You are on page 1of 20
Dyn tong Free Vigne censor, mar kek ° : Tegan: - Evaluss Grub Pon Jepana mrflare, tle, Rr burs 2.3.Pencampuran Batubara (Blending) Blending adalah suatu proses pencampuran batubara yang memiliki kualitas berbeda sehingga membentuk satu batubara dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Dalam pelaksanaan pencampuran batubara ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian (Carpenter, 1995) : 1, Sebelum pencampuran dilakukan, yang perlu diperhatikan adalah target parameter kualitas batubara yang ingin dicapai dari pencampuran tersebut. 2. Hanya satu target parameter kualitas batubara yang bisa dicapai dengan tepat (homogen) dalam satu pencampuran. Parameter lainnya mengikuti sesuai dengan proporsi pencampurannya. . Diantara parameter kualitas batubara, ada yang bersifat addictive (dapat dikalkulasi secara kuantitatif pada saat pencampuran). Dan ada juga parameter yang bersifat non-addictive atau tidak dapat dihitung secara kuantitatif berdasarkan proporsi pencampurannya. Parameter yang bersifat addictive termasuk didalamnya semua parameter yang dinyatakan dalam % dan satuan berat, contoh : Total Moisture, Proximate, Sulfur, Calori Value, dan lain-lain. Parameter yang bersifat non-addictive biasanya parameter yang bersifat kualitatif seperti : Ash Fusion Temperature, Swelling, HGI, dan parameter lain yang tidak dinyatakan dalam satuan % berat dan satuan berat, s ” Berikut adalah beberapa sistem pencampuran dengan tingkat homogenitas yang meningkat (semakin homogen). 1. Blending Barge by Barge 2. Blending Dump Truck by Dump Truck 3. Blending Bucket Loader by Bucket Loader 4, Blending Conveyor. Dalam melakukan pencampuran dapat dilakukan dengan Kalkulasi kualitas pencampuran dengan rumusan berikut (Carpenter, 1995): (Ky x 4) + (Kp 2 2) + Kx») z (Wit W 2) + Wn KC Keterangan : KC = Kualitas Hasil Pencampuran K, | =Kualitas Batubara | (kcal/Kg) Kualitas Batubara 2 (kcal/Kg) = Kualitas Batubara n W, =Berat Batubara 1 (Kg) W, =Berat Batubara 2 (Kg) W, = Berat Batubara n Hal-hal yang menjadi perhatian/ pertimbangan utama dalam penanganan batubara adalah : . Hasil suatu pencampuran yang homogen sangat diperlukan terutama terhadap konsumen. 2. Ketidak homogenan dalam suatu pencampuran akibatnya akan terasa langsung oleh konsumen pada saat batubara tersebut digunakan. . Kesempurnaan dari suatu pencampuran adalah ketepatan dalam pencapaian target kualitas hasil pencampuran dan homogenitas hasil pencampuran. Dengan demikian maka yang menentukan kualitas pencampuran adalah : 1. Proporsi pencampuran yang akurat 2. Sistem pencampuran yang baik dan terkontrol. 2.4. Metoda Pencampuran Batubara Dalam pelaksanaan pencampuran, maka harus mengikuti hasil perhitungan secara teoritis yang telah didukung dengan analisis skala laboratorium, agar dapat diperoleh kualitas yang sesuai dengan yang diharapkan. Untuk menerapkan perhitungan secara teoritis di lapangan perlu diperhatikan asal batubara yang akan dicampuran, mengingat setiap front mempunyai kualitas yang beragam sehingga akan mempengaruhi proporsi perbandingannya. ‘Adapun metodepencampuranbatubara yang dimaksud, yaita (Terry Wall, 2001 di dalam Muchjidin, 2005) : 1. Pelaksanaan pencampurandengan stacker reclaimer yang dilakukan di stockpile Pelaksanaan pencampurantersebut dikelompokkanmenjadi enam, antara lain sebagai berikut : a. Stacking padaBlending Bed ‘Ada beberapa metode yang dapat dilakukan pada saat membuat tumpukan yang sekaligus membentuk formasi pencampuran. Adapun cara tersebut yaitu: 1)Roof Type Stockpile (Chevron Method) Pada saat pencurahan batubara ke stockpile diusahakan untuk membuat atap berlapis (Gambar 3.2). Gambar 2.2 Roof Type Stockpile (Terry Wall,2001) 2) Line Type Stocpilling ‘Adapun cara ini dengan membentuk susunan seperti batu bata. Karena pelaksanaannya yang rumit dan biaya yang mahal, maka metode ini jarang dilaksanakan (Gambar 2.3). Gambar 2.3 Lyne Type Stocpilling (Terry Wall, 2001 ) 3) Areal Stoepilling Material yang akan dipencampuran dicurahkan selapis demi sclapis secara horizontal dimana setiap perlapisan diratakan dahulu baru kemudian dieurahkan lapisan berikutnya, demikian seterusnya (Gambar 2.4), Gambar 2.4 Areal Stockpilling (Terry Wall, 2001) 4) Axial Stockpilling Lapisan material yang akan dicurahkan disusun secara longitudinal. Pencurahan material dilakukan dengan menggeser posisi curahan lebih tinggi dan menyamping (Gambar 2.5). Gambar 2.5 Axial Stockpilling (Terry Wall, 2001) 5) Continous Stockpilling Hampir sama dengan axial stockpiling, tetapi ukuran material tumpukan yang dicurahkan relatif sama tinggi dan berjajar kesamping (Gambar 2.6). Gambar 2.6 Continous Si tockpilling (Terry Wall, 2001) 6) Alternate Stockpilling Material pencampuran ditumpahkan pada dua tempat dalam jarak tertentu, lapisan selanjutnya dicurahkan secara bergantian sehingga bertemu ditengah (Gambar 2.7). Gambar 2.7 Alternate Stockpilling (Terry Wall, 2001 ) 2. Metode pencampuran yang sesuai dengan kondisi stockpile Metode ini disesuaikan dengan kondisi dan situasi tumpukan bahan pencampuran yang ada di stockpile dan akan berpengaruh juga terhadap kerja alat- alat bantu(Cahyadi, 2006 di dalam Adinata, 2012). a. Metode Silang Jika posisi dua tumpukan bahan pencampuran berdekatan, sehingga tidak terdapat bahan bebas diantara tumpukan tersebut. Alat yang digunakan dalam metoda ini adalah dua buah bulldozer (Gambar 2.8). KOSONG Gambar 2.8. Metode Silang ( Cahyadi,2006 ) b. Metode Garis Berlapis Metode ini cocok untuk kondisi dua tumpukan bahan yang saling berjauhan dan diantara dua tumpukan tersebut terdapat lahan bebas. Alat yang digunakan adalah dua buah bulldozer (Gambar 2.9). Gambar 2.9. Metode Garis Berlapis (Cahyadi, 2006) c. Metode Tumpah Dorong Metode ini digunakan untuk batubara yang berasal dari front dengan menggunakan dump truck. Dalam pelaksanaan perlu dilakukan koordinasi Pengangkutan batubara dari front. Alat yang dibutuhkan dua buah bulldozer. Cara kerja bulldozer hampir sama dengan garis berlapis. Namun untuk metode ini bulldozer bergerak dengan arah yang sama (Gambar 2.10). POSISI BATUBARA. CARA KERJA TUMPAHAN DARI TRUK Gambar 2.10 Metode Tumpah Dorong ( Cahyadi, 2006) d. Metode Curah Langsung Alat yang digunakan adalah dua alat penumpah (backhoe atau shovel), apron feeder (hopper yang dimodifikasi) dan satu conveyor.Apron feeder harus dikonstruksi sedemikian rupa sehingga debit batubara yang keluar dapat diatur (Gambar 2.11). ST Kk 7 Gambar 2.11 Metode Curah Langsung ( Cahyadi, 2006) Cara kerja: Dua alat penumpah batubara masing ~ masing menumpahkan batubara ke apron feeder yang berlainan. Setelah kedua apron feeder penuh maka apron feeder satu dibuka dengan aturan debit tertentu, baru setelah batubara mengalir sampai dengan apron feeder dua, maka apron feeder dua dibuka sesuai dengan proporsi yang diharapkan. e. Metode Dua Conveyor Metode ini dilakukan dengan mempersiapkan dua tempat untuk dua kualitas yang berbeda sebagai bahan pencampuran (Gambar 2.12). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam metode ini yaitu: 1) Kecepatan conveyor satu dan conveyor dua harus sama. 2). Apron feeder satu dan apron feeder dua harus dikonstruksi sedemikian rupa sehingga debit batubara yang keluar dapat diatur. 3) Curahan conveyor satu dan conveyor dua harus bertabrakan pada posisi curah. Comesort Steckple Stockpe2 Gambar 2.12 Situasi stockpile dengan dua conveyor ( Tampak Atas ) (Cahyadi, 2006) 2.5 Pengambilan Contoh Batubara (Sampling) pada Stockpile Contoh (sample) adalah sejumlah material yang diambil dari jumlah massa material yang lebih besar dan memiliki sifat-sifat atau komposisi yang sama dengan keseluruhan material. 1 Metode Pengambilan Contoh Batubara a. Pengambilan Increment Pengambilan increment berdasarkan ASTM D.2234 dapat dilakukan di beberapa lokasi (Muchjidin, 2005), yaitu : 1) Pengambilan contoh batubara di ban berjalan (moving stream) 2) Pengambilan contoh batubara di ban tidak berjalan (stopped belt) 3) Pengambilan contoh batubara di gerbong, lori dan tongkang 4) Pengambilan contoh batubara di kapal (sea going ships) 5) Pengambilan contoh batubara di tumpukan (stockpile) b. Jumlah Increment Jumlah increment yang diperlukan untuk menghasilkan satu gross sample tergantung pada beberapa faktor, yaitu : 1) Ukuran consignment 12 2) Jenis batubara, Batubara yang telah dicuci (washed/cleaned coal) membutuhkan jumlah increment yang lebih sedikit dibandingkan dengan batubara hasil pencampuran — maupun batubara kondisi run of mine 3) Lokasi pengambilan contoh. Jumlah increment yang dibutuhkan dari lokasi pengambilan di ban tidak berjalan dan ban berjalan lebih sedikit dibandingkan dengan lokasi pengambilan di tongkang atau stockpile a. Massa Increment Massa increment minimum yang diperlukan dalam pengambilan contoh berkaitan dengan ukuran butir batubara terbesar (fop size). Jumlah dan massa increment yang diperlukan dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Jumlah dan massa increment (Annual Book of ASTM Standard, 2002) : 58 2in 6in cee (6mm) 0mm) _(150 mm) Mechanically cleaned coal Minimum jumlah increment 15 15 15 ‘Minimum massa increment (kg) ‘1 B 7 Raw (uncleaned coal) Minimum jumlah increment 35 35 35 Minimum massa increment (kg) 1 3 7 ‘Apabila Kondisi batubara tidak dapat dipastikan (mechanically cleaned coal atau raw coal), maka jumlah increment untuk raw coal diterapkan. Apabila batubara kondisi mechanically cleaned dicampur/diblending, maka jumlah increment untuk raw coal diterapkan. b. Jumlah Gross Sample ‘Ada kondisi umum pengambilan contoh, jumlah batubara hingga 1000 ton direkomendasikan bahwa satu gross sample mewakili satu lot, sehingga massa gross sample yang diperlukan sesuai dengan massa increment pada tabel di atas. Sedangkan jumlah batubara lebih dari 1000 ton menggunakan rumus (ASTM, 2002): Dimana: N= Jumlah Increment K = Faktor Pengali, 15 untuk mechanically cleaned coal atau 35 untuk raw coal L = Tonase batubara (ton) Massa gross sample yang diperlukan untuk jumlah batubara yang lebih dari 1000 ton menggunakan persamaan ; Massa gross sample = N x massa increment 12 2. Tata Cara Pengambilan Contoh Batubara (Sampling) Langkah ~ langkah pengambilan sampel sebagai berikut : Identifikasi jenis batubara dan ukuran butir (raw coal atau clean coal) Tentukan keperluan pengujian contch batubara (general analysis, total moisture, dan ukuran butiran batubata) . Tentukan jumlah tonase batubara yang ada dilokasi Hitung jumlah increment se ae ‘Tentukan Interval per increment (di belt Conveyor atau DT) Interval sampling adalah jarak pengambilan antar increment. Bila sampling dari belt conveyor berdasarkan skala waktu (tph), maka : Sampling Interval = ((tonase x 60) / flowrate) / jumlah increment) Bila sampling dari dump truck, maka, Sampling Interval = ((tonase/kapasitas grab atau truck) /(jumlah increment) Gambar 2.13 Sampling Frame (1) dan Ladle (2) (James Speight, 2012, didalam Adinata, 2012) f. Persiapkan peralatan sampling standar dan kantong plastic. Adapun peralatan sampling yang biasa digunakan yaitu sampling frame, ladle (Gambar 2.12), scoop, dan auger (Gambar 2.13). (2) Gambar 2.14 Scoop (1) dan Auger (2) (James G Speight, 2012 didalam Adinata, 2012) g. Tentukan titik lokasi sampling dan harus benar. h, Pengambilan contoh harus benar. Jurnal Iimiah Teknologi Energi, Vol.1, No.2, Pebruari 2006 ISSN Tox. STRATEGI MENURUNKAN EMISI SO, PADA PLTU BATUBARA YANG TIDAK MEMILIKI DESULFURISASI Cahyadi PT, PUSPIPTEK, Cisauk-Tangerang 15314, Indonesia Email: cahyadi_mail@indo.net.id Abstrak Kep.Men LH no, 13/1995 untuk kegiatan PLTU batubara menunjukkan bahwa baku mutu emisi SO; adalah 750 mg/Nm’. Berdasarkan studi SO> yang dilakukan pada tahun 1999 ditemukan bahwa batubara dengan kandungan sulfur diatas 0.44% dan > 3% akan menghasilkan emisi SO> diatas baku mutu lingkungan. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk menurunkan emisi ini. Permasalahan pada PLTU yang sudah dibangun adalah keterbatasan lahan untuk membangun perlengkapan desulfurisasi, sehingga tidak semua metode desulfurisasi dapat diterapkan. Makalah ini membahas strategi penurunan emisi SO, yang cocok untuk PLTU yang sudah dibangun yaitu: metode pencampuran batubara, metoda injeksi batu kapur dan kombinasi dari keduanya . Pencampuran 2 Jenis batubara yang memiliki kandungan sulfur rendah dan tinggi dapat dilakukan untuk menurunkan kandungan sulfur dibawah 0.44%. Biaya investasinya relatif rendah dibandingkan metode lainnya. Metode injeksi batukapur pada tungku boiler dapat menurunkan emisi SO, sebesar 17% sampai 70% pada rasio molar Ca/S sebesar 1 hingga 3. Ukuran batukapur yang digunakan adalah 50 hingga 200 mesh. Injeksi batu kapur ini tidak memerlukan lahan yang Ivas dan investasinya lebih rendah dibandingkan metode desulfurisasi lain seperti dry scrubber atau wet scrubber. Metode pencampuran batubara, injeksi batu kapur atau kombinasi kedua metode tersebut dapat menjadi strategi penurunan SO) yang cukup menjanjikan bagi PLTU yang sudah ada. Abstract Indonesian emission standard as written in Kep.Men LH no. 13/1995 stated that SO, gas emission for coal fired power plant activities is 750 mg/Nm’. Previous study of SO, emission in 1999 show that sulfur content above 0.44% with the excess oxygen of 3% will emit SO, above this emission standard. Coal fired power plant that burning coal with high sulfur content needs to reduce SO2 emission. Inadequate place is one common problem in the existing coal fired power plants causes difficulties in building desulphurization system. Therefore, not all desulphurization methods can be applied. This paper discussed a strategy to reduce SO; emission in the exiting coal fired power plant. Three methods are described: coal blending, limestone injection and combination of the first two. Coal blending between high sulfur and low sulfur coal will reduce the final sulfur content below 0.44%. The investment needed is relative low compare to the other desulphurization ‘methods. Limestone injection into the furnace can reduce SO; emission in the range of 17%-70% at Ca/S molar ratio of 1 until 3. The sizes of limestone used are 50 until 200 mesh. Limestone injection system need only a small space and the investment needed is relative low compare to that of dry scrubber or wet scrubber. Coal blending and limestone injection or combination of them becomes a promising strategy to reduce SO; emission in the existing coal fired power plant. I. PENDAHULUAN 41 urnat timian feknologi Energi, Voll, No.2, Pebruari 2006 ISSN 1858 - 3466 Pemerintah telah menetapkan baku mutu emisi (BME) maksimum emisi gas sulfur dioksida untuk kegiatan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) berbahan bakar batubara tahun 1995 yaitu: 1500 mg/m° m (Kep.Men LH: Kep.13/MenLH/3/1995). Angka ini lebih tinggi dari yang ditetapkan pada tahun 2000 yaitu 750 mg/m?. Berdasarkan studi SO2 yang dilakukan oleh Youvial M, Sastrawinata, Yurismono (1999), batubara yang dapat memenuhi syarat batas emisi maksimum (BME) sebesar 750 mg/Nm? adalah batubara yang memiliki kandungan sulfur dibawah ~ 0,44% kering, sedangkan kandungan sulfur batubara yang ada saat bervariasi mulai dari 0.1 hingga diatas 1%. Pada Tabel 1 ditunjukkan klasifikasi presentasi kandungan sulfur dalam batubara dari beberapa perusahaan tambang. Potensi batubara dengan kandungan sulfur diatas 0,44% cenderung lebih banyak dibandingkan dengan batubara yang memiliki kandungan sulfur rendah, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah penurunan emisi SO pada PLTU yang sudah ada, namun belum memiliki alat kontrol emisi SO2. Untuk PLTU yang akan dibangun perlu dilengkapi dengan alat kontrol emisi SO> (desulfurisasi) agar memiliki fleksibilitas batubara umpan. Tabel 1 Klasifikasi persentasi kandungan sulfur menurut perusahaan tambang (Direktorat Batubara - ESDM, 2005) saat” Perusahaan Tambang Batubara f 0,1 daro 1 — 0,2 daro, Kideco, Bentala .GM,Gunung BP, Jorong BG indominco, KCM min, BCS, Berau, KPC, FBS TBA Tanjung Enim, AGM, Kitadin, Fajar BS, KPC, a 4 — 0,5 5 — 0,6 3 jukit Sunur i | 6-07 rau, Danau MH, Bukit Sunur, AIC, PTBA Tanjung ae nim 7-08 endilo, Berau, ex. Chung Hua, AIC, PTBA Tanjung a ° nim i =0,9 ‘anito H., Indominco, Arutmin, KCM, Inti Tirta 9-10 unung BP, Jorong BG, Bukit Baiduri, MHU, Tanito H, * itmin 1,0 IC., Indominco , Riau B, Dharma PM, Perkasa I AGM: ‘Antang Gunung Meratus KCM : Kadya Caraka Mulia MHU : Multi Harapan Utama AIC: Allied Indo Coal BCS: Bahari Cakrawala Sebuku 42 MINGLE AMan feknotogi Energi, Volt, No.2, Februari 2006 ISSN 1858 - 346 i Gambar 1 menunjukkan bahwa batubara dengan kandungan sulfur 0,44% (kering) akan menghasilkan emisi SO2 sekitar baku mutu 750 mg/Nm’ (3%0z), sedangkan kandungan sulfur antara 1% hingga 1,53% (kering) memerlukan teknologi penurunan emisi SO2 dengan efisiensi penangkapan 55% hingga 70% agar memenuhi nilai baku mutu. $8 @8agge Efisionsi penangkapan SO2 (%) 0 600 1000 1500 200026008000 Emisi S02 (mg/Nm3) Gambar 1. Efek kandungan sulfur batubara untuk memenuhi baku mutu emisi (Youvial M, Sastrawinata, Yurismono,1999). 2, PERCAMPURAN BATUBARA Pada umumnya, pencampuran batubara adalah mencampur batubara yang nilai kalorinya lebih tinggi dengan batubara bernilai kalor lebih rendah agar diperoleh spesifikasi yang diinginkan secara homogen. Untuk menurunkan kandungan sulfur, selain mencampur batubara bersulfur tinggi dengan yang bersulfur rendah, juga perlu diperhatikan kandungan lainnya seperti nilai kalori, kandungan abu dan HGI agar tetap masuk dalam kisaran disain boiler. Sulfur merupakan salah satu parameter yang dapat tercampur dengan baik sehingga memudahkan perhitungannya, Namun demikian dalam prakteknya, pencampuran batubara perlu memperhitungkan segi efisiensi dan ekonomi serta memperhitungkan kandungan air, parameter pulverizing, kuantitas dan kualitas kandungan mineral dalam abu. Contoh : Batubara A dan B mempunyai kandungan sulfur (kering) masing-masing adalah 0.7 % dan 0.1%. Apabila kedua tipe batubara tersebut diblending secara baik, dengan rasio 50:50 maka akan diperoleh produk akhir dengan kandungan abu sebesar : (0.7% x 50/100) + (0.1 % x 50/100) = 0.4 %. 43 Jurnal itmiah Leknologi Energi, Vol.1, No.2, Pebruari 2006 ISSN 1858 - 346¢ Ada 2 cara blending yang umum dilakukan selama ini, yaitu; - Teknik pengaturan tumpukan (stacking ) pada stock pile - Teknik pengaturan laju batubara pada conveyer 2.1, Teknik pengaturan tumpukan (Stacking) Pada prinsipnya hasil produk blending akan homogen apabila cara penyusunan lapisan batubara dalam pembentukan stockpile dilakukan secara baik. Makin banyak jumlah lapisan dan makin tipis ketebalan lapisan maka akan diperoleh hasil yang semakin baik Cara penyusunan pelapisan dapat dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu: - pelapisan tipe chevron, - pelapisan tipe windrow - pelapisan gabungan antara tipe chevron dan tipe windrow. a. Pelapisan Chevron b.Pelapisan Windrow Gambar 2. Pengelompokan pencampuran dengan pelapisan (Youvial M, Sastrawinata, Yurismono, 1999). Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pelapisan tipe chevron membutuhkan butiran batubara yang ukurannya seragam, bila tidak maka batubara yang ukurannya lebih besar akan cenderung menumpuk dibagian bawah stockpile. Dalam melaksanakan tumpukan dapat dilakukan dengan menggunakan stracker reclaimer. Dengan truk dan dozer tumpukan tipe windrow dapat dilakukan dengan baik. Berikut ini ditampilkan gambaran cara melakukan tumpukan dari dua jenis batubara yang berbeda spesifikasinya (tipe A dan tipe B) dengan menggunakan truk dan dozer. Ketebalan tumpukan dapat diatur dengan mengatur jarak titik dumping, semakin jauh jarak titik dumping maka semakin tipis ketebalan lapisan yang diperoleh setelah dipadatkan. 44 SEE AEOEOE! SIYNOET ENC ZI, VOL, NO. 2, Februari 2006 ISSN 1858 - 3466 Oe Cm Oe ee eee a Lakukan dumping batubara secara selang seling antara tipe A dan tipe B. a_i A a A A b. Lakukan pemadatan dengan dozer sampai rata EER. c. Lakukan hal yang sama pada lapisan berikutnya Gambar 3. Langkah pelapisan dengan menggunakan truk dan dozer. (Youvial M, Sastrawinata, Yurismono, 1999) 2.2. Teknik pengaturan laju batubara pada conveyer. Pada umumnya teknik pencampuran pada conveyer dapat dibagi dua yaitu: - dengan hopper dan - tanpa hopper. Teknik pencampuran ini memerlukan peralatan seperti staker- seclaimer, dozer, hopper dan lainnya. Apabila proses pemindahan batubara dari stockpile ke hopper hanya dilakukan dengan dozer (tanpa staker-reclaimer), maka agar homogenitas tetap tejaga dan kecepatan pengisian ke hopper tidak terlambat biasanya dipakai minimal dua dozer: satu untuk mendorong dari bagian stockpile kedasar dan selanjutnya mendekatkan ke hopper, sedangkan dozer yang satunya bertugas mendorong dan memasukkan batubara kedalam hopper. Studi kasus pencampuran batubara di conveyer tanpa hopper dilakukan pada PLTU B.L.England Station, lihat Gambar 4a, b,c. (a) 45 (OEE IIER SERDOUO ST Ener §t, VOt.!, NO.2, Februari 2006 ISSN 1858 - 346, (b) (c) Gambar 4. Contoh kasus metode pencampuran pada conveyer dengan stacking reclaiming (tanpa hopper/bin) di B.L England Station, New Jersey. Unit dibangun tahun 1960 oleh Babcock & Wilcox (Bhamidipati and Gibson , 2003). (a) situasi awal, (b) situasi setelah diberlakukan blending, (c) pencampuran di conveyer Pencampuran batubara di B.L.England Station diatur menggunakan vibratory reclaim feeders. Akurasi pencampuran bergantung pada kerja reclaim feeder dan pemasukan masing-masing batubara ke conveyer. Jurnal Ilmiah Teknologi Energi, Vol.1, No.2, Pebruari 2006 ISSN 1858 - 3466 Gambar 5. Metode pencampuran batubara pada conveyer dengan hopper di Samchonpo Power Plant (Kim et al., 1999). Studi kasus pencampuran batubara di conveyer dengan hopper dilakukan di salah satu PLTU besar di Korea Selatan yaitu Samchonpo Thermal Power Plant dengan total pembangkitan sebesar 3240MW yang terdiri dari 4 unit tipe drum masing masing sebesar 560MW dan 2 unit tipe supercritical once-trough masing masing sebasar SOOMW. Samchonpo PP menggunakan sekitar 40 jenis batubara yang diimpor dari 7 negara seperti United States, Australia, Indonesia dan China. Unit 1- 4 didisain sekitar tahun 1970-an untuk umpan batubara bituminus tanpa fasilitas desulfurisasi. Lahan untuk pemasangan FGD tidak disediakan. Blending di Samchonpo ini lebih akurat dibandingkan pada BL England, karena dua staker-reclaimer mengisi batubara ke masing-masing hopper dan pengaturan pencampuran batubara dilakukan dengan mengatur rasio laju batubara yang keluar dari kedua hopper yang masing-masing telah diisi jenis batubara yang berbeda. 47

You might also like