You are on page 1of 12

www.muslimdaily.

net Wacana Peradaban Islam

MENELITI RIWAYAT KESUCIAN AL KITAB (BIBLE)


oleh Susiyanto

PENDAHULUAN

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka
sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang
sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka
kerjakan”. (Qs. Al Baqarah, 2: 79)

Tidak hanya satu atau dua karya Kristen yang digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan kitab suci
Al Quran. Karya tersebut tidak jarang pula merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan
Kristenisasi. Penyebarannya meliputi kalangan umat Islam yang masih memiliki kondisi pemahaman
terhadap Islam secara terbatas. Misalnya, Gilchrist menyebutkan bahwa pada era khalifah Utsman bin
Affan, Ibnu Mas’ud menolak naskah Hafsah, sedangkan Ibnu Mas’ud sendiri dikatakan memiliki
naskah lain yang berbeda.[1] Kisah besutan ini seolah mencoba mengesankan hadirnya ”fakta” bahwa
Al Quran memiliki ragam variasi.
Cerita tentang ”kasus Ibnu Mas’ud” ini merupakan ”fakta buatan” cukup populer dalam sejumlah
statemen apologetik di dunia Kristen untuk memojokkan Islam. Awalnya, isu ”kasus” ini merupakan
bentuk pengembangan dari korpus orientalis yang menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari
keberadaan Surah An Nas dan Al Falaq sebagai bagian dari Al Quran. Dengan berpegang pada
pendapat ini maka terciptalah ”ilusi” bahwa seakan-akan Al Quran memiliki sejumlah versi berbeda.
Faktanya, tidak ada perbedaan atau versi dalam Al Quran. Jika pun ada, perbedaan yang pernah
berkembang dalam sejarah Islam terkait Al Quran tidak lain hanya perbedaan dialek yang digunakan
dalam membaca Al Quran, bukan masuk dalam ranah substansial.
Keberadaan ”kasus Ibnu Mas’ud” tersebut tidak lain adalah pendustaan dan pemalsuan yang
disandarkan kepada pribadi Ibnu Mas’ud, seorang sahabat Nabi saw yang mulia. Surat An Nas dan Al
Falaq merupakan bagian dari Al Quran, dimana keduanya memiliki penyebutan istimewa sebagai
kedua surah ”mu’awwizatain” sejak era Rasulullah saw. Proses kompilasi Al Quran tidak semata-mata
didasarkan kepada keberadaan naskah, namun lebih mengacu kepada tradisi periwayatan. Secara
sederhana, tulisan Al Quran didasarkan kepada riwayah. Al Quran merupakan kitab yang terpelihara
dalam hafalan hamba-hambanya yang shalih, sehingga bila terjadi sedikit saja kesalahan atau
penyimpangan penulisan maka dengan mudah dapat diketahui. Tradisi menghafal Al Quran ini telah
berkembang sejak era Rasulullah saw hingga hari ini, bukan sekedar sejak Al Quran dikumpulkan
menjadi satu mushaf. Kristen Barat umumnya menutup mata terhadap eksistensi penghafal Al Quran
ini. Bahkan tradisi periwayatan ini masih berkembang pula hingga hari ini di sejumlah negara
berpenduduk Islam.
Statemen-satetemen lain yang serupa dengan Gilchrist tentang Al Quran, umumnya telah dijawab
dengan baik oleh sejumlah sarjana muslim. Menariknya Gilchrist kemudian membandingkan ”fakta
semu” tentang Al Quran tersebut dengan proses kompilasi Bible, baik Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Ia menyatakan bahwa Bible, dalam hal ini ia menggunakan King James Revised
Standar Version merupakan kitab yang terpelihara karena merupakan bentuk terjemahan dari Kitab asli

Halaman 1 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

Bahasa Yunani. Ia mengemukakan bahwa terdapat sekitar 4000 naskah dalam Bahasa Yunani yang
ditulis tidak kurang dari tahun 200 sebelum masa Muhammad. Kedua, ia menyebutkan bahwa tidak
pernah terjadi perubahan materi dalam bentuk apapun dalam struktur, ajaran, ataupun doktrin dalam
Bible. Ketiga, tidak ada naskah-naskah terjemahan tersebut tidak merupakan sebuah wujud perbedaan
versi. Hakikatnya Bible, menurut Gilchrist tidak pernah mengalami perubahan dengan cara apa pun,
tetap murni, dan utuh.[2]
Tulisan ini akan mencoba melihat secara mendalam argumentasi yang sejenis terutama ditujukan untuk
mencermati proses kompilasi Bible. Hal ini penulis maksudkan bukan untuk berkonsentrasi kepada
buku yang tidak mencantumkan identitas pengarangnya secara jelas tersebut. Namun lebih sebagai
upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat muslim yang menjadi target bagi penyebaran
tulisan yang bersangkutan. Umumnya mereka memiliki tingkat pemahaman Islam yang awam dan
mudah terombang-ambing menjadi korban disinformasi. Penulis berharap tulisan ini akan memberi
sedikit sumbangan wawasan bagi para da’i yang bergerak dalam kalangan tersebut. Umat Islam harus
terus diarahkan untuk mengikuti tuntunan ajaran Islam dan tidak seharusnya terjebak dengan
propaganda menyesatkan.
FAKTA BERBICARA
Secara umum kitab suci yang digunakan oleh umat Kristen memang menghadapi problem sejak awal,
baik Perjanjian Lama (Old Testament) yang merupakan “warisan” dari kaum Yahudi (Hebrew Bible)
maupun Perjanjian Baru (New Testament). Kitab-kitab yang ada saat ini umumnya merupakan salinan
dan terjemahan dari sebuah ”naskah asli”. Justru, problem mendasarnya adalah ”naskah asli” tersebut
tidak pernah diketemukan. Sehingga perlu upaya yang lebih mendalam untuk memulihkan ”naskah
asli” tersebut. Upaya pemulihan ”naskah asli” itu sendiri pada akhirnya hanya bertumpu pada proses
yang sepenuhnya bersifat spekulatif. Hal ini terungkap sebagai berikut:
Roh Kudus tetap memimpin Geredja Kudus, biarpun tidak seperti menjolok didalam Geredja purba.
Tidak mungkin Ia membiarkan Kitab Kudus jang diselenggarakanNja guna mendjadi dasar
pengadjaran dan pemimpinan Geredja untuk selama-lamanja, tidak tetap terpelihara utuh dan murni,
salah ditafsirkan atau disalahgunakan sehingga dapat mendjadi pokok kesesatan. Untuk itu djabatan
pengadjaran Geredja jang resmi tetap dipimpin oleh Roh Kudus.
Kalau dikatakan, bahwa Kitab Kudus bebas dari kechilafan, hal ini memang mengenai naskah-naskah
asli sadja. Tetapi naskah-naskah asli itu belum satupun ditemukan. Jang diturunkan kepada kita, ialah
salinan-salinan dan terdjemahan-terdjemahan dari naskah-naskah asli itu. Salinan-salinan dari abad
kedua sampai abad kelima sudah ratusan ditemukan. Tetapi hanja beberapa jang lengkap. Dari
kebanjakan karangan tersimpan sebahagian sadja.
Salinan-salinan itu umumnja tidak dikerdjakan dengan ketelitian jang kita idamkan, tetapi perbedaan
antaranja djarang mengenai isi, melainkan mengenai bahasanja. Dengan membandingkan segala
salinan satu dengan jang lain, para ahli telah berhasil hampir-hampir memulihkan jang asli.
Dalam pekerdjaan itu digunakan djuga terdjemahan dalam pelbagai bahasa jang dikerdjakan dalam
abad-abad pertama sedjarah Geredja. [3]
Permasalahan utamanya, sulit ditemukan suatu otoritas yang mampu menjamin kebenaran dari proses
pemulihan tersebut. Apalagi jika mengaca pada kondisi “naskah asli” yang tidak terpelihara dengan
baik. Dr. C. Groenen, seorang pakar theologi Kristen, mengungkapkan proses penyalinan kitab tersebut

Halaman 2 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

sebagai berikut:
Semua naskah aseli yang ditulis oleh penulis suci tidak terpelihara bagi kita. Berabad-abad lamanya
naskah-naskah itu disalin dengan tangan (percetakan memang belum ada). Dengan disalinnya naskah-
naskah itu banyak kesalahan menyusup. Memang sulit menyalin sesuatu tanpa salah. Coba saja anda
menyalin satu halaman sebuah buku, lalu periksalah berapa kesalahan menyusup. Dalam menyalin
Alkitab ada kesalahan yang kebetulan saja terjadi, tetapi ada juga yang sengaja dibuat atas dasar
macam-macam pertimbangan. Salah satu sumber kesalahan juga bahwa cara menulis dan bentuk
huruf dahulu berbeda dengan yang kemudian. Lalu bentuk kuno dialihkan ke dalam bentuk baru dan
boleh jadi penyalin keliru, sebab tidak tahu lagi bentuk huruf lama. Ada juga huruf-huruf Ibrani yang
sangat serupa satu sama lain, sehingga penyalin mudah keliru. Meskipun orang Yahudi mesti dipuji
karena ketelitiannya dalam menyalin Kitab Kudusnya, namun masih banyak kesalahan menyusup.
Ternyata Tuhan tidak menjaga supaya Kitab Suci terpelihara secara utuh sempurna. Penyalin-
penyalin tidak mendapat pertolongan khusus.[4]
Kesulitan pemulihan teks itu sendiri pada akhirnya sulit mendapatkan jalan keluar. Proses-proses yang
terjadi dalam penyalinan Bible sangat kompleks, tidak sesederhana yang dikira. Kesalahan-kesalahan
penyalinan paling awal dari sebuah teks pada akhirnya diwariskan dalam teks-teks selanjutnya.
Melacak kembali ”bentuk” semula dari ”kitab suci” dengan memanfaatkan jejak-jejaknya sudah tentu
bukan hal yang mudah. Apalagi jika jejak utamanya telah terhapus dalam kurun masa yang sulit
diperkirakan. Dr. Th. Vriezen mengemukakan masuknya sejumlah tambahan atau sisipan ke dalam
”kitab Suci” yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia, sebagai berikut:
Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi kalau kita mau membahas bahan sejarah Perjanjian
Lama secara bertanggung-jawab. Sebab yang utama ialah bahwa dalam proses-sejarah ada banyak
sumber2 kuna itu yang diterbit-ulang atau yang diredaksi (yaitu diolah kembali oleh penyadur).
Proses penyaduran turun temurun itu ada untung-ruginya. Salah satu untung ialah bahwa
sumber2 kuna itu dipertahankan dan tidak menjadi hilang atau terlupakan. Tetapi ada ruginya
juga, yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang tahap demi tahap dimasukkan ke
dalam naskah, sehingga sulit sekali sekarang untuk menentukan, bagian manakah dalam naskah2
historis itu yang bersifat original (asli), dan bagian manakah yang merupakan sisipan2 kemudian.
Dalam tugas mem-beda2kan lapis itu, teknik2 riset kesusasteraan dapat membantu kita. Tetapi
metode2 yang dipakai dalam riset itu tidaklah mutlak dan tidaklah gampang dipakai; itu berarti
bahwa proses pemeriksaan dan penyelidikan bahan2 yang dari jaman kuna itu memerlukan ketelitian
dan waktu yang cukup banyak.[5]
Sejalan dengan pandangan-pandangan di atas Dr. C. Mulder mengungkapkan adanya kesalahan dalam
proses penyalinan sebagai berikut:
Naskah2 asli dari Kitab Sutji itu sudah tidak ada lagi. Jang ada pada kita hanja turunan atau
salinan. Dan salinan itupun bukannja salinan langsung dari naskah asli, melainkan salinan dari
salinan dari salinan dan seterusnya. Sering didalam menjalin Kitab Sutji itu terseliplah salah-salin.
Bagaimanapun djuga text atau naskah Kitab Sutji itupun ada sedjarahnja, maka dalam menjelidiki
terdjadinja Kitab Sutji ilmu pembimbing sepatutnja djuga mengupas sedjarah naskah itu.[6]
Prof. H. H. Rowley, pakar Kristen lainnya, mengungkapkan proses kanonisasi Bible secara lebih
kronologis. Kumpulan paling awal dari Perjanjian Lama yang dianggap sebagai ”suci” adalah
Pentateuch. Namun waktu terbentuknya Pentateuch hingga mencapai bentuk seperti hari ini, tidak

Halaman 3 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

pernah diketahui. Mungkin sebelum abad ke 4 SM, Pentateuch telah menemui sebuah bentuk tertentu.
Kitab-kitab yang ada di dalamnya sudah pasti dinyatakan sebagai ”suci” pada sekitar permulaan abad II
SM. Salah satunya adalah kitab Yesus bin Sirakh, yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai bacaan
apokripa. Pada akhir abad I M, para Rabbi Yahudi berkumpul di Yamnia untuk membicarakan bagian
mana sajakah kitab-kitab tersebut yang harus dianggap bacaan suci. Inti pembicaraannnya kemudian
mengarah pada kitab Yehezkiel dan Kidung Agung. Dalam naskah-naskah tertua Perjanjian Lama yang
saat ini diterima oleh kekristenan, terdapat beberapa kitab tambahan yang tidak termaktub dalam
Perjanjian Lama Ibrani. Hal ini terjadi karena Kristen hanya menerima begitu saja kitab tersebut dari
umat Yahudi. Namun penerimaan tersebut sebenarnya tidak memiliki bukti bahwa kitab-kitab tersebut
telah diterima secara kanonik oleh para Rabbi dari Yamnia. Lambat laun kitab-kitab tambahan tersebut
diterima sebagai bagian dari Bible. Tetapi proses penerimaaan tersebut tidak terjadi secara aklamasi
dan tidak semua gereja mau mengakuinya pada saat itu juga. Pada abad XVI M, dalam Konsili Triente,
Gereja Katholik menerima kitab-kitab ini sebagai Kanonik, namun terdapat pula orang-orang yang
menolak. Rowley juga menekankan bahwa selama proses penyalinan tangan yang terjadi antar
generasi, banyak menghasilkan kesalahan penyalinan. Perbedaan antar naskah sudah menjadi
konsekuensi logis akibat proses penyalinan yang bersifat demikian. Sampai saat ini, menurut Rowley,
naskah utama tertua Perjanjian Lama versi bahasa Ibrani yang digunakan sebagai acuan penulisan kitab
suci, hanya berasal dari naskah abad X Masehi atau bahkan dari masa selanjutnya. Sedangkan pasca
penemuan naskah di Gua Qumran, terdapat beberapa naskah Perjanjian Lama yang umumnya tidak
lebih tua dari abad I M.[7]
KANONISASI PERJANJIAN BARU
Sebagaimana halnya dengan kitab Perjanjian Lama, Perjanjian Baru juga memiliki perjalanan
kesejarahan yang hampir serupa dalam proses pembentukannya. Perjanjian Baru telah mengalami
sejarah yang cukup panjang mulai dari proses penulisan, pengumpulan, hingga penetapan. Kitab ini
baru ditulis dan dihimpun pada masa yang jauh setelah kehidupan Yesus. Bahkan boleh dikatakan
bahwa baru ditulis setelah jamaah Kristen mula-mula muncul. Karangan-karangan yang membentuk
Perjanjian Baru tidak serta merta dikenal dan diterima umat Kristen sebagai kitab suci.[8] Naskah-
naskah yang digunakan sebagai acuan oleh umat Kristen umumnya juga bukan berasal dari teks awal
yang ditulis para pengarang Injil, melainkan hanya didasarkan pada teks-teks turunan saja. Teks awal
telah hilang sehingga kebenaran penyalinan tersebut tidak dapat diverifikasi pada masa selanjutnya.
Salah satu bagian Injil Yohannes berasal dari masa yang tidak lebih tua dari abad ke-2 M. Naskah-
naskah lainnya berasal dari abad ke – 4 dan ke-5 M.[9]
Penulis karangan-karangan dalam Injil tersebut umumnya tidak pernah diketahui secara pasti
identitasnya. Sebab mereka bukan para murid Yesus dan tidak pernah secara langsung mendapatkan
pengajaran darinya. Para penulis tersebut umumnya hanya merupakan generasi belakangan yang
memanfaatkan sumber dari sejumlah tradisi yang berkembang. Tidak mengherankan jika Bambang
Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria, mengungkapkan adanya “kebingungan” para ahli tentang
Perjanjian Baru, misal pernyataan dalam footnote bukunya bahwa Surat Ibrani awalnya diduga ditulis
oleh Rasul Paulus, tetapi para ahli pada masa sekarang ini telah meninggalkan pendapat itu dan
menyetujui bahwa surat ini ditulis oleh orang lain yang mempunyai latar belakang Yahudi.[10]
Footnote Bambang Noorsena ini sejalan dengan tulisan Dr. C. Groenen, pakar theologi. Awalnya Kitab
Ibrani yang tidak diketahui identitas pengarangnya ini memang tidak dianggap sebagai kitab suci. Surat
Ibrani ini hanya dianggap sebagai karya sastra atau prosa yang berwibawa saja, bukan bagian dari

Halaman 4 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

bacaan suci. Baru sekitar tahun 200 M, Patenus, seorang pujangga gereja di Alexandria mengakui
bahwa Ibrani merupakan kitab suci karangan Paulus. Dasar yang digunakan oleh Patenus dalam
penetapan tidak jelas hingga hari ini. Sekitar 225 M, Origenes menyebutkan bahwa hanya Tuhan saja
yang mengetahui penulis Ibrani. Namun meskipun demikian sampai tahun ini, Ibrani belum pasti
apakah dianggap masuk sebagai kitab suci atau tidak. Hingga tahun 330 M, umat Kristen kawasan
timur menerimanya sebagai kitab suci karangan Paulus. Namun demikian sampai sekitar 400 M,
Hieronimus masih mengetahui bahwa orang-orang Roma tidak bersedia menganggap Ibrani sebagai
kitab suci dan karangan Paulus. Hieronimus sendiri menerimanya sebagai kitab suci meskipun
meragukannya sebagai karangan Paulus. Kemudian baru pada abad kelima, Ibrani diterima umum
sebagai kitab suci karya Paulus. Namun keyakinan ini mulai diragukan dengan datangnya era
Reformasi pada abad keenam belas. Tradisi yang menganggap Ibrani sebagai karangan Paulus ternyata
sangat lemah dan tidak didukung oleh karangan itu sendiri. Karangan ini sebenarnya lebih dekat pada
tradisi Yohanes dibandingkan tradisi Paulus. Mengingat kehalusan bahasa dan kemahiran mengarang
bisa dipastikan penulisnya sangat menguasai dan hidup dalam kebudayaan Yunani. Penulis Ibrani juga
diyakini sangat menguasai Perjanjian Lama dalam Bahasa Yunani, sehingga disimpulkan bahwa ia
pastilah seorang Kristen keturunan Yahudi.[11]
Dengan mencermati proses penulisan dan pengumpulan serta penetapannya sebagai kitab suci maka
tidak ragu lagi bahwa Injil merupakan kitab yang tidak bisa tidak sulit dilepaskan dari suatu
kebudayaan yang melingkupinya. Contoh lain yang membuktikan masuknya ”proses kebudayaan”
adalah terkait pemunculan dalil trinitas dalam Perjanjian Baru, kitab umat Kristen. DR. C. Groenen
OFM, seorang teolog Kristen (Katholik), mengungkapkan bahwa dalil mengenai trinitas merupakan
ayat-ayat yang ditambahkan kemudian pada abad IV M setelah umat Kristen mengalami perdebatan
panjang seputar eksistensi trinitas. Jadi merupakan sebuah hal yang baru dan bukannya final sejak masa
Yesus. Ini membuktikan bahwa Agama Kristen merupakan agama sejarah yang terbentuk melalui
proses perjalanan sejarah yang panjang dan lama, termasuk dalam diskursus pembentukan basic
konseptual ketuhanannya. Oleh karena itulah maka juga dapat disebut sebagai agama budaya. Hal
tersebut diungkapkan secara lugas dan jelas oleh DR. C. Groenen OFM sebagai berikut :
Di zaman umat Kristen berdebat-debat mengenai Allah Tritunggal, sangat terasa bahwa dalam
Perjanjian Baru tidak ditemukan suatu nas yang jelas mengungkapkan dogma itu, sehingga mudah
dapat dipindahkan dalam alam pikiran filsafat dan teologi Yunani. Maka suatu nas “trinitas” yang
jelas dibuat dan dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nas itu ialah yang lazim
disebut “Comma Johanneum” (1 Yoh 5:7 menurut Vlg.). Sejak abad IV nas itu muncul, mula-mula di
daerah negeri Spanyol. Nas itu menyusup ke dalam naskah-naskah terjemahan Latin (Vlg. Naskah-
naskah terjemahan Latin yang paling tua belum memuat 1 Yoh 5:7). Akhirnya diterjemahkan ke dalam
Bahasa Yunani dan disisipkan juga ke dalam naskah-naskah Yunani. Tetapi naskah-naskah yang
memuat 1 Yoh 5:7 semua dari zaman belakangan.[12]
Dalam catatan kakinya, Dr. C. Groenen menambahkan bahwa hanya ada 3 (tiga) naskah Yunani yang
memuat teks I Yohanes 5:7. Teks itu pun baru dibuat selama abad XIV dan XVI M. Congregatio S.
Officili pada tanggal 13 Januari 1897 pernah mempertahankan ayat I Yohanes 5:7 sebagai asli. Tetapi
keputusan tersebut dicabut kembali pada tanggal 2 Juni 1927.[13] Namun belakangan ini Perjanjian
Baru, termasuk yang beredar di Indonesia, memuat kembali penambahan teks I Yohannes 5: 7 yang
sebelumnya pernah dihapuskan dari gereja. Hal ini sudah tentu karena gereja membutuhkan dalil
tersebut sebagai legitimasi atau sebenarnya justifikasi keyakinan yang dimilikinya, walaupun

Halaman 5 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

hakikatnya bisa dibuktikan hanya merupakan dalil buatan dan hasil perumusan semata. Perlu
ditegaskan bahwa doktrin trinitas merupakan jantung utama paham Kristianitas. Namun ternyata ajaran
tersebut hanya merupakan paham yang didukung oleh ayat-ayat “buatan” pada masa-masa kemudian.
Selain itu banyak ayat-ayat lain dalam Bible yang telah dibuktikan oleh teolog sebagai ayat-ayat
tambahan yang sepenuhnya “baru”.
Ayat yang seringkali digunakan sebagai dasar paham trinitas yaitu Surat Kiriman Yohanes Pertama (I
Yohannes) Pasal 5 ayat 6-8 dalam edisi Indonesia berbunyi sebagai berikut:
5:7 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan
ketiganya adalah satu.
5:8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah
satu.[14]
Penggunaan tanda kurung dalam kedua ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ayat tersebut
palsu. Artinya ayat tersebut baru ditambahkan kemudian pada era-era terakhir. Hal ini bisa dibuktikan
dengan melakukan perbandingan versi Bible yang lain, misalnya The Holy Bible Contemporary
English Version yang berbunyi :
5:6 Water and blood came out from the side of Jesus Christ. It wasn’t just water, but water and blood.
The Spirit tells about this, because the Spirit is truthful.
5:7 In fact, there are three who tell about it.
5:8 They are the Spirit, the water, and the blood, and they all agree.[15]
The Holy Bible Contemporary English Version ini bukannya satu-satunya versi yang memiliki
perbedaan dengan Bible yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Versi tanpa penambahan atau
perubahan, juga bisa dibaca dalam The Holy Bible New International Version[16] dan The Holy Bible
Today’s English Version[17]. Lantas, mengapa terdapat versi yang berbeda dalam ayat-ayat yang
dianggap sebagai dalil tentang trinitas tersebut ? Tokoh Gereja yaitu Dr. G. C. Van Niftrik dan D. S. B.
J. Boland menyatakan :
“Di dalam Alkitab tidak diketemukan suatu istilah yang dapat diterjemahkan dengan kata “tritunggal”
atau suatu ayat tertentu yang mengandung dogma tersebut. Alasan, yang menimbulkan dogma itu,
mungkin terdapat dalam I Yohanes 5 : 6-8. Tetapi sebagian besar dari ayat-ayat ini agaknya belum
tertera dalam naskah aslinya. Bagian itu setidak-tidaknya harus diberi kurung.“[18]
Dari tulisan kedua tokoh gereja di atas dapat diketahui bahwa tambahan kalimat “Bapa, Firman, dan
Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu” pada kitab Yohanes yang menunjuk kepada 3 (tiga) oknum
trinitas, sebenarnya adalah suatu bentuk pengubahan dan penambahan terhadap kitab yang dianggap
suci atau dengan kata lain adalah pemalsuan teks kitab. Perbuatan ini sudah tentu dilakukan oleh para
penginjil dari era belakangan yang memerlukan “dalil” tegas bagi apa yang mereka percayai, sebuah
dalil buatan. Terkait ayat di atas tokoh Kristen terkemuka Amerika, Jerry Falwell, bahkan secara
terbuka dan terang-terangan mengungkapkan bahwa ayat 7 dan 8 dari I Yohanes adalah tidak original
dan bukan wahyu (firman Tuhan). Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
“The rest of verse 7 and the first nine words of verse 8 are not original, and are not to be considered as
a part of the words of God.”[19]

Halaman 6 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

Artinya :
“ Kalimat terakhir ayat 7 dan sembilan kata pertama pada ayat 8 adalah tidak asli (orisinal) dan tidak
bisa dianggap sebagai wahyu (firman Tuhan)”.
Meskipun menyadari bahwa ayat 1 Yohanes 5: 7-8 tersebut hanya merupakan ayat tambahan untuk
menegaskan bahwa dalil adanya trinitas, Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland masih mencoba
berkilah. Ia menyebutkan bahwa ajaran ketritunggalan tidak tergantung kepada satu ayat saja.
Termasuk istilah “Allah Anak” tidak hanya mengandalkan kepada Markus 1: 1 yang ternyata juga
merupakan “sisipan”.[20] Buku “Dogmatika Masa Kini” karya kedua doktor tersebut menguraikan
bahwa dalam 1 Korintus 12 : 4-6 dan Efesus 4: 4-6, Paulus berbicara sekaligus tentang Roh, Kyrios
(Tuhan Yesus), dan Allah Bapa. Demikian juga dalam pembaptisan Yesus oleh Yohanes terdapat
hubungan khusus antara Yesus Kristus, Roh Kudus, dan Allah Bapa (Markus 1: 10). Hal ini menurut
mereka, juga berlaku pada ayat-ayat seperti Yohanes 14:25-26 dan 15:26 dan seterusnya.[21]
Terkait masalah tersebut telah banyak sarjana yang mencoba menjelaskannya. Berdasarkan kajian yang
dilakukan oleh M. Hashem menyebutkan sejumlah atribut-atribut ketuhanan memang telah disematkan
pada diri Yesus Kristus terutama selama kekristenan berinteraksi dengan sejumlah kepercayaan pagan.
Ketika Yesus dipersaingkan dengan Adonis, maka Yesus diberi gelar Kurios atau Kyrios, sebagaimana
dalam 1 Korintus 12: 4-6 dan Efesus 4: 4-6 yang dicantumkan oleh Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J.
Boland sebagai ayat yang mendukung dalil trinitas yang lain. Ketika menghadapi Dewa Molokh (=raja)
maka Yesus kemudian diberi gelar Raja. Ketika dihadapkan dengan Attis sebagai anak tunggal Bapa
dengan Ibu Tuhan Cybelle maka Yesus kemudian diberi sebutan Anak Tunggal. Demikian juga gelar
Anak Sulung merupakan gelar yang diberikan kepada Yesus dengan mengacu bahwa hanya anak
sulung sajalah yang akan dikorbankan kepada Dewa Baal dan Molokh. Unsur-unsur pemberian gelar
inilah yang menurut Hashem merupakan penyebab bahwa akhirnya Yesus menjadi “Tuhan sebenar-
benarnya Tuhan”.[22]
Istilah Kyrios sebagaimana digunakan oleh 1 Korintus 12: 4-6 dan Efesus 4: 4-6 terhadap pribadi Yesus
dalam kaitannya dengan Roh Kudus dan Allah Bapa, sebenarnya memiliki makna sekedar sebagai Tuan
(Lord, Heer), jadi bukan “Tuhan”. Hanya saja istilah tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa
Ibrani (Yahudi) maka akan menjadi kata Adonai, suatu istilah yang hanya diterapkan pada Yehovah,
Tuhan dalam agama Yahudi.[23] Berawal dari sinilah kekacauan penyebutan “Tuhan” terhadap pribadi
Yesus itu terjadi. Seharusnya adalah “Tuan Yesus”, bukan “Tuhan Yesus”.
Terkait masalah pengartian tersebut, kesalahan yang terjadi nampaknya memang sengaja dipelihara
pada masa berikutnya tanpa pelurusan. Hal ini diungkapkan dalam pengantar sebuah Injil yang
diterbitkan di Ende Flores sebagai berikut :
Djadi, sebenarnja lebih tepat, kalau kita menterdjemahkan ”kyrios” mengenai Kristus dengan
”Tuan”. Tetapi kami segan berbuat demikian sebab ”Tuhan” sebagai gelaran Kristus sudah terlalu
umum dalam bahasa agama kita …[24]
Perjanjian Baru, dalam sejumlah tempat tidak jarang dalam penulisannya mendapatkan inspirasi dari
Perjanjian Lama. Sejumlah ayat Perjanjian Baru menggambarkan bahwa eksistensi Yesus dan
perilakunya merupakan penggenapan terhadap ayat-ayat nubuatan yang ada dalam Perjanjian Lama.
Misalnya saja, kitab Perjanjian Baru Matius 12: 16-20 menceritakan bahwa Yesus dianggap merupakan
penggenapan dari Perjanjian Lama Yesaya 42: 1-4. Ungkapan-ungkapan serupa yang mencoba

Halaman 7 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

menghubungkan Perjanjian Baru dengan Perjanjian Lama ini banyak terdapat dalam Bible. Bisa
dipastikan bahwa pengarang Perjanjian Baru telah merujuk kepada kitab Perjanjian Lama dalam proses
penulisannya. Namun demikian kadangkala, tulisan dalam Perjanjian Baru hanya melakukan klaim saja
bahwa Yesus penggenapan dari nubuatan Perjanjian Lama. Sebagai contoh, dalam Lukas 24: 44-46
disebutkan perkataan Yesus sebagai berikut:
24:44 Ia berkata kepada mereka: “Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku
masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku
dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.”
24:45 Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.
24:46 Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari
antara orang mati pada hari yang ketiga,[25]
Konsepsi mengenai penderitaan Mesias dan kebangkitan dari kematian pada hari ketiga merupakan
salah satu ajaran penting dan mendasar dalam kekeristenanan. Keberadaannya seringkali dihubungkan
dengan konsepsi mendasar lainnya yaitu tentang penebusan dosa. Berdasarkan makna harfiah Lukas
24: 44-46 maka konsepsi penderitaan Mesias dan kebangkitan pada hari ketiga tersebut merupakan
penggenapan secara langsung dari nubuatan dalam Taurat Musa, Kitab para Nabi, dan Mazmur. Baik
taurat, kitab para Nabi, dan mazmur merupakan unsur yang tersusun dalam Perjanjian Lama.
Hanya saja konsepsi penderitaan Mesias dan kebangkitan pada hari ketiga sebagaimana termaktub
dalam kitab Lukas tersebut jelas tidak akan dapat diketemukan di bagian manapun Perjanjian Lama,
baik Taurat Musa, kitab para nabi, maupun Mazmur. Fenomena menarik ini sempat mengemuka dalam
suatu dialog Islam-Kristen yang terjadi pada Kamis, 19 Juni 2003 di Masjid Ad Dakwah Rewwin Waru,
Sidoharjo, Jawa Timur. Pihak Islam diwakili oleh Masyhud SM, seorang kristolog muslim,
menanyakan kepada Pendeta Hany Sumali, SH, M.Com, Ketua Yayasan Kristen Orthodoks Syria,
tentang darimana asal-usul ayat Injil Lukas tersebut mendapat inspirasi dari Perjanjian Lama.
Pertanyaan tersebut tidak dapat terjawab pada hari itu juga. Dua minggu selanjutnya, Masyhud SM
mempertanyakan kembali pertanyaan yang sama kepada Pendeta Hany Sumali, namun pendeta tersebut
tetap tidak mampu menjawabnya. Akhirnya Masyhud memberikan closing statement terhadap
pertanyaannya sendiri dengan menyatakan: “Jangankan anda yang baru jadi pendeta, pakar-pakar
Alkitab seluruh Indonesia, bahkan seluruh dunia tidak akan menemukan jawabannya”.[26]
Dr. B. M. Schuurman, akademisi yang karyanya menjadi salah satu rujukan Bambang Noorsena,
mengakui bahwa kitab suci agama Kristen merupakan karangan manusia, yang pada saat yang sama
juga menjadi karya dari Roh Kudus sebagai persaksian terhadap keberadaan Yesus Kristus.[27]
Konsepsi tentang pengilhaman roh kudus ini, bukannya tidak terlepas dari problemnya sendiri.
Sejumlah teolog Kristen telah sejak awal menyadari bahwa terdapat banyak pertentangan yang
paradoks dalam sejumlah substansi Bible. Pandangan beberapa theolog, kadangkala menyiratkan
gagasan-gagasan yang problematis yang menunjukkan bahwa seolah ”Roh Kudus” hanya mampu
memberikan ilham dalam proses pembentukan Bible namun gagal menjaganya dari ’penyimpangan’
yang terjadi pada ”masa selanjutnya”. Jawaban-jawaban apologetik sering mengemuka untuk
mempertahankan rumusan tersebut. Di antaranya adalah ungkapan yang dari Dr. G. C. Van Niftrik dan
Dr. B. J. Boland, akademisi Kristen, sebagai berikut :
”Kita tidak usah merasa malu, bahwa terdapat pelbagai kekhilafan di dalam Alkitab : kekhilafan-

Halaman 8 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

kekhilafan tentang angka-angka, perhitungan-perhitungan, tahun dan fakta. Dan tidak perlu kita
pertanggungjawabkan kekhilafan-kekhilafan itu berdasarkan caranya isi Alkitab telah disampaikan
kepada kita, sehingga dapat kita berkata : dalam naskah asli tentulah tidak terdapat kesalahan-
kesalahan, tetapi kekhilafan-kekhilafan itu barulah kemudiannya terjadi di dalam turunan-turunan
(salinan-salinan) naskah itu. Isi Alkitab, juga dalam bentuknya yang asli, telah datang kepada kita
”dengan perantaraan manusia” (Calvin). Roh Kudus tidak mematikan manusia untuk membuat dia
menjadi suatu alat yang tak berkehendak …[28]
Dalam perjalanan kesejarahan pertemuannya dengan Islam, telah lahir kekhawatiran tersendiri dalam
tubuh kekristenan. Pada abad ke-17 misalnya, muncul aliran “orthodoks” dalam Kristen yang sangat
mungkin terpengaruh oleh pandangan terhadap Al Quran dalam agama Islam. “Ilham” oleh aliran ini
diartikan sebagai berikut: bahwa roh kudus telah mengimlakkan atau mendiktekan kepada penulis-
penulis Alkitab, apa yang harus mereka catat.[29] Namun pemahaman ini akhirnya menjadi buah
simalakama tersendiri menilik kandungan Bible yang menyimpan kontradiksi yang paradoksal dalam
form maupun substansinya. Islam di satu sisi memiliki standar penilaian terhadap sumber kebenaran
yang terlalu tinggi, sehingga jika “standar Islam” ini diterapkan kepada Bible maka niscaya secara
keseluruhan isi kitab ini akan tertolak, tidak dapat digunakan sebagai dalil maupun argumentasi. Belum
lagi posisi Bible berhadapan vis-a-vis dengan “Ilmu Pengetahuan”, nyatanya juga lebih banyak tidak
menguntungkan pihak gereja. Dalam proses-proses inilah budaya juga turut memainkan peranannya,
termasuk dalam menjaga jarak antara dunia dengan institusi gereja maupun kekristenan.
KOMPARASI BIBLE DAN HADITS
Beberapa tokoh seringkali membandingkan bahwa cerita-cerita Bible dari segi periwayatannya
memiliki karakteristik yang paralel dan sederajad dengan tradisi hadits dalam ajaran Islam. Dr. Maurice
Bucaille, misalnya, menyatakan bahwa Bible memiliki persamaan dengan hadits, sebab keduanya
memuat kisah-kisah tentang Nabi dan orang shalih beserta ajarannya. Perjanjian Baru juga mirip
dengan hadits sebab ditulis oleh orang-orang beberapa puluh tahun setelah wafatnya Isa.[30] Pendapat
Dr. Bucaille yang hanya ditinjau dengan mengacu pada sejumlah segi penyamaan yang bersifat
fenomenologis saja, sudah tentu terlalu berlebihan, sebab hadits jelas tidak bisa dibandingkan dengan
Bible. Terdapat sejumlah perbedaan mendasar yang sulit dipertemukan antara kedua entitas tersebut.
Beberapa penulis muslim juga sering memberikan perbandingan antara ayat-ayat Bible dan hadits.
Dikatakan bahwa Bible setara dengan hadits maudlu’ (hadits palsu), kalaupun mungkin hanya akan
mencapai derajad hadits dha’if (hadits lemah).[31] Sebagian ulama berpendapat, dalam kasus hadits
yang lemah karena perawinya sudah tua sehingga terkendala dengan hafalan yang menurun karena
usia, derajadnya bisa menjadi hadits hasan (baik) jika terdapat kondisi bahwa terdapat perawi lain yang
memiliki kondisi sama yang juga meriwayatkan hadits yang sama. Sehingga hadits tersebut dikenal
sebagai hadits hasan li ghairihi artinya hadits tersebut bernilai baik karena ditopang dan dikuatkan oleh
keberadaan hadits yang lain. Akan tetapi ayat-ayat Bible tidak akan pernah dapat mencapai tingkatan
derajad yang demikian. Sebab sejak awal memang tidak memiliki tradisi pengujian keshahihan yang
terpercaya.
Jika dengan hadits dha’if saja tidak memenuhi standar sehingga dapat disejajarkan, maka apatah lagi
jika dikomparasikan dengan Al Quran. Keberatan utama muslim adalah terkait dengan keabsahan
sumber yang berasal dari Bible ketika disejajarkan dengan nash Al Quran. Standar kebenaran sumber
dalam Islam yang paling utama adalah mengandalkan sumber dari khabar shadiq. Khabar shadiq ini
pun memiliki tingkatan-tingkatan, dimana yang tertinggi adalah mutawatir. Sedangkan derajad Al

Halaman 9 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

Quran adalah dari khabar shadiq yang mutawatir. Sedangkan hadits memiliki derajad yang berbeda-
beda. Sebagiannya juga mencapai derajad khabar shadiq yang mutawatir tersebut. Lawan dari khabar
shadiq adalah khabar kadzib (berita dusta). Beberapa hadits sengaja diciptakan oleh orang-orang
belakangan sehingga menempati kedudukan sebagai khabar kadzib sebab tidak berasal dari perkataan
Rasulullah dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri yang tidak sesuai dengan Al Quran dan As
shunnah. Seringkali kalangan muslim menyebut khabar ini sebagai “hadits palsu” yang maknanya,
bukan hadits dalam arti sebenarnya.
Hadits memiliki sistem verifikasi validitas yang sangat ketat. Sebenarnya, hadits palsu bahkan
derajadnya adalah lebih tinggi dari Bible, sebab hadits palsu (hadits maudlu’) terkadang masih
memiliki sejumlah informasi yang menyebutkan jalur periwayatan tertentu yang bisa dirunut beserta
pengenalan terhadap jalur-jalur tersebut. Sedangkan Bible termasuk bagian Perjanjian Barunya sama
sekali tidak memiliki metode telaah yang bersifat demikian. Penisbatan suatu kitab terhadap penulis
tertentu dari Bible, umumnya hanya disandarkan pada sejumlah teori yang bersifat spekulatif dan masih
memiliki peluang untuk diperdebatkan. Sebut saja misalnya Pentateuckh, kebanyakan umat Kristiani
menganggap kelima kitab tersebut merupakan karya dari Musa. Akan tetapi tidak ada satu pun jalur
periwayatan yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa Pentateuch memang benar-benar
merupakan karya Musa. Justru jika dianggap sebagai karya Musa, maka Pentateuch menyisakan
sejumlah kejanggalan. Diantaranya adalah cerita tentang kematian Musa sendiri yang tidak mungkin
dikisahkan oleh Musa secara pribadi.[32] Tentang “Kitab Musa” ini Vriezen telah memberikan
penjelasan tersendiri sebagai berikut:
Mengenai jaman Musa, banyak soal yang masih belum terpecahkan. Bahkan belakangan ini para
pengkritik malah menyoroti dengan lebih tajam lagi tradisi2 berkenaan dengan Musa itu. Ada ahli yang
meragukan sekali, apakah betul oknum Musa memainkan peranan historis dalam pembebasan dari
Mesir dan dalam pernyataan di gunung Sinai. Ada ahli yang menolak secara hampir total (menyeluruh)
adanya dasar Musais pada agama israel, atau pada institusi2 agama Israel yang tertentu. Banyak ahli
berpendapat bahwa bukti2 berupa naskah otentik dari jaman Musa malah tidak ada sama sekali.[33]
PENUTUP
Dengan demikian, Bible bukan hanya disampaikan pada suatu kaum dengan suatu budaya tertentu
melainkan mulai dari proses pembentukannya hingga kompilasi memang sukar dipisahkan dari proses-
proses kebudayaan manusia. Kesalahan penyalinan, penambahan, dan proses penetapan merupakan
konsekuensi logis dari proses-proses kebudayaan tersebut. Persoalan kitab suci merupakan hal yang
paling mendasar dari sebuah agama, sebab merupakan sumber-sumber dari agama yang bersangkutan.
Jika problem ini saja belum mendapatkan pencerahan maka kekacauan sudah tentu akan merambah
kepada aspek-aspek yang lain tanpa terkecuali, meliputi tradisi, ritual, dan bahkan merambah pada
wilayah keyakinan yang paling mendasar yaitu masalah ketuhanan.
Kesan yang hendak dibangun bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terbebas dari problematika,
hendaknya dicermati ulang. Proses-proses kebudayaan yang berjalan di sekitar penulisan hingga
kompilasinya terlalu riskan untuk diabaikan. Sebab umumnya kelupaan terhadap kronologi sejarah
kitab tersebut merupakan keuntungan tersendiri yang berguna untuk memuaskan suatu argumen ajaran.
Penulis: Susiyanto - Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com

Halaman 10 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

FOOTNOTE
[1] John Gilchrist. Sejarah Naskah Al Qur’an dan Alkitab. Terjemahan dari judul asli : “The Textual
History of the Qur’an and the Bible”. (Jalan Alrahmat, Jakarta, 1996). Hal. 31-32
[2] John Gilchrist. Sejarah Naskah … Ibid. Hal. 20-22
[3] Indjil : Kabar Gembira Jesus Kristus Kitab Kudus Perdjanjian Baru. diterjemahkan menurut
naskah-naskah Junani. Cetakan III. (Pertjetakan Arnoldus Ende, Flores, 1965). Hal. XXXIX. (Kitab
Injil ini mendapat imprimatur dari Achiepiscopus Endehensis, Ndonae, 8 Juni 1965)
[4] P. Dr. C. Groenen. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama: Mengenal Latar Belakang dan Isi Kitab-
kitabnya. (Penerbitan yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1980). Hal. 18-19 (mendapat imprimatur A.
Djajasiswaja Pr. Vik. Jen. Semarang, 2 Oktober 1979).
[5] Th. C. Vriezen. Agama Israel Kuno. Cetakan II. Diterjemahkan dari Religion of Ancient Israel oleh
Dr. I.J. Cairns. Diedit oleh P.S. Naipospos. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983). Hal. 13
[6] Prof. Dr. Mr. D. C. Mulder. Pembimbing Kedalam Perdjandjian Lama. Cetakan II. (Badan Penerbit
Kristen, Jakarta, 1970). Hal. 12
[7] Prof. H.H. Rowley. Atlas Alkitab. Cetakan X. Diterjemahkan dari ”Student’s Bible Atlas” oleh P.S.
Naipospos. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992). Hal. 9-12
[8] Lihat DR. C. Groenen. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Cetakan II. (Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1986). Hal. 19-26. Ayat-ayat Perjanjian Baru sendiri menunjukkan bahwa nama “Kristen”
telah dikenal sebelum penulisan karangan-karangan yang kemudian menjadi bagian dari kitab tersebut.
Ayat yang dimaksud menceritakan tentang keberadaan Jamaah Kristen awal, antara lain dapat dicermati
dalam Kis. 11: 26, 26: 28; Rm. 16:7; dan 1 Ptr. 4:16. Penyebutan nama Kristen ini menunjukkan bahwa
karangan-karangan tersebut baru ditulis pada masa setelah keberadaan Jamaah Kristen, pada masa
setelah kehidupan Yesus.
[9] Prof. H. H. Rowley. Atlas Alkitab. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992). Hal. 12-13
[10] Lihat Footnote Bambang Norsena. Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan
Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 10
[11] Selengkapnya baca Dr. C. Groenen, OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Baru … Ibid. Hal. 318-
322
[12] DR. C. Groenen, OFM. “He Dynamis Tou Pneumatos” : Kitab Suci tentang Roh Kudus dan
Hubungannya dengan Allah Bapa dan Anak Allah. (Lembaga Biblika Indonesia-Penerbit Yayasan
Kanisius, Yogyakarta, 1982). Hal. 64
[13] U. Lebreton. Histoire du dogme de la Trinite I: Les Origines du dogme de la Trinite. Hal. 645-647;
W. Thiele. Beobachtungen zum Comma Joanneum. ZNT 50 (1959). Hal. 61-63 dalam kutipan Dr. C.
Groenen OFM. “He Dynamis Tou … Ibid. Hal. 64
[14] I Yohanes 5 : 7-8. Alkitab Terjemahan Baru. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1974)

Halaman 11 Dari 12
www.muslimdaily.net Wacana Peradaban Islam

[15] I John : 6-8. The Holy Bible Contemporary English Version. (ABS, 1995)
[16] Lihat New York International Bible Society. The Holy Bible New International Version.
(Zondervan Bible Publishers – Grand Rapids, Michigan, 1981). Hal. 926
[17] Lihat. The Holy Bible Today’s English Version : New Testament. (ABS, 1992)
[18] DR. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Cetakan V. (BPK, Jakarta,
1984). Hal. 548-549
[19] Jerry Falwell. Liberty Bible Commentary. (Thomas Nelson Publisher-Nashvhille Camden, New
York, 1983). Hal. 2638 dalam Masyhud SM. Al Quran Mengajak … Opcit. Hal. 25. Artinya : “ Kalimat
terakhir ayat 7 dan sembilan kata pertama pada ayat 8 adalah tidak asli (orisinal) dan tidak bisa
dianggap sebagai wahyu (firman Tuhan)”.
[20] Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland. Dogmatika Masa ….Opcit. Hal. 550
[21] Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland. Dogmatika Masa ….Ibid. Hal. 549
[22] M. Hashem. Misteri Darah dan Penebusan Dosa : di Mata Agama Purba, Yahudi, Kristen, dan
Islam. Cetakan II. (Hikmah, Jakarta, 2006). Hal. 241-242
[23] M. Hashem. Misteri Darah dan … Ibid. Hal. 242
[24] Indjil : Kabar Gembira Jesus Kristus Kitab Kudus Perdjanjian Baru. diterjemahkan menurut
naskah-naskah Junani. Cetakan III. (Pertjetakan Arnoldus Ende, Flores, 1965). Hal. 535. (Kitab Indjil
ini merupakan Injil yang dipakai secara resmi dengan mendapat imprimatur dari Achiepiscopus
Endehensis, Ndonae, 8 Juni 1965)
[25] Lukas 24: 44-46
[26] Masyhud SM. Deretan Pastur dan Pendeta Korban Injil Lukas. Dalam Majalah Modus Vol. 1 No.
10/Th. II/2004. Hal. 34-36
[27] Dr. B. M. Schuurman. Pambijake Kekeraning Ngaurip. Cetakan III. (Badan Penerbit Kristen,
Jakarta, 1968). Hal. 61
[28] Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland. Dogmatika Masa …. Opcit. Hal. 393
[29] Dr. G. C. Van Niftrik dan Dr. B. J. Boland. Dogmatika Masa… Ibid. Hal. 390
[30] Dr. Maurice Bucaille. La Bible le Coran et la Science. (Editions Seghers, Paris, 1976). Edisi
Indonesia : Bible, Qur-an, dan Sains Modern. Penterjemah oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Cetakan II.
(Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 17
[31] Lihat misalnya Masyhud SM. Al Qur’an Mengajak Kristen Jujur Beragama. Dalam Majalah
Modus Vol. 1 No. 8 Th. II/ 2004. hal. 28
[32] Lihat pembahasannya secara lengkap dalam Dr. Maurice Bucaille. Opcit. Hal. 35-41
[33] Th. C. Vriezen. Agama Israel …. Opcit. Hal. 15

Halaman 12 Dari 12

You might also like