reje-Reja Pasai). Meskipun demi- Kian, penulis Indonesia telah mulai melaku- kan tinjauan kritis terhadap karya tradisional tersebut sebagaimana dilakukan oleh Hu- sein Djajadiningrat (1950). Karya Van Leur dan Husein Djajadining- rat tersebut, menurut hemat penulis, me- rupakan tonggak penting bagi proses ber- kembangnya gagasan penulisan sejarah dari dalam atau from within. Sebagaimana terlihat sejak dasawarsa 1960-an, karya se- jarah sosial-ekonomis muncul dan berkem- bang dengan pesat, seperti akan dibicara- kan nanti. Dalam makalah ini dibicarakan proses munculnya penulisan sejarah sosial- ekonomis di Indonesia serta beberapa di- ‘mensi yang berkaitan dengan hal itu, misal- nya, aspek teoretis serta kemungkinan me- ngembangkan kajian sejarah sosial-ekono- mi pada masa depan, 2. Perkembangan Kajian Sejarah Indonesia Sejak 1950-an Pada masa awal kemerdekaan Indone- sia, kajian sejarah Indonesia masa mutakhir cenderung didominasikan oleh penulis yang menekankan tema poiifik dan kebudayaan. Dirasa perlu untuk menerangkan perkem- bangan pada masa kolonial yang mendasa- ti beberapa kejadian penting yang dialami oleh bangsa Indonesia yang baru saja mer- deka. Oleh karena itu, karya peneliti seperti Kahin (1952) tentang nasionalisme, Benda (1958) tentang Islam, serta McVey (1965) tentang komunisme berusaha dengan cara yang berbeda-beda memberikan latar bela- kang pada pemahaman kita terhadap ke- kuatan politik utama di Indonesia pada ku- Tun 1950-1965, Karya semacam itu adalah perlu dan beberapa di antaranya ditulis de- gan baik. Akan tetapi, dengan menekan- kan kegiatan politik di tingkat nasional dan iat untuk mencakup wilayah secara nasi- onal serta kurun waktu yang sedemikian * Makalah disispkan untuk disampsikan pada diskusi yang disclenggarakan Keluarga Fakultas Pendidikan Im Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dalam rangka kegiatan hari Kebangkitan Nasional, Selasa, 25 Mei 1993, Humaniora No. 10 Januari~ Apri 1999 Soegijanlo Padme panjang, penulis tersebut (serta penulis se- tupa lainnya) cenderung untuk memfokus- kan pada kisah beberapa tokoh, yang mem- punyai peranan terpenting dalam gerakan. Karya tersebut tidak banyak menceritakan massa rakyat atau tentang perubahan yang terjadi pada tingkat lokal atau daerah Usaha untuk menyoroti lebih banyak pa- da lapisan masyarakat tingkat bawah dan membawa mereka ke panggung sejarah Indonesia telah dilakukan oleh Sartono (1966) dalam karyanya tentang pemberon- takan petani di Banten dan keresahan agra- ris di pedesaan Jawa (1973), serta dalam karya Benda dan Lance Castle (1969) ten- tang gerakan orang Samin. Karya tentang pemberontakan petani ini merupakan sum- bangan penting pada historiografi Indonesia karena buku tersebut menjembatani jurang antara sejarah umum atau sejarah politik dan sejarah lokal yang bercorak sosial-eko- nomi yang mulai muncul pada awal dasa- warsa 1970-an, Sekitar tiga dasawarsa yang lalu satu di- mensi baru mulai terbuka di Indonesia da- lam kajian ilmu-iimu sosial ketika sekelom- pok sejarawan dan ilmuwan sosial melaksa- nakan penelitian tentang sejarah sosial- ‘ekonomi di beberapa daerah di indonesia. Misainya, Onghokham (1975) dengan kar- yanya tentang Madiun, Elson (1984) ten- tang Pasuruan, Kuntowijoyo (1980) tentang Madura, Fernando (1982) tentang Cirebon, serta Roger Knight (1983) tentang Peka- Jongan, Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia juga membawa pemahaman kita yang lebih baik terhadap masyarakat pede- saan. Fokus perhatian pada kajian sejarah serta studi sosial-ekonomi tentang Indone- sia sungguh merupakan suatu perkem- bangan yang melegakan. Studi yang ter- akhir itu memusatkan perhatiannya pada peranan massa rakyat dalam proses sosial- ‘ekonomis yang terjadi pada tingkat bawah. Peranan pihak luar yang penting hanya di- bicarakan tidak semata-mata demi kepen- tingan mereka, namun sepanjang keber- adaan mereka berkaitan dengan kepenting- an masyarakat pedesaan yang sedang di- teliti Dengan fokus perhatian yang semakin dekat dengan masyarakat pedesaan, seja- rah sosial-ekonomi di tingkat lokal menjadi semakin atraktif serta semakin terbuka di- sebabkan, antara lain, karena semakin ter- bukanya sumber arsip, terutama di Arsip Nasional Republik Indonesia. Dokumen yang bisa diperoleh di sana meliputi berba- gai aspek sejarah sosial-ekonomi suatu wi- layah karesidenan tertentu. Lebih dari itu, beberapa kesimpulan atau asumsi yang di- peroleh pada jenis kajian sejarah politik sebelumnya sekarang dipertanyakan oleh temuan sejarawan sosial-ekonomi. Sudah barang tentu, pluralitas sosial-budaya ma- syarakat Indonesia serta kondisi geografis maupun pengalaman sejarah yang berbeda memainkan peranan penting dalam menen- tukan respons masyarakat setempat terha- dap tekanan dan campur tangan tertentu. Hal itu terlihat misalnya dalam karya Frede- tick (1978) tentang Surabaya dan karya O'Malley (1977) tentang Yogyakarta dan Sumatra Timur pada masa Depressi 1930- an, yang menunjukkan bahwa jalan yang di- ambil kaum nasionalis di daerah tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi se- tempat dan pribadi tertentu daripada yang digambarkan dalam karya_konvensional. Demikian pula, teori Geertz Involusi Agraria (1963), setelah berhasil menciptakan pe- ngaruh sedemikian besar kepada para pe- nelii selama beberapa tahun, telah diperta- nyakan pada berbagai aspek oleh penulis yang melakukan penelitian secara cermat di berbagai daerah, terutama Elson (1982) tentang industri gula di Pasuruan, Kuntowi- joyo (1980) tentang perubahan sosial di Madura, dan Fernando (1982) tentang ta- naman kopi di Karesidenan Cirebon. 3. Ekonomi Perkebunan di Tengah- tengah Kajian Sejarah Sosial Ekonomi Membicarakan sejarah_sosial-ekonomi di Indonesia pada hemat penulis tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan tentang eko- nomi perkebunan. Politik ekonomi pemerin- tah kolonial selama abad XIX dan XX yang bergeser dari politik dagang ke politik pro- duksi telah menyeret penduduk pribumi da- lam tata ekonomi dunia. Dalam proses ter- sebut, penduduk pribumi yang memiliki ta- nah dan tenaga kerja dipadukan dengan modal dan keterampilan yang dibawa oleh bangsa Eropa. Interaksi antara faktor terse- but _mewarai dinamika perkembangan yang terjadi pada sejarah sosial-ekonomi di Indonesia, Tidak bisa dibantah bahwa industri per- kebunan besar telah memainkan peranan penting dalam perekonomian di Hindia pa- da kurun 1830-1940, suatu periode ketika perubahan penting terjadi dalam hal pola 10 Humaniora No. 10 Januari - Apni 1999 Scegijanto Psdmo tanam, metode organisasi produksi, dan lo- kasi kebun. Bahkan, istilah plantation (yang digunakan secara bergantian dengan istilah estate) telah berubah secara drastis antara pertengahan abad XIX dan pertengahan abad XX, baik dalam hal iuasan areal ta- nam (yang semula hanya sekitar 50-150 bau menjadi ribuan hektar untuk kebun ka- ret di Sumatra Timur) dan struktur organisa- si, yang semula merupakan perusahaan perseorangan atau keluarga menjadi orga- nisasi raksasa seperi HVA, Deli Mij. atau NV. Klattensche Cultuur-Maatschapy Boeke (1948: 79) memberikan definisi perkebunan sebagai “suatu kompleks per- usahaan, unit-unit teknis, yang seringkali di- lengkapi dengan petugas administratif dan ekspor". [a sebenarnya hanya memberikan definisi perkebunan semata-mata dari segi teknis dan efisiensi organisasi, tanpa me- nyebutkan tentang ketersediaan tenaga kerja atau kaitannya dengan masyarakat di sekitarnya, Boeka semata-mata melihat perkebunan sebagai lembaga yang tidak ada hubungan dengan masyarakat sekitar- nya, atau suatu lembaga yang sama sekali terpisah atau enclave perusahaan yang du- alistis, yang dibangun terasing dari pede- ‘saan sekitarnya. Situasi semacam itu tidak dijumpai di perkebunan tembakau Vorsten- landen di daerah Yogyakarta dan Surakar- ta, ataupun perkebunan tembakau cerutu di Besuki. Hal serupa terbukti di perkebunan tebu yaitu bahwa adahubungan yang erat antara pabrik gula dengan desa sekitarnya Sistem Tanam Paksa (STP) lazim di- anggap sebagai awal dari sisten perkebun- an yang dikembangkan bangsa Belanda. Meskipun STP beroperasi dengan sistem perkebunan hanya pada tanaman tebu, sa- ma sekali tidak dilaksanakan pada pengu- sahaan tanaman penting seperti kopi. Di bawah STP, produksi gula menandai per- mulaan perkembangan pola baru dari peru- sahaan perkebunan dengan skala luas. Ka- rena perkebunan tebu dan pabrik gula me- rupakan suatu bentuk produski skala besar yang berdasarkan pada mesin besar dan biaya tinggi, hal ini melibatkan pengusaaan tanah luas dan tenaga kerja yang banyak oleh pabrik gula. Setelah 1870, ciri serupa bisa disaksikan pada perusahaan swasta Belanda (atau perusahan swasta asing lain- nya) yang mengusahaan tanaman temba- kau, karet, teh, dan pada derajat tertentu Kopi, Pengusahaan indigo dan kopi pada STP, tidak dilaksanakan dalam bentuk per- kebunan, namun lebih merupakan suatu ta- naman wajib yang harus diusahakan oleh penduduk dengan pengawasan pegawai Belanda. Pengusahaan tanaman kopi pada STP tidak berbeda dengan Preanger stelsel pada abad XVIII, kecuali pengawasan oleh ‘opziener menjadi lebih ketat setelah 1830. Akan tetapi, kegiatan tersebut lebih meru- pakan tugas bupati, wedono, dan demang yang mengorganisasi pengusahaannya dan bukan pejabat Belanda, perusahaan terten- tu, atau perkebunan. Kopi diproduksi dalam kebun skala kecil yang dimiliki dan diusaha- kan oleh petani, bukan oleh pengusaha Be- landa. Kebun kopi ini berbeda dengan pe- Ngusahaan perkebunan skala besar yang diterapkan pada peekebunan tebu dan tem- bakau pada masa kemudian. Meskipun de- mikian, justru tanaman kopilah, bukan gula, yang menghasilkan pemasukan uang de- ngan jumlah besar bagi keuangan negara penjajah pada masa awal STP. Hanya sete- lah 1850-1860-an gula mulai menggantikan kopi sebagai sumber pemasukan negara yang utama. Pelaksanaan STP pada indigo tidak berhasil dalam menjadikan sumber pemasukan bagi negara, demikian pula ta- naman teh dan tembakau (Fasseur, 1986: 119-120), Dari beberapa tanaman yang diusaha- kan dalam STP, kopi bukanlah tanaman baru, sedangkan tanaman lain seperti tem- bakau, tebu, dan indigo bukanlah tanaman baru di beberapa daerah meskipun di bebe- rapa daerah lain adalah tanaman asing bagi petani. Tanaman tersebut diusahakan teru- tama di tanah petani milik petani atau di tanah yang disebut tanah partikelir. Kopi di- usahakan di tanah yang terletak di lereng bukit atau di pekarangan milik petani di ba- wah perintah penguasa setempat serta di bawah pengawasan pegawai Belanda. Pa- brik gula biasanya mengadakan kontrak dengan petani untuk menanam tebu, untuk diserahkan kepada pabrik gula yang didiri- kan oleh kontraktor Belanda. Ketika pengu- saha tembakau swasta muncul pada 1850- an di Besuki, mereka menyewa tanah pada penguasa loka! (atau kepada penguasa di Batavia), tetapi mereka tetap mengandal- kan pada petani untuk mengusahakan tem- bakau. Di daerah kerajaan, sistem apanage memberikan kesempatan pekebun untuk memperoleh tanah dan tenaga kerja lewat kontrak dengan penguasa lokal (apanage houder). ‘Humaniora No. 10.Januart. Aor 1999

You might also like