You are on page 1of 372

ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR

DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA


PROVINSI SUMATERA BARAT

RONI AFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

saya yang berjudul:

ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR


DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan

secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2009

Roni Afrizal
NRP. H353070091
ABSTRACT

RONI AFRIZAL. Analysis of Gambier Production and Marketing in Kabupaten


Lima Puluh Kota West Sumatera Province (HENY K.S. DARYANTO as a
Chairman and DEDI BUDIMAN HAKIM as a Member of the Advisory
Committee).

Gambier is one of West Sumatera export commodities which has been


planted by many farmers in Kabupaten Lima Puluh Kota. As an export
commodity, this product has not yet contributed adequately to the improvement of
farmer’s welfare. The purposes of this current work are to analyze the allocative
efficiency of the use of production factors in gambier plantation, the market
integration, the marketing efficiency and the interrelation between production and
marketing activities of gambier commodity both of which are connected by a
marketing system of agricultural product in Kabupaten Lima Puluh Kota. The
analysis employed the Cobb-Douglas production function model and the
structure-conduct-performance approach. Factors significantly affecting gambier
production are labor, land size, a number of productive gambier trees, the plant’s
age, the use of pesticide, farmer’s experience, cultivation frequency and planting
procedure. The use of labor, fertilizer and pesticide were to increase due to their
inefficient allocation. Gambier market in Kabupaten Lima Puluh Kota suffers
from a weak oligopsony market structure and the gambier marketing activity
seems not yet efficient.

Keywords: gambier, cobb-douglas production function, allocative efficiency,


structure-conduct-performance, oligopsony
RINGKASAN

RONI AFRIZAL. Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima


Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat (HENY K.S. DARYANTO sebagai Ketua
dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sumatera Barat merupakan daerah sentra produksi gambir. Komoditas ini


termasuk tanaman khas daerah tropis dengan manfaat serbaguna. Prospek pasar
dan potensi pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku
dalam berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani
perkebunan rakyat di Sumatera Barat. Kabupaten Lima Puluh Kota adalah salah
satu daerah sentra produksi gambir di Sumatera Barat. Pengembangan komoditas
gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya, masih sangat prospektif bila
dilihat dari potensi produksi dan pemasaran pada pasar domestik dan ekspor.
Prospek yang potensial terhadap permintaan gambir di pasar dalam dan luar
negeri, belum dibarengi dengan peningkatan produktivitas maupun pendapatan
petani, meskipun sudah ada peningkatan luas areal maupun produksi. Agar
produktifitas dapat ditingkatkan dan kualitas mutu olahan dapat diperbaiki yang
memungkinkan akses ke pasar menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai aspek produksi dan pemasaran gambir.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis efisiensi penggunaan faktor-
faktor produksi dalam usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan (2)
menganalisis efisiensi pemasaran gambir dengan menilai kinerja partisipan yang
terlibat dalam pasar gambir menggunakan pendekatan structure-conduct-
performance (SCP) serta keterpaduan pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh
Kota. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan pertimbangan
bahwa daerah ini merupakan sentra produksi gambir yang memberikan kontribusi
terbesar, baik dari segi luas lahan maupun produksi gambir bagi provinsi
Sumatera Barat. Selanjutnya dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipilih lagi tiga
kecamatan secara sengaja (purposive) yang menjadi sentra produksi gambir yaitu
Kecamatan Kapur IX, Lareh Sago Halaban dan Harau. Penelitian ini
menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk data cross section yang
akan digunakan untuk analisis efisiensi produksi dan pemasaran, serta data time
series yang dipakai untuk kelengkapan analisis kinerja pemasaran gambir mulai
tahun 1994 - 2007. Data cross section bersumber dari responden penelitian yaitu
petani dan pedagang gambir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara langsung terhadap sampel petani dan pedagang gambir yang terpilih.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam
kuisioner terstruktur yang telah disiapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Model
fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian
pertama. Sedangkan untuk analisis efisiensi pemasaran menggunakan pendekatan
SCP. Pengolahan data untuk analisis produksi gambir dengan model fungsi
produksi Cobb-Douglas menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS).
Data diolah dengan menggunakan program SAS 9.1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menjadi determinan
produksi dalam usahatani gambir perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh
Kota yang berpengaruh secara nyata adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah pohon
gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam
pengendalian hama dan penyakit. Selain itu pengalaman petani dalam
berusahatani gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat
produksi gambir secara nyata. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap
tingkat produksi gambir, kecuali luas lahan dan pengalaman petani dalam
berusahatani gambir. Pengalokasian faktor produksi tenaga kerja, terutama pupuk
dan pestisida dalam usahatani gambir belum efisien. Pemakaian kedua input
tersebut masih bisa ditingkatkan atau ditambah penggunaannya guna
memaksimalkan keuntungan dalam usahatani gambir. Input tetap luas lahan,
dalam pemanfaatannya sudah tidak efisien lagi.
Kinerja pasar gambir berdasarkan indikator margin pemasaran dari lembaga
yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir relatif adil dan seimbang dalam
pendistribusiannya dan rasio harga yang diterima petani relatif tinggi. Beberapa
indikator lainnya memperlihatkan bahwa kinerja pemasaran gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota belum efisien. Pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
berada pada kondisi weak oligopsony market structure atau pasar persaingan tidak
sempurna. Hal ini ditandai oleh sangat tidak seimbangnya rasio petani dan
pedagang yang ditunjukkan oleh tingginya derajat konsentrasi pasar dan ada
indikasi relatif tingginya hambatan untuk masuk pasar bagi pedagang baru yang
tergambar dari tingginya nilai MES. Perilaku pasar terlihat bahwa petani tersebar
di berbagai wilayah dengan waktu panen yang sangat beragam, tempat penjualan
tersebar dan tidak serentak, jumlah yang dipanen masing-masing petani relatif
sedikit, produk yang dihasilkan beragam, sedangkan pasar akhir gambir atau
konsumen akhir sebagian besar berada di tempat yang sangat jauh dari sentra
produksi, sehingga daya tawar petani menjadi rendah. Pasar di tingkat petani dan
eksportir belum terintegrasi dengan baik. Kondisi di atas mengakibatkan tidak ada
harga terbaik yang berlaku bagi petani, yang akhirnya hal tersebut berdampak
pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani.

Kata Kunci: gambir, fungsi produksi cobb-douglas, efisiensi alokatif, struktur-


perilaku-kinerja, oligopsoni
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

RONI AFRIZAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS
(Dosen Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang:


Prof. Dr. Ir. Kuntjoro
(Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Judul Tesis : Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat
Nama Mahasiswa : Roni Afrizal

Nomor Pokok : H353070091

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, MEc Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc
Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 19 Agustus 2009 Tanggal Lulus: 4 September 2009


Tesis ini dipersembahkan untuk istriku tercinta Resa
dan kedua anak kami, Atikah dan Hafizh
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

RONI AFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

saya yang berjudul:

ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR


DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan

secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2009

Roni Afrizal
NRP. H353070091
ABSTRACT

RONI AFRIZAL. Analysis of Gambier Production and Marketing in Kabupaten


Lima Puluh Kota West Sumatera Province (HENY K.S. DARYANTO as a
Chairman and DEDI BUDIMAN HAKIM as a Member of the Advisory
Committee).

Gambier is one of West Sumatera export commodities which has been


planted by many farmers in Kabupaten Lima Puluh Kota. As an export
commodity, this product has not yet contributed adequately to the improvement of
farmer’s welfare. The purposes of this current work are to analyze the allocative
efficiency of the use of production factors in gambier plantation, the market
integration, the marketing efficiency and the interrelation between production and
marketing activities of gambier commodity both of which are connected by a
marketing system of agricultural product in Kabupaten Lima Puluh Kota. The
analysis employed the Cobb-Douglas production function model and the
structure-conduct-performance approach. Factors significantly affecting gambier
production are labor, land size, a number of productive gambier trees, the plant’s
age, the use of pesticide, farmer’s experience, cultivation frequency and planting
procedure. The use of labor, fertilizer and pesticide were to increase due to their
inefficient allocation. Gambier market in Kabupaten Lima Puluh Kota suffers
from a weak oligopsony market structure and the gambier marketing activity
seems not yet efficient.

Keywords: gambier, cobb-douglas production function, allocative efficiency,


structure-conduct-performance, oligopsony
RINGKASAN

RONI AFRIZAL. Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima


Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat (HENY K.S. DARYANTO sebagai Ketua
dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sumatera Barat merupakan daerah sentra produksi gambir. Komoditas ini


termasuk tanaman khas daerah tropis dengan manfaat serbaguna. Prospek pasar
dan potensi pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku
dalam berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani
perkebunan rakyat di Sumatera Barat. Kabupaten Lima Puluh Kota adalah salah
satu daerah sentra produksi gambir di Sumatera Barat. Pengembangan komoditas
gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya, masih sangat prospektif bila
dilihat dari potensi produksi dan pemasaran pada pasar domestik dan ekspor.
Prospek yang potensial terhadap permintaan gambir di pasar dalam dan luar
negeri, belum dibarengi dengan peningkatan produktivitas maupun pendapatan
petani, meskipun sudah ada peningkatan luas areal maupun produksi. Agar
produktifitas dapat ditingkatkan dan kualitas mutu olahan dapat diperbaiki yang
memungkinkan akses ke pasar menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai aspek produksi dan pemasaran gambir.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis efisiensi penggunaan faktor-
faktor produksi dalam usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan (2)
menganalisis efisiensi pemasaran gambir dengan menilai kinerja partisipan yang
terlibat dalam pasar gambir menggunakan pendekatan structure-conduct-
performance (SCP) serta keterpaduan pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh
Kota. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan pertimbangan
bahwa daerah ini merupakan sentra produksi gambir yang memberikan kontribusi
terbesar, baik dari segi luas lahan maupun produksi gambir bagi provinsi
Sumatera Barat. Selanjutnya dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipilih lagi tiga
kecamatan secara sengaja (purposive) yang menjadi sentra produksi gambir yaitu
Kecamatan Kapur IX, Lareh Sago Halaban dan Harau. Penelitian ini
menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk data cross section yang
akan digunakan untuk analisis efisiensi produksi dan pemasaran, serta data time
series yang dipakai untuk kelengkapan analisis kinerja pemasaran gambir mulai
tahun 1994 - 2007. Data cross section bersumber dari responden penelitian yaitu
petani dan pedagang gambir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara langsung terhadap sampel petani dan pedagang gambir yang terpilih.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam
kuisioner terstruktur yang telah disiapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Model
fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian
pertama. Sedangkan untuk analisis efisiensi pemasaran menggunakan pendekatan
SCP. Pengolahan data untuk analisis produksi gambir dengan model fungsi
produksi Cobb-Douglas menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS).
Data diolah dengan menggunakan program SAS 9.1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menjadi determinan
produksi dalam usahatani gambir perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh
Kota yang berpengaruh secara nyata adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah pohon
gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam
pengendalian hama dan penyakit. Selain itu pengalaman petani dalam
berusahatani gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat
produksi gambir secara nyata. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap
tingkat produksi gambir, kecuali luas lahan dan pengalaman petani dalam
berusahatani gambir. Pengalokasian faktor produksi tenaga kerja, terutama pupuk
dan pestisida dalam usahatani gambir belum efisien. Pemakaian kedua input
tersebut masih bisa ditingkatkan atau ditambah penggunaannya guna
memaksimalkan keuntungan dalam usahatani gambir. Input tetap luas lahan,
dalam pemanfaatannya sudah tidak efisien lagi.
Kinerja pasar gambir berdasarkan indikator margin pemasaran dari lembaga
yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir relatif adil dan seimbang dalam
pendistribusiannya dan rasio harga yang diterima petani relatif tinggi. Beberapa
indikator lainnya memperlihatkan bahwa kinerja pemasaran gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota belum efisien. Pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
berada pada kondisi weak oligopsony market structure atau pasar persaingan tidak
sempurna. Hal ini ditandai oleh sangat tidak seimbangnya rasio petani dan
pedagang yang ditunjukkan oleh tingginya derajat konsentrasi pasar dan ada
indikasi relatif tingginya hambatan untuk masuk pasar bagi pedagang baru yang
tergambar dari tingginya nilai MES. Perilaku pasar terlihat bahwa petani tersebar
di berbagai wilayah dengan waktu panen yang sangat beragam, tempat penjualan
tersebar dan tidak serentak, jumlah yang dipanen masing-masing petani relatif
sedikit, produk yang dihasilkan beragam, sedangkan pasar akhir gambir atau
konsumen akhir sebagian besar berada di tempat yang sangat jauh dari sentra
produksi, sehingga daya tawar petani menjadi rendah. Pasar di tingkat petani dan
eksportir belum terintegrasi dengan baik. Kondisi di atas mengakibatkan tidak ada
harga terbaik yang berlaku bagi petani, yang akhirnya hal tersebut berdampak
pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani.

Kata Kunci: gambir, fungsi produksi cobb-douglas, efisiensi alokatif, struktur-


perilaku-kinerja, oligopsoni
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

RONI AFRIZAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS
(Dosen Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang:


Prof. Dr. Ir. Kuntjoro
(Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Judul Tesis : Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat
Nama Mahasiswa : Roni Afrizal

Nomor Pokok : H353070091

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, MEc Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc
Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 19 Agustus 2009 Tanggal Lulus: 4 September 2009


Tesis ini dipersembahkan untuk istriku tercinta Resa
dan kedua anak kami, Atikah dan Hafizh
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul ”Analisis

Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi

Sumatera Barat”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto,

MEc dan Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc selaku Komisi Pembimbing yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang

sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis

sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi

Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dalam

proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.

2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir.

Kuntjoro sebagai Penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan

Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi

perbaikan tesis ini.

3. Seluruh staf Mayor EPN, Mba Ruby, Mba Yani, Mba Aam, Ibu Kokom, Ibu

Siti dan Pak Husen yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk

membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi.

4. Keluarga besarku di Padang Balimbiang, Lareh dan Koto Nan Ampek.

Teristimewa untuk kedua orang tuaku terkasih, Almarhum Ayahanda M.

Husnan Kamil dan Ibunda Syamsudiar, Almarhumah Mak Tuo Barina,


keluarga Uda Husriadi, keluarga Uni Fitriani, keluarga Uni Rita Nitri,

keluarga Uda Afrinaldi, Ama-Apa di Bendang, Gina Erwita, Dendi Pratama

serta keluarga besar Mess Universitas Andalas di Bogor, Edi Syafri dan

anggota Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Barat (IMPACS).

5. Al Hendri dan keluarga besar Bapak Zulfahmi di Lambuak-Halaban, keluarga

besar Mas Sugiman di Solok Bio-bio Harau dan keluarga besar Uda Bakar di

Trans-Koto Bangun Kapur IX, yang telah bersedia menampung penulis

selama pengambilan data lapangan. Jazaakumullaahu khairan katsiiran atas

keikhlasan dan ketulusan bantuan serta jalinan persaudaraannya.

6. Istriku Resa Yulita dan yang tersayang anakku Atikah dan Hafizh.

Jazaakumullaahu khairan katsiiran atas doa dan pengorbanannya.

Teman-teman EPN angkatan 2007, Dian, Mba Wiwiek, Mba Desi, Wanti,

Mba Asri, Fitri, Mba Ries, Mas Ambar, Mas Fer, Pak Narta, Pak Zul, Pak

Suryadi, Pak Adi, Non Dewi dan Uni Aida untuk kebersamaan selama

perkuliahan dan proses penulisan tesis ini, juga pada pihak-pihak lain yang

namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak

memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai

pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak

yang membutuhkannya.

Bogor, September 2009

Roni Afrizal
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Pakan Rabaa Kecamatan Lareh Sago Halaban,

Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 1 April 1977 dari Ayah M. Husnan

Kamil (Almarhum) dan Ibu Syamsudiar. Bungsu dari lima bersaudara.

Tahun 1996 lulus dari SMA Negeri 1 Luhak dan diterima sebagai

mahasiswa S1 pada Jurusan Manajemen, dengan pilihan konsentrasi Manajemen

Pemasaran di Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas di Padang melalui jalur

Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Tamat April 2001. Penulis

melanjutkan studi S2 tahun 2007 pada Program Magister Sains di Mayor Ilmu

Ekonomi Pertanian, dengan pilihan konsentrasi Pemasaran dan Perdagangan

Pertanian, di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa

Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Pertanian Universitas

Andalas sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang. Mata kuliah yang pernah

diasuh diantaranya adalah Manajemen Pemasaran, Manajemen Finansial dan Riset

Operasi. Bidang ilmu yang menjadi konsentrasi adalah Manajemen Pemasaran.

Penulis menetap di Kota Payakumbuh, menikah tahun 2003 dengan Resa

Yulita binti Emris Jakfar dan telah dikaruniai dua orang anak, Atikah

Muthmainnah Syahidah dan Abdurrahman Al Hafizh.


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................. xvi

DAFTAR GAMBAR…………………………………….……........ xviii

DAFTAR LAMPIRAN………………………….....……….……… xix

I. PENDAHULUAN………………….…………………….…..…..… 1

1.1. Latar Belakang……………………………….…….………….. 1


1.2. Perumusan Masalah…………………………..............……….. 4
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........………….….………... 9
1.4. Ruang Lingkup Penelitian........................................................... 10
1.5. Keterbatasan Penelitian…………............................................... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 12

2.1. Kinerja Usahatani Komoditas Gambir........................................ 12


2.2. Penelitian Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani
Komoditas Pertanian................................................................... 14
2.3. Penelitian Efisiensi Pemasaran pada Berbagai Usahatani
Komoditas Pertanian................................................................... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN.............................................................. 20

3.1. Teori Produksi............................................................................. 20


3.1.1. Fungsi Produksi................................................................. 22
3.1.2. Analisis Efisiensi Produksi............................................... 25
3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian....................................... 29
3.2.1. Pendekatan dalam Studi Pemasaran.................................. 32
3.2.2. Konsep Efisiensi Pemasaran............................................. 34
3.2.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar.................... 36
3.2.2.2. Margin Pemasaran................................................ 41
3.2.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani..................... 44
3.2.2.4. Elastisitas Transmisi Harga.................................. 45
Halaman
3.2.2.5. Keterpaduan Pasar................................................ 45
3.3. Tahapan Penelitian...................................................................... 48

IV. METODE PENELITIAN................................................................... 51

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian....................................................... 51


4.2. Jenis dan Sumber Data................................................................ 52
4.3. Metode Pengambilan Sampel...................................................... 53
4.4. Metode Pengumpulan Data......................................................... 56
4.5. Model Analisis............................................................................ 56
4.5.1. Analisis Produksi.............................................................. 56
4.5.2. Analisis Pemasaran........................................................... 62
4.5.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar.................... 63
4.5.2.2. Margin Pemasaran................................................ 65
4.5.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani..................... 66
4.5.2.4. Keterpaduan Pasar................................................ 67
4.6. Definisi Operasional.................................................................... 69
4.7. Pengolahan Data.......................................................................... 70

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN


KERAGAAN USAHATANI GAMBIR............................................ 71

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Lima Puluh Kota......................... 71


5.1.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim.............................. 71
5.1.2. Wilayah dan Penduduk..................................................... 72
5.1.3. Penggunaan Lahan dan Perkembangan Pertanian............. 73
5.1.4. Potensi Pengembangan Gambir........................................ 74
5.2. Keragaan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.... 76
5.2.1. Karakteristik Responden................................................... 76
5.2.2. Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani Gambir.......... 77
5.2.3. Karakteristik Usahatani Gambir........................................ 85

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 88

6.1. Analisis Produksi Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota........ 88

xiv
Halaman
6.1.1. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi
Gambir............................................................................... 88
6.1.2. Pengujian Fungsi Produksi Gambir.................................. 93
6.1.3. Analisis Efisiensi Alokatif Produksi Gambir.................... 103
6.2. Analisis Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota..... 106
6.2.1. Struktur Pasar Gambir....................................................... 106
6.2.1.1. Jumlah Partisipan dan Derajat Konsentrasi Pasar 106
6.2.1.2. Hambatan Keluar Masuk Pasar............................ 109
6.2.1.3. Kondisi dan Keadaan Produk............................... 110
6.2.1.4. Lembaga Pemasaran............................................. 111
6.2.2. Perilaku Pasar Gambir....................................................... 125
6.2.2.1. Praktek Pembelian dan Penjualan........................ 125
6.2.2.2. Proses Pembentukan Harga.................................. 128
6.2.2.3. Kerjasama Antarlembaga Pemasaran................... 130
6.2.3. Kinerja Pasar Gambir........................................................ 131
6.2.3.1. Bagian Harga yang Diterima Petani..................... 131
6.2.3.2. Keterpaduan Pasar dan Elastisitas Transmisi
Harga.................................................................... 133
6.3. Implikasi Kebijakan.................................................................... 139

VII. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 142

7.1. Kesimpulan................................................................................. 142


7.2. Saran............................................................................................ 144

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 145

LAMPIRAN....................................................................................... 150

xv
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbandingan Luas Semua Kecamatan dan Jumlah Nagari di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 72

2. Perkembangan Produksi Beberapa Komoditas Tanaman


Perkebunan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 –
2007............................................................................................ 73

3. Perkembangan Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga


Berlaku di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 – 2007.... 74

4. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produksi Gambir di


Semua Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2007............................................................................................ 75

5. Karakteristik Responden Petani Gambir di Kabupaten Lima


Puluh Kota Tahun 2009............................................................. 76

6. Karakteristik Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh


Kota Tahun 2009........................................................................ 85

7. Keragaan Produksi Gambir Berdasarkan Perlakuan Sampel di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 86

8. Kelayakan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


per Hektar................................................................................... 87

9. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009............................................................. 96

10. Tingkat Efisiensi Alokatif Penggunaan Faktor Produksi pada


Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009............................................................................................ 104

11. Perbandingan Jumlah Partisipan Pasar Gambir di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009.................................................... 107

12. Klasifikasi dan Market Share Sampel Pedagang Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 107

13. Fungsi-Fungsi yang Dilakukan Lembaga Pemasaran Gambir


di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009............................. 116
14. Margin Pemasaran Komoditas Gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009............................................................. 121

15. Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................ 122

16. Farmer’s Share Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh


Kota Tahun 2009........................................................................ 132

17. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 135

18. Tingkat Hubungan Integrasi Pasar dalam Analisis Korelasi .... 137

xvii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perkembangan Luas Areal Tanam Gambir di Sumatera Barat


dan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007............... 2

2. Perbandingan Produksi Gambir Sumatera Barat dengan


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007..................... 3

3. Produktivitas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun


1996 – 2007............................................................................... 5

4. Produk Total, Produk Marginal, Produk Rata-Rata dan Tiga


Tahapan Produksi...................................................................... 24

5. Kurva Permintaan Asal, Permintaan Turunan, Penawaran


Asal dan Penawaran Turunan.................................................... 43

6. Tahapan Analisis Produksi dan Pemasaran Komoditas


Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.................................... 49

7. Saluran Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


Tahun 2009................................................................................ 113

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir dengan Uji Statistik F dan Uji t.................. 151

2. Hasil Uji Asumsi OLS pada Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.................. 153

3. Hasil Pengujian Skala Usahatani pada Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.................. 155

4. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007..................... 156

5. Data untuk Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007..................... 158

6. Data Primer untuk Analisis Produksi Usahatani Gambir


Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009............................................................................................ 159

xix
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumatera Barat adalah barometer produksi gambir Indonesia karena

merupakan daerah sentra produksi gambir. Komoditas ini termasuk tanaman khas

daerah tropis dengan manfaat serbaguna. Prospek pasar dan potensi

pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku dalam

berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani perkebunan

rakyat di Sumatera Barat dan termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama

provinsi ini. Ekspor gambir Indonesia lebih dari 80 persen berasal dari Sumatera

Barat, disamping itu gambir juga diusahakan dalam skala yang lebih kecil di

provinsi lain seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera

Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Maluku dan Papua (Nazir et al.

2007). Disamping sebagai penyumbang devisa, usahatani gambir juga merupakan

mata pencaharian bagi lebih kurang 125 000 kepala keluarga petani atau sekitar

15 persen penduduk Sumatera Barat (Ermiati, 2004).

Luas areal dan produksi gambir di Sumatera Barat (Sumbar) menurut data

Dinas Perkebunan Provinsi Sumbar, untuk tahun 2005 adalah 19 658 hektar

dengan produksi total mencapai 13 249 ton. Daerah penghasil utama tanaman ini

adalah Kabupaten Lima Puluh Kota. Terdapat 11 daerah tingkat dua, dari 19

kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sumbar, yang memproduksi gambir.

Gambar 1 memperlihatkan perkembangan luas areal tanam gambir di Sumbar dan

Kabupaten Lima Puluh Kota.


2

Total luas tanaman gambir di Sumbar cenderung mengalami peningkatan,

walaupun pada tahun 2003 mengalami penurunan 10.93 persen dibandingkan

tahun 2002. Menurut Dinas Perkebunan Sumbar hal ini disebabkan banyaknya

lahan baru untuk penanaman gambir pada tahun 2002 namun mengalami

kegagalan, sehingga luas areal tanaman gambir mengalami penurunan pada tahun

2003 (Gambar 1). Sedangkan dari Gambar 2, terlihat bahwa produksi gambir

Sumatera Barat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kenaikan produksi

dari tahun 2001 ke tahun 2007 sebesar 23.91 persen.

Hektar
24000
21812
22000
19427 19457 19851,75 19121 19350
20000

18000 16811

16000
16145
14000
13749,75 13156
12000 13286 13306 13261
12612
10000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun

Luas areal gambir Sumbar Luas areal gambir 50 Kota

Sumber: BPS, 2007b


Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Tanam Gambir di Sumatera Barat dan
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007

Tahun 2006 produksi gambir Kabupaten Lima Puluh Kota mencapai 9 181

ton atau naik 4.08 persen dari tahun 2005 dengan luas areal tanam gambir

mencapai 13 156 ha. Luas areal perkebunan gambir di Kabupaten Lima Puluh

Kota pada tahun 2007 mencapai 13 261 ha atau 68.53 persen dari total luas areal

perkebunan gambir Sumatera Barat. Pada tahun yang sama, dari total produksi
3

gambir Sumbar yang mencapai 13 115 ton, sekitar 70.45 persennya atau sebanyak

9 240 ton merupakan hasil produksi gambir dari kabupaten ini.

Ton

14000
13000
13249 13115
12000 12973
12346 12436
11000
10000 10584 10729
9000
9181 9240
8000 8821
8505 8444 8443 8451
7000
6000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun

Produksi gambir Sumbar Produksi gambir 50 Kota

Sumber: BPS, 2007b


Gambar 2. Perbandingan Produksi Gambir Sumatera Barat dengan Kabupaten
Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007

Gambir yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagai salah satu daerah

tingkat dua penghasil gambir yang ada di Sumbar, memiliki karakteristik yang

relatif sama dengan gambir yang diproduksi di daerah tingkat dua lainnya.

Karakteristik yang dimaksud meliputi produk, pola usahatani yang dilakukan oleh

petani produsen, proses budidaya, pengolahan serta kegiatan panen dan

pascapanen. Perkebunan gambir yang ada di Sumbar semuanya merupakan

perkebunan rakyat, yang tahap proses produksinya mulai dari budidaya dan

pengolahan dilakukan dengan cara tradisional. Teknologi produksi dan

pengolahan gambir yang digunakan masih sangat sederhana dan dengan

keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun antargenerasi, menyebabkan

tingginya variasi gambir kering yang dihasilkan petani, bervariasi dari segi bentuk

fisik, cetakannya, maupun mutu kandungan zat esensialnya.


4

Produk gambir yang dijual petani masih dalam bentuk gambir mentah

karena belum memiliki standar kualitas yang jelas, baik standar menurut pasar

atau pun standar menurut orientasi kegunaan dan pemakaiannya. Belum ada

investor yang mencoba mengelola potensi usaha perkebunan gambir maupun

pengolahan pascapanennya. Oleh karena itu, meskipun gambir merupakan salah

satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi produk andalan Kabupaten Lima

Puluh Kota dan sekaligus sebagai daerah sentra produksi untuk Sumbar, namun

industri gambir masih tergolong dalam industri rumahtangga yang dikelola secara

tradisional. Produksi gambir yang dilakukan petani produsen dengan

menggunakan teknologi dan peralatan sederhana ini menyebabkan produktivitas,

mutu serta pendapatan petani masih rendah.

1.2. Perumusan Masalah

Pengembangan komoditas gambir di Indonesia dan Kabupaten Lima Puluh

Kota khususnya, masih sangat prospektif bila dilihat dari potensi produksi dan

pemasaran pada pasar domestik dan ekspor. Sejalan dengan berkembangnya jenis-

jenis barang industri yang memerlukan bahan baku dari gambir, maka kebutuhan

akan gambir dalam industri akan semakin meningkat pula. Sebagai contoh, India

membutuhkan 6 000 ton gambir kering setiap tahunnya (Tinambunan, 2007).

Berdasarkan data ekspor impor Sumbar untuk tahun 2006 dan 2007, ekspor

gambir kering dari pelabuhan Teluk Bayur berturut-turut mencapai 36 003 ton

dan 471 000 ton dengan nilai transaksi USD 48 738 dan USD 829 565 (BPS,

2008d). Ini belum termasuk jumlah produksi gambir asal Sumatera Barat yang di

ekspor melalui perantara pedagang yang berada di luar Sumbar.


5

Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai sentra utama tanaman gambir di

Sumatera Barat, belum mampu memberikan sumbangan atau pendapatan yang

berarti, baik bagi daerah maupun bagi petaninya sendiri. Nazir (2000),

mengemukakan bahwa sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi

dalam pengembangan gambir yaitu dari segi teknologi bercocok tanam,

pengolahan pascapanen, perencanaan bisnis dan pemasaran, serta aspek sosial

ekonomi budaya. Hal ini terlihat jelas dari cara bercocok tanam petani yang masih

tradisional, jenis dan mutu produk tidak banyak mengalami perubahan dari waktu

ke waktu. Agar produktifitas dapat ditingkatkan dan kualitas mutu olahan dapat

diperbaiki yang memungkinkan akses ke pasar menjadi lebih baik, diperlukan

kegiatan identifikasi, analisis permasalahan gambir dan sistem usahatani gambir

di lapangan.

Prospek yang potensial terhadap permintaan gambir di pasar dalam dan luar

negeri, belum diikuti oleh peningkatan produktivitas maupun pendapatan petani,

meskipun sudah ada peningkatan luas areal maupun produksi.

(ton/ha )
0,750
0,702
0,674
0,700
0,723
0,674 0,635 0,642
0,650 0,618

0,600 0,632 0,635

0,550
0,523
0,500
0,505 0,478
0,450

0,400
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Ta hun

Sumber: BPS, Diolah dari Data Produksi Gambir Tahun 1996 – 2007
Gambar 3. Produktivitas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1996 –
2007
6

Gambar 3 memperlihatkan tingkat produktivitas gambir di Lima Puluh Kota

yang diolah dari data BPS dari tahun 1996 – 2007. Produktivitas gambir daerah

ini masih dibawah rata-rata produktivitas yang seharusnya, seperti hasil penelitian

yang dikemukakan Ermiati (2004). Tingkat produktivitas panen untuk gambir

kering mencapai 0.75 ton per hektar untuk petani yang memanen kurang dari 3

kali setahun. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gambir di daerah ini masih

memiliki potensi untuk ditingkatkan.

Salah satu indikator dari efisiensi adalah respon jumlah produksi terhadap

perubahan jumlah faktor produksi. Jika dalam kegiatan produksi persentase

tambahan jumlah produksi lebih besar daripada persentase tambahan faktor

produksi yang digunakan, maka kegiatan produksi yang demikian akan menuju

pada produksi yang efisien, begitu juga sebaliknya. Dari permasalahan di atas

muncul pertanyaan yang perlu dijawab yaitu apakah pengalokasian faktor-faktor

produksi dalam usahatani gambir sudah efisien.

Perkembangan areal tanam dan produksi gambir telah menarik banyak pihak

untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Ada banyak pedagang, lembaga

pemasaran maupun pemerintah, dengan kepentingannya masing-masing ikut

berperan dalam pemasaran gambir. Sementara mutu gambir yang dihasilkan

petani belum memiliki standar yang jelas. Hal ini akan mempengaruhi proses

pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga komoditas gambir di pasar

akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang terlibat dalam

perdagangan komoditas ini. Eksportir, pedagang lokal, pedagang pengumpul dan

petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga. Seberapa besar

dampak harga yang dihadapi oleh lembaga pemasaran gambir, sangat tergantung
7

pada kekuatan masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai pemasaran

gambir itu sendiri.

Keadaan pasar gambir seperti yang digambarkan di atas berpotensi

menimbulkan masalah dan bisa merugikan petani produsen. Pola pemasaran yang

terjadi akan cenderung tidak terorganisir karena melibatkan pelaku pemasaran

yang banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Pola pemasaran gambir

yang ada sekarang adalah melalui pedagang pengumpul, pedagang besar dan

eksportir, merupakan pola pemasaran gambir yang secara tradisional masih tetap

bertahan sampai saat ini.

Daya tawar petani juga cenderung rendah karena jumlah petani sangat

banyak dan tersebar di berbagai wilayah, belum adanya koordinasi dan kerjasama

antarpetani, persaingan pasar yang semakin kompetitif, lokasi konsumen akhir

gambir yang jauh dari sentra produksi (di luar negeri) dan belum adanya rantai

distribusi yang jelas dari petani sampai ke industri berbahan baku gambir,

ditambah lagi dengan masalah produksi dan mutu seperti yang telah diuraikan di

atas. Petani tidak akan menjadi penentu harga. Perilaku harga akan cenderung

didominasi oleh kepentingan pedagang besar dan eksportir.

Jumlah petani gambir di wilayah Lima Puluh Kota mencapai 9 056

rumahtangga petani (BPS, 2003), yang tersebar di beberapa kecamatan dengan

pola usahatani tradisional berskala rumahtangga, berhadapan dengan pedagang

dan lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran gambir yang jumlahnya

jauh lebih sedikit. Hal tersebut mengindikasi bahwa pasar gambir bersifat

oligopsoni. Selama ini hasil panen hanya ditampung oleh pedagang besar atau

eksportir saja, melalui pedagang-pedagang perantara, yang nantinya akan


8

memperdagangkan gambir keluar wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota atau ke

pasar luar negeri. Saluran pemasaran gambir yang terbentuk cenderung dikuasai

oleh pedagang pengumpul. Dengan pola distribusi yang demikian, dimana

informasi harga di tingkat eksportir/importir tidak diketahui dengan jelas, harga

gambir bisa berubah dengan cepat dan cenderung fluktuatif yang menimbulkan

ketidakpastian bagi petani. Dari uraian tersebut, pertanyaan yang muncul yang

perlu dijawab adalah bagaimana struktur, perilaku dan kinerja pasar gambir,

apakah kegiatan pemasaran gambir sudah efisien.

Analisis dengan menggunakan pendekatan SCP (Structure-Conduct-

Performance) bisa memberikan alternatif solusi bagi permasalahan di atas, yang

terjadi dalam pasar gambir. Pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana

struktur pasar mempengaruhi mekanisme pembentukan harga dan perilaku

partisipan dalam pasar gambir serta pengaruhnya pada kinerja pasar gambir akan

didapatkan dengan pendekatan analisis ini.

Permasalahan dalam penelitian ini dengan demikian bisa disimpulkan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi

gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, apakah pengalokasian faktor-faktor

produksi dalam usahatani gambir sudah efisien ?

2. Bagaimana struktur, perilaku dan kinerja pasar gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota, bagaimana tingkat keterpaduan pasar gambir dan apakah kegiatan

pemasaran gambir sudah efisien ?

Berdasarkan uraian di atas, serta terbukanya prospek pengembangan gambir

di masa yang akan datang, maka perlu dilakukan penelitian mengenai aspek
9

produksi dan pemasaran gambir. Bagaimana keterkaitan antara kegiatan produksi

gambir di tingkat usahatani (on farm) dengan pemasaran gambir sebagai

komoditas pertanian (off farm) yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem

pemasaran, serta bagaimana peranannya dalam mempengaruhi dan menentukan

harga gambir yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen. Sehingga

dengan adanya penelitian ini diperoleh informasi mengenai keragaan produksi dan

pemasaran usahatani gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, sekaligus

sebagai gambaran usahatani gambir di Provinsi Sumatera Barat.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Mengacu pada permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini secara

umum adalah untuk menganalisis aspek produksi dan pemasaran komoditas

gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Secara spesifik tujuan penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Menganalisis efisiensi alokatif penggunaan faktor-faktor produksi dalam

usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.

2. Menganalisis efisiensi pemasaran gambir dengan menilai kinerja partisipan

yang terlibat dalam pasar gambir menggunakan pendekatan struktur, perilaku

dan keragaan pasar, serta menilai keterpaduan pasar gambir di Kabupaten

Lima Puluh Kota.

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka kegunaan atau

kontribusi penelitian yang diharapkan adalah:

1. Pada tataran ilmu pengetahuan, dengan memadukan analisis kegiatan

usahatani perkebunan rakyat mulai dari on farm sampai off farm dan
10

menjadikan Lima Puluh Kota sebagai daerah penelitian, diperoleh gambaran

dan informasi yang menyeluruh mengenai kegiatan produksi, memberikan

acuan model teoritis mengenai determinan efisiensi alokatif pada usahatani

gambir perkebunan rakyat, serta gambaran mengenai struktur pasar dan

perilaku partisipan yang dibandingkan dengan kinerja pasar yang terjadi, akan

memberikan informasi yang lengkap bagi pengambil kebijakan dalam

mengelola dan memperbaiki pasar gambir sebagai satu kesatuan dalam sistem

yang utuh, mulai dari sisi petani produsen serta dari sisi pemasaran gambir

oleh lembaga yang terlibat.

2. Sebagai landasan dan rujukan bagi pemerintah daerah dalam membuat

kebijakan guna mendorong produktivitas usahatani gambir secara

berkelanjutan, dalam rangka memperluas kesempatan kerja, peningkatan

dayasaing, serta peningkatan pendapatan petani.

3. Bagi petani sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola dan

mengembangkan usahataninya, juga sebagai masukan dan bahan

pertimbangan bagi pelaku ekonomi atau investor swasta.

4. Sebagai bahan referensi maupun informasi bagi kalangan akademisi dan

peneliti untuk penelitian lebih lanjut secara lebih mendalam dalam

pengembangan metodologi maupun pengembangan introduksi teknologi

gambir yang tepat guna.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini meliputi analisis produksi dan pemasaran gambir,

yang mencakup analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dengan


11

menggunakan regresi linear berganda dan dilanjutkan dengan uji efisiensi alokatif.

Sedangkan pendekatan struktur, perilaku dan keragaan pasar digunakan untuk

menganalisis efisiensi pemasaran gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.

1.5. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data cross section. Fakta yang digambarkan

merupakan kegiatan dan keadaan pada saat penelitian dilakukan, selanjutnya

berdasarkan fakta tersebut dilakukan penyimpulan mengenai masalah-masalah

penelitian yang ingin dibuktikan atau dicari hubungannya. Harga input dan harga

output yang digunakan dalam analisis adalah harga yang berlaku pada saat

penelitian berlangsung, walaupun pada kenyataannya harga input dan harga

output sangat bervariasi sepanjang tahun.

Gambir merupakan tanaman perkebunanan tahunan. Gambir yang dianalisis

dalam fungsi produksi Cobb-Douglas adalah gambir yang telah melalui proses

pengolahan menjadi produk gambir kering sehingga tidak menjelaskan hasil

produksi gambir seutuhnya yang langsung dihasilkan dari tanaman gambir. Nilai

variabel yang diuji telah disetarakan untuk satu tahun produksi, karena pada saat

penelitian berlangsung proses produksi yang dilakukan petani responden sedang

berjalan dan belum sampai satu tahun berproduksi.

Perhitungan faktor produksi, jumlah produksi dan biaya hanya diambil

untuk satu tahun sehingga biaya yang tidak dikeluarkan dalam tahun tersebut tidak

diperhitungkan sebagai biaya. Biaya bibit tidak diperhitungkan karena umur

produksi gambir lebih dari 20 tahun, sedangkan gambaran produksi gambir dari

tahun awal penanaman menggunakan referensi data sekunder.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Usahatani Komoditas Gambir

Penelitian usahatani gambir yang dilakukan oleh Yuhono (2004), Ermiati

(2004) dan Tinambunan (2007), masing-masing memiliki metode, lokasi dan

waktu, serta tujuan penelitian yang berbeda, tapi menyimpulkan hal yang sama

tentang usahatani gambir. Bahwa masalah utama dalam pengelolaan usahatani

gambir adalah produksi, produktivitas serta mutu yang rendah. Teknologi

budidaya dan pengolahan yang dilakukan petani masih bersifat tradisional

sehingga mutu rendemen dan pendapatan petani rendah.

Yuhono (2004), meneliti pendapatan usahatani gambir di Desa Manggilang

Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,

sebagai daerah sampel yang dipilih secara sengaja karena merupakan desa sentra

produksi gambir. Keragaan usahatani dianalisis secara deskriptif, pendapatan

usahatani dianalisis melalui analisis pendapatan. Penelitian komoditas gambir

yang dilakukan oleh Ermiati (2004), juga mengambil satu desa sebagai sampel

yaitu Desa Solok Bio-bio di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota.

Penelitiannya tentang budidaya, pengolahan hasil dan kelayakan usahatani

gambir. Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian

keduanya adalah: (1) adopsi teknologi yang dilakukan petani masih rendah, (2)

usahatani yang dilakukan petani tergolong tidak intensif, (3) kegiatan pemupukan

dan pemberantasan hama dan penyakit belum pernah dilakukan, (4) pemeliharaan

hanya berupa penyiangan, (5) keterampilan usahatani umumnya diperoleh secara

turun-temurun, (6) latar belakang pendidikan petani umumnya rendah, sehingga


13

kemampuan managerial dan kewiraswastaan juga rendah, (7) pembaharuan dan

alih teknologi sulit dilakukan, dan (8) biaya usahatani yang terbesar adalah biaya

panen dan pengolahan hasil.

Tinambunan (2007), yang melakukan penelitian tentang analisis pendapatan

usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, mengungkapkan hal yang

relatif sama dengan yang disimpulkan oleh Yuhono dan Ermiati. Bahwa walaupun

gambir termasuk salah satu komoditas unggulan Kabupaten Pakpak Bharat, tetapi

prospek yang baik terhadap permintaan gambir di dalam maupun di luar negeri

belum disertai dengan peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Hal ini

disebabkan antara lain karena terbatasnya informasi pasar, masalah pengolahan

dan modal untuk pengembangan usahatani gambir, disamping teknik budidaya

yang diterapkan belum sesuai dengan teknologi anjuran. Penelitiannya mengambil

tiga kecamatan sebagai daerah studi yang ditetapkan secara sengaja yaitu

Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, Kerajaan dan Tinada. Hal yang berdeda dalam

usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat adalah, produk yang dijual oleh petani di

daerah ini selain dalam bentuk gambir kering, juga dalam bentuk daun dan ranting

muda (tanpa pengolahan) dan getah basah (bubur gambir yang belum dicetak dan

dikeringkan). Hasil analisis pendapatan dari ketiga bentuk output yang dijual

petani, bentuk produk gambir kering lebih menguntungkan meskipun ada

tambahan biaya dan waktu pengolahan.

Kesimpulan mengenai kinerja usahatani gambir perkebunan rakyat, secara

umum belum diusahakan secara intensif tetapi tetap menguntungkan serta layak

untuk dikembangkan. Nilai Investasi Sekarang (Net Present Value/NPV) dari

usahatani gambir Rp 9 763 523, Internal Rate of Return (IRR) 57 persen dengan
14

discount factor 15 persen. Titik impas investasi (Break Even Point/BEP) 3.27

tahun dengan nilai investasi Rp 3 282 500 per hektar serta nilai R/C

(Revenue/Cost Ratio) 1.61 (Ermiati, 2004). Yuhono (2004), yang juga melakukan

penelitian usahatani gambir memperoleh R/C rasio 1.69 terhadap biaya total dan

2.11 terhadap biaya tunai, serta margin harga yang diterima petani sebesar 67

persen. Sedangkan menurut Tinambunan (2007), usahatani gambir juga layak

untuk diusahakan, dengan perolehan pendapatan bersih petani Rp 11 476 200 jika

panen dalam bentuk daun dan ranting muda, Rp 14 073 200 untuk output getah

basah, serta Rp 15 129 200 untuk menjual dalam bentuk gambir kering.

2.2. Penelitian Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani Komoditas


Pertanian

Harsoyo (1999), meneliti tentang kinerja produksi dan mengukur perbedaan

efisiensi kinerja produksi salak pondoh antarpetani berdasarkan perbedaan skala

pengusahaan dan letak geografis di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian

dilakukan di empat desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Pendekatan

analisis adalah model biaya dan keuntungan translog. Ia juga melakukan

pembandingan antarskala pengusahaan dan antardesa untuk memperoleh efisiensi

ekonomi relatif. Hasil analisis fungsi biaya translog menghasilkan kesimpulan

yang konsisten dengan hasil analisis fungsi keuntungan translog, bahwa kondisi

usaha dan produksi salak pondoh adalah increasing return to scale, artinya

persentase tambahan produk lebih besar daripada persentase tambahan faktor-

faktor produksi. Pengusahaan dalam skala lebih dari seribu rumpun lebih efisien

dan produksi di Desa Girikerto dan Wonokerto lebih efisien dibandingkan dua

desa lainnya.
15

Slameto (2003), meneliti efisiensi produksi usahatani kakao untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Provinsi

Lampung. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yang mencakup tiga kabupaten

sebagai daerah sampel. Analisis menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas.

Produksi kakao rakyat sangat dipengaruhi oleh input tenaga kerja, pupuk kandang,

pestisida, luas lahan, jumlah dan umur tanaman kakao, serta penggunaan klon

unggul, seluruhnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi. Penggunaan

input produksi dapat meningkatkan produksi kakao rakyat dengan proporsi yang

sama yang ditunjukkan oleh ekonomi skala usaha yang cenderung pada kondisi

constant return to scale.

Pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas relatif sering dipakai dalam

penelitian efisiensi produksi pada berbagai usahatani komoditas pertanian. Berikut

hasil ulasan singkat beberapa penelitian menyangkut efisiensi produksi usahatani

berbagai komoditas pertanian, yaitu: (1) enam penelitian menyangkut efisiensi

produksi pada komoditas tanaman perkebunan tahunan, yaitu: salak pondoh

(Harsoyo, 1999), kakao (Slameto, 2003; Sahara et al. 2006), sawit (Hasiholan,

2005), lada (Sahara et al. 2004; Sahara dan Sahardi, 2005), (2) lima penelitian

menyangkut efisiensi produksi pada komoditas tanaman musiman, yaitu: cabai

merah (Sukiyono, 2005), ubi kayu (Asnawi, 2003), bawang merah (Suciaty,

2004), padi (Jauhari, 1999; Sahara dan Idris, 2005), melon (Yekti, 2004), dan (3)

dari sebelas penelitian tersebut hanya satu penelitian yang memakai pendekatan

translog, sedangkan yang lainnya memakai pendekatan Cobb-Douglas.


16

2.3. Penelitian Efisiensi Pemasaran pada Berbagai Usahatani Komoditas


Pertanian

Tinambunan (2007), meneliti efisiensi pemasaran gambir di Kabupaten

Pakpak Bharat, Sumatera Utara, sedangkan Yuhono (2004), menganalisis

pemasaran gambir di Desa Manggilang, Kecamatan Pangkalan Kotobaru,

Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Keduanya sama-sama

menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share sebagai alat

analisis efisiensi pemasaran. Tinambunan menjelaskan bahwa margin pemasaran

yang terbentuk pada lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran

tiga macam output gambir (daun/ranting muda, bubur gambir dan gambir kering)

sudah cukup seimbang dan efisien, sedangkan bagian harga yang diterima petani

juga lebih dari 75 persen. Yuhono dengan menggunakan pendekatan yang sama,

menyebutkan bahwa saluran pemasaran gambir cukup pendek dan sederhana,

yaitu dari petani ke pedagang pengumpul dan dari pedagang pengumpul ke

eksportir. Pendeknya rantai pemasaran membuat marjin pemasaran yang terjadi

cukup seimbang dan cukup efisien. Keduanya lebih lanjut menyebutkan,

meskipun usahatani gambir sudah menguntungkan dan layak untuk diusahakan,

serta saluran pemasaran gambir sudah efisien, akan tetapi semuanya belum tentu

dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.

Harsoyo (1999), meneliti tentang efisiensi pemasaran salak pondoh di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana pengaruh

perubahan harga di tingkat pedagang pengecer terhadap perubahan harga di

tingkat petani, apakah pasar salak pondoh terintegrasi secara vertikal, serta

bagaimana distribusi margin pemasarannya. Alat analisis yang digunakan adalah

elastisitas transmisi harga, analisis integrasi pasar, analisis margin pemasaran dan
17

farmer’s share. Ia menemukan bahwa pemasaran komoditas salak pondoh sudah

efisien. Berdasarkan analisis transmisi harga dan integrasi didapatkan bahwa

perubahan harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer diteruskan ke tingkat

petani. Petani juga ikut menikmati kenaikan harga tersebut dan dari analisis

margin pemasaran disimpulkan bahwa penyebaran margin cukup merata serta

bagian harga yang dinikmati petani sudah cukup besar, yaitu lebih dari 70 persen.

Hukama (2003), Kurniawan (2003) dan Slameto (2003), menggunakan

pendekatan yang lebih menyeluruh jika dibandingkan dengan Harsoyo,

Tinambunan dan Yuhono. Pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance)

digunakan dalam menganalisis efisiensi pemasaran. Hukama (2003), menganalisis

pemasaran jambu mete dengan daerah sampel dua kecamatan di Kabupaten Buton

dan satu kecamatan di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pendekatan

SCP digunakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, struktur pasar yang

terbentuk dan perilaku pasar, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan

keterpaduan pasar kacang mete. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah

pemasaran jambu mete belum efisien karena saluran pemasaran untuk

gelondongan maupun kacang mete masih panjang dan melibatkan banyak pelaku

pemasaran. Struktur pasar mengarah ke oligopsoni, praktek pencampuran jenis

mutu super dengan non super masih terjadi di pasar kacang mete. Keuntungan

pemasaran sebagian besar masih dinikmati oleh pedagang. Farmer’s share belum

adil jika ditinjau dari aspek resiko karena resiko paling besar ditanggung petani.

Jika ditinjau dari hasil analisis keterpaduan pasar kacang mete, dominasi

pedagang besar dalam menetapkan harga menempatkan petani sebagai penerima

harga.
18

Kurniawan (2003), yang meneliti kelembagaan pemasaran gaharu di

Kalimantan Timur, menggunakan pendekatan SCP untuk menganalisis perilaku

usaha pengumpul dan pedagang gaharu. Sedangkan untuk mengetahui

karakteristik kelembagaan pemasaran gaharu, dianalisis secara deskriptif

kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan yang

diterapkan dalam kelembagaan pemasaran gaharu adalah sistem patron-klien,

struktur pasar gaharu baik di tingkat kelembagaan pengumpul (desa), maupun

pedagang gaharu (kota) adalah oligopsoni. Hasil lain yang dikemukakan adalah

tidak seluruh patron (pedagang) dapat mengambil keuntungan dalam pemasaran

gaharu. Perilaku patron cenderung eksploitatif kepada kliennya sehingga klien

yang merasa dirugikan akan merespon dengan mengurangi loyalitasnya kepada

patron dimana perilaku ini menimbulkan moral hazard dalam kelembagaan

gaharu.

Slameto (2003), menganalisis kinerja kelembagaan pemasaran kakao rakyat

di Lampung dengan pendekatan SCP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

struktur pasar cenderung pada kondisi oligopoli dengan perilaku pasar cenderung

terjadi transaksi pada pedagang yang sama. Harga ditentukan pedagang dan belum

dipatuhinya grading dan standarisasi produk. Keragaan pasar kakao belum baik

dimana hubungan antara pasar lokal (petani) dengan pasar acuan (eksportir)

kurang padu, sehingga harga yang terjadi tidak ditransmisikan secara sempurna ke

petani dan saluran pemasaran yang efisien adalah petani - pedagang pengumpul

tingkat kecamatan - eksportir.

Kesimpulan dari studi literatur menyangkut efisiensi produksi dan

pemasaran pada berbagai usahatani komoditas pertanian, terdapat dua penelitian


19

yang menggabungkan sekaligus analisis produksi dan pemasaran dalam satu

penelitian, yaitu penelitian tentang komoditas salak pondoh yang dilakukan

Harsoyo (1999) dan kakao yang diteliti oleh Slameto (2003). Seperti halnya

gambir, kedua komoditas tanaman perkebunan tahunan di atas juga didominasi

oleh perkebunan rakyat yang dalam proses produksi sampai pemasarannya

dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana struktur pasar dan mekanisme

pembentukan harga yang terjadi cenderung merugikan petani produsen. Karena

itu penggabungan analisis kedua aspek (produksi dan pemasaran) dalam satu

kajian, bertujuan agar dapat memberikan alternatif solusi yang lebih menyeluruh

menyangkut semua partisipan dalam pasar, mulai dari petani, lembaga pemasaran

terkait, sampai ke konsumen akhirnya.


III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Teori Produksi

Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output.

Kegiatan tersebut dalam ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi.

Terdapat berbagai macam fungsi produksi yang bisa digunakan sebagai

alternatif dalam melakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara faktor

produksi (input) dan produksi (output), diantaranya adalah: fungsi produksi

linier, kuadratik, polinominal akar pangkat dua, eksponensial, CES (Constant

Elasticity of Substitution) dan translog. Memilih fungsi produksi apa yang

akan digunakan dalam suatu penelitian diperlukan banyak pertimbangan,

karena masing-masing fungsi produksi memiliki keunggulan dan keterbatasan.

Selain disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, jenis data yang digunakan

dan tujuan analisis, Soekartawi (2003), juga menganjurkan tindakan berikut

dalam memilih model atau bentuk fungsi produksi yaitu: (1) identifikasi

masalah secara jelas, variabel-variabel apa saja yang berfungsi sebagai

penjelas dan apa variabel yang dijelaskannya, (2) tindakan pertama tersebut

kemudian harus dilanjutkan dengan studi pustaka untuk melihat apakah

identifikasi masalah sesuai dengan teori yang benar yang dikombinasikan

dengan pengalaman sendiri serta belajar dari penelitian lain, dan (3)

melakukan trial and error untuk menguatkan model yang dipakai.

Fungsi produksi eksponensial yang biasanya disebut juga dengan fungsi

Cobb-Douglas adalah fungsi yang sering dipakai sebagai model analisis

produksi dalam penelitian usahatani, karena penggunaannya yang lebih


21

sederhana dan mudah untuk melihat hubungan input-output. Menurut Debertin

(1986), walaupun memiliki beberapa keterbatasan, penggunaan fungsi

produksi Cobb-Douglas didasarkan atas pertimbangan: (1) secara metodologis

lebih representatif dibandingkan dengan fungsi keuntungan misalnya, karena

variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, data cross section

akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi

keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana dan lebih

mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan elastisitas

produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat

diturunkan fungsi permintaan input.

Soekartawi (2003), menyebutkan ada tiga alasan pokok mengapa fungsi

Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti yaitu: (1)

penyelesaiannya relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan fungsi produksi

yang lain karena dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (2) hasil

pendugaan garis fungsi ini menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga

menunjukkan besaran elastisitas, dan (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus

menunjukkan tingkat besaran return to scale.

Terlepas dari kelebihan tertentu yang dimiliki fungsi produksi Cobb-

Douglas jika dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, bukan berarti

fungsi tersebut sempurna. Kesulitan umum yang dijumpai dalam penggunaan

fungsi produksi Cobb-Douglas atau kelemahan dan keterbatasan fungsi ini

adalah: (1) spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas

produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil. Hal ini juga

mendorong terjadinya multikolinearitas pada variabel independen yang


22

dipakai, masalah ini sering terjadi dalam pendugaan menggunakan metode

kuadrat terkecil, (2) kesalahan pengukuran variabel, hal ini terletak pada

validitas data apakah terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah, (3) bias terhadap

variabel manajemen karena kadang-kadang sulit diukur dan dipakai sebagai

variabel independen dalam pendugaan karena erat hubungannya dengan

variabel independen yang lain, dan (4) multikolinearitas. Selain itu ada asumsi

yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, seperti misalnya

asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh berbeda,

tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama dan asumsi bahwa

sampel dianggap price takers (Soekartawi, 2003).

3.1.1. Fungsi Produksi

Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat

dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi

tertentu. Fungsi produksi merupakan fungsi dari kuantitas input tidak tetap dan

input tetap. Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan

teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau

komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu

fungsi atau persamaan yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor

produksi yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per

satuan waktu. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Q = (X1, X2, X3, ...Xn/Zn) .................................................(1)

dimana:
Q = Output atau produksi
X1, X2, X3, ...Xn = Input tidak tetap ke-1, 2, 3, ..., n
23

Zn = Input tetap ke-n

Petani yang maju dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir

bagaimana mengalokasikan input atau faktor produksi seefisien mungkin

untuk memperoleh produksi yang maksimum. Gambar 4 menggambarkan

keterkaitan antara hasil produksi (Q) yang dalam grafik dilambangkan dengan

Y, dengan faktor produksi yang digunakan (X). Keterkaitan tersebut bisa

dilihat dari hubungan antara Produk Total (PT), Produk Marginal (PM) dan

Produk Rata-rata (PR).

Produk Total (PT) merupakan produksi total yang dihasilakan oleh suatu

proses produksi. Produk Marginal (PM) menunjukkan perubahan produksi

yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan satu satuan faktor produksi

variabel, sedangkan Produk Rata-rata (PR) menunjukkan besarnya rata-rata

produksi yang dihasilkan oleh setiap penggunaan faktor produksi. Berdasarkan

Gambar 4 terlihat apabila faktor produksi X terus-menerus ditambah

jumlahnya, pada mulanya pertambahan PT akan semakin banyak, tetapi ketika

mencapai suatu tingkat tertentu, produksi tambahan yang akan diperoleh akan

semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif.

Keadaan yang menyebabkan pertambahan produksi yang semakin

melambat sebelum akhirnya mencapai tingkat maksimum dan kemudian

menurun dikenal dengan hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang

(the law of deminishing marginal return). Hubungan antara tingkat produksi

dengan jumlah input variabel yang digunakan dapat dibedakan dalam tiga

tahap daerah produksi, yaitu: (1) daerah I yang terjadi pada saat PR naik

hingga PR maksimum di titik B, (2) daerah II yang dimulai dari saat PR


24

maksimum di titik B sampai hingga PT maksimum di titik C, dan (3) daerah

III adalah daerah saat PT menurun mulai dari titik C.

Sumber: Doll dan Orazem, 1984


Gambar 4. Produk Total, Produk Marginal, Produk Rata-Rata dan Tiga
Tahapan Produksi

Daerah I dikatakan irrational region karena penggunaan input masih

menaikkan PT sehingga pendapatan masih dapat terus diperbesar. Daerah II

adalah rational region karena pada daerah ini dimungkinkan pencapaian

pendapatan maksimum, pada daerah ini pula PT maksimum tercapai,

sedangkan daerah III adalah irrational region karena PT telah menurun.

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala usahatani pada

model fungsi produksi komoditas gambir berada pada rational region.


25

3.1.2. Analisis Efisiensi Produksi

Istilah efisiensi dikenal dalam teori produksi. Tersedianya faktor

produksi belum berarti produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi.

Bagaimana petani melakukan usahanya secara efisien adalah upaya yang

sangat penting. Menurut Nicholson (2002), konsep efisiensi bisa dibedakan

atas efisiensi teknis, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokasi. Menurutnya

alokasi sumberdaya disebut efisien secara teknis (technically efficient) jika

alokasi tersebut tidak mungkin meningkatkan output suatu produk tanpa

menurunkan produksi jenis barang lainnya. Jadi efisiensi teknis adalah suatu

pengalokasian sumberdaya yang tersedia sedemikian rupa, sehingga untuk

memproduksi satu atau lebih produk menyebabkan pengurangan produksi

barang-barang lainnya.

Berproduksi efisien secara teknis yaitu dengan berada pada batas

kemungkinan produksi, jika kita ingin menggambarkan efisiensi teknis secara

grafik. Sedangkan alokasi sumberdaya yang efisien secara ekonomis

(economic efficiency) adalah sebuah alokasi sumberdaya yang efisien secara

teknis dimana kombinasi output yang diproduksi juga mencerminkan

preferensi masyarakat. Agar alokasi sumberdaya menjadi efisien, harga harus

sama dengan biaya marginal sosial yang sebenarnya pada setiap pasar

(efisiensi alokasi).

Lau dan Yotopoulus (1971), mendefinisikan efisiensi teknis sebagai

hasil produksi yang dapat dicapai untuk suatu kombinasi faktor produksi yang

diberikan. Efisiensi harga (alokatif) didefinisikan sebagai kemampuan

perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dengan menyamakan nilai


26

produk marginal setiap faktor produksi yang diberikan dengan harga inputnya,

sedangkan efisiensi ekonomis adalah gabungan antara efisiensi teknis dan

efisiensi harga.

Produsen mengelola usahanya bertujuan untuk meningkatkan produksi

dan pendapatan, yang merupakan faktor penentu bagi produsen dalam

mengambil keputusan untuk usahanya. Produsen akan meningkatkan

produksinya apabila mengetahui bahwa tambahan faktor produksi yang

diberikan memberi tambahan keuntungan. Peningkatan keuntungan itu didapat

bila penerimaan marginal hasil lebih besar daripada biaya marginal faktor

produksi. Karena itu diperlukan efisiensi usaha dimana efisiensi itu dapat

dilakukan dengan pendekatan maksimalisasi produk dengan pengeluaran biaya

tertentu, atau minimisasi biaya untuk mendapatkan output tertentu. Bisa juga

dengan pendekatan maksimalisasi keuntungan dimana setiap faktor input

harus digunakan pada nilai produk marginal masing-masing faktor sama

dengan harganya.

Pemilihan fungsi produksi yang baik dan benar dari berbagai fungsi

produksi yang ada sebenarnya merupakan pendugaan subjektif. Sekalipun

demikian ada beberapa pedoman yang perlu diikuti untuk mendapatkan fungsi

produksi yang baik dan benar yaitu: (1) bentuk aljabar fungsi produksi itu

dapat dipertanggungjawabkan, (2) bentuk aljabar fungsi produksi itu

mempunyai dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi, (3) mudah

dianalisis, dan (4) mempunyai implikasi ekonomi (Soekartawi et al. 1986).

Untuk analisis fungsi produksi dengan menggunakan data survei usahatani

yang dirancang secara khusus untuk memperoleh data bagi pendugaan fungsi
27

produksi, hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam melakukan pekerjaan

ini adalah: (1) variasi dari berbagai variabel yang tidak disertakan dalam

analisis seperti jenis tanah, cara bercocok tanam, iklim, hendaknya kecil, (2)

sebaliknya variasi dari kombinasi masukan yang dipakai oleh sampel lebih

beragam, misalnya tidak semua sampel memakai pupuk dalam dosis yang

hampir sama, dan (3) jumlah sampel yang digunakan harus memadai,

misalnya paling sedikit 40 responden (Soekartawi et al. 1986).

Metode pengukuran efisiensi dengan menggunakan fungsi produksi

yang telah digunakan secara luas untuk analisis usahatani, salah satunya

adalah dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara

metematis dituliskan sebagai berikut:

a1 a2 a
Y = ax x
0 1 2
,..., x n n  .................................................(2)

dimana:

Y = Produksi komoditas pertanian atau output


(variabel tidak bebas/dependent variable)
a0 = Konstanta atau intersep
X1, X2, Xn = Faktor produksi atau input ke-1, 2, ..., n
(variabel bebas/independent variable)
a1, a2, an = Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
ke-1, 2, ..., n
 = Gangguan stokhastik/kesalahan (disturbance term)

Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi berpangkat yang

terdiri dari dua variabel atau lebih, dimana variabel yang satu disebut variabel

yang dijelaskan Y (variabel tak bebas) dan yang lain disebut variabel yang

menjelaskan X (variabel bebas). Penyelesaian hubungan antara Y dan X

biasanya adalah dengan cara regresi dimana variasi Y akan dipengaruhi oleh
28

variasi X (Soekartawi, 2003). Fungsi di atas dapat dilinierkan dengan

mentransformasi variabel tersebut menggunakan logaritma natural sebagai

berikut:

ln Y = ln a0 + a1 ln x1 + a2 ln x2 + ... + an ln xn + ε ...……..(3)

dimana:

ln = Logaritma natural
ε = Error term atau disturbance term

Pendekatan yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis tingkat

efektivitas dan efisiensi usahatani melalui fungsi produksi adalah pendekatan

produk marjinal. Dalam fungsi produksi ini sebagai variabel bebas adalah

lahan garapan, bibit, pupuk buatan, pestisida dan tenaga kerja. Dengan cara

analisis ini dapat diketahui sampai sejauh mana kontribusi faktor produksi

terhadap hasil produksi yang dicapai.

Mubyarto (1989), menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi dalam

usahatani pada umumnya adalah bagaimana mengalokasikan secara tepat

sumber-sumber daya atau faktor-faktor produksi yang terbatas agar dapat

memaksimumkan pendapatan. Berkaitan dengan masalah efisiensi, ada dua

pendekatan yang dapat mengukur efisiensi tersebut yakni: (1) pendekatan

produk marjinal yaitu pendekatan melalui konsep produksi marjinal mencapai

maksimum, dan (2) pendekatan efisiensi ekonomis yaitu pendekatan melalui

konsep keuntungan mencapai maksimum. Kedua pendekatan ini merupakan

cara analisis untuk mendapatkan gambaran tentang efisiensi usahatani dan

apabila efisiensi ini tercapai maka keuntungan maksimum akan tercapai,

sehingga pendapatan petani yang lebih tinggi akan tercapai pula.


29

Fungsi produksi merupakan hubungan teknis, maka fungsi produksi

dapat berubah akibat pengaruh penggunaan faktor produksi. Perubahan

tersebut ditunjukkan oleh kenaikan hasil, karena itu terdapat tiga bentuk

kenaikan hasil dalam fungsi produksi yaitu: (1) kenaikan hasil tetap artinya

penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan hasil yang tetap

dengan kata lain produk marjinal naiknya tetap, (2) kenaikan hasil bertambah

artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan hasil yang bertambah

dengan kata lain produk marjinal semakin meningkat, dan (3) kenaikan hasil

berkurang artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan

hasil yang semakin berkurang dengan kata lain produk marjinal semakin

berkurang. Untuk mengetahui tingkat efisiensi alokatif penggunaan faktor-

faktor produksi pada usahatani gambir dilakukan dengan menghitung rasio

nilai produk marjinal suatu input (NPMx) dengan harga inputnya (Px).

3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian

Kegiatan produksi dan pemasaran seperti dua sisi mata uang. Upaya

peningkatan produksi dalam pengembangan suatu komoditas harus diikuti

oleh kegiatan pemasaran yang baik, karena kedua kegiatan ini merupakan satu

kesatuan yang berkaitan dan saling memperkuat. Hasil akhir dari suatu proses

produksi adalah produk atau output yang akan dijual ke konsumen/pasar.

Pemasaran adalah kegiatan yang menjembatani proses pertukaran produk dari

produsen sampai produk tersebut diterima oleh konsumen.

Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan

komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan


30

pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan

efisien, akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek yaitu: (1)

mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta

daya saing komoditas pertanian, (2) meningkatkan kinerja dan efektivitas

kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan

program stabilisasi harga keluaran, dan (3) perbaikan perumusan kebijakan

perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara efektif dan

optimal (Rusastra et al. 2003).

Definisi pemasaran yang berorientasi pada pertanian sebagian besar

merujuk pada peristiwa yang terjadi setelah produk atau komoditas

meninggalkan titik awal produksi. Hal ini disebut dengan pendekatan gerbang

pertanian (farm gate). Kohls dan Uhl (2002), mendefinisikan pemasaran

dalam pertanian sebagai sebuah sistem. Pemasaran menurut mereka adalah

semua bentuk kegiatan bisnis yang meliputi seluruh sistem aliran produk dan

jasa-jasa yang ada, mulai dari titik awal produksi pertanian sampai semua

produk dan jasa tersebut di tangan konsumen. Sedangkan Dahl dan Hammond

(1977), mendefinisikan pemasaran sebagai rangkaian urutan fungsi-fungsi

yang dilakukan ketika produk bergerak dari titik produksi sampai ke

konsumen akhir. Pemasaran merupakan suatu proses yang berjalan di dalam

sistem pertukaran yang berfungsi menjembatani antara produsen dan

konsumen. Tugas pemasaran dalam suatu sistem pertukaran tersebut adalah

mempengaruhi koordinasi antara apa yang diproduksi dan apa yang

dibutuhkan konsumen.
31

Kaitannya dengan analisis produksi dan pemasaran gambir dalam

penelitian ini, pemasaran yang dimaksud pada intinya didefinisikan seperti

yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002), yaitu sebagai semua kegiatan

bisnis yang meliputi seluruh sistem aliran produk dan jasa-jasa yang terlibat

dalam arus komoditas gambir, mulai dari titik awal produksi/petani produsen

sampai gambir tersebut di tangan konsumen akhir.

Lamb et al. (2001), berpendapat bahwa dari segi ekonomi, pemasaran

merupakan tindakan atau kegiatan yang produktif, menghasilkan pembentukan

kegunaan, yaitu kegunaan waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan, sehingga

mempertinggi nilai guna dari suatu barang yang diminta atau dibutuhkan oleh

konsumen. Fungsi penting lainnya dalam pemasaran ialah sistem harga dan

mekanisme pembentukan harga yang banyak ditentukan oleh faktor waktu,

tempat dan pasar. Hal tersebut di atas akan mempengaruhi penawaran dan

permintaan suatu barang/jasa.

Pembentukan harga suatu komoditas pada setiap tingkat pasar

tergantung pada struktur pasar tersebut, sehingga hubungan harga antara

tingkat pasar konsumen dengan tingkat pasar produsen tergantung kepada

struktur pasar yang menghubungkannya. Dalam struktur pasar yang bersaing

sempurna misalnya, hubungan harga yang diterima petani produsen dengan

harga yang dibayar konsumen atau hubungan antar tingkat pasar, akan erat

sekali. Keadaan ini merupakan salah satu cermin dari sistem pemasaran yang

efisien.

Mekanisme harga berfungsi sebagai sistem komunikasi untuk

meneruskan informasi mengenai keinginan konsumen kepada produsen.


32

Sinyal harga menjadi pesan dari konsumen kepada produsen. Bila suatu

produk atau mutu tertentu dari suatu produk sangat dibutuhkan oleh

konsumen, maka harganya menjadi relatif lebih tinggi. Sinyal harga ini

disampaikan melalui sistem tersebut menuju ke produsen, sehingga dalam

waktu tertentu produsen melakukan penyesuaian yang menurutnya tepat

secara ekonomi, dengan mengalokasikan faktor produksi untuk memproduksi

produk dengan tingkat mutu seperti yang dikehendaki oleh konsumen.

Prosesnya tentu tidak sesederhana uraian di atas. Ada beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi supaya mekanisme pembentukan harga ini

sampai ke produsen dan mendorong respon yang dikehendaki yaitu: (1) nilai

produk harus dijelaskan dan dikategorikan berdasarkan tingkatan atau istilah

penjelas lainnya sehingga pembeli maupun penjual mempunyai sebuah

penafsiran yang umum atau sama mengenai harga produk tersebut, (2)

kekuatan permintaan dan penawaran yang didefinisikan sebagai kemampuan

untuk mempengaruhi harga atau segi-segi lain dalam perdagangan, harus sama

untuk pembeli dan penjual, dan (3) harga tidak terlalu mudah berubah-ubah

pada tingkatan produsen atau tingkat lain dalam sistem pemasaran sehingga

sinyal harga tersebut menjadi salah atau tidak jelas.

3.2.1. Pendekatan dalam Studi Pemasaran

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan studi

pemasaran menurut Kohl dan Uhl (2002), yaitu:

1. Pendekatan serba fungsi, dimana berbagai aktivitas pemasaran

diklasifikasikan kedalam berbagai fungsi pemasaran. Penekanannya pada


33

isu “what is done”. Beberapa fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran

(pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengolahan, penyimpanan dan

transportasi) dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, pengelolaan

resiko, penelitian atau riset pasar).

2. Pendekatan institusi, dimana evaluasi pemasaran dilakukan dengan

mempelajari perantara atau struktur bisnis yang membentuk proses

pemasaran yang dititikberatkan pada siapa yang mengerjakan dan terlibat

dalam proses pemasaran (who is involved).

3. Pendekatan perilaku, menggabungkan pendekatan fungsional dan

institusional yang sangat berguna untuk menganalisis keberadaan aktivitas

pemasaran, bagaimana perubahan dan perilaku lembaga pemasaran dalam

proses pemasaran, mengapa ada perantara dalam industri.

Purcell (1979), menjelaskan ada empat pendekatan yaitu pendekatan

komoditas, pendekatan kelembagaan, pendekatan fungsional dan pendekatan

sistem. Pada pendekatan komoditas (serba produk) dibahas segala aspek

barang atau komoditas mulai dari titik produksi sampai pada titik konsumsi.

Pendekatan ini mengikuti komoditas sepanjang lintasan antara produsen dan

konsumen, sehubungan dengan apa yang dilakukan dan bagaimana komoditas

tersebut bisa ditangani dengan lebih efisien. Misalnya tentang sifat khas dari

barang, lembaga yang mentransfer, sumber permintaan dan penawaran,

fasilitas pemasaran, serta peraturan pemerintah yang berhubungan dengan

barang yang bersangkutan.


34

3.2.2. Konsep Efisiensi Pemasaran

Pemasaran menginginkan adanya efisiensi yaitu pengorbanan yang

sekecil mungkin terhadap barang atau jasa yang diminta konsumen. Efisiensi

pemasaran menurut Soekartawi (2002), adalah nisbah antara total biaya

dengan total nilai produk yang dipasarkan. Ada beberapa faktor yang dapat

dipakai sebagai ukuran efisiensi pemasaran yaitu keuntungan pemasaran,

harga yang diterima petani, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan kompetisi

pasar.

Purcell (1979), menyebutkan ada dua tipe efisiensi yang berkaitan

dengan pemasaran yaitu efisiensi teknis dan efisiensi harga. Efisiensi teknis

merujuk pada hubungan input-output yang terlibat dalam tugas pemanfaatan

produksi diseluruh sistem pemasaran, dimana biaya-biaya yang dikeluarkan

dalam proses untuk membawa barang ke tangan konsumen meliputi biaya

perubahan bentuk, biaya penyimpanan dan biaya pengangkutan. Pada

umumnya efisiensi pelaksanaan aktivitas dan fungsi ini dianggap tergantung

pada teknologi yang tersedia. Efisiensi harga merujuk pada kemampuan

sistem untuk mempengaruhi perubahan dan mendorong relokasi sumberdaya

agar dapat mempertahankan kesesuaian antara apa yang diproduksi dan apa

yang dibutuhkan konsumen.

Kohls dan Uhl (2002), menyatakan bahwa perubahan sistem pemasaran

yang berakibat mengecilnya biaya kegiatan pemasaran tanpa mengurangi

kepuasan konsumen menunjukkan suatu perbaikan dari tingkat efisiensi

pemasaran. Sedangkan perubahan yang mengurangi biaya pemasaran tetapi

diikuti dengan berkurangnya kepuasan konsumen menunjukkan penurunan


35

tingkat efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran akan tercapai jika struktur

pasar dapat menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang

seimbang antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran.

Efisiensi pasar secara teoritis dapat dicapai jika pelaku-pelaku pasar

tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar, atau

bila pemasaran tersebut dapat memberikan semua pihak (petani produsen,

pedagang perantara dan konsumen) kepuasan balas jasa yang seimbang sesuai

dengan sumbangannya masing-masing meskipun sifatnya relatif (adil yang

proporsional).

Kohls dan Uhl (2002), lebih lanjut mengungkapkan bahwa analisis

sistem pemasaran dapat juga dikaji melalui pendekatan struktur, perilaku dan

keragaan pasar. Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang

menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari

jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar dan

kondisi keluar masuk pasar. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga

pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi

kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga dan siasat pemasaran

seperti potongan harga. Struktur, perilaku dan kinerja merupakan tiga kategori

utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan

yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku

perusahaan dalam pasar tersebut, yang secara bersama-sama menentukan

kinerja sistem pasar secara keseluruhan.


36

3.2.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

Soekartawi (2002), mengemukakan bahwa pemasaran hasil-hasil

pertanian sering dihadapkan pada kata efisiensi, baik cara pengukurannya

maupun kriteria yang dipakai. Setidaknya ada dua kesulitan untuk menilai

efisien atau tidaknya suatu proses pemasaran. Pertama, efisiensi pemasaran

tidak mampu menunjukkan ukuran yang konsisten untuk mengukur efisiensi

pemasaran secara keseluruhan. Kedua, efisiensi pemasaran seringkali

melupakan aspek kesejahteraan masyarakat (welfare aspect of the society).

Dalam hal ini untuk meningkatkan efisiensi pemasaran dan sekaligus juga

memperhatikan welfare society, pendekatan dengan konsep SCP (Structure-

Conduct-Performance) merupakan pendekatan yang bisa digunakan untuk

mengurangi tidak efisiennya suatu pemasaran.

Pendekatan SCP adalah pendekatan organisasi pasar yang mencakup

atau mengkombinasikan semua aspek dari sistem pemasaran atau tataniaga

yaitu: market structure, market conduct dan market performance. Dasar

paradigma SCP dicetuskan oleh Mason (1939), yang mengemukakan bahwa

struktur (structure) suatu industri akan menentukan bagaimana para pelaku

industri berperilaku (conduct), yang pada akhirnya menentukan keragaan atau

kinerja (performance) industri tersebut.

a. Struktur Pasar

Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik

dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang

merupakan suatu resultan atau saling mempengaruhi perilaku dan keragaan

pasar. Antara lain ada empat faktor yang menjadi penentu yaitu: jumlah dan
37

ukuran perusahaan (isu pangsa pasar dan konsentrasi pasar), kondisi dan

keadaan produk (homogen atau diferensiasi), mudah atau sukarnya untuk

masuk dan keluar pasar atau industri (barrier to entry) dan tingkat

pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran. Struktur pasar

dapat juga diartikan sebagai tipe dan jenis-jenis pasar, yang secara garis besar

dibagi atas dua kelompok, yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar tidak

bersaing sempurna.

Pasar Persaingan Sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan

kompetitif yang berjalan dengan efektif dan efisien dengan beberapa asumsi

yang harus terpenuhi yaitu: (1) ada sangat banyak penjual dan pembeli di

pasar, (2) tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi

pesaingnya di pasar, (3) penjual dan pembeli hanya price taker serta tidak ada

persaingan di luar harga, (4) tidak ada hambatan untuk masuk/keluar pasar,

dan (5) jenis produk homogen dan identik, serta semua partisipan pasar

mempunyai cukup informasi dan pengetahuan tentang produk dan harga.

Sisi yang berlawanan sangat ekstrim dengan pasar persaingan sempurna

adalah pasar monopoli dimana pasar dikuasai oleh satu penjual, berikutnya

pasar oligopoli (sedikit penjual) dan pasar monopolistik (banyak penjual). Jika

diurutkan menurut kedekatan karakteristik masing-masing pasar satu sama

lain, maka struktur pasar terdiri dari pasar persaingan sempurna, pasar

monopolistik, pasar oligopoli dan terakhir pasar monopoli.

Imperfect competition bisa juga dilihat dari perspektif pembeli atau

konsumen, sehingga selain ketiga jenis pasar tidak bersaing sempurna tersebut

(monopolistik, oligopoli dan monopoli) juga dikenal struktur pasar monopsoni


38

dan oligopsoni. Pasar monopsoni menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah pasar

dimana hanya terdapat satu pembeli atau kondisi dimana hanya ada satu

perusahaan pengguna pada pasar input tertentu dan oligopsoni adalah sebuah

situasi pasar dimana hanya ada beberapa pembeli dari satu produk atau

komoditas (a few large buyers of a product).

Struktur pasar sebagian besar komoditas hasil-hasil pertanian terutama

di negara-negara berkembang, tergolong ke dalam struktur pasar monopsoni

atau oligopsoni, yang mayoritas pertaniannya merupakan usahatani subsistem

karena beragam faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sangat merugikan

petani karena dampak dari mekanisme pembentukan harga yang terjadi adalah

tidak ada harga terbaik, pembeli membeli hasil panen di bawah harga pasar

yang seharusnya (harga pada PPS) sehingga bagian harga yang seharusnya

dinikmati petani diambil oleh pembeli.

Struktur pasar biasanya diukur dengan rasio konsentrasi, indek atau

share tertentu. Setiap perusahaan mempunyai pangsa pasar (market share)

yang berbeda-beda berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan

seluruh pasar. Pangsa pasar menggambarkan bagian yang diperoleh

perusahaan dari total penjualan industri. Semakin tinggi share suatu

perusahaan maka akan semakin besar peranan dan pengaruhnya di pasar.

Derajat konsentrasi pasar dapat diukur dengan menggunakan Herfindahl

Hirchman Index (HHI). Jika nilai HHI antara 1000-1800 dinyatakan sebagai

konsentrasi moderat, sedangkan lebih dari 1800 adalah konsentrasi tinggi.

Concentration Ratio (CR) juga merupakan metode untuk mengukur derajat

konsentrasi pasar. Cara penghitungan melalui CR terbagi atas CR1, CR2,


39

CR3, CR4 dan lainnya, tergantung kebutuhan dan kondisi struktur pasar yang

akan dinilai. Angka 1, 2 dan seterusnya mengindikasikan jumlah share

perusahaan yang akan dinilai CR-nya. Rasio konsentrasi merupakan

akumulasi share perusahaan utama dalam industri, atau persentase dari total

output masing-masing perusahaan yang mendominasi industri atau pendapatan

penjualannya, dibagi dengan total output atau penjualan keseluruhan industri

(rasio pangsa pasar relatif dari total output industri).

b. Perilaku Pasar

Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli

dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara

individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap

partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Misalnya

praktek-praktek bisnis yang dilakukan perusahaan dalam kebijakan penentuan

harga, promosi penjualan dan berbagai strategi penjualan lainnya yang

dilakukan untuk mencapai hasil pasar yang spesifik. Pada prinsipnya

hubungan pembeli dan penjual adalah hubungan persaingan, tetapi setelah ada

kesepakatan atau negosiasi, hubungan itu menjadi transaksi.

Firdaus et al. (2008), lebih lanjut menyebutkan bahwa perilaku pasar

terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pelaku pasar dan juga

pesaingnya, terutama dalam hal harga dan karakteristik produk. Perilaku pasar

dapat dikelompokkan menjadi perilaku dalam strategi harga, produk dan

promosi. Perilaku antara lain juga bisa dilihat dari tingkat persaingan ataupun

kolusi antar partisipan di pasar.


40

c. Kinerja Pasar

Kinerja atau keragaan pasar (market performance) merupakan hasil atau

pengaruh dari struktur dan perilaku pasar yang dalam realita dapat terlihat dari

produk atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Misalnya

efisiensi harga atau biaya produksi, biaya promosi penjualan, termasuk nilai

informasi, volume penjualan dan efisiensi pertukaran di pasar. Keragaan atau

kinerja suatu industri diukur antara lain dari derajat inovasi, efisiensi dan

profitabilitas (Firdaus et al. 2008). Struktur dan perilaku pasar akan

menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan harga, biaya

pemasaran, margin serta distribusi pemasaran, jumlah komoditas yang

diperdagangkan, korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat

konsumen, elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar.

Terdapat sejumlah faktor intrinsik dan eksternal yang berpengaruh

terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik faktor yang

berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar dan

margin pemasaran. Bentuk pasar yang terjadi dalam struktur suatu pasar akan

mempengaruhi tingkat kompetisi yang akan berdampak pada proses

pembentukan harga, transmisi harga dan bagian harga yang diterima petani.

Jadi secara implisit struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi

pasar dan nilai margin pemasaran.

Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk

pertanian adalah terkait dengan kebijakan pemerintah seperti pengembangan

infra struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga

output, perpajakan dan retribusi, kebijakan pengembangan produk dan


41

pengolahan hasil pertanian dan lain-lain. Pemahaman di atas dan perbaikan

terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian akan bermanfaat dalam

mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena kinerja

pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga

yang diterima petani. Kebijakan pemerintah yang kondusif akan mendorong

peningkatan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang

proporsional bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani (Rusastra et al.

2003).

3.2.2.2. Margin Pemasaran

Nicholson (2002), mengemukakan bahwa pola pembentukan harga

tergantung dari kekuatan-kekuatan pelaku dalam pasar. Dengan kata lain

penjual dan pembeli bertemu langsung, harga hanya ditentukan oleh kekuatan

penawaran dan permintaan secara agregat, sehingga jumlah uang yang

dibayarkan oleh konsumen sama dengan jumlah yang diterima produsen. Hal

ini memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara harga di antara

keduanya. Namun dari hasil penelitian dalam bidang pemasaran pertanian

ternyata terdapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat

pengecer dan konsumen akhir. Perbedaan yang terjadi inilah yang disebut

marjin pemasaran yang merupakan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan

dalam pemasaran (Cramer et al. 1997). Bila dalam pemasaran suatu produk

pertanian terdapat lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi

pemasaran, maka marjin pemasaran diperoleh dari jumlah marjin pemasaran

dari tiap-tiap lembaga pemasaran.


42

Irawan dan Sudjoni (2001), berpendapat banyaknya lembaga pemasaran

dan jarak antara produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap arus

distribusi barang dan tingkat harga yang diterima oleh produsen ataupun

tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen. Jika dalam penyaluran

barang dari produsen ke konsumen melalui banyak lembaga pemasaran yang

terlibat, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut pada

produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen,

dalam hal ini tidak memberikan keuntungan yang wajar, baik bagi petani

maupun bagi konsumen. Dengan demikian pemasaran yang melibatkan

banyak lembaga pemasaran dapat menyebabkan rendahnya harga di tingkat

produsen dan tingginya harga di tingkat konsumen sehingga marjin pemasaran

menjadi tinggi.

Nilai marjin pemasaran pada tiap komoditas berbeda-beda, dikarenakan

untuk tiap produk mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda dan tiap

bentuk nilai tersebut memiliki geometrik dalam proses penjualannya. Lebih

lanjut Dahl dan Hammond (1977), mengemukakan nilai marjin pemasaran ini

umumnya ditetapkan dalam bentuk absolut seperti dalam persen. Dalam hal

ini pedagang besar dalam memberikan tambahan harga (mark up) biasanya

dalam bentuk konstan yaitu persen yang disebut sebagai biaya marjin tetap

(margin fixed cost) dan untuk pengecer dalam menetapkan tambahan harga

dalam bentuk absolut tetap secara marjin uang (absolute).

Tomek dan Robinson (1977), mendefinisikan margin pemasaran sebagai

berikut: (1) perbedaan antara harga yang dibayar konsumen dengan harga

yang diterima oleh produsen, dan (2) kumpulan balas jasa yang diterima oleh
43

jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran. Dalam

definisi yang pertama, margin pemasaran merupakan perbedaan harga yang

sederhana antara kurva permintaan asal (primary demand) dan permintaan

turunan (derived demand) untuk setiap bagian produk. Permintaan asal

ditentukan oleh respon dari kepuasan konsumen, yang tercermin dalam harga

di tingkat konsumen, sedangkan kurva permintaan turunan adalah kurva yang

sebenarnya dihadapi oleh petani produsen.

Sumber: Tomek dan Robinson, 1977


Gambar 5. Kurva Permintaan Asal, Permintaan Turunan, Penawaran Asal dan
Penawaran Turunan

Gambar 5 menjelaskan margin secara grafis. Kurva tersebut dapat

dijelaskan dengan asumsi bahwa: (1) elastisitas substitusi antara produk

pertanian dengan input tataniaga (misalnya tenaga kerja) adalah nol, dan (2)

jumlah produk di tingkat petani atau Qf, sama dengan jumlah produk di tingkat

pengecer atau Qr, dimana Qf = Qr = Q (kondisi ekuilibrium). Apabila asumsi


44

tersebut tidak digunakan, maka kemiringan (slope) atau koefisien arah kurva

permintaan maupun kurva penawaran di tingkat petani dengan di tingkat

pengecer tidak akan sejajar (sama).Besar kecilnya margin pemasaran sering

digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah atau

belum efisien. Tinggi rendahnya margin dapat disebabkan oleh berbagai faktor

yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran, antara lain ketersediaan

fasilitas fisik pemasaran seperti pengangkutan, penyimpanan, pengolahan,

pengelolaan resiko kerusakan dan lain-lain. Secara umum bisa dikatakan

semakin panjang saluran pemasaran atau pihak yang terlibat dalam saluran

pemasaran, maka margin pemasaran akan semakin besar.

3.2.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani

Efisiensi pemasaran dapat juga dianalisis dengan menghitung bagian

harga yang diterima petani atau farmer’s share. Soekartawi (2002),

mengemukakan untuk mengukur efisiensi pemasaran digunakan harga jual

petani sebagai dasar (Pf) dan dibandingkan dengan harga beli pedagang di

tingkat konsumen akhir (Pr) dikalikan dengan 100 persen. Hal ini berguna

untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen yang

dinikmati oleh petani. Besar farmer’s share (FS) menurut Kohls dan Uhl

(2002), dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transportasi, (3)

keawetan produk, dan (4) jumlah produk. Rumusannya sederhana, dinyatakan

dalam persentase (%), yang dirumuskan dalam persamaan FS = Pf/Pr x 100%.

Apabila dari hasil pengujian diperoleh bagian harga yang diterima petani

rendah, maka saluran pemasaran tidak/belum efisien.


45

3.2.2.4. Elastisitas Transmisi Harga

Elastisitas transmisi harga adalah nisbah perubahan relatif harga di

tingkat pengecer (Pr) terhadap perubahan relatif harga di tingkat produsen (Pf)

(George dan King, 1971). Pengertian ini erat kaitannya dengan anggapan

bahwa margin tataniaga merupakan akibat adanya permintaan turunan dari

pedagang eceran kepada petani produsen, atau margin tataniaga merupakan

selisih dari harga di tingkat pedagang eceran dengan harga di tingkat petani.

Secara matematik elastisitas transmisi harga adalah:

 Pr Pr  Pr P
Et = = x f .....................................(4)
 Pf Pf  Pf Pr

dimana:

Et = Elastisitas transmisi harga


 Pr = Perubahan harga di tingkat pedagang pengecer
 Pf = Perubahan harga di tingkat petani

3.2.2.5. Keterpaduan Pasar

Pengertian keterpaduan pasar adalah sampai seberapa jauh pembentukan

harga suatu komodidas pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi

oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Pengaruh ini dapat diduga

melalui regresi sederhana, analisis korelasi harga di setiap tingkat baik secara

vertikal maupun horizontal dan melalui elastisitas transmisi harga (Et). Dalam

suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya korelasi positif

yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986). Pada

umumnya pendekatan ini banyak dipakai untuk menguji apakah pasar

setempat terpadu dan efisien. Dalam hal ini kelancaran informasi dan
46

pengangkutan memberi peranan yang penting dalam membentuk perdagangan

antarpasar yang efisien. Pengujian akan hubungan harga-harga ditambah

dengan pengamatan tentang kegiatan perdagangan merupakan metode uji

hipotesis yang berguna. Harga-harga pada suatu sistem pasar yang efisien

cenderung bergerak bersama-sama, tetapi hal ini dapat terjadi karena sebab-

sebab yang lain. Pergerakan harga umum, musim bersama atau setiap faktor

kebersamaan, dapat memberikan perubahan harga yang selaras walaupun

pasar tersebut tidak berhubungan (Heytens, 1986).

Pendekatan lain yang digunakan adalah metode autoregresive

distributed lag yang dapat mengatasi masalah kelemahan model regresi

sederhana yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dan

produsen bergerak pada waktu yang sama. Model ini dikembangkan oleh

Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan

bedakala (lag) bersebaran autoregresive antara harga disuatu tingkat atau

pasar tertentu dengan harga di pasar atau tingkat lainnya. Analisis ini dapat

menerangkan adanya hubungan antara perubahan harga di suatu pasar tertentu

dengan harga di pasar lainnya. Lebih lanjut dapat diungkapkan proses

pembentukan harga, misalnya Pit adalah harga di pasar i waktu t, sedangkan

PAt adalah harga di pasar acuan waktu t, maka model dapat dirumuskan

sebagai berikut:

(Pit – Pit-1) = (αi - 1) (Pit-1 - PAt-1) + βi0 (PAt - PAt-1) +


(αi + βi0 + βi1-1) PAt-1 + γi X + e .........................(5)
dimana:
Pit = Harga di pasar i waktu t
PAt = Harga di pasar acuan waktu t
X = Vektor musiman atau variabel lain yang dianggap relevan
47

e = Error term di pasar i waktu t

Persamaan (5) menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu tempat

adalah fungsi dari selisih harga pasar setempat dengan pasar acuan pada waktu

yang sebelumnya, perubahan harga pasar acuan pada waktu sebelumnya,

harga di pasar acuan waktu sebelumnya dan ciri-ciri pasar setempat.

Persamaan (5) bisa disederhanakan dengan mengubah lambang-lambang

koefisien: αi – 1 = b1, βi0 = b2 dan αi + βi0 + βi1-1 = b3, sehingga persamaan

dapat ditulis sebagai berikut:

(Pit - Pit-1) = b1 (Pit-1 – PAt-1) + b2 (PAt – PAt-1) + b3 PAt-1


+ b4 X + e .................................................(6)

Persamaan (6) dapat disusun kembali menjadi persamaan:

Pit = (1+b1) Pit-1 + b2 (PAt – PAt-1) + (b3-b1) PAt-1 + b4 X + e ...........(7)

Apabila pasar acuan kita anggap berada pada keseimbangan jangka panjang

maka (PAt – PAt-1) = 0 dan juga b4 = 0, sehingga didapatkan:

Pit = (1+b1) Pit-1 + (b3-b1) PAt-1 .................................................(8)

Nilai parameter (1+b1) dan (b3-b1) akan menggambarkan sumbangan

relatif harga pasar setempat dan acuan terdahulu terhadap pembentukan harga

tingkat sekarang. Apabila harga pasar acuan sebelumnya merupakan penentu

dari harga, maka pasar-pasar ini terintegrasi dengan baik. Artinya keadaan

penawaran dan permintaan pada pasar acuan akan dikomunikasikan secara

efektif ke pasar-pasar setempat dan akan mempengaruhi harga-harga di sana

walau bagaimanapun keadaan pasar lokal sebelumnya. Untuk menangkap

besarnya pengaruh ini secara efektif, dikembangkan suatu indek hubungan

pasar atau Index of Market Connection (IMC) atau disebut juga indek yang
48

dibatasi sebagai nisbah koefisien pasar setempat terdahulu terhadap koefisien

pasar acuan terdahulu. Dari persamaan (8) diperoleh:

1  b1
IMC = .................................................(9)
b 3  b1

Secara umum, semakin dekat indek tersebut ke-0 atau koefisien bernilai

lebih kecil dari 1 maka semakin tinggi derajat keterpaduan pasar.

3.3. Tahapan Penelitian

Upaya peningkatan pendapatan petani tergantung pada pengelolaan

produksi dan pengalokasian faktor produksi yang dimiliki, kemudian

menindaklanjutinya dengan memasarkan komoditas yang telah diproduksi

tersebut. Dengan demikian upaya peningkatan pendapatan petani salah

satunya sangat ditentukan oleh faktor bagaimana petani melakukan

pengelolaan produksi dan pemasaran komoditas yang diusahakannya.

Kegiatan produksi dan pemasaran tidak bisa berjalan sendiri karena saling

terkait dalam menentukan keberhasilan usahatani.

Pengusahaan gambir sebagai komoditas pertanian tidak terlepas dari

ketergantungan usahatani tanaman tropis ini pada faktor alam. Kondisi alam

seperti curah hujan, karakteristik tanah, kesuburan tanah serta faktor lainnya

akan sangat berpengaruh pada produksi dan produktivitas tanaman. Disamping

faktor alam, teknologi yang digunakan petani dalam proses produksi, kondisi

sosial ekonomi dan kelembagaan serta situasi pasar yang berkaitan dengan

permintaan, penawaran dan proses pemasaran gambir akan sangat

berpengaruh pada pembentukan harga gambir di pasar.


49

GAMBIR
Salah Satu Komoditas Unggulan Sumatera Barat
dan Kabupaten Lima Puluh Kota
Untuk Ekspor

Usahatani perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional


dengan teknologi pengolahan sederhana

Masalah utama dalam pengelolaan komoditas gambir selama ini:


1. Produksi, produktivitas, serta mutu hasil gambir yang rendah
2. Rendahnya posisi tawar petani di pasar

Bagaimana keterkaitan antara sektor on farm dengan off farm usahatani gambir
yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem pemasaran serta peranannya dalam
menentukan harga gambir

Analisis Produksi Analisis Pemasaran

Efisiensi pengalokasian Profil dan kinerja kelembagaan


sumberdaya pemasaran gambir

Pendekatan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dan


metode untuk analisis pemasaran menggunakan
the market structure-conduct-performance relationship

Gambaran menyeluruh mengenai keragaan usahatani gambir


mulai dari on farm sampai off farm secara terpadu
di Kabupaten Lima Puluh Kota

Gambar 6. Tahapan Analisis Produksi dan Pemasaran Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota

Masalah utama dalam usahatani gambir seperti yang terlihat dalam di

Gambar 6 adalah menyangkut produksi, produktivitas serta mutu hasil gambir


50

yang rendah. Proses produksi gambir memerlukan sumberdaya (input) yang

bersifat tetap dan input tidak tetap. Faktor yang akan diuji sebagai hipotesis

penelitian adalah bagaimana pengaruh luas areal tanam, jumlah pohon dan

umur tanaman, tenaga kerja (curahan waktu kerja) serta penerapan faktor

produksi lainnya, terhadap produksi gambir. Apakah pengaruhnya signifikan

dan sudah efisien dalam pengalokasiannya. Disamping itu akan dilakukan juga

analisis efisiensi pemasaran gambir dengan menggunakan pendekatan SCP

untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai

struktur pasar, perilaku dan keragaan usahatani gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota.
IV. METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi

Sumatera Barat dengan pertimbangan bahwa kabupaten ini merupakan daerah

sentra produksi gambir di Sumatera Barat. Menurut data BPS 2007/2008,

sekitar 70.45 persen produksi gambir Sumbar berasal dari kabupaten ini.

Sumatera Barat sendiri adalah provinsi sentra produksi yang menyumbangkan

lebih dari 80 persen produksi gambir Indonesia (Ermiati, 2004; Dhalimi,

2006).

Selanjutnya dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipilih lagi tiga kecamatan

secara sengaja (purposive) yang menjadi sentra produksi gambir yaitu

Kecamatan Kapur IX, Lareh Sago Halaban dan Harau. Penentuan lokasi

tersebut dengan pertimbangan: (1) ketiga kecamatan adalah daerah sentra

produksi, (2) untuk melihat keragaman dan keragaan usahatani dan pemasaran

gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, dan (3) supaya tidak terjadi

pengelompokan pada wilayah tertentu sehingga memungkinkan lokasi

penelitian tersebar. Namun demikian pemilihan ketiga kecamatan tersebut

tidak dimaksudkan untuk dilakukan perbandingan.

Kecamatan Kapur IX dipilih masih didasarkan pada pertimbangan

bahwa kecamatan ini merupakan salah satu daerah sentra produksi di

Kabupaten Lima Puluh Kota dengan kontribusi tertinggi terhadap luas areal

tanam dan produksi gambir, masing-masing sebesar 44.11 persen dan 43.05

persen (BPS, 2008a; 2008b). Pemilihan Kecamatan Lareh Sago Halaban


52

didasarkan pada pertimbangan karena kecamatan ini merupakan daerah

pertama penghasil gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota dan sampai

sekarang menghasilkan gambir dengan mutu kualitas A yang dikenal dengan

nama Gambir Halaban I. Sedangkan Kecamatan Harau dipilih karena

kecamatan ini adalah kecamatan dengan akses yang paling baik dan paling

dekat dengan Kota Payakumbuh sebagai salah satu pasar utama gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota.

Setelah dilakukan pemilihan lokasi penelitian pada tingkat kabupaten

dan kecamatan, selanjutnya dilakukan penentuan lokasi penelitian pada tingkat

kenagarian. Kenagarian atau nagari adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai organisasi pemerintah sendiri dan merupakan ciri khas

pemerintahan daerah Sumatera Barat, yang setingkat dengan desa. Kapur IX,

Lareh Sago Halaban dan Harau merupakan kecamatan terpilih sebagai lokasi

penelitian, masing-masing terdiri dari 7, 8 dan 11 kenagarian. Pemilihan

kenagarian ditentukan secara sengaja di tiga kecamatan tersebut dan yang

terpilih di Kecamatan Kapur IX adalah Kenagarian Koto Bangun, Muaro Paiti

dan Lubuak Alai. Kenagarian Solok Bio-bio di Kecamatan Harau dan

Kenagarian Halaban dan Sitanang di Kecamatan Lareh Sago Halaban.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk data

cross section maupun time series. Data cross section bersumber dari

responden penelitian yaitu petani gambir dan pedagang gambir. Pedagang

gambir dibedakan lagi berdasarkan volume perdagangannya menjadi


53

pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir gambir. Data primer ini

yang digunakan untuk analisis efisiensi produksi dan pemasaran.

Data time series dipakai untuk kelengkapan analisis kinerja pemasaran

gambir mulai tahun 1994-2007. Sumber data dan informasi berupa laporan-

laporan ataupun dokumentasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas

Perkebunan, Perindustrian, Perdagangan dan asosiasi pedagang gambir yang

berada di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota dan Provinsi Sumatera Barat.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani produsen gambir

dan pedagang gambir yang ada di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.

Pengambilan sampel dari masing-masing lokasi ditentukan dengan cara

sengaja (purposive). Penentuan sampel petani di lokasi penelitian yang akan

dijadikan responden adalah petani produsen gambir yang memiliki Batas

Minimal Usaha (BMU) untuk usaha perkebunan gambir yang ditetapkan

sesuai dengan standar Sensus Pertanian tahun 2003 (ST 2003) yang dilakukan

BPS, yaitu petani yang memiliki minimal 135 pohon gambir yang sudah

berproduksi (BPS, 2003). Petani atau produsen dalam penelitian ini mungkin

saja memiliki lebih dari satu usaha atau memiliki garapan usahatani dengan

komoditas selain gambir.

Populasi petani gambir menurut hasil Sensus Pertanian terakhir tahun

2003, di Kabupaten Lima Puluh Kota terdapat 9 056 rumahtangga petani.

Rumahtangga petani gambir untuk ketiga kecamatan terpilih sebanyak 4 307

rumahtangga atau 47.56 persen populasi, dengan sebaran sebanyak 1.27


54

persen atau 115 rumahtangga berada di Kecamatan Lareh Sago Halaban,

10.40 persen atau 942 rumahtangga di Kecamatan Harau dan 35.89 persen

atau 3 250 rumahtangga di Kecamatan Kapur IX.

Parel et al. (1973), mengemukakan beberapa acuan yang dapat

dipertimbangkan menyangkut ukuran pengambilan sampel berkaitan dengan

ragam populasi, yaitu: (1) jika populasi besar, sampel dapat diambil dengan

persentase kecil dan jika populasi kecil dapat diambil persentase besar, (2)

ukuran sampel sebaiknya tidak kurang dari 30 satuan, dan (3) jumlah sampel

disesuaikan dengan kemampuan biaya.

Berdasarkan uraian di atas dan pertimbangan keterbatasan yang ada dari

peneliti, maka rumahtangga petani yang menjadi sampel diambil dengan

teknik quota sampling untuk memastikan bahwa beberapa karakteristik

populasi terwakili dalam contoh yang akan terpilih (Juanda, 2009). Dari hasil

survei yang dilakukan, diperoleh responden 30 rumahtangga petani di

Kecamatan Lareh Sago Halaban, 35 rumahtangga petani di Kecamatan Harau

dan 36 rumahtangga petani di Kecamatan Kapur IX. Namun demikian setelah

dilakukan editing terhadap data yang diperoleh, ternyata hanya 96

rumahtangga petani sampel atau 1.06 persen dari populasi yang dianalisis

datanya, dan sebanyak 5 sampel rumahtangga dikeluarkan dari hasil analisis

karena adanya ketidaklengkapan data. Sampel yang dikeluarkan adalah 3

rumahtangga petani di Kecamatan Harau dan 2 rumahtangga petani di

Kecamatan Kapur IX.

Responden rumahtangga petani yang berjumlah 96 orang tersebut,

setelah data rumahtangga terkumpul dan dilakukan tabulasi, dilakukan lagi


55

stratifikasi terhadap rumahtangga petani yang memiliki lebih dari satu lokasi

perkebunan gambir dengan usia tanam yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan

untuk analisis produksi guna mengidentifikasi faktor-faktor utama yang

mempengaruhi produksi gambir perkebunan rakyat. Sehingga ukuran sampel

yang sebelumnya berjumlah 96 sampel rumahtangga petani, setelah dirinci

lagi menurut usia tanaman gambir yang diusahakan, menjadi 133 sampel.

Responden yang berhubungan dengan tataniaga gambir, sampel

pedagang yang diambil adalah pedagang gambir dari setiap kecamatan yang

dipilih secara sengaja (purposive) dari pedagang gambir yang ada di wilayah

Kabupaten Lima Puluh Kota. Informasi awal mengenai pedagang pengumpul

diperoleh dari petani dan pedagang pengumpul di kenagarian tempat

pelaksanaan survei, selanjutnya didapat dengan metode snowball sampling

guna mendapatkan pedagang di saluran pemasaran yang berada di atasnya.

Penentuan pedagang dengan metode snowball sampling tersebut

bertujuan untuk menghindari terjadinya pengambilan sampel yang tidak tepat,

dimana pedagang pengumpul di bawahnya tidak menjadi agen (kepanjangan

tangan) pedagang pengumpul di atasnya. Sampel pedagang yang dipilih

adalah yang dianggap dapat mewakili karakteristik populasi dan kinerja dari

masing-masing lembaga pemasaran pada lokasi penelitian.

Berdasarkan informasi tersebut dan dengan mempertimbangkan

karakteristik pedagang yang akan disurvei, diperoleh 20 responden sebagai

sampel pedagang yang telah memenuhi persyaratan seperti tersebut di atas.

Sampel pedagang tersebut terdiri dari 11 sampel pedagang pengumpul, 6

sampel pedagang besar, 2 sampel eksportir dan 1 asosiasi pedagang gambir.


56

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap

sampel petani dan pedagang gambir yang terpilih. Teknik pengumpulan data

dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam kuisioner terstruktur yang telah

disiapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data lapangan

dilakukan pada bulan Maret dan April 2009. Data yang dikumpulkan untuk

sampel petani mencakup karakteristik rumahtangga petani, penguasaan dan

luas lahan, pola tanam dan usia tanaman gambir yang diusahakan, input dan

output usahatani per panen, curahan tenaga kerja, kegiatan pemasaran yang

dijalankan serta kendala dan permasalahan yang dihadapi petani. Sedangkan

untuk sampel pedagang, data yang dikumpulkan mencakup karakteristik

pedagang, sistem dan daerah perdagangan, metode transaksi dan kuantitas

gambir yang diperdagangkan serta aspek lainnya untuk memperoleh gambaran

struktur pasar, perilaku dan kinerja pemasaran gambir.

4.5. Model Analisis


4.5.1. Analisis Produksi

Model ekonometrika dari fungsi produksi disusun bertujuan untuk

menduga hubungan antara variabel tak bebas dan bebas dari suatu fungsi

dalam usahatani gambir, yang sesuai dengan kriteria model yang baik dengan

melihat kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Pada analisis produksi

menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas karena model inilah yang

relevan untuk menganalisis usahatani.

Persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan fungsi produksi yang

baik adalah terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang
57

dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan. Parameter statistik serta

parameter yang diduga memenuhi persyaratan untuk dapat disebut parameter

yang mempunyai derajat ketelitian yang tinggi. Ada dua parameter statistik

yang penting dan diperlukan, yaitu: (1) koefisien determinasi atau R2 yaitu

parameter yang menjelaskan besarnya variasi dari variabel yang dijelaskan

oleh variabel penjelas, dan (2) uji t pada masing-masing variabel penjelas

(Soekartawi et al. 1986).

Analisis dilakukan untuk keseluruhan data sampel petani di daerah yang

sudah dipilih di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Model penduga fungsi

produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama.

Adapun model fungsi produksi gambir di lokasi penelitian adalah sebagai

berikut:

7 5
ln Y  ln c0   d k ln X k   ei Di  u ....................(10)
k 1 i 1

dimana:

Y = Produksi gambir (kg)


c0 = Intersep
X1 = Tenaga kerja (HOK)
X2 = Luas lahan (ha)
X3 = Jumlah tanaman menghasilkan (pohon)
X4 = Umur rata-rata pohon (tahun)
X5 = Pengalaman bertani gambir (tahun)
X6 = Penggunaan pupuk Urea (kg)
X7 = Penggunaan pestisida (liter)
D1 = Dummy lama pendidikan petani, dimana:
1 = SLTP ke atas (> 6 tahun)
0 = SD (≤ 6 tahun)
D2 = Dummy frekwensi panen, dimana:
1 = Panen 3 kali setahun dan 0 = Panen < 3 kali setahun
58

D3 = Dummy jenis gambir yang diproduksi, dimana:


1 = Gambir campur
0 = Gambir murni
D4 = Dummy cara budidaya, dimana:
1 = Monokultur
0 = Tumpang sari
D5 = Dummy bibit unggul, dimana:
1 = Menggunakan bibit unggul (varietas udang)
0 = Campuran semua bibit (udang, riau dan cubadak)
u = Galat atau error term
dk , e i = Parameter yang diduga

Tanda parameter dugaan yang diharapkan adalah:

d1, d2, d3, d4, d5, d6, d7, e1, e2, e3, e4, e5 > 0

Penilaian apakah fungsi produksi ini dapat dipertanggungjawabkan

dimana terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan

dengan variabel yang menjelaskan atau tidak terjadi kesalahan spesifikasi

adalah dengan melakukan pengujian model secara keseluruhan dengan

menggunakan statistik uji F.

Uji F adalah pengujian serentak terhadap variabel independen apakah

secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman produksi gambir sebagai

variabel dependennya, dengan hipotesis:

H0 : α0 = α1 = ... αi = 0
(Tidak ada X yang berpengaruh terhadap Y atau model tidak dapat
menjelaskan keragaman produksi gambir)

H1 : αi  0
(Minimal ada satu X yang berpengaruh nyata terhadap Y atau model
dapat menjelaskan keragaman produksi gambir)

Jika dalam pengujian model dengan uji F disimpulkan bahwa model

tersebut dapat menjelaskan keragaman produksi gambir (Y), maka

permasalahan selanjutnya adalah variabel apa yang berpengaruh nyata


59

terhadap Y. Pengujian menggunakan uji statistik t pada masing-masing

variabel independen, yaitu uji hipotesis yang berkaitan dengan masing-masing

koefisien model regresi untuk melihat faktor apa saja yang berpengaruh nyata

terhadap produksi gambir. Perumusan hipotesisnya adalah:

H0 : αi=0
(Variabel ke-i tidak berpengaruh terhadap Y atau produksi gambir)

H1 : αi0
(Variabel ke-i berpengaruh nyata terhadap Y atau produksi gambir)

Berdasarkan hipotesis tandingan (H1) yang dikemukakan di atas

mempunyai rumusan tidak sama (), maka pengujian hipotesis dilakukan

dengan menggunakan uji dua arah (two-tailed test), dimana luas daerah kritis

atau daerah penolakan H0 pada tiap ujung adalah 1/2 α. Nilai level signifikansi

yang digunakan atau derajat α adalah pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10

persen. Kriteria keputusan dilakukan dengan menggunakan angka probabilitas

(P_value atau sign.) yang diperoleh dari perhitungan komputer kemudian

dibandingkan dengan taraf nyata pengujian yang dilakukan, misalnya (α=5

persen). Jika probabilitas (sign.) lebih kecil dari taraf nyata (α=5 persen),

maka keputusannya adalah menolak H0 atau menerima hipotesis alternatif H1.

P_value atau significance yang dikeluarkan oleh software statistik tertentu

dapat juga diinterpretasikan sebagai peluang (resiko) kesalahan dalam

menyimpulkan H1 (Juanda, 2009).

Pengujian model dilanjutkan dengan uji asumsi Ordinary Least Squares

(OLS) untuk melihat apakah model yang ada sudah menghasilkan estimator

yang linier, tidak bias dengan varian yang minimum, atau model regresi sudah

memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) dan pengujian


60

ekonomi skala usaha. Data untuk analisis produksi adalah data cross section,

maka uji asumsi OLS pada model fungsi produksi komoditas gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota tersebut meliputi:

1. Uji kenormalan residual (nilai galat) untuk melihat apakah galat menyebar

normal (H0) atau tidak menyebar normal (H1). Galat atau error term

adalah selisih dari nilai Y aktual (Yt) dengan nilai Y ketika data X

dimasukkan ke dalam model (Ŷ). Harapannya adalah nilai E (Ŷ) = Y, atau

error kecil, yang berarti model yang ada mendekati kondisi sebenarnya.

2. Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah ragam atau varians

dari residual model, apakah ragamnya konstan (homoskedastisitas/H0) atau

model memiliki ragam tidak konstan (heteroskedastisitas/H1). Pengujian

bisa dilakukan dengan melihat grafik atau dengan meregresikan Y = [Ut]

atau residual. Harapannya adalah nilai yang didapatkan tidak signifikan

atau ragam sudah memenuhi asumsi homoskedastisitas.

3. Uji multikolinieritas untuk melihat apakah ada hubungan linier antara

variabel independen dalam satu model. Salah satu indikator yang bisa

digunakan untuk menilai multikolinieritas ini adalah dengan melihat nilai

Variance Inflation Factor (VIF) dari hasil pendugaan model. Jika nilai

VIF kecil dari sepuluh (VIF < 10) berarti tidak terjadi multikolinieritas

dalam model.

Pengujian skala usahatani diketahui dengan menjumlahkan koefisien

regresi dari variabel atau parameter elastisitasnya. Dengan mengikuti kaidah

Return to Scale (RTS) diketahui jika jumlah parameter elastisitasnya > 1 maka

terjadi increasing RTS, artinya proporsi penambahan faktor produksi akan


61

menghasilkan tambahan produksi gambir yang proporsinya lebih besar. Jika

jumlah parameter elastisitasnya = 1, terjadi constant RTS artinya dalam

keadaan demikian, penambahan faktor produksi akan proporsional dengan

penambahan produksi gambir yang diperoleh. Jika jumlah parameter

elastisitasnya < 1, artinya terjadi decreasing RTS yang berarti proporsi

penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi gambir.

Perumusan hipotesisnya adalah:

H0 : α=1
(Model sudah memenuhi constant return to scale)

H1 : α1
(Model tidak memenuhi constant return to scale)

Jika F hitung < F tabel terima H0, dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa penggunaan faktor produksi berada pada tahap constant rate, artinya

penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi

gambir yang diperoleh. Berdasarkan hasil rangkaian pengujian di atas, setelah

itu baru dilakukan pendugaan parameter model fungsi produksi gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota.

Analisis fungsi produksi ini menggunakan data survei usahatani

sehingga untuk data pengamatan yang bernilai nol maka cara mengatasinya

adalah mengganti nilai variabel yang bernilai nol tersebut dengan bilangan

yang sangat kecil sehingga diharapkan tidak berpengaruh besar terhadap hasil

analisis (Soekartawi et al. 1986). Hal ini karena analisis menggunakan model

Cobb-Douglas yang telah diubah menjadi bentuk double log (ln) tidak

menghendaki faktor yang bernilai nol karena perhitungan tidak bisa dilakukan

(ln nol tidak ada).


62

Efisiensi adalah rasio yang mengukur keluaran atau produksi suatu

sistem atau proses untuk setiap unit masukan (Downey dan Erickson, 1992).

Efisiensi produksi dapat diartikan sebagai upaya penggunaan input atau faktor

produksi yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil produksi yang

sebesar-besarnya, sedangkan efisiensi alokatif akan tercapai apabila petani

mampu mengupayakan Nilai Produk Marjinal (NPM) untuk suatu input (X)

usahatani yang digunakan sama dengan harga input (Px) tersebut.

NPMx = Px atau NPMx/Px = 1 ...................................(11)

Kriterianya adalah: (1) jika NPMx/Px = 1 artinya pada tingkat harga yang

berlaku saat penelitian, penggunaan faktor produksi (input X) sudah berada

pada tingkat yang optimum atau sudah efisien, (2) NPMx/Px > 1 artinya

penggunaan faktor produksi masih belum efisien, untuk mencapai tingkat

optimum input X perlu ditambah, dan (3) NPMx/Px < 1 artinya penggunaan

faktor produksi tidak efisien atau sudah melebihi tingkat optimum, sehingga

untuk mencapai efisien input X harus dikurangi (Rahim dan Retno, 2007).

4.5.2. Analisis Pemasaran

Analisis pemasaran dilakukan secara deskriptif menggunakan berbagai

analisis data sederhana dengan menggunakan perhitungan, analisis tabulasi

dan pendugaan secara statistik dengan metode regresi. Data berasal dari

responden pedagang gambir dan hasil pengamatan selama berada di lokasi

penelitian. Khusus untuk analisis keterpaduan pasar digunakan data time

series yang diperoleh dari instansi terkait.


63

4.5.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

Analisis struktur pasar dan pemasaran gambir diidentifikasi dengan

pendekatan observasi selama pelaksanaan survei lapangan. Observasi adalah

pengumpulan data primer dengan cara pengamatan (Simamora, 2004). Untuk

menganalisis struktur pasar observasi dilakukan terhadap seluruh kegiatan dan

perilaku semua lembaga yang terlibat dalam rantai pemasaran gambir,

bagaimana saluran pemasaran yang terjadi, sistem transaksi yang dilakukan,

jumlah partisipan dan ukuran distribusinya (derajat konsentrasi), serta kondisi

relatif mudah atau sulit untuk keluar masuk pasar.

Metode yang dipilih untuk analisis struktur pasar adalah dengan melihat

pangsa pasar dari perkembangan penjualan masing-masing pembeli

(pedagang) dengan menghitung konsentrasi rasio empat pedagang terbesar

(CR4) sesuai yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002). Penghitungan

nilai CR4 dilakukan pada empat pedagang gambir terbesar di Kabupaten Lima

Puluh Kota, yang pengelompokannya didasarkan pada nilai output yang

dihasilkan oleh empat pedagang terbesar tersebut. Rasio konsentrasi diperoleh

dengan mengukur besarnya kontribusi output yang dihasilkan oleh empat

pedagang terbesar terhadap total volume gambir atau output yang dibeli oleh

pedagang selevel mereka untuk wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.

4
CR 4  S
i 1
ij ...............................................(12)

dimana Sij adalah pangsa pasar (market share) empat pedagang gambir yang

terbesar di Kabupaten Lima Puluh Kota. Market share (MSi) didapat dengan:

Si
MSi  x 100 ...............................................(13)
S total
64

dimana:

Si = Penjualan pedagang terbesar pertama, kedua, ketiga dan


keempat di Kabupaten Lima Puluh Kota (ton/tahun)

Stotal = Produksi gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota (ton/tahun)

Jika nilai CR4:

≤ 33 % : Competitive market structure


33 – 50 % : Weak oligopsony market structure
> 50 % : Strongly oligopsony market structure

Hambatan untuk masuk ke pasar dihitung dengan menggunakan

indikator Minimum Efficiency Scale (MES). Salah satu penyebab yang dapat

menjadi hambatan masuk pasar adalah keberadaan perusahaan terbesar yang

telah ada sebelumnya dalam sebuah industri. Hal ini dapat dilihat dari nilai

MES yang diperoleh dari persentase output perusahaan terbesar terhadap total

output industri. Tingginya MES dapat menjadi penghalang bagi pesaing baru

untuk memasuki pasar. MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan

hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri (Jaya, 2001).

Penjualan Pedagang Terbesar


MES  ...........(14)
Pr oduksi Gambir Kab. Lima Puluh Kota

Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk

memperoleh informasi mengenai perilaku partisipan di pasar, yang meliputi

analisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh partisipan

(pembeli) untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Analisis

ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya

kualitatif dan sulit dikuantitatifkan. Pengamatan untuk analisis perilaku

dilakukan terhadap praktek pembelian dan penjualan, praktek pembentukan

harga dan praktek lembaga terkait dalam menjalankan fungsi pemasaran.


65

Analisis keragaan atau kinerja pasar gambir menggunakan metode yang

sudah baku yang meliputi analisis margin pemasaran, farmer’s share,

elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar. Untuk menganalisis efisiensi

sistem pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota sekaligus

mengidentifikasi kendala-kendala pelaku pasar yang mempengaruhi kinerja

pasar gambir, hal yang harus dijelaskan sehubungan dengan analisis SCP

meliputi: (1) bagaimana sistem kelembagaan pemasaran gambir, seperti apa

koordinasi antarpartisipannya dan apakah perdagangan gambir dibentuk oleh

banyak unit pedagang kecil yang berkompetisi ataukah didominasi oleh sedikit

pedagang besar, (2) pendekatan apa yang digunakan pedagang dalam

pembelian, penjualan dan penentuan harga gambir, (3) apakah ada hambatan

untuk masuk pasar, apa saja faktor utama penghambat tersebut, (4) apakah ada

masalah dan kendala dalam transportasi, penyimpanan, kredit keuangan dan

informasi pasar, dan (5) bagaimana struktur, perilaku pasar serta kendala-

kendala dan permasalahan yang ada mempengaruhi kinerja pemasaran gambir.

(Dessalegn et al. 1998).

4.5.2.2. Margin Pemasaran

Margin pemasaran atau juga biasa disebut margin tataniaga adalah

perbedaan harga di tingkat petani produsen (harga beli) dengan harga ditingkat

konsumen akhir (harga jual). Margin tataniaga adalah harga dari semua nilai

guna (nilai tambah) dari aktivitas dan penanganan fungsi-fungsi pemasaran,

termasuk jasa-jasa pemasaran dari lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat

dalam rantai pemasaran suatu produk atau komoditas. Margin tataniaga


66

merupakan jumlah dari biaya-biaya dan keuntungan yang didapat oleh

lembaga pemasaran. Secara matematis besarnya margin tataniaga adalah:

Mi = Pri – Pfi ...........................................................(15)


Mi = Ci + πi ...........................................................(16)

dimana:

Mi = Margin pemasaran pada lembaga (saluran) pemasaran di tingkat


(pasar) i
Pri = Harga jual gambir di pasar i
Pfi = Harga beli gambir di pasar i
Ci = Biaya pemasaran di pasar i
πi = Keuntungan pemasar (lembaga) di pasar i

Dengan demikian total margin tataniaga (M) adalah:


n
M = i 1
Mi ...........................................................(17)

4.5.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani

Bagian harga konsumen yang diterima petani (farmer’s share atau FS)

dinyatakan dalam bentuk persentase, yang berguna untuk mengetahui porsi

harga yang dinikmati petani dari harga yang berlaku di tingkat eksportir.

Dihitung dengan menggunakan rumus:

FS = (Pf / Pe) x 100 % ...........................................................(18)

dimana:

Pf = Harga gambir di tingkat petani


Pe = Harga gambir di tingkat eksportir

Cara lain yang bisa digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

perubahan bagian harga yang diterima petani (Pf) akibat perubahan harga di
67

tingkat eksportir (Pe), maka variabel tersebut dapat difungsikan terhadap

perubahan harga di tingkat eksportir (Pe) yaitu:

Pf = a + b Pe + u2 ...............................................(19)

4.5.2.4. Keterpaduan Pasar

Keterpaduan pasar atau tingkat integrasi suatu pasar dapat dinilai dengan

menggunakan beberapa metode, diantaranya yaitu: (1) elastisitas transmisi

harga atau Et, dimana jika nilainya mendekati satu maka dikatakan pasar

semakin bersaing atau mendekati pasar persaingan sempurna, dimana

perubahan harga di tingkat pasar yang dinilai telah ditransmisikan mendekati

satu atau secara sempurna/Et=1, (2) metode autoregresive distributed lag,

yang dikembangkan oleh Ravallion dengan ukuran index of market

connection, dan (3) menggunakan analisis korelasi.

Analisis keterpaduan pasar dalam penelitian ini mengacu pada model

yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan menggunakan analisis korelasi

sebagai pembanding. Harga pasar setempat diidentifikasi sebagai harga

gambir yang dihasilkan oleh petani (Pf), sedangkan harga di pasar acuan

adalah harga gambir yang berlaku di tingkat eksportir (Pe), sehingga model

dapat ditulis sebagai berikut:

(Pft - Pft-1) = b1 (Pft-1 – Pet-1) + b2 (Pet – Pet-1) + b3 Pet-1 + u 4 .....(20)

dan dapat disusun kembali menjadi persamaan:

Pft = (1+b1) Pft-1 + b2 (Pet – Pet-1) + (b3-b1) Pet-1 + u 4 ......(21)

dimana:
Pft = Harga gambir di tingkat petani (waktu t)
Pft-1 = Harga gambir di tingkat petani (waktu t-1)
68

Pet = Harga gambir di tingkat eksportir (waktu t)


Pet-1 = Harga gambir di tingkat eksportir (waktu t-1)
u4 = Galat

Koefisien b2 pada Persamaan (21) menunjukkan seberapa jauh

perubahan harga di tingkat eksportir di transmisikan ke tingkat petani. Apabila

nilai parameter dugaan b2 bernilai 1 maka perubahan harga 1 persen pada

suatu tingkat pasar, akan mengakibatkan perubahan harga di tingkat pasar

yang lainnya dalam persentase yang sama. Oleh karena itu semakin dekat nilai

parameter b2 dengan 1 maka akan semakin baik keterpaduan pasar.

Sedangkan koefisien (1+b1) dan (b3-b1) masing-masing mencerminkan

seberapa jauh kontribusi relatif harga periode sebelumnya, baik ditingkat

petani maupun eksportir, terhadap tingkat harga yang berlaku sekarang di

tingkat petani. Rasio antara kedua koefisien tersebut (1+b1)/(b3-b1)

menunjukkan indeks hubungan pasar (Index of Market Connection atau IMC)

yang menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang

bersangkutan. Cara perhitungan IMC:

(1  b1 )
IMC = .......................................................................(22)
(b3  b1 )

Nilai IMC yang semakin mendekati nol menunjukkan adanya

keterpaduan pasar jangka panjang antara harga pasar di tingkat petani dengan

harga di tingkat eksportir.

Konsep pengukuran satuan dalam analisis ini adalah sebagai berikut:

1. Margin pemasaran dihitung berdasarkan perbedaan harga beli dengan

harga jual gambir (Rp/kg).

2. Tingkat harga beli dihitung dari harga rata-rata pembelian gambir (Rp/kg).
69

3. Tingkat harga jual dihitung berdasarkan harga rata-rata penjualan gambir

(Rp/kg).

4. Tingkat harga di petani adalah harga jual gambir yang diterima petani

yang dihitung dengan menggunakan harga rata-rata tertimbang (Rp/kg).

5. Tingkat harga di konsumen akhir adalah harga gambir di tingkat eksportir

(FOB).

6. Biaya pemasaran (tataniaga) adalah seluruh jenis biaya yang dikeluarkan

oleh lembaga pemasaran dalam kegiatan pemasaran gambir (Rp/kg).

7. Bentuk produk komoditas yang diperdagangkan berupa gambir yang sudah

dicetak dan dikeringkan (gambir kering).

4.6. Definisi Operasional

Beberapa definisi yang perlu dijelaskan sehubungan dengan analisis

produksi dan pemasaran gambir, adalah:

1. Petani gambir adalah petani yang membudidayakan tanaman gambir

minimal 135 pohon dengan umur rata-rata minimal 1.5 tahun.

2. Pedagang pengumpul adalah pedagang yang langsung membeli gambir

dari petani dan menjualnya kepada pedagang besar dan volume penjualan

rata-ratanya 100 kg/hari atau tidak lebih dari 1 ton per minggu.

3. Pedagang besar adalah pedagang gambir yang volume penjualan rata-rata

lebih dari 1 ton per minggu dan hanya melakukan penjualan untuk pasar

lokal atau untuk pasar dalam negeri saja.

4. Eksportir gambir adalah pedagang yang secara berkala (rutin) melakukan

penjualan gambir ke pasar luar negeri (ekspor).


70

5. Biaya faktor produksi merupakan masing-masing biaya faktor produksi

yang dikeluarkan selama setahun, berdasarkan pengeluaran riil yang

dihitung dalam rupiah.

6. Upah tenaga kerja adalah upah yang dihitung dalam satuan rupiah per hari

orang kerja (HOK).

7. Luas areal tanam gambir merupakan jumlah areal gambir yang dimiliki

petani dalam ukuran hektar (10 000 m2).

8. Produk atau output gambir merupakan hasil produksi gambir kering dalam

setahun yang dihitung dalam satuan kilogram.

4.7. Pengolahan Data

Pengolahan data untuk analisis produksi dengan model fungsi produksi

Cobb-Douglas dan keterpaduan pasar gambir dengan model autoregresive

distributed lag menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS). Data

diolah dengan menggunakan program SAS 9.1.


V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
DAN KERAGAAN USAHATANI GAMBIR

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Lima Puluh Kota


5.1.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim

Kabupaten Lima Puluh Kota secara geografis terletak antara 0o 25’ 28.71”

Lintang Utara dan 0o 22’ 14.52” Lintang Selatan serta 100o 15’ 44.10” - 100o 50’

47.80” Bujur Timur dengan luas 3 354.30 km2 atau 7.93 persen dari wilayah

Sumatera Barat. Kabupaten ini terletak di bagian tengah Pulau Sumatera yang

berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman di sebelah

barat, Kabupaten Tanah Datar dan Sijunjung di selatan, di sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar Provinsi Riau

dan di sebelah timur dengan Kabupaten Kampar Provinsi Riau.

Topografi daerah yang dilalui gugusan pegunungan bukit barisan dan

memiliki tiga buah gunung ini adalah berbukit atau cenderung bergelombang

dengan ketinggian rata-rata 110 - 791 m dpl. Curah hujan per tahunnya 3 120.80

mm atau ada 209 hari hujan per tahun (BPS, 2008a).

Gambir sudah dibudidayakan secara tradisional di daerah ini secara turun-

temurun dan sangat sesuai dengan iklim dan topografi daerah Lima Puluh Kota.

Tanaman ini merupakan tanaman spesifik lokasi, dapat tumbuh dan berkembang

baik pada kondisi lahan dengan jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah

kecoklatan, tipe iklim B2 menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, ketinggian

sekitar 500 m dpl dan rata-rata curah hujan sekitar 3 000 - 3 353 mm per tahun

(Tinambunan, 2007).
72

5.1.2. Wilayah dan Penduduk

Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari 13 kecamatan dimana ada 76 nagari

dan 384 jorong dengan 8 kecamatan diantaranya adalah daerah sentra penghasil

gambir. Sensus Penduduk terakhir (SP tahun 2000) menginformasikan jumlah

penduduk kabupaten ini sebanyak 297 256 jiwa, tahun 2006 dan 2007 berturut-

turut diperkirakan 330 536 jiwa dan 331 674 jiwa yang terdiri dari 86 009

rumahtangga, 163 450 jiwa penduduk laki-laki dan 168 224 perempuan.

Sensus Pertanian terakhir (ST tahun 2003) yang dilakukan BPS memberikan

informasi hasil survei rumahtangga usaha perkebunan, terdapat 41 982 laki-laki

dan 46 729 perempuan yang berusaha di sektor pertanian atau 26.75 persen jika

dibandingkan dengan jumlah penduduk Lima Puluh Kota tahun 2007. Sebanyak

20 586 diantaranya bekerja di subsektor perkebunan atau 6.21 persen dari jumlah

penduduk tahun 2007, dengan jumlah petani gambir 9 056 rumahtangga atau 44

persen dari jumlah petani yang bekerja di subsektor perkebunan.

Tabel 1. Perbandingan Luas Semua Kecamatan dan Jumlah Nagari di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009
Jumlah
No. Kecamatan Luas Area (km2)
Nagari
1. Payakumbuh 99.47 7
2. Akabiluru 94.26 6
3. Luhak 61.68 4
4. Lareh Sago Halaban 394.85 8
5. Situjuah Limo Nagari 74.18 5
6. Harau 416.80 11
7. Guguak 106.20 5
8. Mungka 83.76 4
9. Suliki 136.94 5
10. Bukit Barisan 244.20 5
11. Gunuang Omeh 156.54 3
12. Kapur IX 723.36 7
13. Pangkalan Kotobaru 712.06 6
Sumber: BPS, 2007a
73

Kecamatan sentra produksi gambir tersebar di delapan dari 13 kecamatan

yang ada. Hanya lima kecamatan yang bukan merupakan sentra produksi gambir

di kabupaten ini yaitu: Akabiluru, Luak, Situjuah Lima Nagari, Suliki dan

Gunuang Omeh. Tiga kecamatan yang dijadikan sampel adalah Kecamatan Lareh

Sago Halaban, Harau dan Kapur IX dengan jumlah nagari masing-masingnya

secara berurutan 8, 11 dan 7 nagari.

5.1.3. Penggunaan Lahan dan Perkembangan Pertanian

Luas lahan yang telah dimanfaatkan untuk budidaya di Kabupaten Lima

Puluh Kota mencapai 1 607.43 km2 atau 47.92 persen dari luas wilayah dan

kawasan lindung seluas 1 746.87 km2 atau 52.08 persen dari luas wilayah.

Perincian penggunaan lahan adalah sebanyak 28 735 ha sebagai tegalan/kebun, 3

885 ha untuk ladang, 20 205 ha ditanami tanaman perkebunan, 56 781 ha pohon

hutan rakyat, 1 104 ha untuk kolam atau empang dan 2 726 ha padang

pengembalaan atau padang rumput.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Beberapa Komoditas Tanaman Perkebunan di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 - 2007
(ton)
No. Komoditas 2004 2005 2006 2007
1. Aren (enau) 852.00 246.00 494.00 685.40
2. Cengkeh 16.35 17.40 15.15 20.30
3. Gambir 7 643.00 8 166.40 9 682.50 10 073.50
4. Kakao 544.80 579.00 246.00 608.50
5. Karet 13 134.60 13 800.00 5 723.00 7 208.75
6. Kulit Manis 4 434.80 4 836.20 713.00 962.15
7. Kelapa 9 122.50 2 622.50 2 609.00 8 011.50
8. Kopi 664.60 742.00 694.00 1 078.80
9. Pinang 187.00 195.00 178.60 536.00
10. Teh 166.80 46.80 - -
11. Tebu 34.00 24.00 - -
12. Tembakau 240.40 299.50 133.30 200.40
Sumber: BPS, 2008c
74

Sektor pertanian masih mempunyai peranan yang besar dalam struktur

perekonomian Kabupaten Lima Puluh Kota, sekitar 80.37 persen penduduk di

kabupaten ini bekerja di sektor pertanian berdasarkan data Sensus Pertanian 2003.

Produksi tanaman perkebunan yang paling banyak menghasilkan di Kabupaten

Lima Puluh Kota menurut data BPS adalah komoditas gambir, kelapa, karet, kopi,

kulit manis, aren, kakao, pinang, tembakau dan cengkeh.

Tabel 3. Perkembangan Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 - 2007
(%)
No. Sektor/Subsektor 2004 2005 2006 2007
1. Pertanian 34.94 34.86 34.79 34.58
 Tanaman Pangan 13.93 13.91 13.97 13.75
 Tanaman Perkebunan 8.84 9.19 9.05 9.22
 Peternakan dan Hasil 4.31 4.30 4.31 4.40
 Kehutanan 5.05 4.67 4.63 4.50
 Perikanan 2.81 2.80 2.84 2.72
2. Industri Pengolahan 10.25 9.86 9.91 10.09
3. Sektor Lainnya 54.81 55.28 55.30 55.33
Sumber: BPS, 2008c

Berdasarkan distribusi persentase PDRB atas harga berlaku, kontribusi

sektor pertanian pada tahun 2007 sebesar 34.58 persen dan subsektor tanaman

perkebunan menyumbangkan 9.22 persen, naik dari tahun sebelumnya yang hanya

sebesar 9.05 persen. Subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi terbesar

pada distribusi PDRB sektor pertanian yaitu sebesar 13.75 persen.

5.1.4. Potensi Pengembangan Gambir

Pengembangan tanaman gambir di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten

Lima Puluh Kota masih sangat prospektif. Adanya tren meningkat dari permintaan

gambir baik di dalam negeri maupun untuk ekspor menunjukkan kecenderungan


75

adanya peningkatan pemakaian gambir. Hal ini hendaknya mampu diimbangi

dengan kinerja produksi yang baik oleh petani gambir untuk mendapatkan hasil

produksi yang maksimal.

Komoditas gambir sudah tercatat resmi dalam statistik perdagangan luar

negeri Sumatera Barat. Berdasarkan klasifikasi tarif Indonesia tahun 1989 tentang

pengelompokan jenis barang ekspor impor, gambir sudah dikode menurut

Harmonized System (HS) yang merupakan perluasan dari Custom Cooperation

Council Nomenclatur (CCCN) dan Standard International Trade Classification

(SITC) Revisi ketiga. Kode HS gambir sebagai komoditas perdagangan dunia

adalah: 3201.90.100, dengan nama dagang gambier atau gambier extract. Potensi

untuk mengekspor gambir terbuka luas terutama ke negara-negara Asia Baratdaya

seperti India, Pakistan dan Bangladesh (BPS, 2008d).

Tabel 4. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produksi Gambir di Semua


Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2007
No. Kecamatan Luas Lahan (ha) Produksi (ton)
1. Payakumbuh 534 396.80
2. Akabiluru - -
3. Luak - -
4. Lareh Sago Halaban 499 315.00
5. Situjuah Limo Nagari - -
6. Harau 444 395.20
7. Guguak 35 25.50
8. Mungka 523 421.60
9. Suliki - -
10. Bukik Barisan 2 621 1 688.80
11. Gunuang Omeh - -
12. Kapur IX 5 599 4 301.85
13. Pangkalan Kotobaru 3 674 2 528.75
Jumlah 13 929 10 073.50
Sumber : BPS, 2008a

Perkebunan gambir rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota tersebar di

delapan kecamatan atau diproduksi hampir merata diseluruh wilayah kabupaten


76

ini, dengan daerah sentra produksi di Kecamatan Kapur IX, Pangkalan Kotobaru,

Bukik Barisan, Mungka, Payakumbuh, Harau, Lareh Sago Halaban dan Guguak.

5.2. Keragaan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


5.2.1. Karakteristik Responden

Jumlah petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 96 orang

dari 9 056 populasi berdasarkan data sensus pertanian terakhir (BPS, 2003) atau

sebesar 1.06 persen populasi. Tabel berikut ini memberikan informasi deskripsi

statistik karakteristik responden petani di lokasi penelitian.

Tabel 5. Karakteristik Responden Petani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


Tahun 2009
No. Simpangan
Karakteristik Responden Kisaran Rata-Rata
Baku
1. Umur (tahun) 24 – 71 46.38 12.19
2. Lama Pendidikan (tahun) 0 – 16 7.92 3.14
3. Pengalaman berusahatani
gambir (tahun) 2 – 54 14.58 11.54
4. Jumlah anggota keluarga (jiwa) 0–5 2.88 1.30
5. Pekerjaan utama (persen)
a. Petani (on farm) - 91.67 -
b. Lainnya - 8.33 -
6. Jarak rumah ke lahan (km) 0 – 10 1.58 1.35
7. Rata-rata kepemilikan lahan (ha) 0.25 – 12 1.41 0.98

Pendidikan responden 44.79 persen sekolah hanya sampai tingkat dasar dan

sisanya 55.21 persen sudah menamatkan SD dan melanjutkan ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi. Umumnya responden memiliki pekerjaan lain selain

berusahatani untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan mengusahakan

komoditas pertanian lain selain gambir. Sebanyak 79.17 persen responden bekerja

sampingan sebagai buruh tani dengan menerima upah harian atau dari sektor jasa
77

lainnya, sebanyak 12.5 persen berdagang dan sisanya memiliki usaha pertanian

tambahan seperti di subsektor tanaman pangan, peternakan dan perikanan air

tawar. Rata-rata pengalaman responden dalam berusahatani gambir adalah 14

tahun lebih. Usia responden 77.08 persennya didominasi oleh usia produktif yang

berada pada kisaran 15 – 54 tahun. Sisanya sebesar 22.92 persen sudah tergolong

lanjut usia, berumur 55 tahun ke atas. Responden yang sudah berkeluarga dan

memiliki tanggungan rata-rata 3 orang, mencapai 98.96 persen. Status

kepemilikan lahan 97.92 persen lahan petani adalah lahan milik sendiri dan 2.08

persen sisanya adalah lahan tanah ulayat milik bersama kelompok tani, dengan

jarak rata-rata dari rumah ke ladang sejauh 1.5 km.

5.2.2. Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani Gambir

Gambir merupakan tanaman daerah tropis yang berbentuk seperti semak

perdu, dan dalam taksonomi termasuk famili Rubiaceae atau kopi-kopian. Gambir

adalah sejenis getah yang disedimentasikan dan kemudian dicetak dan

dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan

bernama sama (Uncaria gambir Roxb.). Hampir 95 persen produksi tanaman

gambir dibuat menjadi produk ini, yang dinamakan betel bite atau plan masala.

Bentuk cetakan biasanya silinder dalam ukuran kecil. Warnanya coklat kehitaman.

Bentuk lainnya adalah bubuk atau berbentuk seperti koin. Nama lainnya adalah

catechu, gutta gambir, catechu pallidum (pale catechu). Dalam perdagangan

antarnegara gambir dikenal dengan nama gambier.

Gambir mengandung tiga senyawa utama yaitu asam katecin (catechin),

asam kateku (catechu tanat) dan kuersetin (quercetine). Selain itu gambir juga
78

mengandung zat tamim, flouresin, lendir, lemak dan lilin. Saat ini penggunaan

gambir semakin berkembang karena digunakan dalam berbagai industri farmasi,

makanan, kosmetik, tekstil, perekat dan penyamak kulit. Di Indonesia gambir

pada umumnya digunakan pada saat menyirih dan sebagai ramuan obat

tradisional, salah satunya obat untuk sakit perut (Dhalimi, 2006). Berikut ini

gambaran keragaan penerapan teknologi pada usahatani gambir di Kabupaten

Lima Puluh Kota.

1. Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan yang dilakukan petani di daerah penelitian mayoritas

dengan cara manual dengan membawa kelompok tani untuk bergotong royong

yang dilakukan bergantian di lahan masing-masing anggota atau diupahkan ke

kelompok tani pekerja dengan sistem borongan. Pengolahan lahan dilakukan

bersamaan dengan pembibitan, persiapan lahan untuk penanaman di lapang

dilakukan hanya dengan cara membabat semak-semak atau pohon-pohon kecil,

dikumpulkan, setelah kering kemudian dibakar. Selain syarat tumbuh seperti yang

diuraikan di awal bab ini, tanaman gambir juga memiliki sifat yang toleran

terhadap tanah-tanah marginal dan berlereng, serta memiliki aspek konservasi

yang baik. Umumnya gambir ditanam di tanah berlereng di sekitar Gunung Sago

dan Bukit Barisan di Kecamatan Lareh Sago Halaban yang memiliki ketinggian

rata-rata 500 - 700 m dpl, Bukit Barisan di Kecamatan Harau dengan ketinggian

rata-rata juga 500 - 700 m dpl. Lahan di Bukit Barisan dan perbukitan serta

tegalan di Kecamatan Kapur IX dengan ketinggian rata-rata di atas 500 m dpl

(BPS, 2008b; 2008e; 2008f).


79

2. Pembibitan dan Penyemaian

Bibit yang digunakan petani di daerah penelitian umumnya bukan dari jenis

bibit yang unggul secara keseluruhan. Umumnya petani tidak mengetahui varietas

bibit unggul dan kesulitan untuk memurnikan pembibitan ketiga jenis varietas

yang ada. Hanya 3 persen petani yang menggunakan bibit unggul, sisanya

sebanyak 97 persen sampel menggunakan bibit campuran. Ada tiga jenis varietas

gambir yaitu varietas udang, riau dan cubadak. Menurut literatur, varietas udang

merupakan bibit jenis unggul karena memberikan hasil produksi yang lebih baik.

Petani umumnya menyiapkan bibit di kebun sendiri atau dibeli, karena ada

petani yang sudah melaksanakan pembibitan untuk tujuan komersial sebatas

memenuhi kebutuhan lingkungan sendiri. Gambir diperbanyak secara generatif

dengan biji dan vegetatif dengan cara mencangkok, stek dan layering, tetapi cara

yang umum dilakukan adalah dengan biji karena mempunyai tingkat keberhasilan

yang sangat tinggi mencapai 80 - 90 persen tergantung dari keadaan benih,

semakin lama benih disimpan maka tingkat keberhasilan makin rendah. Tanaman

gambir mempunyai biji yang sangat halus, biji diambil dari tanaman yang tidak

pernah dipangkas dan dipanen, dikeringanginkan kemudian disemai. Biji akan

tumbuh 15 hari setelah tanam dan setelah bibit berumur 2 bulan sudah bisa

dipindahkan ke lahan (Ermiati, 2004).

3. Penanaman

Penanaman dilakukan setelah lahan siap dan bibit sudah cukup umur.

Lubang tanam berukuran 30 x 30 x 30 cm atau dibuat lubang tanam dengan cara

ditugal. Bibit gambir ditanam di pertengahan lobang tugal dengan arah yang
80

berlawanan dengan sinar matahari. Jarak tanam bervariasi antara 2 x 2 m, 2 x 1.5

m, 2 x 1 m dan 1.5 x 1.5 m atau kombinasi lainnya. Tanaman yang mati disulam

jika petani mempunyai cadangan bibit dan pemeliharaan dilakukan intensif

sampai gambir berumur setahun.

Cara tanam yang dijalankan petani di daerah penelitian adalah sebanyak

41.35 persen petani menanam dengan sistem monokultur atau gambir saja dan

sisanya sebesar 58.65 persen menanam dengan sistem tumpang sari. Mayoritas

petani yang melakukan tumpang sari menanam gambir dengan karet, besarnya

mencapai 50 persen, hanya sebagian kecil petani menggabungkan dengan sawit,

mahoni, petai, kopi dan kakao.

4. Pemeliharaan

Sebanyak 60.90 persen petani melakukan pemupukan tambahan dengan

pupuk kimia, sisanya sebanyak 39.1 persen hanya menggunakan pupuk organik

yang berasal dari ampas/ketapang dari limbah pengolahan gambir. Pemberian

pupuk kimia biasanya hanya dilakukan sekali setahun, terutama pada pokok

tanaman yang kurang subur. Jenis pupuk konsentrat yang digunakan didominasi

oleh Urea dan sedikit sekali yang menambahkan dengan pupuk majemuk seperti

pupuk KCL, TSP dan SP18. Ada juga petani yang menggunakan pupuk ZA untuk

pengganti Urea. Tetapi untuk kebutuhan penelitian ini data yang disurvei terbatas

hanya pada petani yang menggunakan pupuk Urea saja.

Pengendalian hama dan penyakit dengan memakai pestisida dilakukan oleh

88.72 persen petani dan sisanya sama sekali tidak menggunakan pestisida.

Pemberian pestisida hanya dilakukan sekali dalam setahun, umumnya untuk


81

gulma berdaun sempit dengan menggunakan round-up atau merk lainnya.

Sebelum tanaman menghasilkan, penyiangan rata-rata dilakukan sebanyak 4 – 6

kali setahun, tetapi setelah tanaman menghasilkan umumnya dilakukan setiap

selesai panen, dua atau tiga kali setahun, tergantung frekwensi panen. Besar biaya

pemeliharaan rata-rata di lokasi penelitian mencapai 37.68 persen dari biaya total

per tahunnya.

5. Panen dan Pengolahan

Panen puncak didapatkan oleh petani saat gambir berumur 4 - 14 tahun,

sedangkan masa hidup tanaman gambir bisa mencapai lebih dari 70 tahun.

Produktif atau tidaknya tergantung pemeliharaan. Gambir biasa dipanen 2 kali

setahun, atau maksimalnya 3 kali dalam setahun, tergantung kondisi dan

karakteristik spesifik daerah dan iklim. Berturut-turut ada 36.09 persen petani dan

63.91 persen petani yang melakukan panen 3 kali dan 2 kali setahun.

Tanaman mulai dipanen setelah berumur 1.5 tahun dengan cara memotong

ranting bersama daunnya sepanjang lebih kurang 50 cm. Panen berupa daun dan

ranting kecil, dipotong dengan sabit atau tuai pada jarak 5 – 15 cm dari pangkal

cabang tanaman, dimaksudkan agar pertumbuhan tunas baru untuk dipanen

beberapa bulan berikutnya dapat tumbuh lebih baik. Kegiatan panen dan

pengolahan dilakukan secara berkesinambungan atau serentak, begitu daun

dipanen langsung diolah (dikampo) hari itu juga. Petani yang memiliki lahan 2

hektar atau lebih, biasanya bisa melakukan kegiatan pengolahan sepanjang tahun.

Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam usahatani gambir di lokasi penelitian

adalah pada proses pengolahan atau mencapai 57.58 persen dari biaya total atau
82

38.13 persen dari penjualan per hektar per tahunnya. Pengolahan daun menjadi

gambir disebut dengan istilah mangampo. Keseluruhan petani yang ada dalam

penelitian ini bekerjasama dengan tukang/anak kampo dalam pengolahan gambir

dengan sistem bagi hasil. Masing-masing pemilik lahan dan tenaga kerja sewa

atau anak kampo mendapatkan 50 persen dari hasil penjualan gambir.

Pengolahan dilakukan langsung di kampaan atau rumah kampo tempat

pengolahan gambir yang terletak di lahan yang umumnya jauh dari rumah petani.

Anak kampo biasanya terdiri dari 2 atau 3 orang. Petani masih menggunakan alat

pengolahan sederhana, berupa alat kempa yang dirakit sendiri dengan sistem

dongkrak.

Sebanyak 74.44 persen petani memiliki rumah pengolahan milik sendiri,

sedangkan 18.8 persen petani menyewa dan 6.76 persen sisanya memakai

kampaan milik kelompok. Bagi petani yang menyewa, sistem sewa kampaan

disesuaikan dengan kebiasaan penduduk nagari setempat, ada yang dibayar

dengan hasil panen yaitu 1 kg gambir kering per hari, sistem sewa cash dan ada

juga dengan sistem kekeluargaan.

Sebanyak 62.5 persen petani menghasilkan gambir campur dan 37.5 persen

petani memproduksi gambir murni. Gambir campur adalah gambir yang dalam

proses pengolahannya dicampur dengan material lain selain getah gambir seperti:

tanah lempung, ketapang/limbah rebusan daun gambir dan umumnya air limbah

rebusan gambir (kalincuang) digunakan berulang-ulang. Gambir jenis ini relatif

lebih berat dan berwarna hitam yang biasanya dijual ke pasar luar negeri (untuk

ekspor). Sedangkan gambir murni jauh lebih ringan dan berwarna kuning

kecoklatan. Gambir murni ini dikenal dengan banyak nama diantaranya gambir
83

kuning, halaban satu, halaban godang, tolang, lumpang. Jenis gambir ini

umumnya dipasarkan di dalam negeri untuk konsumsi langsung atau industri

tertentu, sebagiannya ada juga yang di ekspor. Perbandingan berat gambir murni

dengan gambir campur per karungnya berturut-turut 40 – 50 kg per karung dan 80

sampai 90 kg per karung.

Pengolahan gambir memiliki banyak titik kritis yang berpotensi mengurangi

kadar zat yang dikandung oleh gambir. Pengolahan yang tidak sempurna akan

membuat rendahnya kualitas gambir yang dihasilkan. Pengolahan yang dilakukan

oleh petani umumnya masih sangat tradisional. Secara rinci teknis pengolahan

gambir urutan prosesnya adalah sebagai berikut:

a. Perebusan Daun. Daun dan ranting hasil panen diikat, masing-masing

sekitar 3 – 4 kg per ikat, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang yang

memiliki semacam jala rajut dan direbus dengan air yang sudah dididihkan

terlebih dahulu. Untuk gambir murni per rajutnya dihasilkan 2 – 2.5 kg

gambir kering atau rata-rata 12 kg gambir per hari, sedangkan untuk gambir

campur mencapai 4 – 5 kg per rajut atau setara 16 – 25 kg gambir kering per

hari. Lama perebusan berkisar antara 1 – 1.5 jam. Selama proses perebusan

dilakukan pembalikan bahan agar matangnya rata.

b. Pengempaan/Pengepresan. Tahap ini dianggap sebagai tahap yang

terpenting, karena menentukan banyaknya hasil getah gambir. Proses

pengempaan membutuhkan waktu sekitar 1 jam.

c. Pengendapan. Getah gambir yang diperoleh dari proses pengepresan

diendapkan terlebih dahulu. Pengendapan memerlukan waktu sekitar 8 – 12


84

jam. Endapan yang diperoleh berbentuk kristal-kristal seperti pasta tetapi

lebih encer.

d. Penirisan. Getah dalam bentuk pasta encer disaring dengan kain, diikat dan

dipres lagi dengan alat pemberat supaya pasta menjadi lebih pekat, padat

dan dapat segera dicetak. Penirisan biasanya memakan waktu 10 – 20 jam,

tergantung pada banyaknya bahan yang ditiriskan.

e. Pencetakan. Setiap kilogram bahan baku gambir mampu dicetak dalam

waktu sekitar 25 sampai 30 menit per orang.

f. Pengeringan. Caranya dengan dijemur di panas matahari. Bila cuaca

mendung, dikeringkan di atas tungku perebusan daun (disalai). Manyalai

biasanya dilakukan jika petani akan segera menjual hasil panennya.

Pengeringan memerlukan waktu 2 – 3 hari tergantung cuaca.

6. Pemasaran dan Penjualan

Petani biasanya menjual hasil panen mereka sekali seminggu untuk

mendapatkan uang kas secepatnya guna menutupi pengeluaran. Setiap nagari di

lokasi penelitian memiliki budaya dan aturan sendiri dalam memasarkan gambir.

Sebanyak 42.71 persen petani menjual hasil panennya di rumah, 35.42 persen

menjual ke pasar yang sudah ditentukan dan ditetapkan oleh peraturan nagari,

19.79 persen menjual langsung di ladang ke pedagang pengumpul dan sisanya

2.08 persen menjual ke tempat lainnya. Hari pasar tradisional di daerah setempat

umumnya dijadikan sebagai hari patokan untuk menjual hasil panen oleh petani

dan pedagang.
85

5.2.3. Karakteristik Usahatani Gambir

Secara garis besar karakteristik usahatani yang dilakukan petani gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota rata-rata mempunyai luas 1.41 ha dengan jenis bibit

yang digunakan adalah campuran dari ketiga jenis varietas yang ada. Tabel 6

memberikan informasi bahwa luas lahan terendah perkebunan gambir di lokasi

penelitian yang dimiliki petani adalah seluas 0.25 ha dengan rata-rata umur

tanaman masih dalam usia produktif dan rata-rata populasi tanaman 4 569 pohon

per hektar. Keragaman petani dalam menggunakan pupuk kimia jenis Urea sangat

tinggi, nilai simpangan bakunya jauh lebih tinggi dari rata-rata. Salah satu

penyebabnya adalah hanya sedikit responden yang mengaplikasikan pupuk kimia

dalam budidaya gambir. Berikut ini gambaran karakteristik usahatani gambir di

lokasi penelitian.

Tabel 6. Karakteristik Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun


2009
Simpangan
No. Deskripsi Kisaran Rata-Rata
Baku
1. Kepemilikan lahan rata-rata (ha) 0.25 - 12 1.41 0.98
2. Umur tanaman gambir (tahun) 2 - 54 12.27 9.96
3. Populasi tanaman (pohon/ha) 500 - 28 000 4 569.55 3 270.92
4. Penggunaan pupuk Urea (kg) 0 - 250 30.08 37.27
5. Penggunaan pestisida (liter) 0 - 15 3.11 2.40
6. Tenaga kerja pemeliharaan (HOK) 10 - 320 102.14 78.31
7. Tenaga kerja pengolahan (HOK) 12 - 750 168.89 126.57

Kondisi perkebunan gambir yang tersebar di Kabupaten Lima Puluh Kota

menunjukkan bahwa usahatani gambir, teknik budidaya dan pengolahan

pascapanen yang dilakukan petani masih bersifat tradisional. Seluruh perkebunan

gambir di wilayah ini merupakan perkebunan rakyat. Usahatani gambir yang

dilakukan di daerah ini merupakan warisan dari generasi sebelumnya dan hingga
86

kini usahatani gambir menjadi salah satu andalan untuk menopang hidup keluarga

petani.

Berdasarkan data, secara umum diketahui produksi rata-rata gambir di

daerah penelitian sebesar 1 053.38 kg per tahun. Untuk melihat keragaan produksi

gambir ini, data bisa dikelompokkan menurut karakteristik tertentu seperti yang

bisa dilihat di Tabel 7 dimana sampel awal telah diklasifikasikan lagi berdasarkan

variasi panen, jenis gambir yang diproduksi, cara tanam, klasifikasi luas lahan

serta berdasarkan umur tanaman.

Tabel 7. Keragaan Produksi Gambir Berdasarkan Perlakuan Sampel di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009
Produksi Gambir (kg)
No. Perlakuan Sampel Nilai Simpangan
N Rata-Rata
Mak – Min Baku
1. Awal 133 50 – 3 300 1 053.38 747.57
2. Panen 3 kali setahun 48 105 – 3 300 1 219.81 851.36
3. Panen < 3 kali setahun 85 50 – 3 000 959.39 669.25
4. Memproduksi gambir campur 87 105 – 3 000 1 108.85 683.32
5. Memproduksi gambir murni 46 50 – 3 300 959.52 859.01
6. Monokultur 55 200 – 3 300 1 203.45 728.79
7. Tumpang sari 78 50 – 3 000 947.55 747.08
8. Lahan sempit (0 – 0.5 ha) 13 100 – 600 323.85 192.72
9. Lahan sedang (0.51 – 1 ha) 65 50 – 2 400 838.89 545.72
10. Lahan luas (> 1 ha) 55 200 – 3 300 1 479.29 797.88
11. Umur tanaman 1.5 – 3 tahun 17 150 – 2 250 889.47 686.48
12. Umur tanaman 4 – 14 tahun 82 50 – 3 300 1 095.83 794.73
13. Umur tanaman > 14 tahun 34 240 – 3 000 1 032.94 661.76

Informasi keragaman produksi berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa

secara umum jumlah petani yang bisa melakukan panen tiga kali setahun 36.09

persen dan yang kurang dari tiga kali sebesar 63.91 persen. Ada 58.65 petani yang

menanam dengan cara tumpang sari dan umumnya petani luas lahan petani antara

0.5 – 1 hektar atau kurang dari itu, yaitu 58.65 persen, serta 74.44 persen umur
87

tanaman gambir yang dibudidayakan masih berada dalam rentang produktif atau

antara berumur kurang dari 14 tahun.

Tabel 8 berikut ini merupakan gambaran kelayakan usahatani gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan hasil penelitian Ermiati (2004) yang

digunakan sebagai pembanding produksi daun dan ranting muda pada beberapa

tingkatan umur per hektar per tahun mulai dari tahun awal penanaman.

Tabel 8. Kelayakan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota per Hektar
Produksi Present Value 15%
Gambir Harga
Tahun Kering Penerimaan Biaya Manfaat
(Rp)
Penerimaan Biaya Manfaat
(kg)
1 0 7 500 0 3 282 500 (3 282 500) 0 2 854 347 (2 854 347)
2 300 7 500 2 250 000 1 625 000 625 000 1 701 323 1 228 734 472 590
3 675 7 500 5 062 500 3 031 250 2 031 250 3 328 675 1 993 095 1 335 580
4 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 3 216 112 1 893 931 1 322 179
5 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 2 796 619 1 646 897 1 149 720
6 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 2 431 842 1 432 083 999 757
7 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 2 114 645 1 245 291 869 453
8 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 838 822 1 082 861 755 960
9 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 598 976 941 618 657 357
10 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 390 413 818 880 571 614
11 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 209 055 711 999 497 056
12 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 051 352 240 035 383 874
7 725 57 937 500 37 751 250 20 186 250 25 853 303 16 089 771 9 763 532

Sumber: Ermiati, 2004

Berdasarkan cash flow usahatani gambir di Tabel 8 di atas terlihat bahwa

usahatani gambir layak untuk diusahakan dan dikembangkan, dengan besar

manfaat yang diperoleh bernilai positif pada tingkat discount factor 15 persen.

Pengembalian investasi diperoleh setelah tahun ketiga dan tingkat produksi

cenderung stabil ditahun keempat setelah penanaman awal. Keterangan tersebut

sekaligus dipakai sebagai asumsi bagi analisis produksi usahatani gambir dalam

penelitian ini, dimana umur tanaman yang digunakan untuk menilai tingkat skala

produksi usahatani gambir adalah umur rata-rata dari umur tanaman keseluruhan

responden.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Analisis Produksi Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


6.1.1. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gambir

Produksi komoditas pertanian (on farm) merupakan tahapan awal yang akan

mempengaruhi proses selanjutnya hingga menghasilkan output, atau dapat juga

dinyatakan sebagai seperangkat prosedur dan kegiatan yang terjadi dalam

penciptaan komoditas berupa kegiatan usahatani maupun usaha lainnya seperti

penangkapan dan beternak (Rahim dan Retno, 2007). Proses produksi dalam

penelitian ini merupakan kegiatan budidaya gambir sebagai salah satu komoditas

tanaman perkebunan tahunan dengan menggunakan faktor-faktor produksi

(masukan atau input). Hubungan masukan dan produksi pertanian mengikuti

kaidah hasil yang berkurang (law of deminising return), dimana tiap tambahan

unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin

kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut.

Data yang dipakai untuk analisis adalah data cross section yang berasal dari

hasil survei terhadap usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota yang telah

ditentukan sebagai sampel penelitian. Penyelesaian lebih lanjut dari fungsi

produksi gambir dilakukan dengan cara regresi kuadrat terkecil dengan

menggunakan data produksi dan berbagai data masukan yang dikumpulkan dari

usahatani gambir di lokasi penelitian.

Langkah selanjutnya sebelum persamaan regresi dari fungsi produksi

gambir diduga, persamaan tersebut harus memenuhi spesifikasi. Spesifikasi model

dalam ekonometrika menyangkut tiga hal yaitu: (1) pemilihan variabel-variabel


89

independen yang tepat, (2) pemilihan bentuk fungsi yang tepat, dan (3) error term

yang bersifat stokastik (Sarwoko, 2005). Berikut ini penjelasan tentang cara

mengukur variabel atau masukan yang digunakan dalam analisis produksi

usahatani gambir dan definisi terhadap masing-masing variabel. Beberapa faktor

yang diduga mempengaruhi produksi gambir tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tenaga Kerja

Secara umum semakin banyak tenaga kerja yang dilibatkan dalam proses

produksi usahatani maka akan semakin besar jumlah yang diproduksi atau

dihasilkan. Untuk memudahkan penghitungan jumlah tenaga kerja yang benar-

benar dipakai dalam proses produksi, digolongkan dalam satuan unit kerja

Hari Orang Kerja (HOK), dimana satu HOK adalah setara dengan 7 jam

bekerja per hari. Nilai satu unit HOK dihitung dengan upah setara kerja pria.

2. Luas Lahan

Luas lahan pertanian yang digunakan untuk budidaya gambir merupakan

penentu yang mempengaruhi produksi gambir. Secara umum semakin luas

lahan yang digarap/ditanami, semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan

oleh lahan tersebut. Ukuran lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

hektar (1 ha = 10 000 m2) atau are. Responden penelitian ini ada yang

menggunakan standar ukuran tradisional yaitu patok (1 patok = 200 x 200 m

atau 400 m2), karenanya dilakukan proses transformasi ke satuan hektar.

Lahan yang diperhitungkan adalah lahan yang sudah menghasilkan.

3. Jumlah Tanaman

Jumlah pohon gambir yang dibudidayakan akan sangat mempengaruhi hasil

produksi, semakin banyak jumlah pohon maka akan semakin besar produksi.
90

Pendekatan yang digunakan dalam menentukan jumlah pohon adalah dengan

menanyakan jarak tanam untuk menghitung populasi tanaman gambir per

satuan lahan yang digarap. Pohon yang dihitung adalah dari lahan gambir

yang sudah menghasilkan.

4. Umur Tanaman

Umur tanaman merupakan unsur penting dalam pengusahaan tanaman

perkebunan tahunan seperti gambir, hal tersebut berkaitan dengan sifat

agronomis tanaman dimana suatu tanaman memiliki masa tertentu untuk

berproduksi optimal. Asumsinya adalah semakin berumur tanaman maka

semakin meningkat produksinya. Gambir mulai berproduksi/bisa dipanen

setelah berumur minimal 1.5 tahun, dengan masa hidup bisa lebih dari 70

tahun tergantung pada pemeliharaan. Produksi optimal adalah saat umur

tanaman 4 sampai 14 tahun.

5. Pengalaman Petani

Pengalaman petani dalam usahatani gambir akan menentukan hasil produksi

usahatani gambir. Asumsinya adalah semakin berpengalaman petani dalam

usahatani gambir maka akan semakin tinggi produksi usahataninya. Hal ini

menjadi lebih relevan daripada memasukkan variabel umur petani.

6. Penggunaan Pupuk Urea

Penggunaan pupuk kimia diasumsikan akan meningkatkan produksi gambir.

Jenis pupuk kimia yang umumnya diaplikasikan petani dan diukur untuk

penelitian ini adalah jenis Urea. Sebagian petani di lokasi penelitian hanya

menggunakan pupuk organik yang berasal dari ampas gambir yang sudah

dipres getahnya, pupuk kimia hanya dipakai pada kondisi tertentu saja karena
91

keterbatasan dana dan adanya anggapan dari petani kalau pemberian pupuk

kimia berlebihan akan menyebabkan tanaman gambir berkurang hasil

getahnya. Cara penghitungan pupuk Urea adalah dalam satuan fisik, bukan

nilainya.

7. Penggunaan Pestisida

Pestisida sangat dibutuhkan tanaman untuk menjaga serta membasmi hama

dan penyakit yang menyerangnya, sehingga asumsinya adalah petani yang

menggunakan pestisida secara tepat maka akan meningkatkan produksi

usahataninya. Penghitungan pemakaian yang digunakan responden dalam

penelitian ini adalah dalam satuan fisik.

8. Lama Pendidikan Petani

Lama pendidikan petani dikategorikan menjadi dua kelompok yang kemudian

dijadikan sebagai variabel dummy dalam model. Kelompok pertama adalah

petani berpendidikan SD dan tidak tamat SD (lama pendidikan ≤ 6 tahun) dan

kelompok kedua adalah petani yang berpendidikan SD ke atas (lama

pendidikan > 6 tahun). Asumsi dalam analisis bahwa pendidikan petani

berpengaruh positif terhadap hasil produksi usahatani gambir. Artinya tingkat

pendidikan petani yang lebih tinggi dari 6 tahun akan memberikan hasil

produksi usahatani yang lebih besar dan variabel dummy-nya diberi bobot 1

(satu), sedangkan yang tamat SD ke bawah dibobot 0 (nol) karena

diasumsikan memberikan hasil produksi usahatani yang lebih kecil.

9. Frekwensi Panen

Petani gambir yang menjadi responden di Kabupaten Lima Puluh Kota

umumnya melakukan panen kurang dari tiga kali setahun, walaupun ada yang
92

bisa panen tiga kali setahun dikarenakan karena faktor spesifik dari derah

tersebut memungkinkan petani memanen tanaman gambir tiga kali.

Asumsinya adalah petani yang panen tiga kali akan menghasilkan produksi

yang lebih tinggi yang dalam model dijadikan dummy dengan bobot 1 (satu).

Petani yang panen kurang dari tiga kali setahun dummy-nya dibobot 0 (nol).

10. Jenis Gambir

Ada dua jenis gambir kering yang dihasilakan petani yaitu gambir campur dan

gambir murni. Karena gambir campur relatif lebih berat dari yang murni,

maka label dummy-nya adalah 1 (satu) dan 0 (nol) untuk responden yang

memproduksi gambir murni.

11. Cara Tanam

Asumsinya adalah produksi gambir akan lebih tinggi jika petani menanam

dengan sistem monokultur (nilai dummy satu) dan relatif lebih rendah jika

petani menanam gambir dengan cara ditumpangsarikan dengan tanaman

lainnya (nilai dummy nol).

12. Bibit

Petani yang menanam dengan bibit unggul atau varietas udang produksinya

akan relatif lebih tinggikan jika dibandingkan dengan petani yang mencampur

menggunakan semua varietas bibit, yaitu udang, riau dan cubadak. Bobot

dummy bibit unggul 1 (satu). Petani yang menggunakan bibit campuran dari

ketiga bibit yang ada bobot dummy-nya adalah 0 (nol). Responden umumnya

mengetahui bahwa ada beberapa jenis bibit gambir, tetapi mereka belum dapat

membedakannya satu dengan yang lain dan belum mengetahui bibit mana

yang memberikan hasil yang relatif lebih baik.


93

6.1.2. Pengujian Fungsi Produksi Gambir

Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati

keadaan yang sebenarnya, mudah diukur atau dihitung secara statistik serta dapat

dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun

fungsi produksi tersebut (Soekartawi et al, 1986). Model yang digunakan dalam

analisis produksi gambir adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Persamaan fungsi

produksi tersebut dalam banyak pengalaman menghasilkan hasil analisis yang

lebih baik karena fungsi produksi usahatani umumnya mencakup lebih dari dua

masukan dan masing-masing faktor atau masukan tersebut saling berhubungan.

Model produksi Cobb-Douglas yang terbentuk adalah seperti pada

Persamaan (2) Bab III, dimana terdapat tujuh variabel independen dan lima

variabel dummy yang diduga mempengaruhi produksi gambir yaitu: tenaga kerja

(X1), luas lahan (X2), jumlah pohon gambir (X3), umur tanaman gambir (X4),

pengalaman bertani gambir (X5), penggunaan pupuk kimia (X6), penggunaan

pestisida (X7), dummy lama pendidikan petani (D1), dummy frekwensi panen (D2),

dummy jenis gambir yang diproduksi (D3), dummy cara tanam (D4) dan terakhir

dummy bibit (D5).

Model ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural (ln) atau bentuk

double-log, untuk menaksir parameter-parameternya, sehingga menjadi bentuk

linier berganda seperti pada Persamaan (10) Bab IV. Model kemudian dianalisis

dengan analisis regresi berganda menggunakan metode OLS (Ordinary Least

Square). Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SAS 9.1. Pengujian

parameter dilakukan pada taraf nyata pengujian 99 persen (α = 1 persen), taraf

nyata 95 persen (α = 5 persen) dan taraf nyata 90 persen (α = 10 persen).


94

Berdasarkan pengujian secara statistik dengan uji-F terlihat bahwa model

sudah sesuai, dengan P_value atau significance mendekati nol. Nilai P (0.0001) <

α 1 persen, artinya tolak Ho dimana minimal ada satu variabel independen yang

berpengaruh nyata terhadap Y pada taraf nyata pengujian 99 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa model yang dibentuk sudah baik, terjadi hubungan yang

logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan.

Hasil analisis regresi berganda dengan metode OLS terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota diperoleh nilai

koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu 0.937. Nilai koefisien tersebut

berarti 94 persen keragaman dari produksi gambir (Y) dapat dijelaskan oleh

faktor-faktor produksi (X) dalam model, sedangkan 6 persen sisanya dijelaskan

oleh faktor lain di luar model. Nilai R2 – Adjusted sebesar 93.13 persen.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengujian model dengan uji-F adalah bahwa

model yang dibuat dapat menjelaskan keragaman produksi gambir.

Pengujian statistik dilanjutkan dengan uji-t pada masing-masing variabel

independen, untuk menguji faktor apa saja yang dapat menjelaskan atau

berpengaruh nyata terhadap produksi gambir. Hasil pendugaan model fungsi

produksi gambir seperti pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa secara statistik ada

delapan variabel yang mempengaruhi produksi gambir secara signifikan. Variabel

bebas tersebut lima diantaranya yaitu: tenaga kerja (X1), luas lahan (X2), umur

tanaman gambir (X4), dummy frekwensi panen (D2) dan dummy cara tanam (D4),

berpengaruh sangat signifikan pada keragaman produksi gambir pada taraf nyata

pengujian α = 1 persen. Dua variabel berpengaruh nyata pada taraf pengujian α =

5 persen pada keragaman produksi gambir, yaitu: jumlah pohon gambir (X3) dan
95

penggunaan pestisida (X7). Variabel pengalaman bertani gambir (X5) berpengaruh

nyata pada taraf pengujian α = 10 persen pada keragaman produksi gambir.

Variabel independen lainnya tidak berpengaruh nyata pada produksi gambir.

Penggunaan pupuk kimia (X6) hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi

ditoleransi pada tingkat α = 15 persen, dummy jenis gambir yang diproduksi (D3)

hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi ditoleransi pada tingkat α = 35 persen.

Sedangkan dummy lama pendidikan petani (D1) dan terakhir dummy bibit (D5),

tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata pada keragaman produksi gambir.

Pengujian model dilanjutkan dengan uji asumsi OLS dan didapatkan bahwa

model yang ada sudah menghasilkan estimator yang linier, tidak bias, dengan

varian yang minimum. Berdasarkan hasil pengujian yang ditampilkan pada

Lampiran 2, terlihat bahwa tidak ada permasalahan multikolinieritas dan

heteroskedastisitas dalam model. Model regresi sudah memenuhi asumsi BLUE

(Best Linear Unbiased Estimator).

Pengujian model kemudian dilanjutkan untuk melihat skala usaha produksi

gambir apakah model sudah memenuhi Constant Return to Scale (CRS), dimana

hipotesis H0 adalah model sudah memenuhi CRS (H0:  αi = 1). Hasilnya terlihat

bahwa nilai F hitung < F tabel dengan nilai P (0,6013) > α 5 persen. Artinya

model sudah memenuhi kaidah constant return to scale. Dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa penggunaan faktor produksi berada pada tahap constant rate,

artinya penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan

produksi gambir yang diperoleh. Bisa juga dikatakan bahwa model fungsi

produksi gambir yang diduga telah memenuhi asumsi awal bahwa produksi
96

gambir secara rata-rata berdasarkan data survei berada pada tahapan rational

region saat penelitian dilakukan.

Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa model fungsi produksi

gambir perkebunan rakyat di Lima Puluh Kota dengan faktor-faktor produksi

yang mempengaruhinya dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terjadi kesalahan

spesifikasi. Model dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi

keragaman produksi gambir di Lima Puluh Kota. Berikut ini hasil analisis

pendugaan parameter model fungsi produksi gambir di Lima Puluh Kota.

Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi Komoditas Gambir


Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009

Parameter P_value
Variabel Bebas
Dugaan (Significance)
Intersep atau Konstanta 2.178976 0.0001
Tenaga Kerja (X1) 0.984008 0.0001 ***
Luas Lahan (X2) -0.24430 0.0002 ***
Jumlah Pohon Gambir (X3) 0.139619 0.0399 **
Umur Tanaman Gambir (X4) 0.119963 0.0076 ***
Pengalaman Bertani Gambir (X5) -0.09065 0.0605 *
Penggunaan Pupuk Urea (X6) 0.020102 0.1375
Penggunaan Pestisida (X7) 0.096378 0.0227 **
Dummy Lama Pendidikan Petani (D1) 0.009477 0.8295
Dummy Frekwensi Panen (D2) 0.192806 0.0005 ***
Dummy Jenis Gambir yang Diproduksi (D3) 0.050393 0.3312
Dummy Cara Tanam (D4) 0.193012 0.0001 ***
Dummy Bibit (D5) -0.05349 0.6617
F – Hitung 150.12 0.0001 ***
Koefisien Determinasi (R2) 0.93755
2
R – Adjusted 0.93130
Jumlah Sampel 133
Keterangan: *** : Signifikan pada α 1 persen
** : Signifikan pada α 5 persen
* : Signifikan pada α 10 persen

Nilai parameter dugaan juga merupakan nilai elastisitas produksi yang

menunjukkan perubahan produksi akibat adanya perubahan pada input. Hasil


97

pendugaan model fungsi produksi gambir memperlihatkan bahwa variabel tenaga

kerja (X1) berpengaruh sangat signifikan pada keragaman produksi gambir pada

taraf nyata pengujian α 1 persen dengan nilai parameter dugaan 0.98. Artinya

bahwa setiap penambahan tenaga kerja sebesar 1 persen, produksi gambir akan

naik sebesar 0.98 persen, cateris paribus, atau dengan asumsi yang sama, 98

persen produksi gambir dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja yang digunakan.

Alokasi terbesar dalam usahatani gambir, adalah di kegiatan pengolahan dan

pemeliharaan yaitu 38.13 persen dan 23.06 persen dari penerimaan per hektarnya

karena tenaga kerja digunakan disetiap tahapan produksi. Seluruh responden yang

disurvei mempekerjakan 2 - 3 orang tenaga kerja dari luar keluarga untuk kegiatan

pengolahan gambir, dengan sistem pembayaran bagi hasil. Hal tersebut

dikarenakan terbatasnya tenaga kerja dalam keluarga yang bisa dipekerjakan

untuk kedua kegiatan tersebut. Rata-rata responden sudah berumur 46 tahun

dengan rata-rata tanggungan per rumahtangga sebanyak 3 orang. Responden juga

mengusahakan lebih dari satu komoditas pertanian sehingga untuk tenaga kerja di

perkebunan gambir diupahkan pada orang di luar keluarga dengan kemampuan

yang sudah bisa terpercaya dalam melakukan kegiatan pengolahan gambir yang

membutuhkan keahlian khusus dalam pelaksanaannya. Penggunaan tenaga kerja

juga terkait erat dengan jumlah produksi, semakin tinggi produksi maka jumlah

hari kerja tenaga kerja akan ikut menyesuaikan.

Luas lahan (X2) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan nilai parameter

dugaan adalah -0.24. Tanda koefisien arah regresinya negatif. Hal ini bertentangan

dengan dengan asumsi awal atau teori produksi dimana seharusnya nilai

parameter dugaannya bernilai positif karena pertambahan luas lahan berarti terjadi
98

pertambahan populasi tanaman, sehingga produksi akan bertambah seiring dengan

bertambahnya jumlah tanaman. Penyebab hal ini adalah karena dalam budidaya

tanaman perkebunan tahunan, selain luas lahan, ada banyak faktor lain yang

mempengaruhi produksi gambir yang terkait secara tidak langsung dengan luas

lahan seperti: jumlah pohon yang ditanam, pemeliharaan yang dilakukan, cara

tanam dan umur tanaman. Populasi atau jumlah pohon yang ada dalam lahan juga

dipengaruhi oleh jarak tanam. Jumlah pohon gambir yang sudah berproduksi yang

ada di lahan juga dimunculkan sebagai salah satu variabel bebas.

Jumlah pohon gambir (X3) berpengaruh nyata pada α 5 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.14. Artinya setiap penambahan pohon yang sudah

menghasilkan sebanyak 1 persen maka produksi gambir akan meningkat 0.14

persen, cateris paribus. Jumlah pohon secara tidak langsung juga dipengaruhi

oleh cara tanam yang dilakukan petani, apakah dengan cara monokultur atau

tumpang sari. Rata-rata populasi pohon per hektar di lokasi penelitian adalah

sebesar 4 569.55 pohon dengan simpangan baku 3 270.92 atau tingkat variasi

sampel relatif bervariasi.

Umur tanaman gambir (X4) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.12. Artinya setiap 1 persen peningkatan pada umur tanaman

yang sudah menghasilkan, secara individu (parsial) akan berpengaruh nyata

terhadap produksi gambir yang akan meningkat sebesar 0.12 persen. Umur

produktif tanaman gambir bisa di atas 70 tahun tergantung pada pemeliharaan,

dengan produksi puncak diperoleh saat tanaman berumur 3–14 tahun.

Berdasarkan karakteristik usahatani diketahui umur rata-rata tanaman gambir dari

sampel adalah 12.27 tahun atau masih berada dalam masa produksi optimal.
99

Pengalaman bertani gambir (X5) berpengaruh nyata pada α 10 persen

dengan nilai parameter dugaan -0.09. Tanda koefisien arah regresi yang negatif

bertentangan dengan dengan asumsi awal dimana seharusnya nilai parameter

dugaannya bernilai positif. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh faktor sosial

ekonomi lainnya selain pengalaman petani, yang juga akan berpengaruh pada

tingkat produksi gambir baik secara langsung maupun tidak seperti: usia petani,

lama pendidikan dan teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan gambir.

Dari hasil survei ditemukan bahwa semua responden petani dalam kegiatan

pemeliharaan umumnya menggunakan tenaga kerja luar keluarga dan untuk

pengolahan bahkan semua responden menyewa tenaga kerja dengan kerjasama

bagi hasil, sehingga petani yang tidak berpengalaman pun relatif bisa melakukan

usahatani gambir karena bisa mengupahkan pekerjaannya. Rata-rata usia petani di

lokasi penelitian adalah 46.38 tahun atau sudah tidak muda lagi untuk melakukan

kegiatan pengolahan dengan pendidikan rata-rata hanya 7 tahun atau tamat SD,

maka secara tidak langsung hal ini menyebabkan pengalaman tidak terlalu

berpengaruh pada usahatani gambir.

Penggunaan pupuk Urea (X6) berpengaruh pada α 15 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.02. Artinya 75 persen pemupukan yang dilakukan petani

secara parsial berpengaruh pada produksi tetapi nilai pengaruhnya sangat kecil

yaitu 0.02 persen. Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, hanya 54.17

persen petani yang melakukan pemupukan Urea dan jumlah pupuk yang

digunakan pun relatif sedikit. Pemberian pupuk Urea yang dilakukan petani rata-

rata hanya 30.08 kg per petani atau 21.34 kg per hektarnya. Variasi responden

juga sangat tinggi dengan standar deviasi 37.27 jauh lebih tinggi dari rata-rata
100

30.08. Artinya data yang ada sangat beragam atau sangat tinggi variasinya.

Umumnya petani di lokasi penelitian hanya menggunakan pupuk organik yang

berasal dari ampas gambir yang sudah dipres getahnya. Pupuk Urea dipakai pada

kondisi tertentu saja dan hanya diaplikasikan sekali per tahun. Hal ini terjadi

karena keterbatasan dana petani untuk membeli pupuk dan adanya anggapan dari

sebagian petani bahwa pupuk kimia dalam jangka panjang akan membuat

produksi turun, walaupun jumlah daun bertambah dengan adanya pupuk kimia,

tetapi getah yang dihasilkan daun tanaman yang dipupuk menggunakan Urea

menjadi jauh berkurang. Selain itu faktor jarak lahan dari pemukiman yang rata-

ratanya mencapai 1.5 km, infrastruktur jalan yang kurang memadai, lokasi sentra

produksi yang berada dilahan pegunungan juga menyebabkan sulit bagi petani

untuk melakukan pemupukan dengan pupuk kimia (Urea). Semua petani juga

mengusahakan lebih dari satu komoditas pertanian sehingga pengalokasian dana

untuk membeli pupuk kimia lebih diprioritaskan pada komoditas yang dianggap

lebih menguntungkan.

Penggunaan pestisida (X7) berpengaruh nyata pada α 5 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.09. Artinya secara parsial penggunaan pestisida sebanyak 1

persen dalam pemeliharaan akan meningkatkan produksi sebesar 0.09 persen.

Petani umumnya hanya sekali pertahun menggunakan pestisida dalam

pemeliharaan, jumlah yang digunakan pun sedikit, rata-rata 3.11 liter per petani

atau 2.2 liter per hektarnya dengan standar deviasi 2.4. Jenis pestisida yang

digunakan adalah herbisida untuk gulma berdaun sempit seperti rumput, semak

dan alang-alang. Hal ini dikarenakan tanaman gambir relatif tidak memiliki

penyakit dan hama tertentu dalam pembudidayaannya. Jika pemakaian berlebihan


101

juga akan berakibat tidak baik pada tanaman gambir. Petani lebih banyak

menggunakan tenaga kerja untuk melakukan penyiangan dalam pemeliharaan,

dari pada menggunakan herbisida.

Dummy yang dipakai dalam model adalah dummy intersep dimana

pengaruhnya tidak langsung kepada produksi gambir (Y), tetapi pengaruhnya

adalah pada nilai intersep atau nilai konstanta dari model fungsi produksi.

Dummy lama pendidikan petani (D1), tidak berpengaruh nyata dengan nilai

P-value (0.83). Hal ini dikarenakan rata-rata pendidikan petani hanya 7.92 atau

sampai kelas dua SMP. Hal ini berarti tidak ada perbedaan hasil produksi gambir

yang nyata antara kelompok petani yang berpendidikan SMP ke atas dengan

petani yang berpendidikan hanya sampai SD atau tidak tamat SD.

Dummy frekwensi panen (D2) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan

nilai parameter dugaan 0.19. Hal tersebut berarti terdapat perbedaan hasil

produksi yang nyata antara kelompok petani yang bisa panen tiga kali per tahun

dengan petani yang panen kurang dari tiga kali setahun. Artinya jumlah produksi

petani yang panen tiga kali relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan petani

lainnya. Tetapi jumlah petani yang bisa panen tiga kali setahun disebabkan

pengaruh spesifik dari daerah tersebut seperti jenis tanah, kondisi alam dan iklim.

Faktor tersebut tidak dimasukkan sebagai variabel ke dalam model.

Hanya ada dua daerah sentra produksi, dari delapan sentra produksi yang

ada di Lima Puluh Kota yang sebagian besar petaninya bisa panen tiga kali

setahun. Walaupun tidak seluruh populasi petani gambir yang ada di kecamatan

tersebut. Keduanya adalah Kecamatan Kapur IX yang merupakan kecamatan

sampel dan Kecamatan Pangkalan Kotobaru yang bukan merupakan kecamatan


102

sampel. Petani yang panen tiga kali pertahun mencapai 36.1 persen dari seluruh

responden dan sisanya panen kurang dari tiga kali setahun.

Dummy jenis gambir yang diproduksi (D3) berpengaruh pada α 35 persen

dengan nilai parameter dugaan 0.05. Berarti ada perbedaan jumlah produksi antara

petani yang memproduksi gambir campur dengan petani yang memproduksi

gambir murni. Petani yang menghasilkan gambir campur relatif lebih banyak

memperoleh hasil produksi. Sebanyak 65.41 persen petani memproduksi gambir

campur.

Dummy cara tanam (D4) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.19. Hal ini semakin membuktikan bahwa jumlah pohon yang

telah menghasilkan, berpengaruh signifikan pada hasil produksi gambir. Terbukti

bahwa kelompok petani yang menanam dengan cara monokultur jumlah

produksinya relatif lebih banyak dari petani yang menanam dengan cara tumpang

sari. Ada 41.35 persen petani yang menanam dengan cara monokultur dan 58.65

persen menanam dengan cara tumpang sari. Tumpang sari terbanyak dilakukan

dengan tanaman karet yaitu sebanyak 50 persen, dengan sawit, kakao dan kopi

masing-masing 1 persen. Sebanyak 2 persen petani menumpangsarikan gambir

dengan tanaman lainnya seperti petai, mahoni dan dengan pinang.

Dummy bibit (D5) tidak berpengaruh secara nyata pada produksi gambir.

Berarti tidak ada perbedaan jumlah produksi antara kelompok petani yang murni

menggunakan bibit unggul, dengan kelompok petani yang menggunakan

campuran semua varietas bibit yang ada. Hal ini disebabkan karena petani sulit

mendapatkan bibit dari jenis unggul untuk dibudidayakan. Umumnya petani tidak

memperhatikan apakah bibit yang mereka gunakan dari jenis unggul atau tidak.
103

Hal ini karena petani kesulitan untuk memurnikan pembibitan dari ketiga jenis

varietas yang ada dan belum ada sosialisasi mengenai hal ini dari instansi terkait

kepada petani. Petani biasanya menyiapkan bibit di kebun sendiri atau dibeli ke

petani yang sudah melaksanakan pembibitan untuk tujuan komersial sebatas

memenuhi kebutuhan lingkungan sendiri. Dari data yang diperoleh hanya 3 persen

sampel petani yang memakai bibit unggul jenis udang, 97 persen petani

membudidayakan bibit campuran/semua jenis bibit. Petani gambir pada umumnya

tidak memperhatikan jenis bibit yang mereka gunakan dalam membudidayakan

gambir.

6.1.3. Analisis Efisiensi Alokatif Produksi Gambir

Persoalan yang dihadapi dalam usahatani pada umumnya adalah bagaimana

mengalokasikan secara tepat sumberdaya atau faktor produksi yang terbatas agar

dapat memaksimumkan pendapatan (Mubyarto, 1989). Analisis efisiensi alokatif

bertujuan untuk mengetahui rasionalitas petani dalam melakukan kegiatan

usahatani dengan tujuan untuk mencapai keuntungan maksimal. Keuntungan

maksimal akan tercapai jika semua faktor produksi sudah dialokasikan secara

optimal (Nicholson, 2002). Berkaitan dengan masalah efisiensi ini maka ada satu

pendekatan yang dapat mengukur efisiensi ini yaitu pendekatan produk marginal.

Uji efisiensi alokasi penggunaan sarana produksi ini secara matematis ditulis

seperti Persamaan (11) di Bab IV dimana: NPMxi = Pxi atau NPMxi / Pxi = 1.

Tabel 10 menjelaskan tingkat efisiensi alokatif penggunaan faktor produksi

tenaga kerja, luas lahan, pupuk kimia (Urea) dan pestisida. Hasilnya terlihat

bahwa nilai produk marginal (NPMx) tidak sama dengan (Px) atau harga inputnya.
104

Tabel 10. Tingkat Efisiensi Alokatif Penggunaan Faktor Produksi pada Usahatani
Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009

Jenis Rata-Rata
PMx NPMx Px NPMx/Px
Input Input Output
Tenaga
271.03 1 053.38 3.82 96 481.01 60 000 1.61
Kerja
Luas
1.41 1 053.38 -182.51 -4 604 304.79 2 500 000 -1.84
Lahan
Pupuk
30.08 1 053.38 0.70 17 757.34 2 200 8.07
Urea
Pestisida 3.11 1 053.38 32.64 823 542.93 80 000 10.29

Input tenaga kerja, pupuk Urea dan pestisida NPMx/Px > 1, artinya

penggunaan ketiga input tersebut belum efisien. Pemakaian ketiga input tersebut

masih bisa ditingkatkan atau ditambah penggunaannya untuk mencapai efisien,

terutama pemakaian pupuk dan pestisida yang jumlah pengalokasiannya relatif

masih sangat sedikit dengan rasio jauh lebih besar dari satu. Hal ini antara lain

disebabkan oleh:

1. Petani tidak memiliki insentif yang cukup dari hasil penjualan gambir yang

bisa digunakan untuk mengaplikasikan secara optimal pengalokasian

penggunaan pupuk dan pestisida dalam berusahatani. Pemberian kedua input

ini hanya dilakukan sekali setahun atau pada saat petani mendapatkan harga

jual yang relatif baik. Hal ini disebabkan karena fluktuasi harga gambir di

tingkat petani sangat tinggi sehingga tidak ada kepastian dalam berusahatani.

2. Kurangnya sosialisasi dan kegiatan penyuluhan oleh dinas terkait kepada

petani gambir terkait topik pemupukan dan pemberantasan hama penyakit

dalam usahatani gambir. Dari hasil survei diketahui hanya 10 persen petani

yang pernah mendapatkan penyuluhan terkait usahatani gambir, itupun


105

dengan tema penyuluhan yang tidak terkait langsung dengan kegiatan

pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit pada usahatani gambir.

3. Daerah sentra produksi gambir umumnya jauh dari pemukiman. Lokasi lahan

perkebunan gambir rata-rata berjarak 1.5 km dari rumah petani dan berada

pada lahan-lahan marginal di perbukitan dan pegunungan bukit barisan

dengan sarana jalan yang tidak memadai bagi alat transportasi. Jalan menuju

lahan umumnya jalan setapak. Hal ini menyebabkan harga pupuk dan

pestisida ditingkat petani menjadi relatif mahal dan petani kesulitan dalam

penggunaan sarana transportasi menuju lahan.

4. Umumnya petani memiliki komoditas pertanian lainnya yang diusahakan

dalam waktu bersamaan, dimana 92 persen petani di lokasi penelitian juga

mengusahakan komoditas lainnya selain gambir, baik dari jenis komoditas

tanaman pangan seperti padi, maupun komoditas tanaman perkebunan

lainnya seperti karet, sawit, kopi dan kakao. Sehingga pengalokasian

sumberdaya seperti pupuk dan pestisida lebih diprioritaskan pada komoditas

utama ini yang relatif lebih banyak menyumbangkan pendapatan pada petani

secara keseluruhan.

Sedangkan hasil uji efisiensi terhadap lahan NPMx/Px < 1, artinya

pemanfaatan lahan sudah tidak efisien lagi. Hal ini tidak berarti petani harus

mengurangi penggunaan lahan untuk mencapai efisiensi. Lahan yang sudah ada

sekarang masih bisa dioptimalkan penggarapannya, tetapi penambahan luas lahan

untuk meningkatkan hasil produksi gambir juga sudah sangat tidak efisien lagi.

Pendekatan intensifikasi usahatani yang perlu dilakukan petani, dengan

memperhatikan jenis bibit yang digunakan, jarak tanam yang mempengaruhi


106

populasi tanaman yang menghasilkan, pengaplikasian pupuk anorganik dan

pengendalian hama yang optimal, serta cara tanam yang dipilih, akan lebih

berpengaruh dari pada pendekatan ekstensifikasi atau menambah luas lahan

garapan untuk meningkatkan produksi gambir.

6.2 Analisis Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


6.2.1. Struktur Pasar Gambir

Struktur pasar di daerah penelitian diidentifikasi dengan melihat empat

indikator utama yaitu: (1) jumlah partisipan dan derajat konsentrasi pasar, (2)

barrier to entry atau kondisi keluar masuk pasar, (3) kondisi dan keadaan produk,

dan (4) lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir. Langsung

dilanjutkan dengan analisis efisiensi operasional saluran pemasaran. Efisiensi

operasional adalah ukuran biaya minimum untuk menggerakkan komoditas dari

produsen ke konsumen yang dinilai dari margin pemasaran dan farmer’s share.

6.2.1.1. Jumlah Partisipan dan Derajat Konsentrasi Pasar

Metode yang dipilih untuk analisis struktur pasar adalah dengan melihat

pangsa pasar dari perkembangan penjualan masing-masing pedagang dengan

menghitung konsentrasi rasio empat pedagang terbesar (CR4). CR4 adalah

metode yang paling sesuai untuk merepresentasikan konsentrasi pasar food

industry, seperti yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002). Salah satu

indikator untuk menilai konsentrasi pasar adalah dengan cara membandingkan

antara jumlah petani sebagai produsen dengan jumlah pedagang yang terlibat

dalam memasarkan komoditas tersebut. Berikut ini perbandingan jumlah

partisipan pada pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.


107

Tabel 11. Perbandingan Jumlah Partisipan Pasar Gambir di Kabupaten Lima


Puluh Kota Tahun 2009
Kecamatan Populasi Petani1) Perkiraan Jumlah Pedagang
L.S. Halaban 115 5
Harau 942 10
Kapur IX 3 250 34
Lainnya 4 749 50
Jumlah 9 056 99
Keterangan: 1) BPS, 2003

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa perbandingan jumlah pedagang dengan

petani sebagai produsen gambir sangat tidak seimbang. Sampel pedagang hasil

survei terdiri dari 11 sampel pedagang pengumpul, 6 sampel pedagang besar, 2

eksportir yang berada di Kabupaten Lima Puluh Kota dan 1 ketua asosiasi

pedagang gambir sekaligus juga merupakan eksportir gambir yang berada di Kota

Padang (Ibukota Provinsi Sumatera Barat). Berikut ini gambaran klasifikasi dan

market share pedagang gambir di lokasi penelitian.

Tabel 12. Klasifikasi dan Market Share Sampel Pedagang Gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota Tahun 2009

Perkiraan Market Share Sampel Pedagang


Lembaga Pemasaran
Populasi Terendah Tertinggi
Pedagang Pengumpul 40 - 70 0.06 0.516
Pedagang Besar 15 - 20 1.787 8.934
Eksportir 2 15.486 17.869

Berdasarkan informasi dari Tabel 11 dan 12, terlihat bahwa jumlah petani

sebagai produsen dengan jumlah pedagang pengumpul sebagai pembeli, dapat

dikatakan bahwa struktur pasar gambir yang terbentuk adalah pasar oligopsoni

dari sisi pembeli. Hal ini dikarenakan jumlah petani jauh lebih banyak jika

dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul. Akibatnya petani cenderung


108

menjadi pihak penerima harga (price taker) sesuai dengan harga yang telah

ditetapkan oleh pedagang pengumpul, daya tawar petani dalam menentukan harga

relatif rendah.

Perbandingan antar jumlah pedagang pengumpul dengan pedagang besar

bila dilihat lagi di level pasar berikutnya juga berbanding jauh sehingga juga

cenderung mengarah pada pasar oligopsoni. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya

jumlah pedagang besar yang ada di suatu wilayah. Umumnya pedagang besar

yang ada di lokasi penelitian, memiliki daerah operasional yang tidak hanya

terbatas di daerah domisilinya saja, tetapi juga masuk ke daerah atau kecamatan

sentra produksi lainnya baik secara langsung dengan armada sendiri, maupun

melalui perantara pedagang pengumpul yang telah dimodali. Hambatan pasar

yang besar juga berpengaruh terhadap kondisi ini seperti yang akan dijelaskan di

sub bab berikutnya. Akibat situasi ini pedagang pengumpul juga cenderung

menjadi pihak penerima harga (price taker) sesuai dengan harga yang telah

ditetapkan oleh pedagang besar yang berada di atasnya.

Sedangkan pada tingkat eksportir struktur pasar yang terbentuk juga

mengarah pada oligopsoni atau lebih dekat ke monopsoni dari sudut pembeli,

dimana daya tawar pedagang besar relatif kecil. Eksportirlah yang bertindak

sebagai penentu harga dalam pemasaran gambir. Berdasarkan uraian di atas

terlihat bahwa pasar gambir di lokasi penelitian berada dalam struktur pasar

persaingan tidak sempurna.

Nilai CR4 digunakan untuk membuktikan kesimpulan di atas. Penghitungan

nilai CR4 dilakukan pada empat pedagang gambir terbesar di Kabupaten Lima

Puluh Kota, yang pengelompokannya didasarkan pada nilai output yang


109

dihasilkan oleh empat pedagang terbesar tersebut. Rasio konsentrasi yang

diperoleh adalah sebesar 49.516 persen atau berdasarkan indikator yang

dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002), struktur pasar gambir di wilayah

Kabupaten Lima Puluh Kota berada dalam kondisi weak oligopsony market

structure.

6.2.1.2. Hambatan Keluar Masuk Pasar

Kontrol dan intervensi pemerintah daerah dan pusat dalam perdagangan

gambir dalam bentuk peraturan yang membatasi ataupun mengatur mekanisme

perdagangan gambir secara spesifik tidak ada. Hambatan keluar masuk pasar

dalam pemasaran gambir sangat dipengaruhi oleh besarnya modal yang dimiliki

oleh lembaga pemasaran yang terlibat, misalnya untuk akses pada fasilitas

penyimpanan/gudang dan transportasi, serta yang tidak kalah pentingnya adanya

hubungan kepercayaan di antara para pelaku pasar. Umumnya lembaga pemasaran

yang terlibat dalam proses pemasaran gambir di lokasi penelitian memiliki

pengalaman yang cukup lama (lebih dari 10 tahun), memiliki modal yang besar

dan bankable, memiliki hubungan kepercayaan yang baik dengan lembaga

pemasaran lainnya sehingga memiliki akses informasi yang baik.

Faktor-faktor yang diuraikan di atas akan menyulitkan pelaku pasar yang

masih baru, terutama untuk pemasaran gambir ke luar negeri. Hal tersebut

dikarenakan adanya persyaratan tertentu terutama menyangkut standarisasi yang

dibutuhkan baik terhadap kualitas, kuantitas dan kontiniutas dari komoditas

gambir yang akan di ekspor. Hambatan masuk pasar bisa juga diartikan sebagai

segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau


110

kecepatan masuknya pesaing baru. Masuknya perusahaan baru akan menimbulkan

sejumlah implikasi bagi perusahaan yang sudah ada, misalnya kapasitas yang

menjadi bertambah, terjadinya perebutan pasar (market share) serta perebutan

sumberdaya produksi yang terbatas. Kondisi ini menimbulkan ancaman bagi

perusahaan yang sudah ada (Firdaus et al, 2008).

Salah satu yang dapat menjadi hambatan masuk pasar adalah keberadaan

perusahaan terbesar yang telah ada sebelumnya dalam sebuah industri. Hal ini

dapat dilihat dari nilai Minimum Efficiency Scale (MES). Hasil perhitungan

terhadap nilai MES di lokasi penelitian adalah sebesar 17.869 persen. Artinya ada

indikasi bahwa hambatan untuk masuk ke pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh

Kota relatif besar karena nilai MES > 10. Tidak mudah bagi pendatang baru untuk

masuk ke dalam pasar. Pendatang baru disamping harus memiliki modal yang

sangat besar untuk melakoni transaksi jual beli gambir, untuk membeli peralatan,

mengupah buruh, mempekerjakan karyawan, memiliki armada untuk pembelian

dan penjualan, perizinan dan gudang serta lokasi penjemuran yang memadai, ia

juga harus memiliki jaringan yang kuat dengan partisipan pasar lainnya.

6.2.1.3. Kondisi dan Keadaan Produk

Produk gambir yang diperdagangkan relatif beragam atau terdiferensiasi

karena belum ada standarisasi yang baku di tingkat petani. Hal ini terutama

disebabkan oleh perbedaan dalam proses pengolahan disamping bibit yang

digunakan petani dalam membudidayakan gambir juga belum seragam. Akibatnya

manipulasi kualitas sering terjadi baik atas kesadaran petani sendiri maupun atas

anjuran pedagang pengumpul.


111

Getah gambir kering yang diperdagangkan secara umum terbagi atas dua,

yaitu gambir murni dan gambir campur. Gambir campur adalah gambir yang

dalam proses pengolahannya dicampur dengan material lain selain getah gambir

seperti tepung tanah lempung, ketapang/limbah rebusan daun gambir dimana air

limbah rebusan gambir (kalincuang) digunakan berulang-ulang. Gambir jenis ini

relatif lebih berat dan berwarna hitam yang biasanya dijual ke pasar luar negeri

(untuk ekspor). Sedangkan gambir murni jauh lebih ringan dan berwarna kuning

kecoklatan. Gambir murni biasanya untuk konsumsi pasar dalam negeri dan

banyak dijual ke pedagang besar terutama ke Jawa.

Proses standarisasi dan grading hanya dilakukan di tingkat pedagang

berdasarkan jenis gambir dan tingkat kekeringan/kadar air gambir. Selain itu tidak

ada proses penambahan nilai pada gambir yang diperdagangkan baik untuk

gambir yang akan di ekspor maupun untuk konsumsi pasar domestik.

6.2.1.4. Lembaga Pemasaran

Pemasaran komoditas pertanian dimulai pada saat petani merencanakan

produknya untuk memenuhi permintaan pasar. Gambir sebagai salah satu

komoditas perkebunan tahunan melalui sejumlah perlakuan agar dapat di

konsumsi oleh konsumennya.

Proses pengolahan dari daun dan ranting muda tanaman gambir menjadi

produk gambir kering dilakukan sejalan dengan saat panen. Sebelum dipasarkan

gambir harus melalui terlebih proses pengolahan terlebih dahulu di ladang petani

yang tersebar dan relatif jauh dari lokasi pemukiman. Jauhnya jarak antara pusat

produksi dengan konsumen gambir serta lokasi ladang yang umumnya terpencar
112

dan berjauhan membutuhkan peran serta lembaga pemasaran dalam

pemasarannya.

Lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir di lokasi

penelitian adalah: petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir.

Berdasarkan data penelitian terlihat bahwa terdapat empat saluran pemasaran yang

digunakan petani di lokasi penelitian dalam memasarkan gambir, seperti yang

terlihat pada Gambar 7 yaitu:

1. Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran yang digunakan petani dengan

melibatkan pedagang pengumpul (57.29 persen), pedagang besar, kemudian

ke pedagang yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

2. Saluran pemasaran II adalah saluran pemasaran yang digunakan petani dengan

melibatkan pedagang pengumpul (57.29 persen), pedagang besar, kemudian

ke eksportir lokal yang berada di Provinsi Sumatera Barat (25 persen).

3. Saluran pemasaran III adalah saluran pemasaran yang digunakan petani

dengan langsung melibatkan pedagang besar (42.71 persen), kemudian ke

pedagang yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

4. Saluran pemasaran IV adalah saluran pemasaran yang digunakan petani

dengan melibatkan pedagang besar (42.71 persen), kemudian ke eksportir

lokal yang berada di Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

Kecenderungan saluran pemasaran yang digunakan petani di lokasi

penelitian adalah salah satunya dipengaruhi oleh jenis gambir yang diproduksi

oleh petani. Saluran I dan II digunakan oleh petani jika di daerah tempatnya

berdomisili tidak terdapat pedagang besar dikarenakan: (1) keadaan atau kondisi

spesifik daerah yang terisolir dibandingkan daerah sentra produksi lain dan
113

letaknya tersebar, (2) keadaan infrastruktur yang tidak memungkinkan armada

pedagang besar menjangkau daerah ini dikarenakan tingginya biaya transportasi

untuk mengumpulkan hasil panen dari lokasi yang terpisah-pisah, dan (3) telah

ada kerjasama antara pedagang pengumpul di daerah tersebut dengan pedagang

besar yang berada di daerah lainnya.

Gambar 7. Saluran Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun


2009

Petani yang memproduksi gambir murni lebih cenderung memakai saluran

pemasaran I atau III dalam pemasarannya, dimana sebagian besar gambir murni

ini dipasarkan untuk konsumsi dalam negeri. Sebaliknya gambir campuran

umumnya di ekspor untuk konsumen luar negeri dan menggunakan semua saluran

pemasaran yang ada (I, II, III dan IV) dalam pemasarannya.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa mayoritas petani menggunakan

saluran pemasaran I dalam memasarkan hasil panennya, yang melibatkan

pedagang pengumpul (57.29 persen), pedagang besar, kemudian ke pedagang

yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat (75 persen). Artinya tidak banyak
114

petani yang memiliki akses untuk menjual hasil produksinya langsung kepada

pedagang besar, apalagi ke pasar konsumen yang jaraknya sangat jauh dari sentra

produksi. Faktor yang menjadi pertimbangan utama bagi petani dalam memilih

saluran pemasaran yang akan digunakan adalah: (1) jauhnya jarak antara pusat

produksi dengan konsumen gambir yang membuat mahalnya biaya transportasi,

(2) sedangkan jumlah produksi yang dihasilkan petani relatif kecil, serta (3)

kondisi geografis wilayah dimana lokasi ladang yang umumnya terpencar dan

relatif jauh dari lokasi pemukiman, ditambah dengan sarana jalan ke lahan yang

hanya berupa jalan setapak. Faktor di atas membuat pilihan petani menjadi

terbatas dalam memasarkan gambir, sehingga peran pedagang pengumpul sebagai

perantara menjadi sangat dibutuhkan. Hasil analisis ini semakin memperjelas

keterkaitan antara struktur pasar dengan perilaku dan keragaan pasar gambir di

Lima Puluh Kota.

Eksportir lokal yang berada di Provinsi Sumatera Barat melakukan ekspor

dari pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang dengan jarak rata-rata dari sentra

produksi yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota lebih dari 200 km. Sedangkan

gambir yang dijual ke pedagang yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat

umumnya di pasarkan ke Belawan, Sumatera Utara dan Pulau Jawa, yaitu ke

Jakarta, Semarang, Magelang, Salatiga, Yogya dan Surabaya.

Saluran pemasaran III dan IV memang lebih pendek jika dibandingkan

dengan saluran I dan II. Tetapi berdasarkan survei yang dilakukan di lokasi

penelitian terhadap harga yang diterima petani relatif tidak jauh berbeda antara

menjual langsung ke pedagang besar ataupun lewat pedagang pengumpul. Hal ini

menggambarkan bahwa terjadi kolusi antara pedagang pengumpul dengan


115

pedagang besar dalam menetapkan harga gambir ke petani karena sebagian besar

dari pedagang pengumpul merupakan armada dari pedagang besar yang sudah

terikat perjanjian dan sudah dimodali untuk melakukan pembelian gambir ke

petani. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa tidak ada harga terbaik bagi

petani dalam kondisi pasar tidak bersaing sempurna atau oligopsoni, seperti yang

terjadi pada pasar gambir di Lima Puluh Kota.

Selain hal di atas juga terdapat perbedaan pengetahuan yang cukup besar

antara petani dengan eksportir gambir sehubungan dengan informasi mengenai

nilai pasar sebenarnya dari gambir. Tingkat pengetahuan petani cenderung

terbatas dan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan pedagang. Harga biasanya

ditentukan oleh pedagang pada saat penimbangan akan dilakukan. Petani hanya

menerima harga yang ditawarkan oleh pedagang. Hal yang bisa dilakukan oleh

petani jika tidak menyetujui penawaran harga satu pedagang adalah membatalkan

transaksi, sama sekali tidak menjual, atau menjual ke pedagang lain walaupun

perbedaan harga tidak ada atau hanya berbeda sedikit.

Petani mau menyerahkan produknya melalui berbagai saluran yang ada

dikarenakan alternatif yang lebih baik belum tersedia. Persoalan sebenarnya

adalah pilihan petani menjadi sangat terbatas karena faktor alami seperti sebaran

geografis dan situasi serta kondisi spesifik dari daerah setempat yang tidak

memungkinkan petani memilih saluran pemasaran yang memberikan hasil

penjualan yang lebih baik. Ulasan mengenai saluran pemasaran berdasarkan

Gambar 7 di atas belum cukup untuk mendapatkan gambaran efisiensi pemasaran

dari setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam memasarkan gambir, karena

belum dapat menceritakan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh masing-masing


116

lembaga yang terlibat dalam proses transaksi, serta kompensasi dan konsekwensi

seperti apa yang diperoleh masing-masingnya dari melakukan fungsi pemasaran

tersebut.

Metode yang digunakan untuk melihat apakah saluran pemasaran yang ada

sudah efisien dan adil dalam pendistribusiannya, maka analisis perlu dilengkapi

dengan informasi fungsi-fungsi pemasaran apa saja yang dilakukan oleh setiap

partisipan dalam memasarkan gambir untuk masing-masing saluran pemasaran

yang ada (Tabel 13) serta margin pemasaran yang diperoleh masing-masing

lembaga (Tabel 14), karena ketiganya terkait erat.

Tabel 13. Fungsi-Fungsi yang Dilakukan Lembaga Pemasaran Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009
Fungsi-Fungsi Pemasaran
Pertukaran Fisik Fasilitas
Saluran dan
Jual

Beli

Pengolahan

Pengemasan

Penyimpanan

Transportasi

Grading
Sortasi /

Resiko

Pembiayaan

Pasar
Informasi
Lembaga
Pemasaran

Saluran I
Petani v - v v - v - v - -
PP v v - - v v - v v v
PB v v - v v v v v v v
PLP* v v - v v v v v v v
Saluran II
Petani v - v v - v - v - -
PP v v - - v v - v v v
PB v v - v v v v v v v
XL** v v - v v v v v v v
Saluran III
Petani v - v v - v - v - -
PB v v - v v v v v v v
PLP v v - v v v v v v v
Saluran IV
Petani v - v v - v - v - -
PB v v - v v v v v v v
XL v v - v v v v v v v
Keterangan: (v) : Melakukan fungsi pemasaran
(-) : Tidak melakukan
* PLP : Pedagang di luar provinsi Sumbar
** XL : Eksportir lokal
117

Tabel 13 menjelaskan tentang fungsi-fungsi yang dilakukan oleh masing-

masing komponen yang terlibat dalam sistem pemasaran. Ini dipakai untuk

melihat dan menilai lembaga pemasaran yang melakukan fungsi pemasaran

tertentu dan berapa kompensasi serta bagaimana konsekwensi yang diperoleh dari

melakukan fungsi atau kegiatan tersebut. Kegunaan pendekatan fungsi dalam

analisis pemasaran adalah untuk melihat bagaimana variasi aktivitas/kegiatan

yang dilakukan oleh lembaga yang terlibat di setiap tingkat dan di semua saluran

yang ada, serta kaitannya dengan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan

sehubungan kegiatan yang dilakukan lembaga tersebut pada tiap tingkat di semua

saluran pemasaran yang ada.

Fungsi pertukaran terdiri atas kegiatan penjualan dan pembelian yang

dilakukan oleh semua pedagang, sedangkan petani hanya melakukan kegiatan

penjualan. Transaksi yang dilakukan petani dengan pedagang dilakukan dengan

langsung dan tunai karena volume produksi yang diperdagangkan relatif kecil.

Petani juga membutuhkan uang tunai sehingga kegiatan penimbangan (penjualan)

dilakukan setiap minggu. Sebagian besar petani yang ada di lokasi penelitian tidak

memiliki ikatan tertentu kepada pedagang sehingga dalam proses jual beli petani

memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kepada siapa mereka ingin menjual

hasil panennya. Hanya 25 persen petani yang memiliki keterikatan dengan

pedagang tertentu karena sebelumnya mereka sudah berhutang ataupun sudah

mendapatkan pinjaman modal kerja dari pedagang tersebut.

Fungsi fisik berupa kegiatan pengolahan dan pengangkutan dilakukan petani

pada setiap saluran pemasaran yang ada. Kegiatan pengemasan juga dilakukan

petani, sedangkan pedagang pengumpul tidak melakukan pengemasan karena


118

hanya sebagai perantara pada pedagang besar, sehingga masih bisa menggunakan

kemasan karung plastik dari petani. Sebaliknya kegiatan pengangkutan,

pengemasan dan penyimpanan dilakukan oleh pedagang besar untuk semua

saluran yang ada. Dalam pelaksanaan pengangkutan, petani biasanya dibebankan

biaya retribusi oleh nagari setempat, begitu juga pedagang pengumpul. Khusus

untuk saluran pemasaran II dan IV, pedagang besar tidak mengeluarkan lagi biaya

retribusi.

Kegiatan pengolahan hanya dilakukan oleh petani, artinya sama sekali tidak

terjadi perubahan bentuk dari produk (gambir) yang diperdagangkan sampai

tingkat pasar eksportir dan pedagang luar Provinsi Sumbar. Gambir yang ada

adalah gambir yang sama dengan gambir dijual petani, sama sekali tidak terjadi

proses penambahan nilai dalam pendistribusian gambir menggunakan semua

saluran pemasaran yang ada. Proses perubahan bentuk dan penambahan nilai pada

gambir hanya dilakukan oleh konsumen akhir. Karena adanya keterbatasan

penelitian, cakupan analisis pemasaran dalam penelitian ini tidak mencakup kajian

pemasaran pada level tersebut, hanya sampai tingkat pasar eksportir saja.

Fungsi fasilitas sortasi atau grading tidak dilakukan pada tingkat petani dan

pedagang pengumpul, karena biasanya gambir yang dihasilkan relatif seragam dan

sudah dibersihkan oleh pekerja yang diupah petani untuk melakukan kegiatan

pengolahan. Pekerja atau anak kampo tersebut sudah berpengalaman dalam

melakukan pengolahan sehingga gambir yang dihasilkan tidak memiliki banyak

perbedaan baik dari segi ukuran, warna dan bentuknya. Sortasi hanya dilakukan

pada tingkat pedagang besar, sedangkan grading dilakukan oleh eksportir lokal

dan pedagang di luar Sumbar. Grading yang dilakukan tersebut untuk mengukur
119

kadar air dan abu, kadar bahan yang tidak larut dalam air dan dalam alkohol,

kadar catechin gambir, serta tampilan fisiknya dari segi bentuk dan warna.

Petani dan pedagang disemua saluran yang ada sama-sama mempunyai

resiko, walaupun tingkatannya berbeda-beda. Resiko yang dihadapi petani adalah

kegagalan panen dan fluktuasi harga yang relatif tinggi sehingga tidak ada

kepastian dalam berusahatani. Pedagang pengumpul menghadapi resiko kerugian

finansial yang bisa diakibatkan kesalahan dalam menaksir kadar air gambir saat

penimbangan. Pedagang besar dan eksportir juga menghadapi resiko kerugian

finansial akibat tidak terpenuhinya nilai kontrak sesuai spesifikasi yang diminta

importir serta resiko nilai tukar (kurs rupiah terhadap dolar). Petani tidak memiliki

akses pada informasi pasar, seperti tingkat harga yang berlaku karenanya hanya

bertindak sebagai penerima harga. Pedagang disemua saluran mempunyai dana

yang umumnya berasal dari pembiayaan, biasanya diberikan oleh pedagang pada

pedagang yang berada satu tingkat di bawahnya sebagai pinjaman.

Berdasarkan konsep utilitas atau penciptaan dan penambahan nilai guna

yang dilakukan oleh lembaga yang terlibat dalam pemasaran gambir terlihat

bahwa mekanisme pemasaran gambir yang terjadi banyak ditentukan oleh nilai

guna bentuk, tempat (pasar) dan kepemilikan, dengan kata lain proses pemasaran

gambir merupakan kegiatan yang produktif dengan menghasilkan pembentukan

kegunaan bentuk, tempat dan kepemilikan. Produksi gambir terpencar di beberapa

daerah sentra produksi dan konsumennya juga terpencar di daerah yang berlainan,

antardaerah, antarkota, antarprovinsi, antarpulau dan bahkan luar negeri, sehingga

peranan kegiatan transportasi untuk pengangkutan ke daerah pemasaran,

pergudangan untuk penyimpanan serta ongkos-ongkos yang menyangkut dan


120

menjembatani antar daerah pemasaran dengan petani produsen akan sangat

berpengaruh pada kinerja pemasaran gambir.

Perubahan bentuk (form utility) memberikan nilai tambah sehingga gambir

menjadi layak jual. Hal ini terlihat dari saat proses produksi gambir oleh petani

yang dimulai dengan pengolahan dari daun dan ranting tanaman gambir menjadi

getah yang kemudian dikeringkan menjadi produk (gambir kering). Proses

standarisasi berupa kegiatan sortasi dan grading akan sangat mempengaruhi

kinerja pemasaran karena berpengaruh pada ongkos tataniaga yang harus

dikeluarkan lembaga pemasaran yang terlibat serta margin pedagang. Produk ini

di tingkat pasar konsumen akhir diubah lagi sesuai dengan kebutuhan pasar karena

produk yang diperdagangkan sampai tingkat pasar eksportir masih dalam bentuk

gambir mentah sedangkan kebutuhan industri bermacam-macam, misalnya gambir

akan diekstraksi untuk mendapatkan zat esensialnya.

Kegunaan kepemilikan terlihat dari aktivitas jual beli, sedangkan kegunaan

waktu tidak terlalu menentukan dalam pemasaran gambir karena gambir yang

diproduksi petani tidak tergantung pada musim. Hal ini disebabkan waktu panen

petani di lokasi penelitian berbeda-beda dan daerah sentra produksi tersebar di

delapan kecamatan, sehingga untuk wilayah kabupaten selalu ada petani yang

panen dan melakukan pengolahan gambir sepanjang tahun secara

berkesinambungan. Tetapi peranan penyimpanan (storage) bagi pedagang tetap

penting untuk tempat penyimpanan sementara sampai gambir kering sampai

standar tertentu dan siap dijual. Tabel 14 memberikan gambaran rinci tentang

besarnya margin pemasaran untuk setiap saluran pemasaran gambir yang ada guna

melengkapi analisis tentang lembaga pemasaran gambir di Lima Puluh Kota.


121

Tabel 14. Margin Pemasaran Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tahun 2009
Saluran Saluran Saluran Saluran
Pemasaran I Pemasaran II Pemasaran III Pemasaran IV
Pelaku Pasar
Nilai Nilai Nilai Nilai
Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg %
1. Petani
transportasi 300 0.85 300 0.81 300 0.85 300 0.81
pengemasan 25 0.07 25 0.07 25 0.07 25 0.07
retribusi 252.28 0.71 252.28 0.68 252.28 0.71 252.28 0.68
harga jual 23 680.97 66.71 23 680.97 64.00 26 500.33 74.65 26 500.33 71.62
2. Pedagang
Pengumpul
harga beli 23 680.97 66.71 23 680.97 64.00
bongkar muat 100 0.28 100 0.27
transportasi 300 0.85 300 0.81
b. penjemuran 200 0.56 200 0.54
pengeringan 1 261.38 3.55 1 261.38 3.41
gudang 100 0.28 100 0.27
keuntungan 4 403.10 12.40 4 403.10 11.90
margin pemasaran 6 364.48 17.93 6 364.48 17.20
harga jual 30 045.45 84.64 30 045.45 81.20
3. Pedagang
Besar
harga beli 30 045.45 84.64 30 045.45 81.20 26 500.33 74.65 26 500.33 71.62
bongkar muat 100 0.28 100 0.27 100 0.28 100 0.27
transportasi 700 1.97 300 0.81 700 1.97 300 0.81
b. penjemuran 100 0.28 100 0.27 200 0.56 200 0.54
pengeringan 280.91 0.79 280.91 0.76 1 261.38 3.55 1 261.38 3.41
sortasi 100 0.28 100 0.27 100 0.28 100 0.27
gudang 100 0.28 100 0.27 100 0.28 100 0.27
pengemasan 75 0.21 50 0.14 75 0.21 50 0.14
keuntungan 2 498.64 7.04 1 923.64 5.20 4 963.29 13.98 4 388.29 11.86
margin pemasaran 3 954.55 11.14 2 954.55 7.99 7 499.67 21.13 6 499.67 17.57
harga jual 34 000 95.77 33 000 89.19 34 000 95.77 33 000 89.19
4. Pedagang
di luar
Sumbar
harga beli 34 000 95.77 34 000 95.77
bongkar muat 100 0.28 100 0.28
grading 100 0.28 100 0.28
gudang 100 0.28 100 0.28
pengemasan 50 0.14 50 0.14
keuntungan 1 150 3.24 1 150 3.24
margin pemasaran 1 500 4.23 1 500 4.23
harga jual 35 500 100 35 500 100
5. Eksportir
Lokal
harga beli 33 000 89.19 33 000 89.19
biaya ekspor 1 400 3.78 1 400 3.78
grading 100 0.27 100 0.27
biaya lainnya 400 1.08 400 1.08
keuntungan 2 100 5.68 2 100 5.68
margin pemasaran 4 000 10.81 4 000 10.81
harga jual 37 000 100 37 000 100

Margin pemasaran untuk setiap saluran didapat dengan cara mengurangi

harga jual di tingkat pedagang akhir dengan harga jual di tingkat petani. Saluran

pemasaran I dan II secara umum mempunyai margin pemasaran yang lebih besar
122

bila dibandingkan dengan saluran lain. Besarnya margin pemasaran di saluran

pemasaran I, II, III dan IV berturut-turut Rp 11 819.03/kg, Rp 13 319.03/kg, Rp 8

999.67/kg dan 10 499.67/kg, dengan margin tertinggi di saluran II, mencapai 36

persen dari harga akhir. Hal ini dikarenakan: (1) perbedaan jumlah lembaga

pemasaran yang terlibat, (2) perbedaan harga jual yang diterima petani untuk

setiap pilihan saluran, apakah menjual kepada pedagang pengumpul atau langsung

pada pedagang besar, dan (3) perbedaan harga jual di tingkat akhir.

Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa semakin banyak jumlah

lembaga pemasaran yang terlibat akan menyebabkan bertambah panjangnya rantai

pemasaran sehingga mengakibatkan bertambahnya biaya pemasaran dan

keuntungan yang diambil oleh setiap pelaku pasar tersebut. Artinya margin

pemasaran di saluran itu akan bertambah besar. Berikut ini perbandingan rasio

keuntungan dan biaya pemasaran yang diperoleh setiap lembaga pemasaran.

Tabel 15. Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009
Keuntungan Biaya Rasio
Lembaga Pemasaran Pemasaran Pemasaran Keuntungan
(Rp/kg) (Rp/kg) Biaya
Saluran I
Pedagang Pengumpul 4 403.10 1 961.38 2.24
Pedagang Besar 2 498.64 1 455.91 1.72
Pedagang di Luar Sumbar 1 150 350 3.29
Jumlah 8 051.74 3 767.29 7.25
Saluran II
Pedagang Pengumpul 4 403.10 1 961.38 2.24
Pedagang Besar 1 923.64 1 030.91 1.87
Eksportir Lokal 2 100 1 900 1.11
Jumlah 8 426.74 4 892.29 5.22
Saluran III
Pedagang Besar 4 963.29 2 536.38 1.96
Pedagang di Luar Sumbar 1 150 350 3.29
Jumlah 6 113.29 2 886.38 5.25
Saluran IV
Pedagang Besar 4 388.29 2 111.38 2.08
Eksportir Lokal 2 100 1 900 1.11
Jumlah 6 488.29 4 011.38 3.19
123

Jumlah keuntungan yang diambil oleh pedagang di saluran pemasaran I

adalah sebesar Rp 8 051.74/kg atau mencapai 22.68 persen dari harga di tingkat

pedagang akhir atau mencapai 68.13 persen bila dibandingkan dengan besarnya

margin pemasaran. Sedangkan jumlah biaya yang dikorbankan pedagang adalah

sebesar Rp 3 767.29/kg atau 10.61 persen dari harga di tingkat pedagang akhir

atau 36.67 persen dari besarnya margin pemasaran.

Rasio keuntungan dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh

pedagang gambir yang berada di luar Sumbar yaitu sebesar 3.29. Jumlah

keuntungan yang diambil oleh pedagang di saluran pemasaran II, III dan IV

masing-masing sebesar Rp 8 426.74/kg atau 22.77 persen dari harga di tingkat

pedagang akhir, Rp 6 113.29/kg atau 17.22 persen dari harga di tingkat pedagang

akhir dan Rp 6 488.29/kg atau 17.54 persen dari harga di tingkat pedagang akhir.

Jika keuntungan tersebut dibandingkan dengan margin pemasaran masing-masing

saluran maka besarnya berturut-turut di saluran pemasaran II, III dan IV adalah

sebesar 63.27 persen, 67.93 persen dan 61.80 persen.

Sedangkan jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran pemasaran

II adalah sebesar Rp 4 892.29/kg atau 13.22 persen dari harga di tingkat pedagang

akhir atau 36.73 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio keuntungan dan

biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang pengumpul yaitu

sebesar 2.24.

Jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran pemasaran III adalah

sebesar Rp 2 886.38/kg atau 8.13 persen dari harga di tingkat pedagang akhir atau

32.07 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio keuntungan dan biaya

tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang gambir yang berada di luar
124

Sumbar yaitu sebesar 3.29. Jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran

pemasaran IV adalah sebesar Rp 4 011.38/kg atau 10.84 persen dari harga di

tingkat pedagang akhir atau 38.20 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio

keuntungan dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang besar

yaitu sebesar 2.08.

Berdasarkan analisis margin pemasaran dan perbandingan rasio keuntungan

dan biaya yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran dalam

mendistribusikan gambir, terlihat bahwa saluran pemasaran III relatif lebih baik

dibandingkan dengan saluran lainnya. Hal ini setidaknya terlihat dari kecilnya

margin pemasaran, tingginya persentase harga jual akhir yang ikut dinikmati

petani dan relatif seimbangnya pendistribusian keuntungan dan biaya

antarlembaga pemasaran yang ada.

Saluran pemasaran II adalah saluran dengan margin pemasaran tertinggi dan

share terendah untuk petani. Walaupun demikian dikarenakan alasan yang telah

dikemukakan sebelumnya, tidak semua petani bisa menggunakan saluran

pemasaran III dalam menjual hasil panennya.

Margin pemasaran yang diterima pedagang pengumpul di saluran

pemasaran I dan II dan pedagang besar di saluran III dan IV relatif lebih tinggi

dari yang diterima oleh pedagang lainnya disebabkan aktivitas yang dilakukan

pedagang pengumpul dan pedagang besar tersebut dalam pengumpulan gambir di

wilayah sentra produksi lebih banyak. Resiko kerugian finansial yang ditanggung

juga lebih tinggi sehubungan dengan kegiatan penimbangan dan penaksiran kadar

air gambir. Hal ini akan dijelaskan lebih rinci di sub bab perilaku pasar gambir.
125

6.2.2. Perilaku Pasar Gambir

Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh

informasi mengenai perilaku partisipan dan lembaga pemasaran. Variabel yang

mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif dan sulit dikuantitatifkan. Perilaku

pasar dari masing-masing lembaga yang ada di lokasi penelitian dianalisis

berdasarkan empat indikator utama, yaitu: (1) praktek pembelian dan penjualan,

(2) proses pembentukan harga, (3) praktek dalam menjalankan fungsi pemasaran

yang sudah dibahas dalam analisis struktur pasar sub bab lembaga pemasaran,

serta (4) kerjasama antarlembaga pemasaran.

6.2.2.1. Praktek Pembelian dan Penjualan

Kecendrungan yang dijumpai dari praktek jual beli yang dilakukan petani

dan pedagang di lokasi penelitian adalah bahwa petani cenderung menjual hasil

panennya kepada pedagang lokal yang sudah dikenal baik atau minimal sudah

pernah bertransaksi sebelumnya. Hal ini terjadi karena: (1) adanya hubungan baik

dengan pedagang yang bersangkutan, (2) terbatasnya akses petani dengan

pedagang yang berasal dari daerah di luar wilayahnya, dan (3) adanya

ketergantungan modal kerja dengan pedagang yang bersangkutan terutama dalam

kegiatan pengolahan. Selain pertimbangan kenal atau tidaknya dengan siapa

petani akan bertransaksi, pertimbangan lain adalah harga yang ditawarkan

pedagang, serta pemotongan kadar air yang ditawarkan pedagang, atau dengan

kata lain pertimbangan rasional dan memberikan keuntungan tertinggi tetap

menjadi acuan petani dalam melakukan transaksi, terutama petani yang tidak

memiliki keterikatan dan perjanjian dengan pedagang tertentu.


126

Tempat petani bertransaksi atau melakukan penjualan sangat beragam,

tergantung pada beberapa faktor, yaitu: (1) kebiasaan daerah dan nagari masing-

masing petani, (2) infrastruktur jalan menuju lahan, (3) jarak dari rumah ke lahan,

serta (4) ada tidaknya peraturan di nagari yang bersangkutan sehubungan dengan

penjualan gambir.

Penimbangan atau penjualan gambir biasanya dilakukan seminggu sekali

oleh sebagian besar petani responden dan biasanya dilakukan bersamaan dengan

hari pasar tradisional di daerah yang bersangkutan. Pola perilaku jual beli gambir

ini berlaku secara umum di daerah penelitian. Setiap kecamatan biasanya

memiliki hari pasar yang dipusatkan di nagari tertentu yang berada di kecamatan

tersebut karena tidak setiap nagari memiliki pasar tradisional.

Pasar tradisional di Kecamatan Lareh Sago Halaban tersebar di 2 nagari

yaitu setiap hari Minggu, Selasa dan Rabu, di Kecamatan Harau ada 2 kenagarian

yang memiliki pasar tradisional yaitu setiap hari Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu,

serta di Kecamatan Kapur IX semua nagari memiliki pasar tradisional dimana ada

6 hari pasar dari hari Minggu sampai Jumat (BPS, 2008b; 2008e; 2008f).

Hari pasar juga merupakan hari istirahat bagi petani pada umumnya.

Perilaku ini disebabkan karena: (1) petani memerlukan uang tunai dari hasil

panennya yang akan digunakan untuk membiayai keperluan hidup sehari-hari dan

berbelanja saat hari pasar, (2) untuk membiayai operasional modal kerja selama

pengolahan atau kegiatan mangampo dilakukan, dan (3) adanya resiko potential

loss jika petani menyimpan hasil panennya untuk dijual sekaligus di satu waktu.

Hal ini akibat tidak adanya kepastian harga untuk penjualan di minggu berikutnya

karena harga gambir selalu berfluktuasi dari minggu ke minggu.


127

Berdasarkan data survei, terdapat 42.71 persen petani yang menjual hasil

panennya di rumah, 19.79 persen petani menjual langsung di ladang ke pedagang

pengumpul, 35.42 persen petani menjual ke pasar tempat penimbangan dan

transaksi gambir yang telah ditetapkan dengan peraturan nagari setempat dan

sebanyak 2.08 persen sisanya menjual ke tempat lain seperti di antar langsung ke

rumah toke atau pedagang pengumpul setempat, seperti yang dilakukan petani di

Kenagarian Sitanang Kecamatan Lareh Sago Halaban.

Pembeli dominan adalah pedagang pengumpul di daerah tempat petani

berdomisili dan ke pedagang besar, dengan persentase masing-masingnya

berturut-turut sebesar 57.29 persen dan 42.71 persen.

Sebanyak 75 persen petani tidak memiliki ikatan apapun dengan pedagang

yang akan membeli hasil panennya dan sisanya sebanyak 25 persen petani

memiliki ikatan dengan pembelinya. Ikatan tersebut antara lain dikarenakan:

1. Pengolahan gambir yang dilakukan petani dibiayai oleh pedagang, misal untuk

biaya anak kampo dan modal kerja selama mangampo ditanggung oleh

pedagang dan pembayarannya akan dipotong nantinya dari hasil panen.

2. Petani tidak memiliki fasilitas rumah pengolahan/kampaan untuk melakukan

pengolahan.

3. Petani sudah berhutang uang sebelumnya kepada pedagang untuk membiayai

keperluannya.

4. Antara petani dengan pedagang memang sudah ada perjanjian untuk menjalin

kemitraan imbal-balik sebelumnya. Walaupun sebagian petani memiliki ikatan

dengan pembeli, tetapi sistem pembayaran yang dilakukan dalam transaksi

sepenuhnya dengan cara tunai setelah hutang piutang dikeluarkan.


128

6.2.2.2. Proses Pembentukan Harga

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses mekanisme penentuan

harga gambir diantaranya adalah tingkat kompetisi antarpelaku pasar yang salah

satunya dipengaruhi oleh bentuk struktur pasar komoditas tersebut, regulasi atau

aturan yang ada, baik dari pemerintah pusat dan daerah maupun nagari, serta

preferensi dari pembeli atau konsumen. Berdasarkan fenomena yang ada, selain

faktor di atas, komponen utama mempengaruhi harga gambir di tingkat petani

adalah:

1. Persentase Kadar Air Gambir

Semakin tinggi persentase kadar air gambir yang dihasilkan, maka harga rata-

rata per kilogram gambir yang diterima petani akan semakin rendah.

Sementara pengelolaan usahatani gambir masih tradisional yang akan

menyebabkan mutu produk yang dihasilkan akan cenderung berada dibawah

standar kualitas yang diinginkan dan ditetapkan pasar. Tuntutan akan uang

tunai supaya bisa menjual setiap minggu selama panen, maka pengeringan

selain dengan cara penjemuran alami, juga dilakukan petani di atas tungku api

untuk perebusan. Kelemahan ini sering dijadikan dasar bagi pedagang

pengumpul untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Kadar air gambir

yang berasal dari petani umumnya berkisar antara 5 – 6 persen per kilo, tetapi

dalam praktek pembelian umumnya pedagang memotong kadar air sebesar 10

sampai 15 persen.

2. Jenis Gambir yang Diperdagangkan

Sebanyak 62.5 persen petani menghasilkan gambir campur dan 37.5 persen

petani memproduksi gambir murni. Gambir campur relatif lebih berat dan
129

berwarna hitam yang biasanya dijual ke pasar luar negeri (untuk ekspor).

Sedangkan gambir murni jauh lebih ringan dan berwarna kuning kecoklatan.

Jenis gambir ini umumnya dipasarkan di dalam negeri untuk konsumsi

langsung atau industri tertentu, sebagiannya ada juga yang di ekspor.

Perbandingan berat gambir murni dengan gambir campur per karungnya

berturut-turut 40 – 50 kg/karung dan 80 – 90 kg/karung. Walaupun dari segi

berat gambir murni lebih ringan dari gambir campur, tetapi dari segi harga

biasanya gambir murni sedikit lebih mahal harga per kilogramnya

dibandingkan gambir campur.

3. Harga di Tingkat Eksportir atau Pedagang Besar

Harga yang ditentukan eksportir cendrung mengacu pada harga gambir

sebelumnya dan akan tetap selama jumlah kontrak antara eksportir dengan

pembeli atau importir di luar negeri belum terpenuhi. Kontrak/perjanjian

perdagangan biasanya sudah dibuat terlebih dahulu dan pembelian ke petani

baru dilakukan setelahnya. Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna

dimana rantai pemasaran gambir dikuasai oleh sedikit pedagang besar akan

memungkinkan terjadinya praktek kolusi dalam penentuan harga dalam

transaksi jual beli gambir.

4. Waktu Penjualan

Penimbangan untuk penjualan yang dilakukan disaat pagi, siang atau

menjelang sore berpengaruh terhadap harga pembelian. Harga di pagi hari saat

hari pasar tradisional biasanya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan

harga disaat siang dan sore hari, karena di pagi hari ada tuntutan yang sangat

mendesak bagi petani akan uang tunai yang digunakan untuk berbelanja
130

keperluannya. Kasus seperti ini dijumpai di lokasi penelitian di Kecamatan

Harau. Di Kecamatan Kapur IX hal tersebut tidak berlaku karena sudah ada

peraturan nagari yang baku dalam mengatur tempat dan hari penimbangan

yang semuanya sudah dikelola oleh nagari. Justru penawaran harga tertinggi di

peroleh saat awal transaksi sudah dibuka secara resmi oleh aparatur nagari.

Semakin lama gambir dijual maka penawaran harga akan cenderung lebih

rendah karena persediaan uang tunai pedagang sudah jauh berkurang.

Ada perilaku yang berbeda dalam praktek jual beli gambir diantara

kecamatan sampel dikarenakan perbedaan infrastruktur jalan, jarak lahan ke

rumah dan ketergantungan kepada pemodal. Rata-rata petani yang tidak memiliki

rumah pengolahan gambir tertinggi adalah di lokasi penelitian di Kecamatan

Lareh Sago Halaban, dimana hanya 33.33 persen responden yang memiliki rumah

pengolahan sendiri. Oleh karena itu tingkat ketergantungan petani kepada

pedagang pengumpul cenderung lebih tinggi di kecamatan ini. Sedangkan di

Kecamatan Harau dan Kapur IX umumnya petani sudah memiliki rumah

pengolahan sendiri.

6.2.2.3. Kerjasama Antarlembaga Pemasaran

Petani yang membutuhkan modal biasanya meminjam kepada pedagang

pengumpul tanpa beban bunga. Pengembalian biasanya dilakukan pada saat panen

gambir dengan cara mengurangi dari hasil panen yang dibayarkan kepada petani.

Hal ini akan mengikat petani sehingga harus menjual hasil panennya kepada

pedagang pengumpul. Modal yang dimiliki pedagang pengumpul berasal dari

pinjaman yang diberikan oleh pedagang yang berada di atasnya (pedagang


131

besar/eksportir). Pinjaman biasanya tanpa bunga dan tanpa adanya suatu ikatan

hukum, hanya berdasarkan kepercayaan dan hubungan yang sudah lama terjalin.

Jadi bentuk kerjasama yang terjadi di antara lembaga pemasaran yang terlibat

dalam pemasaran gambir berdasarkan hubungan kepercayaan dengan adanya

keterikatan dalam bentuk modal.

6.2.3. Kinerja Pasar Gambir

Kinerja pasar sangat dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar. Indikator

yang dijadikan ukuran untuk menilai kinerja pasar gambir di lokasi penelitian,

yaitu: (1) untuk efisiensi operasional yang merupakan ukuran dari biaya minimum

biaya pemasaran untuk menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen

dinilai dengan ukuran margin pemasaran yang sudah dibahas langsung dalam

analisis efisiensi saluran/lembaga pemasaran, serta besarnya bagian harga yang

diterima petani/farmer’s share, dan (2) untuk efisiensi harga yang menyangkut

ukuran keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke

konsumen yang disebabkan oleh adanya perbedaan kegunaan tempat, bentuk,

waktu dan kepemilikan, analisisnya mencakup tingkat integrasi/keterpaduan pasar

gambir dan nilai elastisitas transmisi harga.

6.2.3.1. Bagian Harga yang Diterima Petani

Bagian harga yang diterima petani adalah bagian harga yang dibayarkan

oleh konsumen (dalam hal ini pedagang akhir dan eksportir) yang dapat dinikmati

oleh petani sebagai produsen. Besarnya farmer’s share secara umum dipengaruhi

oleh saluran pemasaran, semakin panjang saluran akan menyebabkan biaya dan
132

keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga pemasaran bertambah sehingga

margin bertambah besar. Semakin besar margin pemasaran maka bagian harga

yang diterima petani akan semakin kecil seperti yang terjadi pada saluran

pemasaran II. Selain itu untuk komoditas pertanian faktor tingkat pengolahan

yang dilakukan petani, biaya transportasi, keawetan dan mutu serta jumlah

produksi juga akan berpengaruh pada farmer’s share. Berikut ini gambaran

besarnya bagian harga yang diterima oleh petani pada setiap saluran pemasaran

gambir di lokasi penelitian.

Tabel 16. Farmer’s Share Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tahun 2009

Saluran Saluran Saluran Saluran


Pelaku Pasar Pemasaran I Pemasaran II Pemasaran III Pemasaran IV

Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg %

1. Petani 23 680.97 66.71 23 680.97 64.00 26 500.33 74.65 26 500.33 71.62

2. Pedagang 30 045.45 84.64 30 045.45 81.20


Pengumpul
3. Pedagang 34 000 95.77 33 000 89.19 34 000 95.77 33 000 89.19
Besar
4. Pedagang
di luar 35 500 100 35 500 100
Sumbar
5. Eksportir 37 000 100 37 000 100
Lokal

Hasil analisis menunjukkan bahwa saluran pemasaran III dan IV

memberikan bagian harga yang diterima petani lebih tinggi yaitu sebesar 74.65

dan 71.62 persen bila dibandingkan dengan saluran pemasaran I dan II yang hanya

sebesar 66.71 persen dan 64 persen. Jumlah lembaga pemasaran yang terlibat

dalam saluran pemasaran I dan II lebih banyak dari saluran III dan IV dikarenakan

di saluran ini tidak memakai perantara pedagang pengumpul. Kondisi tersebut di


133

atas menyebabkan saluran pemasaran III dan IV mempunyai nilai margin

pemasaran yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan saluran lainnya yaitu

sebesar Rp 8 999.67/kg dan saluran IV marginnya sebesar Rp 10 499.67/kg.

Saluran pemasaran III dengan demikian bisa dikatakan relatif lebih efisien

bagi petani jika dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya karena bagian

harga yang diterima petani lebih tinggi dan bisa menjual dengan biaya pemasaran

dan keuntungan yang diambil oleh pedagang dengan lebih rendah. Hanya saja

tidak semua petani bisa memilih saluran pemasaran III dalam memasarkan hasil

panennya, hanya 42.71 persen petani yang bisa menggunakan saluran ini dengan

langsung melibatkan pedagang besar, kemudian ke pedagang yang berada di luar

Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

Beberapa penyebabnya adalah karena: (1) sebanyak 25 persen petani

memiliki ikatan dengan pedagang sehingga harus menjual ke pedagang tersebut,

(2) volume penjualan gambir yang ditransaksikan, semakin kecil volume maka

petani cenderung menjual ke pedagang pengumpul, (3) kondisi geografis

menyangkut jalan dan jarak yang tidak memungkinkan pedagang tertentu masuk

ke suatu daerah, (4) adanya perjanjian wilayah operasional antarpedagang, serta

(5) adanya perjanjian dan ikatan menyangkut modal, kerjasama dan hubungan

baik antarpedagang. Kondisi di atas mencerminkan bahwa perilaku pasar juga

menjadi faktor penekan posisi tawar petani ketika berhadapan dengan pedagang.

6.2.3.2. Keterpaduan Pasar dan Elastisitas Transmisi Harga

Integrasi atau keterpaduan pasar berguna untuk melihat keeratan hubungan

pasar dengan pasar lain yang menjadi rujukan (yang mempengaruhinya), yang
134

dilihat berdasarkan pergerakan harga yang berhubungan dengan dua pasar atau

lebih. Model yang digunakan untuk menganalisis aspek keterpaduan pasar dalam

penelitian ini adalah model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan

Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan bedakala (lag) bersebaran

autoregresive antara harga di tingkat petani dengan harga di pasar acuan yaitu

harga ditingkat eksportir. Data yang digunakan untuk analisis integrasi dan

elastisitas transmisi adalah data time series tahun 1994 – 2007.

Uji statistik terhadap kesesuaian model diperoleh nilai F hitung sangat nyata

pada taraf kepercayaan 99 persen (α = 1 persen) yang mengindikasikan bahwa

model cukup baik karena variabel bebas dapat menjelaskan keragaman variabel

terikat. Keragaman harga gambir di tingkat petani (Pft) dapat dijelaskan oleh

keragaman variabel bebas yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi

sebesar 98.6 persen dan sisanya sebanyak 1.4 persen dijelaskan oleh faktor lain di

luar model. R2 – adjusted sebesar 98.18 persen.

Pengujian statistik dilanjutkan dengan uji-t pada masing-masing variabel

independen, untuk menguji faktor apa saja yang dapat menjelaskan atau

berpengaruh nyata terhadap harga gambir di tingkat petani. Hanya satu variabel

yang signifikan pada taraf nyata pengujian α 1 persen, yaitu variabel Pft-1 atau

bedakala satu tahun harga gambir di tingkat petani. Variabel independen lainnya

tidak berpengaruh nyata pada harga gambir di tingkat petani. Selisih harga gambir

di tingkat eksportir (DPe) hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi ditoleransi

pada tingkat α 25 persen, sedangkan bedakala harga gambir di tingkat eksportir

(Pet-1) hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi ditoleransi pada tingkat α 45

persen.
135

Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa model autoregresive

distributed lag antara harga gambir di tingkat petani dengan harga gambir di

ditingkat eksportir dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terjadi kesalahan

spesifikasi. Model dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi

keragaman harga gambir di tingkat petani.

Tabel 17. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009

Parameter P_value
Variabel Bebas
Dugaan (Significance)
Bedakala harga gambir di tingkat petani (Pft-1) 0.92842 0.0001 ***
Selisih harga gambir di tingkat eksportir (DPe) 0.06519 0.2204
Bedakala harga gambir di tingkat eksportir (Pet-1) 0.06707 0.4150
F – hitung 235.31 0.0001 ***
Koefisien determinasi (R2) 0.9860
R2 – adjusted 0.9818
IMC 13.851

Pft = 0.928 Pft-1 + 0.065 (Pet - Pet-1) + 0.067 Pet-1 .................(23)

Nilai koefisien sebesar 0.065 pada Persamaan (23) menunjukkan nilai b2

yang merupakan nilai elastisitas transmisi harga yaitu seberapa jauh perubahan

harga di tingkat eksportir di transmisikan ke tingkat petani. Semakin dekat nilai

parameter b2 dengan 1 maka akan semakin baik keterpaduan pasar. Nilai dugaan

parameter b2 dari hasil analisis di atas, berarti bahwa jika terjadi perubahan harga

sebesar 10 satuan harga (rupiah) di tingkat eksportir, maka perubahan harga yang

akan diteruskan sampai ke tingkat petani hanya sebesar 0.65 rupiah saja, cateris

paribus. Hal ini mencerminkan tidak simetrisnya transmisi harga oleh pihak

eksportir atau dengan perkataan lain, terjadinya perubahan harga di tingkat

eksportir tidak ditransmisikan secara sempurna ke tingkat petani.


136

Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa kontribusi harga pada periode

sebelumnya, baik di tingkat petani maupun di tingkat eksportir, terhadap harga

yang berlaku sekarang di tingkat petani memiliki nilai kurang dari satu. Hal ini

menunjukkan bahwa pengaruh harga yang berlaku di tingkat petani pada periode

sebelumnya, berpengaruh lebih besar terhadap pembentukan harga di tingkat

petani yang berlaku saat ini, dibandingkan dengan pengaruh harga di tingkat

eksportir pada periode sebelumnya. Pengaruh harga yang berlaku di tingkat petani

pada periode sebelumnya terhadap pembentukan harga pasar di tingkat petani saat

ini adalah sebesar 0.928. Sedangkan pengaruh perubahan harga yang berlaku di

tingkat eksportir pada periode sebelumnya terhadap pembentukan harga di tingkat

petani yang berlaku saat ini juga kurang dari satu, hanya saja pengaruhnya jauh

lebih kecil, yaitu sebesar 0.067. Hal ini mengindikasikan bahwa ada stok tertentu

yang disimpan di gudang oleh pedagang sampai pada tingkatan jumlah tertentu

sebelum gambir dijual lagi ke pedagang yang berada di atasnya sesuai dengan

besarnya kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga pasar lokal di tingkat petani

dengan pengaruh harga pasar acuan di tingkat eksportir pada periode sebelumnya,

akan menunjukkan tinggi rendahnya tingkat keterpaduan antara kedua pasar yang

dicerminkan oleh besarnya Index of Market Connection (IMC). Nilai IMC yang

semakin mendekati nol menunjukkan semakin baiknya integrasi pasar, atau

dengan kata lain terjadi integrasi jangka panjang antarpasar lokal di tingkat petani

dengan pasar acuan di tingkat eksportir.

Hasil analisis memperlihatkan nilai IMC pasar komoditas gambir sangat

tinggi yaitu 13.851, artinya pasar di tingkat petani dan eksportir belum terintegrasi
137

dengan baik. Integrasi pasar yang terjadi lemah. Pasar dalam kondisi persaingan

tidak sempurna dan sistem pemasaran gambir tidak efisien. Ini juga berarti dalam

praktek penentuan harga komoditas gambir, perubahan harga hanya sedikit yang

diteruskan oleh eksportir sampai ke tingkat petani. Perubahan harga pada tingkat

eksportir tidak ditransmisikan secara sempurna pada petani.

Koefisien korelasi harga di tingkat produsen dan harga di tingkat konsumen

dapat juga dipakai untuk melihat tingkat persaingan dan integrasi antara dua

tingkat pasar (integrasi vertikal). Koefisien korelasi sebagai indikasi adanya

integrasi pasar dapat dipakai sebagai ukuran struktur pasar yang efisien (Rahim

dan Retno, 2007).

Tabel 18. Tingkat Hubungan Integrasi Pasar dalam Analisis Korelasi

Nilai r Kriteria Hubungan Integrasi Pasar


0 Tidak ada korelasi Tidak sempurna
0 – 0.5 Korelasi lemah Tidak sempurna
> 0.5 – 0.8 Korelasi sedang Tidak sempurna
> 0.8 – 0.9 Korelasi kuat Tidak sempurna
1 Korelasi sempurna Sempurna
Sumber: Rahim dan Retno (2007)

Integrasi pasar komoditas gambir berdasarkan analisis korelasi adalah tidak

sempurna dengan kriteria hubungan berkorelasi sedang. Nilai korelasi antara

harga gambir di tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat eksportir (Pe) dari data

time series tahun 1994 - 2007 dengan Pearson correlation’s adalah 0.635 pada

taraf nyata pengujian 5 persen (P value 0.015).

Implikasi lain dari besaran nilai IMC dan nilai korelasi adalah, faktor yang

menjadi penentu bagi pembentukan harga gambir yang berlaku saat ini di tingkat

petani adalah harga gambir yang berlaku pada periode sebelumnya pada tingkat
138

petani. Kondisi ini sejalan dengan praktek pembentukan harga gambir di lokasi

penelitian, dimana harga gambir saat ini biasanya mengacu pada harga gambir

saat panen sebelumnya. Eksportir atau pedagang besar yang menentukan harga.

Harga gambir relatif stagnan dari tahun ke tahun. Hal ini salah satunya diduga

karena eksportir sudah mengadakan perjanjian/kontrak terlebih dahulu dengan

pembeli atau importir di luar negeri, maka harga yang ditentukan eksportir

cendrung mengacu pada harga gambir sebelumnya dan akan tetap selama jumlah

kontrak belum terpenuhi. Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna dimana

rantai pemasaran gambir dikuasai oleh sedikit pedagang besar akan

memungkinkan terjadinya praktek kolusi dalam penentuan harga dalam transaksi

jual beli gambir.

Posisi tawar petani dalam pembentukan harga sangat lemah. Petani hanya

bertindak sebagai penerima harga dari pedagang. Penyebab kondisi di atas adalah:

(1) kondisi pasar gambir tidak bersaingan, struktur yang terbentuk di pasar gambir

Lima Puluh Kota adalah pasar oligopsoni, dalam kondisi tersebut tidak akan ada

harga terbaik bagi petani karena daya tawar petani sangat rendah dalam

menghadapi pedagang, (2) kondisi fisik lokasi sentra produksi usahatani gambir

yang banyak berada di daerah pedesaan yang relatif terpencil dan relatif terbatas

infrastrukturnya sehingga terjadi kesenjangan informasi dan teknologi di tingkat

petani, yang membuat eksportir bisa mengendalikan, menentukan dan menetapkan

harga dalam transaksi jual beli gambir, (3) lokasi konsumen akhir berada sangat

jauh dari sentra produksi, Pelabuhan Teluk Bayur sebagai pelabuhan bagi

eksportir lokal yang merupakan pasar acuan dalam analisis ini juga relatif jauh

dari sentra produksi gambir, dan (4) secara kelembagaan, petani di lokasi
139

penelitian belum terorgasisasi dengan baik, hanya 23.96 persen petani yang

tergabung dalam kelompok tani dan semua responden tidak ada yang menjadi

anggota koperasi, walaupun di Kecamatan Kapur IX sebagai lokasi penelitian

memiliki koperasi khusus petani gambir. Kelompok tani yang ada pun

aktivitasnya terbatas pada kegiatan arisan, sosial kemasyarakatan dan gotong

royong di lahan anggota secara bergiliran, sehingga keberadaan kelompok tani

menjadi tidak terberdayakan, petani tidak lebih dari individu (bukan kesatuan

individu) pemasok bahan baku bagi pedagang.

6.3. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan penjabaran hasil analisis terhadap aspek produksi dan

pemasaran komoditas gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota seperti yang telah

diuraikan di atas, ada beberapa implikasi yang dapat dipertimbangkan oleh

pengambil kebijakan dan pihak terkait, yaitu sebagai berikut:

1. Mengingat input tetap luas lahan dalam pemanfaatannya sudah tidak efisien

lagi, faktor-faktor yang menjadi determinan produksi dalam usahatani gambir

dan adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan di masa depan, maka harus

ada kebijakan yang bersifat pembatasan penambahan luas areal untuk

usahatani gambir. Upaya lain dengan menggunakan pendekatan intensifikasi

usahatani dapat mengoptimalkan tingkat efisiensi alokasi dari penggunaan

lahan yang ada sekarang. Karena itu kebijakan penggunaan input yang

berpengaruh secara nyata pada produksi seperti tenaga kerja, jumlah tanaman

gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida, harus

dioptimalkan.
140

2. Pemakaian bibit yang seragam dari jenis unggul, disamping perbaikan

teknologi terutama dalam pengolahan dan penanganan pascapanen yang lebih

efektif dan efisien perlu diupayakan dalam jangka panjang oleh pihak terkait.

Sehingga bisa menjamin ketersediaan bibit jenis unggul yang mudah didapat

dan terjangkau oleh petani. Produk yang homogen dari segi mutu dan

terstandar akan membuat pasar menjadi lebih bersaing sehingga manipulasi

kualitas gambir menjadi berkurang dan penyempurnaan informasi harga yang

transparan dapat diwujudkan. Selain itu informasi mengenai karakteristik dan

mutu gambir yang dibutuhkan oleh konsumen akhir atau industri yang

menggunakan gambir sebagai bahan baku harus dapat diusahakan sampai

dengan jelas dan diaplikasikan dengan baik sampai di tingkat petani produsen.

3. Perlunya peningkatan dalam sosialisasi dan penyuluhan dari dinas terkait

kepada petani mengenai intensifikasi dalam usahatani gambir dan penggunaan

input dalam produksi, terutama pengaplikasian pupuk secara tepat untuk

pupuk buatan maupun pupuk organik, dan pestisida, sehingga kedua input ini

bisa dialokasikan dengan optimal oleh petani guna meningkatkan keuntungan

dalam usahatani gambir. Pemerintah dan pihak terkait di daerah penelitian bisa

memfasilitasi ketersediaan pupuk bagi petani produsen gambir melalui

perangkat nagari di setiap daerah sentra produksi.

4. Perlunya upaya untuk meningkatkan posisi tawar petani guna mengantisipasi

tingginya fluktuasi harga gambir di tingkat petani. Pembinaan, penguatan dan

pemberdayaan kelompok tani yang sudah ada yang diarahkan untuk

memperbaiki kinerja produksi dan pemasaran gambir agar lebih efisien.

Sehingga selain membantu kelancaran kegiatan produksi dan distribusi yang


141

dihasilkan dan dibutuhkan anggotanya, kelompok tani ini juga hendaknya bisa

diberdayakan untuk membangun kebersamaan yang solid guna meningkatkan

kesejahteraan petani yang menjadi anggotanya. Salah satu caranya dapat

dilakukan dengan pembentukan semacam lembaga, misalnya asosiasi petani

atau koperasi produsen yang memiliki jaringan kerjasama kelembagaan

diseluruh daerah sentra produksi, supaya pasar gambir dapat terintegrasi

secara horizontal. Secara kelembagaan lembaga ini harus formal dan didukung

oleh petani sehingga keberadaannya diakui oleh semua pihak yang

berkepentingan. Tantangan ini tentunya tidak mudah sehingga lembaga yang

menghimpun produsen/petani tersebut tidak hanya difungsikan sebagai

pesaing bagi pedagang saja.


VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil pembahasan mengenai analisis

produksi dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dapat disimpulan

bahwa:

1. Faktor-faktor yang menjadi determinan produksi dalam usahatani gambir

perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berpengaruh secara

nyata sebagai input adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir

yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam

pengendalian hama dan penyakit. Pengalaman petani dalam berusahatani

gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi

secara nyata. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap tingkat

produksi, kecuali luas lahan dan pengalaman petani dalam berusahatani.

Faktor lain yang berpengaruh secara tidak langsung pada tingkat produktivitas

lahan dalam usahatani gambir adalah jarak tanam dan cara penanaman. Faktor

sosial ekonomi lain yang berpengaruh pada tingkat produksi gambir baik

secara langsung maupun tidak adalah usia petani, lama pendidikan dan

teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan gambir.

2. Pengalokasian input tenaga kerja, pupuk kimia (Urea) dan pestisida belum

efisien. Pemakaian ketiga input tersebut masih bisa ditingkatkan atau

ditambah penggunaannya guna memaksimalkan keuntungan dalam usahatani

gambir, terutama pemakaian pupuk kimia dan pestisida yang jumlah

pengalokasiannya relatif masih sangat sedikit. Penyebab utamanya adalah


143

kondisi petani yang tidak memiliki cukup insentif untuk membeli pupuk dan

pestisida karena fluktuasi harga gambir di tingkat petani sangat tinggi

sehingga tidak ada kepastian dalam berusahatani. Input tetap luas lahan dalam

pemanfaatannya sudah tidak efisien lagi. Hal ini tidak berarti petani harus

mengurangi penggunaan lahan untuk mencapai efisiensi ataupun menambah

luas lahan lagi untuk meningkatkan hasil produksi gambir, karena dengan

lahan yang sudah ada sekarang pemanfaatannya belum optimal.

3. Struktur pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah weak oligopsony

market structure atau pasar persaingan tidak sempurna. Hal ini ditandai oleh

sangat tidak seimbangnya rasio petani dan pedagang yang ditunjukkan oleh

tingginya derajat konsentrasi pasar, serta ada indikasi tingginya hambatan

untuk masuk pasar bagi pedagang baru yang tergambar dari tingginya nilai

MES. Perilaku pasar sangat dipengaruhi oleh bentuk struktur pasar yang

sekarang berlaku sehingga menyebabkan peran pedagang dan eksportir dalam

menentukan harga relatif kuat dan dominan jika dibandingkan dengan petani

yang memiliki daya tawar yang rendah dalam mempengaruhi harga.

Kecenderungan perilaku yang menyebabkan kondisi di atas antara lain: petani

tersebar di berbagai wilayah dengan waktu panen yang sangat beragam,

tempat penjualan tersebar, transaksi jual beli tidak serentak dan cenderung

pada pedagang yang sama, jumlah yang dipanen masing-masing petani relatif

sedikit, sebagian petani masih terikat dengan pedagang tertentu karena

keterbatasan modal, produk yang dihasilkan relatif beragam dan belum adanya

standarisasi produk di tingkat petani yang mengarah pada perbaikan mutu,

sedangkan pasar akhir gambir atau konsumen akhir sebagian besarnya berada
144

di tempat yang sangat jauh dari sentra produksi. Kinerja pemasaran gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota belum efisien. Hal ini terlihat berdasarkan

indikator adanya kolusi antar pedagang di tingkat pasar yang berbeda dalam

menentukan harga sehingga harga yang terjadi pada pasar eksportir tidak

ditransmisikan secara sempurna pada tingkat petani, serta pasar di tingkat

petani dan eksportir belum terintegrasi dengan baik dimana integrasi pasar

yang terjadi lemah. Kondisi tersebut mengakibatkan tidak akan ada harga

terbaik yang akan berlaku bagi petani, walaupun kinerja pasar gambir

berdasarkan indikator margin pemasaran dari lembaga yang terlibat dalam

saluran pemasaran gambir relatif adil dan seimbang dalam pendistribusiannya

dan rasio harga yang diterima petani relatif tinggi. Akhirnya hal tersebut di

atas berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani.

7.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai produktivitas gambir yang menganalisis

penggunaan pupuk antara petani yang intensif menggunakan pupuk kimia,

intensif pupuk organik, kombinasi keduanya dan tanpa pemupukan, sehingga

diperoleh gambaran dan perbandingan yang lebih baik dan memadai untuk

membuat kesimpulan tentang pengaruh pemupukan pada produksi gambir.

2. Mengingat gambir adalah komoditas ekspor, maka perlu dilakukan penelitian

yang membahas tentang aspek permintaan dan penawaran gambir oleh industri

yang melakukan pengolahan lebih lanjut pada gambir mentah yang diproduksi

petani produsen, guna mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai

pasar gambir di tingkat yang lebih luas dan kemungkinan pengembangan

produk dan pasar komoditas gambir di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, R. 2003. Analisis Fungsi Produksi Usahatani Ubikayu dan Industri


Tepung Tapioka Rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, 6(2): 131-140.

Badan Pusat Statistik. 2003. Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran


Rumahtangga Kabupaten Lima Puluh Kota. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2007a. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Badan


Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2007b. Sumatera Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik


Sumatera Barat, Padang.

________________. 2008a. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Badan


Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2008b. Kecamatan Kapur IX dalam Angka. Badan Pusat


Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2008c. Ringkasan Eksekutif: Analisis Perkembangan Sektor


Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Lima Puluh Kota, Sarilamak.

_________________. 2008d. Statistik Perdagangan Luar Negeri Sumatera Barat:


Ekspor - Impor. Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, Padang.

_________________. 2008e. Kecamatan Lareh Sago Halaban dalam Angka.


Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

_________________. 2008f. Kecamatan Harau dalam Angka. Badan Pusat


Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

Cramer, G.L., C.W. Jensen and D.D. Southgate, Jr. 1997. Agricultural Economics
and Agribusiness. Seventh Edition. John Wiley & Sons, New York.

Dahl, D.C. and J.W. Hammond. 1977. Marketing and Price Analysis: The
Agriculture Industries. Macgraw Hill Book Company, New York.

Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing


Company, New York.
146

Dessalegn, G., T.S. Jayne and J.D. Shaffer. 1998. Market Structure, Conduct and
Performance: Constraints on Performance of Ethiopian Grain Markets.
Working Paper. Grain Market Research Project. Ministry of Economic
Development and Cooperation, Addis Ababa.

Dhalimi, A. 2006. Roadmap Penelitian dan Pengkajian Sistem dan Usaha


Agribisnis Gambir di Sumatera Barat. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 9(1): 87-99.

Djauhari, A. 1999. Pendekatan Fungsi Cobb-Douglas dengan Elastisitas Variabel


dalam Studi Ekonomi Produksi: Suatu Contoh Aplikasi pada Padi Sawah.
Jurnal Informatika Pertanian, 8(3): 507-516.

Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Applications.
John Wiley and Son, New York.

Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Terjemahan.


Edisi Kedua. Erlangga, Jakarta.

Ermiati. 2004. Budidaya, Pengolahan Hasil dan Kelayakan Usahatani Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Buletin TRO, 15(1): 50-64.

Firdaus, M., R. Oktaviani, A. Asmara dan Sahara. 2008. Analisis Struktur,


Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur di Indonesia. Working Paper
Series. Nomor 04/A/III/2008. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

George, P.S. and G.A. King. 1971. Consumer Demand for Food Commodities in
The United States with Projection for 1980. Giannini Foundation
Monograph Number 26. Department of Agricultural and Resource
Economics, University of California, Davis.

Harsoyo, Y. 2003. Analisis Efisiensi Produksi dan Pemasaran Komoditi Salak


Pondoh di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis Magister Sains.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hasiholan, B. 2005. Analisis Fungsi Produksi Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten


Serdang Bedagai. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas
Sumatera Utara, Medan.

Heytens, P.J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies,
20(1): 25-41.

Hukama, L.A. 2003. Analisis Pemasaran Jambu Mete: Studi Kasus Kabupaten
Buton dan Muna. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
147

Irawan dan Sudjoni. 2001. Pemasaran: Prinsip dan Kasus. Edisi Kedua. Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Jaya, W.K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Institut
Pertanian Bogor Press, Bogor.

Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth
Edition. Prentice Hall, New Jersey.

Kurniawan, I. 2003. Analisis Kelembagaan Pemasaran Gaharu di Kalimantan


Timur. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Lamb, C.W., J.F. Hair dan M. Daniel. 2001. Pemasaran. Terjemahan. Salemba
Empat, Jakarta.

Lau, L.J. and P.A. Yotopoulus. 1971. A Test for Relative Efficiency and
Application to Indian Agricultural. American Economic Review, 61(1): 94-
109.

Mason, E. 1939. Price and Production Policies of Large-Scales Enterprises.


American Economic Review, 29(2): 61-74.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian Pendidikan


dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.

Nazir, N. 2000. Gambir: Budidaya, Pengolahan dan Prospek Diversifikasinya.


Yayasan Hutanku, Padang.

________. R. Hakimi dan A. Bakhtiar. 2007. Kajian Teknologi Pengolahan


Gambir untuk Obat-obatan dan Kosmetik. Balai Penelitian dan
Pengembangan Daerah Sumatera Barat, Padang.

Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan.


Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta.

Parel, C.P., G.C. Caldito, P.L. Ferrer, G.G. Degusman, C.S. Sinsioco and R.H.
Tan. 1973. Sampling Design and Procedures. Philippine Social Science
Council, Quezon City.

Purcell, W.D. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash and


Future Price. A Prentice Hall Company, Virginia.

Rahim, A. dan D.R.D. Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian: Pengantar Teori dan
Kasus. Penebar Swadaya, Jakarta.
148

Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural


Economics, 68(1): 102-109.

Rusastra, I.W., B. Rachman, Sumedi dan T. Sudaryanto. 2003. Struktur Pasar dan
Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sahara, D., Yusuf dan Sahardi. 2004. Pengaruh Faktor Produksi pada Usahatani
Lada di Sulawesi Tenggara: Kasus Integrasi Lada-Ternak di Kecamatan
Landono Kabupaten Kendari. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 7(2): 139-145.

_________. dan Sahardi. 2005. Efisiensi Faktor Produksi Lada pada Pola
Usahatani Integrasi dan Pola Tradisional di Sulawesi Tenggara. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8(2): 242-249.

_________. dan Idris. 2005. Efisiensi Produksi Sistem Usahatani Padi pada Lahan
Sawah Irigasi Teknis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tenggara, Kendari.

_________. Z. Abidin dan A. Syam. 2006. Profil Usahatani dan Analisis Produksi
Kakao di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 9(2): 154-161.

Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Andi, Yogyakarta.

Simamora, B. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Gramedia, Jakarta.

Slameto. 2003. Analisis Produksi, Penawaran dan Pemasaran Kakao di Daerah


Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan Lampung. Tesis Magister
Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soekartawi, A. Soehardjo, J.L. Dillon dan J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani
dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

_________. 2003. Teori Ekonomi Produksi: Pokok Bahasan Analisis Fungsi


Cobb-Douglas. Raja Grafindo Rajawali Press, Jakarta.

Suciaty, T. 2004. Efisiensi Faktor-faktor Produksi dalam Usahatani Bawang


Merah. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian, Universitas Swadaya
Gunung Djati, Cirebon.
149

Sukiyono, K. 2004. Analisa Fungsi Produksi dan Efisiensi Teknik: Aplikasi


Fungsi Produksi Frontier pada Usahatani Cabai Merah di Kecamatan Selupu
Rejang Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia,
6(2): 104-110.

Tinambunan, A. 2007. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Gambir di


Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara. Tesis Magister Sains.
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Tomek, W. and K.L. Robinson. 1977. Agricultural Product Prices. Third Edition.
Cornel University Press, Ithaca.

Yekti, A. 2004. Efisiensi Usahatani Melon di Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten.


Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

Yuhono, J.T. 2004. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Gambir. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Buletin TRO, 15(2): 9-21.
LAMPIRAN
151

Lampiran 1. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi Komoditas


Gambir dengan Uji Statistik F dan Uji t

FUNGSI PRODUKSI COBB - DOUGLAS

The REG Procedure


Ordinary Least Squares Estimation
Model FUNCTION

Dependent Variable LNY

Number of Observations Read 133

Number of Observations Used 133

Uji F

Analysis of Variance

Source DF Sum of Mean F Value Pr > F


Squares Square

Model 12 92.30232 7.69186 150.12 <.0001

Error 120 6.14856 0.05124

Corrected Total 132 98.45088

Kesimpulan: Berdasarkan uji F nilai P (0,000) < alpha 5% artinya tolak H0


dimana minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh
nyata terhadap Y

Koefisien Determinasi Model:

Root MSE 0.22636 R-Square 0.9375

Dependent Mean 6.65764 Adj R-Sq 0.9313

Coeff Var 3.39998


152

Lampiran 1. Lanjutan

Uji t

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard t Value Pr > |t| Variance


Estimate Error Inflation

Intercept 1 2.17898 0.42338 5.15 <.0001 0

LNX1 1 0.98401 0.04969 19.80 <.0001 4.06094

LNX2 1 -0.24430 0.06241 -3.91 0.0002 3.63293

LNX3 1 0.13962 0.06722 2.08 0.0399 4.47590

LNX4 1 0.11996 0.04417 2.72 0.0076 2.94422

LNX5 1 -0.09065 0.04783 -1.90 0.0605 3.20929

LNX6 1 0.02010 0.01345 1.50 0.1375 1.64178

LNX7 1 0.09638 0.04175 2.31 0.0227 1.94911

D1 1 0.00948 0.04391 0.22 0.8295 1.25036

D2 1 0.19281 0.05407 3.57 0.0005 1.75062

D3 1 0.05039 0.05165 0.98 0.3312 1.56650

D4 1 0.19301 0.04877 3.96 0.0001 1.49742

D5 1 -0.05349 0.12193 -0.44 0.6617 1.12566


153

Lampiran 2. Hasil Uji Asumsi OLS pada Model Fungsi Produksi Komoditas
Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

1. Normplot of Residuals for LNY


UJI KENORMALAN
H0 : Galat menyebar Normal
H1 : Galat tidak menyebar Normal

k e n o r m a la n
Norm al
9 9 ,9
M ean 1 ,9 3 6 6 3 0 E - 1 6
S tD e v 0 ,2 1 5 8
99
N 1 3 3
KS 0 ,0 5 3
95 P - V a lu e > 0 ,1 5 0
90

8 0
7 0
Pe r ce n t

6 0
5 0
4 0
3 0
2 0
10
5

0 ,1
-0 ,5 0 -0 ,2 5 0 ,0 0 0 ,2 5 0 ,5 0 0 ,7 5
R ES I 1

Kesimpulan : karena nilai p > alpha 5% artinya terima H0  galat sudah


menyebar normal

2. Residuals vs Fits for LNY


Uji Heteroskedastisitas

Residuals Ver sus t he Fit t ed Values


( r esponse is LNY)
0,75

0,50

0,25
Residual

0,00

- 0,25

- 0,50

4 5 6 7 8
Fit t e d Va lue
154

Lampiran 2. Lanjutan

The regression equation is


|Ut| = 0,362 - 0,0437 LNX1 - 0,0349 LNX2 + 0,0327 LNX3 + 0,0287 LNX4
- 0,0046 LNX5 - 0,00034 LNX6 + 0,0253 LNX7 + 0,0209 D1 + 0,0639 D2
- 0,0294 D3 + 0,0236 D4 - 0,112 D5

Predictor Coef SE Coef T P


Constant 0,3619 0,2512 1,44 0,152
LNX1 -0,04374 0,02948 -1,48 0,141
LNX2 -0,03491 0,03703 -0,94 0,348
LNX3 0,03274 0,03989 0,82 0,413
LNX4 0,02867 0,02621 1,09 0,276
LNX5 -0,00459 0,02839 -0,16 0,872
LNX6 -0,000340 0,007979 -0,04 0,966
LNX7 0,02531 0,02478 1,02 0,309
D1 0,02092 0,02606 0,80 0,424
D2 0,06387 0,03209 1,99 0,049
D3 -0,02942 0,03065 -0,96 0,339
D4 0,02362 0,02894 0,82 0,416
D5 -0,11245 0,07235 -1,55 0,123

S = 0,134326 R-Sq = 8,7% R-Sq(adj) = 0,0%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 12 0,20518 0,01710 0,95 0,503
Residual Error 120 2,16521 0,01804
Total 132 2,37038

3. Uji Multikolinieritas
Nilai VIF (Variance Inflation Factor) < 10, tidak ada multikolinieritas

Kesimpulan:
Model regresi sudah memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)
155

Lampiran 3. Hasil Pengujian Skala Usahatani pada Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

Regression Analysis: LNY versus LNX1; LNX2; ...

The regression equation is


LNY = 2,18 + 0,984 LNX1 - 0,244 LNX2 + 0,140 LNX3 + 0,120 LNX4 –
0,0907 LNX5 + 0,0201 LNX6 + 0,0964 LNX7 + 0,0095 D1 + 0,193 D2
+ 0,0504 D3 + 0,193 D4 - 0,053 D5

Predictor Coef SE Coef T P VIF


Constant 2,1790 0,4234 5,15 0,000
TKER LNX1 0,98401 0,04969 19,80 0,000 4,1 ***
LLHN LNX2 -0,24430 0,06241 -3,91 0,000 3,6 ***
JUMP LNX3 0,13962 0,06722 2,08 0,040 4,5 **
UMUR LNX4 0,11996 0,04417 2,72 0,008 2,9 ***
PNGA LNX5 -0,09065 0,04783 -1,90 0,060 3,2 *
PPUK LNX6 0,02010 0,01345 1,50 0,138 1,6
PPES LNX7 0,09638 0,04175 2,31 0,023 1,9 **
DUMMY PEND D1 0,00948 0,04391 0,22 0,829 1,3
D. FREP D2 0,19281 0,05407 3,57 0,001 1,8 ***
D. JENG D3 0,05039 0,05165 0,98 0,331 1,6
D. CNAM D4 0,19301 0,04877 3,96 0,000 1,5 ***
D. BBT D5 -0,0535 0,1219 -0,44 0,662 1,1

S = 0,226358 R-Sq = 93,8% R-Sq(adj) = 93,1%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 12 92,3023 7,6919 150,12 0,000
Residual Error 120 6,1486 0,0512
Total 132 98,4509

Test Results for Variable

Num DF Den DF F Value Pr > F

1 120 0.27 0.6013

Hipotesis:

H0: Model sudah memenuhi constant return to scale

H1: Model tidak memenuhi constant return to scale

Karena F hitung < F tabel atau nilai P (0,6013) > alpha 5% maka terima H0,

artinya penggunaan faktor produksi berada pada tahap constant rate.


156

Lampiran 4. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007

data roni;
input PF PE PFt DPE PEt;
cards;
3475.98 2268.8 * * *
2896.76 3103.1 3475.98 834.3 2268.8
3500.89 4052.2 2896.76 949.1 3103.1
6377 8291.7 3500.89 4239.6 4052.2
7200 29139.6 6377 20847.8 8291.7
6790 10133.1 7200 -19006.4 29139.6
6867.67 16843.5 6790 6710.4 10133.1
8375 14467.9 6867.67 -2375.7 16843.5
9083 12570.1 8375 -1897.7 14467.9
8234 10378.3 9083 -2191.8 12570.1
8192.58 14302.2 8234 3923.9 10378.3
9089.78 19991.7 8192.58 5689.4 14302.2
9703.24 12365.1 9089.78 -7626.6 19991.7
9967.04 15938.6 9703.24 3573.5 12365.1
;
proc reg data=roni;
model PF = PFt DPE PEt;
restrict intercep = 0;
run;

The SAS System

The REG Procedure


Model: MODEL1
Dependent Variable: PF

Note: Restrictions have been applied to parameter estimates.

Note: Restrictions on intercept. R-Square is redefined.


Number of Observations Read 14

Number of Observations Used 13

Number of Observations with Missing Values 1


157

Lampiran 4. Lanjutan

Analysis of Variance

Source DF Sum of Mean F Value Pr > F


Squares Square

Model 3 759343511 253114504 235.31 <.0001

Error 10 10756549 1075655

Uncorrected Total 13 770100060

Root MSE 1037.13784 R-Square 0.9860

Dependent Mean 7405.92000 Adj R-Sq 0.9818

Coeff Var 14.00417

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard t Value Pr > |t|


Estimate Error

Intercept 1 -2.4747E-13 0 -Infty <.0001

PFt-1 1 0.92842 0.14904 6.23 <.0001

DPE 1 0.06519 0.04987 1.31 0.2204

PEt-1 1 0.06707 0.07887 0.85 0.4150

RESTRICT -1 1436.28702 1110.62661 1.29 0.2117*

* Probability computed using beta distribution.

KOEFISIEN KORELASI HARGA


Pearson correlation of PF and PE = 0,635
P-Value = 0,015
158

Lampiran 5. Data untuk Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007

Harga Harga
Harga Gambir Gambir Gambir Nilai Tukar Harga Gambir
Petani Mata Uang Eksportir
Tahun FOB FOB
(Rp/kg) (Rp/USD) (Rp/kg)
(USD/ton) (USD/kg)
PF PFOB ER PE
1994 3475,98 1047,92 1,05 2160,75 2268,79
1995 2896,76 1378,77 1,38 2248,61 3103,08
1996 3500,89 1734,67 1,73 2342,30 4052,18
1997 6377,00 2848,34 2,85 2909,38 8291,73
1998 7200,00 2908,60 2,91 10013,60 29139,58
1999 6790,00 1287,34 1,29 7855,15 10133,14
2000 6867,67 1997,00 2,00 8421,77 16843,54
2001 8375,00 1408,07 1,41 10260,90 14467,87
2002 9083,00 1350,26 1,35 9311,20 12570,12
2003 8234,00 1206,30 1,21 8577,10 10378,29
2004 8192,58 1597,87 1,60 8938,90 14302,24
2005 9089,78 2055,00 2,06 9704,70 19991,68
2006 9703,24 1353,72 1,35 9159,30 12365,06
2007 9967,04 1761,28 1,76 9056,00 15938,56

Sumber: Diolah dari Statistik Perkebunan Sumatera Barat dan BPS, 2008d
159

Lampiran 6. Data Primer untuk Analisis Produksi Usahatani Gambir Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009
Volume Penggunaan Luas Jumlah Umur Pengalaman Penggunaan Penggunaan Dummy Dummy Dummy Dummy Dummy
Produksi Tenaga Lahan Pohon Tanaman Bertani Pupuk Pestisida Pendidikan Frekwensi Jenis Cara Budidaya Bibit
Gambir Kerja Gambir Gambir Gambir Urea 1. > 6 tahun Panen Gambir 1. Gambir saja 1. Unggul
Nomor Nama per Tahun Menghasilkan 0. < 6 tahun per Tahun 1. Campur 0. Tumpang sari 0. Campuran
Responden Petani Jorong/Kanagarian/Kecamatan 1. Tiga kali 0. Murni
(HOK) (ha) (batang) (tahun) (tahun) (kg) (liter) 0. < 3 kali

PROG TKER LLHN JUMP UMUR PNGA PPUK PPES DPEND FREP JENG CNAM DBBT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 D1 D2 D3 D4 D5
1 Zulfahmi Lambuak/Halaban/Lareh Sago Halaban 600 230 1 2500 12 15 0 2 1 0 0 0 0
2 Amir Sawin Padang Tangah/Halaban/L. S. Halaban 1400 390 1,5 3700 12 12 0 3 1 0 0 0 0
3 Amir Sawin II " 1000 280 1 3000 5 12 0 2 1 0 0 1 0
4 Dalius Kapalo Koto/Halaban/LSH 2000 698 5 6500 39 40 0 4 0 0 0 0 0
5 Dalius II " 3000 1030 7 8000 34 40 0 6 0 0 0 0 0
6 Syaiful " 1400 468 3 4000 12 13 0 4 1 0 0 0 0
7 Dailami " 600 190 3 2500 54 54 0 4 0 0 0 0 0
8 Ermiati " 2000 610 1 5000 10 10 0 3 1 0 0 0 0
9 Bunani BS " 1200 570 4 4000 39 50 0 5 0 0 0 0 0
10 Bunani BS II " 600 270 2 3000 34 50 0 3 0 0 0 0 0
11 Nawar Lambuak/Halaban/LSH 220 88 0,7 3500 10 10 0 2 0 0 0 0 0
12 Firdaus " 700 240 1,5 4500 5 5 0 3 1 0 0 0 0
13 Masrizal Padang Tangah/Halaban/LSH 450 180 1,5 3000 12 12 0 3 1 0 0 0 0
14 Ernawati Lambuak/Halaban/LSH 1000 326 2 6500 20 20 0 4 1 0 0 1 0
15 Bulkhaini " 1200 380 2 6500 5 32 0 4 0 0 0 1 0
16 Bulkhaini II " 800 290 2 5000 32 32 0 4 0 0 0 0 0
17 Anwar Padang Tangah/Halaban/L. S. Halaban 300 112 1 4000 2 10 20 2 0 0 0 0 0
18 Anwar II " 600 190 1 4000 10 10 30 2 0 0 0 0 0
19 Helmi Kabun/Halaban/LSH 100 34,4 0,56 2500 4 4 0 0 1 0 0 0 0
20 Julidar " 1956 692 5 18000 13 13 0 8 1 0 0 0 0
21 Zalmi " 240 94,4 0,86 2500 4 4 0 2 1 0 0 0 0
22 Ismed " 100 44 0,5 2000 4 4 0 1 1 0 0 0 0
23 Arius " 500 206 2 5000 3 3 0 5 0 0 0 0 0
24 Ali Amran (on) " 100 44 0,5 2000 5 5 0 0 1 0 0 0 0
25 Africhan " 50 22 1 1500 5 5 0 0 1 0 0 0 0
26 Juswati " 240 88 0,8 2000 10 10 0 0 1 0 0 0 0
27 M. Natsir " 600 230 1 3000 3 3 0 0 0 0 0 0 0
28 Armen-Reni " 1000 332 1 4200 6 6 0 2 1 0 0 1 0
29 Jainis " 340 170 1 3500 5 5 0 0 1 0 0 0 0
30 Yunirman " 172 57 1 3000 5 5 0 0 1 0 0 0 0
31 Masri " 200 84 1,5 4200 5 5 0 2 1 0 0 0 0
32 Nurpen " 300 118 2 3000 6 6 0 2 1 0 0 0 0
33 Ondra Wira " 100 30 0,25 1200 4 4 0 0 1 0 0 0 0
34 Nedi Coran/Sitanang/LSH 1000 220 1 2500 4 4 50 3 1 0 1 1 0
35 Dasril " 1600 368 2 5500 10 10 70 5 1 0 1 1 0
160

Lampiran 6. Lanjutan
Volum e Penggunaan Luas Jum lah Um ur Pengalam an Penggunaan Penggunaan Dum m y Dum m y Dum m y Dum m y Dum m y
Produksi Tenaga Lahan Pohon Tanam an Bertani Pupuk Pestisida Pendidikan Frekwensi Jenis Cara Budidaya Bibit
G am bir Kerja G am bir G am bir G am bir Urea 1. > 6 tahun Panen G am bir 1. G am bir saja 1. Unggul
Nom or Nam a per Tahun M enghasilkan 0. < 6 tahun per Tahun 1. Cam pur 0. Tum pang sari 0. Cam puran
Responden Petani Jorong/Kanagarian/Kecam atan 1. Tiga kali 0. M urni
(HO K) (ha) (batang) (tahun) (tahun) (kg) (liter) 0. < 3 kali

PRO G TKER LLHN JUM P UM UR PNG A PPUK PPES DPEND FREP JENG CNAM DBBT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 D1 D2 D3 D4 D5
36 Sugim an Bio-bio/Solok Bio-bio/Harau 600 104 0,5 1250 13 13 0 1 1 0 0 0 0
37 Khaidir " 900 268 1 4200 12 12 100 2 0 0 1 0 0
38 Jasril Padang Laweh/Solok Bio-bio/Harau 1200 280 1 6500 14 14 50 2 0 0 1 0 0
39 Yusuf Bio-bio/Solok Bio-bio/Harau 2200 510 2,5 10500 12 12 250 4 0 0 1 1 0
40 Yusuf II " 800 200 1 4200 11 12 100 2 0 0 1 1 0
41 Yusuf III " 1100 290 1,5 6000 10 12 150 2 0 0 1 1 0
42 W ardi " 1160 240 1 4200 10 10 30 3 0 0 1 1 0
43 Jon Azizar " 900 256 1 4200 19 19 0 1 0 0 1 1 0
44 Jon Azizar II " 1400 420 1,5 6300 14 19 0 1 0 0 1 1 0
45 Jon Azizar III " 1200 310 1 4200 10 19 0 1 0 0 1 1 0
46 Yondesrizal " 1400 540 3 9500 29 19 50 9 1 0 1 1 0
47 Yondesrizal II " 1200 410 2 6500 4 19 50 6 1 0 1 1 0
48 Edi " 200 58 1 4000 2 2 0 0 0 0 1 1 1
49 Pen Dt. Putiah " 1200 330 1,5 6500 2 2 50 2 1 0 1 1 0
50 Peniwidia " 600 124 1,5 2000 30 5 0 2 1 0 1 1 0
51 Asm ardi N. " 2800 788 3,2 10400 29 29 100 6 1 0 1 1 0
52 Nurjas-Nildawati " 600 138 1 2500 39 39 0 0 1 0 1 1 0
53 Nurjas-Nildawati II " 1600 462 3 9500 15 39 0 0 1 0 1 1 0
54 Rism an-Des " 1760 310 1 6500 16 16 50 4 0 0 0 1 0
55 Rism an-Des II " 2400 460 1 6500 12 16 50 4 0 0 0 1 0
56 Tin Syofiani " 1000 280 1 4200 12 12 50 2 1 0 0 1 0
57 Tin Syofiani II " 1200 310 1 4200 9 12 50 2 1 0 0 1 0
58 Jasri " 900 215 0,65 3000 29 29 0 3 0 0 1 1 0
59 Erni-Zulfikar " 240 58 2 4000 29 7 50 2 1 0 1 1 0
60 Irm an-M edrawati " 700 180 1 4000 16 16 30 2 1 0 1 1 0
61 Irm an-M edrawati II " 1600 370 2,25 8500 4 16 70 5 1 0 1 1 0
62 Elidawarti-N. Nasri " 400 102 1 3000 29 29 50 3 0 0 1 1 0
63 Yanto-M ulia Fitri " 500 84 0,6 2500 6 6 0 2 0 0 1 1 0
64 Naldi-Irawati " 720 129 1,5 5000 15 15 0 2 1 0 1 1 0
65 Aliyunir-Nam ina " 600 198 1 4200 19 19 50 2 0 0 1 1 0
66 M elly-Eldi " 400 76 0,5 2500 9 9 25 2 1 0 1 1 0
67 Syafri Dt. Kuniang " 1600 520 2 7500 30 36 80 5 1 0 1 1 0
68 Syafri Dt. Kuniang II " 1000 320 2 5000 10 36 80 5 1 0 1 1 0
69 Syafri Dt. Kuniang III " 1600 320 1,5 6500 15 36 40 5 1 0 1 1 0
70 Rustam " 1000 176 1 4500 15 15 50 5 0 0 1 0 0
71 Alinis-Ratna Juina " 600 129 0,5 2000 16 16 10 1 0 1 1 1 0
72 Alinis-Ratna Juina II " 1600 330 1,5 6000 7 16 50 4 0 0 1 1 0
73 Jam alus " 1000 220 1 4000 40 50 20 5 0 0 1 1 0
74 Jam alus II " 600 110 0,5 2000 25 50 10 2 0 0 1 1 0
75 Jam alus III " 1000 220 1 4000 47 50 20 5 0 0 1 1 0
76 Edison " 300 56 0,5 2000 13 13 25 1 1 0 1 0 0
77 Edison II " 300 56 0,5 2000 15 13 25 1 1 0 1 0 0
78 Rism an " 600 140 1 3000 10 10 30 2 1 0 1 1 0
79 Ali Am ran " 1000 280 1 4000 15 15 50 2 0 0 1 1 0
80 Jum ar Dedi " 1900 436 1 7500 6 6 100 7 0 0 1 1 0
81 Alizar-Dar " 3000 444 2 8200 9 9 50 15 0 0 1 1 0
82 M usranandi (iwan) " 1200 250 1 6000 7 7 0 2 1 0 1 1 0
161

Lampiran 6. Lanjutan
V o lu m e Penggunaan Luas J u m la h U m ur P e n g a la m a n Penggunaan Penggunaan D um m y D um m y D um m y D um m y D um m y
P ro d u k s i T e n a g a Lahan Pohon T a n a m a n B e rta n i Pupuk P e s tis id a P e n d id ik a n F re k w e n s i J e n is C a ra B u d id a ya B ib it
G a m b ir K e rja G a m b ir G a m b ir G a m b ir U re a 1 . > 6 ta h u n Panen G a m b ir 1 . G a m b ir s a ja 1. U nggul
N om or N am a per Tahun M e n g h a s ilk a n 0 . < 6 ta h u n per Tahun 1. C am pur 0 . T u m p a n g s a ri 0 . C a m p u ra n
R esponden P e ta n i J o ro n g /K a n a g a ria n /K e c a m a ta n 1 . T ig a k a li 0 . M u rn i
(H O K ) (h a ) (b a ta n g ) (ta h u n ) (ta h u n ) (k g ) (lite r) 0 . < 3 k a li

PROG TKER LLH N JU M P UMUR PNGA PPUK PPES DPEND FREP JEN G CNAM DBBT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 D1 D2 D3 D4 D5
83 S yu h a d a J o ro n g D u a /K o to B a n g u n /K a p u r IX 1200 226 0 ,7 5 3500 8 8 50 3 0 1 1 0 0
84 S yu h a d a II " 1500 312 1 4200 3 8 100 6 0 1 1 0 0
85 M a jid " 1800 316 0 ,7 5 3150 16 16 75 3 0 1 1 0 0
86 R o h ya t " 900 226 0 ,7 5 3000 16 16 50 1 0 1 1 0 0
87 R o h ya t II " 150 66 0 ,2 5 1050 3 16 50 1 0 1 1 0 0
88 M am an " 450 126 0 ,7 5 3000 15 15 0 1 0 1 1 0 0
89 Agus " 900 289 0 ,7 5 3100 8 8 10 3 0 1 1 0 0
90 A g u s II " 2100 420 1 4000 6 8 30 6 0 1 1 0 0
91 A g u s III " 2100 420 1 4000 3 8 30 6 0 1 1 0 0
92 T e d y M u lya d i " 1350 297 2 ,2 5 6000 12 12 100 4 1 1 1 0 0
93 A b d u l H a m id " 1500 495 1 ,5 6200 11 11 150 5 0 1 1 0 0
94 B o e rh a n a fi " 2400 585 1 ,5 6300 12 12 20 2 0 1 1 0 0
95 B o e rh a n a fi II " 3000 660 2 8400 10 12 30 3 0 1 1 0 0
96 Januar " 750 154 0 ,7 5 3000 12 12 20 4 0 1 1 0 0
97 N a n a n g B a h ro m " 450 123 1 ,5 3000 16 16 30 5 1 1 1 0 0
98 D ju fri " 2400 570 2 6400 4 13 75 10 0 1 1 0 0
99 D ju fri II " 2400 630 1 ,5 6400 13 13 75 6 0 1 1 0 0
100 Supan " 400 114 0 ,7 5 2500 16 16 50 2 1 0 1 0 0
101 S u p a n II " 300 62 0 ,5 2000 9 16 50 2 1 0 1 0 0
102 H a rd is " 450 6 7 ,5 0 ,2 5 800 4 4 20 1 ,5 1 1 0 1 0
103 A s w a rti " 600 87 0 ,7 5 2400 12 12 40 0 0 1 0 0 0
104 A s w a rti II " 210 47 0 ,2 5 500 3 12 10 0 0 1 0 1 0
105 W a h yu d i " 900 284 1 ,5 3500 3 3 30 4 1 1 1 1 0
106 R a h m a t H id a ya t " 1350 240 1 5000 3 3 0 8 1 1 1 0 0
107 J a s ril " 1800 468 2 7000 2 2 50 2 0 1 1 0 0
108 M a s n i-E t " 1400 410 2 8200 10 10 50 4 1 0 0 0 0
109 M a s n i-E t II " 2250 615 2 8200 3 10 50 3 1 1 1 0 0
110 Z u lh e rm a n (ic u n ) " 600 156 1 3000 3 3 0 2 1 0 1 0 0
111 Iya t S u rya d i " 600 177 0 ,7 5 2200 9 13 0 3 0 1 1 0 0
112 S u k ri " 600 123 0 ,7 5 2100 13 13 20 3 0 1 1 0 0
113 A a M u lya n a " 450 163 0 ,7 5 2000 6 6 10 1 1 1 1 0 0
114 A a M u lya n a II " 1800 489 2 3500 4 6 40 4 1 1 1 0 0
115 D e d e k M u lya m in " 105 33 0 ,7 5 500 5 5 20 0 1 1 1 0 0
116 S u d ju d " 240 72 0 ,7 5 1000 14 14 20 4 0 1 1 0 1
117 A e p S ya ifu l K h o lid " 780 150 0 ,7 5 2500 12 12 55 4 1 1 1 0 0
118 A e p S ya ifu l K h o lid II " 780 150 0 ,7 5 2500 11 12 55 4 1 1 1 0 0
119 P o e rw a n to " 240 81 0 ,7 5 2000 12 12 20 2 1 1 1 0 0
120 P o e rw a n to II " 600 180 2 3000 3 12 30 5 1 1 1 0 0
121 S ya fril B u yu n g " 900 181 0 ,7 5 2000 10 10 20 2 1 1 1 1 1
122 W a h id " 261 51 0 ,7 5 2000 2 2 0 1 ,5 0 1 1 0 0
123 D adang H am dani " 1545 402 2 4500 5 5 0 5 1 1 1 0 1
124 A h m a d R u s ta n d i " 240 81 0 ,7 5 1500 14 14 20 2 0 1 1 0 0
125 A h m a d R u s ta n d i II " 1350 300 2 4500 8 14 30 4 0 1 1 0 0
126 A h m a d R u s ta n d i III " 1800 360 1 ,2 5 4500 12 14 30 4 0 1 1 0 0
127 M u rs a l K a m p u n g D a la m /M u a ro P a iti/K a p u r IX 3300 840 3 28000 12 17 0 0 0 1 0 1 0
128 Y e ld i K a m p u n g B a ru /K o to B a n g u n /K a p u r IX 1500 312 1 4200 5 5 50 4 1 1 1 0 0
129 M a w a rd i " 900 300 3 6500 12 12 0 10 0 1 1 0 0
130 M a w a rd i II " 900 270 2 6500 10 12 0 10 0 1 1 0 0
131 Z a in a l N a n D ic in to /L u b u a k A la i/K a p u r IX 3000 450 3 12500 6 6 50 3 1 1 0 1 0
132 Z a in a l II N a n D ic in to /L u b u a k A la i/K a p u r IX 2550 328 2 8400 5 6 50 3 1 1 0 1 0
133 Z a in a l III N a n D ic in to /L u b u a k A la i/K a p u r IX 600 206 1 4000 3 6 20 1 1 1 0 1 0
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

RONI AFRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

saya yang berjudul:

ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR


DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan

secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, September 2009

Roni Afrizal
NRP. H353070091
ABSTRACT

RONI AFRIZAL. Analysis of Gambier Production and Marketing in Kabupaten


Lima Puluh Kota West Sumatera Province (HENY K.S. DARYANTO as a
Chairman and DEDI BUDIMAN HAKIM as a Member of the Advisory
Committee).

Gambier is one of West Sumatera export commodities which has been


planted by many farmers in Kabupaten Lima Puluh Kota. As an export
commodity, this product has not yet contributed adequately to the improvement of
farmer’s welfare. The purposes of this current work are to analyze the allocative
efficiency of the use of production factors in gambier plantation, the market
integration, the marketing efficiency and the interrelation between production and
marketing activities of gambier commodity both of which are connected by a
marketing system of agricultural product in Kabupaten Lima Puluh Kota. The
analysis employed the Cobb-Douglas production function model and the
structure-conduct-performance approach. Factors significantly affecting gambier
production are labor, land size, a number of productive gambier trees, the plant’s
age, the use of pesticide, farmer’s experience, cultivation frequency and planting
procedure. The use of labor, fertilizer and pesticide were to increase due to their
inefficient allocation. Gambier market in Kabupaten Lima Puluh Kota suffers
from a weak oligopsony market structure and the gambier marketing activity
seems not yet efficient.

Keywords: gambier, cobb-douglas production function, allocative efficiency,


structure-conduct-performance, oligopsony
RINGKASAN

RONI AFRIZAL. Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima


Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat (HENY K.S. DARYANTO sebagai Ketua
dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sumatera Barat merupakan daerah sentra produksi gambir. Komoditas ini


termasuk tanaman khas daerah tropis dengan manfaat serbaguna. Prospek pasar
dan potensi pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku
dalam berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani
perkebunan rakyat di Sumatera Barat. Kabupaten Lima Puluh Kota adalah salah
satu daerah sentra produksi gambir di Sumatera Barat. Pengembangan komoditas
gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya, masih sangat prospektif bila
dilihat dari potensi produksi dan pemasaran pada pasar domestik dan ekspor.
Prospek yang potensial terhadap permintaan gambir di pasar dalam dan luar
negeri, belum dibarengi dengan peningkatan produktivitas maupun pendapatan
petani, meskipun sudah ada peningkatan luas areal maupun produksi. Agar
produktifitas dapat ditingkatkan dan kualitas mutu olahan dapat diperbaiki yang
memungkinkan akses ke pasar menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai aspek produksi dan pemasaran gambir.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis efisiensi penggunaan faktor-
faktor produksi dalam usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan (2)
menganalisis efisiensi pemasaran gambir dengan menilai kinerja partisipan yang
terlibat dalam pasar gambir menggunakan pendekatan structure-conduct-
performance (SCP) serta keterpaduan pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh
Kota. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan pertimbangan
bahwa daerah ini merupakan sentra produksi gambir yang memberikan kontribusi
terbesar, baik dari segi luas lahan maupun produksi gambir bagi provinsi
Sumatera Barat. Selanjutnya dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipilih lagi tiga
kecamatan secara sengaja (purposive) yang menjadi sentra produksi gambir yaitu
Kecamatan Kapur IX, Lareh Sago Halaban dan Harau. Penelitian ini
menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk data cross section yang
akan digunakan untuk analisis efisiensi produksi dan pemasaran, serta data time
series yang dipakai untuk kelengkapan analisis kinerja pemasaran gambir mulai
tahun 1994 - 2007. Data cross section bersumber dari responden penelitian yaitu
petani dan pedagang gambir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara langsung terhadap sampel petani dan pedagang gambir yang terpilih.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam
kuisioner terstruktur yang telah disiapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Model
fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian
pertama. Sedangkan untuk analisis efisiensi pemasaran menggunakan pendekatan
SCP. Pengolahan data untuk analisis produksi gambir dengan model fungsi
produksi Cobb-Douglas menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS).
Data diolah dengan menggunakan program SAS 9.1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menjadi determinan
produksi dalam usahatani gambir perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh
Kota yang berpengaruh secara nyata adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah pohon
gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam
pengendalian hama dan penyakit. Selain itu pengalaman petani dalam
berusahatani gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat
produksi gambir secara nyata. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap
tingkat produksi gambir, kecuali luas lahan dan pengalaman petani dalam
berusahatani gambir. Pengalokasian faktor produksi tenaga kerja, terutama pupuk
dan pestisida dalam usahatani gambir belum efisien. Pemakaian kedua input
tersebut masih bisa ditingkatkan atau ditambah penggunaannya guna
memaksimalkan keuntungan dalam usahatani gambir. Input tetap luas lahan,
dalam pemanfaatannya sudah tidak efisien lagi.
Kinerja pasar gambir berdasarkan indikator margin pemasaran dari lembaga
yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir relatif adil dan seimbang dalam
pendistribusiannya dan rasio harga yang diterima petani relatif tinggi. Beberapa
indikator lainnya memperlihatkan bahwa kinerja pemasaran gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota belum efisien. Pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
berada pada kondisi weak oligopsony market structure atau pasar persaingan tidak
sempurna. Hal ini ditandai oleh sangat tidak seimbangnya rasio petani dan
pedagang yang ditunjukkan oleh tingginya derajat konsentrasi pasar dan ada
indikasi relatif tingginya hambatan untuk masuk pasar bagi pedagang baru yang
tergambar dari tingginya nilai MES. Perilaku pasar terlihat bahwa petani tersebar
di berbagai wilayah dengan waktu panen yang sangat beragam, tempat penjualan
tersebar dan tidak serentak, jumlah yang dipanen masing-masing petani relatif
sedikit, produk yang dihasilkan beragam, sedangkan pasar akhir gambir atau
konsumen akhir sebagian besar berada di tempat yang sangat jauh dari sentra
produksi, sehingga daya tawar petani menjadi rendah. Pasar di tingkat petani dan
eksportir belum terintegrasi dengan baik. Kondisi di atas mengakibatkan tidak ada
harga terbaik yang berlaku bagi petani, yang akhirnya hal tersebut berdampak
pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani.

Kata Kunci: gambir, fungsi produksi cobb-douglas, efisiensi alokatif, struktur-


perilaku-kinerja, oligopsoni
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT

RONI AFRIZAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS
(Dosen Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang:


Prof. Dr. Ir. Kuntjoro
(Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Judul Tesis : Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat
Nama Mahasiswa : Roni Afrizal

Nomor Pokok : H353070091

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, MEc Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc
Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 19 Agustus 2009 Tanggal Lulus: 4 September 2009


Tesis ini dipersembahkan untuk istriku tercinta Resa
dan kedua anak kami, Atikah dan Hafizh
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul ”Analisis

Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi

Sumatera Barat”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto,

MEc dan Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc selaku Komisi Pembimbing yang

telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang

sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis

sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi

Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dalam

proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.

2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir.

Kuntjoro sebagai Penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan

Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi

perbaikan tesis ini.

3. Seluruh staf Mayor EPN, Mba Ruby, Mba Yani, Mba Aam, Ibu Kokom, Ibu

Siti dan Pak Husen yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk

membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi.

4. Keluarga besarku di Padang Balimbiang, Lareh dan Koto Nan Ampek.

Teristimewa untuk kedua orang tuaku terkasih, Almarhum Ayahanda M.

Husnan Kamil dan Ibunda Syamsudiar, Almarhumah Mak Tuo Barina,


keluarga Uda Husriadi, keluarga Uni Fitriani, keluarga Uni Rita Nitri,

keluarga Uda Afrinaldi, Ama-Apa di Bendang, Gina Erwita, Dendi Pratama

serta keluarga besar Mess Universitas Andalas di Bogor, Edi Syafri dan

anggota Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Barat (IMPACS).

5. Al Hendri dan keluarga besar Bapak Zulfahmi di Lambuak-Halaban, keluarga

besar Mas Sugiman di Solok Bio-bio Harau dan keluarga besar Uda Bakar di

Trans-Koto Bangun Kapur IX, yang telah bersedia menampung penulis

selama pengambilan data lapangan. Jazaakumullaahu khairan katsiiran atas

keikhlasan dan ketulusan bantuan serta jalinan persaudaraannya.

6. Istriku Resa Yulita dan yang tersayang anakku Atikah dan Hafizh.

Jazaakumullaahu khairan katsiiran atas doa dan pengorbanannya.

Teman-teman EPN angkatan 2007, Dian, Mba Wiwiek, Mba Desi, Wanti,

Mba Asri, Fitri, Mba Ries, Mas Ambar, Mas Fer, Pak Narta, Pak Zul, Pak

Suryadi, Pak Adi, Non Dewi dan Uni Aida untuk kebersamaan selama

perkuliahan dan proses penulisan tesis ini, juga pada pihak-pihak lain yang

namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak

memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai

pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak

yang membutuhkannya.

Bogor, September 2009

Roni Afrizal
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Pakan Rabaa Kecamatan Lareh Sago Halaban,

Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 1 April 1977 dari Ayah M. Husnan

Kamil (Almarhum) dan Ibu Syamsudiar. Bungsu dari lima bersaudara.

Tahun 1996 lulus dari SMA Negeri 1 Luhak dan diterima sebagai

mahasiswa S1 pada Jurusan Manajemen, dengan pilihan konsentrasi Manajemen

Pemasaran di Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas di Padang melalui jalur

Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Tamat April 2001. Penulis

melanjutkan studi S2 tahun 2007 pada Program Magister Sains di Mayor Ilmu

Ekonomi Pertanian, dengan pilihan konsentrasi Pemasaran dan Perdagangan

Pertanian, di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa

Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Pertanian Universitas

Andalas sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang. Mata kuliah yang pernah

diasuh diantaranya adalah Manajemen Pemasaran, Manajemen Finansial dan Riset

Operasi. Bidang ilmu yang menjadi konsentrasi adalah Manajemen Pemasaran.

Penulis menetap di Kota Payakumbuh, menikah tahun 2003 dengan Resa

Yulita binti Emris Jakfar dan telah dikaruniai dua orang anak, Atikah

Muthmainnah Syahidah dan Abdurrahman Al Hafizh.


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................. xvi

DAFTAR GAMBAR…………………………………….……........ xviii

DAFTAR LAMPIRAN………………………….....……….……… xix

I. PENDAHULUAN………………….…………………….…..…..… 1

1.1. Latar Belakang……………………………….…….………….. 1


1.2. Perumusan Masalah…………………………..............……….. 4
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........………….….………... 9
1.4. Ruang Lingkup Penelitian........................................................... 10
1.5. Keterbatasan Penelitian…………............................................... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 12

2.1. Kinerja Usahatani Komoditas Gambir........................................ 12


2.2. Penelitian Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani
Komoditas Pertanian................................................................... 14
2.3. Penelitian Efisiensi Pemasaran pada Berbagai Usahatani
Komoditas Pertanian................................................................... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN.............................................................. 20

3.1. Teori Produksi............................................................................. 20


3.1.1. Fungsi Produksi................................................................. 22
3.1.2. Analisis Efisiensi Produksi............................................... 25
3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian....................................... 29
3.2.1. Pendekatan dalam Studi Pemasaran.................................. 32
3.2.2. Konsep Efisiensi Pemasaran............................................. 34
3.2.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar.................... 36
3.2.2.2. Margin Pemasaran................................................ 41
3.2.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani..................... 44
3.2.2.4. Elastisitas Transmisi Harga.................................. 45
Halaman
3.2.2.5. Keterpaduan Pasar................................................ 45
3.3. Tahapan Penelitian...................................................................... 48

IV. METODE PENELITIAN................................................................... 51

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian....................................................... 51


4.2. Jenis dan Sumber Data................................................................ 52
4.3. Metode Pengambilan Sampel...................................................... 53
4.4. Metode Pengumpulan Data......................................................... 56
4.5. Model Analisis............................................................................ 56
4.5.1. Analisis Produksi.............................................................. 56
4.5.2. Analisis Pemasaran........................................................... 62
4.5.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar.................... 63
4.5.2.2. Margin Pemasaran................................................ 65
4.5.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani..................... 66
4.5.2.4. Keterpaduan Pasar................................................ 67
4.6. Definisi Operasional.................................................................... 69
4.7. Pengolahan Data.......................................................................... 70

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN


KERAGAAN USAHATANI GAMBIR............................................ 71

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Lima Puluh Kota......................... 71


5.1.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim.............................. 71
5.1.2. Wilayah dan Penduduk..................................................... 72
5.1.3. Penggunaan Lahan dan Perkembangan Pertanian............. 73
5.1.4. Potensi Pengembangan Gambir........................................ 74
5.2. Keragaan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.... 76
5.2.1. Karakteristik Responden................................................... 76
5.2.2. Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani Gambir.......... 77
5.2.3. Karakteristik Usahatani Gambir........................................ 85

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 88

6.1. Analisis Produksi Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota........ 88

xiv
Halaman
6.1.1. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi
Gambir............................................................................... 88
6.1.2. Pengujian Fungsi Produksi Gambir.................................. 93
6.1.3. Analisis Efisiensi Alokatif Produksi Gambir.................... 103
6.2. Analisis Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota..... 106
6.2.1. Struktur Pasar Gambir....................................................... 106
6.2.1.1. Jumlah Partisipan dan Derajat Konsentrasi Pasar 106
6.2.1.2. Hambatan Keluar Masuk Pasar............................ 109
6.2.1.3. Kondisi dan Keadaan Produk............................... 110
6.2.1.4. Lembaga Pemasaran............................................. 111
6.2.2. Perilaku Pasar Gambir....................................................... 125
6.2.2.1. Praktek Pembelian dan Penjualan........................ 125
6.2.2.2. Proses Pembentukan Harga.................................. 128
6.2.2.3. Kerjasama Antarlembaga Pemasaran................... 130
6.2.3. Kinerja Pasar Gambir........................................................ 131
6.2.3.1. Bagian Harga yang Diterima Petani..................... 131
6.2.3.2. Keterpaduan Pasar dan Elastisitas Transmisi
Harga.................................................................... 133
6.3. Implikasi Kebijakan.................................................................... 139

VII. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 142

7.1. Kesimpulan................................................................................. 142


7.2. Saran............................................................................................ 144

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 145

LAMPIRAN....................................................................................... 150

xv
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbandingan Luas Semua Kecamatan dan Jumlah Nagari di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 72

2. Perkembangan Produksi Beberapa Komoditas Tanaman


Perkebunan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 –
2007............................................................................................ 73

3. Perkembangan Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga


Berlaku di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 – 2007.... 74

4. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produksi Gambir di


Semua Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2007............................................................................................ 75

5. Karakteristik Responden Petani Gambir di Kabupaten Lima


Puluh Kota Tahun 2009............................................................. 76

6. Karakteristik Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh


Kota Tahun 2009........................................................................ 85

7. Keragaan Produksi Gambir Berdasarkan Perlakuan Sampel di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 86

8. Kelayakan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


per Hektar................................................................................... 87

9. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009............................................................. 96

10. Tingkat Efisiensi Alokatif Penggunaan Faktor Produksi pada


Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009............................................................................................ 104

11. Perbandingan Jumlah Partisipan Pasar Gambir di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009.................................................... 107

12. Klasifikasi dan Market Share Sampel Pedagang Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 107

13. Fungsi-Fungsi yang Dilakukan Lembaga Pemasaran Gambir


di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009............................. 116
14. Margin Pemasaran Komoditas Gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009............................................................. 121

15. Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................ 122

16. Farmer’s Share Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh


Kota Tahun 2009........................................................................ 132

17. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009................................. 135

18. Tingkat Hubungan Integrasi Pasar dalam Analisis Korelasi .... 137

xvii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perkembangan Luas Areal Tanam Gambir di Sumatera Barat


dan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007............... 2

2. Perbandingan Produksi Gambir Sumatera Barat dengan


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007..................... 3

3. Produktivitas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun


1996 – 2007............................................................................... 5

4. Produk Total, Produk Marginal, Produk Rata-Rata dan Tiga


Tahapan Produksi...................................................................... 24

5. Kurva Permintaan Asal, Permintaan Turunan, Penawaran


Asal dan Penawaran Turunan.................................................... 43

6. Tahapan Analisis Produksi dan Pemasaran Komoditas


Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.................................... 49

7. Saluran Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


Tahun 2009................................................................................ 113

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir dengan Uji Statistik F dan Uji t.................. 151

2. Hasil Uji Asumsi OLS pada Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.................. 153

3. Hasil Pengujian Skala Usahatani pada Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.................. 155

4. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007..................... 156

5. Data untuk Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007..................... 158

6. Data Primer untuk Analisis Produksi Usahatani Gambir


Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009............................................................................................ 159

xix
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumatera Barat adalah barometer produksi gambir Indonesia karena

merupakan daerah sentra produksi gambir. Komoditas ini termasuk tanaman khas

daerah tropis dengan manfaat serbaguna. Prospek pasar dan potensi

pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku dalam

berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani perkebunan

rakyat di Sumatera Barat dan termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama

provinsi ini. Ekspor gambir Indonesia lebih dari 80 persen berasal dari Sumatera

Barat, disamping itu gambir juga diusahakan dalam skala yang lebih kecil di

provinsi lain seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera

Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Maluku dan Papua (Nazir et al.

2007). Disamping sebagai penyumbang devisa, usahatani gambir juga merupakan

mata pencaharian bagi lebih kurang 125 000 kepala keluarga petani atau sekitar

15 persen penduduk Sumatera Barat (Ermiati, 2004).

Luas areal dan produksi gambir di Sumatera Barat (Sumbar) menurut data

Dinas Perkebunan Provinsi Sumbar, untuk tahun 2005 adalah 19 658 hektar

dengan produksi total mencapai 13 249 ton. Daerah penghasil utama tanaman ini

adalah Kabupaten Lima Puluh Kota. Terdapat 11 daerah tingkat dua, dari 19

kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sumbar, yang memproduksi gambir.

Gambar 1 memperlihatkan perkembangan luas areal tanam gambir di Sumbar dan

Kabupaten Lima Puluh Kota.


2

Total luas tanaman gambir di Sumbar cenderung mengalami peningkatan,

walaupun pada tahun 2003 mengalami penurunan 10.93 persen dibandingkan

tahun 2002. Menurut Dinas Perkebunan Sumbar hal ini disebabkan banyaknya

lahan baru untuk penanaman gambir pada tahun 2002 namun mengalami

kegagalan, sehingga luas areal tanaman gambir mengalami penurunan pada tahun

2003 (Gambar 1). Sedangkan dari Gambar 2, terlihat bahwa produksi gambir

Sumatera Barat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kenaikan produksi

dari tahun 2001 ke tahun 2007 sebesar 23.91 persen.

Hektar
24000
21812
22000
19427 19457 19851,75 19121 19350
20000

18000 16811

16000
16145
14000
13749,75 13156
12000 13286 13306 13261
12612
10000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun

Luas areal gambir Sumbar Luas areal gambir 50 Kota

Sumber: BPS, 2007b


Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Tanam Gambir di Sumatera Barat dan
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007

Tahun 2006 produksi gambir Kabupaten Lima Puluh Kota mencapai 9 181

ton atau naik 4.08 persen dari tahun 2005 dengan luas areal tanam gambir

mencapai 13 156 ha. Luas areal perkebunan gambir di Kabupaten Lima Puluh

Kota pada tahun 2007 mencapai 13 261 ha atau 68.53 persen dari total luas areal

perkebunan gambir Sumatera Barat. Pada tahun yang sama, dari total produksi
3

gambir Sumbar yang mencapai 13 115 ton, sekitar 70.45 persennya atau sebanyak

9 240 ton merupakan hasil produksi gambir dari kabupaten ini.

Ton

14000
13000
13249 13115
12000 12973
12346 12436
11000
10000 10584 10729
9000
9181 9240
8000 8821
8505 8444 8443 8451
7000
6000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun

Produksi gambir Sumbar Produksi gambir 50 Kota

Sumber: BPS, 2007b


Gambar 2. Perbandingan Produksi Gambir Sumatera Barat dengan Kabupaten
Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007

Gambir yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagai salah satu daerah

tingkat dua penghasil gambir yang ada di Sumbar, memiliki karakteristik yang

relatif sama dengan gambir yang diproduksi di daerah tingkat dua lainnya.

Karakteristik yang dimaksud meliputi produk, pola usahatani yang dilakukan oleh

petani produsen, proses budidaya, pengolahan serta kegiatan panen dan

pascapanen. Perkebunan gambir yang ada di Sumbar semuanya merupakan

perkebunan rakyat, yang tahap proses produksinya mulai dari budidaya dan

pengolahan dilakukan dengan cara tradisional. Teknologi produksi dan

pengolahan gambir yang digunakan masih sangat sederhana dan dengan

keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun antargenerasi, menyebabkan

tingginya variasi gambir kering yang dihasilkan petani, bervariasi dari segi bentuk

fisik, cetakannya, maupun mutu kandungan zat esensialnya.


4

Produk gambir yang dijual petani masih dalam bentuk gambir mentah

karena belum memiliki standar kualitas yang jelas, baik standar menurut pasar

atau pun standar menurut orientasi kegunaan dan pemakaiannya. Belum ada

investor yang mencoba mengelola potensi usaha perkebunan gambir maupun

pengolahan pascapanennya. Oleh karena itu, meskipun gambir merupakan salah

satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi produk andalan Kabupaten Lima

Puluh Kota dan sekaligus sebagai daerah sentra produksi untuk Sumbar, namun

industri gambir masih tergolong dalam industri rumahtangga yang dikelola secara

tradisional. Produksi gambir yang dilakukan petani produsen dengan

menggunakan teknologi dan peralatan sederhana ini menyebabkan produktivitas,

mutu serta pendapatan petani masih rendah.

1.2. Perumusan Masalah

Pengembangan komoditas gambir di Indonesia dan Kabupaten Lima Puluh

Kota khususnya, masih sangat prospektif bila dilihat dari potensi produksi dan

pemasaran pada pasar domestik dan ekspor. Sejalan dengan berkembangnya jenis-

jenis barang industri yang memerlukan bahan baku dari gambir, maka kebutuhan

akan gambir dalam industri akan semakin meningkat pula. Sebagai contoh, India

membutuhkan 6 000 ton gambir kering setiap tahunnya (Tinambunan, 2007).

Berdasarkan data ekspor impor Sumbar untuk tahun 2006 dan 2007, ekspor

gambir kering dari pelabuhan Teluk Bayur berturut-turut mencapai 36 003 ton

dan 471 000 ton dengan nilai transaksi USD 48 738 dan USD 829 565 (BPS,

2008d). Ini belum termasuk jumlah produksi gambir asal Sumatera Barat yang di

ekspor melalui perantara pedagang yang berada di luar Sumbar.


5

Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai sentra utama tanaman gambir di

Sumatera Barat, belum mampu memberikan sumbangan atau pendapatan yang

berarti, baik bagi daerah maupun bagi petaninya sendiri. Nazir (2000),

mengemukakan bahwa sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi

dalam pengembangan gambir yaitu dari segi teknologi bercocok tanam,

pengolahan pascapanen, perencanaan bisnis dan pemasaran, serta aspek sosial

ekonomi budaya. Hal ini terlihat jelas dari cara bercocok tanam petani yang masih

tradisional, jenis dan mutu produk tidak banyak mengalami perubahan dari waktu

ke waktu. Agar produktifitas dapat ditingkatkan dan kualitas mutu olahan dapat

diperbaiki yang memungkinkan akses ke pasar menjadi lebih baik, diperlukan

kegiatan identifikasi, analisis permasalahan gambir dan sistem usahatani gambir

di lapangan.

Prospek yang potensial terhadap permintaan gambir di pasar dalam dan luar

negeri, belum diikuti oleh peningkatan produktivitas maupun pendapatan petani,

meskipun sudah ada peningkatan luas areal maupun produksi.

(ton/ha )
0,750
0,702
0,674
0,700
0,723
0,674 0,635 0,642
0,650 0,618

0,600 0,632 0,635

0,550
0,523
0,500
0,505 0,478
0,450

0,400
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Ta hun

Sumber: BPS, Diolah dari Data Produksi Gambir Tahun 1996 – 2007
Gambar 3. Produktivitas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1996 –
2007
6

Gambar 3 memperlihatkan tingkat produktivitas gambir di Lima Puluh Kota

yang diolah dari data BPS dari tahun 1996 – 2007. Produktivitas gambir daerah

ini masih dibawah rata-rata produktivitas yang seharusnya, seperti hasil penelitian

yang dikemukakan Ermiati (2004). Tingkat produktivitas panen untuk gambir

kering mencapai 0.75 ton per hektar untuk petani yang memanen kurang dari 3

kali setahun. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gambir di daerah ini masih

memiliki potensi untuk ditingkatkan.

Salah satu indikator dari efisiensi adalah respon jumlah produksi terhadap

perubahan jumlah faktor produksi. Jika dalam kegiatan produksi persentase

tambahan jumlah produksi lebih besar daripada persentase tambahan faktor

produksi yang digunakan, maka kegiatan produksi yang demikian akan menuju

pada produksi yang efisien, begitu juga sebaliknya. Dari permasalahan di atas

muncul pertanyaan yang perlu dijawab yaitu apakah pengalokasian faktor-faktor

produksi dalam usahatani gambir sudah efisien.

Perkembangan areal tanam dan produksi gambir telah menarik banyak pihak

untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Ada banyak pedagang, lembaga

pemasaran maupun pemerintah, dengan kepentingannya masing-masing ikut

berperan dalam pemasaran gambir. Sementara mutu gambir yang dihasilkan

petani belum memiliki standar yang jelas. Hal ini akan mempengaruhi proses

pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga komoditas gambir di pasar

akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang terlibat dalam

perdagangan komoditas ini. Eksportir, pedagang lokal, pedagang pengumpul dan

petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga. Seberapa besar

dampak harga yang dihadapi oleh lembaga pemasaran gambir, sangat tergantung
7

pada kekuatan masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai pemasaran

gambir itu sendiri.

Keadaan pasar gambir seperti yang digambarkan di atas berpotensi

menimbulkan masalah dan bisa merugikan petani produsen. Pola pemasaran yang

terjadi akan cenderung tidak terorganisir karena melibatkan pelaku pemasaran

yang banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Pola pemasaran gambir

yang ada sekarang adalah melalui pedagang pengumpul, pedagang besar dan

eksportir, merupakan pola pemasaran gambir yang secara tradisional masih tetap

bertahan sampai saat ini.

Daya tawar petani juga cenderung rendah karena jumlah petani sangat

banyak dan tersebar di berbagai wilayah, belum adanya koordinasi dan kerjasama

antarpetani, persaingan pasar yang semakin kompetitif, lokasi konsumen akhir

gambir yang jauh dari sentra produksi (di luar negeri) dan belum adanya rantai

distribusi yang jelas dari petani sampai ke industri berbahan baku gambir,

ditambah lagi dengan masalah produksi dan mutu seperti yang telah diuraikan di

atas. Petani tidak akan menjadi penentu harga. Perilaku harga akan cenderung

didominasi oleh kepentingan pedagang besar dan eksportir.

Jumlah petani gambir di wilayah Lima Puluh Kota mencapai 9 056

rumahtangga petani (BPS, 2003), yang tersebar di beberapa kecamatan dengan

pola usahatani tradisional berskala rumahtangga, berhadapan dengan pedagang

dan lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran gambir yang jumlahnya

jauh lebih sedikit. Hal tersebut mengindikasi bahwa pasar gambir bersifat

oligopsoni. Selama ini hasil panen hanya ditampung oleh pedagang besar atau

eksportir saja, melalui pedagang-pedagang perantara, yang nantinya akan


8

memperdagangkan gambir keluar wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota atau ke

pasar luar negeri. Saluran pemasaran gambir yang terbentuk cenderung dikuasai

oleh pedagang pengumpul. Dengan pola distribusi yang demikian, dimana

informasi harga di tingkat eksportir/importir tidak diketahui dengan jelas, harga

gambir bisa berubah dengan cepat dan cenderung fluktuatif yang menimbulkan

ketidakpastian bagi petani. Dari uraian tersebut, pertanyaan yang muncul yang

perlu dijawab adalah bagaimana struktur, perilaku dan kinerja pasar gambir,

apakah kegiatan pemasaran gambir sudah efisien.

Analisis dengan menggunakan pendekatan SCP (Structure-Conduct-

Performance) bisa memberikan alternatif solusi bagi permasalahan di atas, yang

terjadi dalam pasar gambir. Pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana

struktur pasar mempengaruhi mekanisme pembentukan harga dan perilaku

partisipan dalam pasar gambir serta pengaruhnya pada kinerja pasar gambir akan

didapatkan dengan pendekatan analisis ini.

Permasalahan dalam penelitian ini dengan demikian bisa disimpulkan

sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi

gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, apakah pengalokasian faktor-faktor

produksi dalam usahatani gambir sudah efisien ?

2. Bagaimana struktur, perilaku dan kinerja pasar gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota, bagaimana tingkat keterpaduan pasar gambir dan apakah kegiatan

pemasaran gambir sudah efisien ?

Berdasarkan uraian di atas, serta terbukanya prospek pengembangan gambir

di masa yang akan datang, maka perlu dilakukan penelitian mengenai aspek
9

produksi dan pemasaran gambir. Bagaimana keterkaitan antara kegiatan produksi

gambir di tingkat usahatani (on farm) dengan pemasaran gambir sebagai

komoditas pertanian (off farm) yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem

pemasaran, serta bagaimana peranannya dalam mempengaruhi dan menentukan

harga gambir yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen. Sehingga

dengan adanya penelitian ini diperoleh informasi mengenai keragaan produksi dan

pemasaran usahatani gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, sekaligus

sebagai gambaran usahatani gambir di Provinsi Sumatera Barat.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Mengacu pada permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini secara

umum adalah untuk menganalisis aspek produksi dan pemasaran komoditas

gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Secara spesifik tujuan penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Menganalisis efisiensi alokatif penggunaan faktor-faktor produksi dalam

usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.

2. Menganalisis efisiensi pemasaran gambir dengan menilai kinerja partisipan

yang terlibat dalam pasar gambir menggunakan pendekatan struktur, perilaku

dan keragaan pasar, serta menilai keterpaduan pasar gambir di Kabupaten

Lima Puluh Kota.

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka kegunaan atau

kontribusi penelitian yang diharapkan adalah:

1. Pada tataran ilmu pengetahuan, dengan memadukan analisis kegiatan

usahatani perkebunan rakyat mulai dari on farm sampai off farm dan
10

menjadikan Lima Puluh Kota sebagai daerah penelitian, diperoleh gambaran

dan informasi yang menyeluruh mengenai kegiatan produksi, memberikan

acuan model teoritis mengenai determinan efisiensi alokatif pada usahatani

gambir perkebunan rakyat, serta gambaran mengenai struktur pasar dan

perilaku partisipan yang dibandingkan dengan kinerja pasar yang terjadi, akan

memberikan informasi yang lengkap bagi pengambil kebijakan dalam

mengelola dan memperbaiki pasar gambir sebagai satu kesatuan dalam sistem

yang utuh, mulai dari sisi petani produsen serta dari sisi pemasaran gambir

oleh lembaga yang terlibat.

2. Sebagai landasan dan rujukan bagi pemerintah daerah dalam membuat

kebijakan guna mendorong produktivitas usahatani gambir secara

berkelanjutan, dalam rangka memperluas kesempatan kerja, peningkatan

dayasaing, serta peningkatan pendapatan petani.

3. Bagi petani sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola dan

mengembangkan usahataninya, juga sebagai masukan dan bahan

pertimbangan bagi pelaku ekonomi atau investor swasta.

4. Sebagai bahan referensi maupun informasi bagi kalangan akademisi dan

peneliti untuk penelitian lebih lanjut secara lebih mendalam dalam

pengembangan metodologi maupun pengembangan introduksi teknologi

gambir yang tepat guna.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini meliputi analisis produksi dan pemasaran gambir,

yang mencakup analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dengan


11

menggunakan regresi linear berganda dan dilanjutkan dengan uji efisiensi alokatif.

Sedangkan pendekatan struktur, perilaku dan keragaan pasar digunakan untuk

menganalisis efisiensi pemasaran gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.

1.5. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data cross section. Fakta yang digambarkan

merupakan kegiatan dan keadaan pada saat penelitian dilakukan, selanjutnya

berdasarkan fakta tersebut dilakukan penyimpulan mengenai masalah-masalah

penelitian yang ingin dibuktikan atau dicari hubungannya. Harga input dan harga

output yang digunakan dalam analisis adalah harga yang berlaku pada saat

penelitian berlangsung, walaupun pada kenyataannya harga input dan harga

output sangat bervariasi sepanjang tahun.

Gambir merupakan tanaman perkebunanan tahunan. Gambir yang dianalisis

dalam fungsi produksi Cobb-Douglas adalah gambir yang telah melalui proses

pengolahan menjadi produk gambir kering sehingga tidak menjelaskan hasil

produksi gambir seutuhnya yang langsung dihasilkan dari tanaman gambir. Nilai

variabel yang diuji telah disetarakan untuk satu tahun produksi, karena pada saat

penelitian berlangsung proses produksi yang dilakukan petani responden sedang

berjalan dan belum sampai satu tahun berproduksi.

Perhitungan faktor produksi, jumlah produksi dan biaya hanya diambil

untuk satu tahun sehingga biaya yang tidak dikeluarkan dalam tahun tersebut tidak

diperhitungkan sebagai biaya. Biaya bibit tidak diperhitungkan karena umur

produksi gambir lebih dari 20 tahun, sedangkan gambaran produksi gambir dari

tahun awal penanaman menggunakan referensi data sekunder.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja Usahatani Komoditas Gambir

Penelitian usahatani gambir yang dilakukan oleh Yuhono (2004), Ermiati

(2004) dan Tinambunan (2007), masing-masing memiliki metode, lokasi dan

waktu, serta tujuan penelitian yang berbeda, tapi menyimpulkan hal yang sama

tentang usahatani gambir. Bahwa masalah utama dalam pengelolaan usahatani

gambir adalah produksi, produktivitas serta mutu yang rendah. Teknologi

budidaya dan pengolahan yang dilakukan petani masih bersifat tradisional

sehingga mutu rendemen dan pendapatan petani rendah.

Yuhono (2004), meneliti pendapatan usahatani gambir di Desa Manggilang

Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,

sebagai daerah sampel yang dipilih secara sengaja karena merupakan desa sentra

produksi gambir. Keragaan usahatani dianalisis secara deskriptif, pendapatan

usahatani dianalisis melalui analisis pendapatan. Penelitian komoditas gambir

yang dilakukan oleh Ermiati (2004), juga mengambil satu desa sebagai sampel

yaitu Desa Solok Bio-bio di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota.

Penelitiannya tentang budidaya, pengolahan hasil dan kelayakan usahatani

gambir. Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian

keduanya adalah: (1) adopsi teknologi yang dilakukan petani masih rendah, (2)

usahatani yang dilakukan petani tergolong tidak intensif, (3) kegiatan pemupukan

dan pemberantasan hama dan penyakit belum pernah dilakukan, (4) pemeliharaan

hanya berupa penyiangan, (5) keterampilan usahatani umumnya diperoleh secara

turun-temurun, (6) latar belakang pendidikan petani umumnya rendah, sehingga


13

kemampuan managerial dan kewiraswastaan juga rendah, (7) pembaharuan dan

alih teknologi sulit dilakukan, dan (8) biaya usahatani yang terbesar adalah biaya

panen dan pengolahan hasil.

Tinambunan (2007), yang melakukan penelitian tentang analisis pendapatan

usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, mengungkapkan hal yang

relatif sama dengan yang disimpulkan oleh Yuhono dan Ermiati. Bahwa walaupun

gambir termasuk salah satu komoditas unggulan Kabupaten Pakpak Bharat, tetapi

prospek yang baik terhadap permintaan gambir di dalam maupun di luar negeri

belum disertai dengan peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Hal ini

disebabkan antara lain karena terbatasnya informasi pasar, masalah pengolahan

dan modal untuk pengembangan usahatani gambir, disamping teknik budidaya

yang diterapkan belum sesuai dengan teknologi anjuran. Penelitiannya mengambil

tiga kecamatan sebagai daerah studi yang ditetapkan secara sengaja yaitu

Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, Kerajaan dan Tinada. Hal yang berdeda dalam

usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat adalah, produk yang dijual oleh petani di

daerah ini selain dalam bentuk gambir kering, juga dalam bentuk daun dan ranting

muda (tanpa pengolahan) dan getah basah (bubur gambir yang belum dicetak dan

dikeringkan). Hasil analisis pendapatan dari ketiga bentuk output yang dijual

petani, bentuk produk gambir kering lebih menguntungkan meskipun ada

tambahan biaya dan waktu pengolahan.

Kesimpulan mengenai kinerja usahatani gambir perkebunan rakyat, secara

umum belum diusahakan secara intensif tetapi tetap menguntungkan serta layak

untuk dikembangkan. Nilai Investasi Sekarang (Net Present Value/NPV) dari

usahatani gambir Rp 9 763 523, Internal Rate of Return (IRR) 57 persen dengan
14

discount factor 15 persen. Titik impas investasi (Break Even Point/BEP) 3.27

tahun dengan nilai investasi Rp 3 282 500 per hektar serta nilai R/C

(Revenue/Cost Ratio) 1.61 (Ermiati, 2004). Yuhono (2004), yang juga melakukan

penelitian usahatani gambir memperoleh R/C rasio 1.69 terhadap biaya total dan

2.11 terhadap biaya tunai, serta margin harga yang diterima petani sebesar 67

persen. Sedangkan menurut Tinambunan (2007), usahatani gambir juga layak

untuk diusahakan, dengan perolehan pendapatan bersih petani Rp 11 476 200 jika

panen dalam bentuk daun dan ranting muda, Rp 14 073 200 untuk output getah

basah, serta Rp 15 129 200 untuk menjual dalam bentuk gambir kering.

2.2. Penelitian Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani Komoditas


Pertanian

Harsoyo (1999), meneliti tentang kinerja produksi dan mengukur perbedaan

efisiensi kinerja produksi salak pondoh antarpetani berdasarkan perbedaan skala

pengusahaan dan letak geografis di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian

dilakukan di empat desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Pendekatan

analisis adalah model biaya dan keuntungan translog. Ia juga melakukan

pembandingan antarskala pengusahaan dan antardesa untuk memperoleh efisiensi

ekonomi relatif. Hasil analisis fungsi biaya translog menghasilkan kesimpulan

yang konsisten dengan hasil analisis fungsi keuntungan translog, bahwa kondisi

usaha dan produksi salak pondoh adalah increasing return to scale, artinya

persentase tambahan produk lebih besar daripada persentase tambahan faktor-

faktor produksi. Pengusahaan dalam skala lebih dari seribu rumpun lebih efisien

dan produksi di Desa Girikerto dan Wonokerto lebih efisien dibandingkan dua

desa lainnya.
15

Slameto (2003), meneliti efisiensi produksi usahatani kakao untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Provinsi

Lampung. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yang mencakup tiga kabupaten

sebagai daerah sampel. Analisis menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas.

Produksi kakao rakyat sangat dipengaruhi oleh input tenaga kerja, pupuk kandang,

pestisida, luas lahan, jumlah dan umur tanaman kakao, serta penggunaan klon

unggul, seluruhnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi. Penggunaan

input produksi dapat meningkatkan produksi kakao rakyat dengan proporsi yang

sama yang ditunjukkan oleh ekonomi skala usaha yang cenderung pada kondisi

constant return to scale.

Pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas relatif sering dipakai dalam

penelitian efisiensi produksi pada berbagai usahatani komoditas pertanian. Berikut

hasil ulasan singkat beberapa penelitian menyangkut efisiensi produksi usahatani

berbagai komoditas pertanian, yaitu: (1) enam penelitian menyangkut efisiensi

produksi pada komoditas tanaman perkebunan tahunan, yaitu: salak pondoh

(Harsoyo, 1999), kakao (Slameto, 2003; Sahara et al. 2006), sawit (Hasiholan,

2005), lada (Sahara et al. 2004; Sahara dan Sahardi, 2005), (2) lima penelitian

menyangkut efisiensi produksi pada komoditas tanaman musiman, yaitu: cabai

merah (Sukiyono, 2005), ubi kayu (Asnawi, 2003), bawang merah (Suciaty,

2004), padi (Jauhari, 1999; Sahara dan Idris, 2005), melon (Yekti, 2004), dan (3)

dari sebelas penelitian tersebut hanya satu penelitian yang memakai pendekatan

translog, sedangkan yang lainnya memakai pendekatan Cobb-Douglas.


16

2.3. Penelitian Efisiensi Pemasaran pada Berbagai Usahatani Komoditas


Pertanian

Tinambunan (2007), meneliti efisiensi pemasaran gambir di Kabupaten

Pakpak Bharat, Sumatera Utara, sedangkan Yuhono (2004), menganalisis

pemasaran gambir di Desa Manggilang, Kecamatan Pangkalan Kotobaru,

Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Keduanya sama-sama

menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share sebagai alat

analisis efisiensi pemasaran. Tinambunan menjelaskan bahwa margin pemasaran

yang terbentuk pada lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran

tiga macam output gambir (daun/ranting muda, bubur gambir dan gambir kering)

sudah cukup seimbang dan efisien, sedangkan bagian harga yang diterima petani

juga lebih dari 75 persen. Yuhono dengan menggunakan pendekatan yang sama,

menyebutkan bahwa saluran pemasaran gambir cukup pendek dan sederhana,

yaitu dari petani ke pedagang pengumpul dan dari pedagang pengumpul ke

eksportir. Pendeknya rantai pemasaran membuat marjin pemasaran yang terjadi

cukup seimbang dan cukup efisien. Keduanya lebih lanjut menyebutkan,

meskipun usahatani gambir sudah menguntungkan dan layak untuk diusahakan,

serta saluran pemasaran gambir sudah efisien, akan tetapi semuanya belum tentu

dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.

Harsoyo (1999), meneliti tentang efisiensi pemasaran salak pondoh di

Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana pengaruh

perubahan harga di tingkat pedagang pengecer terhadap perubahan harga di

tingkat petani, apakah pasar salak pondoh terintegrasi secara vertikal, serta

bagaimana distribusi margin pemasarannya. Alat analisis yang digunakan adalah

elastisitas transmisi harga, analisis integrasi pasar, analisis margin pemasaran dan
17

farmer’s share. Ia menemukan bahwa pemasaran komoditas salak pondoh sudah

efisien. Berdasarkan analisis transmisi harga dan integrasi didapatkan bahwa

perubahan harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer diteruskan ke tingkat

petani. Petani juga ikut menikmati kenaikan harga tersebut dan dari analisis

margin pemasaran disimpulkan bahwa penyebaran margin cukup merata serta

bagian harga yang dinikmati petani sudah cukup besar, yaitu lebih dari 70 persen.

Hukama (2003), Kurniawan (2003) dan Slameto (2003), menggunakan

pendekatan yang lebih menyeluruh jika dibandingkan dengan Harsoyo,

Tinambunan dan Yuhono. Pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance)

digunakan dalam menganalisis efisiensi pemasaran. Hukama (2003), menganalisis

pemasaran jambu mete dengan daerah sampel dua kecamatan di Kabupaten Buton

dan satu kecamatan di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pendekatan

SCP digunakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, struktur pasar yang

terbentuk dan perilaku pasar, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan

keterpaduan pasar kacang mete. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah

pemasaran jambu mete belum efisien karena saluran pemasaran untuk

gelondongan maupun kacang mete masih panjang dan melibatkan banyak pelaku

pemasaran. Struktur pasar mengarah ke oligopsoni, praktek pencampuran jenis

mutu super dengan non super masih terjadi di pasar kacang mete. Keuntungan

pemasaran sebagian besar masih dinikmati oleh pedagang. Farmer’s share belum

adil jika ditinjau dari aspek resiko karena resiko paling besar ditanggung petani.

Jika ditinjau dari hasil analisis keterpaduan pasar kacang mete, dominasi

pedagang besar dalam menetapkan harga menempatkan petani sebagai penerima

harga.
18

Kurniawan (2003), yang meneliti kelembagaan pemasaran gaharu di

Kalimantan Timur, menggunakan pendekatan SCP untuk menganalisis perilaku

usaha pengumpul dan pedagang gaharu. Sedangkan untuk mengetahui

karakteristik kelembagaan pemasaran gaharu, dianalisis secara deskriptif

kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan yang

diterapkan dalam kelembagaan pemasaran gaharu adalah sistem patron-klien,

struktur pasar gaharu baik di tingkat kelembagaan pengumpul (desa), maupun

pedagang gaharu (kota) adalah oligopsoni. Hasil lain yang dikemukakan adalah

tidak seluruh patron (pedagang) dapat mengambil keuntungan dalam pemasaran

gaharu. Perilaku patron cenderung eksploitatif kepada kliennya sehingga klien

yang merasa dirugikan akan merespon dengan mengurangi loyalitasnya kepada

patron dimana perilaku ini menimbulkan moral hazard dalam kelembagaan

gaharu.

Slameto (2003), menganalisis kinerja kelembagaan pemasaran kakao rakyat

di Lampung dengan pendekatan SCP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

struktur pasar cenderung pada kondisi oligopoli dengan perilaku pasar cenderung

terjadi transaksi pada pedagang yang sama. Harga ditentukan pedagang dan belum

dipatuhinya grading dan standarisasi produk. Keragaan pasar kakao belum baik

dimana hubungan antara pasar lokal (petani) dengan pasar acuan (eksportir)

kurang padu, sehingga harga yang terjadi tidak ditransmisikan secara sempurna ke

petani dan saluran pemasaran yang efisien adalah petani - pedagang pengumpul

tingkat kecamatan - eksportir.

Kesimpulan dari studi literatur menyangkut efisiensi produksi dan

pemasaran pada berbagai usahatani komoditas pertanian, terdapat dua penelitian


19

yang menggabungkan sekaligus analisis produksi dan pemasaran dalam satu

penelitian, yaitu penelitian tentang komoditas salak pondoh yang dilakukan

Harsoyo (1999) dan kakao yang diteliti oleh Slameto (2003). Seperti halnya

gambir, kedua komoditas tanaman perkebunan tahunan di atas juga didominasi

oleh perkebunan rakyat yang dalam proses produksi sampai pemasarannya

dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana struktur pasar dan mekanisme

pembentukan harga yang terjadi cenderung merugikan petani produsen. Karena

itu penggabungan analisis kedua aspek (produksi dan pemasaran) dalam satu

kajian, bertujuan agar dapat memberikan alternatif solusi yang lebih menyeluruh

menyangkut semua partisipan dalam pasar, mulai dari petani, lembaga pemasaran

terkait, sampai ke konsumen akhirnya.


III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Teori Produksi

Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output.

Kegiatan tersebut dalam ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi.

Terdapat berbagai macam fungsi produksi yang bisa digunakan sebagai

alternatif dalam melakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara faktor

produksi (input) dan produksi (output), diantaranya adalah: fungsi produksi

linier, kuadratik, polinominal akar pangkat dua, eksponensial, CES (Constant

Elasticity of Substitution) dan translog. Memilih fungsi produksi apa yang

akan digunakan dalam suatu penelitian diperlukan banyak pertimbangan,

karena masing-masing fungsi produksi memiliki keunggulan dan keterbatasan.

Selain disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, jenis data yang digunakan

dan tujuan analisis, Soekartawi (2003), juga menganjurkan tindakan berikut

dalam memilih model atau bentuk fungsi produksi yaitu: (1) identifikasi

masalah secara jelas, variabel-variabel apa saja yang berfungsi sebagai

penjelas dan apa variabel yang dijelaskannya, (2) tindakan pertama tersebut

kemudian harus dilanjutkan dengan studi pustaka untuk melihat apakah

identifikasi masalah sesuai dengan teori yang benar yang dikombinasikan

dengan pengalaman sendiri serta belajar dari penelitian lain, dan (3)

melakukan trial and error untuk menguatkan model yang dipakai.

Fungsi produksi eksponensial yang biasanya disebut juga dengan fungsi

Cobb-Douglas adalah fungsi yang sering dipakai sebagai model analisis

produksi dalam penelitian usahatani, karena penggunaannya yang lebih


21

sederhana dan mudah untuk melihat hubungan input-output. Menurut Debertin

(1986), walaupun memiliki beberapa keterbatasan, penggunaan fungsi

produksi Cobb-Douglas didasarkan atas pertimbangan: (1) secara metodologis

lebih representatif dibandingkan dengan fungsi keuntungan misalnya, karena

variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, data cross section

akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi

keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana dan lebih

mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan elastisitas

produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat

diturunkan fungsi permintaan input.

Soekartawi (2003), menyebutkan ada tiga alasan pokok mengapa fungsi

Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti yaitu: (1)

penyelesaiannya relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan fungsi produksi

yang lain karena dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (2) hasil

pendugaan garis fungsi ini menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga

menunjukkan besaran elastisitas, dan (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus

menunjukkan tingkat besaran return to scale.

Terlepas dari kelebihan tertentu yang dimiliki fungsi produksi Cobb-

Douglas jika dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, bukan berarti

fungsi tersebut sempurna. Kesulitan umum yang dijumpai dalam penggunaan

fungsi produksi Cobb-Douglas atau kelemahan dan keterbatasan fungsi ini

adalah: (1) spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas

produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil. Hal ini juga

mendorong terjadinya multikolinearitas pada variabel independen yang


22

dipakai, masalah ini sering terjadi dalam pendugaan menggunakan metode

kuadrat terkecil, (2) kesalahan pengukuran variabel, hal ini terletak pada

validitas data apakah terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah, (3) bias terhadap

variabel manajemen karena kadang-kadang sulit diukur dan dipakai sebagai

variabel independen dalam pendugaan karena erat hubungannya dengan

variabel independen yang lain, dan (4) multikolinearitas. Selain itu ada asumsi

yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, seperti misalnya

asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh berbeda,

tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama dan asumsi bahwa

sampel dianggap price takers (Soekartawi, 2003).

3.1.1. Fungsi Produksi

Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat

dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi

tertentu. Fungsi produksi merupakan fungsi dari kuantitas input tidak tetap dan

input tetap. Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan

teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau

komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu

fungsi atau persamaan yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor

produksi yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per

satuan waktu. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Q = (X1, X2, X3, ...Xn/Zn) .................................................(1)

dimana:
Q = Output atau produksi
X1, X2, X3, ...Xn = Input tidak tetap ke-1, 2, 3, ..., n
23

Zn = Input tetap ke-n

Petani yang maju dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir

bagaimana mengalokasikan input atau faktor produksi seefisien mungkin

untuk memperoleh produksi yang maksimum. Gambar 4 menggambarkan

keterkaitan antara hasil produksi (Q) yang dalam grafik dilambangkan dengan

Y, dengan faktor produksi yang digunakan (X). Keterkaitan tersebut bisa

dilihat dari hubungan antara Produk Total (PT), Produk Marginal (PM) dan

Produk Rata-rata (PR).

Produk Total (PT) merupakan produksi total yang dihasilakan oleh suatu

proses produksi. Produk Marginal (PM) menunjukkan perubahan produksi

yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan satu satuan faktor produksi

variabel, sedangkan Produk Rata-rata (PR) menunjukkan besarnya rata-rata

produksi yang dihasilkan oleh setiap penggunaan faktor produksi. Berdasarkan

Gambar 4 terlihat apabila faktor produksi X terus-menerus ditambah

jumlahnya, pada mulanya pertambahan PT akan semakin banyak, tetapi ketika

mencapai suatu tingkat tertentu, produksi tambahan yang akan diperoleh akan

semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif.

Keadaan yang menyebabkan pertambahan produksi yang semakin

melambat sebelum akhirnya mencapai tingkat maksimum dan kemudian

menurun dikenal dengan hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang

(the law of deminishing marginal return). Hubungan antara tingkat produksi

dengan jumlah input variabel yang digunakan dapat dibedakan dalam tiga

tahap daerah produksi, yaitu: (1) daerah I yang terjadi pada saat PR naik

hingga PR maksimum di titik B, (2) daerah II yang dimulai dari saat PR


24

maksimum di titik B sampai hingga PT maksimum di titik C, dan (3) daerah

III adalah daerah saat PT menurun mulai dari titik C.

Sumber: Doll dan Orazem, 1984


Gambar 4. Produk Total, Produk Marginal, Produk Rata-Rata dan Tiga
Tahapan Produksi

Daerah I dikatakan irrational region karena penggunaan input masih

menaikkan PT sehingga pendapatan masih dapat terus diperbesar. Daerah II

adalah rational region karena pada daerah ini dimungkinkan pencapaian

pendapatan maksimum, pada daerah ini pula PT maksimum tercapai,

sedangkan daerah III adalah irrational region karena PT telah menurun.

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala usahatani pada

model fungsi produksi komoditas gambir berada pada rational region.


25

3.1.2. Analisis Efisiensi Produksi

Istilah efisiensi dikenal dalam teori produksi. Tersedianya faktor

produksi belum berarti produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi.

Bagaimana petani melakukan usahanya secara efisien adalah upaya yang

sangat penting. Menurut Nicholson (2002), konsep efisiensi bisa dibedakan

atas efisiensi teknis, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokasi. Menurutnya

alokasi sumberdaya disebut efisien secara teknis (technically efficient) jika

alokasi tersebut tidak mungkin meningkatkan output suatu produk tanpa

menurunkan produksi jenis barang lainnya. Jadi efisiensi teknis adalah suatu

pengalokasian sumberdaya yang tersedia sedemikian rupa, sehingga untuk

memproduksi satu atau lebih produk menyebabkan pengurangan produksi

barang-barang lainnya.

Berproduksi efisien secara teknis yaitu dengan berada pada batas

kemungkinan produksi, jika kita ingin menggambarkan efisiensi teknis secara

grafik. Sedangkan alokasi sumberdaya yang efisien secara ekonomis

(economic efficiency) adalah sebuah alokasi sumberdaya yang efisien secara

teknis dimana kombinasi output yang diproduksi juga mencerminkan

preferensi masyarakat. Agar alokasi sumberdaya menjadi efisien, harga harus

sama dengan biaya marginal sosial yang sebenarnya pada setiap pasar

(efisiensi alokasi).

Lau dan Yotopoulus (1971), mendefinisikan efisiensi teknis sebagai

hasil produksi yang dapat dicapai untuk suatu kombinasi faktor produksi yang

diberikan. Efisiensi harga (alokatif) didefinisikan sebagai kemampuan

perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dengan menyamakan nilai


26

produk marginal setiap faktor produksi yang diberikan dengan harga inputnya,

sedangkan efisiensi ekonomis adalah gabungan antara efisiensi teknis dan

efisiensi harga.

Produsen mengelola usahanya bertujuan untuk meningkatkan produksi

dan pendapatan, yang merupakan faktor penentu bagi produsen dalam

mengambil keputusan untuk usahanya. Produsen akan meningkatkan

produksinya apabila mengetahui bahwa tambahan faktor produksi yang

diberikan memberi tambahan keuntungan. Peningkatan keuntungan itu didapat

bila penerimaan marginal hasil lebih besar daripada biaya marginal faktor

produksi. Karena itu diperlukan efisiensi usaha dimana efisiensi itu dapat

dilakukan dengan pendekatan maksimalisasi produk dengan pengeluaran biaya

tertentu, atau minimisasi biaya untuk mendapatkan output tertentu. Bisa juga

dengan pendekatan maksimalisasi keuntungan dimana setiap faktor input

harus digunakan pada nilai produk marginal masing-masing faktor sama

dengan harganya.

Pemilihan fungsi produksi yang baik dan benar dari berbagai fungsi

produksi yang ada sebenarnya merupakan pendugaan subjektif. Sekalipun

demikian ada beberapa pedoman yang perlu diikuti untuk mendapatkan fungsi

produksi yang baik dan benar yaitu: (1) bentuk aljabar fungsi produksi itu

dapat dipertanggungjawabkan, (2) bentuk aljabar fungsi produksi itu

mempunyai dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi, (3) mudah

dianalisis, dan (4) mempunyai implikasi ekonomi (Soekartawi et al. 1986).

Untuk analisis fungsi produksi dengan menggunakan data survei usahatani

yang dirancang secara khusus untuk memperoleh data bagi pendugaan fungsi
27

produksi, hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam melakukan pekerjaan

ini adalah: (1) variasi dari berbagai variabel yang tidak disertakan dalam

analisis seperti jenis tanah, cara bercocok tanam, iklim, hendaknya kecil, (2)

sebaliknya variasi dari kombinasi masukan yang dipakai oleh sampel lebih

beragam, misalnya tidak semua sampel memakai pupuk dalam dosis yang

hampir sama, dan (3) jumlah sampel yang digunakan harus memadai,

misalnya paling sedikit 40 responden (Soekartawi et al. 1986).

Metode pengukuran efisiensi dengan menggunakan fungsi produksi

yang telah digunakan secara luas untuk analisis usahatani, salah satunya

adalah dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara

metematis dituliskan sebagai berikut:

a1 a2 a
Y = ax x
0 1 2
,..., x n n  .................................................(2)

dimana:

Y = Produksi komoditas pertanian atau output


(variabel tidak bebas/dependent variable)
a0 = Konstanta atau intersep
X1, X2, Xn = Faktor produksi atau input ke-1, 2, ..., n
(variabel bebas/independent variable)
a1, a2, an = Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
ke-1, 2, ..., n
 = Gangguan stokhastik/kesalahan (disturbance term)

Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi berpangkat yang

terdiri dari dua variabel atau lebih, dimana variabel yang satu disebut variabel

yang dijelaskan Y (variabel tak bebas) dan yang lain disebut variabel yang

menjelaskan X (variabel bebas). Penyelesaian hubungan antara Y dan X

biasanya adalah dengan cara regresi dimana variasi Y akan dipengaruhi oleh
28

variasi X (Soekartawi, 2003). Fungsi di atas dapat dilinierkan dengan

mentransformasi variabel tersebut menggunakan logaritma natural sebagai

berikut:

ln Y = ln a0 + a1 ln x1 + a2 ln x2 + ... + an ln xn + ε ...……..(3)

dimana:

ln = Logaritma natural
ε = Error term atau disturbance term

Pendekatan yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis tingkat

efektivitas dan efisiensi usahatani melalui fungsi produksi adalah pendekatan

produk marjinal. Dalam fungsi produksi ini sebagai variabel bebas adalah

lahan garapan, bibit, pupuk buatan, pestisida dan tenaga kerja. Dengan cara

analisis ini dapat diketahui sampai sejauh mana kontribusi faktor produksi

terhadap hasil produksi yang dicapai.

Mubyarto (1989), menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi dalam

usahatani pada umumnya adalah bagaimana mengalokasikan secara tepat

sumber-sumber daya atau faktor-faktor produksi yang terbatas agar dapat

memaksimumkan pendapatan. Berkaitan dengan masalah efisiensi, ada dua

pendekatan yang dapat mengukur efisiensi tersebut yakni: (1) pendekatan

produk marjinal yaitu pendekatan melalui konsep produksi marjinal mencapai

maksimum, dan (2) pendekatan efisiensi ekonomis yaitu pendekatan melalui

konsep keuntungan mencapai maksimum. Kedua pendekatan ini merupakan

cara analisis untuk mendapatkan gambaran tentang efisiensi usahatani dan

apabila efisiensi ini tercapai maka keuntungan maksimum akan tercapai,

sehingga pendapatan petani yang lebih tinggi akan tercapai pula.


29

Fungsi produksi merupakan hubungan teknis, maka fungsi produksi

dapat berubah akibat pengaruh penggunaan faktor produksi. Perubahan

tersebut ditunjukkan oleh kenaikan hasil, karena itu terdapat tiga bentuk

kenaikan hasil dalam fungsi produksi yaitu: (1) kenaikan hasil tetap artinya

penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan hasil yang tetap

dengan kata lain produk marjinal naiknya tetap, (2) kenaikan hasil bertambah

artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan hasil yang bertambah

dengan kata lain produk marjinal semakin meningkat, dan (3) kenaikan hasil

berkurang artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan

hasil yang semakin berkurang dengan kata lain produk marjinal semakin

berkurang. Untuk mengetahui tingkat efisiensi alokatif penggunaan faktor-

faktor produksi pada usahatani gambir dilakukan dengan menghitung rasio

nilai produk marjinal suatu input (NPMx) dengan harga inputnya (Px).

3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian

Kegiatan produksi dan pemasaran seperti dua sisi mata uang. Upaya

peningkatan produksi dalam pengembangan suatu komoditas harus diikuti

oleh kegiatan pemasaran yang baik, karena kedua kegiatan ini merupakan satu

kesatuan yang berkaitan dan saling memperkuat. Hasil akhir dari suatu proses

produksi adalah produk atau output yang akan dijual ke konsumen/pasar.

Pemasaran adalah kegiatan yang menjembatani proses pertukaran produk dari

produsen sampai produk tersebut diterima oleh konsumen.

Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan

komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan


30

pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan

efisien, akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek yaitu: (1)

mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta

daya saing komoditas pertanian, (2) meningkatkan kinerja dan efektivitas

kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan

program stabilisasi harga keluaran, dan (3) perbaikan perumusan kebijakan

perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara efektif dan

optimal (Rusastra et al. 2003).

Definisi pemasaran yang berorientasi pada pertanian sebagian besar

merujuk pada peristiwa yang terjadi setelah produk atau komoditas

meninggalkan titik awal produksi. Hal ini disebut dengan pendekatan gerbang

pertanian (farm gate). Kohls dan Uhl (2002), mendefinisikan pemasaran

dalam pertanian sebagai sebuah sistem. Pemasaran menurut mereka adalah

semua bentuk kegiatan bisnis yang meliputi seluruh sistem aliran produk dan

jasa-jasa yang ada, mulai dari titik awal produksi pertanian sampai semua

produk dan jasa tersebut di tangan konsumen. Sedangkan Dahl dan Hammond

(1977), mendefinisikan pemasaran sebagai rangkaian urutan fungsi-fungsi

yang dilakukan ketika produk bergerak dari titik produksi sampai ke

konsumen akhir. Pemasaran merupakan suatu proses yang berjalan di dalam

sistem pertukaran yang berfungsi menjembatani antara produsen dan

konsumen. Tugas pemasaran dalam suatu sistem pertukaran tersebut adalah

mempengaruhi koordinasi antara apa yang diproduksi dan apa yang

dibutuhkan konsumen.
31

Kaitannya dengan analisis produksi dan pemasaran gambir dalam

penelitian ini, pemasaran yang dimaksud pada intinya didefinisikan seperti

yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002), yaitu sebagai semua kegiatan

bisnis yang meliputi seluruh sistem aliran produk dan jasa-jasa yang terlibat

dalam arus komoditas gambir, mulai dari titik awal produksi/petani produsen

sampai gambir tersebut di tangan konsumen akhir.

Lamb et al. (2001), berpendapat bahwa dari segi ekonomi, pemasaran

merupakan tindakan atau kegiatan yang produktif, menghasilkan pembentukan

kegunaan, yaitu kegunaan waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan, sehingga

mempertinggi nilai guna dari suatu barang yang diminta atau dibutuhkan oleh

konsumen. Fungsi penting lainnya dalam pemasaran ialah sistem harga dan

mekanisme pembentukan harga yang banyak ditentukan oleh faktor waktu,

tempat dan pasar. Hal tersebut di atas akan mempengaruhi penawaran dan

permintaan suatu barang/jasa.

Pembentukan harga suatu komoditas pada setiap tingkat pasar

tergantung pada struktur pasar tersebut, sehingga hubungan harga antara

tingkat pasar konsumen dengan tingkat pasar produsen tergantung kepada

struktur pasar yang menghubungkannya. Dalam struktur pasar yang bersaing

sempurna misalnya, hubungan harga yang diterima petani produsen dengan

harga yang dibayar konsumen atau hubungan antar tingkat pasar, akan erat

sekali. Keadaan ini merupakan salah satu cermin dari sistem pemasaran yang

efisien.

Mekanisme harga berfungsi sebagai sistem komunikasi untuk

meneruskan informasi mengenai keinginan konsumen kepada produsen.


32

Sinyal harga menjadi pesan dari konsumen kepada produsen. Bila suatu

produk atau mutu tertentu dari suatu produk sangat dibutuhkan oleh

konsumen, maka harganya menjadi relatif lebih tinggi. Sinyal harga ini

disampaikan melalui sistem tersebut menuju ke produsen, sehingga dalam

waktu tertentu produsen melakukan penyesuaian yang menurutnya tepat

secara ekonomi, dengan mengalokasikan faktor produksi untuk memproduksi

produk dengan tingkat mutu seperti yang dikehendaki oleh konsumen.

Prosesnya tentu tidak sesederhana uraian di atas. Ada beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi supaya mekanisme pembentukan harga ini

sampai ke produsen dan mendorong respon yang dikehendaki yaitu: (1) nilai

produk harus dijelaskan dan dikategorikan berdasarkan tingkatan atau istilah

penjelas lainnya sehingga pembeli maupun penjual mempunyai sebuah

penafsiran yang umum atau sama mengenai harga produk tersebut, (2)

kekuatan permintaan dan penawaran yang didefinisikan sebagai kemampuan

untuk mempengaruhi harga atau segi-segi lain dalam perdagangan, harus sama

untuk pembeli dan penjual, dan (3) harga tidak terlalu mudah berubah-ubah

pada tingkatan produsen atau tingkat lain dalam sistem pemasaran sehingga

sinyal harga tersebut menjadi salah atau tidak jelas.

3.2.1. Pendekatan dalam Studi Pemasaran

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan studi

pemasaran menurut Kohl dan Uhl (2002), yaitu:

1. Pendekatan serba fungsi, dimana berbagai aktivitas pemasaran

diklasifikasikan kedalam berbagai fungsi pemasaran. Penekanannya pada


33

isu “what is done”. Beberapa fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran

(pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengolahan, penyimpanan dan

transportasi) dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, pengelolaan

resiko, penelitian atau riset pasar).

2. Pendekatan institusi, dimana evaluasi pemasaran dilakukan dengan

mempelajari perantara atau struktur bisnis yang membentuk proses

pemasaran yang dititikberatkan pada siapa yang mengerjakan dan terlibat

dalam proses pemasaran (who is involved).

3. Pendekatan perilaku, menggabungkan pendekatan fungsional dan

institusional yang sangat berguna untuk menganalisis keberadaan aktivitas

pemasaran, bagaimana perubahan dan perilaku lembaga pemasaran dalam

proses pemasaran, mengapa ada perantara dalam industri.

Purcell (1979), menjelaskan ada empat pendekatan yaitu pendekatan

komoditas, pendekatan kelembagaan, pendekatan fungsional dan pendekatan

sistem. Pada pendekatan komoditas (serba produk) dibahas segala aspek

barang atau komoditas mulai dari titik produksi sampai pada titik konsumsi.

Pendekatan ini mengikuti komoditas sepanjang lintasan antara produsen dan

konsumen, sehubungan dengan apa yang dilakukan dan bagaimana komoditas

tersebut bisa ditangani dengan lebih efisien. Misalnya tentang sifat khas dari

barang, lembaga yang mentransfer, sumber permintaan dan penawaran,

fasilitas pemasaran, serta peraturan pemerintah yang berhubungan dengan

barang yang bersangkutan.


34

3.2.2. Konsep Efisiensi Pemasaran

Pemasaran menginginkan adanya efisiensi yaitu pengorbanan yang

sekecil mungkin terhadap barang atau jasa yang diminta konsumen. Efisiensi

pemasaran menurut Soekartawi (2002), adalah nisbah antara total biaya

dengan total nilai produk yang dipasarkan. Ada beberapa faktor yang dapat

dipakai sebagai ukuran efisiensi pemasaran yaitu keuntungan pemasaran,

harga yang diterima petani, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan kompetisi

pasar.

Purcell (1979), menyebutkan ada dua tipe efisiensi yang berkaitan

dengan pemasaran yaitu efisiensi teknis dan efisiensi harga. Efisiensi teknis

merujuk pada hubungan input-output yang terlibat dalam tugas pemanfaatan

produksi diseluruh sistem pemasaran, dimana biaya-biaya yang dikeluarkan

dalam proses untuk membawa barang ke tangan konsumen meliputi biaya

perubahan bentuk, biaya penyimpanan dan biaya pengangkutan. Pada

umumnya efisiensi pelaksanaan aktivitas dan fungsi ini dianggap tergantung

pada teknologi yang tersedia. Efisiensi harga merujuk pada kemampuan

sistem untuk mempengaruhi perubahan dan mendorong relokasi sumberdaya

agar dapat mempertahankan kesesuaian antara apa yang diproduksi dan apa

yang dibutuhkan konsumen.

Kohls dan Uhl (2002), menyatakan bahwa perubahan sistem pemasaran

yang berakibat mengecilnya biaya kegiatan pemasaran tanpa mengurangi

kepuasan konsumen menunjukkan suatu perbaikan dari tingkat efisiensi

pemasaran. Sedangkan perubahan yang mengurangi biaya pemasaran tetapi

diikuti dengan berkurangnya kepuasan konsumen menunjukkan penurunan


35

tingkat efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran akan tercapai jika struktur

pasar dapat menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang

seimbang antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran.

Efisiensi pasar secara teoritis dapat dicapai jika pelaku-pelaku pasar

tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar, atau

bila pemasaran tersebut dapat memberikan semua pihak (petani produsen,

pedagang perantara dan konsumen) kepuasan balas jasa yang seimbang sesuai

dengan sumbangannya masing-masing meskipun sifatnya relatif (adil yang

proporsional).

Kohls dan Uhl (2002), lebih lanjut mengungkapkan bahwa analisis

sistem pemasaran dapat juga dikaji melalui pendekatan struktur, perilaku dan

keragaan pasar. Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang

menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari

jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar dan

kondisi keluar masuk pasar. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga

pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi

kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga dan siasat pemasaran

seperti potongan harga. Struktur, perilaku dan kinerja merupakan tiga kategori

utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan

yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku

perusahaan dalam pasar tersebut, yang secara bersama-sama menentukan

kinerja sistem pasar secara keseluruhan.


36

3.2.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

Soekartawi (2002), mengemukakan bahwa pemasaran hasil-hasil

pertanian sering dihadapkan pada kata efisiensi, baik cara pengukurannya

maupun kriteria yang dipakai. Setidaknya ada dua kesulitan untuk menilai

efisien atau tidaknya suatu proses pemasaran. Pertama, efisiensi pemasaran

tidak mampu menunjukkan ukuran yang konsisten untuk mengukur efisiensi

pemasaran secara keseluruhan. Kedua, efisiensi pemasaran seringkali

melupakan aspek kesejahteraan masyarakat (welfare aspect of the society).

Dalam hal ini untuk meningkatkan efisiensi pemasaran dan sekaligus juga

memperhatikan welfare society, pendekatan dengan konsep SCP (Structure-

Conduct-Performance) merupakan pendekatan yang bisa digunakan untuk

mengurangi tidak efisiennya suatu pemasaran.

Pendekatan SCP adalah pendekatan organisasi pasar yang mencakup

atau mengkombinasikan semua aspek dari sistem pemasaran atau tataniaga

yaitu: market structure, market conduct dan market performance. Dasar

paradigma SCP dicetuskan oleh Mason (1939), yang mengemukakan bahwa

struktur (structure) suatu industri akan menentukan bagaimana para pelaku

industri berperilaku (conduct), yang pada akhirnya menentukan keragaan atau

kinerja (performance) industri tersebut.

a. Struktur Pasar

Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik

dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang

merupakan suatu resultan atau saling mempengaruhi perilaku dan keragaan

pasar. Antara lain ada empat faktor yang menjadi penentu yaitu: jumlah dan
37

ukuran perusahaan (isu pangsa pasar dan konsentrasi pasar), kondisi dan

keadaan produk (homogen atau diferensiasi), mudah atau sukarnya untuk

masuk dan keluar pasar atau industri (barrier to entry) dan tingkat

pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran. Struktur pasar

dapat juga diartikan sebagai tipe dan jenis-jenis pasar, yang secara garis besar

dibagi atas dua kelompok, yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar tidak

bersaing sempurna.

Pasar Persaingan Sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan

kompetitif yang berjalan dengan efektif dan efisien dengan beberapa asumsi

yang harus terpenuhi yaitu: (1) ada sangat banyak penjual dan pembeli di

pasar, (2) tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi

pesaingnya di pasar, (3) penjual dan pembeli hanya price taker serta tidak ada

persaingan di luar harga, (4) tidak ada hambatan untuk masuk/keluar pasar,

dan (5) jenis produk homogen dan identik, serta semua partisipan pasar

mempunyai cukup informasi dan pengetahuan tentang produk dan harga.

Sisi yang berlawanan sangat ekstrim dengan pasar persaingan sempurna

adalah pasar monopoli dimana pasar dikuasai oleh satu penjual, berikutnya

pasar oligopoli (sedikit penjual) dan pasar monopolistik (banyak penjual). Jika

diurutkan menurut kedekatan karakteristik masing-masing pasar satu sama

lain, maka struktur pasar terdiri dari pasar persaingan sempurna, pasar

monopolistik, pasar oligopoli dan terakhir pasar monopoli.

Imperfect competition bisa juga dilihat dari perspektif pembeli atau

konsumen, sehingga selain ketiga jenis pasar tidak bersaing sempurna tersebut

(monopolistik, oligopoli dan monopoli) juga dikenal struktur pasar monopsoni


38

dan oligopsoni. Pasar monopsoni menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah pasar

dimana hanya terdapat satu pembeli atau kondisi dimana hanya ada satu

perusahaan pengguna pada pasar input tertentu dan oligopsoni adalah sebuah

situasi pasar dimana hanya ada beberapa pembeli dari satu produk atau

komoditas (a few large buyers of a product).

Struktur pasar sebagian besar komoditas hasil-hasil pertanian terutama

di negara-negara berkembang, tergolong ke dalam struktur pasar monopsoni

atau oligopsoni, yang mayoritas pertaniannya merupakan usahatani subsistem

karena beragam faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sangat merugikan

petani karena dampak dari mekanisme pembentukan harga yang terjadi adalah

tidak ada harga terbaik, pembeli membeli hasil panen di bawah harga pasar

yang seharusnya (harga pada PPS) sehingga bagian harga yang seharusnya

dinikmati petani diambil oleh pembeli.

Struktur pasar biasanya diukur dengan rasio konsentrasi, indek atau

share tertentu. Setiap perusahaan mempunyai pangsa pasar (market share)

yang berbeda-beda berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan

seluruh pasar. Pangsa pasar menggambarkan bagian yang diperoleh

perusahaan dari total penjualan industri. Semakin tinggi share suatu

perusahaan maka akan semakin besar peranan dan pengaruhnya di pasar.

Derajat konsentrasi pasar dapat diukur dengan menggunakan Herfindahl

Hirchman Index (HHI). Jika nilai HHI antara 1000-1800 dinyatakan sebagai

konsentrasi moderat, sedangkan lebih dari 1800 adalah konsentrasi tinggi.

Concentration Ratio (CR) juga merupakan metode untuk mengukur derajat

konsentrasi pasar. Cara penghitungan melalui CR terbagi atas CR1, CR2,


39

CR3, CR4 dan lainnya, tergantung kebutuhan dan kondisi struktur pasar yang

akan dinilai. Angka 1, 2 dan seterusnya mengindikasikan jumlah share

perusahaan yang akan dinilai CR-nya. Rasio konsentrasi merupakan

akumulasi share perusahaan utama dalam industri, atau persentase dari total

output masing-masing perusahaan yang mendominasi industri atau pendapatan

penjualannya, dibagi dengan total output atau penjualan keseluruhan industri

(rasio pangsa pasar relatif dari total output industri).

b. Perilaku Pasar

Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli

dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara

individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap

partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Misalnya

praktek-praktek bisnis yang dilakukan perusahaan dalam kebijakan penentuan

harga, promosi penjualan dan berbagai strategi penjualan lainnya yang

dilakukan untuk mencapai hasil pasar yang spesifik. Pada prinsipnya

hubungan pembeli dan penjual adalah hubungan persaingan, tetapi setelah ada

kesepakatan atau negosiasi, hubungan itu menjadi transaksi.

Firdaus et al. (2008), lebih lanjut menyebutkan bahwa perilaku pasar

terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pelaku pasar dan juga

pesaingnya, terutama dalam hal harga dan karakteristik produk. Perilaku pasar

dapat dikelompokkan menjadi perilaku dalam strategi harga, produk dan

promosi. Perilaku antara lain juga bisa dilihat dari tingkat persaingan ataupun

kolusi antar partisipan di pasar.


40

c. Kinerja Pasar

Kinerja atau keragaan pasar (market performance) merupakan hasil atau

pengaruh dari struktur dan perilaku pasar yang dalam realita dapat terlihat dari

produk atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Misalnya

efisiensi harga atau biaya produksi, biaya promosi penjualan, termasuk nilai

informasi, volume penjualan dan efisiensi pertukaran di pasar. Keragaan atau

kinerja suatu industri diukur antara lain dari derajat inovasi, efisiensi dan

profitabilitas (Firdaus et al. 2008). Struktur dan perilaku pasar akan

menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan harga, biaya

pemasaran, margin serta distribusi pemasaran, jumlah komoditas yang

diperdagangkan, korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat

konsumen, elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar.

Terdapat sejumlah faktor intrinsik dan eksternal yang berpengaruh

terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik faktor yang

berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar dan

margin pemasaran. Bentuk pasar yang terjadi dalam struktur suatu pasar akan

mempengaruhi tingkat kompetisi yang akan berdampak pada proses

pembentukan harga, transmisi harga dan bagian harga yang diterima petani.

Jadi secara implisit struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi

pasar dan nilai margin pemasaran.

Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk

pertanian adalah terkait dengan kebijakan pemerintah seperti pengembangan

infra struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga

output, perpajakan dan retribusi, kebijakan pengembangan produk dan


41

pengolahan hasil pertanian dan lain-lain. Pemahaman di atas dan perbaikan

terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian akan bermanfaat dalam

mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena kinerja

pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga

yang diterima petani. Kebijakan pemerintah yang kondusif akan mendorong

peningkatan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang

proporsional bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani (Rusastra et al.

2003).

3.2.2.2. Margin Pemasaran

Nicholson (2002), mengemukakan bahwa pola pembentukan harga

tergantung dari kekuatan-kekuatan pelaku dalam pasar. Dengan kata lain

penjual dan pembeli bertemu langsung, harga hanya ditentukan oleh kekuatan

penawaran dan permintaan secara agregat, sehingga jumlah uang yang

dibayarkan oleh konsumen sama dengan jumlah yang diterima produsen. Hal

ini memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara harga di antara

keduanya. Namun dari hasil penelitian dalam bidang pemasaran pertanian

ternyata terdapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat

pengecer dan konsumen akhir. Perbedaan yang terjadi inilah yang disebut

marjin pemasaran yang merupakan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan

dalam pemasaran (Cramer et al. 1997). Bila dalam pemasaran suatu produk

pertanian terdapat lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi

pemasaran, maka marjin pemasaran diperoleh dari jumlah marjin pemasaran

dari tiap-tiap lembaga pemasaran.


42

Irawan dan Sudjoni (2001), berpendapat banyaknya lembaga pemasaran

dan jarak antara produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap arus

distribusi barang dan tingkat harga yang diterima oleh produsen ataupun

tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen. Jika dalam penyaluran

barang dari produsen ke konsumen melalui banyak lembaga pemasaran yang

terlibat, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut pada

produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen,

dalam hal ini tidak memberikan keuntungan yang wajar, baik bagi petani

maupun bagi konsumen. Dengan demikian pemasaran yang melibatkan

banyak lembaga pemasaran dapat menyebabkan rendahnya harga di tingkat

produsen dan tingginya harga di tingkat konsumen sehingga marjin pemasaran

menjadi tinggi.

Nilai marjin pemasaran pada tiap komoditas berbeda-beda, dikarenakan

untuk tiap produk mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda dan tiap

bentuk nilai tersebut memiliki geometrik dalam proses penjualannya. Lebih

lanjut Dahl dan Hammond (1977), mengemukakan nilai marjin pemasaran ini

umumnya ditetapkan dalam bentuk absolut seperti dalam persen. Dalam hal

ini pedagang besar dalam memberikan tambahan harga (mark up) biasanya

dalam bentuk konstan yaitu persen yang disebut sebagai biaya marjin tetap

(margin fixed cost) dan untuk pengecer dalam menetapkan tambahan harga

dalam bentuk absolut tetap secara marjin uang (absolute).

Tomek dan Robinson (1977), mendefinisikan margin pemasaran sebagai

berikut: (1) perbedaan antara harga yang dibayar konsumen dengan harga

yang diterima oleh produsen, dan (2) kumpulan balas jasa yang diterima oleh
43

jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran. Dalam

definisi yang pertama, margin pemasaran merupakan perbedaan harga yang

sederhana antara kurva permintaan asal (primary demand) dan permintaan

turunan (derived demand) untuk setiap bagian produk. Permintaan asal

ditentukan oleh respon dari kepuasan konsumen, yang tercermin dalam harga

di tingkat konsumen, sedangkan kurva permintaan turunan adalah kurva yang

sebenarnya dihadapi oleh petani produsen.

Sumber: Tomek dan Robinson, 1977


Gambar 5. Kurva Permintaan Asal, Permintaan Turunan, Penawaran Asal dan
Penawaran Turunan

Gambar 5 menjelaskan margin secara grafis. Kurva tersebut dapat

dijelaskan dengan asumsi bahwa: (1) elastisitas substitusi antara produk

pertanian dengan input tataniaga (misalnya tenaga kerja) adalah nol, dan (2)

jumlah produk di tingkat petani atau Qf, sama dengan jumlah produk di tingkat

pengecer atau Qr, dimana Qf = Qr = Q (kondisi ekuilibrium). Apabila asumsi


44

tersebut tidak digunakan, maka kemiringan (slope) atau koefisien arah kurva

permintaan maupun kurva penawaran di tingkat petani dengan di tingkat

pengecer tidak akan sejajar (sama).Besar kecilnya margin pemasaran sering

digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah atau

belum efisien. Tinggi rendahnya margin dapat disebabkan oleh berbagai faktor

yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran, antara lain ketersediaan

fasilitas fisik pemasaran seperti pengangkutan, penyimpanan, pengolahan,

pengelolaan resiko kerusakan dan lain-lain. Secara umum bisa dikatakan

semakin panjang saluran pemasaran atau pihak yang terlibat dalam saluran

pemasaran, maka margin pemasaran akan semakin besar.

3.2.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani

Efisiensi pemasaran dapat juga dianalisis dengan menghitung bagian

harga yang diterima petani atau farmer’s share. Soekartawi (2002),

mengemukakan untuk mengukur efisiensi pemasaran digunakan harga jual

petani sebagai dasar (Pf) dan dibandingkan dengan harga beli pedagang di

tingkat konsumen akhir (Pr) dikalikan dengan 100 persen. Hal ini berguna

untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen yang

dinikmati oleh petani. Besar farmer’s share (FS) menurut Kohls dan Uhl

(2002), dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transportasi, (3)

keawetan produk, dan (4) jumlah produk. Rumusannya sederhana, dinyatakan

dalam persentase (%), yang dirumuskan dalam persamaan FS = Pf/Pr x 100%.

Apabila dari hasil pengujian diperoleh bagian harga yang diterima petani

rendah, maka saluran pemasaran tidak/belum efisien.


45

3.2.2.4. Elastisitas Transmisi Harga

Elastisitas transmisi harga adalah nisbah perubahan relatif harga di

tingkat pengecer (Pr) terhadap perubahan relatif harga di tingkat produsen (Pf)

(George dan King, 1971). Pengertian ini erat kaitannya dengan anggapan

bahwa margin tataniaga merupakan akibat adanya permintaan turunan dari

pedagang eceran kepada petani produsen, atau margin tataniaga merupakan

selisih dari harga di tingkat pedagang eceran dengan harga di tingkat petani.

Secara matematik elastisitas transmisi harga adalah:

 Pr Pr  Pr P
Et = = x f .....................................(4)
 Pf Pf  Pf Pr

dimana:

Et = Elastisitas transmisi harga


 Pr = Perubahan harga di tingkat pedagang pengecer
 Pf = Perubahan harga di tingkat petani

3.2.2.5. Keterpaduan Pasar

Pengertian keterpaduan pasar adalah sampai seberapa jauh pembentukan

harga suatu komodidas pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi

oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Pengaruh ini dapat diduga

melalui regresi sederhana, analisis korelasi harga di setiap tingkat baik secara

vertikal maupun horizontal dan melalui elastisitas transmisi harga (Et). Dalam

suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya korelasi positif

yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986). Pada

umumnya pendekatan ini banyak dipakai untuk menguji apakah pasar

setempat terpadu dan efisien. Dalam hal ini kelancaran informasi dan
46

pengangkutan memberi peranan yang penting dalam membentuk perdagangan

antarpasar yang efisien. Pengujian akan hubungan harga-harga ditambah

dengan pengamatan tentang kegiatan perdagangan merupakan metode uji

hipotesis yang berguna. Harga-harga pada suatu sistem pasar yang efisien

cenderung bergerak bersama-sama, tetapi hal ini dapat terjadi karena sebab-

sebab yang lain. Pergerakan harga umum, musim bersama atau setiap faktor

kebersamaan, dapat memberikan perubahan harga yang selaras walaupun

pasar tersebut tidak berhubungan (Heytens, 1986).

Pendekatan lain yang digunakan adalah metode autoregresive

distributed lag yang dapat mengatasi masalah kelemahan model regresi

sederhana yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dan

produsen bergerak pada waktu yang sama. Model ini dikembangkan oleh

Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan

bedakala (lag) bersebaran autoregresive antara harga disuatu tingkat atau

pasar tertentu dengan harga di pasar atau tingkat lainnya. Analisis ini dapat

menerangkan adanya hubungan antara perubahan harga di suatu pasar tertentu

dengan harga di pasar lainnya. Lebih lanjut dapat diungkapkan proses

pembentukan harga, misalnya Pit adalah harga di pasar i waktu t, sedangkan

PAt adalah harga di pasar acuan waktu t, maka model dapat dirumuskan

sebagai berikut:

(Pit – Pit-1) = (αi - 1) (Pit-1 - PAt-1) + βi0 (PAt - PAt-1) +


(αi + βi0 + βi1-1) PAt-1 + γi X + e .........................(5)
dimana:
Pit = Harga di pasar i waktu t
PAt = Harga di pasar acuan waktu t
X = Vektor musiman atau variabel lain yang dianggap relevan
47

e = Error term di pasar i waktu t

Persamaan (5) menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu tempat

adalah fungsi dari selisih harga pasar setempat dengan pasar acuan pada waktu

yang sebelumnya, perubahan harga pasar acuan pada waktu sebelumnya,

harga di pasar acuan waktu sebelumnya dan ciri-ciri pasar setempat.

Persamaan (5) bisa disederhanakan dengan mengubah lambang-lambang

koefisien: αi – 1 = b1, βi0 = b2 dan αi + βi0 + βi1-1 = b3, sehingga persamaan

dapat ditulis sebagai berikut:

(Pit - Pit-1) = b1 (Pit-1 – PAt-1) + b2 (PAt – PAt-1) + b3 PAt-1


+ b4 X + e .................................................(6)

Persamaan (6) dapat disusun kembali menjadi persamaan:

Pit = (1+b1) Pit-1 + b2 (PAt – PAt-1) + (b3-b1) PAt-1 + b4 X + e ...........(7)

Apabila pasar acuan kita anggap berada pada keseimbangan jangka panjang

maka (PAt – PAt-1) = 0 dan juga b4 = 0, sehingga didapatkan:

Pit = (1+b1) Pit-1 + (b3-b1) PAt-1 .................................................(8)

Nilai parameter (1+b1) dan (b3-b1) akan menggambarkan sumbangan

relatif harga pasar setempat dan acuan terdahulu terhadap pembentukan harga

tingkat sekarang. Apabila harga pasar acuan sebelumnya merupakan penentu

dari harga, maka pasar-pasar ini terintegrasi dengan baik. Artinya keadaan

penawaran dan permintaan pada pasar acuan akan dikomunikasikan secara

efektif ke pasar-pasar setempat dan akan mempengaruhi harga-harga di sana

walau bagaimanapun keadaan pasar lokal sebelumnya. Untuk menangkap

besarnya pengaruh ini secara efektif, dikembangkan suatu indek hubungan

pasar atau Index of Market Connection (IMC) atau disebut juga indek yang
48

dibatasi sebagai nisbah koefisien pasar setempat terdahulu terhadap koefisien

pasar acuan terdahulu. Dari persamaan (8) diperoleh:

1  b1
IMC = .................................................(9)
b 3  b1

Secara umum, semakin dekat indek tersebut ke-0 atau koefisien bernilai

lebih kecil dari 1 maka semakin tinggi derajat keterpaduan pasar.

3.3. Tahapan Penelitian

Upaya peningkatan pendapatan petani tergantung pada pengelolaan

produksi dan pengalokasian faktor produksi yang dimiliki, kemudian

menindaklanjutinya dengan memasarkan komoditas yang telah diproduksi

tersebut. Dengan demikian upaya peningkatan pendapatan petani salah

satunya sangat ditentukan oleh faktor bagaimana petani melakukan

pengelolaan produksi dan pemasaran komoditas yang diusahakannya.

Kegiatan produksi dan pemasaran tidak bisa berjalan sendiri karena saling

terkait dalam menentukan keberhasilan usahatani.

Pengusahaan gambir sebagai komoditas pertanian tidak terlepas dari

ketergantungan usahatani tanaman tropis ini pada faktor alam. Kondisi alam

seperti curah hujan, karakteristik tanah, kesuburan tanah serta faktor lainnya

akan sangat berpengaruh pada produksi dan produktivitas tanaman. Disamping

faktor alam, teknologi yang digunakan petani dalam proses produksi, kondisi

sosial ekonomi dan kelembagaan serta situasi pasar yang berkaitan dengan

permintaan, penawaran dan proses pemasaran gambir akan sangat

berpengaruh pada pembentukan harga gambir di pasar.


49

GAMBIR
Salah Satu Komoditas Unggulan Sumatera Barat
dan Kabupaten Lima Puluh Kota
Untuk Ekspor

Usahatani perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional


dengan teknologi pengolahan sederhana

Masalah utama dalam pengelolaan komoditas gambir selama ini:


1. Produksi, produktivitas, serta mutu hasil gambir yang rendah
2. Rendahnya posisi tawar petani di pasar

Bagaimana keterkaitan antara sektor on farm dengan off farm usahatani gambir
yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem pemasaran serta peranannya dalam
menentukan harga gambir

Analisis Produksi Analisis Pemasaran

Efisiensi pengalokasian Profil dan kinerja kelembagaan


sumberdaya pemasaran gambir

Pendekatan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dan


metode untuk analisis pemasaran menggunakan
the market structure-conduct-performance relationship

Gambaran menyeluruh mengenai keragaan usahatani gambir


mulai dari on farm sampai off farm secara terpadu
di Kabupaten Lima Puluh Kota

Gambar 6. Tahapan Analisis Produksi dan Pemasaran Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota

Masalah utama dalam usahatani gambir seperti yang terlihat dalam di

Gambar 6 adalah menyangkut produksi, produktivitas serta mutu hasil gambir


50

yang rendah. Proses produksi gambir memerlukan sumberdaya (input) yang

bersifat tetap dan input tidak tetap. Faktor yang akan diuji sebagai hipotesis

penelitian adalah bagaimana pengaruh luas areal tanam, jumlah pohon dan

umur tanaman, tenaga kerja (curahan waktu kerja) serta penerapan faktor

produksi lainnya, terhadap produksi gambir. Apakah pengaruhnya signifikan

dan sudah efisien dalam pengalokasiannya. Disamping itu akan dilakukan juga

analisis efisiensi pemasaran gambir dengan menggunakan pendekatan SCP

untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai

struktur pasar, perilaku dan keragaan usahatani gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota.
IV. METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi

Sumatera Barat dengan pertimbangan bahwa kabupaten ini merupakan daerah

sentra produksi gambir di Sumatera Barat. Menurut data BPS 2007/2008,

sekitar 70.45 persen produksi gambir Sumbar berasal dari kabupaten ini.

Sumatera Barat sendiri adalah provinsi sentra produksi yang menyumbangkan

lebih dari 80 persen produksi gambir Indonesia (Ermiati, 2004; Dhalimi,

2006).

Selanjutnya dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipilih lagi tiga kecamatan

secara sengaja (purposive) yang menjadi sentra produksi gambir yaitu

Kecamatan Kapur IX, Lareh Sago Halaban dan Harau. Penentuan lokasi

tersebut dengan pertimbangan: (1) ketiga kecamatan adalah daerah sentra

produksi, (2) untuk melihat keragaman dan keragaan usahatani dan pemasaran

gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, dan (3) supaya tidak terjadi

pengelompokan pada wilayah tertentu sehingga memungkinkan lokasi

penelitian tersebar. Namun demikian pemilihan ketiga kecamatan tersebut

tidak dimaksudkan untuk dilakukan perbandingan.

Kecamatan Kapur IX dipilih masih didasarkan pada pertimbangan

bahwa kecamatan ini merupakan salah satu daerah sentra produksi di

Kabupaten Lima Puluh Kota dengan kontribusi tertinggi terhadap luas areal

tanam dan produksi gambir, masing-masing sebesar 44.11 persen dan 43.05

persen (BPS, 2008a; 2008b). Pemilihan Kecamatan Lareh Sago Halaban


52

didasarkan pada pertimbangan karena kecamatan ini merupakan daerah

pertama penghasil gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota dan sampai

sekarang menghasilkan gambir dengan mutu kualitas A yang dikenal dengan

nama Gambir Halaban I. Sedangkan Kecamatan Harau dipilih karena

kecamatan ini adalah kecamatan dengan akses yang paling baik dan paling

dekat dengan Kota Payakumbuh sebagai salah satu pasar utama gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota.

Setelah dilakukan pemilihan lokasi penelitian pada tingkat kabupaten

dan kecamatan, selanjutnya dilakukan penentuan lokasi penelitian pada tingkat

kenagarian. Kenagarian atau nagari adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai organisasi pemerintah sendiri dan merupakan ciri khas

pemerintahan daerah Sumatera Barat, yang setingkat dengan desa. Kapur IX,

Lareh Sago Halaban dan Harau merupakan kecamatan terpilih sebagai lokasi

penelitian, masing-masing terdiri dari 7, 8 dan 11 kenagarian. Pemilihan

kenagarian ditentukan secara sengaja di tiga kecamatan tersebut dan yang

terpilih di Kecamatan Kapur IX adalah Kenagarian Koto Bangun, Muaro Paiti

dan Lubuak Alai. Kenagarian Solok Bio-bio di Kecamatan Harau dan

Kenagarian Halaban dan Sitanang di Kecamatan Lareh Sago Halaban.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk data

cross section maupun time series. Data cross section bersumber dari

responden penelitian yaitu petani gambir dan pedagang gambir. Pedagang

gambir dibedakan lagi berdasarkan volume perdagangannya menjadi


53

pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir gambir. Data primer ini

yang digunakan untuk analisis efisiensi produksi dan pemasaran.

Data time series dipakai untuk kelengkapan analisis kinerja pemasaran

gambir mulai tahun 1994-2007. Sumber data dan informasi berupa laporan-

laporan ataupun dokumentasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas

Perkebunan, Perindustrian, Perdagangan dan asosiasi pedagang gambir yang

berada di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota dan Provinsi Sumatera Barat.

4.3. Metode Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani produsen gambir

dan pedagang gambir yang ada di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.

Pengambilan sampel dari masing-masing lokasi ditentukan dengan cara

sengaja (purposive). Penentuan sampel petani di lokasi penelitian yang akan

dijadikan responden adalah petani produsen gambir yang memiliki Batas

Minimal Usaha (BMU) untuk usaha perkebunan gambir yang ditetapkan

sesuai dengan standar Sensus Pertanian tahun 2003 (ST 2003) yang dilakukan

BPS, yaitu petani yang memiliki minimal 135 pohon gambir yang sudah

berproduksi (BPS, 2003). Petani atau produsen dalam penelitian ini mungkin

saja memiliki lebih dari satu usaha atau memiliki garapan usahatani dengan

komoditas selain gambir.

Populasi petani gambir menurut hasil Sensus Pertanian terakhir tahun

2003, di Kabupaten Lima Puluh Kota terdapat 9 056 rumahtangga petani.

Rumahtangga petani gambir untuk ketiga kecamatan terpilih sebanyak 4 307

rumahtangga atau 47.56 persen populasi, dengan sebaran sebanyak 1.27


54

persen atau 115 rumahtangga berada di Kecamatan Lareh Sago Halaban,

10.40 persen atau 942 rumahtangga di Kecamatan Harau dan 35.89 persen

atau 3 250 rumahtangga di Kecamatan Kapur IX.

Parel et al. (1973), mengemukakan beberapa acuan yang dapat

dipertimbangkan menyangkut ukuran pengambilan sampel berkaitan dengan

ragam populasi, yaitu: (1) jika populasi besar, sampel dapat diambil dengan

persentase kecil dan jika populasi kecil dapat diambil persentase besar, (2)

ukuran sampel sebaiknya tidak kurang dari 30 satuan, dan (3) jumlah sampel

disesuaikan dengan kemampuan biaya.

Berdasarkan uraian di atas dan pertimbangan keterbatasan yang ada dari

peneliti, maka rumahtangga petani yang menjadi sampel diambil dengan

teknik quota sampling untuk memastikan bahwa beberapa karakteristik

populasi terwakili dalam contoh yang akan terpilih (Juanda, 2009). Dari hasil

survei yang dilakukan, diperoleh responden 30 rumahtangga petani di

Kecamatan Lareh Sago Halaban, 35 rumahtangga petani di Kecamatan Harau

dan 36 rumahtangga petani di Kecamatan Kapur IX. Namun demikian setelah

dilakukan editing terhadap data yang diperoleh, ternyata hanya 96

rumahtangga petani sampel atau 1.06 persen dari populasi yang dianalisis

datanya, dan sebanyak 5 sampel rumahtangga dikeluarkan dari hasil analisis

karena adanya ketidaklengkapan data. Sampel yang dikeluarkan adalah 3

rumahtangga petani di Kecamatan Harau dan 2 rumahtangga petani di

Kecamatan Kapur IX.

Responden rumahtangga petani yang berjumlah 96 orang tersebut,

setelah data rumahtangga terkumpul dan dilakukan tabulasi, dilakukan lagi


55

stratifikasi terhadap rumahtangga petani yang memiliki lebih dari satu lokasi

perkebunan gambir dengan usia tanam yang berbeda-beda. Hal ini dilakukan

untuk analisis produksi guna mengidentifikasi faktor-faktor utama yang

mempengaruhi produksi gambir perkebunan rakyat. Sehingga ukuran sampel

yang sebelumnya berjumlah 96 sampel rumahtangga petani, setelah dirinci

lagi menurut usia tanaman gambir yang diusahakan, menjadi 133 sampel.

Responden yang berhubungan dengan tataniaga gambir, sampel

pedagang yang diambil adalah pedagang gambir dari setiap kecamatan yang

dipilih secara sengaja (purposive) dari pedagang gambir yang ada di wilayah

Kabupaten Lima Puluh Kota. Informasi awal mengenai pedagang pengumpul

diperoleh dari petani dan pedagang pengumpul di kenagarian tempat

pelaksanaan survei, selanjutnya didapat dengan metode snowball sampling

guna mendapatkan pedagang di saluran pemasaran yang berada di atasnya.

Penentuan pedagang dengan metode snowball sampling tersebut

bertujuan untuk menghindari terjadinya pengambilan sampel yang tidak tepat,

dimana pedagang pengumpul di bawahnya tidak menjadi agen (kepanjangan

tangan) pedagang pengumpul di atasnya. Sampel pedagang yang dipilih

adalah yang dianggap dapat mewakili karakteristik populasi dan kinerja dari

masing-masing lembaga pemasaran pada lokasi penelitian.

Berdasarkan informasi tersebut dan dengan mempertimbangkan

karakteristik pedagang yang akan disurvei, diperoleh 20 responden sebagai

sampel pedagang yang telah memenuhi persyaratan seperti tersebut di atas.

Sampel pedagang tersebut terdiri dari 11 sampel pedagang pengumpul, 6

sampel pedagang besar, 2 sampel eksportir dan 1 asosiasi pedagang gambir.


56

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap

sampel petani dan pedagang gambir yang terpilih. Teknik pengumpulan data

dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam kuisioner terstruktur yang telah

disiapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data lapangan

dilakukan pada bulan Maret dan April 2009. Data yang dikumpulkan untuk

sampel petani mencakup karakteristik rumahtangga petani, penguasaan dan

luas lahan, pola tanam dan usia tanaman gambir yang diusahakan, input dan

output usahatani per panen, curahan tenaga kerja, kegiatan pemasaran yang

dijalankan serta kendala dan permasalahan yang dihadapi petani. Sedangkan

untuk sampel pedagang, data yang dikumpulkan mencakup karakteristik

pedagang, sistem dan daerah perdagangan, metode transaksi dan kuantitas

gambir yang diperdagangkan serta aspek lainnya untuk memperoleh gambaran

struktur pasar, perilaku dan kinerja pemasaran gambir.

4.5. Model Analisis


4.5.1. Analisis Produksi

Model ekonometrika dari fungsi produksi disusun bertujuan untuk

menduga hubungan antara variabel tak bebas dan bebas dari suatu fungsi

dalam usahatani gambir, yang sesuai dengan kriteria model yang baik dengan

melihat kriteria ekonomi, statistik dan ekonometrika. Pada analisis produksi

menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas karena model inilah yang

relevan untuk menganalisis usahatani.

Persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan fungsi produksi yang

baik adalah terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang
57

dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan. Parameter statistik serta

parameter yang diduga memenuhi persyaratan untuk dapat disebut parameter

yang mempunyai derajat ketelitian yang tinggi. Ada dua parameter statistik

yang penting dan diperlukan, yaitu: (1) koefisien determinasi atau R2 yaitu

parameter yang menjelaskan besarnya variasi dari variabel yang dijelaskan

oleh variabel penjelas, dan (2) uji t pada masing-masing variabel penjelas

(Soekartawi et al. 1986).

Analisis dilakukan untuk keseluruhan data sampel petani di daerah yang

sudah dipilih di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Model penduga fungsi

produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian pertama.

Adapun model fungsi produksi gambir di lokasi penelitian adalah sebagai

berikut:

7 5
ln Y  ln c0   d k ln X k   ei Di  u ....................(10)
k 1 i 1

dimana:

Y = Produksi gambir (kg)


c0 = Intersep
X1 = Tenaga kerja (HOK)
X2 = Luas lahan (ha)
X3 = Jumlah tanaman menghasilkan (pohon)
X4 = Umur rata-rata pohon (tahun)
X5 = Pengalaman bertani gambir (tahun)
X6 = Penggunaan pupuk Urea (kg)
X7 = Penggunaan pestisida (liter)
D1 = Dummy lama pendidikan petani, dimana:
1 = SLTP ke atas (> 6 tahun)
0 = SD (≤ 6 tahun)
D2 = Dummy frekwensi panen, dimana:
1 = Panen 3 kali setahun dan 0 = Panen < 3 kali setahun
58

D3 = Dummy jenis gambir yang diproduksi, dimana:


1 = Gambir campur
0 = Gambir murni
D4 = Dummy cara budidaya, dimana:
1 = Monokultur
0 = Tumpang sari
D5 = Dummy bibit unggul, dimana:
1 = Menggunakan bibit unggul (varietas udang)
0 = Campuran semua bibit (udang, riau dan cubadak)
u = Galat atau error term
dk , e i = Parameter yang diduga

Tanda parameter dugaan yang diharapkan adalah:

d1, d2, d3, d4, d5, d6, d7, e1, e2, e3, e4, e5 > 0

Penilaian apakah fungsi produksi ini dapat dipertanggungjawabkan

dimana terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan

dengan variabel yang menjelaskan atau tidak terjadi kesalahan spesifikasi

adalah dengan melakukan pengujian model secara keseluruhan dengan

menggunakan statistik uji F.

Uji F adalah pengujian serentak terhadap variabel independen apakah

secara bersama-sama dapat menjelaskan keragaman produksi gambir sebagai

variabel dependennya, dengan hipotesis:

H0 : α0 = α1 = ... αi = 0
(Tidak ada X yang berpengaruh terhadap Y atau model tidak dapat
menjelaskan keragaman produksi gambir)

H1 : αi  0
(Minimal ada satu X yang berpengaruh nyata terhadap Y atau model
dapat menjelaskan keragaman produksi gambir)

Jika dalam pengujian model dengan uji F disimpulkan bahwa model

tersebut dapat menjelaskan keragaman produksi gambir (Y), maka

permasalahan selanjutnya adalah variabel apa yang berpengaruh nyata


59

terhadap Y. Pengujian menggunakan uji statistik t pada masing-masing

variabel independen, yaitu uji hipotesis yang berkaitan dengan masing-masing

koefisien model regresi untuk melihat faktor apa saja yang berpengaruh nyata

terhadap produksi gambir. Perumusan hipotesisnya adalah:

H0 : αi=0
(Variabel ke-i tidak berpengaruh terhadap Y atau produksi gambir)

H1 : αi0
(Variabel ke-i berpengaruh nyata terhadap Y atau produksi gambir)

Berdasarkan hipotesis tandingan (H1) yang dikemukakan di atas

mempunyai rumusan tidak sama (), maka pengujian hipotesis dilakukan

dengan menggunakan uji dua arah (two-tailed test), dimana luas daerah kritis

atau daerah penolakan H0 pada tiap ujung adalah 1/2 α. Nilai level signifikansi

yang digunakan atau derajat α adalah pada taraf 1 persen, 5 persen dan 10

persen. Kriteria keputusan dilakukan dengan menggunakan angka probabilitas

(P_value atau sign.) yang diperoleh dari perhitungan komputer kemudian

dibandingkan dengan taraf nyata pengujian yang dilakukan, misalnya (α=5

persen). Jika probabilitas (sign.) lebih kecil dari taraf nyata (α=5 persen),

maka keputusannya adalah menolak H0 atau menerima hipotesis alternatif H1.

P_value atau significance yang dikeluarkan oleh software statistik tertentu

dapat juga diinterpretasikan sebagai peluang (resiko) kesalahan dalam

menyimpulkan H1 (Juanda, 2009).

Pengujian model dilanjutkan dengan uji asumsi Ordinary Least Squares

(OLS) untuk melihat apakah model yang ada sudah menghasilkan estimator

yang linier, tidak bias dengan varian yang minimum, atau model regresi sudah

memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) dan pengujian


60

ekonomi skala usaha. Data untuk analisis produksi adalah data cross section,

maka uji asumsi OLS pada model fungsi produksi komoditas gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota tersebut meliputi:

1. Uji kenormalan residual (nilai galat) untuk melihat apakah galat menyebar

normal (H0) atau tidak menyebar normal (H1). Galat atau error term

adalah selisih dari nilai Y aktual (Yt) dengan nilai Y ketika data X

dimasukkan ke dalam model (Ŷ). Harapannya adalah nilai E (Ŷ) = Y, atau

error kecil, yang berarti model yang ada mendekati kondisi sebenarnya.

2. Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah ragam atau varians

dari residual model, apakah ragamnya konstan (homoskedastisitas/H0) atau

model memiliki ragam tidak konstan (heteroskedastisitas/H1). Pengujian

bisa dilakukan dengan melihat grafik atau dengan meregresikan Y = [Ut]

atau residual. Harapannya adalah nilai yang didapatkan tidak signifikan

atau ragam sudah memenuhi asumsi homoskedastisitas.

3. Uji multikolinieritas untuk melihat apakah ada hubungan linier antara

variabel independen dalam satu model. Salah satu indikator yang bisa

digunakan untuk menilai multikolinieritas ini adalah dengan melihat nilai

Variance Inflation Factor (VIF) dari hasil pendugaan model. Jika nilai

VIF kecil dari sepuluh (VIF < 10) berarti tidak terjadi multikolinieritas

dalam model.

Pengujian skala usahatani diketahui dengan menjumlahkan koefisien

regresi dari variabel atau parameter elastisitasnya. Dengan mengikuti kaidah

Return to Scale (RTS) diketahui jika jumlah parameter elastisitasnya > 1 maka

terjadi increasing RTS, artinya proporsi penambahan faktor produksi akan


61

menghasilkan tambahan produksi gambir yang proporsinya lebih besar. Jika

jumlah parameter elastisitasnya = 1, terjadi constant RTS artinya dalam

keadaan demikian, penambahan faktor produksi akan proporsional dengan

penambahan produksi gambir yang diperoleh. Jika jumlah parameter

elastisitasnya < 1, artinya terjadi decreasing RTS yang berarti proporsi

penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi gambir.

Perumusan hipotesisnya adalah:

H0 : α=1
(Model sudah memenuhi constant return to scale)

H1 : α1
(Model tidak memenuhi constant return to scale)

Jika F hitung < F tabel terima H0, dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa penggunaan faktor produksi berada pada tahap constant rate, artinya

penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi

gambir yang diperoleh. Berdasarkan hasil rangkaian pengujian di atas, setelah

itu baru dilakukan pendugaan parameter model fungsi produksi gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota.

Analisis fungsi produksi ini menggunakan data survei usahatani

sehingga untuk data pengamatan yang bernilai nol maka cara mengatasinya

adalah mengganti nilai variabel yang bernilai nol tersebut dengan bilangan

yang sangat kecil sehingga diharapkan tidak berpengaruh besar terhadap hasil

analisis (Soekartawi et al. 1986). Hal ini karena analisis menggunakan model

Cobb-Douglas yang telah diubah menjadi bentuk double log (ln) tidak

menghendaki faktor yang bernilai nol karena perhitungan tidak bisa dilakukan

(ln nol tidak ada).


62

Efisiensi adalah rasio yang mengukur keluaran atau produksi suatu

sistem atau proses untuk setiap unit masukan (Downey dan Erickson, 1992).

Efisiensi produksi dapat diartikan sebagai upaya penggunaan input atau faktor

produksi yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil produksi yang

sebesar-besarnya, sedangkan efisiensi alokatif akan tercapai apabila petani

mampu mengupayakan Nilai Produk Marjinal (NPM) untuk suatu input (X)

usahatani yang digunakan sama dengan harga input (Px) tersebut.

NPMx = Px atau NPMx/Px = 1 ...................................(11)

Kriterianya adalah: (1) jika NPMx/Px = 1 artinya pada tingkat harga yang

berlaku saat penelitian, penggunaan faktor produksi (input X) sudah berada

pada tingkat yang optimum atau sudah efisien, (2) NPMx/Px > 1 artinya

penggunaan faktor produksi masih belum efisien, untuk mencapai tingkat

optimum input X perlu ditambah, dan (3) NPMx/Px < 1 artinya penggunaan

faktor produksi tidak efisien atau sudah melebihi tingkat optimum, sehingga

untuk mencapai efisien input X harus dikurangi (Rahim dan Retno, 2007).

4.5.2. Analisis Pemasaran

Analisis pemasaran dilakukan secara deskriptif menggunakan berbagai

analisis data sederhana dengan menggunakan perhitungan, analisis tabulasi

dan pendugaan secara statistik dengan metode regresi. Data berasal dari

responden pedagang gambir dan hasil pengamatan selama berada di lokasi

penelitian. Khusus untuk analisis keterpaduan pasar digunakan data time

series yang diperoleh dari instansi terkait.


63

4.5.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

Analisis struktur pasar dan pemasaran gambir diidentifikasi dengan

pendekatan observasi selama pelaksanaan survei lapangan. Observasi adalah

pengumpulan data primer dengan cara pengamatan (Simamora, 2004). Untuk

menganalisis struktur pasar observasi dilakukan terhadap seluruh kegiatan dan

perilaku semua lembaga yang terlibat dalam rantai pemasaran gambir,

bagaimana saluran pemasaran yang terjadi, sistem transaksi yang dilakukan,

jumlah partisipan dan ukuran distribusinya (derajat konsentrasi), serta kondisi

relatif mudah atau sulit untuk keluar masuk pasar.

Metode yang dipilih untuk analisis struktur pasar adalah dengan melihat

pangsa pasar dari perkembangan penjualan masing-masing pembeli

(pedagang) dengan menghitung konsentrasi rasio empat pedagang terbesar

(CR4) sesuai yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002). Penghitungan

nilai CR4 dilakukan pada empat pedagang gambir terbesar di Kabupaten Lima

Puluh Kota, yang pengelompokannya didasarkan pada nilai output yang

dihasilkan oleh empat pedagang terbesar tersebut. Rasio konsentrasi diperoleh

dengan mengukur besarnya kontribusi output yang dihasilkan oleh empat

pedagang terbesar terhadap total volume gambir atau output yang dibeli oleh

pedagang selevel mereka untuk wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.

4
CR 4  S
i 1
ij ...............................................(12)

dimana Sij adalah pangsa pasar (market share) empat pedagang gambir yang

terbesar di Kabupaten Lima Puluh Kota. Market share (MSi) didapat dengan:

Si
MSi  x 100 ...............................................(13)
S total
64

dimana:

Si = Penjualan pedagang terbesar pertama, kedua, ketiga dan


keempat di Kabupaten Lima Puluh Kota (ton/tahun)

Stotal = Produksi gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota (ton/tahun)

Jika nilai CR4:

≤ 33 % : Competitive market structure


33 – 50 % : Weak oligopsony market structure
> 50 % : Strongly oligopsony market structure

Hambatan untuk masuk ke pasar dihitung dengan menggunakan

indikator Minimum Efficiency Scale (MES). Salah satu penyebab yang dapat

menjadi hambatan masuk pasar adalah keberadaan perusahaan terbesar yang

telah ada sebelumnya dalam sebuah industri. Hal ini dapat dilihat dari nilai

MES yang diperoleh dari persentase output perusahaan terbesar terhadap total

output industri. Tingginya MES dapat menjadi penghalang bagi pesaing baru

untuk memasuki pasar. MES yang lebih besar dari 10 persen menggambarkan

hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri (Jaya, 2001).

Penjualan Pedagang Terbesar


MES  ...........(14)
Pr oduksi Gambir Kab. Lima Puluh Kota

Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk

memperoleh informasi mengenai perilaku partisipan di pasar, yang meliputi

analisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh partisipan

(pembeli) untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Analisis

ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya

kualitatif dan sulit dikuantitatifkan. Pengamatan untuk analisis perilaku

dilakukan terhadap praktek pembelian dan penjualan, praktek pembentukan

harga dan praktek lembaga terkait dalam menjalankan fungsi pemasaran.


65

Analisis keragaan atau kinerja pasar gambir menggunakan metode yang

sudah baku yang meliputi analisis margin pemasaran, farmer’s share,

elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar. Untuk menganalisis efisiensi

sistem pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota sekaligus

mengidentifikasi kendala-kendala pelaku pasar yang mempengaruhi kinerja

pasar gambir, hal yang harus dijelaskan sehubungan dengan analisis SCP

meliputi: (1) bagaimana sistem kelembagaan pemasaran gambir, seperti apa

koordinasi antarpartisipannya dan apakah perdagangan gambir dibentuk oleh

banyak unit pedagang kecil yang berkompetisi ataukah didominasi oleh sedikit

pedagang besar, (2) pendekatan apa yang digunakan pedagang dalam

pembelian, penjualan dan penentuan harga gambir, (3) apakah ada hambatan

untuk masuk pasar, apa saja faktor utama penghambat tersebut, (4) apakah ada

masalah dan kendala dalam transportasi, penyimpanan, kredit keuangan dan

informasi pasar, dan (5) bagaimana struktur, perilaku pasar serta kendala-

kendala dan permasalahan yang ada mempengaruhi kinerja pemasaran gambir.

(Dessalegn et al. 1998).

4.5.2.2. Margin Pemasaran

Margin pemasaran atau juga biasa disebut margin tataniaga adalah

perbedaan harga di tingkat petani produsen (harga beli) dengan harga ditingkat

konsumen akhir (harga jual). Margin tataniaga adalah harga dari semua nilai

guna (nilai tambah) dari aktivitas dan penanganan fungsi-fungsi pemasaran,

termasuk jasa-jasa pemasaran dari lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat

dalam rantai pemasaran suatu produk atau komoditas. Margin tataniaga


66

merupakan jumlah dari biaya-biaya dan keuntungan yang didapat oleh

lembaga pemasaran. Secara matematis besarnya margin tataniaga adalah:

Mi = Pri – Pfi ...........................................................(15)


Mi = Ci + πi ...........................................................(16)

dimana:

Mi = Margin pemasaran pada lembaga (saluran) pemasaran di tingkat


(pasar) i
Pri = Harga jual gambir di pasar i
Pfi = Harga beli gambir di pasar i
Ci = Biaya pemasaran di pasar i
πi = Keuntungan pemasar (lembaga) di pasar i

Dengan demikian total margin tataniaga (M) adalah:


n
M = i 1
Mi ...........................................................(17)

4.5.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani

Bagian harga konsumen yang diterima petani (farmer’s share atau FS)

dinyatakan dalam bentuk persentase, yang berguna untuk mengetahui porsi

harga yang dinikmati petani dari harga yang berlaku di tingkat eksportir.

Dihitung dengan menggunakan rumus:

FS = (Pf / Pe) x 100 % ...........................................................(18)

dimana:

Pf = Harga gambir di tingkat petani


Pe = Harga gambir di tingkat eksportir

Cara lain yang bisa digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

perubahan bagian harga yang diterima petani (Pf) akibat perubahan harga di
67

tingkat eksportir (Pe), maka variabel tersebut dapat difungsikan terhadap

perubahan harga di tingkat eksportir (Pe) yaitu:

Pf = a + b Pe + u2 ...............................................(19)

4.5.2.4. Keterpaduan Pasar

Keterpaduan pasar atau tingkat integrasi suatu pasar dapat dinilai dengan

menggunakan beberapa metode, diantaranya yaitu: (1) elastisitas transmisi

harga atau Et, dimana jika nilainya mendekati satu maka dikatakan pasar

semakin bersaing atau mendekati pasar persaingan sempurna, dimana

perubahan harga di tingkat pasar yang dinilai telah ditransmisikan mendekati

satu atau secara sempurna/Et=1, (2) metode autoregresive distributed lag,

yang dikembangkan oleh Ravallion dengan ukuran index of market

connection, dan (3) menggunakan analisis korelasi.

Analisis keterpaduan pasar dalam penelitian ini mengacu pada model

yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan menggunakan analisis korelasi

sebagai pembanding. Harga pasar setempat diidentifikasi sebagai harga

gambir yang dihasilkan oleh petani (Pf), sedangkan harga di pasar acuan

adalah harga gambir yang berlaku di tingkat eksportir (Pe), sehingga model

dapat ditulis sebagai berikut:

(Pft - Pft-1) = b1 (Pft-1 – Pet-1) + b2 (Pet – Pet-1) + b3 Pet-1 + u 4 .....(20)

dan dapat disusun kembali menjadi persamaan:

Pft = (1+b1) Pft-1 + b2 (Pet – Pet-1) + (b3-b1) Pet-1 + u 4 ......(21)

dimana:
Pft = Harga gambir di tingkat petani (waktu t)
Pft-1 = Harga gambir di tingkat petani (waktu t-1)
68

Pet = Harga gambir di tingkat eksportir (waktu t)


Pet-1 = Harga gambir di tingkat eksportir (waktu t-1)
u4 = Galat

Koefisien b2 pada Persamaan (21) menunjukkan seberapa jauh

perubahan harga di tingkat eksportir di transmisikan ke tingkat petani. Apabila

nilai parameter dugaan b2 bernilai 1 maka perubahan harga 1 persen pada

suatu tingkat pasar, akan mengakibatkan perubahan harga di tingkat pasar

yang lainnya dalam persentase yang sama. Oleh karena itu semakin dekat nilai

parameter b2 dengan 1 maka akan semakin baik keterpaduan pasar.

Sedangkan koefisien (1+b1) dan (b3-b1) masing-masing mencerminkan

seberapa jauh kontribusi relatif harga periode sebelumnya, baik ditingkat

petani maupun eksportir, terhadap tingkat harga yang berlaku sekarang di

tingkat petani. Rasio antara kedua koefisien tersebut (1+b1)/(b3-b1)

menunjukkan indeks hubungan pasar (Index of Market Connection atau IMC)

yang menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang

bersangkutan. Cara perhitungan IMC:

(1  b1 )
IMC = .......................................................................(22)
(b3  b1 )

Nilai IMC yang semakin mendekati nol menunjukkan adanya

keterpaduan pasar jangka panjang antara harga pasar di tingkat petani dengan

harga di tingkat eksportir.

Konsep pengukuran satuan dalam analisis ini adalah sebagai berikut:

1. Margin pemasaran dihitung berdasarkan perbedaan harga beli dengan

harga jual gambir (Rp/kg).

2. Tingkat harga beli dihitung dari harga rata-rata pembelian gambir (Rp/kg).
69

3. Tingkat harga jual dihitung berdasarkan harga rata-rata penjualan gambir

(Rp/kg).

4. Tingkat harga di petani adalah harga jual gambir yang diterima petani

yang dihitung dengan menggunakan harga rata-rata tertimbang (Rp/kg).

5. Tingkat harga di konsumen akhir adalah harga gambir di tingkat eksportir

(FOB).

6. Biaya pemasaran (tataniaga) adalah seluruh jenis biaya yang dikeluarkan

oleh lembaga pemasaran dalam kegiatan pemasaran gambir (Rp/kg).

7. Bentuk produk komoditas yang diperdagangkan berupa gambir yang sudah

dicetak dan dikeringkan (gambir kering).

4.6. Definisi Operasional

Beberapa definisi yang perlu dijelaskan sehubungan dengan analisis

produksi dan pemasaran gambir, adalah:

1. Petani gambir adalah petani yang membudidayakan tanaman gambir

minimal 135 pohon dengan umur rata-rata minimal 1.5 tahun.

2. Pedagang pengumpul adalah pedagang yang langsung membeli gambir

dari petani dan menjualnya kepada pedagang besar dan volume penjualan

rata-ratanya 100 kg/hari atau tidak lebih dari 1 ton per minggu.

3. Pedagang besar adalah pedagang gambir yang volume penjualan rata-rata

lebih dari 1 ton per minggu dan hanya melakukan penjualan untuk pasar

lokal atau untuk pasar dalam negeri saja.

4. Eksportir gambir adalah pedagang yang secara berkala (rutin) melakukan

penjualan gambir ke pasar luar negeri (ekspor).


70

5. Biaya faktor produksi merupakan masing-masing biaya faktor produksi

yang dikeluarkan selama setahun, berdasarkan pengeluaran riil yang

dihitung dalam rupiah.

6. Upah tenaga kerja adalah upah yang dihitung dalam satuan rupiah per hari

orang kerja (HOK).

7. Luas areal tanam gambir merupakan jumlah areal gambir yang dimiliki

petani dalam ukuran hektar (10 000 m2).

8. Produk atau output gambir merupakan hasil produksi gambir kering dalam

setahun yang dihitung dalam satuan kilogram.

4.7. Pengolahan Data

Pengolahan data untuk analisis produksi dengan model fungsi produksi

Cobb-Douglas dan keterpaduan pasar gambir dengan model autoregresive

distributed lag menggunakan metode Ordinary Least Squares (OLS). Data

diolah dengan menggunakan program SAS 9.1.


V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
DAN KERAGAAN USAHATANI GAMBIR

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Lima Puluh Kota


5.1.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim

Kabupaten Lima Puluh Kota secara geografis terletak antara 0o 25’ 28.71”

Lintang Utara dan 0o 22’ 14.52” Lintang Selatan serta 100o 15’ 44.10” - 100o 50’

47.80” Bujur Timur dengan luas 3 354.30 km2 atau 7.93 persen dari wilayah

Sumatera Barat. Kabupaten ini terletak di bagian tengah Pulau Sumatera yang

berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman di sebelah

barat, Kabupaten Tanah Datar dan Sijunjung di selatan, di sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar Provinsi Riau

dan di sebelah timur dengan Kabupaten Kampar Provinsi Riau.

Topografi daerah yang dilalui gugusan pegunungan bukit barisan dan

memiliki tiga buah gunung ini adalah berbukit atau cenderung bergelombang

dengan ketinggian rata-rata 110 - 791 m dpl. Curah hujan per tahunnya 3 120.80

mm atau ada 209 hari hujan per tahun (BPS, 2008a).

Gambir sudah dibudidayakan secara tradisional di daerah ini secara turun-

temurun dan sangat sesuai dengan iklim dan topografi daerah Lima Puluh Kota.

Tanaman ini merupakan tanaman spesifik lokasi, dapat tumbuh dan berkembang

baik pada kondisi lahan dengan jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah

kecoklatan, tipe iklim B2 menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, ketinggian

sekitar 500 m dpl dan rata-rata curah hujan sekitar 3 000 - 3 353 mm per tahun

(Tinambunan, 2007).
72

5.1.2. Wilayah dan Penduduk

Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari 13 kecamatan dimana ada 76 nagari

dan 384 jorong dengan 8 kecamatan diantaranya adalah daerah sentra penghasil

gambir. Sensus Penduduk terakhir (SP tahun 2000) menginformasikan jumlah

penduduk kabupaten ini sebanyak 297 256 jiwa, tahun 2006 dan 2007 berturut-

turut diperkirakan 330 536 jiwa dan 331 674 jiwa yang terdiri dari 86 009

rumahtangga, 163 450 jiwa penduduk laki-laki dan 168 224 perempuan.

Sensus Pertanian terakhir (ST tahun 2003) yang dilakukan BPS memberikan

informasi hasil survei rumahtangga usaha perkebunan, terdapat 41 982 laki-laki

dan 46 729 perempuan yang berusaha di sektor pertanian atau 26.75 persen jika

dibandingkan dengan jumlah penduduk Lima Puluh Kota tahun 2007. Sebanyak

20 586 diantaranya bekerja di subsektor perkebunan atau 6.21 persen dari jumlah

penduduk tahun 2007, dengan jumlah petani gambir 9 056 rumahtangga atau 44

persen dari jumlah petani yang bekerja di subsektor perkebunan.

Tabel 1. Perbandingan Luas Semua Kecamatan dan Jumlah Nagari di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009
Jumlah
No. Kecamatan Luas Area (km2)
Nagari
1. Payakumbuh 99.47 7
2. Akabiluru 94.26 6
3. Luhak 61.68 4
4. Lareh Sago Halaban 394.85 8
5. Situjuah Limo Nagari 74.18 5
6. Harau 416.80 11
7. Guguak 106.20 5
8. Mungka 83.76 4
9. Suliki 136.94 5
10. Bukit Barisan 244.20 5
11. Gunuang Omeh 156.54 3
12. Kapur IX 723.36 7
13. Pangkalan Kotobaru 712.06 6
Sumber: BPS, 2007a
73

Kecamatan sentra produksi gambir tersebar di delapan dari 13 kecamatan

yang ada. Hanya lima kecamatan yang bukan merupakan sentra produksi gambir

di kabupaten ini yaitu: Akabiluru, Luak, Situjuah Lima Nagari, Suliki dan

Gunuang Omeh. Tiga kecamatan yang dijadikan sampel adalah Kecamatan Lareh

Sago Halaban, Harau dan Kapur IX dengan jumlah nagari masing-masingnya

secara berurutan 8, 11 dan 7 nagari.

5.1.3. Penggunaan Lahan dan Perkembangan Pertanian

Luas lahan yang telah dimanfaatkan untuk budidaya di Kabupaten Lima

Puluh Kota mencapai 1 607.43 km2 atau 47.92 persen dari luas wilayah dan

kawasan lindung seluas 1 746.87 km2 atau 52.08 persen dari luas wilayah.

Perincian penggunaan lahan adalah sebanyak 28 735 ha sebagai tegalan/kebun, 3

885 ha untuk ladang, 20 205 ha ditanami tanaman perkebunan, 56 781 ha pohon

hutan rakyat, 1 104 ha untuk kolam atau empang dan 2 726 ha padang

pengembalaan atau padang rumput.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Beberapa Komoditas Tanaman Perkebunan di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 - 2007
(ton)
No. Komoditas 2004 2005 2006 2007
1. Aren (enau) 852.00 246.00 494.00 685.40
2. Cengkeh 16.35 17.40 15.15 20.30
3. Gambir 7 643.00 8 166.40 9 682.50 10 073.50
4. Kakao 544.80 579.00 246.00 608.50
5. Karet 13 134.60 13 800.00 5 723.00 7 208.75
6. Kulit Manis 4 434.80 4 836.20 713.00 962.15
7. Kelapa 9 122.50 2 622.50 2 609.00 8 011.50
8. Kopi 664.60 742.00 694.00 1 078.80
9. Pinang 187.00 195.00 178.60 536.00
10. Teh 166.80 46.80 - -
11. Tebu 34.00 24.00 - -
12. Tembakau 240.40 299.50 133.30 200.40
Sumber: BPS, 2008c
74

Sektor pertanian masih mempunyai peranan yang besar dalam struktur

perekonomian Kabupaten Lima Puluh Kota, sekitar 80.37 persen penduduk di

kabupaten ini bekerja di sektor pertanian berdasarkan data Sensus Pertanian 2003.

Produksi tanaman perkebunan yang paling banyak menghasilkan di Kabupaten

Lima Puluh Kota menurut data BPS adalah komoditas gambir, kelapa, karet, kopi,

kulit manis, aren, kakao, pinang, tembakau dan cengkeh.

Tabel 3. Perkembangan Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 - 2007
(%)
No. Sektor/Subsektor 2004 2005 2006 2007
1. Pertanian 34.94 34.86 34.79 34.58
 Tanaman Pangan 13.93 13.91 13.97 13.75
 Tanaman Perkebunan 8.84 9.19 9.05 9.22
 Peternakan dan Hasil 4.31 4.30 4.31 4.40
 Kehutanan 5.05 4.67 4.63 4.50
 Perikanan 2.81 2.80 2.84 2.72
2. Industri Pengolahan 10.25 9.86 9.91 10.09
3. Sektor Lainnya 54.81 55.28 55.30 55.33
Sumber: BPS, 2008c

Berdasarkan distribusi persentase PDRB atas harga berlaku, kontribusi

sektor pertanian pada tahun 2007 sebesar 34.58 persen dan subsektor tanaman

perkebunan menyumbangkan 9.22 persen, naik dari tahun sebelumnya yang hanya

sebesar 9.05 persen. Subsektor tanaman pangan memberikan kontribusi terbesar

pada distribusi PDRB sektor pertanian yaitu sebesar 13.75 persen.

5.1.4. Potensi Pengembangan Gambir

Pengembangan tanaman gambir di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten

Lima Puluh Kota masih sangat prospektif. Adanya tren meningkat dari permintaan

gambir baik di dalam negeri maupun untuk ekspor menunjukkan kecenderungan


75

adanya peningkatan pemakaian gambir. Hal ini hendaknya mampu diimbangi

dengan kinerja produksi yang baik oleh petani gambir untuk mendapatkan hasil

produksi yang maksimal.

Komoditas gambir sudah tercatat resmi dalam statistik perdagangan luar

negeri Sumatera Barat. Berdasarkan klasifikasi tarif Indonesia tahun 1989 tentang

pengelompokan jenis barang ekspor impor, gambir sudah dikode menurut

Harmonized System (HS) yang merupakan perluasan dari Custom Cooperation

Council Nomenclatur (CCCN) dan Standard International Trade Classification

(SITC) Revisi ketiga. Kode HS gambir sebagai komoditas perdagangan dunia

adalah: 3201.90.100, dengan nama dagang gambier atau gambier extract. Potensi

untuk mengekspor gambir terbuka luas terutama ke negara-negara Asia Baratdaya

seperti India, Pakistan dan Bangladesh (BPS, 2008d).

Tabel 4. Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produksi Gambir di Semua


Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2007
No. Kecamatan Luas Lahan (ha) Produksi (ton)
1. Payakumbuh 534 396.80
2. Akabiluru - -
3. Luak - -
4. Lareh Sago Halaban 499 315.00
5. Situjuah Limo Nagari - -
6. Harau 444 395.20
7. Guguak 35 25.50
8. Mungka 523 421.60
9. Suliki - -
10. Bukik Barisan 2 621 1 688.80
11. Gunuang Omeh - -
12. Kapur IX 5 599 4 301.85
13. Pangkalan Kotobaru 3 674 2 528.75
Jumlah 13 929 10 073.50
Sumber : BPS, 2008a

Perkebunan gambir rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota tersebar di

delapan kecamatan atau diproduksi hampir merata diseluruh wilayah kabupaten


76

ini, dengan daerah sentra produksi di Kecamatan Kapur IX, Pangkalan Kotobaru,

Bukik Barisan, Mungka, Payakumbuh, Harau, Lareh Sago Halaban dan Guguak.

5.2. Keragaan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


5.2.1. Karakteristik Responden

Jumlah petani yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 96 orang

dari 9 056 populasi berdasarkan data sensus pertanian terakhir (BPS, 2003) atau

sebesar 1.06 persen populasi. Tabel berikut ini memberikan informasi deskripsi

statistik karakteristik responden petani di lokasi penelitian.

Tabel 5. Karakteristik Responden Petani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


Tahun 2009
No. Simpangan
Karakteristik Responden Kisaran Rata-Rata
Baku
1. Umur (tahun) 24 – 71 46.38 12.19
2. Lama Pendidikan (tahun) 0 – 16 7.92 3.14
3. Pengalaman berusahatani
gambir (tahun) 2 – 54 14.58 11.54
4. Jumlah anggota keluarga (jiwa) 0–5 2.88 1.30
5. Pekerjaan utama (persen)
a. Petani (on farm) - 91.67 -
b. Lainnya - 8.33 -
6. Jarak rumah ke lahan (km) 0 – 10 1.58 1.35
7. Rata-rata kepemilikan lahan (ha) 0.25 – 12 1.41 0.98

Pendidikan responden 44.79 persen sekolah hanya sampai tingkat dasar dan

sisanya 55.21 persen sudah menamatkan SD dan melanjutkan ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi. Umumnya responden memiliki pekerjaan lain selain

berusahatani untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan mengusahakan

komoditas pertanian lain selain gambir. Sebanyak 79.17 persen responden bekerja

sampingan sebagai buruh tani dengan menerima upah harian atau dari sektor jasa
77

lainnya, sebanyak 12.5 persen berdagang dan sisanya memiliki usaha pertanian

tambahan seperti di subsektor tanaman pangan, peternakan dan perikanan air

tawar. Rata-rata pengalaman responden dalam berusahatani gambir adalah 14

tahun lebih. Usia responden 77.08 persennya didominasi oleh usia produktif yang

berada pada kisaran 15 – 54 tahun. Sisanya sebesar 22.92 persen sudah tergolong

lanjut usia, berumur 55 tahun ke atas. Responden yang sudah berkeluarga dan

memiliki tanggungan rata-rata 3 orang, mencapai 98.96 persen. Status

kepemilikan lahan 97.92 persen lahan petani adalah lahan milik sendiri dan 2.08

persen sisanya adalah lahan tanah ulayat milik bersama kelompok tani, dengan

jarak rata-rata dari rumah ke ladang sejauh 1.5 km.

5.2.2. Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani Gambir

Gambir merupakan tanaman daerah tropis yang berbentuk seperti semak

perdu, dan dalam taksonomi termasuk famili Rubiaceae atau kopi-kopian. Gambir

adalah sejenis getah yang disedimentasikan dan kemudian dicetak dan

dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan

bernama sama (Uncaria gambir Roxb.). Hampir 95 persen produksi tanaman

gambir dibuat menjadi produk ini, yang dinamakan betel bite atau plan masala.

Bentuk cetakan biasanya silinder dalam ukuran kecil. Warnanya coklat kehitaman.

Bentuk lainnya adalah bubuk atau berbentuk seperti koin. Nama lainnya adalah

catechu, gutta gambir, catechu pallidum (pale catechu). Dalam perdagangan

antarnegara gambir dikenal dengan nama gambier.

Gambir mengandung tiga senyawa utama yaitu asam katecin (catechin),

asam kateku (catechu tanat) dan kuersetin (quercetine). Selain itu gambir juga
78

mengandung zat tamim, flouresin, lendir, lemak dan lilin. Saat ini penggunaan

gambir semakin berkembang karena digunakan dalam berbagai industri farmasi,

makanan, kosmetik, tekstil, perekat dan penyamak kulit. Di Indonesia gambir

pada umumnya digunakan pada saat menyirih dan sebagai ramuan obat

tradisional, salah satunya obat untuk sakit perut (Dhalimi, 2006). Berikut ini

gambaran keragaan penerapan teknologi pada usahatani gambir di Kabupaten

Lima Puluh Kota.

1. Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan yang dilakukan petani di daerah penelitian mayoritas

dengan cara manual dengan membawa kelompok tani untuk bergotong royong

yang dilakukan bergantian di lahan masing-masing anggota atau diupahkan ke

kelompok tani pekerja dengan sistem borongan. Pengolahan lahan dilakukan

bersamaan dengan pembibitan, persiapan lahan untuk penanaman di lapang

dilakukan hanya dengan cara membabat semak-semak atau pohon-pohon kecil,

dikumpulkan, setelah kering kemudian dibakar. Selain syarat tumbuh seperti yang

diuraikan di awal bab ini, tanaman gambir juga memiliki sifat yang toleran

terhadap tanah-tanah marginal dan berlereng, serta memiliki aspek konservasi

yang baik. Umumnya gambir ditanam di tanah berlereng di sekitar Gunung Sago

dan Bukit Barisan di Kecamatan Lareh Sago Halaban yang memiliki ketinggian

rata-rata 500 - 700 m dpl, Bukit Barisan di Kecamatan Harau dengan ketinggian

rata-rata juga 500 - 700 m dpl. Lahan di Bukit Barisan dan perbukitan serta

tegalan di Kecamatan Kapur IX dengan ketinggian rata-rata di atas 500 m dpl

(BPS, 2008b; 2008e; 2008f).


79

2. Pembibitan dan Penyemaian

Bibit yang digunakan petani di daerah penelitian umumnya bukan dari jenis

bibit yang unggul secara keseluruhan. Umumnya petani tidak mengetahui varietas

bibit unggul dan kesulitan untuk memurnikan pembibitan ketiga jenis varietas

yang ada. Hanya 3 persen petani yang menggunakan bibit unggul, sisanya

sebanyak 97 persen sampel menggunakan bibit campuran. Ada tiga jenis varietas

gambir yaitu varietas udang, riau dan cubadak. Menurut literatur, varietas udang

merupakan bibit jenis unggul karena memberikan hasil produksi yang lebih baik.

Petani umumnya menyiapkan bibit di kebun sendiri atau dibeli, karena ada

petani yang sudah melaksanakan pembibitan untuk tujuan komersial sebatas

memenuhi kebutuhan lingkungan sendiri. Gambir diperbanyak secara generatif

dengan biji dan vegetatif dengan cara mencangkok, stek dan layering, tetapi cara

yang umum dilakukan adalah dengan biji karena mempunyai tingkat keberhasilan

yang sangat tinggi mencapai 80 - 90 persen tergantung dari keadaan benih,

semakin lama benih disimpan maka tingkat keberhasilan makin rendah. Tanaman

gambir mempunyai biji yang sangat halus, biji diambil dari tanaman yang tidak

pernah dipangkas dan dipanen, dikeringanginkan kemudian disemai. Biji akan

tumbuh 15 hari setelah tanam dan setelah bibit berumur 2 bulan sudah bisa

dipindahkan ke lahan (Ermiati, 2004).

3. Penanaman

Penanaman dilakukan setelah lahan siap dan bibit sudah cukup umur.

Lubang tanam berukuran 30 x 30 x 30 cm atau dibuat lubang tanam dengan cara

ditugal. Bibit gambir ditanam di pertengahan lobang tugal dengan arah yang
80

berlawanan dengan sinar matahari. Jarak tanam bervariasi antara 2 x 2 m, 2 x 1.5

m, 2 x 1 m dan 1.5 x 1.5 m atau kombinasi lainnya. Tanaman yang mati disulam

jika petani mempunyai cadangan bibit dan pemeliharaan dilakukan intensif

sampai gambir berumur setahun.

Cara tanam yang dijalankan petani di daerah penelitian adalah sebanyak

41.35 persen petani menanam dengan sistem monokultur atau gambir saja dan

sisanya sebesar 58.65 persen menanam dengan sistem tumpang sari. Mayoritas

petani yang melakukan tumpang sari menanam gambir dengan karet, besarnya

mencapai 50 persen, hanya sebagian kecil petani menggabungkan dengan sawit,

mahoni, petai, kopi dan kakao.

4. Pemeliharaan

Sebanyak 60.90 persen petani melakukan pemupukan tambahan dengan

pupuk kimia, sisanya sebanyak 39.1 persen hanya menggunakan pupuk organik

yang berasal dari ampas/ketapang dari limbah pengolahan gambir. Pemberian

pupuk kimia biasanya hanya dilakukan sekali setahun, terutama pada pokok

tanaman yang kurang subur. Jenis pupuk konsentrat yang digunakan didominasi

oleh Urea dan sedikit sekali yang menambahkan dengan pupuk majemuk seperti

pupuk KCL, TSP dan SP18. Ada juga petani yang menggunakan pupuk ZA untuk

pengganti Urea. Tetapi untuk kebutuhan penelitian ini data yang disurvei terbatas

hanya pada petani yang menggunakan pupuk Urea saja.

Pengendalian hama dan penyakit dengan memakai pestisida dilakukan oleh

88.72 persen petani dan sisanya sama sekali tidak menggunakan pestisida.

Pemberian pestisida hanya dilakukan sekali dalam setahun, umumnya untuk


81

gulma berdaun sempit dengan menggunakan round-up atau merk lainnya.

Sebelum tanaman menghasilkan, penyiangan rata-rata dilakukan sebanyak 4 – 6

kali setahun, tetapi setelah tanaman menghasilkan umumnya dilakukan setiap

selesai panen, dua atau tiga kali setahun, tergantung frekwensi panen. Besar biaya

pemeliharaan rata-rata di lokasi penelitian mencapai 37.68 persen dari biaya total

per tahunnya.

5. Panen dan Pengolahan

Panen puncak didapatkan oleh petani saat gambir berumur 4 - 14 tahun,

sedangkan masa hidup tanaman gambir bisa mencapai lebih dari 70 tahun.

Produktif atau tidaknya tergantung pemeliharaan. Gambir biasa dipanen 2 kali

setahun, atau maksimalnya 3 kali dalam setahun, tergantung kondisi dan

karakteristik spesifik daerah dan iklim. Berturut-turut ada 36.09 persen petani dan

63.91 persen petani yang melakukan panen 3 kali dan 2 kali setahun.

Tanaman mulai dipanen setelah berumur 1.5 tahun dengan cara memotong

ranting bersama daunnya sepanjang lebih kurang 50 cm. Panen berupa daun dan

ranting kecil, dipotong dengan sabit atau tuai pada jarak 5 – 15 cm dari pangkal

cabang tanaman, dimaksudkan agar pertumbuhan tunas baru untuk dipanen

beberapa bulan berikutnya dapat tumbuh lebih baik. Kegiatan panen dan

pengolahan dilakukan secara berkesinambungan atau serentak, begitu daun

dipanen langsung diolah (dikampo) hari itu juga. Petani yang memiliki lahan 2

hektar atau lebih, biasanya bisa melakukan kegiatan pengolahan sepanjang tahun.

Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam usahatani gambir di lokasi penelitian

adalah pada proses pengolahan atau mencapai 57.58 persen dari biaya total atau
82

38.13 persen dari penjualan per hektar per tahunnya. Pengolahan daun menjadi

gambir disebut dengan istilah mangampo. Keseluruhan petani yang ada dalam

penelitian ini bekerjasama dengan tukang/anak kampo dalam pengolahan gambir

dengan sistem bagi hasil. Masing-masing pemilik lahan dan tenaga kerja sewa

atau anak kampo mendapatkan 50 persen dari hasil penjualan gambir.

Pengolahan dilakukan langsung di kampaan atau rumah kampo tempat

pengolahan gambir yang terletak di lahan yang umumnya jauh dari rumah petani.

Anak kampo biasanya terdiri dari 2 atau 3 orang. Petani masih menggunakan alat

pengolahan sederhana, berupa alat kempa yang dirakit sendiri dengan sistem

dongkrak.

Sebanyak 74.44 persen petani memiliki rumah pengolahan milik sendiri,

sedangkan 18.8 persen petani menyewa dan 6.76 persen sisanya memakai

kampaan milik kelompok. Bagi petani yang menyewa, sistem sewa kampaan

disesuaikan dengan kebiasaan penduduk nagari setempat, ada yang dibayar

dengan hasil panen yaitu 1 kg gambir kering per hari, sistem sewa cash dan ada

juga dengan sistem kekeluargaan.

Sebanyak 62.5 persen petani menghasilkan gambir campur dan 37.5 persen

petani memproduksi gambir murni. Gambir campur adalah gambir yang dalam

proses pengolahannya dicampur dengan material lain selain getah gambir seperti:

tanah lempung, ketapang/limbah rebusan daun gambir dan umumnya air limbah

rebusan gambir (kalincuang) digunakan berulang-ulang. Gambir jenis ini relatif

lebih berat dan berwarna hitam yang biasanya dijual ke pasar luar negeri (untuk

ekspor). Sedangkan gambir murni jauh lebih ringan dan berwarna kuning

kecoklatan. Gambir murni ini dikenal dengan banyak nama diantaranya gambir
83

kuning, halaban satu, halaban godang, tolang, lumpang. Jenis gambir ini

umumnya dipasarkan di dalam negeri untuk konsumsi langsung atau industri

tertentu, sebagiannya ada juga yang di ekspor. Perbandingan berat gambir murni

dengan gambir campur per karungnya berturut-turut 40 – 50 kg per karung dan 80

sampai 90 kg per karung.

Pengolahan gambir memiliki banyak titik kritis yang berpotensi mengurangi

kadar zat yang dikandung oleh gambir. Pengolahan yang tidak sempurna akan

membuat rendahnya kualitas gambir yang dihasilkan. Pengolahan yang dilakukan

oleh petani umumnya masih sangat tradisional. Secara rinci teknis pengolahan

gambir urutan prosesnya adalah sebagai berikut:

a. Perebusan Daun. Daun dan ranting hasil panen diikat, masing-masing

sekitar 3 – 4 kg per ikat, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang yang

memiliki semacam jala rajut dan direbus dengan air yang sudah dididihkan

terlebih dahulu. Untuk gambir murni per rajutnya dihasilkan 2 – 2.5 kg

gambir kering atau rata-rata 12 kg gambir per hari, sedangkan untuk gambir

campur mencapai 4 – 5 kg per rajut atau setara 16 – 25 kg gambir kering per

hari. Lama perebusan berkisar antara 1 – 1.5 jam. Selama proses perebusan

dilakukan pembalikan bahan agar matangnya rata.

b. Pengempaan/Pengepresan. Tahap ini dianggap sebagai tahap yang

terpenting, karena menentukan banyaknya hasil getah gambir. Proses

pengempaan membutuhkan waktu sekitar 1 jam.

c. Pengendapan. Getah gambir yang diperoleh dari proses pengepresan

diendapkan terlebih dahulu. Pengendapan memerlukan waktu sekitar 8 – 12


84

jam. Endapan yang diperoleh berbentuk kristal-kristal seperti pasta tetapi

lebih encer.

d. Penirisan. Getah dalam bentuk pasta encer disaring dengan kain, diikat dan

dipres lagi dengan alat pemberat supaya pasta menjadi lebih pekat, padat

dan dapat segera dicetak. Penirisan biasanya memakan waktu 10 – 20 jam,

tergantung pada banyaknya bahan yang ditiriskan.

e. Pencetakan. Setiap kilogram bahan baku gambir mampu dicetak dalam

waktu sekitar 25 sampai 30 menit per orang.

f. Pengeringan. Caranya dengan dijemur di panas matahari. Bila cuaca

mendung, dikeringkan di atas tungku perebusan daun (disalai). Manyalai

biasanya dilakukan jika petani akan segera menjual hasil panennya.

Pengeringan memerlukan waktu 2 – 3 hari tergantung cuaca.

6. Pemasaran dan Penjualan

Petani biasanya menjual hasil panen mereka sekali seminggu untuk

mendapatkan uang kas secepatnya guna menutupi pengeluaran. Setiap nagari di

lokasi penelitian memiliki budaya dan aturan sendiri dalam memasarkan gambir.

Sebanyak 42.71 persen petani menjual hasil panennya di rumah, 35.42 persen

menjual ke pasar yang sudah ditentukan dan ditetapkan oleh peraturan nagari,

19.79 persen menjual langsung di ladang ke pedagang pengumpul dan sisanya

2.08 persen menjual ke tempat lainnya. Hari pasar tradisional di daerah setempat

umumnya dijadikan sebagai hari patokan untuk menjual hasil panen oleh petani

dan pedagang.
85

5.2.3. Karakteristik Usahatani Gambir

Secara garis besar karakteristik usahatani yang dilakukan petani gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota rata-rata mempunyai luas 1.41 ha dengan jenis bibit

yang digunakan adalah campuran dari ketiga jenis varietas yang ada. Tabel 6

memberikan informasi bahwa luas lahan terendah perkebunan gambir di lokasi

penelitian yang dimiliki petani adalah seluas 0.25 ha dengan rata-rata umur

tanaman masih dalam usia produktif dan rata-rata populasi tanaman 4 569 pohon

per hektar. Keragaman petani dalam menggunakan pupuk kimia jenis Urea sangat

tinggi, nilai simpangan bakunya jauh lebih tinggi dari rata-rata. Salah satu

penyebabnya adalah hanya sedikit responden yang mengaplikasikan pupuk kimia

dalam budidaya gambir. Berikut ini gambaran karakteristik usahatani gambir di

lokasi penelitian.

Tabel 6. Karakteristik Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun


2009
Simpangan
No. Deskripsi Kisaran Rata-Rata
Baku
1. Kepemilikan lahan rata-rata (ha) 0.25 - 12 1.41 0.98
2. Umur tanaman gambir (tahun) 2 - 54 12.27 9.96
3. Populasi tanaman (pohon/ha) 500 - 28 000 4 569.55 3 270.92
4. Penggunaan pupuk Urea (kg) 0 - 250 30.08 37.27
5. Penggunaan pestisida (liter) 0 - 15 3.11 2.40
6. Tenaga kerja pemeliharaan (HOK) 10 - 320 102.14 78.31
7. Tenaga kerja pengolahan (HOK) 12 - 750 168.89 126.57

Kondisi perkebunan gambir yang tersebar di Kabupaten Lima Puluh Kota

menunjukkan bahwa usahatani gambir, teknik budidaya dan pengolahan

pascapanen yang dilakukan petani masih bersifat tradisional. Seluruh perkebunan

gambir di wilayah ini merupakan perkebunan rakyat. Usahatani gambir yang

dilakukan di daerah ini merupakan warisan dari generasi sebelumnya dan hingga
86

kini usahatani gambir menjadi salah satu andalan untuk menopang hidup keluarga

petani.

Berdasarkan data, secara umum diketahui produksi rata-rata gambir di

daerah penelitian sebesar 1 053.38 kg per tahun. Untuk melihat keragaan produksi

gambir ini, data bisa dikelompokkan menurut karakteristik tertentu seperti yang

bisa dilihat di Tabel 7 dimana sampel awal telah diklasifikasikan lagi berdasarkan

variasi panen, jenis gambir yang diproduksi, cara tanam, klasifikasi luas lahan

serta berdasarkan umur tanaman.

Tabel 7. Keragaan Produksi Gambir Berdasarkan Perlakuan Sampel di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009
Produksi Gambir (kg)
No. Perlakuan Sampel Nilai Simpangan
N Rata-Rata
Mak – Min Baku
1. Awal 133 50 – 3 300 1 053.38 747.57
2. Panen 3 kali setahun 48 105 – 3 300 1 219.81 851.36
3. Panen < 3 kali setahun 85 50 – 3 000 959.39 669.25
4. Memproduksi gambir campur 87 105 – 3 000 1 108.85 683.32
5. Memproduksi gambir murni 46 50 – 3 300 959.52 859.01
6. Monokultur 55 200 – 3 300 1 203.45 728.79
7. Tumpang sari 78 50 – 3 000 947.55 747.08
8. Lahan sempit (0 – 0.5 ha) 13 100 – 600 323.85 192.72
9. Lahan sedang (0.51 – 1 ha) 65 50 – 2 400 838.89 545.72
10. Lahan luas (> 1 ha) 55 200 – 3 300 1 479.29 797.88
11. Umur tanaman 1.5 – 3 tahun 17 150 – 2 250 889.47 686.48
12. Umur tanaman 4 – 14 tahun 82 50 – 3 300 1 095.83 794.73
13. Umur tanaman > 14 tahun 34 240 – 3 000 1 032.94 661.76

Informasi keragaman produksi berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa

secara umum jumlah petani yang bisa melakukan panen tiga kali setahun 36.09

persen dan yang kurang dari tiga kali sebesar 63.91 persen. Ada 58.65 petani yang

menanam dengan cara tumpang sari dan umumnya petani luas lahan petani antara

0.5 – 1 hektar atau kurang dari itu, yaitu 58.65 persen, serta 74.44 persen umur
87

tanaman gambir yang dibudidayakan masih berada dalam rentang produktif atau

antara berumur kurang dari 14 tahun.

Tabel 8 berikut ini merupakan gambaran kelayakan usahatani gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota berdasarkan hasil penelitian Ermiati (2004) yang

digunakan sebagai pembanding produksi daun dan ranting muda pada beberapa

tingkatan umur per hektar per tahun mulai dari tahun awal penanaman.

Tabel 8. Kelayakan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota per Hektar
Produksi Present Value 15%
Gambir Harga
Tahun Kering Penerimaan Biaya Manfaat
(Rp)
Penerimaan Biaya Manfaat
(kg)
1 0 7 500 0 3 282 500 (3 282 500) 0 2 854 347 (2 854 347)
2 300 7 500 2 250 000 1 625 000 625 000 1 701 323 1 228 734 472 590
3 675 7 500 5 062 500 3 031 250 2 031 250 3 328 675 1 993 095 1 335 580
4 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 3 216 112 1 893 931 1 322 179
5 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 2 796 619 1 646 897 1 149 720
6 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 2 431 842 1 432 083 999 757
7 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 2 114 645 1 245 291 869 453
8 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 838 822 1 082 861 755 960
9 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 598 976 941 618 657 357
10 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 390 413 818 880 571 614
11 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 209 055 711 999 497 056
12 750 7 500 5 625 000 3 312 500 2 312 500 1 051 352 240 035 383 874
7 725 57 937 500 37 751 250 20 186 250 25 853 303 16 089 771 9 763 532

Sumber: Ermiati, 2004

Berdasarkan cash flow usahatani gambir di Tabel 8 di atas terlihat bahwa

usahatani gambir layak untuk diusahakan dan dikembangkan, dengan besar

manfaat yang diperoleh bernilai positif pada tingkat discount factor 15 persen.

Pengembalian investasi diperoleh setelah tahun ketiga dan tingkat produksi

cenderung stabil ditahun keempat setelah penanaman awal. Keterangan tersebut

sekaligus dipakai sebagai asumsi bagi analisis produksi usahatani gambir dalam

penelitian ini, dimana umur tanaman yang digunakan untuk menilai tingkat skala

produksi usahatani gambir adalah umur rata-rata dari umur tanaman keseluruhan

responden.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Analisis Produksi Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


6.1.1. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gambir

Produksi komoditas pertanian (on farm) merupakan tahapan awal yang akan

mempengaruhi proses selanjutnya hingga menghasilkan output, atau dapat juga

dinyatakan sebagai seperangkat prosedur dan kegiatan yang terjadi dalam

penciptaan komoditas berupa kegiatan usahatani maupun usaha lainnya seperti

penangkapan dan beternak (Rahim dan Retno, 2007). Proses produksi dalam

penelitian ini merupakan kegiatan budidaya gambir sebagai salah satu komoditas

tanaman perkebunan tahunan dengan menggunakan faktor-faktor produksi

(masukan atau input). Hubungan masukan dan produksi pertanian mengikuti

kaidah hasil yang berkurang (law of deminising return), dimana tiap tambahan

unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin

kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut.

Data yang dipakai untuk analisis adalah data cross section yang berasal dari

hasil survei terhadap usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota yang telah

ditentukan sebagai sampel penelitian. Penyelesaian lebih lanjut dari fungsi

produksi gambir dilakukan dengan cara regresi kuadrat terkecil dengan

menggunakan data produksi dan berbagai data masukan yang dikumpulkan dari

usahatani gambir di lokasi penelitian.

Langkah selanjutnya sebelum persamaan regresi dari fungsi produksi

gambir diduga, persamaan tersebut harus memenuhi spesifikasi. Spesifikasi model

dalam ekonometrika menyangkut tiga hal yaitu: (1) pemilihan variabel-variabel


89

independen yang tepat, (2) pemilihan bentuk fungsi yang tepat, dan (3) error term

yang bersifat stokastik (Sarwoko, 2005). Berikut ini penjelasan tentang cara

mengukur variabel atau masukan yang digunakan dalam analisis produksi

usahatani gambir dan definisi terhadap masing-masing variabel. Beberapa faktor

yang diduga mempengaruhi produksi gambir tersebut adalah sebagai berikut.

1. Tenaga Kerja

Secara umum semakin banyak tenaga kerja yang dilibatkan dalam proses

produksi usahatani maka akan semakin besar jumlah yang diproduksi atau

dihasilkan. Untuk memudahkan penghitungan jumlah tenaga kerja yang benar-

benar dipakai dalam proses produksi, digolongkan dalam satuan unit kerja

Hari Orang Kerja (HOK), dimana satu HOK adalah setara dengan 7 jam

bekerja per hari. Nilai satu unit HOK dihitung dengan upah setara kerja pria.

2. Luas Lahan

Luas lahan pertanian yang digunakan untuk budidaya gambir merupakan

penentu yang mempengaruhi produksi gambir. Secara umum semakin luas

lahan yang digarap/ditanami, semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan

oleh lahan tersebut. Ukuran lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

hektar (1 ha = 10 000 m2) atau are. Responden penelitian ini ada yang

menggunakan standar ukuran tradisional yaitu patok (1 patok = 200 x 200 m

atau 400 m2), karenanya dilakukan proses transformasi ke satuan hektar.

Lahan yang diperhitungkan adalah lahan yang sudah menghasilkan.

3. Jumlah Tanaman

Jumlah pohon gambir yang dibudidayakan akan sangat mempengaruhi hasil

produksi, semakin banyak jumlah pohon maka akan semakin besar produksi.
90

Pendekatan yang digunakan dalam menentukan jumlah pohon adalah dengan

menanyakan jarak tanam untuk menghitung populasi tanaman gambir per

satuan lahan yang digarap. Pohon yang dihitung adalah dari lahan gambir

yang sudah menghasilkan.

4. Umur Tanaman

Umur tanaman merupakan unsur penting dalam pengusahaan tanaman

perkebunan tahunan seperti gambir, hal tersebut berkaitan dengan sifat

agronomis tanaman dimana suatu tanaman memiliki masa tertentu untuk

berproduksi optimal. Asumsinya adalah semakin berumur tanaman maka

semakin meningkat produksinya. Gambir mulai berproduksi/bisa dipanen

setelah berumur minimal 1.5 tahun, dengan masa hidup bisa lebih dari 70

tahun tergantung pada pemeliharaan. Produksi optimal adalah saat umur

tanaman 4 sampai 14 tahun.

5. Pengalaman Petani

Pengalaman petani dalam usahatani gambir akan menentukan hasil produksi

usahatani gambir. Asumsinya adalah semakin berpengalaman petani dalam

usahatani gambir maka akan semakin tinggi produksi usahataninya. Hal ini

menjadi lebih relevan daripada memasukkan variabel umur petani.

6. Penggunaan Pupuk Urea

Penggunaan pupuk kimia diasumsikan akan meningkatkan produksi gambir.

Jenis pupuk kimia yang umumnya diaplikasikan petani dan diukur untuk

penelitian ini adalah jenis Urea. Sebagian petani di lokasi penelitian hanya

menggunakan pupuk organik yang berasal dari ampas gambir yang sudah

dipres getahnya, pupuk kimia hanya dipakai pada kondisi tertentu saja karena
91

keterbatasan dana dan adanya anggapan dari petani kalau pemberian pupuk

kimia berlebihan akan menyebabkan tanaman gambir berkurang hasil

getahnya. Cara penghitungan pupuk Urea adalah dalam satuan fisik, bukan

nilainya.

7. Penggunaan Pestisida

Pestisida sangat dibutuhkan tanaman untuk menjaga serta membasmi hama

dan penyakit yang menyerangnya, sehingga asumsinya adalah petani yang

menggunakan pestisida secara tepat maka akan meningkatkan produksi

usahataninya. Penghitungan pemakaian yang digunakan responden dalam

penelitian ini adalah dalam satuan fisik.

8. Lama Pendidikan Petani

Lama pendidikan petani dikategorikan menjadi dua kelompok yang kemudian

dijadikan sebagai variabel dummy dalam model. Kelompok pertama adalah

petani berpendidikan SD dan tidak tamat SD (lama pendidikan ≤ 6 tahun) dan

kelompok kedua adalah petani yang berpendidikan SD ke atas (lama

pendidikan > 6 tahun). Asumsi dalam analisis bahwa pendidikan petani

berpengaruh positif terhadap hasil produksi usahatani gambir. Artinya tingkat

pendidikan petani yang lebih tinggi dari 6 tahun akan memberikan hasil

produksi usahatani yang lebih besar dan variabel dummy-nya diberi bobot 1

(satu), sedangkan yang tamat SD ke bawah dibobot 0 (nol) karena

diasumsikan memberikan hasil produksi usahatani yang lebih kecil.

9. Frekwensi Panen

Petani gambir yang menjadi responden di Kabupaten Lima Puluh Kota

umumnya melakukan panen kurang dari tiga kali setahun, walaupun ada yang
92

bisa panen tiga kali setahun dikarenakan karena faktor spesifik dari derah

tersebut memungkinkan petani memanen tanaman gambir tiga kali.

Asumsinya adalah petani yang panen tiga kali akan menghasilkan produksi

yang lebih tinggi yang dalam model dijadikan dummy dengan bobot 1 (satu).

Petani yang panen kurang dari tiga kali setahun dummy-nya dibobot 0 (nol).

10. Jenis Gambir

Ada dua jenis gambir kering yang dihasilakan petani yaitu gambir campur dan

gambir murni. Karena gambir campur relatif lebih berat dari yang murni,

maka label dummy-nya adalah 1 (satu) dan 0 (nol) untuk responden yang

memproduksi gambir murni.

11. Cara Tanam

Asumsinya adalah produksi gambir akan lebih tinggi jika petani menanam

dengan sistem monokultur (nilai dummy satu) dan relatif lebih rendah jika

petani menanam gambir dengan cara ditumpangsarikan dengan tanaman

lainnya (nilai dummy nol).

12. Bibit

Petani yang menanam dengan bibit unggul atau varietas udang produksinya

akan relatif lebih tinggikan jika dibandingkan dengan petani yang mencampur

menggunakan semua varietas bibit, yaitu udang, riau dan cubadak. Bobot

dummy bibit unggul 1 (satu). Petani yang menggunakan bibit campuran dari

ketiga bibit yang ada bobot dummy-nya adalah 0 (nol). Responden umumnya

mengetahui bahwa ada beberapa jenis bibit gambir, tetapi mereka belum dapat

membedakannya satu dengan yang lain dan belum mengetahui bibit mana

yang memberikan hasil yang relatif lebih baik.


93

6.1.2. Pengujian Fungsi Produksi Gambir

Bentuk fungsi produksi harus dapat menggambarkan dan mendekati

keadaan yang sebenarnya, mudah diukur atau dihitung secara statistik serta dapat

dengan mudah diartikan, khususnya arti ekonomi dari parameter yang menyusun

fungsi produksi tersebut (Soekartawi et al, 1986). Model yang digunakan dalam

analisis produksi gambir adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Persamaan fungsi

produksi tersebut dalam banyak pengalaman menghasilkan hasil analisis yang

lebih baik karena fungsi produksi usahatani umumnya mencakup lebih dari dua

masukan dan masing-masing faktor atau masukan tersebut saling berhubungan.

Model produksi Cobb-Douglas yang terbentuk adalah seperti pada

Persamaan (2) Bab III, dimana terdapat tujuh variabel independen dan lima

variabel dummy yang diduga mempengaruhi produksi gambir yaitu: tenaga kerja

(X1), luas lahan (X2), jumlah pohon gambir (X3), umur tanaman gambir (X4),

pengalaman bertani gambir (X5), penggunaan pupuk kimia (X6), penggunaan

pestisida (X7), dummy lama pendidikan petani (D1), dummy frekwensi panen (D2),

dummy jenis gambir yang diproduksi (D3), dummy cara tanam (D4) dan terakhir

dummy bibit (D5).

Model ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural (ln) atau bentuk

double-log, untuk menaksir parameter-parameternya, sehingga menjadi bentuk

linier berganda seperti pada Persamaan (10) Bab IV. Model kemudian dianalisis

dengan analisis regresi berganda menggunakan metode OLS (Ordinary Least

Square). Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SAS 9.1. Pengujian

parameter dilakukan pada taraf nyata pengujian 99 persen (α = 1 persen), taraf

nyata 95 persen (α = 5 persen) dan taraf nyata 90 persen (α = 10 persen).


94

Berdasarkan pengujian secara statistik dengan uji-F terlihat bahwa model

sudah sesuai, dengan P_value atau significance mendekati nol. Nilai P (0.0001) <

α 1 persen, artinya tolak Ho dimana minimal ada satu variabel independen yang

berpengaruh nyata terhadap Y pada taraf nyata pengujian 99 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa model yang dibentuk sudah baik, terjadi hubungan yang

logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan.

Hasil analisis regresi berganda dengan metode OLS terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota diperoleh nilai

koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu 0.937. Nilai koefisien tersebut

berarti 94 persen keragaman dari produksi gambir (Y) dapat dijelaskan oleh

faktor-faktor produksi (X) dalam model, sedangkan 6 persen sisanya dijelaskan

oleh faktor lain di luar model. Nilai R2 – Adjusted sebesar 93.13 persen.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengujian model dengan uji-F adalah bahwa

model yang dibuat dapat menjelaskan keragaman produksi gambir.

Pengujian statistik dilanjutkan dengan uji-t pada masing-masing variabel

independen, untuk menguji faktor apa saja yang dapat menjelaskan atau

berpengaruh nyata terhadap produksi gambir. Hasil pendugaan model fungsi

produksi gambir seperti pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa secara statistik ada

delapan variabel yang mempengaruhi produksi gambir secara signifikan. Variabel

bebas tersebut lima diantaranya yaitu: tenaga kerja (X1), luas lahan (X2), umur

tanaman gambir (X4), dummy frekwensi panen (D2) dan dummy cara tanam (D4),

berpengaruh sangat signifikan pada keragaman produksi gambir pada taraf nyata

pengujian α = 1 persen. Dua variabel berpengaruh nyata pada taraf pengujian α =

5 persen pada keragaman produksi gambir, yaitu: jumlah pohon gambir (X3) dan
95

penggunaan pestisida (X7). Variabel pengalaman bertani gambir (X5) berpengaruh

nyata pada taraf pengujian α = 10 persen pada keragaman produksi gambir.

Variabel independen lainnya tidak berpengaruh nyata pada produksi gambir.

Penggunaan pupuk kimia (X6) hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi

ditoleransi pada tingkat α = 15 persen, dummy jenis gambir yang diproduksi (D3)

hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi ditoleransi pada tingkat α = 35 persen.

Sedangkan dummy lama pendidikan petani (D1) dan terakhir dummy bibit (D5),

tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata pada keragaman produksi gambir.

Pengujian model dilanjutkan dengan uji asumsi OLS dan didapatkan bahwa

model yang ada sudah menghasilkan estimator yang linier, tidak bias, dengan

varian yang minimum. Berdasarkan hasil pengujian yang ditampilkan pada

Lampiran 2, terlihat bahwa tidak ada permasalahan multikolinieritas dan

heteroskedastisitas dalam model. Model regresi sudah memenuhi asumsi BLUE

(Best Linear Unbiased Estimator).

Pengujian model kemudian dilanjutkan untuk melihat skala usaha produksi

gambir apakah model sudah memenuhi Constant Return to Scale (CRS), dimana

hipotesis H0 adalah model sudah memenuhi CRS (H0:  αi = 1). Hasilnya terlihat

bahwa nilai F hitung < F tabel dengan nilai P (0,6013) > α 5 persen. Artinya

model sudah memenuhi kaidah constant return to scale. Dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa penggunaan faktor produksi berada pada tahap constant rate,

artinya penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan

produksi gambir yang diperoleh. Bisa juga dikatakan bahwa model fungsi

produksi gambir yang diduga telah memenuhi asumsi awal bahwa produksi
96

gambir secara rata-rata berdasarkan data survei berada pada tahapan rational

region saat penelitian dilakukan.

Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa model fungsi produksi

gambir perkebunan rakyat di Lima Puluh Kota dengan faktor-faktor produksi

yang mempengaruhinya dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terjadi kesalahan

spesifikasi. Model dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi

keragaman produksi gambir di Lima Puluh Kota. Berikut ini hasil analisis

pendugaan parameter model fungsi produksi gambir di Lima Puluh Kota.

Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi Komoditas Gambir


Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009

Parameter P_value
Variabel Bebas
Dugaan (Significance)
Intersep atau Konstanta 2.178976 0.0001
Tenaga Kerja (X1) 0.984008 0.0001 ***
Luas Lahan (X2) -0.24430 0.0002 ***
Jumlah Pohon Gambir (X3) 0.139619 0.0399 **
Umur Tanaman Gambir (X4) 0.119963 0.0076 ***
Pengalaman Bertani Gambir (X5) -0.09065 0.0605 *
Penggunaan Pupuk Urea (X6) 0.020102 0.1375
Penggunaan Pestisida (X7) 0.096378 0.0227 **
Dummy Lama Pendidikan Petani (D1) 0.009477 0.8295
Dummy Frekwensi Panen (D2) 0.192806 0.0005 ***
Dummy Jenis Gambir yang Diproduksi (D3) 0.050393 0.3312
Dummy Cara Tanam (D4) 0.193012 0.0001 ***
Dummy Bibit (D5) -0.05349 0.6617
F – Hitung 150.12 0.0001 ***
Koefisien Determinasi (R2) 0.93755
2
R – Adjusted 0.93130
Jumlah Sampel 133
Keterangan: *** : Signifikan pada α 1 persen
** : Signifikan pada α 5 persen
* : Signifikan pada α 10 persen

Nilai parameter dugaan juga merupakan nilai elastisitas produksi yang

menunjukkan perubahan produksi akibat adanya perubahan pada input. Hasil


97

pendugaan model fungsi produksi gambir memperlihatkan bahwa variabel tenaga

kerja (X1) berpengaruh sangat signifikan pada keragaman produksi gambir pada

taraf nyata pengujian α 1 persen dengan nilai parameter dugaan 0.98. Artinya

bahwa setiap penambahan tenaga kerja sebesar 1 persen, produksi gambir akan

naik sebesar 0.98 persen, cateris paribus, atau dengan asumsi yang sama, 98

persen produksi gambir dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja yang digunakan.

Alokasi terbesar dalam usahatani gambir, adalah di kegiatan pengolahan dan

pemeliharaan yaitu 38.13 persen dan 23.06 persen dari penerimaan per hektarnya

karena tenaga kerja digunakan disetiap tahapan produksi. Seluruh responden yang

disurvei mempekerjakan 2 - 3 orang tenaga kerja dari luar keluarga untuk kegiatan

pengolahan gambir, dengan sistem pembayaran bagi hasil. Hal tersebut

dikarenakan terbatasnya tenaga kerja dalam keluarga yang bisa dipekerjakan

untuk kedua kegiatan tersebut. Rata-rata responden sudah berumur 46 tahun

dengan rata-rata tanggungan per rumahtangga sebanyak 3 orang. Responden juga

mengusahakan lebih dari satu komoditas pertanian sehingga untuk tenaga kerja di

perkebunan gambir diupahkan pada orang di luar keluarga dengan kemampuan

yang sudah bisa terpercaya dalam melakukan kegiatan pengolahan gambir yang

membutuhkan keahlian khusus dalam pelaksanaannya. Penggunaan tenaga kerja

juga terkait erat dengan jumlah produksi, semakin tinggi produksi maka jumlah

hari kerja tenaga kerja akan ikut menyesuaikan.

Luas lahan (X2) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan nilai parameter

dugaan adalah -0.24. Tanda koefisien arah regresinya negatif. Hal ini bertentangan

dengan dengan asumsi awal atau teori produksi dimana seharusnya nilai

parameter dugaannya bernilai positif karena pertambahan luas lahan berarti terjadi
98

pertambahan populasi tanaman, sehingga produksi akan bertambah seiring dengan

bertambahnya jumlah tanaman. Penyebab hal ini adalah karena dalam budidaya

tanaman perkebunan tahunan, selain luas lahan, ada banyak faktor lain yang

mempengaruhi produksi gambir yang terkait secara tidak langsung dengan luas

lahan seperti: jumlah pohon yang ditanam, pemeliharaan yang dilakukan, cara

tanam dan umur tanaman. Populasi atau jumlah pohon yang ada dalam lahan juga

dipengaruhi oleh jarak tanam. Jumlah pohon gambir yang sudah berproduksi yang

ada di lahan juga dimunculkan sebagai salah satu variabel bebas.

Jumlah pohon gambir (X3) berpengaruh nyata pada α 5 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.14. Artinya setiap penambahan pohon yang sudah

menghasilkan sebanyak 1 persen maka produksi gambir akan meningkat 0.14

persen, cateris paribus. Jumlah pohon secara tidak langsung juga dipengaruhi

oleh cara tanam yang dilakukan petani, apakah dengan cara monokultur atau

tumpang sari. Rata-rata populasi pohon per hektar di lokasi penelitian adalah

sebesar 4 569.55 pohon dengan simpangan baku 3 270.92 atau tingkat variasi

sampel relatif bervariasi.

Umur tanaman gambir (X4) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.12. Artinya setiap 1 persen peningkatan pada umur tanaman

yang sudah menghasilkan, secara individu (parsial) akan berpengaruh nyata

terhadap produksi gambir yang akan meningkat sebesar 0.12 persen. Umur

produktif tanaman gambir bisa di atas 70 tahun tergantung pada pemeliharaan,

dengan produksi puncak diperoleh saat tanaman berumur 3–14 tahun.

Berdasarkan karakteristik usahatani diketahui umur rata-rata tanaman gambir dari

sampel adalah 12.27 tahun atau masih berada dalam masa produksi optimal.
99

Pengalaman bertani gambir (X5) berpengaruh nyata pada α 10 persen

dengan nilai parameter dugaan -0.09. Tanda koefisien arah regresi yang negatif

bertentangan dengan dengan asumsi awal dimana seharusnya nilai parameter

dugaannya bernilai positif. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh faktor sosial

ekonomi lainnya selain pengalaman petani, yang juga akan berpengaruh pada

tingkat produksi gambir baik secara langsung maupun tidak seperti: usia petani,

lama pendidikan dan teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan gambir.

Dari hasil survei ditemukan bahwa semua responden petani dalam kegiatan

pemeliharaan umumnya menggunakan tenaga kerja luar keluarga dan untuk

pengolahan bahkan semua responden menyewa tenaga kerja dengan kerjasama

bagi hasil, sehingga petani yang tidak berpengalaman pun relatif bisa melakukan

usahatani gambir karena bisa mengupahkan pekerjaannya. Rata-rata usia petani di

lokasi penelitian adalah 46.38 tahun atau sudah tidak muda lagi untuk melakukan

kegiatan pengolahan dengan pendidikan rata-rata hanya 7 tahun atau tamat SD,

maka secara tidak langsung hal ini menyebabkan pengalaman tidak terlalu

berpengaruh pada usahatani gambir.

Penggunaan pupuk Urea (X6) berpengaruh pada α 15 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.02. Artinya 75 persen pemupukan yang dilakukan petani

secara parsial berpengaruh pada produksi tetapi nilai pengaruhnya sangat kecil

yaitu 0.02 persen. Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, hanya 54.17

persen petani yang melakukan pemupukan Urea dan jumlah pupuk yang

digunakan pun relatif sedikit. Pemberian pupuk Urea yang dilakukan petani rata-

rata hanya 30.08 kg per petani atau 21.34 kg per hektarnya. Variasi responden

juga sangat tinggi dengan standar deviasi 37.27 jauh lebih tinggi dari rata-rata
100

30.08. Artinya data yang ada sangat beragam atau sangat tinggi variasinya.

Umumnya petani di lokasi penelitian hanya menggunakan pupuk organik yang

berasal dari ampas gambir yang sudah dipres getahnya. Pupuk Urea dipakai pada

kondisi tertentu saja dan hanya diaplikasikan sekali per tahun. Hal ini terjadi

karena keterbatasan dana petani untuk membeli pupuk dan adanya anggapan dari

sebagian petani bahwa pupuk kimia dalam jangka panjang akan membuat

produksi turun, walaupun jumlah daun bertambah dengan adanya pupuk kimia,

tetapi getah yang dihasilkan daun tanaman yang dipupuk menggunakan Urea

menjadi jauh berkurang. Selain itu faktor jarak lahan dari pemukiman yang rata-

ratanya mencapai 1.5 km, infrastruktur jalan yang kurang memadai, lokasi sentra

produksi yang berada dilahan pegunungan juga menyebabkan sulit bagi petani

untuk melakukan pemupukan dengan pupuk kimia (Urea). Semua petani juga

mengusahakan lebih dari satu komoditas pertanian sehingga pengalokasian dana

untuk membeli pupuk kimia lebih diprioritaskan pada komoditas yang dianggap

lebih menguntungkan.

Penggunaan pestisida (X7) berpengaruh nyata pada α 5 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.09. Artinya secara parsial penggunaan pestisida sebanyak 1

persen dalam pemeliharaan akan meningkatkan produksi sebesar 0.09 persen.

Petani umumnya hanya sekali pertahun menggunakan pestisida dalam

pemeliharaan, jumlah yang digunakan pun sedikit, rata-rata 3.11 liter per petani

atau 2.2 liter per hektarnya dengan standar deviasi 2.4. Jenis pestisida yang

digunakan adalah herbisida untuk gulma berdaun sempit seperti rumput, semak

dan alang-alang. Hal ini dikarenakan tanaman gambir relatif tidak memiliki

penyakit dan hama tertentu dalam pembudidayaannya. Jika pemakaian berlebihan


101

juga akan berakibat tidak baik pada tanaman gambir. Petani lebih banyak

menggunakan tenaga kerja untuk melakukan penyiangan dalam pemeliharaan,

dari pada menggunakan herbisida.

Dummy yang dipakai dalam model adalah dummy intersep dimana

pengaruhnya tidak langsung kepada produksi gambir (Y), tetapi pengaruhnya

adalah pada nilai intersep atau nilai konstanta dari model fungsi produksi.

Dummy lama pendidikan petani (D1), tidak berpengaruh nyata dengan nilai

P-value (0.83). Hal ini dikarenakan rata-rata pendidikan petani hanya 7.92 atau

sampai kelas dua SMP. Hal ini berarti tidak ada perbedaan hasil produksi gambir

yang nyata antara kelompok petani yang berpendidikan SMP ke atas dengan

petani yang berpendidikan hanya sampai SD atau tidak tamat SD.

Dummy frekwensi panen (D2) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan

nilai parameter dugaan 0.19. Hal tersebut berarti terdapat perbedaan hasil

produksi yang nyata antara kelompok petani yang bisa panen tiga kali per tahun

dengan petani yang panen kurang dari tiga kali setahun. Artinya jumlah produksi

petani yang panen tiga kali relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan petani

lainnya. Tetapi jumlah petani yang bisa panen tiga kali setahun disebabkan

pengaruh spesifik dari daerah tersebut seperti jenis tanah, kondisi alam dan iklim.

Faktor tersebut tidak dimasukkan sebagai variabel ke dalam model.

Hanya ada dua daerah sentra produksi, dari delapan sentra produksi yang

ada di Lima Puluh Kota yang sebagian besar petaninya bisa panen tiga kali

setahun. Walaupun tidak seluruh populasi petani gambir yang ada di kecamatan

tersebut. Keduanya adalah Kecamatan Kapur IX yang merupakan kecamatan

sampel dan Kecamatan Pangkalan Kotobaru yang bukan merupakan kecamatan


102

sampel. Petani yang panen tiga kali pertahun mencapai 36.1 persen dari seluruh

responden dan sisanya panen kurang dari tiga kali setahun.

Dummy jenis gambir yang diproduksi (D3) berpengaruh pada α 35 persen

dengan nilai parameter dugaan 0.05. Berarti ada perbedaan jumlah produksi antara

petani yang memproduksi gambir campur dengan petani yang memproduksi

gambir murni. Petani yang menghasilkan gambir campur relatif lebih banyak

memperoleh hasil produksi. Sebanyak 65.41 persen petani memproduksi gambir

campur.

Dummy cara tanam (D4) berpengaruh nyata pada α 1 persen dengan nilai

parameter dugaan 0.19. Hal ini semakin membuktikan bahwa jumlah pohon yang

telah menghasilkan, berpengaruh signifikan pada hasil produksi gambir. Terbukti

bahwa kelompok petani yang menanam dengan cara monokultur jumlah

produksinya relatif lebih banyak dari petani yang menanam dengan cara tumpang

sari. Ada 41.35 persen petani yang menanam dengan cara monokultur dan 58.65

persen menanam dengan cara tumpang sari. Tumpang sari terbanyak dilakukan

dengan tanaman karet yaitu sebanyak 50 persen, dengan sawit, kakao dan kopi

masing-masing 1 persen. Sebanyak 2 persen petani menumpangsarikan gambir

dengan tanaman lainnya seperti petai, mahoni dan dengan pinang.

Dummy bibit (D5) tidak berpengaruh secara nyata pada produksi gambir.

Berarti tidak ada perbedaan jumlah produksi antara kelompok petani yang murni

menggunakan bibit unggul, dengan kelompok petani yang menggunakan

campuran semua varietas bibit yang ada. Hal ini disebabkan karena petani sulit

mendapatkan bibit dari jenis unggul untuk dibudidayakan. Umumnya petani tidak

memperhatikan apakah bibit yang mereka gunakan dari jenis unggul atau tidak.
103

Hal ini karena petani kesulitan untuk memurnikan pembibitan dari ketiga jenis

varietas yang ada dan belum ada sosialisasi mengenai hal ini dari instansi terkait

kepada petani. Petani biasanya menyiapkan bibit di kebun sendiri atau dibeli ke

petani yang sudah melaksanakan pembibitan untuk tujuan komersial sebatas

memenuhi kebutuhan lingkungan sendiri. Dari data yang diperoleh hanya 3 persen

sampel petani yang memakai bibit unggul jenis udang, 97 persen petani

membudidayakan bibit campuran/semua jenis bibit. Petani gambir pada umumnya

tidak memperhatikan jenis bibit yang mereka gunakan dalam membudidayakan

gambir.

6.1.3. Analisis Efisiensi Alokatif Produksi Gambir

Persoalan yang dihadapi dalam usahatani pada umumnya adalah bagaimana

mengalokasikan secara tepat sumberdaya atau faktor produksi yang terbatas agar

dapat memaksimumkan pendapatan (Mubyarto, 1989). Analisis efisiensi alokatif

bertujuan untuk mengetahui rasionalitas petani dalam melakukan kegiatan

usahatani dengan tujuan untuk mencapai keuntungan maksimal. Keuntungan

maksimal akan tercapai jika semua faktor produksi sudah dialokasikan secara

optimal (Nicholson, 2002). Berkaitan dengan masalah efisiensi ini maka ada satu

pendekatan yang dapat mengukur efisiensi ini yaitu pendekatan produk marginal.

Uji efisiensi alokasi penggunaan sarana produksi ini secara matematis ditulis

seperti Persamaan (11) di Bab IV dimana: NPMxi = Pxi atau NPMxi / Pxi = 1.

Tabel 10 menjelaskan tingkat efisiensi alokatif penggunaan faktor produksi

tenaga kerja, luas lahan, pupuk kimia (Urea) dan pestisida. Hasilnya terlihat

bahwa nilai produk marginal (NPMx) tidak sama dengan (Px) atau harga inputnya.
104

Tabel 10. Tingkat Efisiensi Alokatif Penggunaan Faktor Produksi pada Usahatani
Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009

Jenis Rata-Rata
PMx NPMx Px NPMx/Px
Input Input Output
Tenaga
271.03 1 053.38 3.82 96 481.01 60 000 1.61
Kerja
Luas
1.41 1 053.38 -182.51 -4 604 304.79 2 500 000 -1.84
Lahan
Pupuk
30.08 1 053.38 0.70 17 757.34 2 200 8.07
Urea
Pestisida 3.11 1 053.38 32.64 823 542.93 80 000 10.29

Input tenaga kerja, pupuk Urea dan pestisida NPMx/Px > 1, artinya

penggunaan ketiga input tersebut belum efisien. Pemakaian ketiga input tersebut

masih bisa ditingkatkan atau ditambah penggunaannya untuk mencapai efisien,

terutama pemakaian pupuk dan pestisida yang jumlah pengalokasiannya relatif

masih sangat sedikit dengan rasio jauh lebih besar dari satu. Hal ini antara lain

disebabkan oleh:

1. Petani tidak memiliki insentif yang cukup dari hasil penjualan gambir yang

bisa digunakan untuk mengaplikasikan secara optimal pengalokasian

penggunaan pupuk dan pestisida dalam berusahatani. Pemberian kedua input

ini hanya dilakukan sekali setahun atau pada saat petani mendapatkan harga

jual yang relatif baik. Hal ini disebabkan karena fluktuasi harga gambir di

tingkat petani sangat tinggi sehingga tidak ada kepastian dalam berusahatani.

2. Kurangnya sosialisasi dan kegiatan penyuluhan oleh dinas terkait kepada

petani gambir terkait topik pemupukan dan pemberantasan hama penyakit

dalam usahatani gambir. Dari hasil survei diketahui hanya 10 persen petani

yang pernah mendapatkan penyuluhan terkait usahatani gambir, itupun


105

dengan tema penyuluhan yang tidak terkait langsung dengan kegiatan

pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit pada usahatani gambir.

3. Daerah sentra produksi gambir umumnya jauh dari pemukiman. Lokasi lahan

perkebunan gambir rata-rata berjarak 1.5 km dari rumah petani dan berada

pada lahan-lahan marginal di perbukitan dan pegunungan bukit barisan

dengan sarana jalan yang tidak memadai bagi alat transportasi. Jalan menuju

lahan umumnya jalan setapak. Hal ini menyebabkan harga pupuk dan

pestisida ditingkat petani menjadi relatif mahal dan petani kesulitan dalam

penggunaan sarana transportasi menuju lahan.

4. Umumnya petani memiliki komoditas pertanian lainnya yang diusahakan

dalam waktu bersamaan, dimana 92 persen petani di lokasi penelitian juga

mengusahakan komoditas lainnya selain gambir, baik dari jenis komoditas

tanaman pangan seperti padi, maupun komoditas tanaman perkebunan

lainnya seperti karet, sawit, kopi dan kakao. Sehingga pengalokasian

sumberdaya seperti pupuk dan pestisida lebih diprioritaskan pada komoditas

utama ini yang relatif lebih banyak menyumbangkan pendapatan pada petani

secara keseluruhan.

Sedangkan hasil uji efisiensi terhadap lahan NPMx/Px < 1, artinya

pemanfaatan lahan sudah tidak efisien lagi. Hal ini tidak berarti petani harus

mengurangi penggunaan lahan untuk mencapai efisiensi. Lahan yang sudah ada

sekarang masih bisa dioptimalkan penggarapannya, tetapi penambahan luas lahan

untuk meningkatkan hasil produksi gambir juga sudah sangat tidak efisien lagi.

Pendekatan intensifikasi usahatani yang perlu dilakukan petani, dengan

memperhatikan jenis bibit yang digunakan, jarak tanam yang mempengaruhi


106

populasi tanaman yang menghasilkan, pengaplikasian pupuk anorganik dan

pengendalian hama yang optimal, serta cara tanam yang dipilih, akan lebih

berpengaruh dari pada pendekatan ekstensifikasi atau menambah luas lahan

garapan untuk meningkatkan produksi gambir.

6.2 Analisis Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota


6.2.1. Struktur Pasar Gambir

Struktur pasar di daerah penelitian diidentifikasi dengan melihat empat

indikator utama yaitu: (1) jumlah partisipan dan derajat konsentrasi pasar, (2)

barrier to entry atau kondisi keluar masuk pasar, (3) kondisi dan keadaan produk,

dan (4) lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir. Langsung

dilanjutkan dengan analisis efisiensi operasional saluran pemasaran. Efisiensi

operasional adalah ukuran biaya minimum untuk menggerakkan komoditas dari

produsen ke konsumen yang dinilai dari margin pemasaran dan farmer’s share.

6.2.1.1. Jumlah Partisipan dan Derajat Konsentrasi Pasar

Metode yang dipilih untuk analisis struktur pasar adalah dengan melihat

pangsa pasar dari perkembangan penjualan masing-masing pedagang dengan

menghitung konsentrasi rasio empat pedagang terbesar (CR4). CR4 adalah

metode yang paling sesuai untuk merepresentasikan konsentrasi pasar food

industry, seperti yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002). Salah satu

indikator untuk menilai konsentrasi pasar adalah dengan cara membandingkan

antara jumlah petani sebagai produsen dengan jumlah pedagang yang terlibat

dalam memasarkan komoditas tersebut. Berikut ini perbandingan jumlah

partisipan pada pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.


107

Tabel 11. Perbandingan Jumlah Partisipan Pasar Gambir di Kabupaten Lima


Puluh Kota Tahun 2009
Kecamatan Populasi Petani1) Perkiraan Jumlah Pedagang
L.S. Halaban 115 5
Harau 942 10
Kapur IX 3 250 34
Lainnya 4 749 50
Jumlah 9 056 99
Keterangan: 1) BPS, 2003

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa perbandingan jumlah pedagang dengan

petani sebagai produsen gambir sangat tidak seimbang. Sampel pedagang hasil

survei terdiri dari 11 sampel pedagang pengumpul, 6 sampel pedagang besar, 2

eksportir yang berada di Kabupaten Lima Puluh Kota dan 1 ketua asosiasi

pedagang gambir sekaligus juga merupakan eksportir gambir yang berada di Kota

Padang (Ibukota Provinsi Sumatera Barat). Berikut ini gambaran klasifikasi dan

market share pedagang gambir di lokasi penelitian.

Tabel 12. Klasifikasi dan Market Share Sampel Pedagang Gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota Tahun 2009

Perkiraan Market Share Sampel Pedagang


Lembaga Pemasaran
Populasi Terendah Tertinggi
Pedagang Pengumpul 40 - 70 0.06 0.516
Pedagang Besar 15 - 20 1.787 8.934
Eksportir 2 15.486 17.869

Berdasarkan informasi dari Tabel 11 dan 12, terlihat bahwa jumlah petani

sebagai produsen dengan jumlah pedagang pengumpul sebagai pembeli, dapat

dikatakan bahwa struktur pasar gambir yang terbentuk adalah pasar oligopsoni

dari sisi pembeli. Hal ini dikarenakan jumlah petani jauh lebih banyak jika

dibandingkan dengan jumlah pedagang pengumpul. Akibatnya petani cenderung


108

menjadi pihak penerima harga (price taker) sesuai dengan harga yang telah

ditetapkan oleh pedagang pengumpul, daya tawar petani dalam menentukan harga

relatif rendah.

Perbandingan antar jumlah pedagang pengumpul dengan pedagang besar

bila dilihat lagi di level pasar berikutnya juga berbanding jauh sehingga juga

cenderung mengarah pada pasar oligopsoni. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya

jumlah pedagang besar yang ada di suatu wilayah. Umumnya pedagang besar

yang ada di lokasi penelitian, memiliki daerah operasional yang tidak hanya

terbatas di daerah domisilinya saja, tetapi juga masuk ke daerah atau kecamatan

sentra produksi lainnya baik secara langsung dengan armada sendiri, maupun

melalui perantara pedagang pengumpul yang telah dimodali. Hambatan pasar

yang besar juga berpengaruh terhadap kondisi ini seperti yang akan dijelaskan di

sub bab berikutnya. Akibat situasi ini pedagang pengumpul juga cenderung

menjadi pihak penerima harga (price taker) sesuai dengan harga yang telah

ditetapkan oleh pedagang besar yang berada di atasnya.

Sedangkan pada tingkat eksportir struktur pasar yang terbentuk juga

mengarah pada oligopsoni atau lebih dekat ke monopsoni dari sudut pembeli,

dimana daya tawar pedagang besar relatif kecil. Eksportirlah yang bertindak

sebagai penentu harga dalam pemasaran gambir. Berdasarkan uraian di atas

terlihat bahwa pasar gambir di lokasi penelitian berada dalam struktur pasar

persaingan tidak sempurna.

Nilai CR4 digunakan untuk membuktikan kesimpulan di atas. Penghitungan

nilai CR4 dilakukan pada empat pedagang gambir terbesar di Kabupaten Lima

Puluh Kota, yang pengelompokannya didasarkan pada nilai output yang


109

dihasilkan oleh empat pedagang terbesar tersebut. Rasio konsentrasi yang

diperoleh adalah sebesar 49.516 persen atau berdasarkan indikator yang

dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002), struktur pasar gambir di wilayah

Kabupaten Lima Puluh Kota berada dalam kondisi weak oligopsony market

structure.

6.2.1.2. Hambatan Keluar Masuk Pasar

Kontrol dan intervensi pemerintah daerah dan pusat dalam perdagangan

gambir dalam bentuk peraturan yang membatasi ataupun mengatur mekanisme

perdagangan gambir secara spesifik tidak ada. Hambatan keluar masuk pasar

dalam pemasaran gambir sangat dipengaruhi oleh besarnya modal yang dimiliki

oleh lembaga pemasaran yang terlibat, misalnya untuk akses pada fasilitas

penyimpanan/gudang dan transportasi, serta yang tidak kalah pentingnya adanya

hubungan kepercayaan di antara para pelaku pasar. Umumnya lembaga pemasaran

yang terlibat dalam proses pemasaran gambir di lokasi penelitian memiliki

pengalaman yang cukup lama (lebih dari 10 tahun), memiliki modal yang besar

dan bankable, memiliki hubungan kepercayaan yang baik dengan lembaga

pemasaran lainnya sehingga memiliki akses informasi yang baik.

Faktor-faktor yang diuraikan di atas akan menyulitkan pelaku pasar yang

masih baru, terutama untuk pemasaran gambir ke luar negeri. Hal tersebut

dikarenakan adanya persyaratan tertentu terutama menyangkut standarisasi yang

dibutuhkan baik terhadap kualitas, kuantitas dan kontiniutas dari komoditas

gambir yang akan di ekspor. Hambatan masuk pasar bisa juga diartikan sebagai

segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau


110

kecepatan masuknya pesaing baru. Masuknya perusahaan baru akan menimbulkan

sejumlah implikasi bagi perusahaan yang sudah ada, misalnya kapasitas yang

menjadi bertambah, terjadinya perebutan pasar (market share) serta perebutan

sumberdaya produksi yang terbatas. Kondisi ini menimbulkan ancaman bagi

perusahaan yang sudah ada (Firdaus et al, 2008).

Salah satu yang dapat menjadi hambatan masuk pasar adalah keberadaan

perusahaan terbesar yang telah ada sebelumnya dalam sebuah industri. Hal ini

dapat dilihat dari nilai Minimum Efficiency Scale (MES). Hasil perhitungan

terhadap nilai MES di lokasi penelitian adalah sebesar 17.869 persen. Artinya ada

indikasi bahwa hambatan untuk masuk ke pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh

Kota relatif besar karena nilai MES > 10. Tidak mudah bagi pendatang baru untuk

masuk ke dalam pasar. Pendatang baru disamping harus memiliki modal yang

sangat besar untuk melakoni transaksi jual beli gambir, untuk membeli peralatan,

mengupah buruh, mempekerjakan karyawan, memiliki armada untuk pembelian

dan penjualan, perizinan dan gudang serta lokasi penjemuran yang memadai, ia

juga harus memiliki jaringan yang kuat dengan partisipan pasar lainnya.

6.2.1.3. Kondisi dan Keadaan Produk

Produk gambir yang diperdagangkan relatif beragam atau terdiferensiasi

karena belum ada standarisasi yang baku di tingkat petani. Hal ini terutama

disebabkan oleh perbedaan dalam proses pengolahan disamping bibit yang

digunakan petani dalam membudidayakan gambir juga belum seragam. Akibatnya

manipulasi kualitas sering terjadi baik atas kesadaran petani sendiri maupun atas

anjuran pedagang pengumpul.


111

Getah gambir kering yang diperdagangkan secara umum terbagi atas dua,

yaitu gambir murni dan gambir campur. Gambir campur adalah gambir yang

dalam proses pengolahannya dicampur dengan material lain selain getah gambir

seperti tepung tanah lempung, ketapang/limbah rebusan daun gambir dimana air

limbah rebusan gambir (kalincuang) digunakan berulang-ulang. Gambir jenis ini

relatif lebih berat dan berwarna hitam yang biasanya dijual ke pasar luar negeri

(untuk ekspor). Sedangkan gambir murni jauh lebih ringan dan berwarna kuning

kecoklatan. Gambir murni biasanya untuk konsumsi pasar dalam negeri dan

banyak dijual ke pedagang besar terutama ke Jawa.

Proses standarisasi dan grading hanya dilakukan di tingkat pedagang

berdasarkan jenis gambir dan tingkat kekeringan/kadar air gambir. Selain itu tidak

ada proses penambahan nilai pada gambir yang diperdagangkan baik untuk

gambir yang akan di ekspor maupun untuk konsumsi pasar domestik.

6.2.1.4. Lembaga Pemasaran

Pemasaran komoditas pertanian dimulai pada saat petani merencanakan

produknya untuk memenuhi permintaan pasar. Gambir sebagai salah satu

komoditas perkebunan tahunan melalui sejumlah perlakuan agar dapat di

konsumsi oleh konsumennya.

Proses pengolahan dari daun dan ranting muda tanaman gambir menjadi

produk gambir kering dilakukan sejalan dengan saat panen. Sebelum dipasarkan

gambir harus melalui terlebih proses pengolahan terlebih dahulu di ladang petani

yang tersebar dan relatif jauh dari lokasi pemukiman. Jauhnya jarak antara pusat

produksi dengan konsumen gambir serta lokasi ladang yang umumnya terpencar
112

dan berjauhan membutuhkan peran serta lembaga pemasaran dalam

pemasarannya.

Lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir di lokasi

penelitian adalah: petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir.

Berdasarkan data penelitian terlihat bahwa terdapat empat saluran pemasaran yang

digunakan petani di lokasi penelitian dalam memasarkan gambir, seperti yang

terlihat pada Gambar 7 yaitu:

1. Saluran pemasaran I adalah saluran pemasaran yang digunakan petani dengan

melibatkan pedagang pengumpul (57.29 persen), pedagang besar, kemudian

ke pedagang yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

2. Saluran pemasaran II adalah saluran pemasaran yang digunakan petani dengan

melibatkan pedagang pengumpul (57.29 persen), pedagang besar, kemudian

ke eksportir lokal yang berada di Provinsi Sumatera Barat (25 persen).

3. Saluran pemasaran III adalah saluran pemasaran yang digunakan petani

dengan langsung melibatkan pedagang besar (42.71 persen), kemudian ke

pedagang yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

4. Saluran pemasaran IV adalah saluran pemasaran yang digunakan petani

dengan melibatkan pedagang besar (42.71 persen), kemudian ke eksportir

lokal yang berada di Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

Kecenderungan saluran pemasaran yang digunakan petani di lokasi

penelitian adalah salah satunya dipengaruhi oleh jenis gambir yang diproduksi

oleh petani. Saluran I dan II digunakan oleh petani jika di daerah tempatnya

berdomisili tidak terdapat pedagang besar dikarenakan: (1) keadaan atau kondisi

spesifik daerah yang terisolir dibandingkan daerah sentra produksi lain dan
113

letaknya tersebar, (2) keadaan infrastruktur yang tidak memungkinkan armada

pedagang besar menjangkau daerah ini dikarenakan tingginya biaya transportasi

untuk mengumpulkan hasil panen dari lokasi yang terpisah-pisah, dan (3) telah

ada kerjasama antara pedagang pengumpul di daerah tersebut dengan pedagang

besar yang berada di daerah lainnya.

Gambar 7. Saluran Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun


2009

Petani yang memproduksi gambir murni lebih cenderung memakai saluran

pemasaran I atau III dalam pemasarannya, dimana sebagian besar gambir murni

ini dipasarkan untuk konsumsi dalam negeri. Sebaliknya gambir campuran

umumnya di ekspor untuk konsumen luar negeri dan menggunakan semua saluran

pemasaran yang ada (I, II, III dan IV) dalam pemasarannya.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa mayoritas petani menggunakan

saluran pemasaran I dalam memasarkan hasil panennya, yang melibatkan

pedagang pengumpul (57.29 persen), pedagang besar, kemudian ke pedagang

yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat (75 persen). Artinya tidak banyak
114

petani yang memiliki akses untuk menjual hasil produksinya langsung kepada

pedagang besar, apalagi ke pasar konsumen yang jaraknya sangat jauh dari sentra

produksi. Faktor yang menjadi pertimbangan utama bagi petani dalam memilih

saluran pemasaran yang akan digunakan adalah: (1) jauhnya jarak antara pusat

produksi dengan konsumen gambir yang membuat mahalnya biaya transportasi,

(2) sedangkan jumlah produksi yang dihasilkan petani relatif kecil, serta (3)

kondisi geografis wilayah dimana lokasi ladang yang umumnya terpencar dan

relatif jauh dari lokasi pemukiman, ditambah dengan sarana jalan ke lahan yang

hanya berupa jalan setapak. Faktor di atas membuat pilihan petani menjadi

terbatas dalam memasarkan gambir, sehingga peran pedagang pengumpul sebagai

perantara menjadi sangat dibutuhkan. Hasil analisis ini semakin memperjelas

keterkaitan antara struktur pasar dengan perilaku dan keragaan pasar gambir di

Lima Puluh Kota.

Eksportir lokal yang berada di Provinsi Sumatera Barat melakukan ekspor

dari pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang dengan jarak rata-rata dari sentra

produksi yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota lebih dari 200 km. Sedangkan

gambir yang dijual ke pedagang yang berada di luar Provinsi Sumatera Barat

umumnya di pasarkan ke Belawan, Sumatera Utara dan Pulau Jawa, yaitu ke

Jakarta, Semarang, Magelang, Salatiga, Yogya dan Surabaya.

Saluran pemasaran III dan IV memang lebih pendek jika dibandingkan

dengan saluran I dan II. Tetapi berdasarkan survei yang dilakukan di lokasi

penelitian terhadap harga yang diterima petani relatif tidak jauh berbeda antara

menjual langsung ke pedagang besar ataupun lewat pedagang pengumpul. Hal ini

menggambarkan bahwa terjadi kolusi antara pedagang pengumpul dengan


115

pedagang besar dalam menetapkan harga gambir ke petani karena sebagian besar

dari pedagang pengumpul merupakan armada dari pedagang besar yang sudah

terikat perjanjian dan sudah dimodali untuk melakukan pembelian gambir ke

petani. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa tidak ada harga terbaik bagi

petani dalam kondisi pasar tidak bersaing sempurna atau oligopsoni, seperti yang

terjadi pada pasar gambir di Lima Puluh Kota.

Selain hal di atas juga terdapat perbedaan pengetahuan yang cukup besar

antara petani dengan eksportir gambir sehubungan dengan informasi mengenai

nilai pasar sebenarnya dari gambir. Tingkat pengetahuan petani cenderung

terbatas dan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan pedagang. Harga biasanya

ditentukan oleh pedagang pada saat penimbangan akan dilakukan. Petani hanya

menerima harga yang ditawarkan oleh pedagang. Hal yang bisa dilakukan oleh

petani jika tidak menyetujui penawaran harga satu pedagang adalah membatalkan

transaksi, sama sekali tidak menjual, atau menjual ke pedagang lain walaupun

perbedaan harga tidak ada atau hanya berbeda sedikit.

Petani mau menyerahkan produknya melalui berbagai saluran yang ada

dikarenakan alternatif yang lebih baik belum tersedia. Persoalan sebenarnya

adalah pilihan petani menjadi sangat terbatas karena faktor alami seperti sebaran

geografis dan situasi serta kondisi spesifik dari daerah setempat yang tidak

memungkinkan petani memilih saluran pemasaran yang memberikan hasil

penjualan yang lebih baik. Ulasan mengenai saluran pemasaran berdasarkan

Gambar 7 di atas belum cukup untuk mendapatkan gambaran efisiensi pemasaran

dari setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam memasarkan gambir, karena

belum dapat menceritakan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh masing-masing


116

lembaga yang terlibat dalam proses transaksi, serta kompensasi dan konsekwensi

seperti apa yang diperoleh masing-masingnya dari melakukan fungsi pemasaran

tersebut.

Metode yang digunakan untuk melihat apakah saluran pemasaran yang ada

sudah efisien dan adil dalam pendistribusiannya, maka analisis perlu dilengkapi

dengan informasi fungsi-fungsi pemasaran apa saja yang dilakukan oleh setiap

partisipan dalam memasarkan gambir untuk masing-masing saluran pemasaran

yang ada (Tabel 13) serta margin pemasaran yang diperoleh masing-masing

lembaga (Tabel 14), karena ketiganya terkait erat.

Tabel 13. Fungsi-Fungsi yang Dilakukan Lembaga Pemasaran Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009
Fungsi-Fungsi Pemasaran
Pertukaran Fisik Fasilitas
Saluran dan
Jual

Beli

Pengolahan

Pengemasan

Penyimpanan

Transportasi

Grading
Sortasi /

Resiko

Pembiayaan

Pasar
Informasi
Lembaga
Pemasaran

Saluran I
Petani v - v v - v - v - -
PP v v - - v v - v v v
PB v v - v v v v v v v
PLP* v v - v v v v v v v
Saluran II
Petani v - v v - v - v - -
PP v v - - v v - v v v
PB v v - v v v v v v v
XL** v v - v v v v v v v
Saluran III
Petani v - v v - v - v - -
PB v v - v v v v v v v
PLP v v - v v v v v v v
Saluran IV
Petani v - v v - v - v - -
PB v v - v v v v v v v
XL v v - v v v v v v v
Keterangan: (v) : Melakukan fungsi pemasaran
(-) : Tidak melakukan
* PLP : Pedagang di luar provinsi Sumbar
** XL : Eksportir lokal
117

Tabel 13 menjelaskan tentang fungsi-fungsi yang dilakukan oleh masing-

masing komponen yang terlibat dalam sistem pemasaran. Ini dipakai untuk

melihat dan menilai lembaga pemasaran yang melakukan fungsi pemasaran

tertentu dan berapa kompensasi serta bagaimana konsekwensi yang diperoleh dari

melakukan fungsi atau kegiatan tersebut. Kegunaan pendekatan fungsi dalam

analisis pemasaran adalah untuk melihat bagaimana variasi aktivitas/kegiatan

yang dilakukan oleh lembaga yang terlibat di setiap tingkat dan di semua saluran

yang ada, serta kaitannya dengan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan

sehubungan kegiatan yang dilakukan lembaga tersebut pada tiap tingkat di semua

saluran pemasaran yang ada.

Fungsi pertukaran terdiri atas kegiatan penjualan dan pembelian yang

dilakukan oleh semua pedagang, sedangkan petani hanya melakukan kegiatan

penjualan. Transaksi yang dilakukan petani dengan pedagang dilakukan dengan

langsung dan tunai karena volume produksi yang diperdagangkan relatif kecil.

Petani juga membutuhkan uang tunai sehingga kegiatan penimbangan (penjualan)

dilakukan setiap minggu. Sebagian besar petani yang ada di lokasi penelitian tidak

memiliki ikatan tertentu kepada pedagang sehingga dalam proses jual beli petani

memiliki kebebasan penuh dalam menentukan kepada siapa mereka ingin menjual

hasil panennya. Hanya 25 persen petani yang memiliki keterikatan dengan

pedagang tertentu karena sebelumnya mereka sudah berhutang ataupun sudah

mendapatkan pinjaman modal kerja dari pedagang tersebut.

Fungsi fisik berupa kegiatan pengolahan dan pengangkutan dilakukan petani

pada setiap saluran pemasaran yang ada. Kegiatan pengemasan juga dilakukan

petani, sedangkan pedagang pengumpul tidak melakukan pengemasan karena


118

hanya sebagai perantara pada pedagang besar, sehingga masih bisa menggunakan

kemasan karung plastik dari petani. Sebaliknya kegiatan pengangkutan,

pengemasan dan penyimpanan dilakukan oleh pedagang besar untuk semua

saluran yang ada. Dalam pelaksanaan pengangkutan, petani biasanya dibebankan

biaya retribusi oleh nagari setempat, begitu juga pedagang pengumpul. Khusus

untuk saluran pemasaran II dan IV, pedagang besar tidak mengeluarkan lagi biaya

retribusi.

Kegiatan pengolahan hanya dilakukan oleh petani, artinya sama sekali tidak

terjadi perubahan bentuk dari produk (gambir) yang diperdagangkan sampai

tingkat pasar eksportir dan pedagang luar Provinsi Sumbar. Gambir yang ada

adalah gambir yang sama dengan gambir dijual petani, sama sekali tidak terjadi

proses penambahan nilai dalam pendistribusian gambir menggunakan semua

saluran pemasaran yang ada. Proses perubahan bentuk dan penambahan nilai pada

gambir hanya dilakukan oleh konsumen akhir. Karena adanya keterbatasan

penelitian, cakupan analisis pemasaran dalam penelitian ini tidak mencakup kajian

pemasaran pada level tersebut, hanya sampai tingkat pasar eksportir saja.

Fungsi fasilitas sortasi atau grading tidak dilakukan pada tingkat petani dan

pedagang pengumpul, karena biasanya gambir yang dihasilkan relatif seragam dan

sudah dibersihkan oleh pekerja yang diupah petani untuk melakukan kegiatan

pengolahan. Pekerja atau anak kampo tersebut sudah berpengalaman dalam

melakukan pengolahan sehingga gambir yang dihasilkan tidak memiliki banyak

perbedaan baik dari segi ukuran, warna dan bentuknya. Sortasi hanya dilakukan

pada tingkat pedagang besar, sedangkan grading dilakukan oleh eksportir lokal

dan pedagang di luar Sumbar. Grading yang dilakukan tersebut untuk mengukur
119

kadar air dan abu, kadar bahan yang tidak larut dalam air dan dalam alkohol,

kadar catechin gambir, serta tampilan fisiknya dari segi bentuk dan warna.

Petani dan pedagang disemua saluran yang ada sama-sama mempunyai

resiko, walaupun tingkatannya berbeda-beda. Resiko yang dihadapi petani adalah

kegagalan panen dan fluktuasi harga yang relatif tinggi sehingga tidak ada

kepastian dalam berusahatani. Pedagang pengumpul menghadapi resiko kerugian

finansial yang bisa diakibatkan kesalahan dalam menaksir kadar air gambir saat

penimbangan. Pedagang besar dan eksportir juga menghadapi resiko kerugian

finansial akibat tidak terpenuhinya nilai kontrak sesuai spesifikasi yang diminta

importir serta resiko nilai tukar (kurs rupiah terhadap dolar). Petani tidak memiliki

akses pada informasi pasar, seperti tingkat harga yang berlaku karenanya hanya

bertindak sebagai penerima harga. Pedagang disemua saluran mempunyai dana

yang umumnya berasal dari pembiayaan, biasanya diberikan oleh pedagang pada

pedagang yang berada satu tingkat di bawahnya sebagai pinjaman.

Berdasarkan konsep utilitas atau penciptaan dan penambahan nilai guna

yang dilakukan oleh lembaga yang terlibat dalam pemasaran gambir terlihat

bahwa mekanisme pemasaran gambir yang terjadi banyak ditentukan oleh nilai

guna bentuk, tempat (pasar) dan kepemilikan, dengan kata lain proses pemasaran

gambir merupakan kegiatan yang produktif dengan menghasilkan pembentukan

kegunaan bentuk, tempat dan kepemilikan. Produksi gambir terpencar di beberapa

daerah sentra produksi dan konsumennya juga terpencar di daerah yang berlainan,

antardaerah, antarkota, antarprovinsi, antarpulau dan bahkan luar negeri, sehingga

peranan kegiatan transportasi untuk pengangkutan ke daerah pemasaran,

pergudangan untuk penyimpanan serta ongkos-ongkos yang menyangkut dan


120

menjembatani antar daerah pemasaran dengan petani produsen akan sangat

berpengaruh pada kinerja pemasaran gambir.

Perubahan bentuk (form utility) memberikan nilai tambah sehingga gambir

menjadi layak jual. Hal ini terlihat dari saat proses produksi gambir oleh petani

yang dimulai dengan pengolahan dari daun dan ranting tanaman gambir menjadi

getah yang kemudian dikeringkan menjadi produk (gambir kering). Proses

standarisasi berupa kegiatan sortasi dan grading akan sangat mempengaruhi

kinerja pemasaran karena berpengaruh pada ongkos tataniaga yang harus

dikeluarkan lembaga pemasaran yang terlibat serta margin pedagang. Produk ini

di tingkat pasar konsumen akhir diubah lagi sesuai dengan kebutuhan pasar karena

produk yang diperdagangkan sampai tingkat pasar eksportir masih dalam bentuk

gambir mentah sedangkan kebutuhan industri bermacam-macam, misalnya gambir

akan diekstraksi untuk mendapatkan zat esensialnya.

Kegunaan kepemilikan terlihat dari aktivitas jual beli, sedangkan kegunaan

waktu tidak terlalu menentukan dalam pemasaran gambir karena gambir yang

diproduksi petani tidak tergantung pada musim. Hal ini disebabkan waktu panen

petani di lokasi penelitian berbeda-beda dan daerah sentra produksi tersebar di

delapan kecamatan, sehingga untuk wilayah kabupaten selalu ada petani yang

panen dan melakukan pengolahan gambir sepanjang tahun secara

berkesinambungan. Tetapi peranan penyimpanan (storage) bagi pedagang tetap

penting untuk tempat penyimpanan sementara sampai gambir kering sampai

standar tertentu dan siap dijual. Tabel 14 memberikan gambaran rinci tentang

besarnya margin pemasaran untuk setiap saluran pemasaran gambir yang ada guna

melengkapi analisis tentang lembaga pemasaran gambir di Lima Puluh Kota.


121

Tabel 14. Margin Pemasaran Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tahun 2009
Saluran Saluran Saluran Saluran
Pemasaran I Pemasaran II Pemasaran III Pemasaran IV
Pelaku Pasar
Nilai Nilai Nilai Nilai
Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg %
1. Petani
transportasi 300 0.85 300 0.81 300 0.85 300 0.81
pengemasan 25 0.07 25 0.07 25 0.07 25 0.07
retribusi 252.28 0.71 252.28 0.68 252.28 0.71 252.28 0.68
harga jual 23 680.97 66.71 23 680.97 64.00 26 500.33 74.65 26 500.33 71.62
2. Pedagang
Pengumpul
harga beli 23 680.97 66.71 23 680.97 64.00
bongkar muat 100 0.28 100 0.27
transportasi 300 0.85 300 0.81
b. penjemuran 200 0.56 200 0.54
pengeringan 1 261.38 3.55 1 261.38 3.41
gudang 100 0.28 100 0.27
keuntungan 4 403.10 12.40 4 403.10 11.90
margin pemasaran 6 364.48 17.93 6 364.48 17.20
harga jual 30 045.45 84.64 30 045.45 81.20
3. Pedagang
Besar
harga beli 30 045.45 84.64 30 045.45 81.20 26 500.33 74.65 26 500.33 71.62
bongkar muat 100 0.28 100 0.27 100 0.28 100 0.27
transportasi 700 1.97 300 0.81 700 1.97 300 0.81
b. penjemuran 100 0.28 100 0.27 200 0.56 200 0.54
pengeringan 280.91 0.79 280.91 0.76 1 261.38 3.55 1 261.38 3.41
sortasi 100 0.28 100 0.27 100 0.28 100 0.27
gudang 100 0.28 100 0.27 100 0.28 100 0.27
pengemasan 75 0.21 50 0.14 75 0.21 50 0.14
keuntungan 2 498.64 7.04 1 923.64 5.20 4 963.29 13.98 4 388.29 11.86
margin pemasaran 3 954.55 11.14 2 954.55 7.99 7 499.67 21.13 6 499.67 17.57
harga jual 34 000 95.77 33 000 89.19 34 000 95.77 33 000 89.19
4. Pedagang
di luar
Sumbar
harga beli 34 000 95.77 34 000 95.77
bongkar muat 100 0.28 100 0.28
grading 100 0.28 100 0.28
gudang 100 0.28 100 0.28
pengemasan 50 0.14 50 0.14
keuntungan 1 150 3.24 1 150 3.24
margin pemasaran 1 500 4.23 1 500 4.23
harga jual 35 500 100 35 500 100
5. Eksportir
Lokal
harga beli 33 000 89.19 33 000 89.19
biaya ekspor 1 400 3.78 1 400 3.78
grading 100 0.27 100 0.27
biaya lainnya 400 1.08 400 1.08
keuntungan 2 100 5.68 2 100 5.68
margin pemasaran 4 000 10.81 4 000 10.81
harga jual 37 000 100 37 000 100

Margin pemasaran untuk setiap saluran didapat dengan cara mengurangi

harga jual di tingkat pedagang akhir dengan harga jual di tingkat petani. Saluran

pemasaran I dan II secara umum mempunyai margin pemasaran yang lebih besar
122

bila dibandingkan dengan saluran lain. Besarnya margin pemasaran di saluran

pemasaran I, II, III dan IV berturut-turut Rp 11 819.03/kg, Rp 13 319.03/kg, Rp 8

999.67/kg dan 10 499.67/kg, dengan margin tertinggi di saluran II, mencapai 36

persen dari harga akhir. Hal ini dikarenakan: (1) perbedaan jumlah lembaga

pemasaran yang terlibat, (2) perbedaan harga jual yang diterima petani untuk

setiap pilihan saluran, apakah menjual kepada pedagang pengumpul atau langsung

pada pedagang besar, dan (3) perbedaan harga jual di tingkat akhir.

Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa semakin banyak jumlah

lembaga pemasaran yang terlibat akan menyebabkan bertambah panjangnya rantai

pemasaran sehingga mengakibatkan bertambahnya biaya pemasaran dan

keuntungan yang diambil oleh setiap pelaku pasar tersebut. Artinya margin

pemasaran di saluran itu akan bertambah besar. Berikut ini perbandingan rasio

keuntungan dan biaya pemasaran yang diperoleh setiap lembaga pemasaran.

Tabel 15. Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009
Keuntungan Biaya Rasio
Lembaga Pemasaran Pemasaran Pemasaran Keuntungan
(Rp/kg) (Rp/kg) Biaya
Saluran I
Pedagang Pengumpul 4 403.10 1 961.38 2.24
Pedagang Besar 2 498.64 1 455.91 1.72
Pedagang di Luar Sumbar 1 150 350 3.29
Jumlah 8 051.74 3 767.29 7.25
Saluran II
Pedagang Pengumpul 4 403.10 1 961.38 2.24
Pedagang Besar 1 923.64 1 030.91 1.87
Eksportir Lokal 2 100 1 900 1.11
Jumlah 8 426.74 4 892.29 5.22
Saluran III
Pedagang Besar 4 963.29 2 536.38 1.96
Pedagang di Luar Sumbar 1 150 350 3.29
Jumlah 6 113.29 2 886.38 5.25
Saluran IV
Pedagang Besar 4 388.29 2 111.38 2.08
Eksportir Lokal 2 100 1 900 1.11
Jumlah 6 488.29 4 011.38 3.19
123

Jumlah keuntungan yang diambil oleh pedagang di saluran pemasaran I

adalah sebesar Rp 8 051.74/kg atau mencapai 22.68 persen dari harga di tingkat

pedagang akhir atau mencapai 68.13 persen bila dibandingkan dengan besarnya

margin pemasaran. Sedangkan jumlah biaya yang dikorbankan pedagang adalah

sebesar Rp 3 767.29/kg atau 10.61 persen dari harga di tingkat pedagang akhir

atau 36.67 persen dari besarnya margin pemasaran.

Rasio keuntungan dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh

pedagang gambir yang berada di luar Sumbar yaitu sebesar 3.29. Jumlah

keuntungan yang diambil oleh pedagang di saluran pemasaran II, III dan IV

masing-masing sebesar Rp 8 426.74/kg atau 22.77 persen dari harga di tingkat

pedagang akhir, Rp 6 113.29/kg atau 17.22 persen dari harga di tingkat pedagang

akhir dan Rp 6 488.29/kg atau 17.54 persen dari harga di tingkat pedagang akhir.

Jika keuntungan tersebut dibandingkan dengan margin pemasaran masing-masing

saluran maka besarnya berturut-turut di saluran pemasaran II, III dan IV adalah

sebesar 63.27 persen, 67.93 persen dan 61.80 persen.

Sedangkan jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran pemasaran

II adalah sebesar Rp 4 892.29/kg atau 13.22 persen dari harga di tingkat pedagang

akhir atau 36.73 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio keuntungan dan

biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang pengumpul yaitu

sebesar 2.24.

Jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran pemasaran III adalah

sebesar Rp 2 886.38/kg atau 8.13 persen dari harga di tingkat pedagang akhir atau

32.07 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio keuntungan dan biaya

tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang gambir yang berada di luar
124

Sumbar yaitu sebesar 3.29. Jumlah biaya yang dikorbankan pedagang di saluran

pemasaran IV adalah sebesar Rp 4 011.38/kg atau 10.84 persen dari harga di

tingkat pedagang akhir atau 38.20 persen dari besarnya margin pemasaran. Rasio

keuntungan dan biaya tertinggi di saluran pemasaran ini diperoleh pedagang besar

yaitu sebesar 2.08.

Berdasarkan analisis margin pemasaran dan perbandingan rasio keuntungan

dan biaya yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran dalam

mendistribusikan gambir, terlihat bahwa saluran pemasaran III relatif lebih baik

dibandingkan dengan saluran lainnya. Hal ini setidaknya terlihat dari kecilnya

margin pemasaran, tingginya persentase harga jual akhir yang ikut dinikmati

petani dan relatif seimbangnya pendistribusian keuntungan dan biaya

antarlembaga pemasaran yang ada.

Saluran pemasaran II adalah saluran dengan margin pemasaran tertinggi dan

share terendah untuk petani. Walaupun demikian dikarenakan alasan yang telah

dikemukakan sebelumnya, tidak semua petani bisa menggunakan saluran

pemasaran III dalam menjual hasil panennya.

Margin pemasaran yang diterima pedagang pengumpul di saluran

pemasaran I dan II dan pedagang besar di saluran III dan IV relatif lebih tinggi

dari yang diterima oleh pedagang lainnya disebabkan aktivitas yang dilakukan

pedagang pengumpul dan pedagang besar tersebut dalam pengumpulan gambir di

wilayah sentra produksi lebih banyak. Resiko kerugian finansial yang ditanggung

juga lebih tinggi sehubungan dengan kegiatan penimbangan dan penaksiran kadar

air gambir. Hal ini akan dijelaskan lebih rinci di sub bab perilaku pasar gambir.
125

6.2.2. Perilaku Pasar Gambir

Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh

informasi mengenai perilaku partisipan dan lembaga pemasaran. Variabel yang

mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif dan sulit dikuantitatifkan. Perilaku

pasar dari masing-masing lembaga yang ada di lokasi penelitian dianalisis

berdasarkan empat indikator utama, yaitu: (1) praktek pembelian dan penjualan,

(2) proses pembentukan harga, (3) praktek dalam menjalankan fungsi pemasaran

yang sudah dibahas dalam analisis struktur pasar sub bab lembaga pemasaran,

serta (4) kerjasama antarlembaga pemasaran.

6.2.2.1. Praktek Pembelian dan Penjualan

Kecendrungan yang dijumpai dari praktek jual beli yang dilakukan petani

dan pedagang di lokasi penelitian adalah bahwa petani cenderung menjual hasil

panennya kepada pedagang lokal yang sudah dikenal baik atau minimal sudah

pernah bertransaksi sebelumnya. Hal ini terjadi karena: (1) adanya hubungan baik

dengan pedagang yang bersangkutan, (2) terbatasnya akses petani dengan

pedagang yang berasal dari daerah di luar wilayahnya, dan (3) adanya

ketergantungan modal kerja dengan pedagang yang bersangkutan terutama dalam

kegiatan pengolahan. Selain pertimbangan kenal atau tidaknya dengan siapa

petani akan bertransaksi, pertimbangan lain adalah harga yang ditawarkan

pedagang, serta pemotongan kadar air yang ditawarkan pedagang, atau dengan

kata lain pertimbangan rasional dan memberikan keuntungan tertinggi tetap

menjadi acuan petani dalam melakukan transaksi, terutama petani yang tidak

memiliki keterikatan dan perjanjian dengan pedagang tertentu.


126

Tempat petani bertransaksi atau melakukan penjualan sangat beragam,

tergantung pada beberapa faktor, yaitu: (1) kebiasaan daerah dan nagari masing-

masing petani, (2) infrastruktur jalan menuju lahan, (3) jarak dari rumah ke lahan,

serta (4) ada tidaknya peraturan di nagari yang bersangkutan sehubungan dengan

penjualan gambir.

Penimbangan atau penjualan gambir biasanya dilakukan seminggu sekali

oleh sebagian besar petani responden dan biasanya dilakukan bersamaan dengan

hari pasar tradisional di daerah yang bersangkutan. Pola perilaku jual beli gambir

ini berlaku secara umum di daerah penelitian. Setiap kecamatan biasanya

memiliki hari pasar yang dipusatkan di nagari tertentu yang berada di kecamatan

tersebut karena tidak setiap nagari memiliki pasar tradisional.

Pasar tradisional di Kecamatan Lareh Sago Halaban tersebar di 2 nagari

yaitu setiap hari Minggu, Selasa dan Rabu, di Kecamatan Harau ada 2 kenagarian

yang memiliki pasar tradisional yaitu setiap hari Senin, Selasa, Kamis dan Sabtu,

serta di Kecamatan Kapur IX semua nagari memiliki pasar tradisional dimana ada

6 hari pasar dari hari Minggu sampai Jumat (BPS, 2008b; 2008e; 2008f).

Hari pasar juga merupakan hari istirahat bagi petani pada umumnya.

Perilaku ini disebabkan karena: (1) petani memerlukan uang tunai dari hasil

panennya yang akan digunakan untuk membiayai keperluan hidup sehari-hari dan

berbelanja saat hari pasar, (2) untuk membiayai operasional modal kerja selama

pengolahan atau kegiatan mangampo dilakukan, dan (3) adanya resiko potential

loss jika petani menyimpan hasil panennya untuk dijual sekaligus di satu waktu.

Hal ini akibat tidak adanya kepastian harga untuk penjualan di minggu berikutnya

karena harga gambir selalu berfluktuasi dari minggu ke minggu.


127

Berdasarkan data survei, terdapat 42.71 persen petani yang menjual hasil

panennya di rumah, 19.79 persen petani menjual langsung di ladang ke pedagang

pengumpul, 35.42 persen petani menjual ke pasar tempat penimbangan dan

transaksi gambir yang telah ditetapkan dengan peraturan nagari setempat dan

sebanyak 2.08 persen sisanya menjual ke tempat lain seperti di antar langsung ke

rumah toke atau pedagang pengumpul setempat, seperti yang dilakukan petani di

Kenagarian Sitanang Kecamatan Lareh Sago Halaban.

Pembeli dominan adalah pedagang pengumpul di daerah tempat petani

berdomisili dan ke pedagang besar, dengan persentase masing-masingnya

berturut-turut sebesar 57.29 persen dan 42.71 persen.

Sebanyak 75 persen petani tidak memiliki ikatan apapun dengan pedagang

yang akan membeli hasil panennya dan sisanya sebanyak 25 persen petani

memiliki ikatan dengan pembelinya. Ikatan tersebut antara lain dikarenakan:

1. Pengolahan gambir yang dilakukan petani dibiayai oleh pedagang, misal untuk

biaya anak kampo dan modal kerja selama mangampo ditanggung oleh

pedagang dan pembayarannya akan dipotong nantinya dari hasil panen.

2. Petani tidak memiliki fasilitas rumah pengolahan/kampaan untuk melakukan

pengolahan.

3. Petani sudah berhutang uang sebelumnya kepada pedagang untuk membiayai

keperluannya.

4. Antara petani dengan pedagang memang sudah ada perjanjian untuk menjalin

kemitraan imbal-balik sebelumnya. Walaupun sebagian petani memiliki ikatan

dengan pembeli, tetapi sistem pembayaran yang dilakukan dalam transaksi

sepenuhnya dengan cara tunai setelah hutang piutang dikeluarkan.


128

6.2.2.2. Proses Pembentukan Harga

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses mekanisme penentuan

harga gambir diantaranya adalah tingkat kompetisi antarpelaku pasar yang salah

satunya dipengaruhi oleh bentuk struktur pasar komoditas tersebut, regulasi atau

aturan yang ada, baik dari pemerintah pusat dan daerah maupun nagari, serta

preferensi dari pembeli atau konsumen. Berdasarkan fenomena yang ada, selain

faktor di atas, komponen utama mempengaruhi harga gambir di tingkat petani

adalah:

1. Persentase Kadar Air Gambir

Semakin tinggi persentase kadar air gambir yang dihasilkan, maka harga rata-

rata per kilogram gambir yang diterima petani akan semakin rendah.

Sementara pengelolaan usahatani gambir masih tradisional yang akan

menyebabkan mutu produk yang dihasilkan akan cenderung berada dibawah

standar kualitas yang diinginkan dan ditetapkan pasar. Tuntutan akan uang

tunai supaya bisa menjual setiap minggu selama panen, maka pengeringan

selain dengan cara penjemuran alami, juga dilakukan petani di atas tungku api

untuk perebusan. Kelemahan ini sering dijadikan dasar bagi pedagang

pengumpul untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Kadar air gambir

yang berasal dari petani umumnya berkisar antara 5 – 6 persen per kilo, tetapi

dalam praktek pembelian umumnya pedagang memotong kadar air sebesar 10

sampai 15 persen.

2. Jenis Gambir yang Diperdagangkan

Sebanyak 62.5 persen petani menghasilkan gambir campur dan 37.5 persen

petani memproduksi gambir murni. Gambir campur relatif lebih berat dan
129

berwarna hitam yang biasanya dijual ke pasar luar negeri (untuk ekspor).

Sedangkan gambir murni jauh lebih ringan dan berwarna kuning kecoklatan.

Jenis gambir ini umumnya dipasarkan di dalam negeri untuk konsumsi

langsung atau industri tertentu, sebagiannya ada juga yang di ekspor.

Perbandingan berat gambir murni dengan gambir campur per karungnya

berturut-turut 40 – 50 kg/karung dan 80 – 90 kg/karung. Walaupun dari segi

berat gambir murni lebih ringan dari gambir campur, tetapi dari segi harga

biasanya gambir murni sedikit lebih mahal harga per kilogramnya

dibandingkan gambir campur.

3. Harga di Tingkat Eksportir atau Pedagang Besar

Harga yang ditentukan eksportir cendrung mengacu pada harga gambir

sebelumnya dan akan tetap selama jumlah kontrak antara eksportir dengan

pembeli atau importir di luar negeri belum terpenuhi. Kontrak/perjanjian

perdagangan biasanya sudah dibuat terlebih dahulu dan pembelian ke petani

baru dilakukan setelahnya. Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna

dimana rantai pemasaran gambir dikuasai oleh sedikit pedagang besar akan

memungkinkan terjadinya praktek kolusi dalam penentuan harga dalam

transaksi jual beli gambir.

4. Waktu Penjualan

Penimbangan untuk penjualan yang dilakukan disaat pagi, siang atau

menjelang sore berpengaruh terhadap harga pembelian. Harga di pagi hari saat

hari pasar tradisional biasanya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan

harga disaat siang dan sore hari, karena di pagi hari ada tuntutan yang sangat

mendesak bagi petani akan uang tunai yang digunakan untuk berbelanja
130

keperluannya. Kasus seperti ini dijumpai di lokasi penelitian di Kecamatan

Harau. Di Kecamatan Kapur IX hal tersebut tidak berlaku karena sudah ada

peraturan nagari yang baku dalam mengatur tempat dan hari penimbangan

yang semuanya sudah dikelola oleh nagari. Justru penawaran harga tertinggi di

peroleh saat awal transaksi sudah dibuka secara resmi oleh aparatur nagari.

Semakin lama gambir dijual maka penawaran harga akan cenderung lebih

rendah karena persediaan uang tunai pedagang sudah jauh berkurang.

Ada perilaku yang berbeda dalam praktek jual beli gambir diantara

kecamatan sampel dikarenakan perbedaan infrastruktur jalan, jarak lahan ke

rumah dan ketergantungan kepada pemodal. Rata-rata petani yang tidak memiliki

rumah pengolahan gambir tertinggi adalah di lokasi penelitian di Kecamatan

Lareh Sago Halaban, dimana hanya 33.33 persen responden yang memiliki rumah

pengolahan sendiri. Oleh karena itu tingkat ketergantungan petani kepada

pedagang pengumpul cenderung lebih tinggi di kecamatan ini. Sedangkan di

Kecamatan Harau dan Kapur IX umumnya petani sudah memiliki rumah

pengolahan sendiri.

6.2.2.3. Kerjasama Antarlembaga Pemasaran

Petani yang membutuhkan modal biasanya meminjam kepada pedagang

pengumpul tanpa beban bunga. Pengembalian biasanya dilakukan pada saat panen

gambir dengan cara mengurangi dari hasil panen yang dibayarkan kepada petani.

Hal ini akan mengikat petani sehingga harus menjual hasil panennya kepada

pedagang pengumpul. Modal yang dimiliki pedagang pengumpul berasal dari

pinjaman yang diberikan oleh pedagang yang berada di atasnya (pedagang


131

besar/eksportir). Pinjaman biasanya tanpa bunga dan tanpa adanya suatu ikatan

hukum, hanya berdasarkan kepercayaan dan hubungan yang sudah lama terjalin.

Jadi bentuk kerjasama yang terjadi di antara lembaga pemasaran yang terlibat

dalam pemasaran gambir berdasarkan hubungan kepercayaan dengan adanya

keterikatan dalam bentuk modal.

6.2.3. Kinerja Pasar Gambir

Kinerja pasar sangat dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar. Indikator

yang dijadikan ukuran untuk menilai kinerja pasar gambir di lokasi penelitian,

yaitu: (1) untuk efisiensi operasional yang merupakan ukuran dari biaya minimum

biaya pemasaran untuk menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen

dinilai dengan ukuran margin pemasaran yang sudah dibahas langsung dalam

analisis efisiensi saluran/lembaga pemasaran, serta besarnya bagian harga yang

diterima petani/farmer’s share, dan (2) untuk efisiensi harga yang menyangkut

ukuran keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke

konsumen yang disebabkan oleh adanya perbedaan kegunaan tempat, bentuk,

waktu dan kepemilikan, analisisnya mencakup tingkat integrasi/keterpaduan pasar

gambir dan nilai elastisitas transmisi harga.

6.2.3.1. Bagian Harga yang Diterima Petani

Bagian harga yang diterima petani adalah bagian harga yang dibayarkan

oleh konsumen (dalam hal ini pedagang akhir dan eksportir) yang dapat dinikmati

oleh petani sebagai produsen. Besarnya farmer’s share secara umum dipengaruhi

oleh saluran pemasaran, semakin panjang saluran akan menyebabkan biaya dan
132

keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga pemasaran bertambah sehingga

margin bertambah besar. Semakin besar margin pemasaran maka bagian harga

yang diterima petani akan semakin kecil seperti yang terjadi pada saluran

pemasaran II. Selain itu untuk komoditas pertanian faktor tingkat pengolahan

yang dilakukan petani, biaya transportasi, keawetan dan mutu serta jumlah

produksi juga akan berpengaruh pada farmer’s share. Berikut ini gambaran

besarnya bagian harga yang diterima oleh petani pada setiap saluran pemasaran

gambir di lokasi penelitian.

Tabel 16. Farmer’s Share Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tahun 2009

Saluran Saluran Saluran Saluran


Pelaku Pasar Pemasaran I Pemasaran II Pemasaran III Pemasaran IV

Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg %

1. Petani 23 680.97 66.71 23 680.97 64.00 26 500.33 74.65 26 500.33 71.62

2. Pedagang 30 045.45 84.64 30 045.45 81.20


Pengumpul
3. Pedagang 34 000 95.77 33 000 89.19 34 000 95.77 33 000 89.19
Besar
4. Pedagang
di luar 35 500 100 35 500 100
Sumbar
5. Eksportir 37 000 100 37 000 100
Lokal

Hasil analisis menunjukkan bahwa saluran pemasaran III dan IV

memberikan bagian harga yang diterima petani lebih tinggi yaitu sebesar 74.65

dan 71.62 persen bila dibandingkan dengan saluran pemasaran I dan II yang hanya

sebesar 66.71 persen dan 64 persen. Jumlah lembaga pemasaran yang terlibat

dalam saluran pemasaran I dan II lebih banyak dari saluran III dan IV dikarenakan

di saluran ini tidak memakai perantara pedagang pengumpul. Kondisi tersebut di


133

atas menyebabkan saluran pemasaran III dan IV mempunyai nilai margin

pemasaran yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan saluran lainnya yaitu

sebesar Rp 8 999.67/kg dan saluran IV marginnya sebesar Rp 10 499.67/kg.

Saluran pemasaran III dengan demikian bisa dikatakan relatif lebih efisien

bagi petani jika dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya karena bagian

harga yang diterima petani lebih tinggi dan bisa menjual dengan biaya pemasaran

dan keuntungan yang diambil oleh pedagang dengan lebih rendah. Hanya saja

tidak semua petani bisa memilih saluran pemasaran III dalam memasarkan hasil

panennya, hanya 42.71 persen petani yang bisa menggunakan saluran ini dengan

langsung melibatkan pedagang besar, kemudian ke pedagang yang berada di luar

Provinsi Sumatera Barat (75 persen).

Beberapa penyebabnya adalah karena: (1) sebanyak 25 persen petani

memiliki ikatan dengan pedagang sehingga harus menjual ke pedagang tersebut,

(2) volume penjualan gambir yang ditransaksikan, semakin kecil volume maka

petani cenderung menjual ke pedagang pengumpul, (3) kondisi geografis

menyangkut jalan dan jarak yang tidak memungkinkan pedagang tertentu masuk

ke suatu daerah, (4) adanya perjanjian wilayah operasional antarpedagang, serta

(5) adanya perjanjian dan ikatan menyangkut modal, kerjasama dan hubungan

baik antarpedagang. Kondisi di atas mencerminkan bahwa perilaku pasar juga

menjadi faktor penekan posisi tawar petani ketika berhadapan dengan pedagang.

6.2.3.2. Keterpaduan Pasar dan Elastisitas Transmisi Harga

Integrasi atau keterpaduan pasar berguna untuk melihat keeratan hubungan

pasar dengan pasar lain yang menjadi rujukan (yang mempengaruhinya), yang
134

dilihat berdasarkan pergerakan harga yang berhubungan dengan dua pasar atau

lebih. Model yang digunakan untuk menganalisis aspek keterpaduan pasar dalam

penelitian ini adalah model yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan

Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan bedakala (lag) bersebaran

autoregresive antara harga di tingkat petani dengan harga di pasar acuan yaitu

harga ditingkat eksportir. Data yang digunakan untuk analisis integrasi dan

elastisitas transmisi adalah data time series tahun 1994 – 2007.

Uji statistik terhadap kesesuaian model diperoleh nilai F hitung sangat nyata

pada taraf kepercayaan 99 persen (α = 1 persen) yang mengindikasikan bahwa

model cukup baik karena variabel bebas dapat menjelaskan keragaman variabel

terikat. Keragaman harga gambir di tingkat petani (Pft) dapat dijelaskan oleh

keragaman variabel bebas yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi

sebesar 98.6 persen dan sisanya sebanyak 1.4 persen dijelaskan oleh faktor lain di

luar model. R2 – adjusted sebesar 98.18 persen.

Pengujian statistik dilanjutkan dengan uji-t pada masing-masing variabel

independen, untuk menguji faktor apa saja yang dapat menjelaskan atau

berpengaruh nyata terhadap harga gambir di tingkat petani. Hanya satu variabel

yang signifikan pada taraf nyata pengujian α 1 persen, yaitu variabel Pft-1 atau

bedakala satu tahun harga gambir di tingkat petani. Variabel independen lainnya

tidak berpengaruh nyata pada harga gambir di tingkat petani. Selisih harga gambir

di tingkat eksportir (DPe) hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi ditoleransi

pada tingkat α 25 persen, sedangkan bedakala harga gambir di tingkat eksportir

(Pet-1) hanya berpengaruh jika tingkat signifikansi ditoleransi pada tingkat α 45

persen.
135

Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa model autoregresive

distributed lag antara harga gambir di tingkat petani dengan harga gambir di

ditingkat eksportir dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terjadi kesalahan

spesifikasi. Model dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi

keragaman harga gambir di tingkat petani.

Tabel 17. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di Kabupaten


Lima Puluh Kota Tahun 2009

Parameter P_value
Variabel Bebas
Dugaan (Significance)
Bedakala harga gambir di tingkat petani (Pft-1) 0.92842 0.0001 ***
Selisih harga gambir di tingkat eksportir (DPe) 0.06519 0.2204
Bedakala harga gambir di tingkat eksportir (Pet-1) 0.06707 0.4150
F – hitung 235.31 0.0001 ***
Koefisien determinasi (R2) 0.9860
R2 – adjusted 0.9818
IMC 13.851

Pft = 0.928 Pft-1 + 0.065 (Pet - Pet-1) + 0.067 Pet-1 .................(23)

Nilai koefisien sebesar 0.065 pada Persamaan (23) menunjukkan nilai b2

yang merupakan nilai elastisitas transmisi harga yaitu seberapa jauh perubahan

harga di tingkat eksportir di transmisikan ke tingkat petani. Semakin dekat nilai

parameter b2 dengan 1 maka akan semakin baik keterpaduan pasar. Nilai dugaan

parameter b2 dari hasil analisis di atas, berarti bahwa jika terjadi perubahan harga

sebesar 10 satuan harga (rupiah) di tingkat eksportir, maka perubahan harga yang

akan diteruskan sampai ke tingkat petani hanya sebesar 0.65 rupiah saja, cateris

paribus. Hal ini mencerminkan tidak simetrisnya transmisi harga oleh pihak

eksportir atau dengan perkataan lain, terjadinya perubahan harga di tingkat

eksportir tidak ditransmisikan secara sempurna ke tingkat petani.


136

Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa kontribusi harga pada periode

sebelumnya, baik di tingkat petani maupun di tingkat eksportir, terhadap harga

yang berlaku sekarang di tingkat petani memiliki nilai kurang dari satu. Hal ini

menunjukkan bahwa pengaruh harga yang berlaku di tingkat petani pada periode

sebelumnya, berpengaruh lebih besar terhadap pembentukan harga di tingkat

petani yang berlaku saat ini, dibandingkan dengan pengaruh harga di tingkat

eksportir pada periode sebelumnya. Pengaruh harga yang berlaku di tingkat petani

pada periode sebelumnya terhadap pembentukan harga pasar di tingkat petani saat

ini adalah sebesar 0.928. Sedangkan pengaruh perubahan harga yang berlaku di

tingkat eksportir pada periode sebelumnya terhadap pembentukan harga di tingkat

petani yang berlaku saat ini juga kurang dari satu, hanya saja pengaruhnya jauh

lebih kecil, yaitu sebesar 0.067. Hal ini mengindikasikan bahwa ada stok tertentu

yang disimpan di gudang oleh pedagang sampai pada tingkatan jumlah tertentu

sebelum gambir dijual lagi ke pedagang yang berada di atasnya sesuai dengan

besarnya kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

Perbandingan antara koefisien pengaruh harga pasar lokal di tingkat petani

dengan pengaruh harga pasar acuan di tingkat eksportir pada periode sebelumnya,

akan menunjukkan tinggi rendahnya tingkat keterpaduan antara kedua pasar yang

dicerminkan oleh besarnya Index of Market Connection (IMC). Nilai IMC yang

semakin mendekati nol menunjukkan semakin baiknya integrasi pasar, atau

dengan kata lain terjadi integrasi jangka panjang antarpasar lokal di tingkat petani

dengan pasar acuan di tingkat eksportir.

Hasil analisis memperlihatkan nilai IMC pasar komoditas gambir sangat

tinggi yaitu 13.851, artinya pasar di tingkat petani dan eksportir belum terintegrasi
137

dengan baik. Integrasi pasar yang terjadi lemah. Pasar dalam kondisi persaingan

tidak sempurna dan sistem pemasaran gambir tidak efisien. Ini juga berarti dalam

praktek penentuan harga komoditas gambir, perubahan harga hanya sedikit yang

diteruskan oleh eksportir sampai ke tingkat petani. Perubahan harga pada tingkat

eksportir tidak ditransmisikan secara sempurna pada petani.

Koefisien korelasi harga di tingkat produsen dan harga di tingkat konsumen

dapat juga dipakai untuk melihat tingkat persaingan dan integrasi antara dua

tingkat pasar (integrasi vertikal). Koefisien korelasi sebagai indikasi adanya

integrasi pasar dapat dipakai sebagai ukuran struktur pasar yang efisien (Rahim

dan Retno, 2007).

Tabel 18. Tingkat Hubungan Integrasi Pasar dalam Analisis Korelasi

Nilai r Kriteria Hubungan Integrasi Pasar


0 Tidak ada korelasi Tidak sempurna
0 – 0.5 Korelasi lemah Tidak sempurna
> 0.5 – 0.8 Korelasi sedang Tidak sempurna
> 0.8 – 0.9 Korelasi kuat Tidak sempurna
1 Korelasi sempurna Sempurna
Sumber: Rahim dan Retno (2007)

Integrasi pasar komoditas gambir berdasarkan analisis korelasi adalah tidak

sempurna dengan kriteria hubungan berkorelasi sedang. Nilai korelasi antara

harga gambir di tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat eksportir (Pe) dari data

time series tahun 1994 - 2007 dengan Pearson correlation’s adalah 0.635 pada

taraf nyata pengujian 5 persen (P value 0.015).

Implikasi lain dari besaran nilai IMC dan nilai korelasi adalah, faktor yang

menjadi penentu bagi pembentukan harga gambir yang berlaku saat ini di tingkat

petani adalah harga gambir yang berlaku pada periode sebelumnya pada tingkat
138

petani. Kondisi ini sejalan dengan praktek pembentukan harga gambir di lokasi

penelitian, dimana harga gambir saat ini biasanya mengacu pada harga gambir

saat panen sebelumnya. Eksportir atau pedagang besar yang menentukan harga.

Harga gambir relatif stagnan dari tahun ke tahun. Hal ini salah satunya diduga

karena eksportir sudah mengadakan perjanjian/kontrak terlebih dahulu dengan

pembeli atau importir di luar negeri, maka harga yang ditentukan eksportir

cendrung mengacu pada harga gambir sebelumnya dan akan tetap selama jumlah

kontrak belum terpenuhi. Struktur pasar yang tidak bersaing sempurna dimana

rantai pemasaran gambir dikuasai oleh sedikit pedagang besar akan

memungkinkan terjadinya praktek kolusi dalam penentuan harga dalam transaksi

jual beli gambir.

Posisi tawar petani dalam pembentukan harga sangat lemah. Petani hanya

bertindak sebagai penerima harga dari pedagang. Penyebab kondisi di atas adalah:

(1) kondisi pasar gambir tidak bersaingan, struktur yang terbentuk di pasar gambir

Lima Puluh Kota adalah pasar oligopsoni, dalam kondisi tersebut tidak akan ada

harga terbaik bagi petani karena daya tawar petani sangat rendah dalam

menghadapi pedagang, (2) kondisi fisik lokasi sentra produksi usahatani gambir

yang banyak berada di daerah pedesaan yang relatif terpencil dan relatif terbatas

infrastrukturnya sehingga terjadi kesenjangan informasi dan teknologi di tingkat

petani, yang membuat eksportir bisa mengendalikan, menentukan dan menetapkan

harga dalam transaksi jual beli gambir, (3) lokasi konsumen akhir berada sangat

jauh dari sentra produksi, Pelabuhan Teluk Bayur sebagai pelabuhan bagi

eksportir lokal yang merupakan pasar acuan dalam analisis ini juga relatif jauh

dari sentra produksi gambir, dan (4) secara kelembagaan, petani di lokasi
139

penelitian belum terorgasisasi dengan baik, hanya 23.96 persen petani yang

tergabung dalam kelompok tani dan semua responden tidak ada yang menjadi

anggota koperasi, walaupun di Kecamatan Kapur IX sebagai lokasi penelitian

memiliki koperasi khusus petani gambir. Kelompok tani yang ada pun

aktivitasnya terbatas pada kegiatan arisan, sosial kemasyarakatan dan gotong

royong di lahan anggota secara bergiliran, sehingga keberadaan kelompok tani

menjadi tidak terberdayakan, petani tidak lebih dari individu (bukan kesatuan

individu) pemasok bahan baku bagi pedagang.

6.3. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan penjabaran hasil analisis terhadap aspek produksi dan

pemasaran komoditas gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota seperti yang telah

diuraikan di atas, ada beberapa implikasi yang dapat dipertimbangkan oleh

pengambil kebijakan dan pihak terkait, yaitu sebagai berikut:

1. Mengingat input tetap luas lahan dalam pemanfaatannya sudah tidak efisien

lagi, faktor-faktor yang menjadi determinan produksi dalam usahatani gambir

dan adanya keterbatasan dalam penggunaan lahan di masa depan, maka harus

ada kebijakan yang bersifat pembatasan penambahan luas areal untuk

usahatani gambir. Upaya lain dengan menggunakan pendekatan intensifikasi

usahatani dapat mengoptimalkan tingkat efisiensi alokasi dari penggunaan

lahan yang ada sekarang. Karena itu kebijakan penggunaan input yang

berpengaruh secara nyata pada produksi seperti tenaga kerja, jumlah tanaman

gambir yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida, harus

dioptimalkan.
140

2. Pemakaian bibit yang seragam dari jenis unggul, disamping perbaikan

teknologi terutama dalam pengolahan dan penanganan pascapanen yang lebih

efektif dan efisien perlu diupayakan dalam jangka panjang oleh pihak terkait.

Sehingga bisa menjamin ketersediaan bibit jenis unggul yang mudah didapat

dan terjangkau oleh petani. Produk yang homogen dari segi mutu dan

terstandar akan membuat pasar menjadi lebih bersaing sehingga manipulasi

kualitas gambir menjadi berkurang dan penyempurnaan informasi harga yang

transparan dapat diwujudkan. Selain itu informasi mengenai karakteristik dan

mutu gambir yang dibutuhkan oleh konsumen akhir atau industri yang

menggunakan gambir sebagai bahan baku harus dapat diusahakan sampai

dengan jelas dan diaplikasikan dengan baik sampai di tingkat petani produsen.

3. Perlunya peningkatan dalam sosialisasi dan penyuluhan dari dinas terkait

kepada petani mengenai intensifikasi dalam usahatani gambir dan penggunaan

input dalam produksi, terutama pengaplikasian pupuk secara tepat untuk

pupuk buatan maupun pupuk organik, dan pestisida, sehingga kedua input ini

bisa dialokasikan dengan optimal oleh petani guna meningkatkan keuntungan

dalam usahatani gambir. Pemerintah dan pihak terkait di daerah penelitian bisa

memfasilitasi ketersediaan pupuk bagi petani produsen gambir melalui

perangkat nagari di setiap daerah sentra produksi.

4. Perlunya upaya untuk meningkatkan posisi tawar petani guna mengantisipasi

tingginya fluktuasi harga gambir di tingkat petani. Pembinaan, penguatan dan

pemberdayaan kelompok tani yang sudah ada yang diarahkan untuk

memperbaiki kinerja produksi dan pemasaran gambir agar lebih efisien.

Sehingga selain membantu kelancaran kegiatan produksi dan distribusi yang


141

dihasilkan dan dibutuhkan anggotanya, kelompok tani ini juga hendaknya bisa

diberdayakan untuk membangun kebersamaan yang solid guna meningkatkan

kesejahteraan petani yang menjadi anggotanya. Salah satu caranya dapat

dilakukan dengan pembentukan semacam lembaga, misalnya asosiasi petani

atau koperasi produsen yang memiliki jaringan kerjasama kelembagaan

diseluruh daerah sentra produksi, supaya pasar gambir dapat terintegrasi

secara horizontal. Secara kelembagaan lembaga ini harus formal dan didukung

oleh petani sehingga keberadaannya diakui oleh semua pihak yang

berkepentingan. Tantangan ini tentunya tidak mudah sehingga lembaga yang

menghimpun produsen/petani tersebut tidak hanya difungsikan sebagai

pesaing bagi pedagang saja.


VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil pembahasan mengenai analisis

produksi dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dapat disimpulan

bahwa:

1. Faktor-faktor yang menjadi determinan produksi dalam usahatani gambir

perkebunan rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota yang berpengaruh secara

nyata sebagai input adalah tenaga kerja, luas lahan, jumlah tanaman gambir

yang menghasilkan, umur tanaman dan penggunaan pestisida dalam

pengendalian hama dan penyakit. Pengalaman petani dalam berusahatani

gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat produksi

secara nyata. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap tingkat

produksi, kecuali luas lahan dan pengalaman petani dalam berusahatani.

Faktor lain yang berpengaruh secara tidak langsung pada tingkat produktivitas

lahan dalam usahatani gambir adalah jarak tanam dan cara penanaman. Faktor

sosial ekonomi lain yang berpengaruh pada tingkat produksi gambir baik

secara langsung maupun tidak adalah usia petani, lama pendidikan dan

teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan gambir.

2. Pengalokasian input tenaga kerja, pupuk kimia (Urea) dan pestisida belum

efisien. Pemakaian ketiga input tersebut masih bisa ditingkatkan atau

ditambah penggunaannya guna memaksimalkan keuntungan dalam usahatani

gambir, terutama pemakaian pupuk kimia dan pestisida yang jumlah

pengalokasiannya relatif masih sangat sedikit. Penyebab utamanya adalah


143

kondisi petani yang tidak memiliki cukup insentif untuk membeli pupuk dan

pestisida karena fluktuasi harga gambir di tingkat petani sangat tinggi

sehingga tidak ada kepastian dalam berusahatani. Input tetap luas lahan dalam

pemanfaatannya sudah tidak efisien lagi. Hal ini tidak berarti petani harus

mengurangi penggunaan lahan untuk mencapai efisiensi ataupun menambah

luas lahan lagi untuk meningkatkan hasil produksi gambir, karena dengan

lahan yang sudah ada sekarang pemanfaatannya belum optimal.

3. Struktur pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah weak oligopsony

market structure atau pasar persaingan tidak sempurna. Hal ini ditandai oleh

sangat tidak seimbangnya rasio petani dan pedagang yang ditunjukkan oleh

tingginya derajat konsentrasi pasar, serta ada indikasi tingginya hambatan

untuk masuk pasar bagi pedagang baru yang tergambar dari tingginya nilai

MES. Perilaku pasar sangat dipengaruhi oleh bentuk struktur pasar yang

sekarang berlaku sehingga menyebabkan peran pedagang dan eksportir dalam

menentukan harga relatif kuat dan dominan jika dibandingkan dengan petani

yang memiliki daya tawar yang rendah dalam mempengaruhi harga.

Kecenderungan perilaku yang menyebabkan kondisi di atas antara lain: petani

tersebar di berbagai wilayah dengan waktu panen yang sangat beragam,

tempat penjualan tersebar, transaksi jual beli tidak serentak dan cenderung

pada pedagang yang sama, jumlah yang dipanen masing-masing petani relatif

sedikit, sebagian petani masih terikat dengan pedagang tertentu karena

keterbatasan modal, produk yang dihasilkan relatif beragam dan belum adanya

standarisasi produk di tingkat petani yang mengarah pada perbaikan mutu,

sedangkan pasar akhir gambir atau konsumen akhir sebagian besarnya berada
144

di tempat yang sangat jauh dari sentra produksi. Kinerja pemasaran gambir di

Kabupaten Lima Puluh Kota belum efisien. Hal ini terlihat berdasarkan

indikator adanya kolusi antar pedagang di tingkat pasar yang berbeda dalam

menentukan harga sehingga harga yang terjadi pada pasar eksportir tidak

ditransmisikan secara sempurna pada tingkat petani, serta pasar di tingkat

petani dan eksportir belum terintegrasi dengan baik dimana integrasi pasar

yang terjadi lemah. Kondisi tersebut mengakibatkan tidak akan ada harga

terbaik yang akan berlaku bagi petani, walaupun kinerja pasar gambir

berdasarkan indikator margin pemasaran dari lembaga yang terlibat dalam

saluran pemasaran gambir relatif adil dan seimbang dalam pendistribusiannya

dan rasio harga yang diterima petani relatif tinggi. Akhirnya hal tersebut di

atas berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani.

7.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai produktivitas gambir yang menganalisis

penggunaan pupuk antara petani yang intensif menggunakan pupuk kimia,

intensif pupuk organik, kombinasi keduanya dan tanpa pemupukan, sehingga

diperoleh gambaran dan perbandingan yang lebih baik dan memadai untuk

membuat kesimpulan tentang pengaruh pemupukan pada produksi gambir.

2. Mengingat gambir adalah komoditas ekspor, maka perlu dilakukan penelitian

yang membahas tentang aspek permintaan dan penawaran gambir oleh industri

yang melakukan pengolahan lebih lanjut pada gambir mentah yang diproduksi

petani produsen, guna mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai

pasar gambir di tingkat yang lebih luas dan kemungkinan pengembangan

produk dan pasar komoditas gambir di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, R. 2003. Analisis Fungsi Produksi Usahatani Ubikayu dan Industri


Tepung Tapioka Rakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, 6(2): 131-140.

Badan Pusat Statistik. 2003. Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran


Rumahtangga Kabupaten Lima Puluh Kota. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2007a. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Badan


Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2007b. Sumatera Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik


Sumatera Barat, Padang.

________________. 2008a. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam Angka. Badan


Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2008b. Kecamatan Kapur IX dalam Angka. Badan Pusat


Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

________________. 2008c. Ringkasan Eksekutif: Analisis Perkembangan Sektor


Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Lima Puluh Kota, Sarilamak.

_________________. 2008d. Statistik Perdagangan Luar Negeri Sumatera Barat:


Ekspor - Impor. Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, Padang.

_________________. 2008e. Kecamatan Lareh Sago Halaban dalam Angka.


Badan Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

_________________. 2008f. Kecamatan Harau dalam Angka. Badan Pusat


Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota, Sarilamak.

Cramer, G.L., C.W. Jensen and D.D. Southgate, Jr. 1997. Agricultural Economics
and Agribusiness. Seventh Edition. John Wiley & Sons, New York.

Dahl, D.C. and J.W. Hammond. 1977. Marketing and Price Analysis: The
Agriculture Industries. Macgraw Hill Book Company, New York.

Debertin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan Publishing


Company, New York.
146

Dessalegn, G., T.S. Jayne and J.D. Shaffer. 1998. Market Structure, Conduct and
Performance: Constraints on Performance of Ethiopian Grain Markets.
Working Paper. Grain Market Research Project. Ministry of Economic
Development and Cooperation, Addis Ababa.

Dhalimi, A. 2006. Roadmap Penelitian dan Pengkajian Sistem dan Usaha


Agribisnis Gambir di Sumatera Barat. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 9(1): 87-99.

Djauhari, A. 1999. Pendekatan Fungsi Cobb-Douglas dengan Elastisitas Variabel


dalam Studi Ekonomi Produksi: Suatu Contoh Aplikasi pada Padi Sawah.
Jurnal Informatika Pertanian, 8(3): 507-516.

Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Applications.
John Wiley and Son, New York.

Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Terjemahan.


Edisi Kedua. Erlangga, Jakarta.

Ermiati. 2004. Budidaya, Pengolahan Hasil dan Kelayakan Usahatani Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Buletin TRO, 15(1): 50-64.

Firdaus, M., R. Oktaviani, A. Asmara dan Sahara. 2008. Analisis Struktur,


Perilaku dan Kinerja Industri Manufaktur di Indonesia. Working Paper
Series. Nomor 04/A/III/2008. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

George, P.S. and G.A. King. 1971. Consumer Demand for Food Commodities in
The United States with Projection for 1980. Giannini Foundation
Monograph Number 26. Department of Agricultural and Resource
Economics, University of California, Davis.

Harsoyo, Y. 2003. Analisis Efisiensi Produksi dan Pemasaran Komoditi Salak


Pondoh di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis Magister Sains.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hasiholan, B. 2005. Analisis Fungsi Produksi Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten


Serdang Bedagai. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas
Sumatera Utara, Medan.

Heytens, P.J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies,
20(1): 25-41.

Hukama, L.A. 2003. Analisis Pemasaran Jambu Mete: Studi Kasus Kabupaten
Buton dan Muna. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
147

Irawan dan Sudjoni. 2001. Pemasaran: Prinsip dan Kasus. Edisi Kedua. Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Jaya, W.K. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Institut
Pertanian Bogor Press, Bogor.

Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth
Edition. Prentice Hall, New Jersey.

Kurniawan, I. 2003. Analisis Kelembagaan Pemasaran Gaharu di Kalimantan


Timur. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Lamb, C.W., J.F. Hair dan M. Daniel. 2001. Pemasaran. Terjemahan. Salemba
Empat, Jakarta.

Lau, L.J. and P.A. Yotopoulus. 1971. A Test for Relative Efficiency and
Application to Indian Agricultural. American Economic Review, 61(1): 94-
109.

Mason, E. 1939. Price and Production Policies of Large-Scales Enterprises.


American Economic Review, 29(2): 61-74.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian Pendidikan


dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.

Nazir, N. 2000. Gambir: Budidaya, Pengolahan dan Prospek Diversifikasinya.


Yayasan Hutanku, Padang.

________. R. Hakimi dan A. Bakhtiar. 2007. Kajian Teknologi Pengolahan


Gambir untuk Obat-obatan dan Kosmetik. Balai Penelitian dan
Pengembangan Daerah Sumatera Barat, Padang.

Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan.


Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta.

Parel, C.P., G.C. Caldito, P.L. Ferrer, G.G. Degusman, C.S. Sinsioco and R.H.
Tan. 1973. Sampling Design and Procedures. Philippine Social Science
Council, Quezon City.

Purcell, W.D. 1979. Agricultural Marketing: System, Coordination, Cash and


Future Price. A Prentice Hall Company, Virginia.

Rahim, A. dan D.R.D. Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian: Pengantar Teori dan
Kasus. Penebar Swadaya, Jakarta.
148

Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural


Economics, 68(1): 102-109.

Rusastra, I.W., B. Rachman, Sumedi dan T. Sudaryanto. 2003. Struktur Pasar dan
Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sahara, D., Yusuf dan Sahardi. 2004. Pengaruh Faktor Produksi pada Usahatani
Lada di Sulawesi Tenggara: Kasus Integrasi Lada-Ternak di Kecamatan
Landono Kabupaten Kendari. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 7(2): 139-145.

_________. dan Sahardi. 2005. Efisiensi Faktor Produksi Lada pada Pola
Usahatani Integrasi dan Pola Tradisional di Sulawesi Tenggara. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8(2): 242-249.

_________. dan Idris. 2005. Efisiensi Produksi Sistem Usahatani Padi pada Lahan
Sawah Irigasi Teknis. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tenggara, Kendari.

_________. Z. Abidin dan A. Syam. 2006. Profil Usahatani dan Analisis Produksi
Kakao di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 9(2): 154-161.

Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Andi, Yogyakarta.

Simamora, B. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Gramedia, Jakarta.

Slameto. 2003. Analisis Produksi, Penawaran dan Pemasaran Kakao di Daerah


Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan Lampung. Tesis Magister
Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soekartawi, A. Soehardjo, J.L. Dillon dan J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani
dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia
Press, Jakarta.

Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

_________. 2003. Teori Ekonomi Produksi: Pokok Bahasan Analisis Fungsi


Cobb-Douglas. Raja Grafindo Rajawali Press, Jakarta.

Suciaty, T. 2004. Efisiensi Faktor-faktor Produksi dalam Usahatani Bawang


Merah. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian, Universitas Swadaya
Gunung Djati, Cirebon.
149

Sukiyono, K. 2004. Analisa Fungsi Produksi dan Efisiensi Teknik: Aplikasi


Fungsi Produksi Frontier pada Usahatani Cabai Merah di Kecamatan Selupu
Rejang Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia,
6(2): 104-110.

Tinambunan, A. 2007. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Gambir di


Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara. Tesis Magister Sains.
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Tomek, W. and K.L. Robinson. 1977. Agricultural Product Prices. Third Edition.
Cornel University Press, Ithaca.

Yekti, A. 2004. Efisiensi Usahatani Melon di Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten.


Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.

Yuhono, J.T. 2004. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Gambir. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Buletin TRO, 15(2): 9-21.
LAMPIRAN
151

Lampiran 1. Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi Komoditas


Gambir dengan Uji Statistik F dan Uji t

FUNGSI PRODUKSI COBB - DOUGLAS

The REG Procedure


Ordinary Least Squares Estimation
Model FUNCTION

Dependent Variable LNY

Number of Observations Read 133

Number of Observations Used 133

Uji F

Analysis of Variance

Source DF Sum of Mean F Value Pr > F


Squares Square

Model 12 92.30232 7.69186 150.12 <.0001

Error 120 6.14856 0.05124

Corrected Total 132 98.45088

Kesimpulan: Berdasarkan uji F nilai P (0,000) < alpha 5% artinya tolak H0


dimana minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh
nyata terhadap Y

Koefisien Determinasi Model:

Root MSE 0.22636 R-Square 0.9375

Dependent Mean 6.65764 Adj R-Sq 0.9313

Coeff Var 3.39998


152

Lampiran 1. Lanjutan

Uji t

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard t Value Pr > |t| Variance


Estimate Error Inflation

Intercept 1 2.17898 0.42338 5.15 <.0001 0

LNX1 1 0.98401 0.04969 19.80 <.0001 4.06094

LNX2 1 -0.24430 0.06241 -3.91 0.0002 3.63293

LNX3 1 0.13962 0.06722 2.08 0.0399 4.47590

LNX4 1 0.11996 0.04417 2.72 0.0076 2.94422

LNX5 1 -0.09065 0.04783 -1.90 0.0605 3.20929

LNX6 1 0.02010 0.01345 1.50 0.1375 1.64178

LNX7 1 0.09638 0.04175 2.31 0.0227 1.94911

D1 1 0.00948 0.04391 0.22 0.8295 1.25036

D2 1 0.19281 0.05407 3.57 0.0005 1.75062

D3 1 0.05039 0.05165 0.98 0.3312 1.56650

D4 1 0.19301 0.04877 3.96 0.0001 1.49742

D5 1 -0.05349 0.12193 -0.44 0.6617 1.12566


153

Lampiran 2. Hasil Uji Asumsi OLS pada Model Fungsi Produksi Komoditas
Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

1. Normplot of Residuals for LNY


UJI KENORMALAN
H0 : Galat menyebar Normal
H1 : Galat tidak menyebar Normal

k e n o r m a la n
Norm al
9 9 ,9
M ean 1 ,9 3 6 6 3 0 E - 1 6
S tD e v 0 ,2 1 5 8
99
N 1 3 3
KS 0 ,0 5 3
95 P - V a lu e > 0 ,1 5 0
90

8 0
7 0
Pe r ce n t

6 0
5 0
4 0
3 0
2 0
10
5

0 ,1
-0 ,5 0 -0 ,2 5 0 ,0 0 0 ,2 5 0 ,5 0 0 ,7 5
R ES I 1

Kesimpulan : karena nilai p > alpha 5% artinya terima H0  galat sudah


menyebar normal

2. Residuals vs Fits for LNY


Uji Heteroskedastisitas

Residuals Ver sus t he Fit t ed Values


( r esponse is LNY)
0,75

0,50

0,25
Residual

0,00

- 0,25

- 0,50

4 5 6 7 8
Fit t e d Va lue
154

Lampiran 2. Lanjutan

The regression equation is


|Ut| = 0,362 - 0,0437 LNX1 - 0,0349 LNX2 + 0,0327 LNX3 + 0,0287 LNX4
- 0,0046 LNX5 - 0,00034 LNX6 + 0,0253 LNX7 + 0,0209 D1 + 0,0639 D2
- 0,0294 D3 + 0,0236 D4 - 0,112 D5

Predictor Coef SE Coef T P


Constant 0,3619 0,2512 1,44 0,152
LNX1 -0,04374 0,02948 -1,48 0,141
LNX2 -0,03491 0,03703 -0,94 0,348
LNX3 0,03274 0,03989 0,82 0,413
LNX4 0,02867 0,02621 1,09 0,276
LNX5 -0,00459 0,02839 -0,16 0,872
LNX6 -0,000340 0,007979 -0,04 0,966
LNX7 0,02531 0,02478 1,02 0,309
D1 0,02092 0,02606 0,80 0,424
D2 0,06387 0,03209 1,99 0,049
D3 -0,02942 0,03065 -0,96 0,339
D4 0,02362 0,02894 0,82 0,416
D5 -0,11245 0,07235 -1,55 0,123

S = 0,134326 R-Sq = 8,7% R-Sq(adj) = 0,0%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 12 0,20518 0,01710 0,95 0,503
Residual Error 120 2,16521 0,01804
Total 132 2,37038

3. Uji Multikolinieritas
Nilai VIF (Variance Inflation Factor) < 10, tidak ada multikolinieritas

Kesimpulan:
Model regresi sudah memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)
155

Lampiran 3. Hasil Pengujian Skala Usahatani pada Model Fungsi Produksi


Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

Regression Analysis: LNY versus LNX1; LNX2; ...

The regression equation is


LNY = 2,18 + 0,984 LNX1 - 0,244 LNX2 + 0,140 LNX3 + 0,120 LNX4 –
0,0907 LNX5 + 0,0201 LNX6 + 0,0964 LNX7 + 0,0095 D1 + 0,193 D2
+ 0,0504 D3 + 0,193 D4 - 0,053 D5

Predictor Coef SE Coef T P VIF


Constant 2,1790 0,4234 5,15 0,000
TKER LNX1 0,98401 0,04969 19,80 0,000 4,1 ***
LLHN LNX2 -0,24430 0,06241 -3,91 0,000 3,6 ***
JUMP LNX3 0,13962 0,06722 2,08 0,040 4,5 **
UMUR LNX4 0,11996 0,04417 2,72 0,008 2,9 ***
PNGA LNX5 -0,09065 0,04783 -1,90 0,060 3,2 *
PPUK LNX6 0,02010 0,01345 1,50 0,138 1,6
PPES LNX7 0,09638 0,04175 2,31 0,023 1,9 **
DUMMY PEND D1 0,00948 0,04391 0,22 0,829 1,3
D. FREP D2 0,19281 0,05407 3,57 0,001 1,8 ***
D. JENG D3 0,05039 0,05165 0,98 0,331 1,6
D. CNAM D4 0,19301 0,04877 3,96 0,000 1,5 ***
D. BBT D5 -0,0535 0,1219 -0,44 0,662 1,1

S = 0,226358 R-Sq = 93,8% R-Sq(adj) = 93,1%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P
Regression 12 92,3023 7,6919 150,12 0,000
Residual Error 120 6,1486 0,0512
Total 132 98,4509

Test Results for Variable

Num DF Den DF F Value Pr > F

1 120 0.27 0.6013

Hipotesis:

H0: Model sudah memenuhi constant return to scale

H1: Model tidak memenuhi constant return to scale

Karena F hitung < F tabel atau nilai P (0,6013) > alpha 5% maka terima H0,

artinya penggunaan faktor produksi berada pada tahap constant rate.


156

Lampiran 4. Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007

data roni;
input PF PE PFt DPE PEt;
cards;
3475.98 2268.8 * * *
2896.76 3103.1 3475.98 834.3 2268.8
3500.89 4052.2 2896.76 949.1 3103.1
6377 8291.7 3500.89 4239.6 4052.2
7200 29139.6 6377 20847.8 8291.7
6790 10133.1 7200 -19006.4 29139.6
6867.67 16843.5 6790 6710.4 10133.1
8375 14467.9 6867.67 -2375.7 16843.5
9083 12570.1 8375 -1897.7 14467.9
8234 10378.3 9083 -2191.8 12570.1
8192.58 14302.2 8234 3923.9 10378.3
9089.78 19991.7 8192.58 5689.4 14302.2
9703.24 12365.1 9089.78 -7626.6 19991.7
9967.04 15938.6 9703.24 3573.5 12365.1
;
proc reg data=roni;
model PF = PFt DPE PEt;
restrict intercep = 0;
run;

The SAS System

The REG Procedure


Model: MODEL1
Dependent Variable: PF

Note: Restrictions have been applied to parameter estimates.

Note: Restrictions on intercept. R-Square is redefined.


Number of Observations Read 14

Number of Observations Used 13

Number of Observations with Missing Values 1


157

Lampiran 4. Lanjutan

Analysis of Variance

Source DF Sum of Mean F Value Pr > F


Squares Square

Model 3 759343511 253114504 235.31 <.0001

Error 10 10756549 1075655

Uncorrected Total 13 770100060

Root MSE 1037.13784 R-Square 0.9860

Dependent Mean 7405.92000 Adj R-Sq 0.9818

Coeff Var 14.00417

Parameter Estimates

Variable DF Parameter Standard t Value Pr > |t|


Estimate Error

Intercept 1 -2.4747E-13 0 -Infty <.0001

PFt-1 1 0.92842 0.14904 6.23 <.0001

DPE 1 0.06519 0.04987 1.31 0.2204

PEt-1 1 0.06707 0.07887 0.85 0.4150

RESTRICT -1 1436.28702 1110.62661 1.29 0.2117*

* Probability computed using beta distribution.

KOEFISIEN KORELASI HARGA


Pearson correlation of PF and PE = 0,635
P-Value = 0,015
158

Lampiran 5. Data untuk Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di


Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007

Harga Harga
Harga Gambir Gambir Gambir Nilai Tukar Harga Gambir
Petani Mata Uang Eksportir
Tahun FOB FOB
(Rp/kg) (Rp/USD) (Rp/kg)
(USD/ton) (USD/kg)
PF PFOB ER PE
1994 3475,98 1047,92 1,05 2160,75 2268,79
1995 2896,76 1378,77 1,38 2248,61 3103,08
1996 3500,89 1734,67 1,73 2342,30 4052,18
1997 6377,00 2848,34 2,85 2909,38 8291,73
1998 7200,00 2908,60 2,91 10013,60 29139,58
1999 6790,00 1287,34 1,29 7855,15 10133,14
2000 6867,67 1997,00 2,00 8421,77 16843,54
2001 8375,00 1408,07 1,41 10260,90 14467,87
2002 9083,00 1350,26 1,35 9311,20 12570,12
2003 8234,00 1206,30 1,21 8577,10 10378,29
2004 8192,58 1597,87 1,60 8938,90 14302,24
2005 9089,78 2055,00 2,06 9704,70 19991,68
2006 9703,24 1353,72 1,35 9159,30 12365,06
2007 9967,04 1761,28 1,76 9056,00 15938,56

Sumber: Diolah dari Statistik Perkebunan Sumatera Barat dan BPS, 2008d
159

Lampiran 6. Data Primer untuk Analisis Produksi Usahatani Gambir Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009
Volume Penggunaan Luas Jumlah Umur Pengalaman Penggunaan Penggunaan Dummy Dummy Dummy Dummy Dummy
Produksi Tenaga Lahan Pohon Tanaman Bertani Pupuk Pestisida Pendidikan Frekwensi Jenis Cara Budidaya Bibit
Gambir Kerja Gambir Gambir Gambir Urea 1. > 6 tahun Panen Gambir 1. Gambir saja 1. Unggul
Nomor Nama per Tahun Menghasilkan 0. < 6 tahun per Tahun 1. Campur 0. Tumpang sari 0. Campuran
Responden Petani Jorong/Kanagarian/Kecamatan 1. Tiga kali 0. Murni
(HOK) (ha) (batang) (tahun) (tahun) (kg) (liter) 0. < 3 kali

PROG TKER LLHN JUMP UMUR PNGA PPUK PPES DPEND FREP JENG CNAM DBBT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 D1 D2 D3 D4 D5
1 Zulfahmi Lambuak/Halaban/Lareh Sago Halaban 600 230 1 2500 12 15 0 2 1 0 0 0 0
2 Amir Sawin Padang Tangah/Halaban/L. S. Halaban 1400 390 1,5 3700 12 12 0 3 1 0 0 0 0
3 Amir Sawin II " 1000 280 1 3000 5 12 0 2 1 0 0 1 0
4 Dalius Kapalo Koto/Halaban/LSH 2000 698 5 6500 39 40 0 4 0 0 0 0 0
5 Dalius II " 3000 1030 7 8000 34 40 0 6 0 0 0 0 0
6 Syaiful " 1400 468 3 4000 12 13 0 4 1 0 0 0 0
7 Dailami " 600 190 3 2500 54 54 0 4 0 0 0 0 0
8 Ermiati " 2000 610 1 5000 10 10 0 3 1 0 0 0 0
9 Bunani BS " 1200 570 4 4000 39 50 0 5 0 0 0 0 0
10 Bunani BS II " 600 270 2 3000 34 50 0 3 0 0 0 0 0
11 Nawar Lambuak/Halaban/LSH 220 88 0,7 3500 10 10 0 2 0 0 0 0 0
12 Firdaus " 700 240 1,5 4500 5 5 0 3 1 0 0 0 0
13 Masrizal Padang Tangah/Halaban/LSH 450 180 1,5 3000 12 12 0 3 1 0 0 0 0
14 Ernawati Lambuak/Halaban/LSH 1000 326 2 6500 20 20 0 4 1 0 0 1 0
15 Bulkhaini " 1200 380 2 6500 5 32 0 4 0 0 0 1 0
16 Bulkhaini II " 800 290 2 5000 32 32 0 4 0 0 0 0 0
17 Anwar Padang Tangah/Halaban/L. S. Halaban 300 112 1 4000 2 10 20 2 0 0 0 0 0
18 Anwar II " 600 190 1 4000 10 10 30 2 0 0 0 0 0
19 Helmi Kabun/Halaban/LSH 100 34,4 0,56 2500 4 4 0 0 1 0 0 0 0
20 Julidar " 1956 692 5 18000 13 13 0 8 1 0 0 0 0
21 Zalmi " 240 94,4 0,86 2500 4 4 0 2 1 0 0 0 0
22 Ismed " 100 44 0,5 2000 4 4 0 1 1 0 0 0 0
23 Arius " 500 206 2 5000 3 3 0 5 0 0 0 0 0
24 Ali Amran (on) " 100 44 0,5 2000 5 5 0 0 1 0 0 0 0
25 Africhan " 50 22 1 1500 5 5 0 0 1 0 0 0 0
26 Juswati " 240 88 0,8 2000 10 10 0 0 1 0 0 0 0
27 M. Natsir " 600 230 1 3000 3 3 0 0 0 0 0 0 0
28 Armen-Reni " 1000 332 1 4200 6 6 0 2 1 0 0 1 0
29 Jainis " 340 170 1 3500 5 5 0 0 1 0 0 0 0
30 Yunirman " 172 57 1 3000 5 5 0 0 1 0 0 0 0
31 Masri " 200 84 1,5 4200 5 5 0 2 1 0 0 0 0
32 Nurpen " 300 118 2 3000 6 6 0 2 1 0 0 0 0
33 Ondra Wira " 100 30 0,25 1200 4 4 0 0 1 0 0 0 0
34 Nedi Coran/Sitanang/LSH 1000 220 1 2500 4 4 50 3 1 0 1 1 0
35 Dasril " 1600 368 2 5500 10 10 70 5 1 0 1 1 0
160

Lampiran 6. Lanjutan
Volum e Penggunaan Luas Jum lah Um ur Pengalam an Penggunaan Penggunaan Dum m y Dum m y Dum m y Dum m y Dum m y
Produksi Tenaga Lahan Pohon Tanam an Bertani Pupuk Pestisida Pendidikan Frekwensi Jenis Cara Budidaya Bibit
G am bir Kerja G am bir G am bir G am bir Urea 1. > 6 tahun Panen G am bir 1. G am bir saja 1. Unggul
Nom or Nam a per Tahun M enghasilkan 0. < 6 tahun per Tahun 1. Cam pur 0. Tum pang sari 0. Cam puran
Responden Petani Jorong/Kanagarian/Kecam atan 1. Tiga kali 0. M urni
(HO K) (ha) (batang) (tahun) (tahun) (kg) (liter) 0. < 3 kali

PRO G TKER LLHN JUM P UM UR PNG A PPUK PPES DPEND FREP JENG CNAM DBBT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 D1 D2 D3 D4 D5
36 Sugim an Bio-bio/Solok Bio-bio/Harau 600 104 0,5 1250 13 13 0 1 1 0 0 0 0
37 Khaidir " 900 268 1 4200 12 12 100 2 0 0 1 0 0
38 Jasril Padang Laweh/Solok Bio-bio/Harau 1200 280 1 6500 14 14 50 2 0 0 1 0 0
39 Yusuf Bio-bio/Solok Bio-bio/Harau 2200 510 2,5 10500 12 12 250 4 0 0 1 1 0
40 Yusuf II " 800 200 1 4200 11 12 100 2 0 0 1 1 0
41 Yusuf III " 1100 290 1,5 6000 10 12 150 2 0 0 1 1 0
42 W ardi " 1160 240 1 4200 10 10 30 3 0 0 1 1 0
43 Jon Azizar " 900 256 1 4200 19 19 0 1 0 0 1 1 0
44 Jon Azizar II " 1400 420 1,5 6300 14 19 0 1 0 0 1 1 0
45 Jon Azizar III " 1200 310 1 4200 10 19 0 1 0 0 1 1 0
46 Yondesrizal " 1400 540 3 9500 29 19 50 9 1 0 1 1 0
47 Yondesrizal II " 1200 410 2 6500 4 19 50 6 1 0 1 1 0
48 Edi " 200 58 1 4000 2 2 0 0 0 0 1 1 1
49 Pen Dt. Putiah " 1200 330 1,5 6500 2 2 50 2 1 0 1 1 0
50 Peniwidia " 600 124 1,5 2000 30 5 0 2 1 0 1 1 0
51 Asm ardi N. " 2800 788 3,2 10400 29 29 100 6 1 0 1 1 0
52 Nurjas-Nildawati " 600 138 1 2500 39 39 0 0 1 0 1 1 0
53 Nurjas-Nildawati II " 1600 462 3 9500 15 39 0 0 1 0 1 1 0
54 Rism an-Des " 1760 310 1 6500 16 16 50 4 0 0 0 1 0
55 Rism an-Des II " 2400 460 1 6500 12 16 50 4 0 0 0 1 0
56 Tin Syofiani " 1000 280 1 4200 12 12 50 2 1 0 0 1 0
57 Tin Syofiani II " 1200 310 1 4200 9 12 50 2 1 0 0 1 0
58 Jasri " 900 215 0,65 3000 29 29 0 3 0 0 1 1 0
59 Erni-Zulfikar " 240 58 2 4000 29 7 50 2 1 0 1 1 0
60 Irm an-M edrawati " 700 180 1 4000 16 16 30 2 1 0 1 1 0
61 Irm an-M edrawati II " 1600 370 2,25 8500 4 16 70 5 1 0 1 1 0
62 Elidawarti-N. Nasri " 400 102 1 3000 29 29 50 3 0 0 1 1 0
63 Yanto-M ulia Fitri " 500 84 0,6 2500 6 6 0 2 0 0 1 1 0
64 Naldi-Irawati " 720 129 1,5 5000 15 15 0 2 1 0 1 1 0
65 Aliyunir-Nam ina " 600 198 1 4200 19 19 50 2 0 0 1 1 0
66 M elly-Eldi " 400 76 0,5 2500 9 9 25 2 1 0 1 1 0
67 Syafri Dt. Kuniang " 1600 520 2 7500 30 36 80 5 1 0 1 1 0
68 Syafri Dt. Kuniang II " 1000 320 2 5000 10 36 80 5 1 0 1 1 0
69 Syafri Dt. Kuniang III " 1600 320 1,5 6500 15 36 40 5 1 0 1 1 0
70 Rustam " 1000 176 1 4500 15 15 50 5 0 0 1 0 0
71 Alinis-Ratna Juina " 600 129 0,5 2000 16 16 10 1 0 1 1 1 0
72 Alinis-Ratna Juina II " 1600 330 1,5 6000 7 16 50 4 0 0 1 1 0
73 Jam alus " 1000 220 1 4000 40 50 20 5 0 0 1 1 0
74 Jam alus II " 600 110 0,5 2000 25 50 10 2 0 0 1 1 0
75 Jam alus III " 1000 220 1 4000 47 50 20 5 0 0 1 1 0
76 Edison " 300 56 0,5 2000 13 13 25 1 1 0 1 0 0
77 Edison II " 300 56 0,5 2000 15 13 25 1 1 0 1 0 0
78 Rism an " 600 140 1 3000 10 10 30 2 1 0 1 1 0
79 Ali Am ran " 1000 280 1 4000 15 15 50 2 0 0 1 1 0
80 Jum ar Dedi " 1900 436 1 7500 6 6 100 7 0 0 1 1 0
81 Alizar-Dar " 3000 444 2 8200 9 9 50 15 0 0 1 1 0
82 M usranandi (iwan) " 1200 250 1 6000 7 7 0 2 1 0 1 1 0
161

Lampiran 6. Lanjutan
V o lu m e Penggunaan Luas J u m la h U m ur P e n g a la m a n Penggunaan Penggunaan D um m y D um m y D um m y D um m y D um m y
P ro d u k s i T e n a g a Lahan Pohon T a n a m a n B e rta n i Pupuk P e s tis id a P e n d id ik a n F re k w e n s i J e n is C a ra B u d id a ya B ib it
G a m b ir K e rja G a m b ir G a m b ir G a m b ir U re a 1 . > 6 ta h u n Panen G a m b ir 1 . G a m b ir s a ja 1. U nggul
N om or N am a per Tahun M e n g h a s ilk a n 0 . < 6 ta h u n per Tahun 1. C am pur 0 . T u m p a n g s a ri 0 . C a m p u ra n
R esponden P e ta n i J o ro n g /K a n a g a ria n /K e c a m a ta n 1 . T ig a k a li 0 . M u rn i
(H O K ) (h a ) (b a ta n g ) (ta h u n ) (ta h u n ) (k g ) (lite r) 0 . < 3 k a li

PROG TKER LLH N JU M P UMUR PNGA PPUK PPES DPEND FREP JEN G CNAM DBBT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 D1 D2 D3 D4 D5
83 S yu h a d a J o ro n g D u a /K o to B a n g u n /K a p u r IX 1200 226 0 ,7 5 3500 8 8 50 3 0 1 1 0 0
84 S yu h a d a II " 1500 312 1 4200 3 8 100 6 0 1 1 0 0
85 M a jid " 1800 316 0 ,7 5 3150 16 16 75 3 0 1 1 0 0
86 R o h ya t " 900 226 0 ,7 5 3000 16 16 50 1 0 1 1 0 0
87 R o h ya t II " 150 66 0 ,2 5 1050 3 16 50 1 0 1 1 0 0
88 M am an " 450 126 0 ,7 5 3000 15 15 0 1 0 1 1 0 0
89 Agus " 900 289 0 ,7 5 3100 8 8 10 3 0 1 1 0 0
90 A g u s II " 2100 420 1 4000 6 8 30 6 0 1 1 0 0
91 A g u s III " 2100 420 1 4000 3 8 30 6 0 1 1 0 0
92 T e d y M u lya d i " 1350 297 2 ,2 5 6000 12 12 100 4 1 1 1 0 0
93 A b d u l H a m id " 1500 495 1 ,5 6200 11 11 150 5 0 1 1 0 0
94 B o e rh a n a fi " 2400 585 1 ,5 6300 12 12 20 2 0 1 1 0 0
95 B o e rh a n a fi II " 3000 660 2 8400 10 12 30 3 0 1 1 0 0
96 Januar " 750 154 0 ,7 5 3000 12 12 20 4 0 1 1 0 0
97 N a n a n g B a h ro m " 450 123 1 ,5 3000 16 16 30 5 1 1 1 0 0
98 D ju fri " 2400 570 2 6400 4 13 75 10 0 1 1 0 0
99 D ju fri II " 2400 630 1 ,5 6400 13 13 75 6 0 1 1 0 0
100 Supan " 400 114 0 ,7 5 2500 16 16 50 2 1 0 1 0 0
101 S u p a n II " 300 62 0 ,5 2000 9 16 50 2 1 0 1 0 0
102 H a rd is " 450 6 7 ,5 0 ,2 5 800 4 4 20 1 ,5 1 1 0 1 0
103 A s w a rti " 600 87 0 ,7 5 2400 12 12 40 0 0 1 0 0 0
104 A s w a rti II " 210 47 0 ,2 5 500 3 12 10 0 0 1 0 1 0
105 W a h yu d i " 900 284 1 ,5 3500 3 3 30 4 1 1 1 1 0
106 R a h m a t H id a ya t " 1350 240 1 5000 3 3 0 8 1 1 1 0 0
107 J a s ril " 1800 468 2 7000 2 2 50 2 0 1 1 0 0
108 M a s n i-E t " 1400 410 2 8200 10 10 50 4 1 0 0 0 0
109 M a s n i-E t II " 2250 615 2 8200 3 10 50 3 1 1 1 0 0
110 Z u lh e rm a n (ic u n ) " 600 156 1 3000 3 3 0 2 1 0 1 0 0
111 Iya t S u rya d i " 600 177 0 ,7 5 2200 9 13 0 3 0 1 1 0 0
112 S u k ri " 600 123 0 ,7 5 2100 13 13 20 3 0 1 1 0 0
113 A a M u lya n a " 450 163 0 ,7 5 2000 6 6 10 1 1 1 1 0 0
114 A a M u lya n a II " 1800 489 2 3500 4 6 40 4 1 1 1 0 0
115 D e d e k M u lya m in " 105 33 0 ,7 5 500 5 5 20 0 1 1 1 0 0
116 S u d ju d " 240 72 0 ,7 5 1000 14 14 20 4 0 1 1 0 1
117 A e p S ya ifu l K h o lid " 780 150 0 ,7 5 2500 12 12 55 4 1 1 1 0 0
118 A e p S ya ifu l K h o lid II " 780 150 0 ,7 5 2500 11 12 55 4 1 1 1 0 0
119 P o e rw a n to " 240 81 0 ,7 5 2000 12 12 20 2 1 1 1 0 0
120 P o e rw a n to II " 600 180 2 3000 3 12 30 5 1 1 1 0 0
121 S ya fril B u yu n g " 900 181 0 ,7 5 2000 10 10 20 2 1 1 1 1 1
122 W a h id " 261 51 0 ,7 5 2000 2 2 0 1 ,5 0 1 1 0 0
123 D adang H am dani " 1545 402 2 4500 5 5 0 5 1 1 1 0 1
124 A h m a d R u s ta n d i " 240 81 0 ,7 5 1500 14 14 20 2 0 1 1 0 0
125 A h m a d R u s ta n d i II " 1350 300 2 4500 8 14 30 4 0 1 1 0 0
126 A h m a d R u s ta n d i III " 1800 360 1 ,2 5 4500 12 14 30 4 0 1 1 0 0
127 M u rs a l K a m p u n g D a la m /M u a ro P a iti/K a p u r IX 3300 840 3 28000 12 17 0 0 0 1 0 1 0
128 Y e ld i K a m p u n g B a ru /K o to B a n g u n /K a p u r IX 1500 312 1 4200 5 5 50 4 1 1 1 0 0
129 M a w a rd i " 900 300 3 6500 12 12 0 10 0 1 1 0 0
130 M a w a rd i II " 900 270 2 6500 10 12 0 10 0 1 1 0 0
131 Z a in a l N a n D ic in to /L u b u a k A la i/K a p u r IX 3000 450 3 12500 6 6 50 3 1 1 0 1 0
132 Z a in a l II N a n D ic in to /L u b u a k A la i/K a p u r IX 2550 328 2 8400 5 6 50 3 1 1 0 1 0
133 Z a in a l III N a n D ic in to /L u b u a k A la i/K a p u r IX 600 206 1 4000 3 6 20 1 1 1 0 1 0

You might also like