You are on page 1of 157

1

POSITIVE DEVIA
VIANCE STATUS GIZI DAN KESEHAT
ATAN ANAK
BALITA DAN FA
FAKTOR PENENTUNYA DI PEMUKIMIMAN KUMUH
MA
MANGGARAI, JAKARTA SELATAN

RELINA KUSUMAWARDHANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


DEP
F
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
2

ABSTRACT
RELINA KUSUMAWARDHANI. Positive deviance nutritional status and health of
children under five years and the determinants in slum area Manggarai, Jakarta
Selatan. Supervised by CLARA M. KUSHARTO and DADANG SUKANDAR

Positive deviance has been used to describe the performance (regarding


health, growth, and development) of certain children with other children in the
same community and the family. The study aimed to analyze the determinants of
positive deviance nutritional status and health of children under five years in slum
area in Manggarai, Jakarta Selatan. The design of this study was a cross
sectional study. Total sample of this study was 41 children. The study showed
that there was no relation between maternal characteristics (age and education)
with nutritional status and health status of children (r=0.302, p>0.05), but there
was relation between nutritional status of mother (BMI) with nutritional status of
children (r=0.302, p<0.05). Nutritional knowledge was related with nutritional
behavior (r=0.315, p<0.05) and behavior of healthy life (r=0.530, p<0.05).
Poverty, nutritional knowledge, nutritional attitudes, and nutritional behavior
weren’t related with nutritional status. However, behavior of healthy life was
positively and significantly related with nutritional status (r=0.330, p<0.05) and
health status (r=0.381,p<0.05). Environmental sanitation wasn’t related with
health status. No relationship exist between health status with nutritional status.
The conclusion was that mother with good behavior of healthy life may improve
children’s health and nutritional status.

Keywords: positive deviance, nutritional status, health status, slum area.


3

RINGKASAN

RELINA KUSUMAWARDHANI. Positive Deviance Status Gizi dan Kesehatan


Anak Balita dan Faktor Penentunya di Pemukiman Kumuh Manggarai, Jakarta
Selatan. Dibimbing Oleh CLARA M. KUSHARTO dan DADANG SUKANDAR.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor penentu
positive deviance status gizi dan kesehatan anak balita di pemukiman kumuh
Manggarai, Jakarta. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1)
mengidentifikasi karakteristik anak balita; 2) mengidentifikasi status gizi dan
status kesehatan anak balita; 3) mengidentifikasi karakteristik keluarga balita; 4)
mengidentifikasi pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan PHBS ibu; 5)
mengidentifikasi positive deviance pada pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku
gizi, dan PHBS; 6) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan status
gizi dan status kesehatan anak balita; 7) menganalisis hubungan pengetahuan
gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan PHBS ibu dengan status gizi dan status
kesehatan.
Penelitian ini merupakan bagian dari data baseline pada kajian “Studi
Ketahanan Pangan dan Coping Mechanism Rumah Tangga di Daerah Kumuh”
yang dilakukan Departemen Gizi Masyarakat dan Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor bekerjasama
dengan DIKTI Kemendiknas. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross
sectional study. Lokasi penelitian dilaksanakan di Manggarai, Jakarta Selatan,
yang dilakukan pada bulan April hingga Oktober 2012.
Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang tinggal di
pemukiman kumuh di Manggarai. Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita
dengan responden adalah ibu contoh. Besar contoh diperoleh dengan
menggunakan formula Cochran (1982) dan diperoleh sebanyak 100 contoh.
Namun berdasarkan kriteria inklusi yaitu rumah tangga yan memiliki anak balita
dan responden bersedia diwawancarai, sehingga contoh yang digunakan dalam
penelitian ini hanya 41 contoh.
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer dikumpulkan dengan metode wawancara dengan menggunakan
kuesioner dan observasi secara langsung. Data primer meliputi karakteristik anak
balita, karakteristik keluarga balita, data antropometri anak balita, riwayat
penyakit anak balita, pengetahuan gizi ibu, sikap gizi ibu, perilaku gizi ibu, dan
PHBS ibu, kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan sumber air. Data sekunder
berupa karkteristik tempat penelitian dan keadaan umum wilayah yang diperoleh
dari data dasar profil desa. Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis.
Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2007 meliputi coding, entry,
editing, cleaning, dan analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS for
Windows versi 16.0. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif, korelasi
Spearman, dan korelasi Pearso.
Sebagian besar anak balita berjenis kelamin perempuan (51.2%).
Sebagian besar anak balita berumur antara 24-35 bulan (43.9%). Sebagian
besar rumah tangga merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota ≤4 yaitu
dengan proporsi 63.4%. Baik umur ayah maupun umur ibu, sebagian besar
berada pada umur antara 20-40 tahun. Tingkat pendidikan orangtua masih
tergolong rendah. Sebagian besar pendidikan ayah yaitu SD dengan proporsi
sebesar 40.0%, begitu pula dengan pendidikan ibu yang sebagian besar adalah
SD (41.5%). Pekerjaan ayah sebagian besar bekerja dibidang jasa (25%)
contohnya bekerja sebagai tukang ojek, sedangkan sebagian besar ibu berstatus
4

sebagai ibu rumah tangga (85.4%). Rata-rata pendapatan per kapita anggota
keluarga anak balita adalah Rp 533.388,00 dengan standar deviasi adalah Rp
294.027,00. Apabila dibandingkan dengan GK Jakarta 2012 yaitu sebesar Rp
379.052, maka sebagian besar (61%) responden termasuk keluarga tidak miskin
dengan pendapatan perkapita anggota rumah tangga ≥Rp 379.052.
Berdasarkan indeks BB/U ternyata di daerah pemukiman kumuh status
gizi anak balita sebagian besar tergolong dalam kategori gizi baik. Begitu pula
berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, sebagian besar status gizi anak balita
tergolong normal. Sebagian besar anak balita (61.0%) pernah mengalami sakit,
namun masih terdapat sebanyak 39.0% anak balita tidak mengalami sakit
selama dua minggu terakhir. Jenis penyakit yang sering dialami anak balita
adalah batuk (46.3%). Sebagian besar anak balita menderita sakit selama 1-3
hari. Frekuensi sakit anak balita selama dua minggu terakhir yaitu pada frekuensi
1 kali. Skor status kesehatan diperoleh dari hasil perkalian antara lama sakit
dalam hari dengan frekuensi penyakit pada setiap jenis penyakit. skor kesehatan
anak balita sebagian besar berada pada kategori tinggi (73.2%).
Sebagian besar responden memiliki pengetahuan gizi sedang dengan
proporsi 58.5%. Sikap gizi yang dimiliki ibu berada dalam kategori sedang
sebanyak 41.5%. Sebagian besar perilaku gizi ibu yang memiliki anak balita
berada dalam kategori sedang (43.9%). Secara umum perilaku hidup bersih dan
sehat ibu yang memiliki anak balita sebagian besar tergolong sedang (41.5%).
Sebagian besar sanitasi lingkungan rumah tangga masih tergolong rendah.
Sebagian besar responden (70.7%) menggunakan air galon untuk minum,
sedangkan untuk masak sebanyak 63.4% responden menggunakan air
sumur/mata air. Sumber air yang digunakan untuk mandi dan mencuci, sebagian
besar responden (97.6%) menggunakan sumber air sumur/mata air.
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
berhubungan signifikan dengan perilaku gizi (r=0.315, p<0.05) dan PHBS
(r=0.530, p<0.05). Karakteristik ibu yaitu pendidikan dan umur tidak berhubungan
dengan status gizi dan status kesehatan. Berdasarkan analisis Pearson terdapat
hubungan antara status gizi ibu (IMT) dengan status gizi anak (r=0.302, p<0.05).
Tingkat kemiskinan, pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi tidak
berhubungan dengan status gizi. Namun PHBS berhubungan positif dan
signifikan dengan status gizi terhadap indikator BB/U (r=0.330, p<0.05) dan
BB/TB (r= 0.317, p<0.05) serta berhubungan dengan status kesehatan
(r=0.381,p<0.05). Sanitasi lingkungan tidak berhubungan dengan status
kesehatan. Status kesehatan tidak berhubungan signifikan dengan status gizi.
5

POSITIVE DEVIANCE STATUS GIZI DAN KESEHATAN ANAK


BALITA DAN FAKTOR PENENTUNYA DI PEMUKIMAN KUMUH
MANGGARAI, JAKARTA SELATAN

RELINA KUSUMAWARDHANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

D E P AR T E M E N G I Z I M AS Y A R AK A T
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
6

Judul : Positive Deviance Status Gizi dan Kesehatan Anak Balita dan
Faktor Penentunya di Pemukiman Kumuh Manggarai, Jakarta
Selatan
Nama : Relina Kusumawardhani
NIM : I14104011

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. drh. Clara M Kusharto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc
NIP. 19510719 198403 2 001 NIP.19590725 198609 1 001

Mengetahui :
Ketua
Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS.


NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus:
i

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul “Positive Deviance Status Gizi
dan Kesehatan Anak Balita dan Faktor Penentunya di Pemukiman Kumuh
Manggarai, Jakarta Selatan” dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan
syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu
Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. drh. Clara M Kusharto, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar,
M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah senantiasa sabar
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi.
2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen
penguji yang telah memberikan kritikan dan masukan terhadap penyusunan
skripsi.
3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen akademik yang telah memberikan
arahan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan.
4. Departemen Gizi Masyarakat, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen,
dan DIKTI Kemendiknas atas bantuan penelitian yang telah diberikan
kepada penulis.
5. Kedua orang tua yang terkasih, atas doa yang selalu dipanjatkan untuk
keberhasilan penulis. Semoga ini menjadi persembahan terbaik.
6. Kakak dan adik tersayang yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan
semangat dengan penuh kasih sayang.
7. Keluarga besar Rd.Priyo Hartono yang senantiasa memberikan doa,
dukungan dan semangat.
8. Muhamad Reza Saputra yang telah memberikan banyak warna dalam hidup
selama 3 tahun terakhir.
9. Erni, Stacey, dan Resita yang telah menjadi sahabat yang selalu
mendengarkan keluh dan kesah penulis selama masa perkuliahan dan
selama penyusunan skripsi.
10. Mba Wi, Evi, Rachmat, Mba Rian, Mba Iin, Mba Okta, Riza, Adel, Erpan, dan
Zaenal yang selalu kompak dan solid selama turun lapang.
ii

11. Mba Rian dan Mas Aris yang telah membantu penulis dalam penyusunan
skripsi.
12. Teman-teman kostan Cibanteng, Amel, Ririd, Puspa, Riana, Suri, Tya, Kiki,
dan Diena yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan doa di saat-
saat terakhir.
13. Teman-teman seperjuangan alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatan ke-4.
14. Seluruh teman-teman dan pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan dan doa kepada Penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan
serta keterbatasan dalam penyusunannya. Akhir kata, besar harapan penulis
semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis
pribadi dan semua pihak pada umumnya. Penulis juga berharap agar skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua.

Bogor, Januari 2013

Penulis
iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 06 Januari 1989. Penulis


merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Koesworo
Redjo, S.Sos dan Ibu Sri Maschoti. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SD Duren Jaya I, Bekasi. Penulis melanjutkan pendidikan ke
SMP Negeri 2 Bekasi dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA di tempuh di
SMA Tunas Jakasampurna, Bekasi dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang
sama penulis diterima sebagai mahasiswa pada Diploma III Program Keahlian
Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur USMI. Penulis pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di RS
Harapan Kita Jakarta selama 4 bulan dari Oktober-Januari 2007 dan lulus
sebagai ahli madya pada tahun 2007.
Penulis melanjutkan strata 1 pada tahun yang sama setelah lulus sebagai
ahli madya. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di
Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif dalam
kepanitiaan sebagai PHD (Publikasi, Humas, dan Dokumentasi) pada Seminar
Gizi dan Pangan Nasional Food and Nutrition For Fresh, Fit, Active and Health
(FITFESTIVAL). Pada tahun 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi
(KKP) pada bulan Juni-Agustus di Desa Pandansari, Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah.
iv

DAFTAR ISI

Halaman
PRAKATA ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
PENDAHULUAN.............................................................................................. 10
Latar belakang ............................................................................................. 10
Tujuan .......................................................................................................... 11
Tujuan Umum ........................................................................................... 11
Tujuan Khusus.......................................................................................... 12
Hipotesis ...................................................................................................... 12
Kegunaan Penelitian .................................................................................... 12
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 13
Anak Balita ................................................................................................... 13
Jenis Kelamin ........................................................................................... 13
Umur ........................................................................................................ 13
Berat Badan ............................................................................................. 14
Karakteristik Keluarga .................................................................................. 14
Besar Keluarga ......................................................................................... 14
Umur Orangtua ......................................................................................... 14
Pendidikan Orangtua ................................................................................ 15
Pekerjaan Orangtua.................................................................................. 15
Pendapatan dan Pengeluaran Orangtua................................................... 15
Status Gizi.................................................................................................... 16
Status Kesehatan Anak Balita ...................................................................... 17
Pengetahuan Gizi......................................................................................... 18
Sikap Gizi ..................................................................................................... 19
Perilaku Gizi ................................................................................................. 19
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ..................................................... 20
Positive Deviance......................................................................................... 22
Sanitasi Lingkungan ..................................................................................... 23
Sanitasi Air ............................................................................................... 24
Sanitasi Lingkungan Perumahan .............................................................. 25
Pembuangan Limbah Manusia ................................................................. 26
Pembuangan Sampah Air Limbah Rumah Tangga ................................... 26
Pemukiman Kumuh ...................................................................................... 26
v

Kemiskinan .................................................................................................. 27
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................ 29
METODE PENELITIAN.................................................................................... 32
Desain, Tempat, dan Waktu ......................................................................... 32
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh............................................................. 32
Jenis dan Cara Pengambilan Data ............................................................... 33
Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 34
Definisi Operasional ..................................................................................... 38
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 40
Keadaan Umum Manggarai.......................................................................... 40
Karakteristik Anak Balita .............................................................................. 41
Status Gizi Anak Balita ................................................................................. 42
Status Kesehatan ......................................................................................... 43
Karakteristik Keluarga Balita ........................................................................ 46
Besar Keluarga ......................................................................................... 46
Umur Orangtua ......................................................................................... 47
Pendidikan Orangtua ................................................................................ 47
Pekerjaan Orangtua.................................................................................. 48
Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga ................................................... 49
Pengetahuan Gizi Ibu ................................................................................... 50
Sikap Gizi Ibu ............................................................................................... 50
Perilaku Gizi Ibu ........................................................................................... 51
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Ibu ............................................................ 51
Sanitasi Lingkungan ..................................................................................... 52
Sumber Air ................................................................................................... 54
Positive Deviance......................................................................................... 54
Hubungan Antar Variabel ............................................................................. 59
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Perilaku Gizi .................................. 59
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan PHBS ............................................ 60
Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi ................................. 61
Hubungan tingkat kemiskinan dengan status gizi balita ............................ 62
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Status Gizi ..................................... 64
Hubungan Sikap Gizi dengan Status Gizi ................................................. 65
Hubungan Perilaku Gizi dengan Status Gizi Anak Balita .......................... 66
Hubungan PHBS dengan Status Gizi Anak Balita..................................... 67
vi

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Kesehatan .................... 68


Hubungan PBHS dengan Status Kesehatan ............................................. 69
Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Status Kesehatan....................... 69
Hubungan Status Kesehatan dengan Status Gizi ..................................... 70
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 71
Kesimpulan .................................................................................................. 71
Saran ........................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 73
LAMPIRAN ...................................................................................................... 76
vii

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis dan cara pengumpulan data .............................................................. 33
2 Kalsifikasi status gizi berdasarkan Depkes RI 2010 .................................... 35
3 Pengkategorian variable penelitian ............................................................. 36
4 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dan umur .......................... 41
5 Sebaran status gizi anak balita (BB/U) berdasarkan jenis kelamin .............. 42
6 Sebaran status gizi anak balita (TB/U) berdasarkan jenis kelamin .............. 43
7 Sebaran status gizi anak balita (BB/TB) berdasarkan jenis kelamin ............ 43
8 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan .................................... 44
9 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit ......................................... 44
10 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit (hari) ..................................... 45
11 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit ........................................ 45
12 Sebaran anak balita berdasarkan skor kesehatan ...................................... 45
13 Sebaran anak balita yang sakit berdasarkan tindakan pengobatan............. 46
14 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga ....................................... 46
15 Sebaran orangtua berdasarkan umur ......................................................... 47
16 Sebaran orangtua berdasarkan pendidikan ................................................ 48
17 Sebaran orangtua berdasarkan pekerjaan .................................................. 48
18 Sebaran responden berdasarkan pendapatan keluarga.............................. 49
19 Sebaran responden berdasarkan pengeluaran pangan .............................. 49
20 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi .................................... 50
21 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi ................................................ 50
22 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi ............................................ 51
23 Sebaran responden berdasarkan PHBS ..................................................... 52
24 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah .................................. 53
25 Sebaran responden berdasarkan sanitasi lingkungan ................................. 54
26 Sebaran responden berdasarkan sumber air .............................................. 54
27 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi .................................... 55
28 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi ibu........................................... 56
29 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi ibu ...................................... 57
30 Sebaran responden berdasarkan PHBS ibu ............................................... 58
31 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dengan perilaku gizi .......... 59
32 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan PHBS ......................... 60
33 Sebaran responden menurut karakteristik ibu dan status gizi ..................... 61
34 Sebaranresponden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi .................. 62
35 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi ................ 63
36 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi ................ 63
37 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan status gizi ................... 64
38 Sebaran responden menurut sikap gizi dan status gizi ............................... 65
39 Sebaran responden menurut perilaku gizi dan status gizi ........................... 66
40 Sebaran responden menurut PHBS dan status gizi .................................... 67
41 Sebaran responden menurut karakteristik dengan status kesehatan .......... 68
42 Sebaran responden menurut PHBS dan status kesehatan ........................ 69
43 Sebaran responden menurut sanitasi lingkungan dan status kesehatan ..... 70
viii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran faktor-faktor penentu positive deviance status gizi
dan status kesehatan pada anak balita di pemukiman kumuh Manggarai
Jakarta ........................................................................................................ 31
2 Peta Administrasi Wilayah Manggarai ......................................................... 40
3 Kawasan bantaran sungai……………………………………………………… 77
4 Kawasan bantaran sungai........................................................................... 777
5 Anak balita di pemukiman kumuh……………………………………………… 77
6 MCK di pemukiman kumuh ......................................................................... 77
7 MCK di pemukiman kumuh………………………………………………………. 77
8 Saluran pembuangan limbah ...................................................................... 77
9 Kondisi rumah…………………………………………………………………… . 77
10 Kepadatan rumah penduduk ....................................................................... 77
ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Dokumentasi wilayah Manggarai .................................................................. 767
2 Hasil uji statistik ............................................................................................ 78
10

PENDAHULUAN

Latar belakang
Pembangunan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
setiap warga negaranya yang tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber
daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan (SDM). Upaya peningkatan
kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ukuran
kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat
pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakatnya (Bappenas 2007).
Kualitas fisik penduduk dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk.
Kesehatan merupakan aspek yang sangat menentukan dalam membangun
unsur manusia agar memiliki kualitas seperti yang diharapkan, mampu bersaing
di era yang penuh tantangan saat ini maupun masa yang akan datang. Indikator
derajat kesehatan penduduk yaitu angka kematian bayi dan angka harapan
hidup.
Gambaran masalah kesehatan anak di Indonesia ditandai dengan masih
tingginya angka kejadian penyakit dan gangguan gizi yang disertai dengan
kondisi fisik dan sosial yang belum menunjang kesehatan secara optimal.
Berdasarkan Kemenkes (2010), prevalensi penyakit yang terjadi di Jakarta
sebanyak 33,81 % mengalami keluhan kesehatan seperti panas, batuk, pilek,
diare, sakit kepala, dan lainnya. Berdasarkan Riskesdas (2007) diare merupakan
penyebab utama kematian bayi (31,4%) dan anak balita (25,2%). Namun masih
adanya penduduk yang hidup di pemukiman kumuh yang memperhatikan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga penduduk tersebut tidak
mengalami penyakit infeksi. Sekitar 42,4% masyarakat Jakarta yang
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) (Riskesdas 2007).
Pemukiman kumuh adalah daerah dengan kepadatan penduduk yang
tinggi di sebuah kota yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat miskin.
Pemukiman kumuh dapat ditemukan di berbagai kota besar di dunia. Pemukiman
kumuh umumnya dihubungkan dengan kemiskinan dan pengangguran tinggi.
Pemukiman kumuh juga bisa menjadi sumber masalah sosial, yaitu, kejahatan,
narkoba, dan minuman keras. Di banyak negara miskin, kawasan kumuh juga
menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisi tidak higienis.
Di Jakarta daerah kumuh banyak ditemukan, di mana orang tinggal di
sudut-sudut bangunan. Sekitar 200.000 orang tinggal di hanya 20 hektar lahan
11

dihuni oleh sekitar 150.000 rumah yang sulit dikendalikan. oleh karena itu alam
bagi masyarakat untuk dihantui oleh rasa takut, antara lain, adanya penyakit
infeksi seperti ISPA dan diare serta gizi buruk disebabkan oleh kebiasaan makan
yang buruk dalam rumah tangga.
Kemiskinan pada kenyataannya merupakan akar dari permasalahan gizi.
Tetapi, hal ini menjadi lebih buruk dengan rendahnya pengetahuan gizi dan
minimnya usaha dalam menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari (Khomsan et al. 2009). Berdasarkan Kemenkes tahun 2011
prevalensi gizi buruk (BB/U) di Jakarta sebesar 2.6% dan 8.7% gizi kurang.
Kejadian yang menarik ditemukan di pemukiman kumuh, ternyata
terdapat balita dengan status gizi dan status kesehatan baik. Hal tersebut
merupakan bentuk penyimpangan positif yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain yaitu: faktor perilaku ibu dan keluarga,
keamanan pangan, kondisi ekonomi, pola asuh, pekerjaan, pendapatan,
pengeluaran untuk konsumsi, keputusan pemberian makan, kepuasan hidup;
faktor asupan zat gizi dan penyakit infeksi, faktor ibu, pola asuh anak, status
kesehatan anak dan status gizi ibu; faktor lingkungan, sanitasi, sarana dan
pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut yang membedakan suatu
keluarga berhasil dalam merawat dan mengasuh anaknya pada status
ekonomi yang sama. Faktor yang dimaksud mendukung keberhasilan ibu
dalam merawat dan mengasuh anak adalah faktor penyimpangan positif.
Menurut Zeitin et al. (1990) dikatakan bahwa secara khusus
penyimpangan positif dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi status kesehatan anak balita yang hidup dalam keluarga
miskin di lingkungan miskin (kumuh) sementara sebagian besar anak lainnya
menderita gangguan penyakit. Berdasarkan hal-hal tersebut, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai faktor yang menentukan positive deviance
status gizi dan status kesehatan anak balita di pemukiman kumuh di Jakarta.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor penentu
positive deviance status gizi dan kesehatan anak balita di pemukiman kumuh di
Manggarai, Jakarta Selatan.
12

Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik anak balita.
2. Mengidentifikasi status gizi dan status kesehatan anak balita.
3. Mengidentifikasi karakteristik keluarga.
4. Mengidentifikasi pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ibu
5. Mengidentifikasi positive deviance pada pengetahuan gizi, sikap gizi,
perilaku gizi, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ibu
6. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi dan status
kesehatan anak balita.
7. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan
PHBS ibu dengan status gizi dan status kesehatan.
Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan status gizi dan
status kesehatan anak balita.
2. Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan
PHBS ibu dengan status gizi dan status kesehatan anak balita.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
digunakan sebagai salah satu referensi untuk keperluan membuat kebijakan
yang berkaitan dengan perbaikan kondisi lingkungan di Kota Manggarai dan
perbaikan status gizi dan kesehatan masyarakat terutama anak balita. Serta
diharapkan dapat memberikan informasi kepada warga Manggarai mengenai
gambaran kondisi warga yang ditinjau dari status kesehatan anak balita.
13

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Balita
Usia balita lebih dikenal sebagai golden age karena masa ini sangat
menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita
adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa yang disebut dengan
anak bawah lima tahun. Anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui dalam ilmu gizi
dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan
gizi termasuk Kekurangan Energi Protein (KEP). Oleh karena masalah gizi pada
umumnya, khususnya KEP banyak terjadi pada anak balita maka perhatian lebih
besar pada masalah KEP anak balita (Soekirman 2000).
Masa balita hampir seluruh waktu anak berada ditangan orang tua dan
sangat tergantung padanya. Orangtua selain berperan sebagai pengasuh dan
pendidik anak dalam keluarga juga berperan penting dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak karena orangtua yang lebih mengenal
anaknya. Balita merupakan golongan yang rawan terkena masalah gizi.
Makanan bergizi sangat penting diberikan kepada bayi sejak masih dalam
kandungan.
Jenis Kelamin
Anak perempuan khususnya anak sulung diharapkan membantu
pekerjaan rumah tangga dan menjaga adik-adiknya. Sedangkan jika anak yang
lahir pertama kali adalah anak laki-laki, maka mereka memiliki keistimewaan
karena memperoleh pekerjaan rumah tangga yang lebih sedikit dibandingkan
yang perempuan serta diberi kesempatan untuk mengabaikannya (Hurlock
1980).
Umur
Menurut Hurlock (1980), sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang
dibentuk selama bertahun-tahun pertama sangat menentukkan seberapa jauh
individu-individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika mereka
bertambah tua. Pada tahun kedua tingkat pertumbuhan cepat menurun. Akan
tetapi, selama tahun pertama peningkatan berat badan lebih besar daripada
peningkatan tinggi.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling ideal untuk mulai
memperkenalkan kepada anak tentang perilaku-perilaku dasar yang
berhubungan dengan gaya hidup sehat. Orang tua harus dapat memanfaatkan
rasa ingin tahu anak dan menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan
14

masalah kesehatan, keselamatan dan gizi. Orangtua harus dapat meningkatkan


kesadaran anak-anak mengenai lingkungan yang komplek serta pengaruhnya
(Marotz dalam Ulfah 2008).
Berat Badan
Berat badan merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang makin
ekonomis dan paling peka untuk digunakan dalam praktek. Berat badan sangat
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada keadaan gizi, sehingga
berat badan akan turun dengan menurunnya keadaan gizi. Perlambatan
kecepatan pertumbuhan tubuh yang diukur dengan memakai variable berat
badan, akan terlihat dalam waktu kurang dari satu bulan, jika kita mengamati
naik dan turunnya berat badan tiap bulan. Demikian pula pengaruh infeksi pada
gizi anak-anak juga jelas tampak bila kita memperhatikan besarnya penurunan
berat badan yang terjadi sesudah anak menderita infeksi (Sukarni 1989).
Karakteristik Keluarga
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari
pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi
jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang yang dikonsumsi
dalam keluarga. Kualitas dan kuantitas pangan secara langsung akan
menentukan status gizi keluarga dan individu.
Besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam
suatu bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukarni 1989). Rumah yang padat
penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan
memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 2007).
Umur Orangtua
Umur orangtua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu
dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang
memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak
didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur muda
cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan
anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung
akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan
15

mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock


1980).
Pendidikan Orangtua
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan mudah
menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak. Pendidikan
ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena
tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap
perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan
keluarga (Madanijah dalam Ulfah 2008).
Pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam
pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam
menentukan status kesehatan , fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya
pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, informasi
tentang masalah kesehatan dapat lebih mudah diterima oleh keluarga atau
masyarakat (Sukarni 1989).
Pekerjaan Orangtua
Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta
berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan
dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989). Seorang ibu yang tidak
bekerja di luar rumah akan mewakili waktu yang lebih banyak dalam mengasuh
serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Perempuan
yang bekerja di luar rumah dan mendapatkan penghasilan akan meningkatkan
pengaruhnya dalam alokasi pendapatan keluarga. Pendapatan yang berasal dari
perempuan berkolerasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan
status gizi anak (Khomsan 2005).
Pendapatan dan Pengeluaran Orangtua
Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan kurang dapat
memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Pendapatan keluarga akan menentukan
alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan
keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2001).
Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan serta aksesbilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi
warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap
16

kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah
1997).
Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan
kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin
besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan
perorangan maka terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan
(Suhardjo 1989).
Kelompok yang berpendapatan rendah pada umunya mempunyai
proporsi paling besar untuk pengeluaran pangan. Berlawanan, dengan kelompok
masyarakat berpendapat tinggi, mereka mengalokasikan lebih pendapatan untuk
non pangan (Sukandar 2007). Di negara-negara berkembang, orang-orang
miskin hampir membelanjakan pendapatannya untuk makanan. Di India Selatan
keluarga-keluarga yang miskin menghabiskan 80 persen anggaran belanjanya
untuk makanan, sedangkan di negara-negara maju hanya 45 persen (Berg
1986).
Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variable tertentu, atau perwujudan dari zat gizi dalam bentuk variabel tertentu
(Supariasa 2002). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang
atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbs)
dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara,
salah satunya dengan antropometri (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2006),
status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh digunakan secara
efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang setinggi
mungkin.
Antropometri adalah yang berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi (Jellife dan Jellife 1989). Pengukuran status gizi dengan
menggunakan antropometri adalah dengan indeks berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
17

makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan,
maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa et
al. 2002).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relative kurang sensitive terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Indeks ini menggambarkan status gizi pada masa lalu. Beaton dan Bengoa
(1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping
memeberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya
dengan status sosial ekonomi. Menurut Supariasa (2002) berat badan memiliki
hubungan yang linier dengan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator
yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB merupakan indeks
yang independen terhadap umur.
Status Kesehatan Anak Balita
Status kesehatan penduduk memberikan gambaran mengenai kondisi
kesehatan penduduk dan biasanya dapat dilihat melalui indikator angka
kesakitan yaitu persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan
sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari. Status kesehatan anak
balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi
status gizi (BPS 2002).
Status kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu perilaku,
lingkungan, keturunan, dan pelayanan kesehatan. Perilaku merupakan faktor
yang memiliki presentase terbesar dibandingkan yang lain, yaitu sebesar 40%,
sedangkan lingkungan sebesar 30%, keturunan sebesar 20%, dan pelayanan
kesehatan sebesar 10% (Bloem 1974 dalam Notoatmodjo 2007). Status
kesehatan seseorang berkaitan dengan keadaan penyakit yang dideritanya dan
merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor host, agen penyakit, dan
lingkungan. Penyakit sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan, keadaan gizi
dan imunitas serta akses terhadap layanan kesehatan (Patriasih et al 2009).
Lingkungan keluarga yang miskin umumnya hidup dalam kondisi yang kurang
bersih dan memiliki perilaku hidup yang kurang sehat. Hal ini dapat berdampak
18

pada kesehatan penghuninya, serta dapat mempengaruhi keadaan kesehatan


terutama pada anak. Jenis kesehatan yang erat kaitannya dengan lingkungan
adalah penyakit ISPA, diare, flu, demam, dan penyakit cacar (Khomsan et al.
2009).
Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, mental, dan sosial, dan
bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan (Sukarni
1989). Soemanto (1990) menyatakan bahwa jenis penyakit yang sering diderita
anak balita adalah batuk, pilek, diare, dan panas badan. Kesehatan anak balita
harus mendapat perhatian penuh dari orangtua. Anak balita adalah makhluk
yang belum mempunyai kemampuan untuk memelihara dirinya sendiri, mereka
bergantung dari orangtua, orang-orang terdekat, dan pada lingkungannya.
Menurut Soemowedojo (1976), untuk mengukur besarnya kejadian sakit
pada golongan usia tertentu, perlu diketahui data penyakit yang diderita, meliputi
macam-macam penyakit dengan prevalensinya dan banyak kejadian penyakit
tertentu yang diderita. Golongan usia balita sangat rentan terhadap penyakit-
penyakit menular yang masih banyak ditemukan dan merupakan masalah
kesehatan utama di Indonesia.
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-
hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007).
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi
sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makanan yang baik
agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat
(Notoatmodjo 2007). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap
sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan.
Menurut Khomsan et al. (2009), tingkat pengetahuan berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar,
pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu. Akan tetapi, hubungan
antara pengetahuan terhadap sikap dan perilaku tidak linier, misalnya dalam hal
konsumsi makanan dengan baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh
pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan
keterampilan gizi (Sanjur 1982 dalam Sukandar 2007).
19

Sikap Gizi
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah suatu reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara
nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu. Sikap akan mempengaruhi proses berpikir, respon afeksi, kehendak,
dan perilaku berikutnya.
Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku. Sikap
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku
yang terbuka (Notoatmodjo 2007). Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula
bersifat negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan mendekati,
menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Sedangkan sikap negatif
terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, dan tidak
menyukai objek tertentu. Sikap biasanya memainkan peranan utama dalam
membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan perilaku yang positif
dan sikap negatif akan menumbuhkan perilaku yang negatif.
Melalui proses belajar akan diperoleh pengalaman yang nantinya dapat
membentuk sikap, kemudian sikap akan dicerminkan dalam bentuk praktek yang
sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi menurut Sumintarsih et al. (2000),
menyatakan bahwa meskipun didukung oleh pengetahuan yang menumbuhkan
suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang
akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya. Pengukuran
sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung
dapat dinyatakan bagaimana pendapat responden terhadap suatu objek, serta
secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis
yang kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo
2007).
Perilaku Gizi
Perilaku dipandang dari segi biologi adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh
organisme tersebut, baik yang dapat diamati secara langsung atau secara tidak
langsung. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme
dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Faktor genetik dan
20

lingkungan merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku


manusia. (Notoatmodjo 2007).
Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu rangsangan (stimulus).
Praktek memiliki beberapa tingkatan (Notoatmodjo 2007) yaitu (1) persepsi, ialah
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil; (2) respon terpimpin, ialah dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang
benar dan sesuai dengan contoh; (3) mekanisme, ialah melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan;
dan (4) adopsi, ialah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik.
Praktek terjadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek
kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang
diketahui, dan selanjutnya akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang
sudah diketahui. Pengukuran praktek dapat dilakukan secara tidak langsung,
yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat
dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan
responden (Notoatmodjo 2007).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan bentuk perwujudan
paradigma sehat, terutama pada aspek budaya perorangan, keluarga, dan
masyarakat. PHBS adalah tindakan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok,
dan masyarakat yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, menolong dirinya
dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan untuk memperoleh derajat
kesehatan yang tinggi (Sinaga et al. dalam Ulfah 2008).
Menurut Yoon et al. (1997) dalam Safitri (2010), perilaku hidup sehat
adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Salah satu perilaku hidup
sehat adalah melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit. Upaya
pencegahan dan pengobatan penyakit dapat dilakukan dengan meningkatkan
daya tahan tubuh, perbaikan kesehatan diri dan lingkungan.
Perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan rumah tangga meliputi higiene
perorangan (mencuci tangan pakai sabun, menggosok gigi, dan sebagainya),
kebiasaan tidak merokok, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,
penimbangan balita, imunisasi, gizi keluarga (sarapan pagi, makan makanan
21

beragam), dan keikutsertaan dalam dana sehat melalui askes dan jaminan
pemeliharaan masyarakat (Depkes 2007). Indikator perilaku hidup bersih dan
sehat diantaranya adalah:
1. Persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan
Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan tenaga
para medis lainnya) menggunakan peralatan yang aman, bersih, dan steril
sehingga mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya
(Depkes 2007). Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan diharapkan dapat
menurunkan angka kematian ibu dan bayi (Proverawati & Rahmawati 2012)
2. Kebiasaan merokok
Perokok terdiri dari perokok pasif dan perokok aktif. Keduanya sama-sama
berbahaya, yakni dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti
kerontokan rambut, gangguan pada mata, menyebabkan penyakit paru-paru
kronik, merusak gigi, stroke, kanker kulit, kemandulan, impotensi, kanker
rahim, dan keguguran (Depkes 2007).
3. Imunisasi
Imunisasi bertujuan agar anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit tertentu (Hidayat 2004). Penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi ialah TBC, dipteria, pertusis, tetanus, polio dan
campak, melalui kegiatan vaksinasi BCG, DPT, Polio dan campak pada
umur dibawah 14 bulan, vaksinasi DPT pada anak-anak SD kelas 1, dan
vaksinasi TT pada anak SD kelas 4 (Sukarni 1989).
4. Penimbangan Balita
Penimbangan bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan
setiap bulan. Penimbangan bayi dan balita dimulai dari umur 1 bulan sampai
5 tahun di Posyandu sehingga dapat diketahui balita tumbuh sehat atau
tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi serta dapat diketahui bayi yang
dicurigai menderita gizi buruk (Depkes 2007).
5. Kebiasaan sarapan
Sarapan penting dilakukan sebelum melakukan aktivitas pada pagi hari.
Manfaat sarapan adalah dapat menyediakan karbohidrat yang siap
digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah.
22

6. Peserta Akes/JPKM
Program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin penting untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
7. Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan
membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh
manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci
tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan
penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen yang
membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke
orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung.
8. Kebiasaan menggosok gigi
Membiasakan menggosok gigi sebelum tidur dan setelah makan merupakan
salah satu contok praktik higiene perorangan. Kegiatan menggosok gigi
bertujuan untuk membersihkan mulut dari sisa makanan yang dapat
membentuk plak pada gigi.
9. Kebiasaan Olahraga
Olahraga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur untuk
berbagai tujuan, antara lain untuk kesehatan, kebugaran, rekreasi,
pendidikan, dan prestasi (Irianto 2011).
10. Makan Seimbang
Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung lengkap semua zat gizi
yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang, dan
produktif. Setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam makanan dalam
jumlah yang mencukupi.
Positive Deviance
Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang
berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak
tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga
yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat digunakan untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi
yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di
lingkungan miskin (kumuh), dimana sebagian besar anak lainnnya menderita
gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi
kurang (Zeitlin et al. 1990).
23

Konsep positive deviance pertama kali muncul dalam penelitian gizi pada
1970-an. Para peneliti mengamati bahwa meskipun kemiskinan di masyarakat,
beberapa keluarga miskin memiliki anak bergizi baik. Menurut Sternin (2007)
dalam Sab’atmaja (2010) positive deviance adalah suatu pendekatan
pengembangan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan keyakinan bahwa
pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat pada prinsipnya telah ada dalam
masyarakat itu sendiri.
Menurut Aryastami (2006), Positive Deviance (PD) adalah suatu metode
pengembangan masyarakat melalui pendekatan komunitas. Di bidang gizi
masyarakat, metode ini dapat dianalogkan sebagai anak yang memiliki status
gizi baik telah dibesarkan dimana banyak keluarga dan masyarakatnya
menderita gizi buruk dan rawan penyakit. Pada dasarnya metode PD ini bisa
diterapkan untuk berbagai permasalahan yang didalamnya memerlukan
perubahan sosial atau perilaku di mana sudah ada individu-individu di dalam
masyarakat tersebut yang berhasil menemukan strategi untuk mengatasi
masalah yang sama. Seringkali solusi permasalahan tersebut tidak disadari,
padahal secara nyata ada di dalam budaya setempat.
Positive deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk
mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati
untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku
masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan
kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki
kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka
dapat menemukan cara-cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi
dibandingkan tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi
tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Kebiasaan keluarga
yang menguntungkan sebagai inti positif deviance dibagi menjadi tiga atau empat
kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan
mendapatkan pelayanan kesehatan (Core 2003).
Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial,
dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang
berguna ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan diperbaiki
dan dihilangkan (Entjang 2000). Sanitasi lingkungan dapat pula diartikan sebagai
kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan standar
24

kondisi lingkungan yang mendasar yang mempengaruhi kesejahteraan


masyarakat. Kondisi tersebut mencakup: (1) pasokan air yang bersih dan aman;
(2) pembuangan limbah dari hewan, manusia, dan industri yang efisien; (3)
perlindungan makanan dari kontaminasi biologis, dan kimia; (4) udara yang
bersih dan aman; (5) rumah yang bersih dan aman.
Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan
lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi suatu
indikator kesehatan seseorang. Kesehatan seseorang akan terlihat dari daya
tahan tubuh terhadap suatu penyakit sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian. Selain itu lingkungan yang bersih dan sehat akan
mencegah penyakit menular (Sukandar 2007).
Pemukiman yang sanitasinya tidak baik seperti tidak tersedia air bersih,
jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air
kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang
menyebabkan seseorang kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare
dan cacingan.
Sanitasi Air
Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk
dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002).
Selain itu, menurut Notoatmodjo (2007), air yang sehat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Syarat fisik: syarat air yang dilihat dari fisiknya antara lain jernih, tidak
berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.
b. Syarat kimiawi: tidak mengandung zat-zat berbahaya seperti zat-zat racun
atau zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan
c. Syarat bakteriologis: air yang bebas dari segala bakteri, terutama bakteri
patogen
Air bersih belum tentu dikatakan sehat, menurut Entjang (2000) untuk
memperoleh air minum yang sehat dapat diperoleh melalui 1) sumber air yang
bersih; 2) tangan dan tempat penampungan air bersih; 3) wadah penampung air
disertai dengan tutup dan sering dibersihkan; 4) memasak air sampai mendidih
sebelum diminum; 5) menggunakan alat-alat minum yang bersih (termasuk
gayung sebagai alat pengambil air harus bersih).
25

Menurut Subandriyo et al. (1997) sumber air minum yang bersih dan
sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi, dan
mata air yang terlindungi. Sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain
jarak sumur dengan kamar mandi minimum 10 meter dan dinding sumur 1 meter
di atas tanah dan 3 meter dalam tanah serta harus dibuat dari tembok yang tidak
tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi.
Sanitasi Lingkungan Perumahan
Rumah adalah tempat manusia berlindung dari panas terik matahari,
hujan, dan hal-hal lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan
kenyamanan manusia. Kondisi rumah adalah salah satu faktor yang menentukan
keadaan sanitasi lingkungan. Menurut Winslow dalam Entjang (2000), rumah
yang tidak sehat dapat mengakibatkan pula tingginya kejadian infeksi penyakit
dalam masyarakat. Rumah yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis dan
psikologis serta dapat menghindar terjadi kecelakaan dan penyakit. Rumah
dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:
1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari
keramik, tegel atau semen dan kayu atau bamboo. Lantai tanah tidak
memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit
seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.
2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes,
dan seng.
3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan
dibersihkan dengan mudah.
4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang
angin. Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar udara
di dalam ruangan tetpa bersih dan segar.
5. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat.
6. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah anggota
keluarga. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau
WC.
7. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah
8. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga
kebersihan dan kesehatannya.
26

Pembuangan Limbah Manusia


Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi
oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus
dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (feses), air seni (urin), dan CO2.
Kotoran manusia (feses) adalah sumber penyebaran penyakit yang
multikomplek. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feses dapat melalui
berbagai macam jalan atau cara. Tinja dapat langsung mengkontaminasi
makanan, minuman, sayuran, dan juga air, tanah, dan serangga. Peranan tinja
dalam penyebaran penyakit sangat besar (Notoatmodjo 2007).
Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia merupakan hal
penting yang juga harus diperhatikan karena banyak penyakit yang dapat
disebarkan melalui pembuangan kotoran manusia. Pengelolaan pembuangan
kotoran manusia yang baik dan memenuhi syarat kesehatan adalah tidak
mengotori tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air
tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat digunakan oleh lalat untuk
bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindungi atau tertutup, dan
pembuatannya mudah dan murah (Entjang 2000).
Pembuangan Sampah Air Limbah Rumah Tangga
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik
yang berasal dari rumah tangga atau dari proses industri. Ada dua jenis sampah,
yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Manusia perlu mengatur sampah
agar sampah tidak membahayakan manusia tersebut, yaitu dengan
penyimpanannya, pengumpulan, dan pembuangan (Sukarni 1989).
Air limbah terdiri dari kotoran manusia, air kotoran dari dapur, kamar
mandi, termasuk air kotor dari permukaan tanah. Air limbah diatur agar dapat
mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, menjaga kebersihan makanan,
melindungi ikan dari pencemaran, melindungi air minum dari ternak, mencegah
perkembangbiakan bibit penyakit, menghilangkan adanya bau-bauan, dan
pemandangan tak sedap (Sukarni 1989).
Pemukiman Kumuh
Menurut Khomarudin (1997) lingkungan pemukiman kumuh memiliki
definisi sebagai berikut: lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 org
per Ha), kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah, jumlah rumahnya sangat
padat dan ukurannya dibawah standar, sarana prasarana tidak ada atau tidak
27

memenuhi syarat teknis dan kesehatan, hunian dibangun diatas tanah milik
negara atau orang lain dan diluar perundang-undangan yang berlaku.
Di kota-kota besar biasa ditemukan adanya daerah kumuh atau
pemukiman miskin. Perkembangan lingkungan pemukiman di daerah perkotaan
tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk baik karena faktor
pertumbuhan penduduk secara alami maupun proses urbanisasi. Pertumbuhan
penduduk dan terbatasnya lahan di daerah perkotaan menyebabkan semakin
berkembangnya rumah petak kecil yang diperjualbelikan dan disewakan kepada
para pendatang. Rumah-rumah petak kecil tersebut kemudian berkembang
menjadi kawasan padat dan kumuh yang disebut dengan kawasan kumuh (slum
area) (Gusmaini 2010).
Biasanya penghuni pemukiman kumuh menempati kawasan yang
sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman, oleh penduduk
miskin kawasan tersebut diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti
bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik
atau pusat kota, dan di bawah jembatan. Pemukiman kumuh biasanya memiliki
tingkat kepadatan populasi tinggi dan berpenduduk miskin karena umumnya
dihuni oleh orang-orang yang memiliki penghasilan sangat rendah, terbelakang,
pendidikan rendah, jorok, dan lain sebagainya.
Kawasan kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena
kondisinya yang tidak higienis. Ciri yang menonjol dari pemukiman kumuh yang
berada di gang sempit, adalah kerapatan bangunannya yang tinggi, diindikasi
oleh jarak antar bangunan yang relatif dekat (bersebelahan dan berhadapan)
dengan kontruksi bangunan permanen. Dampak dari kerapatan bangunan yang
tinggi, adalah kondisi ventilasi yang menjadi buruk akibat kurangnya sirkulasi
udara; drainase-nya menjadi sempit dan dangkal karena lahan terbatas,
akibatnya pada saat musim hujan pemukiman tersebut sangat potensi
mengalami kebanjiran; tata letak tidak teratur dan jalan sempit menyebabkan
surkulasi pergerakan tidak terarah, bigitu pula dengan sanitasi lingkungan
(sampah dan air limbah) menjadi tidak baik (Suparlan 1984).
Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
28

pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan


pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh besarnya Garis
Kemiskinan (GK) karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-
rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret
2011-Maret 2012, Garis Kemiskinan naik sebesar 6,63 persen, yaitu dari Rp
355.480 per kapita per bulan pada Maret 2011 menjadi Rp 379.052 per kapita
per bulan pada Maret 2012. Dengan memperhatikan komponen Garis
Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan
Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan komoditi
makanan lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Jumlah penduduk miskin
(penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta pada bulan
Maret 2012 sebesar 363,20 ribu (3,69 persen) (BPS 2012).
Menurut Bappenas (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi,
kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya
kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan
berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskin melalui tiga cara.
Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas
karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan
kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan.
Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena
meningkatkan pengeluaran untuk berobat.
Kemiskinan secara langsung menyebabkan rendahnya konsumsi pangan,
sering sakit, sering hamil, umunya bekerja sebagai buruh dan keluarga miskin
cenderung memiliki jumlah anggota keluarga lebih besar. Faktor-faktor tersebut
secara langsung dan tidak langsung menyebabkan terjadinya kurang gizi.
Keadaan kurang gizi pada sumber daya manusia mengakibatkan produktivitas
menjadi rendah (World Bank 2006).
29

KERANGKA PEMIKIRAN

Usia balita merupakan kelompok usia yang mengalami pertumbuhan


dan perkembangan yang sangat pesat, dimana dasar-dasar kecerdasan,
kepribadian, dan kemandirian berkembang sangat cepat. Usia balita juga
merupakan kelompok usia yang paling rawan dan paling rentan menderita
gangguan kesehatan akibat penyakit infeksi.
Status gizi anak balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor langsung,
antara lain asupan makanan dan penyakit infeksi. Faktor tidak langsung seperti
pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi ibu dan keluarga, kondisi ekonomi,
pekerjaan, pendapatan, pengeluaran untuk konsumsi, sanitasi, sarana dan
pelayanan kesehatan.
Status kesehatan anak ditandai dengan kejadian sakit yang meliputi
jenis penyakit yang diderita, frekuensi terkena penyakit, dan lama hari menderita
suatu penyakit. Semakin lama dan semakin sering anak menderita suatu
penyakit, maka semakin buruk status kesehatan anak.
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi.
Tingkat pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam
pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi
yang bersangkutan. Pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi ibu erat
kaitannya dengan tingkat pendidikan ibu. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi cenderung akan memiliki pengetahuan gizi yang baik pula sehingga
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku gizi ibu.
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) ibu di dalam keluarga juga
sangat erat kaitannya dengan riwayat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Ibu
yang memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi cenderung akan
lebih baik dalam menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
keluarga sehingga anak-anaknya dapat mencapai status kesehatan yang
optimal.
Anak balita merupakan kelompok individu pasif dan merupakan
kelompok yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Oleh
karena itu, diperlukan peran serta orangtua khususnya ibu dalam hal perawatan
baik fisik maupun makanan bagi anak balita. Anak balita yang tidak terawat baik
fisik maupun makanannya akan mudah mengalami gangguan gizi dan
kesehatan, contohnya terserang penyakit. Jenis penyakit yang yang sering
30

diderita anak balita adalah batuk, pilek, diare, dan panas badan. Penyakit yang
diderita oleh anak balita akan mempengaruhi status gizinya, sehingga akan
berdampak pada proses pertumbuhan dan perkembangannya. Namun terdapat
kejadian yang menarik ditemukan di pemukiman kumuh, ternyata terdapat balita
dengan status gizi dan status kesehatan baik. Hal tersebut merupakan positive
deviance yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari skema pada Gambar 1.
31

Karakteristik Ibu Karakteristik Anak Balita


-Umur Orangtua Pengetahuan Gizi Ibu - Jenis Kelamin
-Besar Keluarga - Umur
-Pekerjaan Orangtua - Berat Badan
-Pendidikan orangtua - Tinggi Badan
-Pendapatan Orangtua
Sikap Gizi Ibu

PHBS Perilaku Gizi Ibu

Sanitasi Positive Deviance


Lingkungan

Status Gizi Status Kesehatan

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor penentu positive deviance status gizi dan
status kesehatan pada anak balita di pemukiman kumuh Manggarai Jakarta
32

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu


Penelitian ini merupakan bagian dari data baseline pada kajian “Studi
Ketahanan Pangan dan Coping Mechanism Rumah Tangga di Daerah Kumuh”
yang dilakukan Departemen Gizi Masyarakat dan Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor bekerjasama
dengan DIKTI Kemendiknas. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross
sectional study yaitu data diambil pada waktu tertentu secara bersamaaan
dengan menganalisis hubungan antara faktor penentu positive deviance
terhadap status gizi dan kesehatan balita. Lokasi penelitian dilaksanakan di
Manggarai, Jakarta. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive
dengan pertimbangan kawasan kumuh menjadi pusat masalah gizi dan
kesehatan karena kondisi tidak higienis. Penelitian ini dilakukan pada bulan April
hingga Oktober 2012.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita dengan responden adalah
ibu contoh yang bersedia untuk diwawancarai. Besar sampel diperoleh dengan
menggunakan formula Cochran (1982) sebagai berikut:
n0
n=
n −1
1+ 0
N

Di mana:
n = besar sampel
N = ukuran populasi rumah tangga
s 2 t α2 ( v )
n0 =
d 2
s2 = ragam pendapatan rumah tangga (Rp/capita/month)
tα/2(v) = nilai peubah acak t-student, sehingga : P(|t|>tα/2(v))=α; v = derajat
bebas dari t
d = akurasi antara parameter rata-rata pendapatan dengan rata-rata
pendapatan rumah tangga di daerah kumuh, sehingga | x -µ| < d
x = rata-rata pendapatan contoh rumah tangga di daerah kumuh
µ = rata-rata pendapatan populasi rumah tangga di daerah kumuh

Dari penelitian Patriasih et al. (2009) diketahui bahwa standar deviasi


pendapatan rumah tangga yang memiliki anak jalanan di Bandung, Jawa Barat
adalah Rp. 103.244 per kapita/bulan. Hal tersebut diasumsikan bahwa
33

pendapatan rumah tangga di daerah kumuh dapat diketahui melalui pendekatan


pendapatan rumah tangga yang memiliki anak jalanan. Nilai standar deviasi
digunakan untuk mendekati nilai s pada formula di atas sehingga s = 103 244,-.
Nilai akurasi ditetapkan d = 20265, - (perbedaan maksimum antara rata-rata
pendapatan contoh dengan populasinya), dengan jaminan sebesar 95% atau P (|
- |µ <d) = 1 - α = 0,95 atau α = 0.05. Dengan v diasumsikan besar, maka
t0.025(v)=1.96. Dengan asumsi ukuran populasi rumah tangga di daerah kumuh
besar atau N=∼, maka n dapat dihitung sebagai berikut:

103244 2 x1.96 2
n0 = = 99.71 ≈ 100
202652

ns = n0 = 100

Kriteria inklusi contoh adalah balita perempuan atau laki-laki, berusia 12-
60 bulan yang tinggal di pemukiman kumuh, dan responden bersedia untuk
diwawancarai. Berdasarkan kriteria tersebut, dari 100 sampel yang ada, diambil
sebanyak 41 sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan contoh
dilakukan dengan metode acak sederhana (Simple Random Sampling) yang
dilakukan di beberapa rumah tangga yang terdapat di daerah Manggarai.
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
Berdasarkan Tabel 1 data primer meliputi data karakteristik anak balita, status
gizi, dan kesehatan anak balita, karakteristik keluarga (besar keluarga, umur,
pendidikan, pekerjaan orang tua, dan pendapatan keluarga), pengetahuan gizi
ibu contoh, pola asuh makan, dan pola asuh kesehatan, PHBS dan sanitasi
lingkungan. Data sekunder meliputi keadaan umum lokasi penelitian dan data
penunjang lainnya. Pengumpulan data dibedakan berdasarkan sumber data.
Pengambilan data primer dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
kuesioner terstruktur. Data sekunder diperoleh dari kantor kelurahan setempat.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Cara pengmpulan
No. Variabel Data Jenis Data
data
1. Karakteristik anak • Jenis kelamin Primer Wawancara
balita • Umur
• Berat badan
• Tinggi Badan
2. Status gizi anak • BB/TB Primer Penimbangan dan
balita • BB/U pengukuran
• TB/U
34

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)


Cara pengmpulan
No. Variabel Data Jenis Data
data
3. Status kesehatan • Pernah/tidak sakit Primer Wawancara
• Frekuensi sakit
• Lama sakit
4. Karakteristik •Besar keluarga Primer Wawancara
keluarga •Umur orangtua
•Pendidikan orangtua
•Pekerjaan orangtua
•Pendapatan kelurga
5. PHBS Primer Wawancara
6. Pengetahuan gizi Primer Wawancara
ibu
7. Sikap gizi ibu Primer Wawancara
8. Perilaku gizi ibu Primer Wawancara
10. Sanitasi lingkungan • Kondisi rumah Primer Wawancara
• Sumber air
• Sarana pembuangan
limbah dan air limbah
11. Lokasi penelitian Sekunder

Pengolahan dan Analisis Data


Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis. Pengolahan data
menggunakan Microsoft Excel 2007 meliputi coding, entry, editing, cleaning, dan
analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows versi 16.0.
Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif, korelasi, dan uji beda.
Status gizi diukur dengan menggunakan indikator berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Dari berbagai jenis indeks tersebut diatas, untuk
menginterprestasikannya dibutuhkan ambang batas yang dapat disajikan ke
dalam 3 cara yaitu median, persentil dan standar deviasi unit. Dalam penelitian
penulis akan menggunakan cara Standar Deviasi (SD). Standar Deviasi (SD)
disebut juga Z-Score. WHO memberikan gambaran perhitungan SD unit
terhadap baku 2005. Pertumbuhan nasional untuk suatu populasi dinyatakan
dalam positif dan negatif 2 SD unit (Z-Score) dari median.
Rumus perhitungan Z-Score adalah:

Z-Score=

Nilai Z-Score kemudian dikonversi dengan tabel baku WHO 2005 (Anthro 2009).
Status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB dikategorikan menjadi tiga
menurut standar baku Depkes RI 2010, yaitu :
35

Tabel 2 Kalsifikasi status gizi berdasarkan Depkes RI 2010


BB/U TB/U BB/TB
Gizi lebih Tinggi Gemuk
(z skor >+2) (z skor >+2) (z skor >+2)
Gizi baik Normal Normal
(z skor ≥ -2 s/d +2) (z skor ≥ -2 s/d +2) (z skor ≥ -2 s/d +2)
Gizi kurang Pendek Kurus
(z skor -3 s/d <-2) (z skor -3 s/d <-2) (z skor -3 s/d <-2)
Gizi buruk Sangat pendek Sangat kurus
(z skor <-3) (z skor <-3) (z skor <-3)

Status kesehatan balita diperoleh berdasarkan kejadian sakit pada dua


minggu terakhir dengan menanyakan kejadian penyakit (pernah dan tidaknya
sakit), gangguan penyakit (jenis penyakit), frekuensi sakit dan lama menderita
sakit. Skor kesehatan diklasifikasikan ke dalam 3 kriteria, rendah (9-14), sedang
(8-5), dan tinggi (0-4).
Pengetahuan gizi ibu diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan.
Penilaian untuk pengetahuan gizi ibu ditentukan berdasarkan skor benar dari
masing-masing pertanyaan. Jika jawaban yang diberikan benar diberi skor 1 dan
jika salah diberi skor 0. Pengetahuan gizi diklasifikasikan ke dalam 3 kriteria,
yaitu pengetahuan gizi baik (>80%), pengetahuan gizi sedang (60%-80%), dan
pengetahuan gizi kurang (<60%) (Khomsan 2000).
Sikap gizi ibu diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan. Penilaian
untuk sikap gizi ibu ditentukan dengan bobot skor dari setiap jawaban
pernyataan yang diberikan yaitu 2 untuk jawaban setuju, 1 untuk jawaban ragu-
ragu, dan 0 untuk jawaban tidak setuju. Total skor sikap gizi ibu dikategorikan
menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu sikap gizi rendah (12-14), sikap
gizi sedang (15-17), dan sikap gizi tinggi (18-20).
Perilaku gizi ibu diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan. Penilaian
perilaku gizi ibu ditentukan dengan bobot skor dari setiap pertanyaan yang
diberikan yaitu 3 untuk jawaban Ya dan 0 untuk jawaban Tidak. Total skor
perilaku gizi ibu dikategorikan menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu
perilaku gizi rendah (11-15), perilaku gizi sedang (16-20), dan perilaku gizi tinggi
(21-25).
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) diukur dengan menggunakan 20
pertanyaan. Penilaian untuk perilaku hidup bersih dan sehat ditentukan dengan
bobot skor dari setiap jawaban pertanyaan yaitu 1 untuk jawaban Ya dan 0 untuk
jawaban Tidak. Total skor PHBS dikategorikan menjadi tiga berdasarkan rumus
36

interval yaitu PHBS rendah (5-8), PHBS sedang (9-12), dan PHBS tinggi (13-16).
Pengkategorian variable penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengkategorian variable penelitian
No. Variabel Sub Variabel Kategori
• Jenis kelamin

Karakteristik anak • Umur (bulan) • 12-23 bulan


1.
balita • 24-35 bulan
• 36-47 bulan
• 47-60 bulan
2. Status gizi anak • BB/TB
balita • BB/U
• TB/U
3. Status kesehatan • Pernah/tidak sakit
• Frekuensi sakit
• Lama sakit • 1-3 hari
• 4-7 hari
• 8-14 hari
(BPS 2000)
• Skor kesehatan • Rendah (10-14)
• Sedang (5-9)
• Tinggi (0-4)
Interval kelas (Sugiyono 2009)
4. Karakteristik • Besar keluarga • Kecil (≤ 4 orang)
keluarga • Sedang (5-6 orang)
• Besar (≥7 orang)
(BKKBN 1998)
• Umur ibu • Remaja (< 20 tahun)
• Dewasa awal (20-40 tahun)
• Dewasa tengah (41-65 tahun)
• Dewasa akhir (>65 tahun)
(Papalia&Old 1986)
• Pendidikan orangtua • SD/sederajat
• SMP/sederajat
• SMA/sederajat
• Perguruan Tinggi
• Pekerjaan orangtua • Tidak bekerja
• Pedagang
• Buruh
• Pemulung
• Pengemis
• Pengamen
• Jasa
• Ibu rumah tangga (IRT)
• PNS/ABRI/Polisi
• Karyawan
• Lainnya
• Pendapatan orangtua • Miskin (<379.052)
• Tidak Miskin (≥379.052)
(BPS 2012)
5. PHBS • Rendah (5-8)
• Sedang (9-12)
• Tinggi (13-16)
Interval kelas (Sugiyono 2009)
37

Tabel 3 Pengkategorian variable penelitian (lanjutan)


No. Variabel Sub Variabel Kategori
6. Pengetahuan gizi • Rendah (<60%)
ibu • Sedang (60%-80%)
• Tinggi (>80%)
Khomsan (2000)
7. Sikap gizi ibu • Rendah (12-14)
• Sedang (15-17)
• Tinggi (18-20)
Interval kelas (Sugiyono 2009)
8. Perilaku gizi ibu • Rendah (11-15)
• Sedang (16-20)
• Tinggi (21-25)
Interval kelas (Sugiyono 2009)

Hubungan antar variabel seperti hubungan antara pengetahuan gizi,


perilaku hidup sehat, perilaku gizi, sikap gizi, sanitasi lingkungan dengan status
gizi dan status kesehatan dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank
Spearman dan Pearson. Pengujian selisih antara dua proporsi menggunakan uji
Z. Langkah dalam pengolahan data adalah dilakukan penganalisian hubungan
antar variabel dengan analisis statistik menggunakan Rank Spearman
Correlation Test dengan rumus sebagai berikut :
6∑
=1−
( − 1)
Keterangan :
x = Variabel pertama
y = Variabel kedua
di = Selisih antara peringkat bagi xi dan yi
n = Banyaknya pasangan data
rs = Koefisien korelasi Spearman (rs bernilai -1 sampai +1, menunjukkan
adanya hubungan yang sempurna antara X dan Y)
Sedangkan pengolahan data dalam pengujian proporsi pada tingkat
kemiskinan berdasarkan status gizi dengan menggunakan uji Z yaitu dengan
langkah sebagai berikut:
1. Tentukan Ho: p1 = p2
2. H1: Alternatif adalah salah satu di antara p1<p2, p1>p2, atau p1≠p2
3. Tentukan taraf nyata α
4. Wilayah kritik:
z < -zα bila alternatifnya p1<p2,
z> zα bila alternatifnya p1>p2,
z> -zα/2 dan z> -zα/2 bila alternatifnya p1≠p2
5. Perhitungan: Hitunglah ṕ1 = x1/n1, ṕ2 =x2/n2, ṕ3 = (x1+x2)/(n1+n2), dan
kemudian
ṕ ṕ
z=
" &
ṕ#(#$ṕ#) ṕ'(#$ṕ')
%# %'
38

6. Keputusan: Tolak H0 bila z jatuh ke dalam wilayah kritik; dan terima H0


bila z jatuh ke dalam wilayah penerimaan.
Keterangan:
p = proporsi, p1 = proporsi miskin; p2= proporsi tidak miskin
α = taraf nyata
x = banyaknya keberhasilan dalam masing-masing contoh
n = jumlah contoh

Definisi Operasional
Balita adalah anak usia 12-60 bulan yang tinggal di pemukiman kumuh.
Karakteristik anak balita adalah ciri yang ditentukan berdasarkan berat badan
anak balita yang dinyatakan dalam satuan kilogram, umur dalam bulan,
dan jenis kelamin, serta riwayat penyakit.
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari
pengelolaan sumberdaya yang sama.
Pendapatan keluarga adalah gabungan penghasilan ayah, ibu, dan anggota
keluarga lain yang tinggal dalam satu rumah serta penghasilan yang
didapat dari pinjaman atau pemberian oranglain.
Status gizi anak balita adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan
(absorbs) dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan
berbagai cara, salah satunya dengan antropometri. Indikator status gizi
yang digunakan adalah BB/U, TB/U, dan BB/TB.
Status kesehatan anak balita adalah kondisi kesehatan (riwayat sakit) anak
balita dalam dua minggu terakhir meliputi jenis penyakit, lama sakit, dan
frekuensi penyakit.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ibu adalah sekumpulan perilaku
yang dipraktikan oleh ibu dalam pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan serta berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan
masyarakatnya.
Sanitasi lingkungan adalah keadaan tempat tinggal yang meliputi sanitasi
lingkungan pemukiman, ketersediaan air bersih, sarana pembuangan
limbah dan sampah.
Pengetahuan gizi ibu adalah pengetahuan yang berkaitan dengan gizi dan
kesehatan yang dimiliki oleh ibu.
39

Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang


berkaitan dengan kesehatan, dimana anak balita tersebut dalam keadaan
gizi baik dan sehat sedangkan yang lainnya mengalami gizi buruk dan
sakit dalam suatu lingkungan yang sama. Positive deviance didasarkan
pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah
ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui
bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku khusus masyarakat
tersebut.
Perilaku gizi ibu adala praktek atau tindakan ibu yang berkaitan dengan gizi dan
kesehatan.
Sikap gizi ibu adalah sikap ibu yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan.
40

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Manggarai


Manggarai terletak
te di Kecamatan Tebet di wilayah Jakarta
Ja Selatan.
Wilayah Manggaraii merupakan
m daerah dataran rendah dengan ketinggian rata-
.15 m di atas permukaan laut, terletak pada 60 15’ 80” Lintang
rata mencapai 25.15
1 0 48’ 00” Bujur Timur (BT). Pada Gamba
Selatan (LS) dan 106 bar 2 ditampilkan
Peta Administrasi Ma
anggarai.

G
Gambar 2 Peta Administrasi Wilayah Manggarai

Luas wilayah
ah Manggarai sesuai dengan keputusan Gubernur
G KDKI
ahun 1989 adalah 0,953 km2. Manggarai mem
Jakarta No. 1815 tah miliki batas-batas
wilayah, yaitu:
• Sebelah Utara ber
erbatasan dengan Kali CIliwung
• Sebelah Selatan berbatasan
b dengan Kelurahan Manggarai Se
elatan
• Sebelah Barat ber
erbatasan dengan Pasaraya Manggarai
• Sebelah Timur ber
erbatasan dengan Kelurahan Bukit Duri
Total jumlah
ah penduduk di Wilayah Manggarai pad
da tahun 2010
sebanyak 29.535 jiw
iwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 7.3
.368 dengan total
sar 0,953 km2. Sehingga kepadatan pendudu
luas wilayah sebesa duk di Manggarai
sebesar 30.991 Jiwa
wa/Km2. Manggarai terdiri dari 12 rukun wa
arga. Kepadatan
penduduk pada Keca
camatan Tebet tertinggi diantara berbagai
ai kecamatan di
41

wilayah Jakarta Selatan. Jenis penggunaan lahan di Manggarai dikelompokkan


sebagai berikut: perumahan, industri, dan lain-lain. Persentase penggunaan
lahan di Manggarai paling besar digunakan untuk perumahan yaitu sebesar
80.59 %, untuk industri 10.7 % dan paling kecil adalah lainnya yaitu sebesar
8.71 % (BPS 2011).
Manggarai memiliki identitas sebuah wilayah yang kumuh. Kesan
tersebut timbul karena aktivitas di lingkungan tersebut yang identik dengan
bangunan liar serta rakyat kelas bawah yang mengakibatkan masalah sosial
seperti tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Bangunan-bangunan liar tersebut
dibangun berdampingan pada bantara sungai Ciliwung, akibatnya terjadi
pendangkalan dasar sungai sehingga mengakibatkan banjir.
Karakteristik Anak Balita
Karakteristik anak balita yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah
jenis kelamin dan umur. Tabel 4 berikut menunjukkan sebaran anak balita
berdasarkan jenis kelamin dan umur.
Tabel 4 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dan umur
Karakteristik anak balita n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 48.8
Perempuan 21 51.2
Total 41 100
Umur balita (bulan)
12-23 bulan 8 19.5
24-35 bulan 18 43.9
36-47 bulan 9 22.0
48-60 bulan 6 14.6
Total 41 100

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak balita


berjenis kelamin perempuan (51.2%) dan sisanya berjenis kelamin laki-laki
(48.8%). Umur balita dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 12-23 bulan,
24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-60 bulan. Umur balita berkisar antara 13-50
bulan dengan rata-rata 30.4±9.9. Sebagian besar anak balita berumur antara 24-
35 bulan (43.9%), sisanya berumur 12-23 bulan (19.5%), umur 36-47 bulan
(22%), dan umur 48-60 bulan (14.6%). Tiga tahun pertama dalam kehidupan
anak-anak merupakan masa yang paling sensitif karena masa tersebut dikaitkan
dengan golden age atau masa pesat perkembangan otak. Hawadi (2001) dalam
Khomsan (2010) menyatakan bahwa usia batita (anak di bawah usia tiga tahun)
42

adalah usia dimana anak menuju pada penggunaan bahasa, motorik, dan
kemandirian.
Status Gizi Anak Balita
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorb) dan
penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah
satunya dengan antropometri.
Indeks status gizi balita antara lain berat badan (BB), tinggi badan (TB),
dan umur (U). Status gizi dinilai berdasarkan indikator berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Pemantauan status gizi anak balita menggunakan baku Depkes
RI (2008) dan dihitung berdasarkan skor simpang baku (z-skor). Status gizi anak
balita dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita (BB/U) berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Status Gizi Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Buruk 2 10 2 9.5 4 9.8
Kurang 2 10 4 19.0 6 14.6
Baik 16 80 15 71.4 31 75.6
Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U)
sebagian besar berstatus gizi baik (75.6%) yang tersebar seimbang pada balita
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan sisanya memiliki status gizi
buruk (9.8%) dan status gizi kurang (14.6%).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan,
maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa
2002).
43

Tabel 6 Sebaran status gizi anak balita (TB/U) berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Status Gizi Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Sangat pendek 4 20 4 19.0 8 19.5
Pendek 6 30 4 19.0 10 24.4
Normal 10 50 13 61.9 23 56.1
Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur pada
Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa anak balita memiliki status gizi normal dengan
proporsi sebanyak 23%, sedangkan yang berstatus gizi sangat pendek sebanyak
19.5% dan status gizi pendek sebanyak 24.%.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Indeks ini menggambarkan status gizi pada masa lalu. Beaton dan Bengoa
(1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping
memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya
dengan status sosial ekonomi.
Tabel 7 Sebaran status gizi anak balita (BB/TB) berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Status Gizi Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Kurus 2 10 1 4.8 3 7.3
Normal 18 90 20 95.2 38 92.7
Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan BB/TB sebagian besar normal


(92.7%), sebagian kecil kurus (7.3%), dan tidak terdapat balita dengan status gizi
sangat kurus atau gemuk (Tabel 7). Menurut Supariasa (2002) berat badan
memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB merupakan
indeks yang independen terhadap umur.
Status Kesehatan
Status kesehatan seseorang berkaitan dengan keadaan penyakit yang
dideritanya dan merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor host, agen
penyakit, dan lingkungan. Penyakit sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
44

keadaan gizi dan imunitas serta akses terhadap layanan kesehatan (Patriasih et
al 2009).
Status kesehatan yang diteliti pada anak balita adalah kejadian sakit,
jenis penyakit, frekuensi penyakit, dan lama sakit yang pernah diderita selama
dua minggu terakhir. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita
(61.0%) pernah mengalami sakit dan sebanyak 39.0% anak balita tidak
mengalami sakit selama dua minggu terakhir. Menurut Notoatmodjo (2007)
menyatakan bahwa indikator kesehatan individu adalah bebas dari penyakit atau
tidak sakit, dan tidak cacat.
Tabel 8 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan
Status Kesehatan n %
Sehat 16 39.0
Sakit 25 61.0
Total 41 100

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan bakteri, virus, jamur,


protozoa, cacing, dan alga (Entjang 2000). Jenis penyakit yang sering dialami
anak balita adalah batuk (46.3%), pilek (39.0%), dan demam (22.0%). Sebagian
kecil anak balita mengalami sesak napas (2.4%) dan lain-lain (7.3%). Soemanto
(1990) menyatakan bahwa jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah
batuk, pilek, diare, dan panas badan. Sebanyak 39.0% anak balita mengalami
lebih dari satu keluhan seperti batuk dan pilek, sisanya hanya mengalami satu
keluhan (22.0%) dan tidak ada keluhan (39.0%). Menurut Sukarni (1989), masih
tingginya angka kesakitan akibat ISPA di Indonesia disebabkan masih
terbatasnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan air limbah,
dan lingkungan perumahan yang kotor. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang
mudah ditularkan melalui udara.
Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit
Jenis Penyakit n %
Batuk 19 46.3
Pilek 16 39.0
Sesak Napas 1 2.4
Demam 9 22.0
Lain-lain 3 7.3
∗ Jumlah n dipengaruhi oleh kejadian penyakit

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita menderita sakit


selama 1-3 hari yaitu batuk (22.0%), pilek (17.1%), dan demam (17.1%). Batuk,
pilek, dan sesak napas termasuk infeksi pada saluran pernapasan (ISPA). Infeksi
akut yaitu infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil
45

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang


digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari
(Depkes 2004 dalam Fitriyani 2008).
Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit (hari)
Lama Sakit
Jenis Penyakit 1-3 4-7 8-14
n % n % n %
Batuk 9 22.0 8 19.5 2 4.9
Pilek 7 17.1 6 14.6 3 7.3
Sesak Napas 0 0.0 1 2.4 0 0.0
Demam 7 17.1 2 4.9 0 0.0
Lain-lain 1 2.4 2 4.9 0 0.0

Frekuensi sakit anak balita selama dua minggu terakhir, seluruhnya


mengalami sakit dengan frekuensi 1 kali, namun tidak terdapat anak balita yang
mengalami sakit dengan frekuensi 2 kali dan lebih dari 3 kali dalam dua minggu
terakhir. Seluruh anak balita menderita penyakit batuk, pilek, dan demam
sebanyak 1 kali (46.3%, 39.0%, dan 22.0%).
Tabel 11 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit
Frekuensi Sakit (kali)
Jenis Penyakit 1 2 ≥3
n % n % n %
Batuk 19 46.3 0 0.0 0 0
Pilek 16 39.0 0 0.0 0 0
Sesak napas 1 2.4 0 0.0 0 0
Demam 9 22.0 0 0.0 0 0
Lain-lain 3 7.3 0 0.0 0 0

Berdasarkan penelitian Dijaissyah (2011) dan untuk keperluan analisis,


data skor status kesehatan diperoleh dengan cara mengalikan antara lama sakit
dalam hari dengan frekuensi penyakit pada setiap jenis penyakit. Skor kesehatan
anak balita dibagi menjadi tiga kategori melalui interval kelas, yaitu tinggi (0-4),
sedang (5-9), dan rendah (10-14). Skor kesehatan anak balita dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan skor kesehatan
Skor Kesehatan n %
Rendah 3 7.3
Sedang 8 19.5
Tinggi 30 73.2
Total 41 100
46

Tabel 12 menunjukkan bahwa skor kesehatan anak balita sebagian besar


berada pada kategori tinggi ( 73.2%), dan sisanya skor kesehatan anak balita
berada pada kategori sedang (19.5%) dan rendah (7.3%). Banyaknya anak balita
dengan skor kesehatan dengan kategori tinggi menunjukkan bahwa sebagian
besar anak balita memiliki status kesehatan yang baik yaitu dalam proses
penyembuhan penyakit yang cepat. Skor kesehatan yang tinggi tersebut
dipengaruhi oleh lama sakit dan frekuensi sakit yang diderita oleh anak balita.
Tabel 13 Sebaran anak balita yang sakit berdasarkan tindakan pengobatan
Tindakan Pengobatan n %
Puskesmas 13 52.0
Klinik 3 12.0
Dokter Praktek 0 0.0
Rumah sakit 1 4.0
Rumah 8 32.0
Total 25 100

Berdasarkan Tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa pelayanan kesehatan


yang banyak dimanfaatkan dalam tindakan pengobatan untuk anak balita ketika
sakit adalah puskesmas (52.0%). Akan tetapi, upaya pengobatan sendiri tanpa
memanfaatkan pelayanan kesehatan yaitu di rumah saja dengan membeli obat
warung masih banyak dilakukan ketika anak balita sakit (32.0%). Menurut
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku
pencarian pengobatan merupakan salah satu perilaku yang berhubungan
dnegan kesehatan.
Karakteristik Keluarga Balita
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari
pengelolaan sumberdaya yang sama. Sebaran responden berdasarkan besar
keluarga dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga n %
Kecil (≤4 orang) 26 63.4
Sedang (5-6 orang) 9 22.0
Besar (≥7 orang) 6 14.6
Total 41 100.0
47

Jumlah anggota keluarga anak balita berkisar antara 2-9 orang dengan
rata-rata 4.6±1.6. Sebagian besar contoh merupakan keluarga kecil dengan
jumlah anggota ≤4 yaitu dengan proporsi 63.4%. Sebagian kecil anak balita
merupakan keluarga sedang (22%) dan keluarga besar (14.6%). Menurut
Sukarni (1989), besar keluarga mempengaruhi kesehatan seseorang atau
keluarga karena akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak. Rumah yang
padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan
memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 2007).
Umur Orangtua
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas
seseorang. Orang yang masih muda memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Hal
ini disebabkan oleh kondisi fisik dan kesehatan orang muda yang masih prima
(Khomsan et al. 2007). Dilihat dari umur, baik ayah maupun ibu balita masih
berada dalam usia produktif, yaitu rata-rata ayah 34.5 tahun dan rata-rata ibu
30.3. sebaran umur orangtua anak balita dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran orangtua berdasarkan umur
Ibu Ayah
Kategori Umur
n % n %
<20 tahun 1 2.4 0 0.0
20-40 tahun 36 87.8 32 80.0
41-65 tahun 4 9.8 8 20.0
Total 41 100.0 40 100.0
Rata-rata±Stdev 30.3±8.3 34.5±8.3

Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa baik umur ayah (76.9%)


maupun umur ibu (85.4%) sebagian besar berada pada umur antara 20-40
tahun. Umur pada kisaran tersebut termasuk dalam kategori dewasa awal.
Hurlock (1980) mengatakan bahwa orangtua muda, terutama ibu cenderung
kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga
umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman
orangtua terdahulu.
Pendidikan Orangtua
Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola
konsumsi pangan, serta status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi akan
cenderung memilih makanan yang murah namun kandungan gizinya tinggi,
sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil
48

sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989). Tabel
16 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pendidikannya.
Tabel 16 Sebaran orangtua berdasarkan pendidikan
Ayah Ibu
Tingkat Pendidikan
n % N %
SD 16 40.0 17 41.5
SMP 7 17.5 10 24.4
SMA 14 35.0 14 34.1
Perguruan Tinggi 3 7.5 0 0
Total 40 100 41 100

Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan orangtua


masih tergolong rendah. Sebagian besar pendidikan ayah yaitu SD dengan
proporsi sebesar 40.0%, begitu pula dengan pendidikan ibu yang sebagian besar
adalah SD (41.5%). Namun terdapat 7.5% responden ayah yang berpendidikan
Perguruan Tinggi. Menurut Madanijah (2003) yang diacu dalam Ulfah (2008),
pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak,
karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya
terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan
anak dan keluarga. Menurut Sukarni (1989), pendidikan orangtua akan
menentukan kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya
pelayanan kesehatan dan keluarga berencana.
Pekerjaan Orangtua
Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta
berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan
dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989).
Tabel 17 Sebaran orangtua berdasarkan pekerjaan
Ayah Ibu
Jenis Pekerjaan
n % n %

Tidak bekerja 0 0 0 0
Pedagang 6 15 2 4.8
Buruh 8 20 1 2.3
Pemulung 3 7.5 0 0
Jasa 11 27.5 1 2.3
IRT 0 0 37 92.6
Lainnya 4 10 0 0
PNS/ABRI/Polisi 1 2.5 0 0
Karyawan 7 17.5 0 0
Total 40 100 41 100
49

Berdasarkan Tabel 17 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar ayah


bekerja dibidang jasa (25%) contohnya bekerja sebagai tukang ojek. Sedangkan
sebagian besar ibu berstatus sebagai ibu rumah tangga (85.4%). Pekerjaan
memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting
dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain
seperti kesehatan (Sukarni 1989).
Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga
Pendapatan perkapita per bulan anggota keluarga anak balita dihitung
berdasarkan jumlah pendapatan keluarga dibagi dengan besar keluarga. Rata-
rata pendapatan per kapita anggota keluarga anak balita adalah Rp 533.388,00
dengan standar deviasi adalah Rp 294.027,00. Tabel 18 menunjukkan sebaran
responden berdasarkan pendapatan menurut garis kemiskinan.
Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan pendapatan keluarga
Kategori n %
Miskin 16 39.0
Tidak Miskin 25 61.0
Total 41 100.0

Berdasarkan Tabel 18 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar (61%)


responden termasuk keluarga tidak miskin dengan pendapatan perkapita
anggota rumah tangga >Rp 379.052, dan sisanya sebanyak 39% termasuk
rumah tangga miskin dengan pendapatan perkapita anggota keluarga ≤Rp
379.052. Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non
pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan
mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2010). Pada Tabel 19 menunjukkan
pengeluaran pangan responden.
Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan pengeluaran pangan
Pengeluaran pangan n %
>45% 34 82.9
<45% 7 17.1
Total 41 100.0

Berdasarkan Tabel 19 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar


responden (82.9%) menggunakan lebih dari 45% pendapatannya untuk pangan.
Kelompok yang berpendapatan rendah pada umunya mempunyai proporsi paling
besar untuk pengeluaran pangan. Berlawanan, dengan kelompok masyarakat
berpendapat tinggi, mereka mengalokasikan lebih pendapatan untuk non pangan
50

(Sukandar 2007). Di negara-negara berkembang, orang-orang miskin hampir


membelanjakan pendapatannya untuk makanan. Di India Selatan keluarga-
keluarga yang miskin menghabiskan 80 persen anggaran belanjanya untuk
makanan, sedangkan di negara-negara maju hanya 45 persen (Berg 1986).
Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan gizi merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dapat
diperoleh melalui pendidikan. Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang
mencirikan seseorang memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan
(Sukandar 2007). Tabel 20 menunjukkan sebaran responden berdasarkan
pengetahuan gizi.
Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi
Kategori n %
Baik (>80%) 13 31.7
Sedang (60-80%) 24 58.5
Kurang (<60%) 4 9.8
Total 41 100

Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki


pengetahuan gizi sedang dengan proporsi 58.5%, sedangkan responden dengan
pengetahuan gizi tinggi sebesar 31.7% dan masih ada responden yang memiliki
pengetahuan yang rendah dengan proporsi 9.8%. Notoatmodjo (2007)
mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan.
Sikap Gizi Ibu
Sikap adalah suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap akan
mempengaruhi proses berpikir, respon afeksi, kehendak, dan perilaku berikutnya
(Notoatmodjo 2007).
Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi
Kategori n %
Baik (18-20) 17 41.5
Sedang (15-17) 17 41.5
Kurang (12-14) 7 17.1
Total 41 100
51

Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki sikap gizi


dalam kategori baik dan sedang (41.5%) dan hanya 17.1% ibu memiliki sikap gizi
dalam kategori kurang. Sikap gizi ibu merupakan sikap ibu yang dapat
membedakan mengenai makanan yang bergizi dan aman untuk dikonsumsi serta
dalam pemilihan makanan dan zat gizi. Sikap biasanya memainkan peranan
utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan
perilaku yang positif dan sikap negative akan menumbuhkan perilaku yang
negatif.
Perilaku Gizi Ibu
Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang
bersangkutan. Perilaku merupakan hubungan antara perangsang (stimulus) dan
respon (Skinner 1933 dalam Notoatmodjo 2007). Perilaku adalah pola praktek
yang terjadi berulang-ulang dan telah menjadi kebiasaan.
Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi
Kategori n %
Baik (21-25) 14 34.1
Sedang (20-16) 18 43.9
Kurang (11-15) 9 22.0
Total 41 100

Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat bahwa sebagian besar perilaku gizi


ibu yang memiliki anak balita berada dalam kategori sedang (43.9%), baik
(34.1%), dan masih terdapat ibu yang memiliki perilaku gizi kurang (22%).
Menurut Sumintarsih et al. (2000), menyatakan bahwa meskipun didukung oleh
pengetahuan yang menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu,
belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang
diketahui dan dipahaminya. Perilaku gizi tidak muncul dalam individu tersebut
(internal), melainkan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya
(Khomsan 1993 dalam Jayanti 2011).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Ibu
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan cerminan pola hidup
keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh
anggota keluarga. Menurut Yoon et al. (1997) dalam Safitri (2010), perilaku hidup
sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Tabel 23 menunjukkan
sebaran responden berdasarkan PHBS.
52

Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan PHBS


Kategori n %
Baik (13-16) 13 31.7
Sedang (9-12) 17 41.5
Kurang (5-8) 11 26.8
Total 41 100

Tabel 23 menunjukkan bahwa secara umum perilaku hidup bersih dan


sehat ibu yang memiliki anak balita sebagian besar masih tergolong sedang
(41.5%), sebagian kecil sudah baik (31.7%), namun masih ada yang tergolong
rendah (26.8%). Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan perilaku yang
berkaitan dengan kegiatan seseorang dalam meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan. Rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat ibu
diduga ibu belum memahami mengenai pentingnya untuk berperilaku bersih dan
sehat. Nilai perilaku hidup sehat contoh yang baik diharapkan dapat
mencerminkan kondisi kesehatan contoh, karena denga perilaku hidup yang
sehat berarti telah melakukan usaha pencegahan terhadap penukaran penyakit.
Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah usaha-usaha pengendalian dari semua faktor-
faktor lingkungan fisik manusia yang menimbulkan atau dapat menimbulkan hal
yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup
manusia. Rumah yang ditempati oleh responden ada yang milik sendiri, milik
orangtua, dan ada yang mengontrak, dengan luas rumah rata-rata rumah 21.5
m2. Luas rumah bila dibandingkan dengan jumlah penghuni (luas ruangan
perorang) akan menggambarkan tingkat kepadatan suatu rumah. Menurut
Sukarni (1989), luas ruangan perorang yang baik adalah >10 m2/orang, cukup
antara 7-10 m2/orang, dan yang kurang <7 m2/orang.
Berdasarkan Tabel 18, sebesar 31 % responden memiliki luas ruangan
per orang dengan kategori kurang (<7 m2/orang). Sebagian besar responden
memiliki lantai rumah dari keramik (51.2%) namun dengan atap seng ( 61%).
Sebesar 73.2% keluarga yang memiliki jendela namun hanya 29.3% memiliki
ventilasi yang memadai. Tidak lebih dari separuh responden yang memiliki
kamar mandi dan jamban yaitu sebesar 46.3% dan 39.0, serta tidak satu
responden pun yang memiliki septic tank.
53

Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah


Kondisi Fisik Rumah n %
Jenis lantai
a. Tanah 0 0.0
b. Keramik 21 51.2
c. Semen 10 24.4
d. Papan/bamboo 10 24.4
Bagian rumah berupa tanah
a. Ya 0 0.0
b. Tidak 41 100.0
Atap
a. Seng 25 61.0
b. Genteng 3 7.3
c. Asbes 13 31.7
Jendela
a. Ada 30 73.2
b. Tidak 11 26.8
Kepemilikan kamar mandi
a. Ya 19 46.3
b. Tidak 22 53.7
Kepemilikan jamban/WC
a. Ya 16 39.0
b. Tidak 25 61.0
Kepemilikan septic tank
a. Ya 0 0.0
b. Tidak 41 100.0
SPAL
a. Ya 16 39.0
b. Tidak 25 61.0
Ventilasi memadai
a. Ya 12 29.3
b. Tidak 29 70.7
Kepadatan luas ruangan
a. kurang (<7m) 31 75.6
b. cukup baik (7-10) 5 12.2
c. baik (>10m) 5 12.2

Lebih dari separuh responden tidak memiliki saluran pembuangan air


limbah (61%). Hal ini karena anggota keluarga mengalirkan limbah langsung ke
sungai. Pemukiman yang sanitasinya tidak baik seperti tidak tersedia air bersih,
jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air
kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang
menyebabkan seseorang kurang gizi.
54

Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan sanitasi lingkungan


Kategori n %
Rendah (14-18) 21 51.2
Sedang (19-23) 10 24.4
Baik (24-28) 10 24.4
Total 41 100

Berdasarkan Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar sanitasi


lingkungan responden berada pada kategori rendah (51.2%), sisanya pada
kategori sedang dan tinggi sebanyak 24.4%. Pemukiman yang sanitasinya tidak
baik seperti tidak tersedia air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak
tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat
menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang kurang gizi.
Sumber Air
Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk
dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002).
Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan sumber air
Minum Masak Lain-lain
Sumber Air
n % n % n %
Sungai 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Sumur/mata air 13 31.7 26 63.4 40 97.6
PAM 1 2.4 1 2.4 1 2.4
Air pikulan 2 4.9 7 17.1 0 0.0
Air gallon 29 70.7 7 17.1 0 0.0

Tabel 26 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (70.7%)


menggunakan air galon untuk minum, sedangkan untuk masak sebanyak 63.4%
responden menggunakan air sumur/mata. Sumber air yang digunakan untuk
mandi dan mencuci, sebagian besar responden (97.6%) menggunakan sumber
air sumur/mata air. Pada umumnya, sumber air bagi keperluan rumah tangga
berasal dari sumur. Air sumur harus memenuhi syarat kesehatan sebagai air
rumah tangga, maka air sumur harus dilindungi dari pencemaran dan harus
memperhatikan bahwa jarak sumur dengan sumber kotoran minimum 10 m
(Sukarni 1989).
Positive Deviance
Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang
berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak
55

tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga


yang sama (Zeitlin et al. 1990). Kebiasaan keluarga yang menguntungkan
sebagai inti positif deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu
pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan
kesehatan (Core 2003). Tabel 27 sampai dengan Tabel 30 menunjukkan
pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, PHBS responden yang
menguntungkan sehingga terjadinya penyimpangan positif status gizi dan status
kesehatan anak balita.
Tabel 27 menunjukkan tentang pengetahuan gizi responden. Secara
keseluruhan lebih dari separuh pengetahuan yang dimiliki responden sudah
cukup baik untuk setiap pertanyaan, kecuali pada pengetahuan gizi ibu
mengenai makanan untuk tumbuh tinggi anak hanya 41.5%. Sebagian besar
responden sudah mengetahui tentang makanan sebagai sumber tenaga (73.2%),
contoh makanan sumber protein (78.0%), makanan agar gigi dan tulang kuat
(70.7%), makanan agar tidak rabun pada mata (92.7%), makanan agar buang air
lancar (87.8%), makanan agar tidak cepat lesu dan lelah (63.4%), makanan yang
mengandung formalin (90.2%), bahaya merokok (95.1%), dan lama pemberian
ASI (75.6%).
Tabel 27 Sebaran responden mengenai pengetahuan gizi
Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
1. Kalau Bapak/suami akan bekerja, makanan apa
yang harus dimakan agak banyak agar bertenaga 30 73.2 11 26.8
dan kuat bekerja?
2. Agar anak-anak bertumbuh tinggi badannya,
17 41.5 24 58.5
makanan hewani atau nabati yang lebih baik?
3. Contoh makanan sumber protein adalah: 32 78.0 9 22.0
4. Supaya gigi dan tulang menjadi kuat, makanan
29 70.7 12 29.3
apa yang seharusnya dimakan ?
5. Rabun pada mata, seringkali terjadi karena
38 92.7 3 7.3
kekurangan makanan apa ?
6. Supaya buang air lancar tiap hari, makanan apa
36 87.8 5 12.2
yang harus dimakan ?
7. Bila mata berkunang-kunang, cepat lelah, lesu,
dan hal-hal tersebut adalah tanda-tanda kurang 26 63.4 15 36.6
darah, makanan apa yang harus dimakan ?
8. Yang kemungkinan mengandung lebih banyak
37 90.2 4 9.8
formalin adalah tahu atau tempe?
9. Apa bahaya merokok bagi kesehatan ? 39 95.1 2 4.9
10. Bila Anda mempunyai anak kecil, agar dia tumbuh
dengan baik dan cerdas, pemberian ASI (Air Susu 31 75.6 10 24.4
Ibu) sebaiknya sampai usia berapa ?
56

Tabel 28 menunjukkan mengenai sikap gizi ibu. Sebagian besar


responden setuju mengenai makan nasi sebagai sumber tenaga (97.6%), minum
susu penting untuk anak (97.6%), makan sayur bermanfaat untuk kesehatan
(100%), konsumsi daging bermanfaat untuk menambah darah (87.8%), konsumsi
sayur setiap hari (90.2%). Sebagian besar responden tidak setuju mengenai
sarapan tidak terlalu penting (73.2%), lama pemberian ASI hanya sampai 1
tahun (63.2%), kebiasaan merokok tidak perlu dihilangkan (90.2%), dan formalin
digunakan untuk mengawetkan makanan (100%). Namun masih banyak
responden yang bersikap bahwa konsumsi tahu dan tempe sama baiknya
dengan makan telur atau daging (82.9%).
Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi ibu
Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
1. Makan nasi penting sebagai sumber tenaga 40 97.6 1 2.4
2. Minum susu setiap hari penting untuk anak 40 97.6 1 2.4
3. Kebiasaan makan sayur setiap hari bermanfaat bagi
41 100 0 0
kesehatan
4. Sarapan pagi tidak terlalu penting 30 73.2 11 26.8
5. Konsumsi daging bermanfaat untuk menambah
36 87.8 5 12.2
darah
6. ASI cukup diberikan sampai anak berusia 1 tahun 26 63.4 15 36.6
7. Menyediakan sayuran hijau dalam menu sehari-hari
37 90.2 4 9.8
lebih baik daripada sayuran yang tidak berwarna
8. Mengkonsumsi tahu dan tempe sama baiknya
7 17.1 34 82.9
dengan makan telur/daging
9. Kebiasaan merokok tidak perlu dihilangkan/dikurangi 37 90.2 4 9.8
10. Formalin biasa digunakan untuk mengawetkan
41 100 0 0
tahu, ikan basah dan ayam

Tabel 29 menunjukkan bahwa sebanyak 92.7% keluarga responden tidak


suka makan buah setiap hari, dan dalam mengkonsumsi sayur sebanyak 78.0%
keluarga responden tidak makan sayur setiap hari. Buah dan sayur banyak
mengandung vitamin dan mineral yang baik untuk tubuh. Vitamin dan mineral
merupakan zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan yang
dibutuhkan oleh anak balita (Almatsier 2006).
Sebanyak 63.4% responden tidak memberikan ASI ekslusif (6 bulan)
kepada anaknya. Pada umunya setelah anak berusia empat bulan bahkan
kurang, responden sudah memberikan makanan pendamping ASI seperti pisang,
biskuit, susu formula, bubur bayi, dan lainnya. Pemberian ASI ekslusif sangat
bermanfaat karena ASI merupakan makanan yang paling sempurna untuk bayi.
Menurut Soekirman (2000), ASI mengandung zat kekebalan yang mampu
melindungi anak dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA.
57

Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi ibu


Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
1. Kami suka makan buah 3 7.3 38 92.7
2. Anak balita saya minum susu (ASI atau non ASI) 32 78.0 9 22
3. Kami makan sayur 9 22.0 32 78
4. Saya menghindari makanan yang mengandung
28 68.3 13 31.7
formalin (tahu, daging ayam, ikan segar)
5. Saya menghindari makanan/minuman olahan
yang berwarna mencolok (kerupuk, kue, jajanan 37 90.2 4 9.8
pasar, sirup)
6. Saya memberikan ASI saja (ekslusif) sampai
15 36.6 26 63.4
anak berusia 6 bulan
7. Kami lebih sering mengkonsumsi sayuran
berwarna (wortel, bayam) dibandingkan tidak 38 92.7 3 7.3
berwarna (sawi, kol)
8. Kami makan daging sapi/ayam minimal satu kali
31 75.6 10 24.4
seminggu
9. Suami saya suka merokok 4 9.8 37 90.2
10. Kami lebih sering makan dengan tahu atau
11 26.8 30 73.2
tempe daripada pangan hewani

Sebagian besar responden (73.2%) lebih sering mengkonsumsi pangan


nabati seperti tahu dan tempe dibanding dengan pangan hewani. Padahal bahan
makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun
mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier 2006).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah perilaku yang berkaitan
dengan upaya atau kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan
kesehatannya. Tabel 30 menunjukkan bahwa dalam aspek kesehatan sebagian
besar ibu (92.7%) melakukan persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan.
Sebanyak 90.2% ibu rutin melakukan penimbangan balita dan melakukan
imunisasi pada balitanya di Posyandu. Penimbangan bayi dan balita
dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan setiap bulan. Penimbangan bayi
dan balita dimulai dari umur 1 bulan sampai 5 tahun di Posyandu sehingga dapat
diketahui balita tumbuh sehat atau tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi
serta dapat diketahui bayi yang dicurigai menderita gizi buruk (Depkes 2007).
Sebagian besar responden memiliki anggota keluarga yang merokok
yaitu sebesar 85.4%. Merokok tentunya sangat berbahaya, yakni dapat
menyebabkan masalah kesehatan seperti kerontokan rambut, gangguan pada
mata, menyebabkan penyakit paru-paru kronik, merusak gigi, stroke, kanker kulit,
kemandulan, impotensi, kanker rahim, dan keguguran (Depkes 2007).
Pada aspek kebersihan diri sebagian besar ibu membiasakan anaknya
untuk menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur (58.5%). Membiasakan
58

menggosok gigi sebelum tidur dan setelah makan merupakan salah satu contok
praktik higiene perorangan. Kegiatan menggosok gigi bertujuan untuk
membersihkan mulut dari sisa makanan yang dapat membentuk plak pada gigi.
Ibu juga membiasakan anaknya untuk mencuci tangan sebelum makan dan
sesudah buang air besar menggunakan sabun (68.3%). Mencuci tangan dengan
sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari
jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan
memutuskan mata rantai kuman.
Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan PHBS ibu
Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
Kesehatan
1. Anggota dana sehat 8 19.5 33 80.5
2. Persalinan di tenaga kesehatan 38 92.7 3 7.3
3. Penimbangan balita 37 90.2 4 9.8
4. Imunisasi balita 37 90.2 4 9.8
5. Anggota keluarga merokok 35 85.4 6 14.6
6. Olahraga teratur 6 14.6 35 85.4
Kebersihan Diri
1. Menggosok gigi 24 58.5 17 41.5
2. Mencuci tangan 28 68.3 13 31.7
Makanan bergizi
1. Sarapan pagi 25 61.0 16 39
2. Makanan beranekaragam 9 22.0 32 78
Sanitasi Lingkungan
1. Menggunakan air bersih 31 75.6 10 24.4
2. Saluran pembuangan limbah 16 39.0 25 61
3. Tukang sampah di lingkungan 11 26.8 30 73.2
4. Limbah di buang ke sungai 40 97.6 1 2.4
5. BAB di WC 26 63.4 15 36.6
Kondisi Rumah
1. Memiliki kamar mandi 19 46.3 22 53.7
2. Memiliki jamban 16 39.0 25 61
3. Memiliki septi tank 0 0.0 41 100
4. Ventilasi memadai 12 29.3 29 70.7
2
5. Luas ruangan 7-10m /orang 6 14.6 35 85.4

Berdasarkan Tabel 30 sebagian besar 61.0% responden melakukan


sarapan pagi sebelum beraktivitas. Sarapan penting dilakukan sebelum
melakukan aktivitas pada pagi hari. Manfaat sarapan adalah dapat menyediakan
karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah.Dalam
mengkonsumsi makanan yang beranekaragam hanya 22.0% responden yang
melakukannya. Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung lengkap
semua zat gizi yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh
kembang, dan produktif. Setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam
makanan dalam jumlah yang mencukupi.
59

Pada aspek sanitasi lingkungan hampir seluruh responden membuang


limbah rumah tangga ke sungai (97.6%). Hanya 39.0% responden yang memiliki
saluran pembuangan limbah. Sebagian besar (63.4%) anggota keluarga biasa
BAB di WC, namun masih terdapat anggota yang BAB tidak di WC (36.6%).
Menurut Notoatmodjo (2007), kotoran manusia (feses) adalah sumber
penyebaran penyakit yang multikomplek. Penyebaran penyakit yang bersumber
pada feses dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Tinja dapat langsung
mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, dan juga air, tanah, dan
serangga. Peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar.
Kondisi rumah responden masih belum dalam kondisi yang baik dan
sehat. Hanya 40.3% responden yang memiliki kamar mandi, sisanya anggota
keluarga responden mandi di MCK umum. Hanya 39.0% responden yang
memiliki jamban dan seluruh responden tidak memiliki septi tank. Responden
yang memiliki rumah dengan luas ruangan yang memenuhi syarat hanya 14.6%
dan hanya 29.3% responden yang memiliki ventilasi yang memadai. Menurut
Winslow dalam Entjang (2000), rumah yang tidak sehat dapat mengakibatkan
pula tingginya kejadian infeksi penyakit dalam masyarakat. Rumah yang sehat
harus memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis serta dapat menghindar
terjadi kecelakaan dan penyakit.
Sebagian besar responden mengunjungi Puskesmas ketika anak
balitanya mengalami sakit yaitu sebanyak 52.0%, sisanya dibawa ke klinik
(12.0%), dan hanya diberikan obat warung (32.0%).
Hubungan Antar Variabel
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Perilaku Gizi
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-
hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007).
Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang
memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan (Sukandar 2007).
Tabel 31 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dengan perilaku gizi
Perilaku Gizi
Pengetahuan Total
Kurang Sedang Baik
Gizi
n % n % n % n %
Kurang 1 25.0 2 50.0 1 25.0 4 100
Sedang 8 33.3 7 29.2 9 37.5 24 100
Baik 0 0.0 5 38.5 8 61.5 13 100
Total 9 22.0 14 34.1 18 43.9 41 100
60

Berdasarkan Tabel 31 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar


responden dengan pengetahuan gizi kurang (50.0%) ternyata memiliki perilaku
gizi dengan kategori sedang. Sebagian besar responden dengan pengetahuan
gizi baik (61.5%) memiliki perilaku gizi yang baik pula. Hasil analisis uji
Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara
pengetahuan gizi dan perilaku gizi ibu (r=0.315, p<0.05). Hal tersebut berarti
semakin baik pengetahuan gizi ibu, maka semakin baik pula perilaku gizi ibu. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2011) bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dan perilaku gizi. Notoatmodjo
(2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan.
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan PHBS
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-
hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007).
Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang
memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan (Sukandar 2007).
Tabel 32 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Pengetahuan Total
Kurang Sedang Baik
Gizi
n % n % n % n %
Kurang 2 50.0 1 25.0 1 25.0 4 100
Sedang 9 37.5 12 50.0 3 12.5 24 100
Baik 0 0.0 4 30.8 9 69.2 13 100
Total 11 26.8 17 34.5 13 31.7 41 100

Berdasarkan Tabel 32 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu (50.0%)


yang memiliki pengetahuan gizi kurang memiliki PHBS yang kurang pula. Begitu
pula pada sebagian besar ibu (69.2%) yang memiliki pengetahuan gizi baik
memiliki PHBS yang baik. Hasil analisis uji Spearman menunjukkan terdapat
hubungan signifikan positif antara pengetahuan gizi dan PHBS responden
(r=0.530, p<0.05). Hal tersebut berarti semakin baik pengetahuan gizi maka
semakin baik pula perilaku hidup bersih dan sehat responden. Notoatmodjo
(2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh
61

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari


pengetahuan.
Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi
Tabel 33 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan tingkat
pendidikan rendah (SD/sederajat) memiliki anak balita dengan status gizi baik
(41.9%). Responden dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat sebagian besar
juga memiliki anak balita dengan status gizi baik (35.5%). Hasil analisis
Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara tingkat
pendidikan ibu dengan status gizi anak balita. Walaupun tingkat pendidikan ibu
balita termasuk rendah namun diduga besar kepedulian ibu untuk lebih
memperhatikan anak balitanya sehingga dapat meningkatkan status gizi anak
balita tersebut.
Tabel 33 Sebaran responden menurut karakteristik ibu dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Karakteristik Keluarga Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Tingkat Pendidikan Ibu
SD 2 50.0 2 33.3 13 41.9 17 41.5
SMP 1 25.0 2 33.3 7 22.6 10 24.4
SMA 1 25.0 2 33.3 11 35.5 14 34.1
Total 4 100 6 100 31 100 41 100

Umur (tahun)
<20 0 0.0 0 0.0 1 3.2 1 2.4
20-40 3 75.0 5 83.3 28 90.3 36 87.8
41-65 1 25.0 1 16.7 2 6.5 4 9.8
Total 4 100 6 100 31 100 41 100

Tabel 33 juga menunjukkan sebagian besar responden (90.3%) dengan


umur 20-40 tahun memiliki anak balita dengan status gizi baik. Sebagian kecil
responden dengan umur <20 tahun (3.2%) dan 41-65 tahun (6.5%) yang memiliki
anak balita dengan status gizi baik. Hasil analisis Pearson menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara umur ibu dengan status gizi anak balita.
Namun, pada umumnya ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa)
akan cenderung menerima perannya sebagai ibu dengan sepenuh hati, sehingga
ibu akan merawat dan menjaga anak dengan sepenuh hati dan tidak merasa
terbebani.
Hasil analisis Pearson terdapat hubungan antara IMT ibu dengan status
gizi anak berdasarkan BB/TB (r=0.302, p<0.05), namun tidak terdapat hubungan
berdasarkan indikator BB/U dan TB/U. Menurut Rahman et al. (1993) dalam
penelitian yang dilakukan oleh Pryer (2003) menunjukkan bahwa status gizi ibu
62

berhubungan dengan status gizi anak-anak di Dhaka setelah mengendalikan


variabel sosio-ekonomi dan menyusui. Status gizi ibu dapat digunakan sebagai
proksimat penentu status gizi anak-anak.
Hubungan tingkat kemiskinan dengan status gizi balita
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan Tabel 34 menunjukkan bahwa
sebagian besar (72.0%) anak balita yang termasuk keluarga tidak miskin
memiliki status gizi baik, sedangkan keluarga miskin berstatus gizi baik sebanyak
81.2%. Sebagian kecil contoh (6.2%) termasuk keluarga miskin memiliki anak
balita dengan status gizi kurang, sedangkan keluarga tidak miskin memiliki anak
balita dengan status gizi kurang sebesar 20%.
Tabel 34 Sebaranresponden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Kemiskinan Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Miskin 2 12.5 1 6.2 13 81.2 16 100.0
Tidak Miskin 2 8.0 5 20.0 18 72.0 25 100.0
Total 4 9.8 6 14.6 31 75.6 41 100.0

Menurut Hardinsyah (1997), pada tingkat keluarga, penurunan daya beli


akibat rendahnya pendapatan keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas
konsumsi pangan serta aksesbilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi warga
kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak
yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Namun, berdasarkan data
yang diperoleh, diketahui bahwa terdapat 81.2% keluarga miskin yang memiliki
anak balita dengan status gizi baik. Hal tersebut merupakan positive deviance
yang terjadi di pemukiman kumuh. Terjadinya positive deviance diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, diantaranya seperti pengetahuan gizi ibu,
pola asuh, dan pelayanan kesehatan yang baik, serta dapat pula karena adanya
bantuan pemerintah seperti beras raskin dan BLT (Bantuan Langsung Tunai)
khususnya pada keluarga miskin serta balita tersebut mempunyai daya adaptasi
yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik (tidak
kurang gizi).
Berdasarkan uji korelasi Spearman pula bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat kemiskinan dengan status gizi berdasarkan BB/U dengan nilai
p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua proporsi menujukkan bahwa
proporsi status gizi baik pada keluarga miskin sama dengan proporsi status gizi
63

baik pada keluarga tidak miskin (Zhit=0,669). Nilai Zhit tidak berada dalam wilayah
kritik (Z<-1.96).
Tabel 35 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi TB/U
Status Gizi (TB/U)
Total
Kemiskinan Sangat Pendek Pendek Normal
n % n % n % n %
Miskin 4 25 3 18.8 9 56.2 16 100
Tidak Miskin 4 16 7 28.0 14 56.0 25 100
Total 8 19.5 10 24.4 23 56.1 41 100

Berdasarkan Tabel 35 di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh


(56%) anak balita memiliki status gizi normal, baik itu dari keluarga miskin
maupun dari keluarga tidak miskin. Namun, masih terdapat anak balita dengan
status gizi pendek yaitu 18.8% pada keluarga miskin dan 28.0% pada keluarga
tidak miskin. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau,
juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Namun, dalam hal ini
baik keluarga miskin ataupun keluarga tidak miskin sebagian besar memiliki
status gizi normal. Hal tersebut merupakan positive deviance yang terjadi di
pemukiman kumuh.
Berdasarkan uji korelasi Spearman pula bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat kemiskinan dengan status gizi berdasarkan TB/U dengan nilai
p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua proporsi menujukkan bahwa
proporsi status gizi normal pada keluarga miskin sama dengan proporsi status
gizi normal pada keluarga tidak miskin (Zhit=0.015). Nilai Zhit tidak berada dalam
wilayah kritik (Z<-1.96).
Tabel 36 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi BB/TB
Status Gizi (BB/TB) Total
Kemiskinan Kurus Normal
n % n % n %
Miskin 0 0 16 100 16 100
Tidak Miskin 3 12.0 22 88.0 25 100
Total 3 7.3 38 92.7 41 100

Berdasarkan Tabel 36 menunjukkan bahwa pada keluarga miskin


terdapat 100% anak balita memiliki status gizi normal berdasarkan berat badan
menurut tinggi badan, sedangkan pada keluarga tidak miskin terdapat 88% anak
balita yang memiliki status gizi normal. Berdasarkan uji korelasi Spearman
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan status gizi
berdasarkan BB/TB dengan nilai p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua
64

proporsi menujukkan bahwa proporsi status gizi normal pada keluarga miskin
sama dengan proporsi status gizi normal pada keluarga tidak miskin (Zhit=1.719).
Nilai Zhit tidak berada dalam wilayah kritik (Z<-1.96).
Pengeluaran rumah tangga yaitu pulsa telepon terdapat hubungan negatif
dan signifikan terhadap status gizi anak balita menurut TB/U (r=-0.317, p<0.05).
Hal tersebut berarti semakin besar rumah tangga mengeluarkan uang untuk
membeli pulsa, maka status gizi anak balita berdasarkan TB/U akan semakin
menurun. Walaupun dalam penelitian ini sebagian besar rumah tangga termasuk
dalam kategori tidak miskin, karena perilaku tersebut tidak menutup
kemungkinan anak balitanya akan mengalami status gizi buruk atau kurang.
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Status Gizi
Pada Tabel 37 menunjukkan bahwa balita dengan status gizi baik 58.1%
memiliki seorang ibu dengan pengetahuan gizi yang sedang sedangkan anak
balita dengan status gizi kurang memiliki seorang ibu dengan pengetahuan gizi
yang kurang (33.0%). Sebagian besar balita sangat pendek, pendek, dan normal
juga memiliki ibu dengan pengetahuan gizi sedang yaitu 62.5%, 50.0%, dan
60.9%. Namun, pada balita kurus sebagian besar (66.7%) memiliki ibu dengan
pengetahuan gizi yang baik.
Tabel 37 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Pengetahuan Total
Buruk Kurang Baik
Gizi
n % n % n % n %
Kurang 0 0.0 2 33.3 2 6.5 4 9.8
Sedang 3 75.0 3 50.0 18 58.1 24 58.5
Baik 1 25.0 1 16.7 11 35.5 13 31.7
Total 4 100.0 6 100.0 31 100.0 41 100
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 1 12.5 2 20.0 1 4.3 4 9.8
Sedang 5 62.5 5 50.0 14 60.9 24 58.5
Baik 2 25.0 3 30.0 8 34.8 13 31.7
Total 8 100 10 100 23 100 41 100
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 0 0.0 4 10.5 4 9.8
Sedang 1 33.3 23 60.5 24 58.5
Baik 2 66.7 11 28.9 13 31.7
Total 3 100 38 100 41 100

Berdasarkan analisis korelasi Spearman secara keseluruhan,


pengetahuan gizi tidak berhubungan dengan status gizi, baik berdasarkan BB/U,
TB/U, maupun BB/TB (p>0.05). Namun, pada pengetahuan gizi mengenai lama
pemberian ASI kepada anak balita memiliki hubungan dengan status gizi
65

berdasarkan TB/U (p<0.05). Menurut Sanjur (1982) dalam Sukandar (2007),


tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena
berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek
tertentu. Akan tetapi, hubungan antara pengetahuan terhadap sikap dan perilaku
tidak linier, misalnya dalam hal konsumsi makanan dengan baik. Konsumsi
makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi
merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Jadi apabila seorang
ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik belum tentu dapat mempraktekkan
pengetahuan gizi tersebut dalam mengkonsumsi makanan sehingga
mempengaruhi status gizi anak balitanya, begitu pula sebaliknya pada ibu
dengan pengetahuan gizi sedang ataupun rendah.
Hubungan Sikap Gizi dengan Status Gizi
Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa balita dengan status gizi baik
41.9% memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik pula, sedangkan balita dengan
status gizi kurang (50%) memiliki ibu dengan sikap gizi sedang dan balita status
gizi buruk (50%) memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik. Balita normal (52.2%)
berdasarkan indikator TB/U memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik, sedangkan
balita sangat pendek dan pendek dengan proporsi 50% memiliki ibu dengan
sikap gizi sedang. Berdasarkan indikator BB/TB, anak balita normal (44.7%)
memiliki ibu dengan sikap gizi baik, dan ternyata seluruh balita kurus (100%)
memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik.
Tabel 38 Sebaran responden menurut sikap gizi dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Sikap Gizi Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Kurang 1 25.0 1 16.7 5 16.1 7 17.1
Sedang 1 25.0 3 50.0 13 41.9 17 41.5
Baik 2 50.0 2 33.3 13 41.9 17 41.5
Total 4 100 6 100 31 100 41 100
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 2 25.0 1 10.0 4 17.4 7 17.1
Sedang 4 50.0 6 60.0 7 30.4 17 41.5
Baik 2 25.0 3 30.0 12 52.2 17 41.5
Total 8 100 10 100 23 100 41 100
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 0 0.0 7 18.4 7 17.1
Sedang 0 0.0 17 44.7 17 41.5
Baik 3 100 14 36.8 17 41.5
Total 3 100 38 100 41 100
66

Berdasarkan analisis korelasi Spearman bahwa sikap gizi ibu dan status
gizi tidak terdapat hubungan dengan nilai p>0.05. Pada Tabel 38 di atas juga
dapat dilihat semakin tinggi sikap gizi ibu justru memiliki anak dengan status gizi
yang kurus terhadap indikator BB/TB. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku. Sikap
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku
yang terbuka (Notoatmodjo 2007). Jadi walaupun seorang ibu menyadari hal
tersebut baik, belum tentu ibu melakukan hal tersebut, sehingga mempengaruhi
status gizi anak balitanya.
Hubungan Perilaku Gizi dengan Status Gizi Anak Balita
Pada Tabel 39 diatas menunjukkan bahwa anak balita dengan status gizi
baik sebesar 45.1% memiliki ibu dengan perilaku gizi tinggi. Pada indikator TB/U
sebanyak 43.5% anak balita dengan status gizi normal memiliki ibu dengan
perilaku gizi yang baik. Pada indikator BB/TB sebanyak 42.1% anak balita
dengan status gizi normal memiliki ibu dengan perilaku gizi baik. Namun terdapat
anak balita dengan status gizi buruk yang memiliki ibu dengan perilaku baik
(50.0%), baik status gizi pada indikator BB/U, TB/U, ataupun BB/TB.
Tabel 39 Sebaran responden menurut perilaku gizi dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Perilaku Gizi Buruk Kurang Baik
n % N % n % n %
Kurang 1 25.0 2 33.3 6 19.4 9 21.9
Sedang 1 25.0 2 33.3 11 35.5 14 34.1
Baik 2 50.0 2 33.3 14 45.1 18 44.0
Total 4 100.0 6 100.0 31 100.0 41 100.0
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 2 25.0 3 30.0 4 17.4 9 21.9
Sedang 2 25.0 3 30.0 9 39.1 14 34.1
Baik 4 50.0 4 40.0 10 43.5 18 44.0
Total 8 100.0 10 100.0 23 100.0 41 100.0
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 0 0.0 9 23.7 9 21.9
Sedang 1 33.3 13 34.2 14 34.1
Baik 2 66.7 16 42.1 18 44.0
Total 3 100.0 38 100.0 41 100.0

Berdasarkan analisis korelasi Spearman pula tidak terdapat hubungan


antara perilaku gizi ibu dengan status gizi anak balita (p>0.05). Pada penelitian
Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan
antara perilaku gizi ibu dengan status gizi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
status gizi balita yang baik tidak selalu karena ibu berperilaku gizi baik. Hal
67

tersebut diduga disebabkan oleh banyak faktor lain seperti penyakit infeksi dan
lingkungan. Menurut Mardiana (2009), kondisi ekonomi yang lemah ditambah
dengan tindakan ibu yang salah misalnya dengan membatasi anak dalam
mengkonsumsi makanan bergizi karena alasan-alasan sosial budaya dapat
memperburuk status gizinya.
Hubungan PHBS dengan Status Gizi Anak Balita
Pada Tabel 40 menunjukkan bahwa anak balita dengan status gizi baik
memiliki ibu dengan PHBS sedang (45.2%). Anak balita dengan status gizi buruk
memiliki ibu dengan PHBS yang kurang pula (75.0%) berdasarkan indikator
BB/U. Berdasarkan TB/U sebagian besar anak balita dengan status gizi normal
memiliki ibu dengan PBHS yang baik (39.1%). Berdasarkan BB/TB anak balita
normal juga memiliki ibu dengan PHBS yang sedang (42.1%).
Tabel 40 Sebaran responden menurut PHBS dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
PHBS Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Kurang 3 75.0 2 33.3 6 19.4 11 26.8
Sedang 0 0.0 3 50.0 14 45.2 17 41.5
Baik 1 25.0 1 16.7 11 35.4 13 31.7
Total 4 100 6 100 31 100 41 100
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 2 25.0 3 30.0 6 26.1 11 26.8
Sedang 5 62.5 4 40.0 8 34.8 17 41.5
Baik 1 12.5 3 30.0 9 39.1 13 31.7
Total 8 100 10 100.0 23 100 41 100
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 1 33.3 10 26.3 11 26.8
Sedang 1 33.3 16 42.1 17 41.5
Baik 1 33.3 12 31.6 13 31.7
Total 3 100 38 100 41 100

Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan antara PHBS


ibu dengan status gizi anak balita pada indikator BB/U (r=0.330, p<0.05) dan
BB/TB (r= 0.317, p<0.05), namun tidak tidak terdapat hubungan antara PHBS
dengan status gizi anak balita pada indikator TB/U (p>0.05). Status gizi
berdasarkan indikator BB/U dan BB/TB merupakan status gizi yang
mencerminkan keadaan saat ini, sedangkan TB/U mencerminkan keadaan masa
lampau. PHBS merupakan perilaku terhadap kebersihan dan kesehatan, apabila
PHBS responden rendah dapat menyebabkan anak balita terserang penyakit
infeksi yang dapat menurunkan nafsu makan sehingga dapat menurunkan berat
badan dan status gizi anak balita.
68

Perilaku hidup sehat ibu seperti penimbangan balita (93.5%) dan balita
mendapat imunisasi lengkap (90.3%), sebagian besar ibu yang memiliki balita
dengan status gizi baik melakukan hal tersebut. Balita dengan status gizi normal
berkaitan dengan perilaku pemberian makan gizi seimbang. Balita dengan status
gizi normal sebagian besar mendapatkan makanan seimbang dari ibunya
dibandingkan dengan anak balita dengan status gizi pendek berdasarkan
indikator TB/U. Ibu dengan anak balita status gizi baik membiasakan anak
balitanya buang air besar di WC (71.0%) dibandingkan dengan anak balita
berstatus gizi kurang (50.0%) dan buruk (10.0%). Keadaan rumah dengan
ventilasi yang memadai hanya dimiliki responden sebanyak 32.3% pada
respoden dengan anak balita berstatus gizi baik dibandingkan dengan responden
dengan anak balita berstatus gizi buruk dan kurang. Ventilasi yang memadai
berfungsi untuk pertukaran udara agar udara di dalam ruangan tetap bersih dan
segar.
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Kesehatan
Tabel 41 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (44.0%)
dengan tingkat pendidikan rendah (SD/sederajat) memiliki anak balita dengan
status kesehatan sakit. Responden dengan tingkat pendidikan SMP/sederajat
sebagian besar (32.0%) juga memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit,
namun responden dengan tingkat pendidikan tinggi (SMA/sederajat) sebagian
besar responden (50.0%) memiliki anak balita dengan status kesehatan sehat.
Berdasarkan analisis Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat pendidikan ibu dengan status kesehatan anak balita (p>0.05),
Tabel 41 Sebaran responden menurut karakteristik ibu dengan status kesehatan
Status kesehatan
Total
Karakteristik Keluarga Sehat Sakit
n % n % n %
Tingkat Pendidikan ibu
SD 6 37.5 11 44.0 17 41.5
SMP 2 12.5 8 32.0 10 24.4
SMA 8 50.0 6 24.0 14 34.1
Total 16 100.0 25 100.0 41 100.0
Umur (tahun)
<20 0 0.0 1 4.0 1 2.4
20-40 13 81.3 23 92.0 36 87.8
41-65 3 18.7 1 4.0 4 9.8
Total 16 100 25 100 41 100

Tabel 41 juga menunjukkan hampir seluruh responden (92.0%) berusia


20-40 tahun memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit, dan sebagian
69

kecil responden berusia <20 tahun (4.0%) memiliki anak balita dengan status
kesehatan sakit. Namun terdapat sebanyak 18.7% berusia 41-65 tahun memiliki
anak balita dengan status kesehatan yang sehat. Berdasarkan analisis
Spearman bahwa tidak terdapat hubungan antara umur ibu dengan status
kesehatan anak.
Hubungan PBHS dengan Status Kesehatan
Status kesehatan penduduk memberikan gambaran mengenai kondisi
kesehatan penduduk dan biasanya dapat dilihat melalui indikator angka
kesakitan yaitu persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan
sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari.
Tabel 42 Sebaran responden menurut PHBS dan status kesehatan
Status kesehatan
Total
Kategori PHBS Sehat Sakit
n % n % n %
Kurang 3 18.8 8 32.0 11 26.8
Sedang 4 25.0 13 52.0 17 41.5
Baik 9 56.2 4 16.0 13 31.7
Total 16 100.0 25 100.0 41 100

Proporsi terbesar responden yang memiliki anak balita sehat memiliki


PHBS dengan kategori yang baik (56.2%). Sebagian besar pada anak balita sakit
memiliki ibu dengan kategori PHBS yang sedang (52.0%). Uji korelasi Spearman
menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih berhubungan positif signifikan dengan
status kesehatan (r=0.381,p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi PHBS
responden maka anak balita tersebut akan semakin sehat. Menurut Yoon et al.
(1997), perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Salah
satu perilaku hidup sehat adalah melakukan pencegahan dan pengobatan
penyakit. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit dapat dilakukan dengan
meningkatkan daya tahan tubuh, perbaikan kesehatan diri dan lingkungan.
Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Status Kesehatan
Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting penyebab terjadinya
penyakit infeksi pada anak balita. Lingkungan keluarga yang miskin umumnya
hidup dalam kondisi yang kurang bersih dan memiliki perilaku hidup yang kurang
sehat. Berdasarkan Tabel 39 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita
sakit (48.0%) memiliki rumah dengan sanitasi lingkungan yang kurang. Begitu
pula rumah tangga yang memiliki anak balita sehat, sebagian besar memiliki
sanitasi yang kurang pula (56.3%).
70

Tabel 43 Sebaran responden menurut sanitasi lingkungan dan status kesehatan


Status kesehatan
Sanitasi Total
Sakit Sehat
Lingkungan
n % n % n %
Kurang 12 48.0 9 56.3 21 51.2
Sedang 7 28.0 3 18.7 10 24.4
Baik 6 24.0 4 25.0 10 24.4
Total 25 100.0 16 100.0 41 100.0

Berdasarkan uji analisis Spearman menunjukkan pula ternyata tidak


terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan dengan status kesehatan (p>0.05).
Hal ini karena penyebab suatu penyakit tidak hanya dari faktor lingkungan saja
(lingkungan fisik, sosial ekonomi, budaya, dan lain-lain), tetapi juga ada faktor
lain yaitu keturunan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Perilaku merupakan
faktor yang memiliki presentase terbesar yang mempengaruhi status kesehatan,
yaitu sebesar 40% (Bloem 1974 dalam Notoatmodjo 2007). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Sab’atmaja (2010) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara sanitasi lingkungan dengan status kesehatan.
Hubungan Status Kesehatan dengan Status Gizi
Salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada anak balita yang tinggal
di pemukiman kumuh adalah keadaan kurang gizi dan kejadian sakit karena pola
makan yang tidak teratur serta kondisi lingkungan yang buruk. Keadaan kurang
gizi merupakan salah satu faktor penyebab mudahnya seseorang terserang
penyakit infeksi, hal ini karena sistem imunitas atau antibodi yang dimiliki
seseorang berkurang (Almatsier 2006).
Ada hubungan timbal balik antara penyakit infeksi dengan tingkat
keadaan gizi. Malnutrisi merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi
terhadap kesakitan. Keadaan gizi yang buruk akan mempermudah seseorang
terkena penyakit terutama penyakit-penyakit infeksi. Sebaliknya, penyakit infeksi
akan memperburuk keadaan gizi seseorang (Hartriyanti & Triyanti 2010). Namun,
berdasarkan hasil analisis Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status gizi dengan status kesehatan
anak balita. Hal ini disebabkan karena status kesehatan yang diperoleh yaitu
hanya kejadian sakit anak balita dalam dua minggu terakhir. Hal tersebut belum
menggambarkan riwayat sakit anak balita tersebut. Menurut Entjang (2000)
terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan seperti kekebalan
(daya tahan tubuh). Meskipun agen penyebab penyakit menyerang manusia jika
memiliki daya tahan tubuh yang tinggi maka tidak akan sakit.
71

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Separuh anak balita berjenis kelamin perempuan (51.2%) dan sisanya
berjenis kelamin laki-laki (48.8%). Umur balita berkisar antara 13-50 bulan
dengan rata-rata 30.4±9.9. Sebagian besar anak balita berumur antara 24-35
bulan (43.9%), sisanya berumur 12-23 bulan (19.5%), umur 36-47 bulan (22%),
dan umur 48-60 bulan (14.6%).
Status gizi anak balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U)
sebagian besar berstatus gizi baik (75.6%) yang tersebar seimbang pada balita
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Status gizi anak balita berdasarkan
tinggi badan menurut umur, status gizi normal dengan proporsi sebanyak 23%.
Status gizi anak balita berdasarkan BB/TB sebagian besar normal (92.7%).
Sebagian besar anak balita (61.0%) pernah mengalami sakit dan sebanyak
39.0% anak balita yang tidak mengalami sakit selama dua minggu terakhir. Sakit
yang sering diderita anak balita yaitu batuk (46.3%) selama 1-3 hari dengan
frekuensi 1 kali selama dua minggu.
Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 2-9 orang dengan rata-
rata 4.6±1.6. Sebagian besar contoh merupakan keluarga kecil dengan jumlah
anggota ≤4 yaitu dengan proporsi 63.4%. Umur ayah berkisar antara 22-58 tahun
dengan rata-rata 34.5±8.3. Umur ibu berkisar antara 18-52 tahun dengan rata-
rata 30.3±8.2, baik umur ayah (76.9%) maupun umur ibu (85.4%) sebagian besar
berada pada umur antara 20-40 tahun.
Sebagian besar pendidikan ayah yaitu SD dengan proporsi sebesar
40.0%, begitu pula dengan pendidikan ibu yang sebagian besar adalah SD
(41.5%). Sebagian besar ayah bekerja dibidang jasa (25%) contohnya bekerja
sebagai tukang ojek. Sedangkan sebagian besar ibu berstatus sebagai ibu
rumah tangga (85.4%). Sebagian besar (61%) responden termasuk keluarga
tidak miskin dengan pendapatan perkapita anggota keluarga ≥Rp 379.052, dan
sisanya sebanyak 39% termasuk keluarga miskin dengan pendapatan perkapita
anggota keluarga ≤Rp 379.052. Namun, sebagian besar responden (82.9%)
masih menggunakan lebih dari 45% pendapatannya untuk pangan.
Sebagian besar responden memiliki pengetahuan gizi sedang dengan
proporsi 58.5%. Sebagian besar ibu memiliki sikap gizi dalam kategori sedang
(41.5%). Perilaku gizi ibu yang memiliki anak balita berada dalam kategori
sedang yaitu sebesar 43.9%. Secara umum perilaku hidup bersih dan sehat ibu
72

yang memiliki anak balita sebagian besar masih tergolong sedang (41.5%),
sebagian kecil sudah baik (31.7%), namun masih ada yang tergolong rendah
(26.8%).Sebagian besar sanitasi lingkungan responden berada pada kategori
rendah (51.2%). Sebagian besar responden menggunakan air galon untuk
sumber air minum (70.7%), sedangkan untuk masak sebagian besar
menggunakan air sumur/mata air (63.4%), dan untuk lain-lain sebagian besar
responden menggunakan sumur/mata air sebanyak 97.6%.
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
berhubungan signifikan dengan perilaku gizi (r=0.315, p<0.05) dan PHBS
(r=0.530, p<0.05). Karakteristik ibu yaitu pendidikan dan umur tidak berhubungan
dengan status gizi dan status kesehatan. Berdasarkan analisis Pearson terdapat
hubungan antara status gizi ibu (IMT) dengan status gizi anak (r=0.302, p<0.05).
Tingkat kemiskinan, pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi tidak
berhubungan dengan status gizi. Namun PHBS berhubungan positif dan
signifikan dengan status gizi terhadap indikator BB/U (r=0.330, p<0.05) dan
BB/TB (r=0.317, p<0.05) serta berhubungan dengan status kesehatan
(r=0.381,p<0.05). Sanitasi lingkungan tidak berhubungan dengan status
kesehatan. Status kesehatan tidak berhubungan signifikan dengan status gizi.
Variabel yang berhubungan signifikan adalah pengetahuan gizi dengan
perilaku gizi dan PHBS serta PHBS dengan status gizi dan status kesehatan.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng sehingga akan
mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku hidup bersih
sehat yang baik tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan
serta meningkatkan status gizi anak balita, namun harus didukung dengan
fasilitas dan sarana yang baik pula.
Saran
Saran yang diberikan yaitu masih diperlukannya perhatian pemerintah
terhadap lingkungan pemukiman kumuh di Manggarai mengingat buruknya
sanitasi lingkungan tersebut. Peningkatan kesadaran orangtua khususnya ibu
dalam memperhatikan anak-anaknya yaitu dengan memberikan tambahan
pengetahuan dengan penyuluhan mengenai gizi dan kesehatan oleh tenaga
kesehatan. Peningkatan fasilitas dan sarana untuk mendukung terciptanya suatu
perilaku yang lebih baik untuk meningkatkan status gizi anak balita. Perlu
penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tentang positive deviance pada status
gizi dan status kesehatan anak balita.
73

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga

Aryastami K. 2006. Perbaikan gizi anak balita melalui pendekatan positive


deviance : sebuah uji coba di Kabupaten Cianjur. Puslitbang. 25(2)

Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan (terjemahan). Jakarta:


CV.Rajawali

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tebet Dalam Angka 2011. Jakarta: BPS

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data dan Informasi Kemiskinan. [terhubung
berkala]. http//www.bps.go.id [12 September 2012]

[CORE] Child Survival Collaborations and Resources Group . 2003. Positive


Deviance & Health, Suatu Pendekatan Perubahan Perilaku dan Pos Gizi.
Diterjemahkan oleh PCI-Indonesia. Jakarta

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2007. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2010. Standar Antropometri Penilaian


Status Gizi. Jakarta: Direktorat Bina Gizi

Dijaissyah N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi, dan status kesehatan
siswa PAUD [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan ke-14. Bandung: Penerbit


Alumni

Fitriyani Y, Katrin R, Yekti H. 2008. Kondisi Lingkungan, Perilaku Hidup Sehat,


dan Status Kesehatan Keluarga Pemetik Teh. Jurnal Gizi dan Pangan:
3(2): 86-93

Gusmaini. 2010. Identifikasi Karakteristik Permukiman Kumuh (Studi Kasus


Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur) [Skripsi]. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Hardinsyah. 1997. Ekonomi Gizi. Diktat Mata Kuliah. Jurusan Ilmu Gizi
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor

Hardinsya dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi

Hartriyanti Y dan Triyanti. 2010. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada

Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga


74

Irianto D P. 2007. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan.


Yogyakarta: ANDI

Jayanti LD. 2011. Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) serta perilaku gizi
seimbang ibu kaitannya dengan status gizi dan status kesehatan balita di
Kabupaten Bojonegoro [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

Kemenkes RI. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia 2011. Kemenkes, Jakarta.

Khomarudin. 1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman,


Jakarta: Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta.

Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Departemen Gizi


Masyara-kat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian. IPB,
Bogor.

Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Khomsan et al. 2007. Studi Implementasi Program Gizi : Pemanfaatan, cakupan,


keefektifan, dan dampak terhadap status gizi. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Khomsan A, Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, dan Mudjajanto H. 2009. Studi


Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta Perbaikan
Gizi Balita. Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Khomsan A dan Tin Herawati. 2010. Pola Asuh dan Tumbuh Kembang Anak Di
Berbagai Propinsi dan Kabupaten. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka


Cipta

__________. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta

Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, & Sukandar S. 2009. Studi Aspek Sosial Ekonomi
dan Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Kesehatan dan Status
Gizi Anak Jalanan. Laporan Penelitian. Neys-Van Hoogstraten Foundation
(NHF) dan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung.

Proverawati A, Eni R. 2012. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).


Yogyakarta: Nuha Medika

Pryer JA. 2003. The epidemiology of good nutritional status among children from
a population with a high prevalence of malnutrition. Public Health
Nutrition: 7(2), 311–317

[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset


Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI
75

Riyadi H. 1995. Prinsip dan Petunjuk Penilaian Status Gizi. Diktat Departemen
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Sab’atmaja S. 2010. Analisis determinan positive deviance status gizi balita di


wilayah miskin dengan prevalensi kurang gizi rendah dan tinggi [Tesis].
Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Safitri S A. 2010. Pola asuh balita dan sanitasi lingkungan kaitannya dengan
status gizi balita di Kelurahan Kertamaya, Bogor Selatan [Skripsi]. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta: Dirjen Perguruan Tinggi Depdiknas

Soekirman & Jahari A. 2004. Penyimpangan Positif Masalah KEP di DKI


Jakarta, Pe-desaan Bogor Jawa Barat dan Lombok Timur NTB.
Puslitbang Gizi, Bogor.

Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV.Alfabeta

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Ministry of Education of Indonesia. Institut


Pertanian Bogor.

Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi.
Bogor: Institut Pertanian Bogor

Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Institut Pertanian


Bogor

Supariasa I et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Suparlan P. 1984. Kemiskinan di Perkotaan, Bacaan untuk Antropologi


Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan.

Ulfah I M. 2008. Perilaku hidup bersih dan sehat, pengetahuan gizi dan pola
asuh kaitannya dengan diare anak balita, di Desa Cikarawang Bogor
[Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.

Walpole R E. 1990. Pengantar Statistika edisi kedua. Jakarta: Gramedia

Zeitlin M, Ghassemi H, & Mansour M. 1990. Positive Deviance in Child


Nutrition - with emphasis on Psychosocial and Behavioural Aspects
and Implications for Development. United Nations University Press,
Tokyo.
76

LAMPIRAN
77

Lampiran 1 Dokumentasi wilayah Manggarai

Gambar 3 Kawasan bantaran sungai Gambar 4 Kawasan bantaran sungai

Gambar 5 Anak balita di pemukiman kumuh Gambar 6 MCK di pemukiman kumuh

Gambar 7 MCK di pemukiman kumuh Gambar 8 Saluran pembuangan limbah

Gambar 9 Kondisi rumah Gambar 10 Kepadatan rumah penduduk


78

Lampiran 2 Hasil uji statistik

Variabel Hasil uji statistik


Pengetahuan gizi Correlation Coefisien 0.315
P erilaku gizi p-value 0.045
n 41
Pengetahuan gizi Correlation Coefisien 0.530
PHBS p-value 0.000
n 41
IMT ibu Pearson Correlation 0.302
Status gizi (BB/TB) p-value 0.050
n 41
Pengeluaran pulsa Pearson Correlation -0.317
Status gizi (TB/U) p-value 0.028
n 41
PHBS Correlation Coefisien 0.330
Status gizi (BB/U) p-value 0.035
n 41
PHBS Correlation Coefisien 0.317
Status gizi (BB/TB) p-value 0.044
n 41
PHBS Correlation Coefisien 0.381
Status Kesehatan p-value 0.014
n 41
∗ Correlation is significant at the 0.05 level
2

ABSTRACT
RELINA KUSUMAWARDHANI. Positive deviance nutritional status and health of
children under five years and the determinants in slum area Manggarai, Jakarta
Selatan. Supervised by CLARA M. KUSHARTO and DADANG SUKANDAR

Positive deviance has been used to describe the performance (regarding


health, growth, and development) of certain children with other children in the
same community and the family. The study aimed to analyze the determinants of
positive deviance nutritional status and health of children under five years in slum
area in Manggarai, Jakarta Selatan. The design of this study was a cross
sectional study. Total sample of this study was 41 children. The study showed
that there was no relation between maternal characteristics (age and education)
with nutritional status and health status of children (r=0.302, p>0.05), but there
was relation between nutritional status of mother (BMI) with nutritional status of
children (r=0.302, p<0.05). Nutritional knowledge was related with nutritional
behavior (r=0.315, p<0.05) and behavior of healthy life (r=0.530, p<0.05).
Poverty, nutritional knowledge, nutritional attitudes, and nutritional behavior
weren’t related with nutritional status. However, behavior of healthy life was
positively and significantly related with nutritional status (r=0.330, p<0.05) and
health status (r=0.381,p<0.05). Environmental sanitation wasn’t related with
health status. No relationship exist between health status with nutritional status.
The conclusion was that mother with good behavior of healthy life may improve
children’s health and nutritional status.

Keywords: positive deviance, nutritional status, health status, slum area.


3

RINGKASAN

RELINA KUSUMAWARDHANI. Positive Deviance Status Gizi dan Kesehatan


Anak Balita dan Faktor Penentunya di Pemukiman Kumuh Manggarai, Jakarta
Selatan. Dibimbing Oleh CLARA M. KUSHARTO dan DADANG SUKANDAR.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor penentu
positive deviance status gizi dan kesehatan anak balita di pemukiman kumuh
Manggarai, Jakarta. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1)
mengidentifikasi karakteristik anak balita; 2) mengidentifikasi status gizi dan
status kesehatan anak balita; 3) mengidentifikasi karakteristik keluarga balita; 4)
mengidentifikasi pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan PHBS ibu; 5)
mengidentifikasi positive deviance pada pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku
gizi, dan PHBS; 6) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan status
gizi dan status kesehatan anak balita; 7) menganalisis hubungan pengetahuan
gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan PHBS ibu dengan status gizi dan status
kesehatan.
Penelitian ini merupakan bagian dari data baseline pada kajian “Studi
Ketahanan Pangan dan Coping Mechanism Rumah Tangga di Daerah Kumuh”
yang dilakukan Departemen Gizi Masyarakat dan Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor bekerjasama
dengan DIKTI Kemendiknas. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross
sectional study. Lokasi penelitian dilaksanakan di Manggarai, Jakarta Selatan,
yang dilakukan pada bulan April hingga Oktober 2012.
Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang tinggal di
pemukiman kumuh di Manggarai. Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita
dengan responden adalah ibu contoh. Besar contoh diperoleh dengan
menggunakan formula Cochran (1982) dan diperoleh sebanyak 100 contoh.
Namun berdasarkan kriteria inklusi yaitu rumah tangga yan memiliki anak balita
dan responden bersedia diwawancarai, sehingga contoh yang digunakan dalam
penelitian ini hanya 41 contoh.
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer dikumpulkan dengan metode wawancara dengan menggunakan
kuesioner dan observasi secara langsung. Data primer meliputi karakteristik anak
balita, karakteristik keluarga balita, data antropometri anak balita, riwayat
penyakit anak balita, pengetahuan gizi ibu, sikap gizi ibu, perilaku gizi ibu, dan
PHBS ibu, kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan sumber air. Data sekunder
berupa karkteristik tempat penelitian dan keadaan umum wilayah yang diperoleh
dari data dasar profil desa. Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis.
Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2007 meliputi coding, entry,
editing, cleaning, dan analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS for
Windows versi 16.0. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif, korelasi
Spearman, dan korelasi Pearso.
Sebagian besar anak balita berjenis kelamin perempuan (51.2%).
Sebagian besar anak balita berumur antara 24-35 bulan (43.9%). Sebagian
besar rumah tangga merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota ≤4 yaitu
dengan proporsi 63.4%. Baik umur ayah maupun umur ibu, sebagian besar
berada pada umur antara 20-40 tahun. Tingkat pendidikan orangtua masih
tergolong rendah. Sebagian besar pendidikan ayah yaitu SD dengan proporsi
sebesar 40.0%, begitu pula dengan pendidikan ibu yang sebagian besar adalah
SD (41.5%). Pekerjaan ayah sebagian besar bekerja dibidang jasa (25%)
contohnya bekerja sebagai tukang ojek, sedangkan sebagian besar ibu berstatus
4

sebagai ibu rumah tangga (85.4%). Rata-rata pendapatan per kapita anggota
keluarga anak balita adalah Rp 533.388,00 dengan standar deviasi adalah Rp
294.027,00. Apabila dibandingkan dengan GK Jakarta 2012 yaitu sebesar Rp
379.052, maka sebagian besar (61%) responden termasuk keluarga tidak miskin
dengan pendapatan perkapita anggota rumah tangga ≥Rp 379.052.
Berdasarkan indeks BB/U ternyata di daerah pemukiman kumuh status
gizi anak balita sebagian besar tergolong dalam kategori gizi baik. Begitu pula
berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB, sebagian besar status gizi anak balita
tergolong normal. Sebagian besar anak balita (61.0%) pernah mengalami sakit,
namun masih terdapat sebanyak 39.0% anak balita tidak mengalami sakit
selama dua minggu terakhir. Jenis penyakit yang sering dialami anak balita
adalah batuk (46.3%). Sebagian besar anak balita menderita sakit selama 1-3
hari. Frekuensi sakit anak balita selama dua minggu terakhir yaitu pada frekuensi
1 kali. Skor status kesehatan diperoleh dari hasil perkalian antara lama sakit
dalam hari dengan frekuensi penyakit pada setiap jenis penyakit. skor kesehatan
anak balita sebagian besar berada pada kategori tinggi (73.2%).
Sebagian besar responden memiliki pengetahuan gizi sedang dengan
proporsi 58.5%. Sikap gizi yang dimiliki ibu berada dalam kategori sedang
sebanyak 41.5%. Sebagian besar perilaku gizi ibu yang memiliki anak balita
berada dalam kategori sedang (43.9%). Secara umum perilaku hidup bersih dan
sehat ibu yang memiliki anak balita sebagian besar tergolong sedang (41.5%).
Sebagian besar sanitasi lingkungan rumah tangga masih tergolong rendah.
Sebagian besar responden (70.7%) menggunakan air galon untuk minum,
sedangkan untuk masak sebanyak 63.4% responden menggunakan air
sumur/mata air. Sumber air yang digunakan untuk mandi dan mencuci, sebagian
besar responden (97.6%) menggunakan sumber air sumur/mata air.
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
berhubungan signifikan dengan perilaku gizi (r=0.315, p<0.05) dan PHBS
(r=0.530, p<0.05). Karakteristik ibu yaitu pendidikan dan umur tidak berhubungan
dengan status gizi dan status kesehatan. Berdasarkan analisis Pearson terdapat
hubungan antara status gizi ibu (IMT) dengan status gizi anak (r=0.302, p<0.05).
Tingkat kemiskinan, pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi tidak
berhubungan dengan status gizi. Namun PHBS berhubungan positif dan
signifikan dengan status gizi terhadap indikator BB/U (r=0.330, p<0.05) dan
BB/TB (r= 0.317, p<0.05) serta berhubungan dengan status kesehatan
(r=0.381,p<0.05). Sanitasi lingkungan tidak berhubungan dengan status
kesehatan. Status kesehatan tidak berhubungan signifikan dengan status gizi.
10

PENDAHULUAN

Latar belakang
Pembangunan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
setiap warga negaranya yang tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber
daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan (SDM). Upaya peningkatan
kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ukuran
kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat
pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakatnya (Bappenas 2007).
Kualitas fisik penduduk dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk.
Kesehatan merupakan aspek yang sangat menentukan dalam membangun
unsur manusia agar memiliki kualitas seperti yang diharapkan, mampu bersaing
di era yang penuh tantangan saat ini maupun masa yang akan datang. Indikator
derajat kesehatan penduduk yaitu angka kematian bayi dan angka harapan
hidup.
Gambaran masalah kesehatan anak di Indonesia ditandai dengan masih
tingginya angka kejadian penyakit dan gangguan gizi yang disertai dengan
kondisi fisik dan sosial yang belum menunjang kesehatan secara optimal.
Berdasarkan Kemenkes (2010), prevalensi penyakit yang terjadi di Jakarta
sebanyak 33,81 % mengalami keluhan kesehatan seperti panas, batuk, pilek,
diare, sakit kepala, dan lainnya. Berdasarkan Riskesdas (2007) diare merupakan
penyebab utama kematian bayi (31,4%) dan anak balita (25,2%). Namun masih
adanya penduduk yang hidup di pemukiman kumuh yang memperhatikan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga penduduk tersebut tidak
mengalami penyakit infeksi. Sekitar 42,4% masyarakat Jakarta yang
menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) (Riskesdas 2007).
Pemukiman kumuh adalah daerah dengan kepadatan penduduk yang
tinggi di sebuah kota yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat miskin.
Pemukiman kumuh dapat ditemukan di berbagai kota besar di dunia. Pemukiman
kumuh umumnya dihubungkan dengan kemiskinan dan pengangguran tinggi.
Pemukiman kumuh juga bisa menjadi sumber masalah sosial, yaitu, kejahatan,
narkoba, dan minuman keras. Di banyak negara miskin, kawasan kumuh juga
menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisi tidak higienis.
Di Jakarta daerah kumuh banyak ditemukan, di mana orang tinggal di
sudut-sudut bangunan. Sekitar 200.000 orang tinggal di hanya 20 hektar lahan
11

dihuni oleh sekitar 150.000 rumah yang sulit dikendalikan. oleh karena itu alam
bagi masyarakat untuk dihantui oleh rasa takut, antara lain, adanya penyakit
infeksi seperti ISPA dan diare serta gizi buruk disebabkan oleh kebiasaan makan
yang buruk dalam rumah tangga.
Kemiskinan pada kenyataannya merupakan akar dari permasalahan gizi.
Tetapi, hal ini menjadi lebih buruk dengan rendahnya pengetahuan gizi dan
minimnya usaha dalam menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan
sehari-hari (Khomsan et al. 2009). Berdasarkan Kemenkes tahun 2011
prevalensi gizi buruk (BB/U) di Jakarta sebesar 2.6% dan 8.7% gizi kurang.
Kejadian yang menarik ditemukan di pemukiman kumuh, ternyata
terdapat balita dengan status gizi dan status kesehatan baik. Hal tersebut
merupakan bentuk penyimpangan positif yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain yaitu: faktor perilaku ibu dan keluarga,
keamanan pangan, kondisi ekonomi, pola asuh, pekerjaan, pendapatan,
pengeluaran untuk konsumsi, keputusan pemberian makan, kepuasan hidup;
faktor asupan zat gizi dan penyakit infeksi, faktor ibu, pola asuh anak, status
kesehatan anak dan status gizi ibu; faktor lingkungan, sanitasi, sarana dan
pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut yang membedakan suatu
keluarga berhasil dalam merawat dan mengasuh anaknya pada status
ekonomi yang sama. Faktor yang dimaksud mendukung keberhasilan ibu
dalam merawat dan mengasuh anak adalah faktor penyimpangan positif.
Menurut Zeitin et al. (1990) dikatakan bahwa secara khusus
penyimpangan positif dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi status kesehatan anak balita yang hidup dalam keluarga
miskin di lingkungan miskin (kumuh) sementara sebagian besar anak lainnya
menderita gangguan penyakit. Berdasarkan hal-hal tersebut, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai faktor yang menentukan positive deviance
status gizi dan status kesehatan anak balita di pemukiman kumuh di Jakarta.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor penentu
positive deviance status gizi dan kesehatan anak balita di pemukiman kumuh di
Manggarai, Jakarta Selatan.
12

Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik anak balita.
2. Mengidentifikasi status gizi dan status kesehatan anak balita.
3. Mengidentifikasi karakteristik keluarga.
4. Mengidentifikasi pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ibu
5. Mengidentifikasi positive deviance pada pengetahuan gizi, sikap gizi,
perilaku gizi, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ibu
6. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi dan status
kesehatan anak balita.
7. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan
PHBS ibu dengan status gizi dan status kesehatan.
Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan status gizi dan
status kesehatan anak balita.
2. Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, dan
PHBS ibu dengan status gizi dan status kesehatan anak balita.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
digunakan sebagai salah satu referensi untuk keperluan membuat kebijakan
yang berkaitan dengan perbaikan kondisi lingkungan di Kota Manggarai dan
perbaikan status gizi dan kesehatan masyarakat terutama anak balita. Serta
diharapkan dapat memberikan informasi kepada warga Manggarai mengenai
gambaran kondisi warga yang ditinjau dari status kesehatan anak balita.
13

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Balita
Usia balita lebih dikenal sebagai golden age karena masa ini sangat
menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Anak balita
adalah bayi sampai anak berusia lima tahun atau biasa yang disebut dengan
anak bawah lima tahun. Anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui dalam ilmu gizi
dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan
gizi termasuk Kekurangan Energi Protein (KEP). Oleh karena masalah gizi pada
umumnya, khususnya KEP banyak terjadi pada anak balita maka perhatian lebih
besar pada masalah KEP anak balita (Soekirman 2000).
Masa balita hampir seluruh waktu anak berada ditangan orang tua dan
sangat tergantung padanya. Orangtua selain berperan sebagai pengasuh dan
pendidik anak dalam keluarga juga berperan penting dalam mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak karena orangtua yang lebih mengenal
anaknya. Balita merupakan golongan yang rawan terkena masalah gizi.
Makanan bergizi sangat penting diberikan kepada bayi sejak masih dalam
kandungan.
Jenis Kelamin
Anak perempuan khususnya anak sulung diharapkan membantu
pekerjaan rumah tangga dan menjaga adik-adiknya. Sedangkan jika anak yang
lahir pertama kali adalah anak laki-laki, maka mereka memiliki keistimewaan
karena memperoleh pekerjaan rumah tangga yang lebih sedikit dibandingkan
yang perempuan serta diberi kesempatan untuk mengabaikannya (Hurlock
1980).
Umur
Menurut Hurlock (1980), sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang
dibentuk selama bertahun-tahun pertama sangat menentukkan seberapa jauh
individu-individu berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika mereka
bertambah tua. Pada tahun kedua tingkat pertumbuhan cepat menurun. Akan
tetapi, selama tahun pertama peningkatan berat badan lebih besar daripada
peningkatan tinggi.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang paling ideal untuk mulai
memperkenalkan kepada anak tentang perilaku-perilaku dasar yang
berhubungan dengan gaya hidup sehat. Orang tua harus dapat memanfaatkan
rasa ingin tahu anak dan menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan
14

masalah kesehatan, keselamatan dan gizi. Orangtua harus dapat meningkatkan


kesadaran anak-anak mengenai lingkungan yang komplek serta pengaruhnya
(Marotz dalam Ulfah 2008).
Berat Badan
Berat badan merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang makin
ekonomis dan paling peka untuk digunakan dalam praktek. Berat badan sangat
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada keadaan gizi, sehingga
berat badan akan turun dengan menurunnya keadaan gizi. Perlambatan
kecepatan pertumbuhan tubuh yang diukur dengan memakai variable berat
badan, akan terlihat dalam waktu kurang dari satu bulan, jika kita mengamati
naik dan turunnya berat badan tiap bulan. Demikian pula pengaruh infeksi pada
gizi anak-anak juga jelas tampak bila kita memperhatikan besarnya penurunan
berat badan yang terjadi sesudah anak menderita infeksi (Sukarni 1989).
Karakteristik Keluarga
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari
pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi
jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang yang dikonsumsi
dalam keluarga. Kualitas dan kuantitas pangan secara langsung akan
menentukan status gizi keluarga dan individu.
Besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam
suatu bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi
kesehatan baik anak-anak maupun ibu (Sukarni 1989). Rumah yang padat
penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan
memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 2007).
Umur Orangtua
Umur orangtua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu
dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang
memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak
didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur muda
cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan
anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung
akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan
15

mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock


1980).
Pendidikan Orangtua
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses
tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan mudah
menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak. Pendidikan
ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena
tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap
perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan
keluarga (Madanijah dalam Ulfah 2008).
Pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam
pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam
menentukan status kesehatan , fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya
pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, informasi
tentang masalah kesehatan dapat lebih mudah diterima oleh keluarga atau
masyarakat (Sukarni 1989).
Pekerjaan Orangtua
Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta
berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan
dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989). Seorang ibu yang tidak
bekerja di luar rumah akan mewakili waktu yang lebih banyak dalam mengasuh
serta merawat anak dibandingkan ibu yang bekerja di luar rumah. Perempuan
yang bekerja di luar rumah dan mendapatkan penghasilan akan meningkatkan
pengaruhnya dalam alokasi pendapatan keluarga. Pendapatan yang berasal dari
perempuan berkolerasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan
status gizi anak (Khomsan 2005).
Pendapatan dan Pengeluaran Orangtua
Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan kurang dapat
memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Pendapatan keluarga akan menentukan
alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan
keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2001).
Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kuantitas dan
kualitas konsumsi pangan serta aksesbilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi
warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap
16

kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardinsyah
1997).
Pendapatan juga merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan
kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin
besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan
perorangan maka terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan
(Suhardjo 1989).
Kelompok yang berpendapatan rendah pada umunya mempunyai
proporsi paling besar untuk pengeluaran pangan. Berlawanan, dengan kelompok
masyarakat berpendapat tinggi, mereka mengalokasikan lebih pendapatan untuk
non pangan (Sukandar 2007). Di negara-negara berkembang, orang-orang
miskin hampir membelanjakan pendapatannya untuk makanan. Di India Selatan
keluarga-keluarga yang miskin menghabiskan 80 persen anggaran belanjanya
untuk makanan, sedangkan di negara-negara maju hanya 45 persen (Berg
1986).
Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variable tertentu, atau perwujudan dari zat gizi dalam bentuk variabel tertentu
(Supariasa 2002). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang
atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbs)
dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara,
salah satunya dengan antropometri (Riyadi 1995). Menurut Almatsier (2006),
status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh digunakan secara
efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,
kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat yang setinggi
mungkin.
Antropometri adalah yang berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi (Jellife dan Jellife 1989). Pengukuran status gizi dengan
menggunakan antropometri adalah dengan indeks berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
17

makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan,
maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa et
al. 2002).
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relative kurang sensitive terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Indeks ini menggambarkan status gizi pada masa lalu. Beaton dan Bengoa
(1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping
memeberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya
dengan status sosial ekonomi. Menurut Supariasa (2002) berat badan memiliki
hubungan yang linier dengan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator
yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB merupakan indeks
yang independen terhadap umur.
Status Kesehatan Anak Balita
Status kesehatan penduduk memberikan gambaran mengenai kondisi
kesehatan penduduk dan biasanya dapat dilihat melalui indikator angka
kesakitan yaitu persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan
sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari. Status kesehatan anak
balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi
status gizi (BPS 2002).
Status kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu perilaku,
lingkungan, keturunan, dan pelayanan kesehatan. Perilaku merupakan faktor
yang memiliki presentase terbesar dibandingkan yang lain, yaitu sebesar 40%,
sedangkan lingkungan sebesar 30%, keturunan sebesar 20%, dan pelayanan
kesehatan sebesar 10% (Bloem 1974 dalam Notoatmodjo 2007). Status
kesehatan seseorang berkaitan dengan keadaan penyakit yang dideritanya dan
merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor host, agen penyakit, dan
lingkungan. Penyakit sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan, keadaan gizi
dan imunitas serta akses terhadap layanan kesehatan (Patriasih et al 2009).
Lingkungan keluarga yang miskin umumnya hidup dalam kondisi yang kurang
bersih dan memiliki perilaku hidup yang kurang sehat. Hal ini dapat berdampak
18

pada kesehatan penghuninya, serta dapat mempengaruhi keadaan kesehatan


terutama pada anak. Jenis kesehatan yang erat kaitannya dengan lingkungan
adalah penyakit ISPA, diare, flu, demam, dan penyakit cacar (Khomsan et al.
2009).
Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, mental, dan sosial, dan
bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan (Sukarni
1989). Soemanto (1990) menyatakan bahwa jenis penyakit yang sering diderita
anak balita adalah batuk, pilek, diare, dan panas badan. Kesehatan anak balita
harus mendapat perhatian penuh dari orangtua. Anak balita adalah makhluk
yang belum mempunyai kemampuan untuk memelihara dirinya sendiri, mereka
bergantung dari orangtua, orang-orang terdekat, dan pada lingkungannya.
Menurut Soemowedojo (1976), untuk mengukur besarnya kejadian sakit
pada golongan usia tertentu, perlu diketahui data penyakit yang diderita, meliputi
macam-macam penyakit dengan prevalensinya dan banyak kejadian penyakit
tertentu yang diderita. Golongan usia balita sangat rentan terhadap penyakit-
penyakit menular yang masih banyak ditemukan dan merupakan masalah
kesehatan utama di Indonesia.
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-
hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007).
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi
sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makanan yang baik
agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat
(Notoatmodjo 2007). Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap
sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan.
Menurut Khomsan et al. (2009), tingkat pengetahuan berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar,
pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu. Akan tetapi, hubungan
antara pengetahuan terhadap sikap dan perilaku tidak linier, misalnya dalam hal
konsumsi makanan dengan baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh
pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan
keterampilan gizi (Sanjur 1982 dalam Sukandar 2007).
19

Sikap Gizi
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah suatu reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara
nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu. Sikap akan mempengaruhi proses berpikir, respon afeksi, kehendak,
dan perilaku berikutnya.
Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku. Sikap
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku
yang terbuka (Notoatmodjo 2007). Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula
bersifat negatif. Sikap positif memiliki kecenderungan tindakan mendekati,
menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Sedangkan sikap negatif
terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, dan tidak
menyukai objek tertentu. Sikap biasanya memainkan peranan utama dalam
membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan perilaku yang positif
dan sikap negatif akan menumbuhkan perilaku yang negatif.
Melalui proses belajar akan diperoleh pengalaman yang nantinya dapat
membentuk sikap, kemudian sikap akan dicerminkan dalam bentuk praktek yang
sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi menurut Sumintarsih et al. (2000),
menyatakan bahwa meskipun didukung oleh pengetahuan yang menumbuhkan
suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang
akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya. Pengukuran
sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung
dapat dinyatakan bagaimana pendapat responden terhadap suatu objek, serta
secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis
yang kemudian ditanyakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo
2007).
Perilaku Gizi
Perilaku dipandang dari segi biologi adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh
organisme tersebut, baik yang dapat diamati secara langsung atau secara tidak
langsung. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme
dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Faktor genetik dan
20

lingkungan merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku


manusia. (Notoatmodjo 2007).
Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu rangsangan (stimulus).
Praktek memiliki beberapa tingkatan (Notoatmodjo 2007) yaitu (1) persepsi, ialah
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil; (2) respon terpimpin, ialah dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang
benar dan sesuai dengan contoh; (3) mekanisme, ialah melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan;
dan (4) adopsi, ialah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik.
Praktek terjadi setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek
kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang
diketahui, dan selanjutnya akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang
sudah diketahui. Pengukuran praktek dapat dilakukan secara tidak langsung,
yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat
dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan
responden (Notoatmodjo 2007).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan bentuk perwujudan
paradigma sehat, terutama pada aspek budaya perorangan, keluarga, dan
masyarakat. PHBS adalah tindakan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok,
dan masyarakat yang sesuai dengan norma-norma kesehatan, menolong dirinya
dan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan untuk memperoleh derajat
kesehatan yang tinggi (Sinaga et al. dalam Ulfah 2008).
Menurut Yoon et al. (1997) dalam Safitri (2010), perilaku hidup sehat
adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Salah satu perilaku hidup
sehat adalah melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit. Upaya
pencegahan dan pengobatan penyakit dapat dilakukan dengan meningkatkan
daya tahan tubuh, perbaikan kesehatan diri dan lingkungan.
Perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan rumah tangga meliputi higiene
perorangan (mencuci tangan pakai sabun, menggosok gigi, dan sebagainya),
kebiasaan tidak merokok, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,
penimbangan balita, imunisasi, gizi keluarga (sarapan pagi, makan makanan
21

beragam), dan keikutsertaan dalam dana sehat melalui askes dan jaminan
pemeliharaan masyarakat (Depkes 2007). Indikator perilaku hidup bersih dan
sehat diantaranya adalah:
1. Persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan
Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, dan tenaga
para medis lainnya) menggunakan peralatan yang aman, bersih, dan steril
sehingga mencegah terjadinya infeksi dan bahaya kesehatan lainnya
(Depkes 2007). Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan diharapkan dapat
menurunkan angka kematian ibu dan bayi (Proverawati & Rahmawati 2012)
2. Kebiasaan merokok
Perokok terdiri dari perokok pasif dan perokok aktif. Keduanya sama-sama
berbahaya, yakni dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti
kerontokan rambut, gangguan pada mata, menyebabkan penyakit paru-paru
kronik, merusak gigi, stroke, kanker kulit, kemandulan, impotensi, kanker
rahim, dan keguguran (Depkes 2007).
3. Imunisasi
Imunisasi bertujuan agar anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi
kecacatan akibat penyakit tertentu (Hidayat 2004). Penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi ialah TBC, dipteria, pertusis, tetanus, polio dan
campak, melalui kegiatan vaksinasi BCG, DPT, Polio dan campak pada
umur dibawah 14 bulan, vaksinasi DPT pada anak-anak SD kelas 1, dan
vaksinasi TT pada anak SD kelas 4 (Sukarni 1989).
4. Penimbangan Balita
Penimbangan bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan
setiap bulan. Penimbangan bayi dan balita dimulai dari umur 1 bulan sampai
5 tahun di Posyandu sehingga dapat diketahui balita tumbuh sehat atau
tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi serta dapat diketahui bayi yang
dicurigai menderita gizi buruk (Depkes 2007).
5. Kebiasaan sarapan
Sarapan penting dilakukan sebelum melakukan aktivitas pada pagi hari.
Manfaat sarapan adalah dapat menyediakan karbohidrat yang siap
digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah.
22

6. Peserta Akes/JPKM
Program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin penting untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
7. Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan
membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh
manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci
tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan
penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen yang
membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke
orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung.
8. Kebiasaan menggosok gigi
Membiasakan menggosok gigi sebelum tidur dan setelah makan merupakan
salah satu contok praktik higiene perorangan. Kegiatan menggosok gigi
bertujuan untuk membersihkan mulut dari sisa makanan yang dapat
membentuk plak pada gigi.
9. Kebiasaan Olahraga
Olahraga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur untuk
berbagai tujuan, antara lain untuk kesehatan, kebugaran, rekreasi,
pendidikan, dan prestasi (Irianto 2011).
10. Makan Seimbang
Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung lengkap semua zat gizi
yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang, dan
produktif. Setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam makanan dalam
jumlah yang mencukupi.
Positive Deviance
Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang
berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak
tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga
yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat digunakan untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi
yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di
lingkungan miskin (kumuh), dimana sebagian besar anak lainnnya menderita
gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi
kurang (Zeitlin et al. 1990).
23

Konsep positive deviance pertama kali muncul dalam penelitian gizi pada
1970-an. Para peneliti mengamati bahwa meskipun kemiskinan di masyarakat,
beberapa keluarga miskin memiliki anak bergizi baik. Menurut Sternin (2007)
dalam Sab’atmaja (2010) positive deviance adalah suatu pendekatan
pengembangan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan keyakinan bahwa
pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat pada prinsipnya telah ada dalam
masyarakat itu sendiri.
Menurut Aryastami (2006), Positive Deviance (PD) adalah suatu metode
pengembangan masyarakat melalui pendekatan komunitas. Di bidang gizi
masyarakat, metode ini dapat dianalogkan sebagai anak yang memiliki status
gizi baik telah dibesarkan dimana banyak keluarga dan masyarakatnya
menderita gizi buruk dan rawan penyakit. Pada dasarnya metode PD ini bisa
diterapkan untuk berbagai permasalahan yang didalamnya memerlukan
perubahan sosial atau perilaku di mana sudah ada individu-individu di dalam
masyarakat tersebut yang berhasil menemukan strategi untuk mengatasi
masalah yang sama. Seringkali solusi permasalahan tersebut tidak disadari,
padahal secara nyata ada di dalam budaya setempat.
Positive deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk
mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati
untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku
masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan
kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki
kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka
dapat menemukan cara-cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi
dibandingkan tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi
tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Kebiasaan keluarga
yang menguntungkan sebagai inti positif deviance dibagi menjadi tiga atau empat
kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan
mendapatkan pelayanan kesehatan (Core 2003).
Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial,
dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang
berguna ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan diperbaiki
dan dihilangkan (Entjang 2000). Sanitasi lingkungan dapat pula diartikan sebagai
kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan standar
24

kondisi lingkungan yang mendasar yang mempengaruhi kesejahteraan


masyarakat. Kondisi tersebut mencakup: (1) pasokan air yang bersih dan aman;
(2) pembuangan limbah dari hewan, manusia, dan industri yang efisien; (3)
perlindungan makanan dari kontaminasi biologis, dan kimia; (4) udara yang
bersih dan aman; (5) rumah yang bersih dan aman.
Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan
lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi suatu
indikator kesehatan seseorang. Kesehatan seseorang akan terlihat dari daya
tahan tubuh terhadap suatu penyakit sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian. Selain itu lingkungan yang bersih dan sehat akan
mencegah penyakit menular (Sukandar 2007).
Pemukiman yang sanitasinya tidak baik seperti tidak tersedia air bersih,
jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air
kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang
menyebabkan seseorang kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare
dan cacingan.
Sanitasi Air
Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk
dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002).
Selain itu, menurut Notoatmodjo (2007), air yang sehat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Syarat fisik: syarat air yang dilihat dari fisiknya antara lain jernih, tidak
berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.
b. Syarat kimiawi: tidak mengandung zat-zat berbahaya seperti zat-zat racun
atau zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan
c. Syarat bakteriologis: air yang bebas dari segala bakteri, terutama bakteri
patogen
Air bersih belum tentu dikatakan sehat, menurut Entjang (2000) untuk
memperoleh air minum yang sehat dapat diperoleh melalui 1) sumber air yang
bersih; 2) tangan dan tempat penampungan air bersih; 3) wadah penampung air
disertai dengan tutup dan sering dibersihkan; 4) memasak air sampai mendidih
sebelum diminum; 5) menggunakan alat-alat minum yang bersih (termasuk
gayung sebagai alat pengambil air harus bersih).
25

Menurut Subandriyo et al. (1997) sumber air minum yang bersih dan
sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi, dan
mata air yang terlindungi. Sumur yang baik harus memenuhi syarat antara lain
jarak sumur dengan kamar mandi minimum 10 meter dan dinding sumur 1 meter
di atas tanah dan 3 meter dalam tanah serta harus dibuat dari tembok yang tidak
tembus air agar perembesan air dari sekitar tidak terjadi.
Sanitasi Lingkungan Perumahan
Rumah adalah tempat manusia berlindung dari panas terik matahari,
hujan, dan hal-hal lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan
kenyamanan manusia. Kondisi rumah adalah salah satu faktor yang menentukan
keadaan sanitasi lingkungan. Menurut Winslow dalam Entjang (2000), rumah
yang tidak sehat dapat mengakibatkan pula tingginya kejadian infeksi penyakit
dalam masyarakat. Rumah yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis dan
psikologis serta dapat menghindar terjadi kecelakaan dan penyakit. Rumah
dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:
1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari
keramik, tegel atau semen dan kayu atau bamboo. Lantai tanah tidak
memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit
seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.
2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes,
dan seng.
3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan
dibersihkan dengan mudah.
4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang
angin. Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar udara
di dalam ruangan tetpa bersih dan segar.
5. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat.
6. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah anggota
keluarga. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau
WC.
7. Rumah harus memiliki sarana pembuangan air limbah dan sampah
8. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga
kebersihan dan kesehatannya.
26

Pembuangan Limbah Manusia


Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi
oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus
dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (feses), air seni (urin), dan CO2.
Kotoran manusia (feses) adalah sumber penyebaran penyakit yang
multikomplek. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feses dapat melalui
berbagai macam jalan atau cara. Tinja dapat langsung mengkontaminasi
makanan, minuman, sayuran, dan juga air, tanah, dan serangga. Peranan tinja
dalam penyebaran penyakit sangat besar (Notoatmodjo 2007).
Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia merupakan hal
penting yang juga harus diperhatikan karena banyak penyakit yang dapat
disebarkan melalui pembuangan kotoran manusia. Pengelolaan pembuangan
kotoran manusia yang baik dan memenuhi syarat kesehatan adalah tidak
mengotori tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air
tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat digunakan oleh lalat untuk
bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindungi atau tertutup, dan
pembuatannya mudah dan murah (Entjang 2000).
Pembuangan Sampah Air Limbah Rumah Tangga
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik
yang berasal dari rumah tangga atau dari proses industri. Ada dua jenis sampah,
yaitu sampah organik dan sampah anorganik. Manusia perlu mengatur sampah
agar sampah tidak membahayakan manusia tersebut, yaitu dengan
penyimpanannya, pengumpulan, dan pembuangan (Sukarni 1989).
Air limbah terdiri dari kotoran manusia, air kotoran dari dapur, kamar
mandi, termasuk air kotor dari permukaan tanah. Air limbah diatur agar dapat
mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, menjaga kebersihan makanan,
melindungi ikan dari pencemaran, melindungi air minum dari ternak, mencegah
perkembangbiakan bibit penyakit, menghilangkan adanya bau-bauan, dan
pemandangan tak sedap (Sukarni 1989).
Pemukiman Kumuh
Menurut Khomarudin (1997) lingkungan pemukiman kumuh memiliki
definisi sebagai berikut: lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 org
per Ha), kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah, jumlah rumahnya sangat
padat dan ukurannya dibawah standar, sarana prasarana tidak ada atau tidak
27

memenuhi syarat teknis dan kesehatan, hunian dibangun diatas tanah milik
negara atau orang lain dan diluar perundang-undangan yang berlaku.
Di kota-kota besar biasa ditemukan adanya daerah kumuh atau
pemukiman miskin. Perkembangan lingkungan pemukiman di daerah perkotaan
tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan penduduk baik karena faktor
pertumbuhan penduduk secara alami maupun proses urbanisasi. Pertumbuhan
penduduk dan terbatasnya lahan di daerah perkotaan menyebabkan semakin
berkembangnya rumah petak kecil yang diperjualbelikan dan disewakan kepada
para pendatang. Rumah-rumah petak kecil tersebut kemudian berkembang
menjadi kawasan padat dan kumuh yang disebut dengan kawasan kumuh (slum
area) (Gusmaini 2010).
Biasanya penghuni pemukiman kumuh menempati kawasan yang
sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman, oleh penduduk
miskin kawasan tersebut diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti
bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik
atau pusat kota, dan di bawah jembatan. Pemukiman kumuh biasanya memiliki
tingkat kepadatan populasi tinggi dan berpenduduk miskin karena umumnya
dihuni oleh orang-orang yang memiliki penghasilan sangat rendah, terbelakang,
pendidikan rendah, jorok, dan lain sebagainya.
Kawasan kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena
kondisinya yang tidak higienis. Ciri yang menonjol dari pemukiman kumuh yang
berada di gang sempit, adalah kerapatan bangunannya yang tinggi, diindikasi
oleh jarak antar bangunan yang relatif dekat (bersebelahan dan berhadapan)
dengan kontruksi bangunan permanen. Dampak dari kerapatan bangunan yang
tinggi, adalah kondisi ventilasi yang menjadi buruk akibat kurangnya sirkulasi
udara; drainase-nya menjadi sempit dan dangkal karena lahan terbatas,
akibatnya pada saat musim hujan pemukiman tersebut sangat potensi
mengalami kebanjiran; tata letak tidak teratur dan jalan sempit menyebabkan
surkulasi pergerakan tidak terarah, bigitu pula dengan sanitasi lingkungan
(sampah dan air limbah) menjadi tidak baik (Suparlan 1984).
Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
28

pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan


pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh besarnya Garis
Kemiskinan (GK) karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-
rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret
2011-Maret 2012, Garis Kemiskinan naik sebesar 6,63 persen, yaitu dari Rp
355.480 per kapita per bulan pada Maret 2011 menjadi Rp 379.052 per kapita
per bulan pada Maret 2012. Dengan memperhatikan komponen Garis
Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan
Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan komoditi
makanan lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Jumlah penduduk miskin
(penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta pada bulan
Maret 2012 sebesar 363,20 ribu (3,69 persen) (BPS 2012).
Menurut Bappenas (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi,
kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya
kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan
berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskin melalui tiga cara.
Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas
karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan
kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan.
Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena
meningkatkan pengeluaran untuk berobat.
Kemiskinan secara langsung menyebabkan rendahnya konsumsi pangan,
sering sakit, sering hamil, umunya bekerja sebagai buruh dan keluarga miskin
cenderung memiliki jumlah anggota keluarga lebih besar. Faktor-faktor tersebut
secara langsung dan tidak langsung menyebabkan terjadinya kurang gizi.
Keadaan kurang gizi pada sumber daya manusia mengakibatkan produktivitas
menjadi rendah (World Bank 2006).
29

KERANGKA PEMIKIRAN

Usia balita merupakan kelompok usia yang mengalami pertumbuhan


dan perkembangan yang sangat pesat, dimana dasar-dasar kecerdasan,
kepribadian, dan kemandirian berkembang sangat cepat. Usia balita juga
merupakan kelompok usia yang paling rawan dan paling rentan menderita
gangguan kesehatan akibat penyakit infeksi.
Status gizi anak balita dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor langsung,
antara lain asupan makanan dan penyakit infeksi. Faktor tidak langsung seperti
pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi ibu dan keluarga, kondisi ekonomi,
pekerjaan, pendapatan, pengeluaran untuk konsumsi, sanitasi, sarana dan
pelayanan kesehatan.
Status kesehatan anak ditandai dengan kejadian sakit yang meliputi
jenis penyakit yang diderita, frekuensi terkena penyakit, dan lama hari menderita
suatu penyakit. Semakin lama dan semakin sering anak menderita suatu
penyakit, maka semakin buruk status kesehatan anak.
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi.
Tingkat pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam
pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi
yang bersangkutan. Pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi ibu erat
kaitannya dengan tingkat pendidikan ibu. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi cenderung akan memiliki pengetahuan gizi yang baik pula sehingga
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku gizi ibu.
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) ibu di dalam keluarga juga
sangat erat kaitannya dengan riwayat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Ibu
yang memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi cenderung akan
lebih baik dalam menerapkan PHBS dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
keluarga sehingga anak-anaknya dapat mencapai status kesehatan yang
optimal.
Anak balita merupakan kelompok individu pasif dan merupakan
kelompok yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Oleh
karena itu, diperlukan peran serta orangtua khususnya ibu dalam hal perawatan
baik fisik maupun makanan bagi anak balita. Anak balita yang tidak terawat baik
fisik maupun makanannya akan mudah mengalami gangguan gizi dan
kesehatan, contohnya terserang penyakit. Jenis penyakit yang yang sering
30

diderita anak balita adalah batuk, pilek, diare, dan panas badan. Penyakit yang
diderita oleh anak balita akan mempengaruhi status gizinya, sehingga akan
berdampak pada proses pertumbuhan dan perkembangannya. Namun terdapat
kejadian yang menarik ditemukan di pemukiman kumuh, ternyata terdapat balita
dengan status gizi dan status kesehatan baik. Hal tersebut merupakan positive
deviance yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari skema pada Gambar 1.
31

Karakteristik Ibu Karakteristik Anak Balita


-Umur Orangtua Pengetahuan Gizi Ibu - Jenis Kelamin
-Besar Keluarga - Umur
-Pekerjaan Orangtua - Berat Badan
-Pendidikan orangtua - Tinggi Badan
-Pendapatan Orangtua
Sikap Gizi Ibu

PHBS Perilaku Gizi Ibu

Sanitasi Positive Deviance


Lingkungan

Status Gizi Status Kesehatan

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor penentu positive deviance status gizi dan
status kesehatan pada anak balita di pemukiman kumuh Manggarai Jakarta
32

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu


Penelitian ini merupakan bagian dari data baseline pada kajian “Studi
Ketahanan Pangan dan Coping Mechanism Rumah Tangga di Daerah Kumuh”
yang dilakukan Departemen Gizi Masyarakat dan Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor bekerjasama
dengan DIKTI Kemendiknas. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross
sectional study yaitu data diambil pada waktu tertentu secara bersamaaan
dengan menganalisis hubungan antara faktor penentu positive deviance
terhadap status gizi dan kesehatan balita. Lokasi penelitian dilaksanakan di
Manggarai, Jakarta. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive
dengan pertimbangan kawasan kumuh menjadi pusat masalah gizi dan
kesehatan karena kondisi tidak higienis. Penelitian ini dilakukan pada bulan April
hingga Oktober 2012.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita dengan responden adalah
ibu contoh yang bersedia untuk diwawancarai. Besar sampel diperoleh dengan
menggunakan formula Cochran (1982) sebagai berikut:
n0
n=
n −1
1+ 0
N

Di mana:
n = besar sampel
N = ukuran populasi rumah tangga
s 2 t α2 ( v )
n0 =
d 2
s2 = ragam pendapatan rumah tangga (Rp/capita/month)
tα/2(v) = nilai peubah acak t-student, sehingga : P(|t|>tα/2(v))=α; v = derajat
bebas dari t
d = akurasi antara parameter rata-rata pendapatan dengan rata-rata
pendapatan rumah tangga di daerah kumuh, sehingga | x -µ| < d
x = rata-rata pendapatan contoh rumah tangga di daerah kumuh
µ = rata-rata pendapatan populasi rumah tangga di daerah kumuh

Dari penelitian Patriasih et al. (2009) diketahui bahwa standar deviasi


pendapatan rumah tangga yang memiliki anak jalanan di Bandung, Jawa Barat
adalah Rp. 103.244 per kapita/bulan. Hal tersebut diasumsikan bahwa
33

pendapatan rumah tangga di daerah kumuh dapat diketahui melalui pendekatan


pendapatan rumah tangga yang memiliki anak jalanan. Nilai standar deviasi
digunakan untuk mendekati nilai s pada formula di atas sehingga s = 103 244,-.
Nilai akurasi ditetapkan d = 20265, - (perbedaan maksimum antara rata-rata
pendapatan contoh dengan populasinya), dengan jaminan sebesar 95% atau P (|
- |µ <d) = 1 - α = 0,95 atau α = 0.05. Dengan v diasumsikan besar, maka
t0.025(v)=1.96. Dengan asumsi ukuran populasi rumah tangga di daerah kumuh
besar atau N=∼, maka n dapat dihitung sebagai berikut:

103244 2 x1.96 2
n0 = = 99.71 ≈ 100
202652

ns = n0 = 100

Kriteria inklusi contoh adalah balita perempuan atau laki-laki, berusia 12-
60 bulan yang tinggal di pemukiman kumuh, dan responden bersedia untuk
diwawancarai. Berdasarkan kriteria tersebut, dari 100 sampel yang ada, diambil
sebanyak 41 sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan contoh
dilakukan dengan metode acak sederhana (Simple Random Sampling) yang
dilakukan di beberapa rumah tangga yang terdapat di daerah Manggarai.
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
Berdasarkan Tabel 1 data primer meliputi data karakteristik anak balita, status
gizi, dan kesehatan anak balita, karakteristik keluarga (besar keluarga, umur,
pendidikan, pekerjaan orang tua, dan pendapatan keluarga), pengetahuan gizi
ibu contoh, pola asuh makan, dan pola asuh kesehatan, PHBS dan sanitasi
lingkungan. Data sekunder meliputi keadaan umum lokasi penelitian dan data
penunjang lainnya. Pengumpulan data dibedakan berdasarkan sumber data.
Pengambilan data primer dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan
kuesioner terstruktur. Data sekunder diperoleh dari kantor kelurahan setempat.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Cara pengmpulan
No. Variabel Data Jenis Data
data
1. Karakteristik anak • Jenis kelamin Primer Wawancara
balita • Umur
• Berat badan
• Tinggi Badan
2. Status gizi anak • BB/TB Primer Penimbangan dan
balita • BB/U pengukuran
• TB/U
34

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)


Cara pengmpulan
No. Variabel Data Jenis Data
data
3. Status kesehatan • Pernah/tidak sakit Primer Wawancara
• Frekuensi sakit
• Lama sakit
4. Karakteristik •Besar keluarga Primer Wawancara
keluarga •Umur orangtua
•Pendidikan orangtua
•Pekerjaan orangtua
•Pendapatan kelurga
5. PHBS Primer Wawancara
6. Pengetahuan gizi Primer Wawancara
ibu
7. Sikap gizi ibu Primer Wawancara
8. Perilaku gizi ibu Primer Wawancara
10. Sanitasi lingkungan • Kondisi rumah Primer Wawancara
• Sumber air
• Sarana pembuangan
limbah dan air limbah
11. Lokasi penelitian Sekunder

Pengolahan dan Analisis Data


Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis. Pengolahan data
menggunakan Microsoft Excel 2007 meliputi coding, entry, editing, cleaning, dan
analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS for Windows versi 16.0.
Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif, korelasi, dan uji beda.
Status gizi diukur dengan menggunakan indikator berat badan menurut
umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Dari berbagai jenis indeks tersebut diatas, untuk
menginterprestasikannya dibutuhkan ambang batas yang dapat disajikan ke
dalam 3 cara yaitu median, persentil dan standar deviasi unit. Dalam penelitian
penulis akan menggunakan cara Standar Deviasi (SD). Standar Deviasi (SD)
disebut juga Z-Score. WHO memberikan gambaran perhitungan SD unit
terhadap baku 2005. Pertumbuhan nasional untuk suatu populasi dinyatakan
dalam positif dan negatif 2 SD unit (Z-Score) dari median.
Rumus perhitungan Z-Score adalah:

Z-Score=

Nilai Z-Score kemudian dikonversi dengan tabel baku WHO 2005 (Anthro 2009).
Status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB dikategorikan menjadi tiga
menurut standar baku Depkes RI 2010, yaitu :
35

Tabel 2 Kalsifikasi status gizi berdasarkan Depkes RI 2010


BB/U TB/U BB/TB
Gizi lebih Tinggi Gemuk
(z skor >+2) (z skor >+2) (z skor >+2)
Gizi baik Normal Normal
(z skor ≥ -2 s/d +2) (z skor ≥ -2 s/d +2) (z skor ≥ -2 s/d +2)
Gizi kurang Pendek Kurus
(z skor -3 s/d <-2) (z skor -3 s/d <-2) (z skor -3 s/d <-2)
Gizi buruk Sangat pendek Sangat kurus
(z skor <-3) (z skor <-3) (z skor <-3)

Status kesehatan balita diperoleh berdasarkan kejadian sakit pada dua


minggu terakhir dengan menanyakan kejadian penyakit (pernah dan tidaknya
sakit), gangguan penyakit (jenis penyakit), frekuensi sakit dan lama menderita
sakit. Skor kesehatan diklasifikasikan ke dalam 3 kriteria, rendah (9-14), sedang
(8-5), dan tinggi (0-4).
Pengetahuan gizi ibu diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan.
Penilaian untuk pengetahuan gizi ibu ditentukan berdasarkan skor benar dari
masing-masing pertanyaan. Jika jawaban yang diberikan benar diberi skor 1 dan
jika salah diberi skor 0. Pengetahuan gizi diklasifikasikan ke dalam 3 kriteria,
yaitu pengetahuan gizi baik (>80%), pengetahuan gizi sedang (60%-80%), dan
pengetahuan gizi kurang (<60%) (Khomsan 2000).
Sikap gizi ibu diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan. Penilaian
untuk sikap gizi ibu ditentukan dengan bobot skor dari setiap jawaban
pernyataan yang diberikan yaitu 2 untuk jawaban setuju, 1 untuk jawaban ragu-
ragu, dan 0 untuk jawaban tidak setuju. Total skor sikap gizi ibu dikategorikan
menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu sikap gizi rendah (12-14), sikap
gizi sedang (15-17), dan sikap gizi tinggi (18-20).
Perilaku gizi ibu diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan. Penilaian
perilaku gizi ibu ditentukan dengan bobot skor dari setiap pertanyaan yang
diberikan yaitu 3 untuk jawaban Ya dan 0 untuk jawaban Tidak. Total skor
perilaku gizi ibu dikategorikan menjadi tiga berdasarkan rumus interval yaitu
perilaku gizi rendah (11-15), perilaku gizi sedang (16-20), dan perilaku gizi tinggi
(21-25).
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) diukur dengan menggunakan 20
pertanyaan. Penilaian untuk perilaku hidup bersih dan sehat ditentukan dengan
bobot skor dari setiap jawaban pertanyaan yaitu 1 untuk jawaban Ya dan 0 untuk
jawaban Tidak. Total skor PHBS dikategorikan menjadi tiga berdasarkan rumus
36

interval yaitu PHBS rendah (5-8), PHBS sedang (9-12), dan PHBS tinggi (13-16).
Pengkategorian variable penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengkategorian variable penelitian
No. Variabel Sub Variabel Kategori
• Jenis kelamin

Karakteristik anak • Umur (bulan) • 12-23 bulan


1.
balita • 24-35 bulan
• 36-47 bulan
• 47-60 bulan
2. Status gizi anak • BB/TB
balita • BB/U
• TB/U
3. Status kesehatan • Pernah/tidak sakit
• Frekuensi sakit
• Lama sakit • 1-3 hari
• 4-7 hari
• 8-14 hari
(BPS 2000)
• Skor kesehatan • Rendah (10-14)
• Sedang (5-9)
• Tinggi (0-4)
Interval kelas (Sugiyono 2009)
4. Karakteristik • Besar keluarga • Kecil (≤ 4 orang)
keluarga • Sedang (5-6 orang)
• Besar (≥7 orang)
(BKKBN 1998)
• Umur ibu • Remaja (< 20 tahun)
• Dewasa awal (20-40 tahun)
• Dewasa tengah (41-65 tahun)
• Dewasa akhir (>65 tahun)
(Papalia&Old 1986)
• Pendidikan orangtua • SD/sederajat
• SMP/sederajat
• SMA/sederajat
• Perguruan Tinggi
• Pekerjaan orangtua • Tidak bekerja
• Pedagang
• Buruh
• Pemulung
• Pengemis
• Pengamen
• Jasa
• Ibu rumah tangga (IRT)
• PNS/ABRI/Polisi
• Karyawan
• Lainnya
• Pendapatan orangtua • Miskin (<379.052)
• Tidak Miskin (≥379.052)
(BPS 2012)
5. PHBS • Rendah (5-8)
• Sedang (9-12)
• Tinggi (13-16)
Interval kelas (Sugiyono 2009)
37

Tabel 3 Pengkategorian variable penelitian (lanjutan)


No. Variabel Sub Variabel Kategori
6. Pengetahuan gizi • Rendah (<60%)
ibu • Sedang (60%-80%)
• Tinggi (>80%)
Khomsan (2000)
7. Sikap gizi ibu • Rendah (12-14)
• Sedang (15-17)
• Tinggi (18-20)
Interval kelas (Sugiyono 2009)
8. Perilaku gizi ibu • Rendah (11-15)
• Sedang (16-20)
• Tinggi (21-25)
Interval kelas (Sugiyono 2009)

Hubungan antar variabel seperti hubungan antara pengetahuan gizi,


perilaku hidup sehat, perilaku gizi, sikap gizi, sanitasi lingkungan dengan status
gizi dan status kesehatan dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank
Spearman dan Pearson. Pengujian selisih antara dua proporsi menggunakan uji
Z. Langkah dalam pengolahan data adalah dilakukan penganalisian hubungan
antar variabel dengan analisis statistik menggunakan Rank Spearman
Correlation Test dengan rumus sebagai berikut :
6∑
=1−
( − 1)
Keterangan :
x = Variabel pertama
y = Variabel kedua
di = Selisih antara peringkat bagi xi dan yi
n = Banyaknya pasangan data
rs = Koefisien korelasi Spearman (rs bernilai -1 sampai +1, menunjukkan
adanya hubungan yang sempurna antara X dan Y)
Sedangkan pengolahan data dalam pengujian proporsi pada tingkat
kemiskinan berdasarkan status gizi dengan menggunakan uji Z yaitu dengan
langkah sebagai berikut:
1. Tentukan Ho: p1 = p2
2. H1: Alternatif adalah salah satu di antara p1<p2, p1>p2, atau p1≠p2
3. Tentukan taraf nyata α
4. Wilayah kritik:
z < -zα bila alternatifnya p1<p2,
z> zα bila alternatifnya p1>p2,
z> -zα/2 dan z> -zα/2 bila alternatifnya p1≠p2
5. Perhitungan: Hitunglah ṕ1 = x1/n1, ṕ2 =x2/n2, ṕ3 = (x1+x2)/(n1+n2), dan
kemudian
ṕ ṕ
z=
" &
ṕ#(#$ṕ#) ṕ'(#$ṕ')
%# %'
38

6. Keputusan: Tolak H0 bila z jatuh ke dalam wilayah kritik; dan terima H0


bila z jatuh ke dalam wilayah penerimaan.
Keterangan:
p = proporsi, p1 = proporsi miskin; p2= proporsi tidak miskin
α = taraf nyata
x = banyaknya keberhasilan dalam masing-masing contoh
n = jumlah contoh

Definisi Operasional
Balita adalah anak usia 12-60 bulan yang tinggal di pemukiman kumuh.
Karakteristik anak balita adalah ciri yang ditentukan berdasarkan berat badan
anak balita yang dinyatakan dalam satuan kilogram, umur dalam bulan,
dan jenis kelamin, serta riwayat penyakit.
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari
pengelolaan sumberdaya yang sama.
Pendapatan keluarga adalah gabungan penghasilan ayah, ibu, dan anggota
keluarga lain yang tinggal dalam satu rumah serta penghasilan yang
didapat dari pinjaman atau pemberian oranglain.
Status gizi anak balita adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan
(absorbs) dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan
berbagai cara, salah satunya dengan antropometri. Indikator status gizi
yang digunakan adalah BB/U, TB/U, dan BB/TB.
Status kesehatan anak balita adalah kondisi kesehatan (riwayat sakit) anak
balita dalam dua minggu terakhir meliputi jenis penyakit, lama sakit, dan
frekuensi penyakit.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ibu adalah sekumpulan perilaku
yang dipraktikan oleh ibu dalam pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan serta berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan
masyarakatnya.
Sanitasi lingkungan adalah keadaan tempat tinggal yang meliputi sanitasi
lingkungan pemukiman, ketersediaan air bersih, sarana pembuangan
limbah dan sampah.
Pengetahuan gizi ibu adalah pengetahuan yang berkaitan dengan gizi dan
kesehatan yang dimiliki oleh ibu.
39

Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang


berkaitan dengan kesehatan, dimana anak balita tersebut dalam keadaan
gizi baik dan sehat sedangkan yang lainnya mengalami gizi buruk dan
sakit dalam suatu lingkungan yang sama. Positive deviance didasarkan
pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah
ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui
bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku khusus masyarakat
tersebut.
Perilaku gizi ibu adala praktek atau tindakan ibu yang berkaitan dengan gizi dan
kesehatan.
Sikap gizi ibu adalah sikap ibu yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan.
40

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Manggarai


Manggarai terletak
te di Kecamatan Tebet di wilayah Jakarta
Ja Selatan.
Wilayah Manggaraii merupakan
m daerah dataran rendah dengan ketinggian rata-
.15 m di atas permukaan laut, terletak pada 60 15’ 80” Lintang
rata mencapai 25.15
1 0 48’ 00” Bujur Timur (BT). Pada Gamba
Selatan (LS) dan 106 bar 2 ditampilkan
Peta Administrasi Ma
anggarai.

G
Gambar 2 Peta Administrasi Wilayah Manggarai

Luas wilayah
ah Manggarai sesuai dengan keputusan Gubernur
G KDKI
ahun 1989 adalah 0,953 km2. Manggarai mem
Jakarta No. 1815 tah miliki batas-batas
wilayah, yaitu:
• Sebelah Utara ber
erbatasan dengan Kali CIliwung
• Sebelah Selatan berbatasan
b dengan Kelurahan Manggarai Se
elatan
• Sebelah Barat ber
erbatasan dengan Pasaraya Manggarai
• Sebelah Timur ber
erbatasan dengan Kelurahan Bukit Duri
Total jumlah
ah penduduk di Wilayah Manggarai pad
da tahun 2010
sebanyak 29.535 jiw
iwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 7.3
.368 dengan total
sar 0,953 km2. Sehingga kepadatan pendudu
luas wilayah sebesa duk di Manggarai
sebesar 30.991 Jiwa
wa/Km2. Manggarai terdiri dari 12 rukun wa
arga. Kepadatan
penduduk pada Keca
camatan Tebet tertinggi diantara berbagai
ai kecamatan di
41

wilayah Jakarta Selatan. Jenis penggunaan lahan di Manggarai dikelompokkan


sebagai berikut: perumahan, industri, dan lain-lain. Persentase penggunaan
lahan di Manggarai paling besar digunakan untuk perumahan yaitu sebesar
80.59 %, untuk industri 10.7 % dan paling kecil adalah lainnya yaitu sebesar
8.71 % (BPS 2011).
Manggarai memiliki identitas sebuah wilayah yang kumuh. Kesan
tersebut timbul karena aktivitas di lingkungan tersebut yang identik dengan
bangunan liar serta rakyat kelas bawah yang mengakibatkan masalah sosial
seperti tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Bangunan-bangunan liar tersebut
dibangun berdampingan pada bantara sungai Ciliwung, akibatnya terjadi
pendangkalan dasar sungai sehingga mengakibatkan banjir.
Karakteristik Anak Balita
Karakteristik anak balita yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah
jenis kelamin dan umur. Tabel 4 berikut menunjukkan sebaran anak balita
berdasarkan jenis kelamin dan umur.
Tabel 4 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dan umur
Karakteristik anak balita n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 48.8
Perempuan 21 51.2
Total 41 100
Umur balita (bulan)
12-23 bulan 8 19.5
24-35 bulan 18 43.9
36-47 bulan 9 22.0
48-60 bulan 6 14.6
Total 41 100

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak balita


berjenis kelamin perempuan (51.2%) dan sisanya berjenis kelamin laki-laki
(48.8%). Umur balita dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 12-23 bulan,
24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-60 bulan. Umur balita berkisar antara 13-50
bulan dengan rata-rata 30.4±9.9. Sebagian besar anak balita berumur antara 24-
35 bulan (43.9%), sisanya berumur 12-23 bulan (19.5%), umur 36-47 bulan
(22%), dan umur 48-60 bulan (14.6%). Tiga tahun pertama dalam kehidupan
anak-anak merupakan masa yang paling sensitif karena masa tersebut dikaitkan
dengan golden age atau masa pesat perkembangan otak. Hawadi (2001) dalam
Khomsan (2010) menyatakan bahwa usia batita (anak di bawah usia tiga tahun)
42

adalah usia dimana anak menuju pada penggunaan bahasa, motorik, dan
kemandirian.
Status Gizi Anak Balita
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorb) dan
penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah
satunya dengan antropometri.
Indeks status gizi balita antara lain berat badan (BB), tinggi badan (TB),
dan umur (U). Status gizi dinilai berdasarkan indikator berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Pemantauan status gizi anak balita menggunakan baku Depkes
RI (2008) dan dihitung berdasarkan skor simpang baku (z-skor). Status gizi anak
balita dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita (BB/U) berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Status Gizi Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Buruk 2 10 2 9.5 4 9.8
Kurang 2 10 4 19.0 6 14.6
Baik 16 80 15 71.4 31 75.6
Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U)
sebagian besar berstatus gizi baik (75.6%) yang tersebar seimbang pada balita
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan sisanya memiliki status gizi
buruk (9.8%) dan status gizi kurang (14.6%).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu
makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan,
maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara
pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa
2002).
43

Tabel 6 Sebaran status gizi anak balita (TB/U) berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Status Gizi Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Sangat pendek 4 20 4 19.0 8 19.5
Pendek 6 30 4 19.0 10 24.4
Normal 10 50 13 61.9 23 56.1
Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur pada
Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa anak balita memiliki status gizi normal dengan
proporsi sebanyak 23%, sedangkan yang berstatus gizi sangat pendek sebanyak
19.5% dan status gizi pendek sebanyak 24.%.
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Indeks ini menggambarkan status gizi pada masa lalu. Beaton dan Bengoa
(1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping
memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya
dengan status sosial ekonomi.
Tabel 7 Sebaran status gizi anak balita (BB/TB) berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin
Status Gizi Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Kurus 2 10 1 4.8 3 7.3
Normal 18 90 20 95.2 38 92.7
Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan BB/TB sebagian besar normal


(92.7%), sebagian kecil kurus (7.3%), dan tidak terdapat balita dengan status gizi
sangat kurus atau gemuk (Tabel 7). Menurut Supariasa (2002) berat badan
memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB merupakan
indeks yang independen terhadap umur.
Status Kesehatan
Status kesehatan seseorang berkaitan dengan keadaan penyakit yang
dideritanya dan merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor host, agen
penyakit, dan lingkungan. Penyakit sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
44

keadaan gizi dan imunitas serta akses terhadap layanan kesehatan (Patriasih et
al 2009).
Status kesehatan yang diteliti pada anak balita adalah kejadian sakit,
jenis penyakit, frekuensi penyakit, dan lama sakit yang pernah diderita selama
dua minggu terakhir. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita
(61.0%) pernah mengalami sakit dan sebanyak 39.0% anak balita tidak
mengalami sakit selama dua minggu terakhir. Menurut Notoatmodjo (2007)
menyatakan bahwa indikator kesehatan individu adalah bebas dari penyakit atau
tidak sakit, dan tidak cacat.
Tabel 8 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan
Status Kesehatan n %
Sehat 16 39.0
Sakit 25 61.0
Total 41 100

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan bakteri, virus, jamur,


protozoa, cacing, dan alga (Entjang 2000). Jenis penyakit yang sering dialami
anak balita adalah batuk (46.3%), pilek (39.0%), dan demam (22.0%). Sebagian
kecil anak balita mengalami sesak napas (2.4%) dan lain-lain (7.3%). Soemanto
(1990) menyatakan bahwa jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah
batuk, pilek, diare, dan panas badan. Sebanyak 39.0% anak balita mengalami
lebih dari satu keluhan seperti batuk dan pilek, sisanya hanya mengalami satu
keluhan (22.0%) dan tidak ada keluhan (39.0%). Menurut Sukarni (1989), masih
tingginya angka kesakitan akibat ISPA di Indonesia disebabkan masih
terbatasnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan air limbah,
dan lingkungan perumahan yang kotor. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang
mudah ditularkan melalui udara.
Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit
Jenis Penyakit n %
Batuk 19 46.3
Pilek 16 39.0
Sesak Napas 1 2.4
Demam 9 22.0
Lain-lain 3 7.3
∗ Jumlah n dipengaruhi oleh kejadian penyakit

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita menderita sakit


selama 1-3 hari yaitu batuk (22.0%), pilek (17.1%), dan demam (17.1%). Batuk,
pilek, dan sesak napas termasuk infeksi pada saluran pernapasan (ISPA). Infeksi
akut yaitu infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil
45

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang


digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari
(Depkes 2004 dalam Fitriyani 2008).
Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit (hari)
Lama Sakit
Jenis Penyakit 1-3 4-7 8-14
n % n % n %
Batuk 9 22.0 8 19.5 2 4.9
Pilek 7 17.1 6 14.6 3 7.3
Sesak Napas 0 0.0 1 2.4 0 0.0
Demam 7 17.1 2 4.9 0 0.0
Lain-lain 1 2.4 2 4.9 0 0.0

Frekuensi sakit anak balita selama dua minggu terakhir, seluruhnya


mengalami sakit dengan frekuensi 1 kali, namun tidak terdapat anak balita yang
mengalami sakit dengan frekuensi 2 kali dan lebih dari 3 kali dalam dua minggu
terakhir. Seluruh anak balita menderita penyakit batuk, pilek, dan demam
sebanyak 1 kali (46.3%, 39.0%, dan 22.0%).
Tabel 11 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit
Frekuensi Sakit (kali)
Jenis Penyakit 1 2 ≥3
n % n % n %
Batuk 19 46.3 0 0.0 0 0
Pilek 16 39.0 0 0.0 0 0
Sesak napas 1 2.4 0 0.0 0 0
Demam 9 22.0 0 0.0 0 0
Lain-lain 3 7.3 0 0.0 0 0

Berdasarkan penelitian Dijaissyah (2011) dan untuk keperluan analisis,


data skor status kesehatan diperoleh dengan cara mengalikan antara lama sakit
dalam hari dengan frekuensi penyakit pada setiap jenis penyakit. Skor kesehatan
anak balita dibagi menjadi tiga kategori melalui interval kelas, yaitu tinggi (0-4),
sedang (5-9), dan rendah (10-14). Skor kesehatan anak balita dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan skor kesehatan
Skor Kesehatan n %
Rendah 3 7.3
Sedang 8 19.5
Tinggi 30 73.2
Total 41 100
46

Tabel 12 menunjukkan bahwa skor kesehatan anak balita sebagian besar


berada pada kategori tinggi ( 73.2%), dan sisanya skor kesehatan anak balita
berada pada kategori sedang (19.5%) dan rendah (7.3%). Banyaknya anak balita
dengan skor kesehatan dengan kategori tinggi menunjukkan bahwa sebagian
besar anak balita memiliki status kesehatan yang baik yaitu dalam proses
penyembuhan penyakit yang cepat. Skor kesehatan yang tinggi tersebut
dipengaruhi oleh lama sakit dan frekuensi sakit yang diderita oleh anak balita.
Tabel 13 Sebaran anak balita yang sakit berdasarkan tindakan pengobatan
Tindakan Pengobatan n %
Puskesmas 13 52.0
Klinik 3 12.0
Dokter Praktek 0 0.0
Rumah sakit 1 4.0
Rumah 8 32.0
Total 25 100

Berdasarkan Tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa pelayanan kesehatan


yang banyak dimanfaatkan dalam tindakan pengobatan untuk anak balita ketika
sakit adalah puskesmas (52.0%). Akan tetapi, upaya pengobatan sendiri tanpa
memanfaatkan pelayanan kesehatan yaitu di rumah saja dengan membeli obat
warung masih banyak dilakukan ketika anak balita sakit (32.0%). Menurut
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku
pencarian pengobatan merupakan salah satu perilaku yang berhubungan
dnegan kesehatan.
Karakteristik Keluarga Balita
Besar Keluarga
Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari
pengelolaan sumberdaya yang sama. Sebaran responden berdasarkan besar
keluarga dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga n %
Kecil (≤4 orang) 26 63.4
Sedang (5-6 orang) 9 22.0
Besar (≥7 orang) 6 14.6
Total 41 100.0
47

Jumlah anggota keluarga anak balita berkisar antara 2-9 orang dengan
rata-rata 4.6±1.6. Sebagian besar contoh merupakan keluarga kecil dengan
jumlah anggota ≤4 yaitu dengan proporsi 63.4%. Sebagian kecil anak balita
merupakan keluarga sedang (22%) dan keluarga besar (14.6%). Menurut
Sukarni (1989), besar keluarga mempengaruhi kesehatan seseorang atau
keluarga karena akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak. Rumah yang
padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan
memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 2007).
Umur Orangtua
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas
seseorang. Orang yang masih muda memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Hal
ini disebabkan oleh kondisi fisik dan kesehatan orang muda yang masih prima
(Khomsan et al. 2007). Dilihat dari umur, baik ayah maupun ibu balita masih
berada dalam usia produktif, yaitu rata-rata ayah 34.5 tahun dan rata-rata ibu
30.3. sebaran umur orangtua anak balita dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran orangtua berdasarkan umur
Ibu Ayah
Kategori Umur
n % n %
<20 tahun 1 2.4 0 0.0
20-40 tahun 36 87.8 32 80.0
41-65 tahun 4 9.8 8 20.0
Total 41 100.0 40 100.0
Rata-rata±Stdev 30.3±8.3 34.5±8.3

Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa baik umur ayah (76.9%)


maupun umur ibu (85.4%) sebagian besar berada pada umur antara 20-40
tahun. Umur pada kisaran tersebut termasuk dalam kategori dewasa awal.
Hurlock (1980) mengatakan bahwa orangtua muda, terutama ibu cenderung
kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga
umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman
orangtua terdahulu.
Pendidikan Orangtua
Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola
konsumsi pangan, serta status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi akan
cenderung memilih makanan yang murah namun kandungan gizinya tinggi,
sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil
48

sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989). Tabel
16 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pendidikannya.
Tabel 16 Sebaran orangtua berdasarkan pendidikan
Ayah Ibu
Tingkat Pendidikan
n % N %
SD 16 40.0 17 41.5
SMP 7 17.5 10 24.4
SMA 14 35.0 14 34.1
Perguruan Tinggi 3 7.5 0 0
Total 40 100 41 100

Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan orangtua


masih tergolong rendah. Sebagian besar pendidikan ayah yaitu SD dengan
proporsi sebesar 40.0%, begitu pula dengan pendidikan ibu yang sebagian besar
adalah SD (41.5%). Namun terdapat 7.5% responden ayah yang berpendidikan
Perguruan Tinggi. Menurut Madanijah (2003) yang diacu dalam Ulfah (2008),
pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak,
karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya
terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan
anak dan keluarga. Menurut Sukarni (1989), pendidikan orangtua akan
menentukan kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya
pelayanan kesehatan dan keluarga berencana.
Pekerjaan Orangtua
Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta
berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan
dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989).
Tabel 17 Sebaran orangtua berdasarkan pekerjaan
Ayah Ibu
Jenis Pekerjaan
n % n %

Tidak bekerja 0 0 0 0
Pedagang 6 15 2 4.8
Buruh 8 20 1 2.3
Pemulung 3 7.5 0 0
Jasa 11 27.5 1 2.3
IRT 0 0 37 92.6
Lainnya 4 10 0 0
PNS/ABRI/Polisi 1 2.5 0 0
Karyawan 7 17.5 0 0
Total 40 100 41 100
49

Berdasarkan Tabel 17 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar ayah


bekerja dibidang jasa (25%) contohnya bekerja sebagai tukang ojek. Sedangkan
sebagian besar ibu berstatus sebagai ibu rumah tangga (85.4%). Pekerjaan
memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting
dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain
seperti kesehatan (Sukarni 1989).
Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga
Pendapatan perkapita per bulan anggota keluarga anak balita dihitung
berdasarkan jumlah pendapatan keluarga dibagi dengan besar keluarga. Rata-
rata pendapatan per kapita anggota keluarga anak balita adalah Rp 533.388,00
dengan standar deviasi adalah Rp 294.027,00. Tabel 18 menunjukkan sebaran
responden berdasarkan pendapatan menurut garis kemiskinan.
Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan pendapatan keluarga
Kategori n %
Miskin 16 39.0
Tidak Miskin 25 61.0
Total 41 100.0

Berdasarkan Tabel 18 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar (61%)


responden termasuk keluarga tidak miskin dengan pendapatan perkapita
anggota rumah tangga >Rp 379.052, dan sisanya sebanyak 39% termasuk
rumah tangga miskin dengan pendapatan perkapita anggota keluarga ≤Rp
379.052. Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non
pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan
mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2010). Pada Tabel 19 menunjukkan
pengeluaran pangan responden.
Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan pengeluaran pangan
Pengeluaran pangan n %
>45% 34 82.9
<45% 7 17.1
Total 41 100.0

Berdasarkan Tabel 19 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar


responden (82.9%) menggunakan lebih dari 45% pendapatannya untuk pangan.
Kelompok yang berpendapatan rendah pada umunya mempunyai proporsi paling
besar untuk pengeluaran pangan. Berlawanan, dengan kelompok masyarakat
berpendapat tinggi, mereka mengalokasikan lebih pendapatan untuk non pangan
50

(Sukandar 2007). Di negara-negara berkembang, orang-orang miskin hampir


membelanjakan pendapatannya untuk makanan. Di India Selatan keluarga-
keluarga yang miskin menghabiskan 80 persen anggaran belanjanya untuk
makanan, sedangkan di negara-negara maju hanya 45 persen (Berg 1986).
Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan gizi merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dapat
diperoleh melalui pendidikan. Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang
mencirikan seseorang memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan
(Sukandar 2007). Tabel 20 menunjukkan sebaran responden berdasarkan
pengetahuan gizi.
Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi
Kategori n %
Baik (>80%) 13 31.7
Sedang (60-80%) 24 58.5
Kurang (<60%) 4 9.8
Total 41 100

Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki


pengetahuan gizi sedang dengan proporsi 58.5%, sedangkan responden dengan
pengetahuan gizi tinggi sebesar 31.7% dan masih ada responden yang memiliki
pengetahuan yang rendah dengan proporsi 9.8%. Notoatmodjo (2007)
mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan.
Sikap Gizi Ibu
Sikap adalah suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap akan
mempengaruhi proses berpikir, respon afeksi, kehendak, dan perilaku berikutnya
(Notoatmodjo 2007).
Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi
Kategori n %
Baik (18-20) 17 41.5
Sedang (15-17) 17 41.5
Kurang (12-14) 7 17.1
Total 41 100
51

Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki sikap gizi


dalam kategori baik dan sedang (41.5%) dan hanya 17.1% ibu memiliki sikap gizi
dalam kategori kurang. Sikap gizi ibu merupakan sikap ibu yang dapat
membedakan mengenai makanan yang bergizi dan aman untuk dikonsumsi serta
dalam pemilihan makanan dan zat gizi. Sikap biasanya memainkan peranan
utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan
perilaku yang positif dan sikap negative akan menumbuhkan perilaku yang
negatif.
Perilaku Gizi Ibu
Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang
bersangkutan. Perilaku merupakan hubungan antara perangsang (stimulus) dan
respon (Skinner 1933 dalam Notoatmodjo 2007). Perilaku adalah pola praktek
yang terjadi berulang-ulang dan telah menjadi kebiasaan.
Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi
Kategori n %
Baik (21-25) 14 34.1
Sedang (20-16) 18 43.9
Kurang (11-15) 9 22.0
Total 41 100

Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat bahwa sebagian besar perilaku gizi


ibu yang memiliki anak balita berada dalam kategori sedang (43.9%), baik
(34.1%), dan masih terdapat ibu yang memiliki perilaku gizi kurang (22%).
Menurut Sumintarsih et al. (2000), menyatakan bahwa meskipun didukung oleh
pengetahuan yang menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu,
belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang
diketahui dan dipahaminya. Perilaku gizi tidak muncul dalam individu tersebut
(internal), melainkan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya
(Khomsan 1993 dalam Jayanti 2011).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Ibu
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan cerminan pola hidup
keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh
anggota keluarga. Menurut Yoon et al. (1997) dalam Safitri (2010), perilaku hidup
sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang
mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Tabel 23 menunjukkan
sebaran responden berdasarkan PHBS.
52

Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan PHBS


Kategori n %
Baik (13-16) 13 31.7
Sedang (9-12) 17 41.5
Kurang (5-8) 11 26.8
Total 41 100

Tabel 23 menunjukkan bahwa secara umum perilaku hidup bersih dan


sehat ibu yang memiliki anak balita sebagian besar masih tergolong sedang
(41.5%), sebagian kecil sudah baik (31.7%), namun masih ada yang tergolong
rendah (26.8%). Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan perilaku yang
berkaitan dengan kegiatan seseorang dalam meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan. Rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat ibu
diduga ibu belum memahami mengenai pentingnya untuk berperilaku bersih dan
sehat. Nilai perilaku hidup sehat contoh yang baik diharapkan dapat
mencerminkan kondisi kesehatan contoh, karena denga perilaku hidup yang
sehat berarti telah melakukan usaha pencegahan terhadap penukaran penyakit.
Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah usaha-usaha pengendalian dari semua faktor-
faktor lingkungan fisik manusia yang menimbulkan atau dapat menimbulkan hal
yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup
manusia. Rumah yang ditempati oleh responden ada yang milik sendiri, milik
orangtua, dan ada yang mengontrak, dengan luas rumah rata-rata rumah 21.5
m2. Luas rumah bila dibandingkan dengan jumlah penghuni (luas ruangan
perorang) akan menggambarkan tingkat kepadatan suatu rumah. Menurut
Sukarni (1989), luas ruangan perorang yang baik adalah >10 m2/orang, cukup
antara 7-10 m2/orang, dan yang kurang <7 m2/orang.
Berdasarkan Tabel 18, sebesar 31 % responden memiliki luas ruangan
per orang dengan kategori kurang (<7 m2/orang). Sebagian besar responden
memiliki lantai rumah dari keramik (51.2%) namun dengan atap seng ( 61%).
Sebesar 73.2% keluarga yang memiliki jendela namun hanya 29.3% memiliki
ventilasi yang memadai. Tidak lebih dari separuh responden yang memiliki
kamar mandi dan jamban yaitu sebesar 46.3% dan 39.0, serta tidak satu
responden pun yang memiliki septic tank.
53

Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah


Kondisi Fisik Rumah n %
Jenis lantai
a. Tanah 0 0.0
b. Keramik 21 51.2
c. Semen 10 24.4
d. Papan/bamboo 10 24.4
Bagian rumah berupa tanah
a. Ya 0 0.0
b. Tidak 41 100.0
Atap
a. Seng 25 61.0
b. Genteng 3 7.3
c. Asbes 13 31.7
Jendela
a. Ada 30 73.2
b. Tidak 11 26.8
Kepemilikan kamar mandi
a. Ya 19 46.3
b. Tidak 22 53.7
Kepemilikan jamban/WC
a. Ya 16 39.0
b. Tidak 25 61.0
Kepemilikan septic tank
a. Ya 0 0.0
b. Tidak 41 100.0
SPAL
a. Ya 16 39.0
b. Tidak 25 61.0
Ventilasi memadai
a. Ya 12 29.3
b. Tidak 29 70.7
Kepadatan luas ruangan
a. kurang (<7m) 31 75.6
b. cukup baik (7-10) 5 12.2
c. baik (>10m) 5 12.2

Lebih dari separuh responden tidak memiliki saluran pembuangan air


limbah (61%). Hal ini karena anggota keluarga mengalirkan limbah langsung ke
sungai. Pemukiman yang sanitasinya tidak baik seperti tidak tersedia air bersih,
jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air
kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang
menyebabkan seseorang kurang gizi.
54

Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan sanitasi lingkungan


Kategori n %
Rendah (14-18) 21 51.2
Sedang (19-23) 10 24.4
Baik (24-28) 10 24.4
Total 41 100

Berdasarkan Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar sanitasi


lingkungan responden berada pada kategori rendah (51.2%), sisanya pada
kategori sedang dan tinggi sebanyak 24.4%. Pemukiman yang sanitasinya tidak
baik seperti tidak tersedia air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak
tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat
menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang kurang gizi.
Sumber Air
Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk
dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002).
Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan sumber air
Minum Masak Lain-lain
Sumber Air
n % n % n %
Sungai 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Sumur/mata air 13 31.7 26 63.4 40 97.6
PAM 1 2.4 1 2.4 1 2.4
Air pikulan 2 4.9 7 17.1 0 0.0
Air gallon 29 70.7 7 17.1 0 0.0

Tabel 26 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (70.7%)


menggunakan air galon untuk minum, sedangkan untuk masak sebanyak 63.4%
responden menggunakan air sumur/mata. Sumber air yang digunakan untuk
mandi dan mencuci, sebagian besar responden (97.6%) menggunakan sumber
air sumur/mata air. Pada umumnya, sumber air bagi keperluan rumah tangga
berasal dari sumur. Air sumur harus memenuhi syarat kesehatan sebagai air
rumah tangga, maka air sumur harus dilindungi dari pencemaran dan harus
memperhatikan bahwa jarak sumur dengan sumber kotoran minimum 10 m
(Sukarni 1989).
Positive Deviance
Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang
berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak
55

tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga


yang sama (Zeitlin et al. 1990). Kebiasaan keluarga yang menguntungkan
sebagai inti positif deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu
pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan
kesehatan (Core 2003). Tabel 27 sampai dengan Tabel 30 menunjukkan
pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, PHBS responden yang
menguntungkan sehingga terjadinya penyimpangan positif status gizi dan status
kesehatan anak balita.
Tabel 27 menunjukkan tentang pengetahuan gizi responden. Secara
keseluruhan lebih dari separuh pengetahuan yang dimiliki responden sudah
cukup baik untuk setiap pertanyaan, kecuali pada pengetahuan gizi ibu
mengenai makanan untuk tumbuh tinggi anak hanya 41.5%. Sebagian besar
responden sudah mengetahui tentang makanan sebagai sumber tenaga (73.2%),
contoh makanan sumber protein (78.0%), makanan agar gigi dan tulang kuat
(70.7%), makanan agar tidak rabun pada mata (92.7%), makanan agar buang air
lancar (87.8%), makanan agar tidak cepat lesu dan lelah (63.4%), makanan yang
mengandung formalin (90.2%), bahaya merokok (95.1%), dan lama pemberian
ASI (75.6%).
Tabel 27 Sebaran responden mengenai pengetahuan gizi
Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
1. Kalau Bapak/suami akan bekerja, makanan apa
yang harus dimakan agak banyak agar bertenaga 30 73.2 11 26.8
dan kuat bekerja?
2. Agar anak-anak bertumbuh tinggi badannya,
17 41.5 24 58.5
makanan hewani atau nabati yang lebih baik?
3. Contoh makanan sumber protein adalah: 32 78.0 9 22.0
4. Supaya gigi dan tulang menjadi kuat, makanan
29 70.7 12 29.3
apa yang seharusnya dimakan ?
5. Rabun pada mata, seringkali terjadi karena
38 92.7 3 7.3
kekurangan makanan apa ?
6. Supaya buang air lancar tiap hari, makanan apa
36 87.8 5 12.2
yang harus dimakan ?
7. Bila mata berkunang-kunang, cepat lelah, lesu,
dan hal-hal tersebut adalah tanda-tanda kurang 26 63.4 15 36.6
darah, makanan apa yang harus dimakan ?
8. Yang kemungkinan mengandung lebih banyak
37 90.2 4 9.8
formalin adalah tahu atau tempe?
9. Apa bahaya merokok bagi kesehatan ? 39 95.1 2 4.9
10. Bila Anda mempunyai anak kecil, agar dia tumbuh
dengan baik dan cerdas, pemberian ASI (Air Susu 31 75.6 10 24.4
Ibu) sebaiknya sampai usia berapa ?
56

Tabel 28 menunjukkan mengenai sikap gizi ibu. Sebagian besar


responden setuju mengenai makan nasi sebagai sumber tenaga (97.6%), minum
susu penting untuk anak (97.6%), makan sayur bermanfaat untuk kesehatan
(100%), konsumsi daging bermanfaat untuk menambah darah (87.8%), konsumsi
sayur setiap hari (90.2%). Sebagian besar responden tidak setuju mengenai
sarapan tidak terlalu penting (73.2%), lama pemberian ASI hanya sampai 1
tahun (63.2%), kebiasaan merokok tidak perlu dihilangkan (90.2%), dan formalin
digunakan untuk mengawetkan makanan (100%). Namun masih banyak
responden yang bersikap bahwa konsumsi tahu dan tempe sama baiknya
dengan makan telur atau daging (82.9%).
Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi ibu
Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
1. Makan nasi penting sebagai sumber tenaga 40 97.6 1 2.4
2. Minum susu setiap hari penting untuk anak 40 97.6 1 2.4
3. Kebiasaan makan sayur setiap hari bermanfaat bagi
41 100 0 0
kesehatan
4. Sarapan pagi tidak terlalu penting 30 73.2 11 26.8
5. Konsumsi daging bermanfaat untuk menambah
36 87.8 5 12.2
darah
6. ASI cukup diberikan sampai anak berusia 1 tahun 26 63.4 15 36.6
7. Menyediakan sayuran hijau dalam menu sehari-hari
37 90.2 4 9.8
lebih baik daripada sayuran yang tidak berwarna
8. Mengkonsumsi tahu dan tempe sama baiknya
7 17.1 34 82.9
dengan makan telur/daging
9. Kebiasaan merokok tidak perlu dihilangkan/dikurangi 37 90.2 4 9.8
10. Formalin biasa digunakan untuk mengawetkan
41 100 0 0
tahu, ikan basah dan ayam

Tabel 29 menunjukkan bahwa sebanyak 92.7% keluarga responden tidak


suka makan buah setiap hari, dan dalam mengkonsumsi sayur sebanyak 78.0%
keluarga responden tidak makan sayur setiap hari. Buah dan sayur banyak
mengandung vitamin dan mineral yang baik untuk tubuh. Vitamin dan mineral
merupakan zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan yang
dibutuhkan oleh anak balita (Almatsier 2006).
Sebanyak 63.4% responden tidak memberikan ASI ekslusif (6 bulan)
kepada anaknya. Pada umunya setelah anak berusia empat bulan bahkan
kurang, responden sudah memberikan makanan pendamping ASI seperti pisang,
biskuit, susu formula, bubur bayi, dan lainnya. Pemberian ASI ekslusif sangat
bermanfaat karena ASI merupakan makanan yang paling sempurna untuk bayi.
Menurut Soekirman (2000), ASI mengandung zat kekebalan yang mampu
melindungi anak dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA.
57

Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi ibu


Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
1. Kami suka makan buah 3 7.3 38 92.7
2. Anak balita saya minum susu (ASI atau non ASI) 32 78.0 9 22
3. Kami makan sayur 9 22.0 32 78
4. Saya menghindari makanan yang mengandung
28 68.3 13 31.7
formalin (tahu, daging ayam, ikan segar)
5. Saya menghindari makanan/minuman olahan
yang berwarna mencolok (kerupuk, kue, jajanan 37 90.2 4 9.8
pasar, sirup)
6. Saya memberikan ASI saja (ekslusif) sampai
15 36.6 26 63.4
anak berusia 6 bulan
7. Kami lebih sering mengkonsumsi sayuran
berwarna (wortel, bayam) dibandingkan tidak 38 92.7 3 7.3
berwarna (sawi, kol)
8. Kami makan daging sapi/ayam minimal satu kali
31 75.6 10 24.4
seminggu
9. Suami saya suka merokok 4 9.8 37 90.2
10. Kami lebih sering makan dengan tahu atau
11 26.8 30 73.2
tempe daripada pangan hewani

Sebagian besar responden (73.2%) lebih sering mengkonsumsi pangan


nabati seperti tahu dan tempe dibanding dengan pangan hewani. Padahal bahan
makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun
mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier 2006).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah perilaku yang berkaitan
dengan upaya atau kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan
kesehatannya. Tabel 30 menunjukkan bahwa dalam aspek kesehatan sebagian
besar ibu (92.7%) melakukan persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan.
Sebanyak 90.2% ibu rutin melakukan penimbangan balita dan melakukan
imunisasi pada balitanya di Posyandu. Penimbangan bayi dan balita
dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan setiap bulan. Penimbangan bayi
dan balita dimulai dari umur 1 bulan sampai 5 tahun di Posyandu sehingga dapat
diketahui balita tumbuh sehat atau tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi
serta dapat diketahui bayi yang dicurigai menderita gizi buruk (Depkes 2007).
Sebagian besar responden memiliki anggota keluarga yang merokok
yaitu sebesar 85.4%. Merokok tentunya sangat berbahaya, yakni dapat
menyebabkan masalah kesehatan seperti kerontokan rambut, gangguan pada
mata, menyebabkan penyakit paru-paru kronik, merusak gigi, stroke, kanker kulit,
kemandulan, impotensi, kanker rahim, dan keguguran (Depkes 2007).
Pada aspek kebersihan diri sebagian besar ibu membiasakan anaknya
untuk menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur (58.5%). Membiasakan
58

menggosok gigi sebelum tidur dan setelah makan merupakan salah satu contok
praktik higiene perorangan. Kegiatan menggosok gigi bertujuan untuk
membersihkan mulut dari sisa makanan yang dapat membentuk plak pada gigi.
Ibu juga membiasakan anaknya untuk mencuci tangan sebelum makan dan
sesudah buang air besar menggunakan sabun (68.3%). Mencuci tangan dengan
sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari
jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan
memutuskan mata rantai kuman.
Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan PHBS ibu
Positif Negatif
Pertanyaan
n % n %
Kesehatan
1. Anggota dana sehat 8 19.5 33 80.5
2. Persalinan di tenaga kesehatan 38 92.7 3 7.3
3. Penimbangan balita 37 90.2 4 9.8
4. Imunisasi balita 37 90.2 4 9.8
5. Anggota keluarga merokok 35 85.4 6 14.6
6. Olahraga teratur 6 14.6 35 85.4
Kebersihan Diri
1. Menggosok gigi 24 58.5 17 41.5
2. Mencuci tangan 28 68.3 13 31.7
Makanan bergizi
1. Sarapan pagi 25 61.0 16 39
2. Makanan beranekaragam 9 22.0 32 78
Sanitasi Lingkungan
1. Menggunakan air bersih 31 75.6 10 24.4
2. Saluran pembuangan limbah 16 39.0 25 61
3. Tukang sampah di lingkungan 11 26.8 30 73.2
4. Limbah di buang ke sungai 40 97.6 1 2.4
5. BAB di WC 26 63.4 15 36.6
Kondisi Rumah
1. Memiliki kamar mandi 19 46.3 22 53.7
2. Memiliki jamban 16 39.0 25 61
3. Memiliki septi tank 0 0.0 41 100
4. Ventilasi memadai 12 29.3 29 70.7
2
5. Luas ruangan 7-10m /orang 6 14.6 35 85.4

Berdasarkan Tabel 30 sebagian besar 61.0% responden melakukan


sarapan pagi sebelum beraktivitas. Sarapan penting dilakukan sebelum
melakukan aktivitas pada pagi hari. Manfaat sarapan adalah dapat menyediakan
karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah.Dalam
mengkonsumsi makanan yang beranekaragam hanya 22.0% responden yang
melakukannya. Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung lengkap
semua zat gizi yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh
kembang, dan produktif. Setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam
makanan dalam jumlah yang mencukupi.
59

Pada aspek sanitasi lingkungan hampir seluruh responden membuang


limbah rumah tangga ke sungai (97.6%). Hanya 39.0% responden yang memiliki
saluran pembuangan limbah. Sebagian besar (63.4%) anggota keluarga biasa
BAB di WC, namun masih terdapat anggota yang BAB tidak di WC (36.6%).
Menurut Notoatmodjo (2007), kotoran manusia (feses) adalah sumber
penyebaran penyakit yang multikomplek. Penyebaran penyakit yang bersumber
pada feses dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Tinja dapat langsung
mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, dan juga air, tanah, dan
serangga. Peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar.
Kondisi rumah responden masih belum dalam kondisi yang baik dan
sehat. Hanya 40.3% responden yang memiliki kamar mandi, sisanya anggota
keluarga responden mandi di MCK umum. Hanya 39.0% responden yang
memiliki jamban dan seluruh responden tidak memiliki septi tank. Responden
yang memiliki rumah dengan luas ruangan yang memenuhi syarat hanya 14.6%
dan hanya 29.3% responden yang memiliki ventilasi yang memadai. Menurut
Winslow dalam Entjang (2000), rumah yang tidak sehat dapat mengakibatkan
pula tingginya kejadian infeksi penyakit dalam masyarakat. Rumah yang sehat
harus memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis serta dapat menghindar
terjadi kecelakaan dan penyakit.
Sebagian besar responden mengunjungi Puskesmas ketika anak
balitanya mengalami sakit yaitu sebanyak 52.0%, sisanya dibawa ke klinik
(12.0%), dan hanya diberikan obat warung (32.0%).
Hubungan Antar Variabel
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Perilaku Gizi
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-
hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007).
Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang
memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan (Sukandar 2007).
Tabel 31 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dengan perilaku gizi
Perilaku Gizi
Pengetahuan Total
Kurang Sedang Baik
Gizi
n % n % n % n %
Kurang 1 25.0 2 50.0 1 25.0 4 100
Sedang 8 33.3 7 29.2 9 37.5 24 100
Baik 0 0.0 5 38.5 8 61.5 13 100
Total 9 22.0 14 34.1 18 43.9 41 100
60

Berdasarkan Tabel 31 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar


responden dengan pengetahuan gizi kurang (50.0%) ternyata memiliki perilaku
gizi dengan kategori sedang. Sebagian besar responden dengan pengetahuan
gizi baik (61.5%) memiliki perilaku gizi yang baik pula. Hasil analisis uji
Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara
pengetahuan gizi dan perilaku gizi ibu (r=0.315, p<0.05). Hal tersebut berarti
semakin baik pengetahuan gizi ibu, maka semakin baik pula perilaku gizi ibu. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2011) bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dan perilaku gizi. Notoatmodjo
(2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan.
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan PHBS
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-
hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007).
Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang
memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan (Sukandar 2007).
Tabel 32 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Pengetahuan Total
Kurang Sedang Baik
Gizi
n % n % n % n %
Kurang 2 50.0 1 25.0 1 25.0 4 100
Sedang 9 37.5 12 50.0 3 12.5 24 100
Baik 0 0.0 4 30.8 9 69.2 13 100
Total 11 26.8 17 34.5 13 31.7 41 100

Berdasarkan Tabel 32 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu (50.0%)


yang memiliki pengetahuan gizi kurang memiliki PHBS yang kurang pula. Begitu
pula pada sebagian besar ibu (69.2%) yang memiliki pengetahuan gizi baik
memiliki PHBS yang baik. Hasil analisis uji Spearman menunjukkan terdapat
hubungan signifikan positif antara pengetahuan gizi dan PHBS responden
(r=0.530, p<0.05). Hal tersebut berarti semakin baik pengetahuan gizi maka
semakin baik pula perilaku hidup bersih dan sehat responden. Notoatmodjo
(2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh
61

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari


pengetahuan.
Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi
Tabel 33 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan tingkat
pendidikan rendah (SD/sederajat) memiliki anak balita dengan status gizi baik
(41.9%). Responden dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat sebagian besar
juga memiliki anak balita dengan status gizi baik (35.5%). Hasil analisis
Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara tingkat
pendidikan ibu dengan status gizi anak balita. Walaupun tingkat pendidikan ibu
balita termasuk rendah namun diduga besar kepedulian ibu untuk lebih
memperhatikan anak balitanya sehingga dapat meningkatkan status gizi anak
balita tersebut.
Tabel 33 Sebaran responden menurut karakteristik ibu dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Karakteristik Keluarga Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Tingkat Pendidikan Ibu
SD 2 50.0 2 33.3 13 41.9 17 41.5
SMP 1 25.0 2 33.3 7 22.6 10 24.4
SMA 1 25.0 2 33.3 11 35.5 14 34.1
Total 4 100 6 100 31 100 41 100

Umur (tahun)
<20 0 0.0 0 0.0 1 3.2 1 2.4
20-40 3 75.0 5 83.3 28 90.3 36 87.8
41-65 1 25.0 1 16.7 2 6.5 4 9.8
Total 4 100 6 100 31 100 41 100

Tabel 33 juga menunjukkan sebagian besar responden (90.3%) dengan


umur 20-40 tahun memiliki anak balita dengan status gizi baik. Sebagian kecil
responden dengan umur <20 tahun (3.2%) dan 41-65 tahun (6.5%) yang memiliki
anak balita dengan status gizi baik. Hasil analisis Pearson menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara umur ibu dengan status gizi anak balita.
Namun, pada umumnya ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa)
akan cenderung menerima perannya sebagai ibu dengan sepenuh hati, sehingga
ibu akan merawat dan menjaga anak dengan sepenuh hati dan tidak merasa
terbebani.
Hasil analisis Pearson terdapat hubungan antara IMT ibu dengan status
gizi anak berdasarkan BB/TB (r=0.302, p<0.05), namun tidak terdapat hubungan
berdasarkan indikator BB/U dan TB/U. Menurut Rahman et al. (1993) dalam
penelitian yang dilakukan oleh Pryer (2003) menunjukkan bahwa status gizi ibu
62

berhubungan dengan status gizi anak-anak di Dhaka setelah mengendalikan


variabel sosio-ekonomi dan menyusui. Status gizi ibu dapat digunakan sebagai
proksimat penentu status gizi anak-anak.
Hubungan tingkat kemiskinan dengan status gizi balita
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan Tabel 34 menunjukkan bahwa
sebagian besar (72.0%) anak balita yang termasuk keluarga tidak miskin
memiliki status gizi baik, sedangkan keluarga miskin berstatus gizi baik sebanyak
81.2%. Sebagian kecil contoh (6.2%) termasuk keluarga miskin memiliki anak
balita dengan status gizi kurang, sedangkan keluarga tidak miskin memiliki anak
balita dengan status gizi kurang sebesar 20%.
Tabel 34 Sebaranresponden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Kemiskinan Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Miskin 2 12.5 1 6.2 13 81.2 16 100.0
Tidak Miskin 2 8.0 5 20.0 18 72.0 25 100.0
Total 4 9.8 6 14.6 31 75.6 41 100.0

Menurut Hardinsyah (1997), pada tingkat keluarga, penurunan daya beli


akibat rendahnya pendapatan keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas
konsumsi pangan serta aksesbilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi warga
kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak
yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Namun, berdasarkan data
yang diperoleh, diketahui bahwa terdapat 81.2% keluarga miskin yang memiliki
anak balita dengan status gizi baik. Hal tersebut merupakan positive deviance
yang terjadi di pemukiman kumuh. Terjadinya positive deviance diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, diantaranya seperti pengetahuan gizi ibu,
pola asuh, dan pelayanan kesehatan yang baik, serta dapat pula karena adanya
bantuan pemerintah seperti beras raskin dan BLT (Bantuan Langsung Tunai)
khususnya pada keluarga miskin serta balita tersebut mempunyai daya adaptasi
yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik (tidak
kurang gizi).
Berdasarkan uji korelasi Spearman pula bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat kemiskinan dengan status gizi berdasarkan BB/U dengan nilai
p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua proporsi menujukkan bahwa
proporsi status gizi baik pada keluarga miskin sama dengan proporsi status gizi
63

baik pada keluarga tidak miskin (Zhit=0,669). Nilai Zhit tidak berada dalam wilayah
kritik (Z<-1.96).
Tabel 35 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi TB/U
Status Gizi (TB/U)
Total
Kemiskinan Sangat Pendek Pendek Normal
n % n % n % n %
Miskin 4 25 3 18.8 9 56.2 16 100
Tidak Miskin 4 16 7 28.0 14 56.0 25 100
Total 8 19.5 10 24.4 23 56.1 41 100

Berdasarkan Tabel 35 di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh


(56%) anak balita memiliki status gizi normal, baik itu dari keluarga miskin
maupun dari keluarga tidak miskin. Namun, masih terdapat anak balita dengan
status gizi pendek yaitu 18.8% pada keluarga miskin dan 28.0% pada keluarga
tidak miskin. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau,
juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Namun, dalam hal ini
baik keluarga miskin ataupun keluarga tidak miskin sebagian besar memiliki
status gizi normal. Hal tersebut merupakan positive deviance yang terjadi di
pemukiman kumuh.
Berdasarkan uji korelasi Spearman pula bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat kemiskinan dengan status gizi berdasarkan TB/U dengan nilai
p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua proporsi menujukkan bahwa
proporsi status gizi normal pada keluarga miskin sama dengan proporsi status
gizi normal pada keluarga tidak miskin (Zhit=0.015). Nilai Zhit tidak berada dalam
wilayah kritik (Z<-1.96).
Tabel 36 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi BB/TB
Status Gizi (BB/TB) Total
Kemiskinan Kurus Normal
n % n % n %
Miskin 0 0 16 100 16 100
Tidak Miskin 3 12.0 22 88.0 25 100
Total 3 7.3 38 92.7 41 100

Berdasarkan Tabel 36 menunjukkan bahwa pada keluarga miskin


terdapat 100% anak balita memiliki status gizi normal berdasarkan berat badan
menurut tinggi badan, sedangkan pada keluarga tidak miskin terdapat 88% anak
balita yang memiliki status gizi normal. Berdasarkan uji korelasi Spearman
bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan status gizi
berdasarkan BB/TB dengan nilai p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua
64

proporsi menujukkan bahwa proporsi status gizi normal pada keluarga miskin
sama dengan proporsi status gizi normal pada keluarga tidak miskin (Zhit=1.719).
Nilai Zhit tidak berada dalam wilayah kritik (Z<-1.96).
Pengeluaran rumah tangga yaitu pulsa telepon terdapat hubungan negatif
dan signifikan terhadap status gizi anak balita menurut TB/U (r=-0.317, p<0.05).
Hal tersebut berarti semakin besar rumah tangga mengeluarkan uang untuk
membeli pulsa, maka status gizi anak balita berdasarkan TB/U akan semakin
menurun. Walaupun dalam penelitian ini sebagian besar rumah tangga termasuk
dalam kategori tidak miskin, karena perilaku tersebut tidak menutup
kemungkinan anak balitanya akan mengalami status gizi buruk atau kurang.
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Status Gizi
Pada Tabel 37 menunjukkan bahwa balita dengan status gizi baik 58.1%
memiliki seorang ibu dengan pengetahuan gizi yang sedang sedangkan anak
balita dengan status gizi kurang memiliki seorang ibu dengan pengetahuan gizi
yang kurang (33.0%). Sebagian besar balita sangat pendek, pendek, dan normal
juga memiliki ibu dengan pengetahuan gizi sedang yaitu 62.5%, 50.0%, dan
60.9%. Namun, pada balita kurus sebagian besar (66.7%) memiliki ibu dengan
pengetahuan gizi yang baik.
Tabel 37 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Pengetahuan Total
Buruk Kurang Baik
Gizi
n % n % n % n %
Kurang 0 0.0 2 33.3 2 6.5 4 9.8
Sedang 3 75.0 3 50.0 18 58.1 24 58.5
Baik 1 25.0 1 16.7 11 35.5 13 31.7
Total 4 100.0 6 100.0 31 100.0 41 100
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 1 12.5 2 20.0 1 4.3 4 9.8
Sedang 5 62.5 5 50.0 14 60.9 24 58.5
Baik 2 25.0 3 30.0 8 34.8 13 31.7
Total 8 100 10 100 23 100 41 100
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 0 0.0 4 10.5 4 9.8
Sedang 1 33.3 23 60.5 24 58.5
Baik 2 66.7 11 28.9 13 31.7
Total 3 100 38 100 41 100

Berdasarkan analisis korelasi Spearman secara keseluruhan,


pengetahuan gizi tidak berhubungan dengan status gizi, baik berdasarkan BB/U,
TB/U, maupun BB/TB (p>0.05). Namun, pada pengetahuan gizi mengenai lama
pemberian ASI kepada anak balita memiliki hubungan dengan status gizi
65

berdasarkan TB/U (p<0.05). Menurut Sanjur (1982) dalam Sukandar (2007),


tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena
berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek
tertentu. Akan tetapi, hubungan antara pengetahuan terhadap sikap dan perilaku
tidak linier, misalnya dalam hal konsumsi makanan dengan baik. Konsumsi
makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi
merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Jadi apabila seorang
ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik belum tentu dapat mempraktekkan
pengetahuan gizi tersebut dalam mengkonsumsi makanan sehingga
mempengaruhi status gizi anak balitanya, begitu pula sebaliknya pada ibu
dengan pengetahuan gizi sedang ataupun rendah.
Hubungan Sikap Gizi dengan Status Gizi
Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa balita dengan status gizi baik
41.9% memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik pula, sedangkan balita dengan
status gizi kurang (50%) memiliki ibu dengan sikap gizi sedang dan balita status
gizi buruk (50%) memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik. Balita normal (52.2%)
berdasarkan indikator TB/U memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik, sedangkan
balita sangat pendek dan pendek dengan proporsi 50% memiliki ibu dengan
sikap gizi sedang. Berdasarkan indikator BB/TB, anak balita normal (44.7%)
memiliki ibu dengan sikap gizi baik, dan ternyata seluruh balita kurus (100%)
memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik.
Tabel 38 Sebaran responden menurut sikap gizi dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Sikap Gizi Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Kurang 1 25.0 1 16.7 5 16.1 7 17.1
Sedang 1 25.0 3 50.0 13 41.9 17 41.5
Baik 2 50.0 2 33.3 13 41.9 17 41.5
Total 4 100 6 100 31 100 41 100
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 2 25.0 1 10.0 4 17.4 7 17.1
Sedang 4 50.0 6 60.0 7 30.4 17 41.5
Baik 2 25.0 3 30.0 12 52.2 17 41.5
Total 8 100 10 100 23 100 41 100
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 0 0.0 7 18.4 7 17.1
Sedang 0 0.0 17 44.7 17 41.5
Baik 3 100 14 36.8 17 41.5
Total 3 100 38 100 41 100
66

Berdasarkan analisis korelasi Spearman bahwa sikap gizi ibu dan status
gizi tidak terdapat hubungan dengan nilai p>0.05. Pada Tabel 38 di atas juga
dapat dilihat semakin tinggi sikap gizi ibu justru memiliki anak dengan status gizi
yang kurus terhadap indikator BB/TB. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku. Sikap
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku
yang terbuka (Notoatmodjo 2007). Jadi walaupun seorang ibu menyadari hal
tersebut baik, belum tentu ibu melakukan hal tersebut, sehingga mempengaruhi
status gizi anak balitanya.
Hubungan Perilaku Gizi dengan Status Gizi Anak Balita
Pada Tabel 39 diatas menunjukkan bahwa anak balita dengan status gizi
baik sebesar 45.1% memiliki ibu dengan perilaku gizi tinggi. Pada indikator TB/U
sebanyak 43.5% anak balita dengan status gizi normal memiliki ibu dengan
perilaku gizi yang baik. Pada indikator BB/TB sebanyak 42.1% anak balita
dengan status gizi normal memiliki ibu dengan perilaku gizi baik. Namun terdapat
anak balita dengan status gizi buruk yang memiliki ibu dengan perilaku baik
(50.0%), baik status gizi pada indikator BB/U, TB/U, ataupun BB/TB.
Tabel 39 Sebaran responden menurut perilaku gizi dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
Perilaku Gizi Buruk Kurang Baik
n % N % n % n %
Kurang 1 25.0 2 33.3 6 19.4 9 21.9
Sedang 1 25.0 2 33.3 11 35.5 14 34.1
Baik 2 50.0 2 33.3 14 45.1 18 44.0
Total 4 100.0 6 100.0 31 100.0 41 100.0
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 2 25.0 3 30.0 4 17.4 9 21.9
Sedang 2 25.0 3 30.0 9 39.1 14 34.1
Baik 4 50.0 4 40.0 10 43.5 18 44.0
Total 8 100.0 10 100.0 23 100.0 41 100.0
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 0 0.0 9 23.7 9 21.9
Sedang 1 33.3 13 34.2 14 34.1
Baik 2 66.7 16 42.1 18 44.0
Total 3 100.0 38 100.0 41 100.0

Berdasarkan analisis korelasi Spearman pula tidak terdapat hubungan


antara perilaku gizi ibu dengan status gizi anak balita (p>0.05). Pada penelitian
Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan
antara perilaku gizi ibu dengan status gizi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
status gizi balita yang baik tidak selalu karena ibu berperilaku gizi baik. Hal
67

tersebut diduga disebabkan oleh banyak faktor lain seperti penyakit infeksi dan
lingkungan. Menurut Mardiana (2009), kondisi ekonomi yang lemah ditambah
dengan tindakan ibu yang salah misalnya dengan membatasi anak dalam
mengkonsumsi makanan bergizi karena alasan-alasan sosial budaya dapat
memperburuk status gizinya.
Hubungan PHBS dengan Status Gizi Anak Balita
Pada Tabel 40 menunjukkan bahwa anak balita dengan status gizi baik
memiliki ibu dengan PHBS sedang (45.2%). Anak balita dengan status gizi buruk
memiliki ibu dengan PHBS yang kurang pula (75.0%) berdasarkan indikator
BB/U. Berdasarkan TB/U sebagian besar anak balita dengan status gizi normal
memiliki ibu dengan PBHS yang baik (39.1%). Berdasarkan BB/TB anak balita
normal juga memiliki ibu dengan PHBS yang sedang (42.1%).
Tabel 40 Sebaran responden menurut PHBS dan status gizi
Status Gizi (BB/U)
Total
PHBS Buruk Kurang Baik
n % n % n % n %
Kurang 3 75.0 2 33.3 6 19.4 11 26.8
Sedang 0 0.0 3 50.0 14 45.2 17 41.5
Baik 1 25.0 1 16.7 11 35.4 13 31.7
Total 4 100 6 100 31 100 41 100
Status Gizi (TB/U)
Sangat Pendek Pendek Normal
Kurang 2 25.0 3 30.0 6 26.1 11 26.8
Sedang 5 62.5 4 40.0 8 34.8 17 41.5
Baik 1 12.5 3 30.0 9 39.1 13 31.7
Total 8 100 10 100.0 23 100 41 100
Status Gizi (BB/TB)
Kurus Normal
Kurang 1 33.3 10 26.3 11 26.8
Sedang 1 33.3 16 42.1 17 41.5
Baik 1 33.3 12 31.6 13 31.7
Total 3 100 38 100 41 100

Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan antara PHBS


ibu dengan status gizi anak balita pada indikator BB/U (r=0.330, p<0.05) dan
BB/TB (r= 0.317, p<0.05), namun tidak tidak terdapat hubungan antara PHBS
dengan status gizi anak balita pada indikator TB/U (p>0.05). Status gizi
berdasarkan indikator BB/U dan BB/TB merupakan status gizi yang
mencerminkan keadaan saat ini, sedangkan TB/U mencerminkan keadaan masa
lampau. PHBS merupakan perilaku terhadap kebersihan dan kesehatan, apabila
PHBS responden rendah dapat menyebabkan anak balita terserang penyakit
infeksi yang dapat menurunkan nafsu makan sehingga dapat menurunkan berat
badan dan status gizi anak balita.
68

Perilaku hidup sehat ibu seperti penimbangan balita (93.5%) dan balita
mendapat imunisasi lengkap (90.3%), sebagian besar ibu yang memiliki balita
dengan status gizi baik melakukan hal tersebut. Balita dengan status gizi normal
berkaitan dengan perilaku pemberian makan gizi seimbang. Balita dengan status
gizi normal sebagian besar mendapatkan makanan seimbang dari ibunya
dibandingkan dengan anak balita dengan status gizi pendek berdasarkan
indikator TB/U. Ibu dengan anak balita status gizi baik membiasakan anak
balitanya buang air besar di WC (71.0%) dibandingkan dengan anak balita
berstatus gizi kurang (50.0%) dan buruk (10.0%). Keadaan rumah dengan
ventilasi yang memadai hanya dimiliki responden sebanyak 32.3% pada
respoden dengan anak balita berstatus gizi baik dibandingkan dengan responden
dengan anak balita berstatus gizi buruk dan kurang. Ventilasi yang memadai
berfungsi untuk pertukaran udara agar udara di dalam ruangan tetap bersih dan
segar.
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Kesehatan
Tabel 41 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (44.0%)
dengan tingkat pendidikan rendah (SD/sederajat) memiliki anak balita dengan
status kesehatan sakit. Responden dengan tingkat pendidikan SMP/sederajat
sebagian besar (32.0%) juga memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit,
namun responden dengan tingkat pendidikan tinggi (SMA/sederajat) sebagian
besar responden (50.0%) memiliki anak balita dengan status kesehatan sehat.
Berdasarkan analisis Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara tingkat pendidikan ibu dengan status kesehatan anak balita (p>0.05),
Tabel 41 Sebaran responden menurut karakteristik ibu dengan status kesehatan
Status kesehatan
Total
Karakteristik Keluarga Sehat Sakit
n % n % n %
Tingkat Pendidikan ibu
SD 6 37.5 11 44.0 17 41.5
SMP 2 12.5 8 32.0 10 24.4
SMA 8 50.0 6 24.0 14 34.1
Total 16 100.0 25 100.0 41 100.0
Umur (tahun)
<20 0 0.0 1 4.0 1 2.4
20-40 13 81.3 23 92.0 36 87.8
41-65 3 18.7 1 4.0 4 9.8
Total 16 100 25 100 41 100

Tabel 41 juga menunjukkan hampir seluruh responden (92.0%) berusia


20-40 tahun memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit, dan sebagian
69

kecil responden berusia <20 tahun (4.0%) memiliki anak balita dengan status
kesehatan sakit. Namun terdapat sebanyak 18.7% berusia 41-65 tahun memiliki
anak balita dengan status kesehatan yang sehat. Berdasarkan analisis
Spearman bahwa tidak terdapat hubungan antara umur ibu dengan status
kesehatan anak.
Hubungan PBHS dengan Status Kesehatan
Status kesehatan penduduk memberikan gambaran mengenai kondisi
kesehatan penduduk dan biasanya dapat dilihat melalui indikator angka
kesakitan yaitu persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan
sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari.
Tabel 42 Sebaran responden menurut PHBS dan status kesehatan
Status kesehatan
Total
Kategori PHBS Sehat Sakit
n % n % n %
Kurang 3 18.8 8 32.0 11 26.8
Sedang 4 25.0 13 52.0 17 41.5
Baik 9 56.2 4 16.0 13 31.7
Total 16 100.0 25 100.0 41 100

Proporsi terbesar responden yang memiliki anak balita sehat memiliki


PHBS dengan kategori yang baik (56.2%). Sebagian besar pada anak balita sakit
memiliki ibu dengan kategori PHBS yang sedang (52.0%). Uji korelasi Spearman
menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih berhubungan positif signifikan dengan
status kesehatan (r=0.381,p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi PHBS
responden maka anak balita tersebut akan semakin sehat. Menurut Yoon et al.
(1997), perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Salah
satu perilaku hidup sehat adalah melakukan pencegahan dan pengobatan
penyakit. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit dapat dilakukan dengan
meningkatkan daya tahan tubuh, perbaikan kesehatan diri dan lingkungan.
Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Status Kesehatan
Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting penyebab terjadinya
penyakit infeksi pada anak balita. Lingkungan keluarga yang miskin umumnya
hidup dalam kondisi yang kurang bersih dan memiliki perilaku hidup yang kurang
sehat. Berdasarkan Tabel 39 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita
sakit (48.0%) memiliki rumah dengan sanitasi lingkungan yang kurang. Begitu
pula rumah tangga yang memiliki anak balita sehat, sebagian besar memiliki
sanitasi yang kurang pula (56.3%).
70

Tabel 43 Sebaran responden menurut sanitasi lingkungan dan status kesehatan


Status kesehatan
Sanitasi Total
Sakit Sehat
Lingkungan
n % n % n %
Kurang 12 48.0 9 56.3 21 51.2
Sedang 7 28.0 3 18.7 10 24.4
Baik 6 24.0 4 25.0 10 24.4
Total 25 100.0 16 100.0 41 100.0

Berdasarkan uji analisis Spearman menunjukkan pula ternyata tidak


terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan dengan status kesehatan (p>0.05).
Hal ini karena penyebab suatu penyakit tidak hanya dari faktor lingkungan saja
(lingkungan fisik, sosial ekonomi, budaya, dan lain-lain), tetapi juga ada faktor
lain yaitu keturunan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Perilaku merupakan
faktor yang memiliki presentase terbesar yang mempengaruhi status kesehatan,
yaitu sebesar 40% (Bloem 1974 dalam Notoatmodjo 2007). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Sab’atmaja (2010) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara sanitasi lingkungan dengan status kesehatan.
Hubungan Status Kesehatan dengan Status Gizi
Salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada anak balita yang tinggal
di pemukiman kumuh adalah keadaan kurang gizi dan kejadian sakit karena pola
makan yang tidak teratur serta kondisi lingkungan yang buruk. Keadaan kurang
gizi merupakan salah satu faktor penyebab mudahnya seseorang terserang
penyakit infeksi, hal ini karena sistem imunitas atau antibodi yang dimiliki
seseorang berkurang (Almatsier 2006).
Ada hubungan timbal balik antara penyakit infeksi dengan tingkat
keadaan gizi. Malnutrisi merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi
terhadap kesakitan. Keadaan gizi yang buruk akan mempermudah seseorang
terkena penyakit terutama penyakit-penyakit infeksi. Sebaliknya, penyakit infeksi
akan memperburuk keadaan gizi seseorang (Hartriyanti & Triyanti 2010). Namun,
berdasarkan hasil analisis Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status gizi dengan status kesehatan
anak balita. Hal ini disebabkan karena status kesehatan yang diperoleh yaitu
hanya kejadian sakit anak balita dalam dua minggu terakhir. Hal tersebut belum
menggambarkan riwayat sakit anak balita tersebut. Menurut Entjang (2000)
terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan seperti kekebalan
(daya tahan tubuh). Meskipun agen penyebab penyakit menyerang manusia jika
memiliki daya tahan tubuh yang tinggi maka tidak akan sakit.
71

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Separuh anak balita berjenis kelamin perempuan (51.2%) dan sisanya
berjenis kelamin laki-laki (48.8%). Umur balita berkisar antara 13-50 bulan
dengan rata-rata 30.4±9.9. Sebagian besar anak balita berumur antara 24-35
bulan (43.9%), sisanya berumur 12-23 bulan (19.5%), umur 36-47 bulan (22%),
dan umur 48-60 bulan (14.6%).
Status gizi anak balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U)
sebagian besar berstatus gizi baik (75.6%) yang tersebar seimbang pada balita
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Status gizi anak balita berdasarkan
tinggi badan menurut umur, status gizi normal dengan proporsi sebanyak 23%.
Status gizi anak balita berdasarkan BB/TB sebagian besar normal (92.7%).
Sebagian besar anak balita (61.0%) pernah mengalami sakit dan sebanyak
39.0% anak balita yang tidak mengalami sakit selama dua minggu terakhir. Sakit
yang sering diderita anak balita yaitu batuk (46.3%) selama 1-3 hari dengan
frekuensi 1 kali selama dua minggu.
Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 2-9 orang dengan rata-
rata 4.6±1.6. Sebagian besar contoh merupakan keluarga kecil dengan jumlah
anggota ≤4 yaitu dengan proporsi 63.4%. Umur ayah berkisar antara 22-58 tahun
dengan rata-rata 34.5±8.3. Umur ibu berkisar antara 18-52 tahun dengan rata-
rata 30.3±8.2, baik umur ayah (76.9%) maupun umur ibu (85.4%) sebagian besar
berada pada umur antara 20-40 tahun.
Sebagian besar pendidikan ayah yaitu SD dengan proporsi sebesar
40.0%, begitu pula dengan pendidikan ibu yang sebagian besar adalah SD
(41.5%). Sebagian besar ayah bekerja dibidang jasa (25%) contohnya bekerja
sebagai tukang ojek. Sedangkan sebagian besar ibu berstatus sebagai ibu
rumah tangga (85.4%). Sebagian besar (61%) responden termasuk keluarga
tidak miskin dengan pendapatan perkapita anggota keluarga ≥Rp 379.052, dan
sisanya sebanyak 39% termasuk keluarga miskin dengan pendapatan perkapita
anggota keluarga ≤Rp 379.052. Namun, sebagian besar responden (82.9%)
masih menggunakan lebih dari 45% pendapatannya untuk pangan.
Sebagian besar responden memiliki pengetahuan gizi sedang dengan
proporsi 58.5%. Sebagian besar ibu memiliki sikap gizi dalam kategori sedang
(41.5%). Perilaku gizi ibu yang memiliki anak balita berada dalam kategori
sedang yaitu sebesar 43.9%. Secara umum perilaku hidup bersih dan sehat ibu
72

yang memiliki anak balita sebagian besar masih tergolong sedang (41.5%),
sebagian kecil sudah baik (31.7%), namun masih ada yang tergolong rendah
(26.8%).Sebagian besar sanitasi lingkungan responden berada pada kategori
rendah (51.2%). Sebagian besar responden menggunakan air galon untuk
sumber air minum (70.7%), sedangkan untuk masak sebagian besar
menggunakan air sumur/mata air (63.4%), dan untuk lain-lain sebagian besar
responden menggunakan sumur/mata air sebanyak 97.6%.
Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
berhubungan signifikan dengan perilaku gizi (r=0.315, p<0.05) dan PHBS
(r=0.530, p<0.05). Karakteristik ibu yaitu pendidikan dan umur tidak berhubungan
dengan status gizi dan status kesehatan. Berdasarkan analisis Pearson terdapat
hubungan antara status gizi ibu (IMT) dengan status gizi anak (r=0.302, p<0.05).
Tingkat kemiskinan, pengetahuan gizi, sikap gizi, dan perilaku gizi tidak
berhubungan dengan status gizi. Namun PHBS berhubungan positif dan
signifikan dengan status gizi terhadap indikator BB/U (r=0.330, p<0.05) dan
BB/TB (r=0.317, p<0.05) serta berhubungan dengan status kesehatan
(r=0.381,p<0.05). Sanitasi lingkungan tidak berhubungan dengan status
kesehatan. Status kesehatan tidak berhubungan signifikan dengan status gizi.
Variabel yang berhubungan signifikan adalah pengetahuan gizi dengan
perilaku gizi dan PHBS serta PHBS dengan status gizi dan status kesehatan.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng sehingga akan
mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku hidup bersih
sehat yang baik tersebut pada akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan
serta meningkatkan status gizi anak balita, namun harus didukung dengan
fasilitas dan sarana yang baik pula.
Saran
Saran yang diberikan yaitu masih diperlukannya perhatian pemerintah
terhadap lingkungan pemukiman kumuh di Manggarai mengingat buruknya
sanitasi lingkungan tersebut. Peningkatan kesadaran orangtua khususnya ibu
dalam memperhatikan anak-anaknya yaitu dengan memberikan tambahan
pengetahuan dengan penyuluhan mengenai gizi dan kesehatan oleh tenaga
kesehatan. Peningkatan fasilitas dan sarana untuk mendukung terciptanya suatu
perilaku yang lebih baik untuk meningkatkan status gizi anak balita. Perlu
penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tentang positive deviance pada status
gizi dan status kesehatan anak balita.
1

POSITIVE DEVIA
VIANCE STATUS GIZI DAN KESEHAT
ATAN ANAK
BALITA DAN FA
FAKTOR PENENTUNYA DI PEMUKIMIMAN KUMUH
MA
MANGGARAI, JAKARTA SELATAN

RELINA KUSUMAWARDHANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


DEP
F
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
73

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga

Aryastami K. 2006. Perbaikan gizi anak balita melalui pendekatan positive


deviance : sebuah uji coba di Kabupaten Cianjur. Puslitbang. 25(2)

Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan (terjemahan). Jakarta:


CV.Rajawali

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tebet Dalam Angka 2011. Jakarta: BPS

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data dan Informasi Kemiskinan. [terhubung
berkala]. http//www.bps.go.id [12 September 2012]

[CORE] Child Survival Collaborations and Resources Group . 2003. Positive


Deviance & Health, Suatu Pendekatan Perubahan Perilaku dan Pos Gizi.
Diterjemahkan oleh PCI-Indonesia. Jakarta

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2007. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.
Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2010. Standar Antropometri Penilaian


Status Gizi. Jakarta: Direktorat Bina Gizi

Dijaissyah N. 2011. Riwayat pemberian makan, status gizi, dan status kesehatan
siswa PAUD [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan ke-14. Bandung: Penerbit


Alumni

Fitriyani Y, Katrin R, Yekti H. 2008. Kondisi Lingkungan, Perilaku Hidup Sehat,


dan Status Kesehatan Keluarga Pemetik Teh. Jurnal Gizi dan Pangan:
3(2): 86-93

Gusmaini. 2010. Identifikasi Karakteristik Permukiman Kumuh (Studi Kasus


Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur) [Skripsi]. Program Studi Manajemen
Sumberdaya Lahan Departemen Ilmu Tanah Dan Sumberdaya Lahan.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Hardinsyah. 1997. Ekonomi Gizi. Diktat Mata Kuliah. Jurusan Ilmu Gizi
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor

Hardinsya dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi

Hartriyanti Y dan Triyanti. 2010. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada

Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga


74

Irianto D P. 2007. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan.


Yogyakarta: ANDI

Jayanti LD. 2011. Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) serta perilaku gizi
seimbang ibu kaitannya dengan status gizi dan status kesehatan balita di
Kabupaten Bojonegoro [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.

Kemenkes RI. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia 2011. Kemenkes, Jakarta.

Khomarudin. 1997, Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman,


Jakarta: Yayasan Real Estate Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta.

Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Departemen Gizi


Masyara-kat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian. IPB,
Bogor.

Khomsan A. 2005. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Khomsan et al. 2007. Studi Implementasi Program Gizi : Pemanfaatan, cakupan,


keefektifan, dan dampak terhadap status gizi. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Khomsan A, Anwar F, Sukandar D, Riyadi H, dan Mudjajanto H. 2009. Studi


Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta Perbaikan
Gizi Balita. Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.

Khomsan A dan Tin Herawati. 2010. Pola Asuh dan Tumbuh Kembang Anak Di
Berbagai Propinsi dan Kabupaten. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka


Cipta

__________. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta

Patriasih R, Widiaty I, Dewi M, & Sukandar S. 2009. Studi Aspek Sosial Ekonomi
dan Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Kesehatan dan Status
Gizi Anak Jalanan. Laporan Penelitian. Neys-Van Hoogstraten Foundation
(NHF) dan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Fakultas
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung.

Proverawati A, Eni R. 2012. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).


Yogyakarta: Nuha Medika

Pryer JA. 2003. The epidemiology of good nutritional status among children from
a population with a high prevalence of malnutrition. Public Health
Nutrition: 7(2), 311–317

[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset


Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI
75

Riyadi H. 1995. Prinsip dan Petunjuk Penilaian Status Gizi. Diktat Departemen
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Sab’atmaja S. 2010. Analisis determinan positive deviance status gizi balita di


wilayah miskin dengan prevalensi kurang gizi rendah dan tinggi [Tesis].
Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Safitri S A. 2010. Pola asuh balita dan sanitasi lingkungan kaitannya dengan
status gizi balita di Kelurahan Kertamaya, Bogor Selatan [Skripsi]. Bogor:
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta: Dirjen Perguruan Tinggi Depdiknas

Soekirman & Jahari A. 2004. Penyimpangan Positif Masalah KEP di DKI


Jakarta, Pe-desaan Bogor Jawa Barat dan Lombok Timur NTB.
Puslitbang Gizi, Bogor.

Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV.Alfabeta

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Ministry of Education of Indonesia. Institut


Pertanian Bogor.

Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi.
Bogor: Institut Pertanian Bogor

Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Institut Pertanian


Bogor

Supariasa I et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Suparlan P. 1984. Kemiskinan di Perkotaan, Bacaan untuk Antropologi


Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan.

Ulfah I M. 2008. Perilaku hidup bersih dan sehat, pengetahuan gizi dan pola
asuh kaitannya dengan diare anak balita, di Desa Cikarawang Bogor
[Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.

Walpole R E. 1990. Pengantar Statistika edisi kedua. Jakarta: Gramedia

Zeitlin M, Ghassemi H, & Mansour M. 1990. Positive Deviance in Child


Nutrition - with emphasis on Psychosocial and Behavioural Aspects
and Implications for Development. United Nations University Press,
Tokyo.
76

LAMPIRAN
77

Lampiran 1 Dokumentasi wilayah Manggarai

Gambar 3 Kawasan bantaran sungai Gambar 4 Kawasan bantaran sungai

Gambar 5 Anak balita di pemukiman kumuh Gambar 6 MCK di pemukiman kumuh

Gambar 7 MCK di pemukiman kumuh Gambar 8 Saluran pembuangan limbah

Gambar 9 Kondisi rumah Gambar 10 Kepadatan rumah penduduk


78

Lampiran 2 Hasil uji statistik

Variabel Hasil uji statistik


Pengetahuan gizi Correlation Coefisien 0.315
P erilaku gizi p-value 0.045
n 41
Pengetahuan gizi Correlation Coefisien 0.530
PHBS p-value 0.000
n 41
IMT ibu Pearson Correlation 0.302
Status gizi (BB/TB) p-value 0.050
n 41
Pengeluaran pulsa Pearson Correlation -0.317
Status gizi (TB/U) p-value 0.028
n 41
PHBS Correlation Coefisien 0.330
Status gizi (BB/U) p-value 0.035
n 41
PHBS Correlation Coefisien 0.317
Status gizi (BB/TB) p-value 0.044
n 41
PHBS Correlation Coefisien 0.381
Status Kesehatan p-value 0.014
n 41
∗ Correlation is significant at the 0.05 level

You might also like