You are on page 1of 12
RENATIAN AKIBAT RABIES PBSC ag UC oe tea PUSDATIN 2016 Situasi Rabies di Dunia “Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies” Pendahuluan Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus (dari bahasa Yunani Lyssa yang berarti mengamukataukemarahan), bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat, hewan berdarah panas dan manusia. Rabies berasal dari bahasa latin “rabere” yang artinya marah, menurut bahasa Sansekerta “rabhas” yang berartikekerasan, Virus Rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan penular Rabies seperti anjing, kucing dan kera. Virus Rabies masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan melalui tuka gigitan hewan penderita Rabies atau luka yang terkena air liur hewan penderita Rabies. Bila luka gigitan tidak dilakukan penanganan sejak dini, 2 bulan sampai 2 tahun akan menimbulkan gejala (masa inkubasi). Bervariasinya masa inkubasi cepat atau lambat tergantung pada: a, dalam atau tidaknya luka bekas igitan . luka tunggal atau luka jamak ¢. dekat atau tidaknya Iuka gigitan dengan susunan saraf pusat (seperti luka yang terjadi di daerah bahu ke atas mempunyai masa inkubasi yang lebih pendek) 4d. jumlahvirusyangmasukketubuh SituasiRabiesdiDunia Hewan-hewan utama yang menularkan rabies (HPR = Hewan Penular Rabies) pada ‘umumnya berbeda untuksetiap benua. a. Eropa:rubah dan kelelawar; Timur tengah: serigala dan anjing; ‘Afrika: anjing, mongoose dan antelop; Asia: anjing; . Amerika Utara: rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga; ‘Amerika Selatan: anjing dan kelelawar vampir; World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 55.000 orang per tahun mati karena Rabies, 95% dari jumlah itu berasal dari Asia dan Afrika (WHO, 2008) Sebagian besar dari korban sekitar 30-60% adalah anak-anak usia kecil di bawah 15 tahun (WHO, 2008) dan 40% terjadi pada anak-anak <15 tahun. Sedangkan di Vietnam rata-rata 9.000 kasus/tahun kasus kematian akibat rabies dan India rata-rata 20.000 kasus/tahun, Filipina 200-300 kasus/tahun dan di Indonesia rata-rata 131 kasus/tahun (5 tahun terakhir). een hia a eee et ir) Tahun 2011 Sumber: WHO Tahun 2012 [Peta dibat oleh Control of Neglected Topical Disease (NTO) World Health Organization Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa distribusi penyakit Rabies sangat bervariasi untuk setiap belahan dunia, Pada tanggal 19-20 Januari 2012 diselenggarakan kegiatan Workshop Rabies di Chiang Mai Thailand, dan dihadiri oleh negara- negara ASEAN dan beberapa negara asia lain seperti China, Mongolia, Bangladesh, dan Srilangka, organisasi internasional (OIE-World Organisation for Animal Health, FAO-Food and Agriculture Organization of the United Nations, dan WHO) yang menghasilkan kesepakatan sebagaiberikut ‘+ Mencatat bahwa pemberantasan Rabies dimungkinkan dengan adanya bukti keberhasilan pada kondisi tertentu misal pengendalian Rabies di sebuah pulau, namun demikian secara umum kasus Rabies belum menurun secara signifikan, sehingga ke depan pengendalian Rabies, dengan mengedepankan penerapan one health sangat penting untuk dilakukan. Pertemuan ini juga mencatat bahwa program pengendalian Rabies di hewan masih terbatas karena belum menjadi prioritas dan kurangnya data pendukung, penanganan Rabies dibandingkan dengan sektor kesehatan manusia. ‘+ Pertemuan ini menyetujui bahwa Rabies pada manusia dapat dicegah apabila ditangani dengan baik di sumbernya, khususnya pada anjing dengan menggunakan vaksin yang bak dalam program vaksinasi. Namun demikian pertemuan ini mencatat bahwa ada keterbatasan anggaran dalam mendukung penyediaan vaksin dalam jumlah yang cukup dan operasional vaksinasinya. * Pertemuan mencatat pengembangan dokumen “Call for action towards the elimination of rabies in the ASEAN member states and the plus three countries by 2020” yang didukung oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan, ‘+ Mencatat pengembangan Bank Vaksin oleh OIE. Situasi Rabies di Indonesia Di Indonesia Rabies pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Esser di Jawa Barat pada tahun 1884 pada seekor kerbau. Kemudian oleh Penning pade anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia tahun 1894. Penyebaran Rabies di Indonesia bermula dari3 provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan sebelum Perang Dunia ke -2 meletus. Distribusi penyakit Rabies sangat bervariasi untuk setiap belahan dunia. Di Indonesia hewan penular utama yaitu anjing sebesar 98%, monyet dan kucing sebesar 2%. ‘Sampai dengan tahun 2015, Rabies tersebar di 25 provinsi dengan jumlah kasus gigitan yang, ccukup tinggi. Berdasarkan data pada tahun 2015 dari Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit {P2P), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik terdapat 80.403 kasus gigitan hewan penular Rabies (GHPR) yang dilaporkan. Sedangkan 9 provinsi bebas Rabies, diantaranya 5 provinsi bebas historis (Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Nusa Tenggara Barat), dan 4 provinsi dibebaskan (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan DK| Jakarta). Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian Rabies yaitu: kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus yang diberi vaksinasi post exposure treatment dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan kasus yang meninggal karena Rabies (Lyssa) dan spesimen positif pada hewan. Penentuan suatu daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan hasil aan laboratorium hewan, dan kewenangan iniditentukan oleh Kementerian Pertanian, Surmber jen Pencegahan dan Pengendalan Penyai, emenkes Rl, 2016 Berdasarkan gambar di atas terlihat terjadi penurunan kasus GHPR pada tahun 2012 sebanyak £84,750 kasus menjadi 69.136 kasus pada tahun 2013 dan meningkat kembali pada tahun 2014 dan 2015. Sedangkan kasus kematian akibat Rabies (1yssa) mengalami penurunan signifikan sampai tahun 2014 dan meningkat sebesar 20% pada tahun 2015 karena meningkatnya kasus positif pada hewan, masyarakat tidak melapor sehingga penanganan kasus kegigitan tidak dilaksanakan sesuai dengan SOP, Pada tahun 2015 terdapat 80.403 kasus GHPR. Kasus GHPR paling banyak terjadi di Bali yaitu sebanyak 42.630 kasus, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur yaitu sebanyak 7.386 kasus. Sedangkan untuk kematian akibat Rabies (Lyssa) terdapat 118 kasus, terjadi paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan di Bali sebanyak 15 kasus. Ee eae cn er e toren Leute SEU eee ered Smber Dien Pencegahan dan Pengendaian Penyakt, Kemenkes Rl, 2046 Berdasarkan gambar diatasterlihatbahwa 2. Pengetahuan masyarakat tentang bahaya kasus kematian akibat Rabies tertinggi (Lyssa) penyakit Rabies selama 3 tahun berturut-turut (2013, 3, Kesadaran dan kemauan masyarakat 2014,2015) adalah Provinsi Sulawesi Utara yaitu Untuk melaporkan kasus gigitan hewan 30 kasus, 22 kasus dan 28 kasus penular Rabies ke fasilitas kesehatan Tinggi rendahnya kasus Rabies pada 4. Kesadaran masyarakat untuk segera ke hewan dan manusia di suatu daerah tergantung pelayanan kesehatan setelah di gigit beberapa faktor: hewan penular Rabies untuk mendapat pengobatan sesuai dengan SOP 5. Perpindahan penduduk dan lalu lintas penduduk dengan membawa hewan peliharaan dari satu wilayah ke wilayah lainnya 1. Kesadaran masyarakat dalam tatacara ‘memelihara hewan yang baik dan benar (vaksinasi rutin dan tidak meliarkan hewan peliharaan) Gambar 4. Distribusi Kasus Rabies pada Hewan dan Manusia Aero 150 sm kacus Rabies Pads Hewan, 100 ~-Kacus Rabies Pads Manus so 2010 2011 2013 | 2014 2015 Sumber: Direktorat Kesehatan Hewan, Kementan Rl, 2016 dan DtjenP2P, Kemenkes Rl, 2016 Coe I Ua eae ee Ce ea CeO coe ee re Mee eu eu cy POOR ce ec ee Une 0) REECE cen UCC CRP Ce CUO cd acc eC Se eee cee ee Rae en een Tee Ec) ee ec eee ca ce eC Unc) POC OE cu ee est ee ee eae nL Cuenca cy HEWAN ag aged 7% Indonesia Penyakit Rabies dan Penatalaksanaan Kasus Rabies Penyakit Rabies A. Gejala Klinis Rabies Pada Manusia a. Stadium Prodromal Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri ditenggorokan selama beberapa hari. b. Stadium Sensoris Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka, kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensorik. ¢. Stadium Eksitasi Tonus otot-otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis (keringat berlebih), hipersalivasi, hiper- lakrimasi dan dilatasi pupil. Pada stadium ini penyakit mencapai puncaknya dengan timbulnya bermacam-macam fobia (hidro- fobia, fotofobia, aerofobia), apnoe, sianosis, takikardia, penderita menjadi maniakal juga terjadi pada stadium ini. Gejala-gejala eksitas ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah, hhingga terjadi paresis flaksid otot- otot. d. Stadium Paralisis, Sebagian besar penderita Rabies meninggal dalam stadium eksitasi Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis/kelumpuhan otot-otot yang bersifat progresif. Namun stadium gejala Klinis pada Rabies ini sangat sulit dibedakan karena perubahannya sangat cepat terjadinya, yang sangat khas adalah takut terhadap air, udara dan cahaya. Tatalaksana Gigitan Hewan Penul: Rabies (GHPR) Gejala Klinis Rabies pada Hewan a. Fase prodromal Hewan mencari tempat yang dingin seperti kamar mandi, di bawah pohon dan menyendiri. Tetapi bisa juga hewan menjadilebih agresif dan nervous. Refleks kornea berkurang atau hilang, pupil meluas, kornea menjadi kering. Tonus urat daging bertambah sehingga menyebabkan ewan tampak kaku/sikap siaga b. Faseeksitasi Pada fase ini hewan akan menyerang apa saja yang ada di sekitarnya, memakan barang-barang aneh: kayu, kawat, rambut, dan lain-lain. Mata menjadi keruh dan selalu terbuka, gerakan tidak terkoordinasi, dan terjadikejang-kejang. c. Fase paralisis Mata terbuka, semua refleks hilang, kejang-kejang dan akhirnya hewan mati. 4, Pencucianuka Pencucian luka merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam tata laksana kasus GHPR. Luka Bigitan dicuci dengan air mengalir dan sabun/deterjen selama 10-15 menit. 2. Pemberian Antiseptik Pemberian antiseptik (alkohol 70%, betadine, obat merah, dll) dapat diberikan setelah pencucian luka. 3, Tindakan Penunjang Luka GHPR tidak boleh dijahit untuk mengurangi invasi virus pada jaringan luka, kecuali luka yang lebar dan dalam yang terus mengeluarkan. darah, dapat dilakukan jahitan situasi untuk menghentikan perdarahan. Sebelum dilakukan penjahitan Iuka, harus diberikan suntikan infiltrasi SAR sebanyak mungkin di sekitar Iuka dan sisanya diberikan secara intra muscular (IM), [ ALUR | PENATALAKSANAAN KASUS GIGITAN HEWAN TERSANGKA/RABIES Kasus gigitan Anjing, Kucing, Kera/Monyet Hewan penggigit lari/ hilang & tidak dapat ditangkap, mati/dibunuh (eee! Luka Hewan penggigit dapat ditangkap & diobservasi 10 - 14 hari =a Luka risiko rendah risiko rendah { { { Segera Tidak diberi VAR diberi VAR tunggu hasil obs. Jika tidak dapat _Spesimen otak diperiksa Lab <—{ dapat diperiksa lanjutkan VAR diLab a Negatif Stop VAR Negatif Stop VAR Pemberian VAR atau VARdanSAR Pemberian VAR dan SAR ditentukan menurut kategori luka gigitan dan kondisi hewan penggigitaya. Untuk kontak (dengan liur atau saliva hewan tersangka/hewan Rabies atau penderita Rabies) tetapi tidak ada Iuka, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR dan SAR. Pada kasus luka risiko rendah dapat diberikan VAR namun perlu melihat kondisi hewan penggigitnya. Sedangkan pada kasus |luka risiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR. Kasus Gigitan Hewan penular Rabies harus segera ditangani, karena jka tidak segera ditangani setelah terkena gigitan dan muncul gelala, hal ini sering berakhir fatal dengan kematian. Menurut WHO dan CDC (Centers for Disease Control and Prevention), sekali gejala Rabies muncul, hampir pasti kecil peluang penyembuhannya secara statistik. Maka dari itu, segera cuci luka setelah di gigit hewan penular Rabies (HPR) dan mendatangifasilitas kesehatan yang biasa menangani kasus gigitan HPR sebaiknya jangan tunggu hingga muncul ejala. Belum diketemukan obat/cara pengobatan untuk penderita Rabies sehingga selalu diakhiri dengan kematian pada hampir semua penderita Rabies balk manusia maupun hewan, Pencegahan Rabies Langkah-langkah pencegahan Rabies © Tidak memberikan izin untuk me- masukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya didaerah bebas Rabies. ¢ Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpaizinke daerahbebas Rabies. Melaksanakan vaksinasi rutin ter- hadap anjing, kucing dan kera, dengan target khusus 70% populasi anjing yang ada di daerah tertular. Kebijakan Pengendalian Rabies di Indonesia Upaya pengendalian Rabies telah dilaksanakan secara terintegrasi oleh dua Kementerian yang bertanggungjawab yaitu Kementerian Pertanian dalam hal ini Direktorat Kesehatan Hewan untuk penanganan kepada hewan penular dan pengawasan lalu lintasnya, serta sektor Kesehatan untuk penanganan kasus gigitan pada manusia dan penderita Rabies (Lyssa). Adapun upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan dalam penanganan Rabies di Indonesia adalah menyediakan vaksin anti Rabies dan refrigerator, menyediakan media KIE, peningkatan kapasitas pengendalian Rabies. Prioritas Kegiatan 1. Penurunan kematian akibat Rabies (Lyssa) melalui penanganan kasus GHPR dengan pembentukan/optimalkan Rabies center Surveilans epidemiologiterpadu 3. Meningkatkan akses masyarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan 4, Penanggulangan KLB terpadu Kerjasama lintas sektor 6. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petugas 7. Penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media dan berbagai kesempatan 8, Pemenuhan kebutuhan logistik Capaian ‘Adapun capaian target nasional pengendalian Rabies 2015 Ply ned % Kab/kota 25% 40% 55% 70% 85% eliminasi Rabies | (66 Kab) | (106 Kab) | (145 Kab) | (185 Kab) | (225 Kab) (pada manusia) 26% (69 Kab) Capaian Catata: Daerah endemis abies 264 abrhota Tantangan/Kendala 11, Ancaman Zoonosis Meningkat: a. Kedekatan manusia dengan hewan (hobi, ekonomi, dil b. Kebutuhan protein hewani meningkat . Semakin dekatnya manusia dengan lingkungan/satwa liar (pemibukaan hutan, pemukiman mendekati hutan, dil) dd. Perubahan Iklim (Climate change), vektor meningkat, adaptasi/mutasi mahluk hidup menjadi lebih patogen dil . Pola Migrasi, transportasi antar wilayah/antar negara, pariwisata, dll 2. Disparitas kapasitas sumber daya Pemda antar wilayah dan antar sektor; 3. Disparitas institusional antar emda antar wilayah, antar sektor sampai ke tingkat pelaksana di Kab/Kota serta Kecamatan; 4, Perlunya akselerasi upaya pengendalian pada penyebab penularan di sektor hulu (sumbernya}; 5. Sosio-budaya dan tradisi masyarakat harus mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan zoonosis; 6. Pengawasanlalulintas hewan belum memadai, mobilitas hewan/manusia yang tinggi ‘Tantangan terbesar Rabies yaitu Indonesia bebas Rabies tahun 2020 yang sejalan dengan Target ASEAN FREE RABIES :2020 dan target dunia bebas Rabies 2030, TATA LAKSANA GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (GHPR)

You might also like