Professional Documents
Culture Documents
Model of Triple Helix-01082021
Model of Triple Helix-01082021
Abstract
This objective of study is to elaborate the pattern of creative economy development
based on Triple Helix for small medium sized enterprises in West Java. The main
issue is that there have not been any synergies between the three actors of the
Academic, Business and Government (ABG) sectors in developing the creative
economy for SMEs. The research employed Analytical Hierarchy Process approach
(AHP), which aims to synthesize comparisons of decision-making judgment and
solve complex problems in order to develop the weight or priority of SMEs that
have successfully implemented a triple helix model as best practice. The research
is expected to design Triple Helix model in developing creative economy for SMEs
in West Java Province. Academics as knowledge and technology resource focus on
producing findings and innovative applications. Businesses capitalize on providing
economic benefits and social benefits for society, while the Government guarantees
and maintains stability of the relationship with conducive regulation.
Keywords: Model Triple Helix Model, SMES, creative economy, Analytical
Hierarchy Process
1
kreatif bagi UKM terjadi di daerah Padurenan Kudus dan Troso Jepara, Jawa
Tengah, yang diidentifikasi oleh penelitian Prabawani et al. (2017), meskipun pola
triple helix telah lama terbentuk, masih kurang berdampaknya knowledge hubs bagi
inovasi usaha kalangan UKM sebagaimana yang diharapkan. Hal ini diduga, selain
karena lebih diutamakannya faktor input modal, terutama akibat tidak adanya
mekanisme inovasi, transfer teknologi, inkubasi serta riset yang tepat untuk
diterapkan. Dalam penelitian oleh Hamsani and Khairiyansyah (2018) dikaji sinergi
kerjasama para aktor ABG (Academic, Business, and Government) dalam sektor
ekonomi kreatif di Kota Pangkalpinang, Riau, disimpulkan bahwa kerjasama belum
mencapai maksimal karena unsur A (akademik) kurang terlibat dalam memberikan
bantuan meskipun unsur G (pemerintah) telah memberikan banyak bantuan kepada
industry kreatif. Oleh karena itu dunia akademik menjadi aktor yang sangat penting
dalam mencapai keberhasilan. Peran universitas sangat penting sebagai kunci
dalam pengembangan ekonomi lokal di kota Jatinangor, Jawa Barat, yaitu sebagai
leader pembentukan ikatan sosial. Dalam riset oleh Supriadi (2012) ditemukan
bahwa keberhasilan kerjasama para aktor ABG sangat ditentukan oleh faktor-faktor
kohesivitas, kepemimpinan, saling memahami, kepercayaan, informasi, dan
transparansi dalam proses kerjasama. Kohesivitas dapat terbentuk beradasarkan
adanya pengenalan dan saling memenuhi kebutuhan antar aktor dalam membentuk
ikatan sosial yang kuat. Dalam laporan Rudito (2014), dari pengalaman penerapan
program CSR di daerah Pangalengan, Jawa Barat, ditemukan bahwa melalui
pendekatan pemahaman kultural masyarakat, dapat memperkecil resistensi
masyarakat. Dengan prinsip pendekatan yang sama, pemahaman kultural ini dapat
diterapkan untuk mengambangkan kerjasama dalam konteks triple heliks,
khususnya untuk diterapkan di daerah pedesaan. Ramadini & Nasution (2016)
mengidentifikasi berbagai kondisi dan permasalahan sektor UKM yang bergerak d
bidang industri batik, tenun serta bordir yang berada di wilayah Kota Medan,
Sumatera Utara, dan sekitarnya dalam konteks menghadapi persaingan pasar
ASEAN. Hasil kajian mereka menunjukkan bahwa yang menjadi hambatan utama
dalam berkompetisi adalah ketersediaan tenaga terampil, kemampuan
entrepreneurship sera kemampuan melakukan penetrasi pasar. Selain itu support
dari pemerintah dalam menunjang ketersedian mesin produksi juga dipandang
penting dalam menunjang kemampuan berkompetisi. Berdasarkan pengalaman
yang dilaporkan oleh Purnomo et al. (2015) pada penerapan kerja sama aktor-aktor
ABG triple heliks di Majalengka, Jawa Barat, ditunjukkan bahwa konsistensi
bantuan bimbingan dari pihak universitas dalam kurun waktu yang relatif panjang
kepada UKM menjadi faktor signifikan bagi perkembangan industri UKM yang
dibantu. Keterlibatan berbagai unsur komunitas termasuk pondok pesantren dan
kelompok pemberdayaan wanita turut mendukung keberhasilan kolaborasi ABG
yang terbentuk. Keberhasilan yang semula hanya dicapai segelintir usaha UKM di
daerah kemudian dijadikan model pengembangan yang diterapkan pada usaha-
usaha UKM yang ada di daerah sekitarnya. Saefuloh (2011) menyatakan bahwa
kebijakan pembangunan ekonomi harus memberikan keseimbangan pertumbuhan
ekonomi baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Wasistiono dan Tahir (2008)
menyatakan bahwa kemerosotan ekonomi kreatif bagi UKM adalah hasil dari
ketidakkonsistenan dalam mengatur pembangunan pertumbuhan produk desa.
2
Tingkat urbanisasi yang tinggi, menunjukkan perkembangan yang terus meningkat
menyebabkan pembangunan lemah. Berdasarkan berbagai pengalaman empiris di
berbagai daerah mengenai penerapan konsep triple helix, maka dapat dikatakan
bahwa tantangan dan peluang berbeda antar satu daerah dengan yang lainnya.
Penelitian Herliana (2015), mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat keberhasilan pengembangan ekonomi kreatif bagi UKM di wilayah Jawa
Barat berbasis triple helix, yaitu meliputi: (1) Sumber daya manusia yang memeliki
dampak luas bagi kapabilitas UKM untuk dapat maju, bertahan, atau gagal; (2)
Pemasaran yang masih menjadi kendala bagi kalangan UKM; (3) Ketersediaan
kapital dan teknologi bagi usaha-usaha yang ingin meningkatkan baik volume
maupun kualitasnya dalam merespon persaingan; (4) Manajemen organisasi yang
cenderung berbasis keluarga dan lambat untuk mengadopsi manajemen modern; (5)
Dukungan ketersediaan infrastruktur dimana tempat UKM berdomisili; (6) Upaya
untuk melakukan pertnership serta legalitas usaha; (7) Tingkat kompetisi yang
cenderung tinggi, mengingat usaha UKM pada umumnya memiliki barrier entry
yang minimal, sehingga memudahkan bermunculannya kompetitor usaha sejenis.
Menurut hasil wawancara tim peneliti, Somaria, Sintha, Diponegoro dan Tashia
(2018), pengembangan UKM dengan model triple helix, permasalahan yang terjadi
di Jawa Barat, khususnya di Banten dan Bandung adalah: (1) Kemampuan
melakukan inovasi dan daya saing masih lemah, sehingga berdampak pada kinerja
pelaku UKM di Wilayah Banten dan Bandung; (2) Kualitas dan kuantitas industi
kreatif saat ini masih lemah karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia
(SDM) masih lemah terutama lemahnya kapabilitas inovasi para pelaku usaha
UKM; (3) Perkembangan perubahan teknologi yang begitu cepat, sehingga industri
harus menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi tersebut; (4) Perubahan
lingkungan yang cepat yang disebabkan adanya kreativitas dan inovasi usaha; (5)
Kecerdasan konsumen untuk memenuhi kebutuhan, sehingga diperlukan inovasi
dalam memenuhi harapan konsumen; (6) Perubahan selera pasar dan teknologi
yang membutuhkan produk dan pelayanan cepat.
Menghadapi fenomena di atas, untuk membantu memecahkan persoalan yang
kompleks maka metode penelitian menggunakan Analytical Hierarchy Process
(AHP). AHP merupakan metode yang mensintesis perbandingan judgment
pengambil keputusan berpasangan pada setiap level hirarki keputusan dengan
menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan
menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas.
Tujuan penelitian ini diharapkan bahwa: (1) Model triple helix merupakan
penggerak lahirnya kreativitas, ide, dan ketrampilan dalam strategi pengembangan
UKM menuju ekonomi kreatif; (2) Model triple helix diformulasikan berdasarkan
faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas proses knowledge transfer
berkolaborasi dengan pihak UKM, Perguruan Tinggi, Pemerintah, dan Industri; (3)
Kerjasama yang baik antara perguruan tinggi, pemerintah dan industri dapat
mendorong kemampuan inovasi dengan menciptakan interaksi dan komunikasi
yang dinamis.
3
Kajian Teori
1. Triple Helix
Teori Triple Helix, yang dipopulerkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff
(1995), adalah suatu pendekatan dalam menciptakan sinergi kerjasama dari tiga
aktor yaitu akademik (A), bisnis (B), dan pemerintah (G) untuk membangun
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Dari sinergi yang
terbangun diharapkan dapat muncul sirkulasi pengetahuan antar aktor yang terlibat
untuk melahirkan berbagai inovasi pengetahuan yang memiliki potensi untuk
dikapitalisasi atau ditransformasi menjadi produk maupun jasa yang memiliki nilai
ekonomis. Dalam perkembangan empirisnya di berbagai belahan dunia muncul
berbagai aktor-aktor diluar unsur ABG yang disebutkan tadi yang ikut memberi
pengaruh signifikan bagi dinamika interaksi ketiganya. Dengan adanya aktor-aktor
yang muncul kemudian ini diperlukan suatu model yang merupakan pengembangan
dari model Triple Helix, sebagai pisau analisis dalam mengembangkan berbagai
model kebijakan kerjasama knowledge-based economy. Leydersdorff (2012)
berpandangan bahwa model Triple Helix secara teoretis dapat diekspansi menjadi
model-model quadruple-helix, dan seterusnya hingga n-tuple helix tanpa ada
batasan. Meski demikian juga Leydersdorff (2012) memberi catatan bahwa atas
alasan metodologis hendaknya pengembangan model Triple Helix dilakukan secara
bertahap sesuai kebutuhan agar memberikan daya penjelas. Lucy Yang Lu (2008)
dan Etzkowitz (2008) mengemukakan ada tiga tahap munculnya model inovasi
Triple Helix yaitu: 1)Transformasi internal masing-masing heliks; 2) Pengaruh satu
heliks terhadap yang lain; 3) Penciptaan hamparan baru jaringan trilateral; 4)
Organisasi dari interaksi di antara ketiga heliks tersebut. Menurut Etzkowitz dan
Ranga (2008), proses evolusi dalam model triple helix melibatkan transisi dari
tahap 'statist' di mana pemerintah mengontrol akademisi dan industri, ke hubungan
negara laissez-faire antara ketiga lingkup institusional; dan akhirnya ke tahap
hibrida di mana setiap lingkup institusional menyimpan karakteristik khasnya
sendiri, dan pada saat yang sama mengambil peran yang lain.
4
budaya, di satu sisi, dan bagaimana realitas publik terbentuk dan dikomunikasikan
oleh media, di sisi yang lain, memberikan dampak bagi sistem inovasi sebuah
komunitas atau negara. Peran media sangat penting dalam membentuk atau
mengarahkan inovasi apa yang menjadi prioritas dalam sebuah negara. Adapun
konsep quintuple-helix juga disarankan oleh Carayannis & Campbell (2010)
dimana heliks kelima merupakan penekanan aspek lingkungan alami (ekologi
sosial) dari masyarakat dan ekonomi bagi pengetahuan produksi dan sistem inovasi.
Dalam hal ini kesetimbangan yang bersinambung antara arah perkembangan
masyarakat dan ekonomi dengan lingkungan alami dimana mereka berada
dipandang sebagai suatu hal yang esensial bagi keberlangsungan peradaban
manusia. Oleh karena itu lingkungan alamiah juga dipandang sebagi sebuah
penggerak bagi kemajuan sistem inovasi sebuah masyarakat atau negara. Apabila
quadruple-helix dipandang sebagai konstekstualisasi dati triple-helix, maka
quituple-helix dapat dipandang sebagai kontekstualisasi quadruple-helix. Anja
Beate Svensson (2015), mengatakan bahwa pada sistem inovasi regional, teori
Triple Helix membangun kerangka konseptual dan melalui wawancara mendalam
dengan berbagai aktor Mewakili lembaga penelitian, universitas, industri dan sektor
publik, bahan empiris memahami bagaimana sebuah sistem berkembang di daerah
yang diprioritaskan oleh faktor politik. Chesbrough (2008), mengatakan bahwa
triple helix adalah sebuah produk kebijakan pemerintah. Model triple helix ini
merupakan penelitian kualitatif karena menggambarkan perilaku-perilaku sosial
dalam masyarakat.
5
satu fokus program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia.
Kebijakan pemerintah terhadap UKM dituangkan dalam sejumlah Undang-undang
dan peraturan pemerintah. Dari alasan pertama di atas jelaslah bahwa dengan
adanya UKM dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Indonesia,
padahal pengangguran yang tinggi adalah penyumbang terbesar dalam penyebab
terjadinya kemiskinan di Indonesia, demikian juga yang terjadi di propinsi Sumatra
Selatan (Sripo, 2010). Hasil penelitian Chowdhury et al. (2013) menunjukkan
bahwa keberhasilan pengusaha UKM ditentukan oleh faktor infrastruktur,
lingkungan politik suara, akses ke pasar, dan modal. Kurangnya perhatian terhadap
faktor-faktor ini akan menghambat keberhasilan kinerja usaha UKM.
3. Ekonomi Kreatif
Sejak tahun 2009, model pengembangan ekonomi kreatif Indonesia
menggunakan triple helix, dimana memerlukan sinergi dan kemitraan antara tiga
aktor utama: pemerintah, industri, dan intelektual (tim ahli dari kalangan akademisi
dan publik). Namun, tren kini menunjukkan partisipasi aktif dari komunitas kreatif
di berbagai daerah terus bergeliat. Dan saat ini koleborasi triple helix berkembang
menjadi quadruple helix, dengan penambahan unsur komunitas. Menanggapi
perkembangan selanjutnya yang diharapkan ekonomi kreatif dapat bertumbuh
cepat, maka kolaborasi hexa-helix antara pemerintah, swasta, intelektual,
komunitas kreatif, media dan investor perlu untuk diterapkan saat ini hingga
membentuk situasi industry kreatif yang sehat sehingga dalam waktu yang relatif
singkat ekonomi kreatif menjadi sektor yang berpeluang meningkatkan daya saing
ekspor produk. Pondasi Ekonomi kreatif adalah sumber daya insani (people)
Indonesia yang merupakan elemen terpenting dalam ekonomi kreatif. Ekonomi
kreatif tercipta dari pemanfaatan serta keterampilan yang dimiliki oleh setiap
individu untuk bisa membuat lapangan pekerjaan baru dan juga bisa menciptakan
kesejahtraan di daerah. Keunikan ekonomi kreatif yang menjadi ciri bagi hampir
seluruh sektor ekonomi kreatif yang terdapat dalam industry kreatif- adalah peran
sentral sumber daya insani sebagai modal insani disbanding faktor-faktor produksi
lainnya. John Howkins (2009) merupakan tokoh yang pertama kali
memperkenalkan istilah ekonomi kreatif, melalui bukunya yang berjudul “Creative
Economy, How People Make Money from Ideas”. Ekonomi kreatif adalah
penciptaan nilai tambah yang berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber daya
manusia (orang kreatif) dan berbasis ilmu pengetahuan, termasuk warisan budaya
dan teknologi.” (Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025).
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, tahun 2008 mendefinisikan
Ekonomi Kreatif di Indonesia sebaga ndustri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan
serta lapangan pekerjaan.
Di masa kini, ekonomi kreatif telah menjadi penting sebab bersumber pada
kreativitas yang merupakan sumber daya terbarukan. Peran ekonomi kreatif ini
akan menjadi semakin penting di masa mendatang, terutama saat sumber daya yang
tidak terbarukan semakin terbatas atau langka. Kreativitas telah dan akan terus
mengubah paradigma perekonomian yang biasa berpusat pada keterbatasan
(scarcity) menjadi berpusat pada keberlimpahan (abundancy). Menurut definisi
6
Howkins (Pujiastuti, 2015), Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana
input dan outputnya adalah Gagasan. Ekonomi kreatif merupakan suatu proses
menyeluruh yang melibatkan orang yang kreatif, industri kreatif, dan tempat yang
kreatif. Definisi tersebut mengartikan bahwa gagasan adalah hal terpenting dari
ekonomi kreatif. Jo Foord (2008) menyatakan bahwa harus ada integrasi antara
lembaga publik dan swasta dengan pertumbuhan perusahaan dan tujuan sosial yang
semakin populer di tingkat kota di dalam pengembangan ekonomi kreatif. Kegiatan
promosi dan dukungan pengembangan industri kreatif membutuhkan perencanaan
strategis. Pada saat yang sama pertumbuhan lapangan kerja industri kreatif mulai
tidak menentu di pusat kota-kota industri kreatif sehingga dibutuhkan pengetahuan
ekonomi yang lebih luas dan besar untuk mengatasinya
Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Salah satu metode penelitian yang digunakan adalah Analytical Hierarchy
Process (AHP). Menurut Saaty (2008), AHP merupakan metode yang mensintesis
perbandingan judgment pengambil keputusan berpasangan pada setiap level hirarki
keputusan. Metode AHP ini dipergunakan untuk membantu memecahkan persoalan
yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang
berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna
mengembangkan bobot atau prioritas. Lebih lanjut dikatakan oleh Saaty, hirarki
didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks
dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti
level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir
dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke
dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki
sehingga permasalahan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
7
seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang
kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan tampak lebih
terstruktur dan sistematis. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk
mengelaborasi desain hirarki AHP menurut Saaty dan Luis (2008) yaitu dengan 1)
mengidentifikasi keseluruhan sasaran, 2) mengidentifikasi sub sasaran, 3)
mengidentifikasi kriteria yang dapat digunakan, 4) mengidentifikasi sub kriteria
dari setiap kriteria yang digunakan, 5) mengidentifikasi aktor-aktor yang terkait, 6)
mengidentifikasi tujuan, 7) mengidentifikasi aktor kebijakan, 8) mengidentifikasi
pilihan-pilihan, hasil, atau alternatif, 9) mengambil hasil yang paling diinginkan
dan membandingkan rasio dari manfaat terhadap biaya-biaya pembuatan
keputusan, dan 10) melakukan analisa manfaat/biaya dengan menggunakan nilai-
nilai marginal. Tahapan (Flowchart) penelitian, adalah sebagai berikut:
8
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Literature Review
Pada tahapan ini dilakukan proses pencarian literature terkait dengan model
triple helix (ABG) untuk pengembangan UKM di Jawa Barat khususnya di Wilayah
Banten dan Bandung. Tahapan yang dilakukan dalam proses systematic review
adalah mencari sumber paper yang dijadikan untuk bahan rujukan dibeberapa site
seperti IEEE, Science Direct, Springer, Scopus.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan secara tatap muka secara langsung kepada responden.
Secara umum, pertanyaan yang diajukan berupa kebutuhan fitur pendukung UKM
dengan model triple helix, proses yang dilakukan serta hambatan dalam kemajuan
UKM dan kendala yang sering terjadi, hal ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran umum serta ketubutuhan dan mengetahui lebih terperinci dari aktifitas-
aktifitas yang dilakukan pada pengelolaan UKM yang didukung oleh ketiga aktor
(Pemerintah, Bisnis/Industri serta Akademik).
4. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Berangkat dari tinjauan literatur terkait kondisi penerapan model Triple Helix
dan permasalahan yang muncul maka dilakukan studi terkait faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan (faktor sukses) penerapan model Triple
Helix. Analisa secara kualitatif dilakukan untuk memperoleh daftar faktor
sukses yang generik dengan menggunakan pendekatan AHP.
b. Masukan berupa faktor sukses implementasi triple helix divalidasi untuk
menentukan signifikansi (importance) dari setiap faktor sukses. Metode yang
dilakukan adalah expert judgment dengan pendekatan AHP untuk
pengambilan keputusan.
c. Daftar faktor sukses yang telah diseleksi dan divalidasi merupakan
sekumpulan faktor sukses yang diperoleh dari berbagai lintas studi, namun
harus dibuktikan terlebih dahulu apakah faktor sukses tersebut dapat
diterapkan khususnya diadopsi oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten /
kota di daerah Banten dan Bandung. Pada tahap ini, peneliti menggunakan
metode survei untuk mengambil data lapangan di daerah Banten dan Bandung
yang diasumsikan telah berhasil mengimplementasikan model Triple Helix.
Pemilihan lokus penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil implementasi
model Triple Helix pada UKM menuju ekonomi kreatif.
d. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan AHP, untuk mengkaji
konstruk yang dihasilkan. Model kematangan implementasi model Triple
Helix pada UKM akan dikembangkan berdasarkan faktor sukses yang telah
diuji menggunakan pendapat pakar (expert judgment) melalui FGD kembali.
e. Pada tahap ini merupakan kegiatan ujicoba model Triple Helix pada
implementasi UKM menuju industri kreatif di daerah Banten dan Bandung
lalu dilakukan benchmarking dengan model evaluasi triple helix yang sudah
diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia atau di negara lain. Selanjutnya
9
penyempurnaan model Triple Helix dilakukan untuk meningkatkan
penerapan model kematangan secara luas. Selain itu pada tahap ini juga
dilakukan rekomendasi kebijakan terhadap model triple helix untuk kemajuan
UKM di Indonesia. Pada tahap akhir ini, model yang telah diterapkan juga
akan divalidasi lagi oleh pakar untuk menyempurnakan melalui FGD.
Hasil Penelitian
1. Penerapan Model Triple Helix Pada Pengembangan UKM di Jawa Barat,
khususnya Banten dan Bandung
Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing steakholder,
baik pihak ABG (academic, business, maupun government) menyebabkan
pentingnya penentuan prioritas untuk keberlangsungan UKM. Aspek triple helix
perlu dipertimbangkan prioritas karena hal tersebut berdampak pada
keberlangsungan UKM, sehingga perlu disusun hirarki triple helix tersebut. Hasil
telaah terkait peraturan kementrian koperasi dan UKM, Tri Dharma Perguruan
Tinggi serta keinginan para pelaku usaha lainnya, didapat beberapa aspek triple
helix yang berkaitan dengan keberlanjutan suatu UKM, seperti pada table. 1
dibawah ini:
10
24 Pelaku usaha (industry) memberi Pinjaman teknologi
25 Pelaku usaha (industry) memberi Pinjaman informasi
26 Pelaku usaha (industry) membuat dan mendirikan RKB (Rumah Kreatif
BUMN)
Sumber: Olah data Peneliti
2. Implementasi model Triple Helix di Bandung dan Banten
a. Evolusi Telekomunikasi dan Digital bagi pelaku UKM
b. Layanan sambungan IT bagi pelaku UKM dalam mengembangkan
usahanya
c. Membangun rumah kreatif BUMN (RKB) dalam rangka menaikan level
para UKM agar lebih modern, melek teknologi dan go-global.
3. Sinergitas ABCGM
Ada tiga permasalahan kunci yang dihadapi yaitu berhubungan dengan
entrepreneurial mindset, kualitas manajerial serta bagaimana wirausaha di Jawa
Barat mampu mengoptimasi setiap peluang yang dihasilkan dari lingkungan
eksternal, mulai dari lingkungan eksternal mikro, makro dan global.
Untuk, entrepreneur memerlukan social capital yaitu modal sosial berupa
informasi, akses pasar, akses perijinan, akses keuangan, akses fasilitas bisnis serta
jejaring yang dapat meningkatkan bisnis mereka. Hal ini dapat dikontribusikan oleh
penta helix yang seringkali dikenal dengan ABCGM yaitu akademisi, Bisnis,
Komunitas, Pemerintah dan Media. Atas inisiatif dari Kepala Dinas KUK Provinsi
Jawa Barat, Dr. Dudi Sudrajat, diajaklah stakeholders yang berkomitmen untuk
membantu diri sendiri naik kelas pada khususnya serta wirausaha pada umumnya
sehingga benar-benar menjadi pengusaha yang bisa naik kelas dari skala mikro,
kecil, menengah dan besar. Nama kelompok ini adalah Tim Sinergitas ABCGM
untuk UMKM Jabar Naik Kelas.
Pihak Akademisi merupakan salah satu pilar yang memiliki peran strategis
dalam upaya UKM Naik kelas karena memiliki resources yang sangat dibutuhkan
oleh UMKM yaitu:
1) Konsep dan teori yang relevan dengan bisnis yang dapat membantu UKM
menyelesaikan berbagai permasalahan bisnis.
2) Hasil penelitian yang sangat dibutuhkan oleh UKM dalam upaya naik kelas.
3) Berbagai informasi yang dibutuhkan oleh UKM dalam
menumbuhkembangkan bisnis
4) Program pelatihan, pembinaan yang diberikan melalui Pusat Inkubator bisnis
5) Program pengabdian masyarakat yang relevan dengan program studi serta
berhubungan dengan UKM.
Sembilan (9) kampus yang bergabung dalam tim sinergitas ABCGM ini yaitu:
(1) Telkom University; (2) SBM ITB; (3) Universitas Padjadjaran; (4) LP31; (5)
Univ Widyatama; (6) Univ. Sangga Buana; (7) Univ. Pasundan; (8) IKOPIN; (9)
POLBAN
Pilar kedua dalam Tim Sinergitas ABCGM untuk UKM Jabar naik kelas
adalah perusahaan atau pelaku usaha yang memiliki concern kepada UKM.
Keberadaan perusahaan menjadi sangat strategis karena bisa berperan dalam
11
berbagai hal yang dapat memenuhi kebutuhan UMKM untuk naik kelas. Beberapa
perusahaan yang sudah bergabung dengan tim sinergitas ABCGM untuk UKM
Jabar naik kelas adalah: (1) PT Bank BJB; (2) PT. Smartfren Telecom Tbk; (3) PT
Strabiz Manajemen Bandung; (4) MICH; (5) PT MADEIN BANDUNG SOLUSI;
(6) CV Sriwijaya Mandiri; (7) PT Len Industri; (8) Financial Wisdom Indonesia;
(9) PT Jasa Raharja; (10) Kulifecard, Umkm Corner; (11) PT Perisai Utama; (12)
Numotret photography. Peran perusahaan atau pelaku bisnis dalam tim sinergitas
ABCGM ini dapat membantu:
1) Memberikan program Corporate Social Responsibilty (CSR) kepada para
UMKM berupa pembiayaan, akses pemasaran, pelatihan.
2) Menjadi strategic partner bagi UMKM berupa business process yang dimiliki
perusahaan dan berhubungan dengan bisnis UMKM seperti supplier bagi
perusahaan, menjalankan bisnis online bagi UMKM.
3) Pendanaan dari perbankan.
Pilar ketiga Tim Sinergitas ABCGM untuk UKM Jabar naik kelas adalah
komunitas yang merupakan kelompok UKM yang memiliki kepentingan yang sama
dan berkegiatan untuk bisa meningkatkan bisnisnya. Keberadaan komunitas bisnis
menjadi strategic karena UKM yang akan naik kelas itu ada di komunitas ini. Peran
strategis komunitas dalam tim sinergitas ABCGM ini berupa: (1) Anggota yang
siap naik kelas, dan (2) Program yang dimiliki oleh komunitas yang dapat relevan
dengan program untuk bisa membantu UMKM naik kelas.
Media adalah pilar kelima dalam tim Sinergitas ABCGM untuk UMKM
Jabar naik kelas karena UMKM membutuhkan media yang dapat
mengkomunikasikan diri, bisnis dan produk UMKM kepada target pasar sehingga
dapat diketahui, menarik sampai berminat untuk membelinya. Peran strategis yang
dimiliki oleh media dalam Tim sinergitas ABCGM untuk UMKM Jabar naik kelas
adalah:
1) Membantu UMKM untuk mengenal UMKM lebih dekat sehingga dapat
bersahabat dengan media.
2) Memberikan edukasi kepada UMKM untuk berhubungan baik dengan media
dan bahkan mengoptimasi peluang dari media.
3) Mempromosikan diri, perusahaan dan produk UMKM kepada target market.
4) Beberapa media yang sudah bergabung dengan tim sinergitas ABCGM Jabar
untuk naik kelas adalah: 1) Bandung TV; 2) Digital Media; 3) MQ Radio; 4)
MQ TV; 5)Radio K-Llite 107.1 fm; 6) Strabiz TV (www.strabiztv.com); dan
7) Portal www.strategidanbisnis.com
12
Triple helix untuk
berkelanjutan UKM
Goal
………………………………………………………………………………………………………………..
Stakeholder
…………………………………………………………………………………………………………………….
Layanan Penda Pembin Fasilitas Bantuan Bantu Bantuan Pinjam Pinjaman Pinjama Mendiri
bimbinga mpinga aan/pel akses Informasi an Informasi modal kan RKB
Modal an
n/konsult n atihan pemasar teknol teknolo
asi an gi
ogi
Kriteria
……………………………………………………………………………………………………………….
Alternatif
13
Berikut hasil borang wawancara dengan pihak Akademik, Industri dan Pemerintah
serta Para UMK di Banten dan Bandung sebagai berikut:
16
pengabdian bersama dan untuk skripsi
masyarakat pengabdian dan
masyarakat pengabdian
Menjadi nara masyarakat
sumber dan Banyak
memberikan mahasiswa
pelatihan di yang magang
bbr di tempatnya
perguruan
tinggi
5. Peningkatan yang 10-15% Menjadi lebih Cukup signifikan Bila ada Bila ada
signifikan setelah terkenal dan Kapasitas pameran pameran atau
adanya peran dari kenaikan omset penjualan atau festival festival
pemerintah, meningkat kuliner bisa kuliner bisa
industry dan mencapai 2- mencapai 4-5
akademisi 3 lipat dari lipat (50-60
omset juta) dari
biasanya. omset
biasanya (11-
13 juta).
6. Kendala dalam Cuaca hujan Tidak ada namun Kendala SDM SDM
mengembangkan karena bahan batik banten bahasa karyawan karyawan dan
produknya mentahnya Tidak dikenal di karena etos kerja
harus dijemur seluruh Indonesia, pernah yang rendah
terlebih dahulu padahal bapak ditawari
Uke merupakan kerjasama
salah satu tokoh dengan Abu
batik di banten Dhabi
mulai tahun 2002 Persaingan
dibandingkan antar UKM
batik solo atau sate bandeng
batik cirebon yang semakin
banyak saat
ini
7. Pihak yang terlibat Pemerintah, Pemerintah Pemerintah dan Pemerintah Pemerintah
dalam industri seperti daerah industry cukup berperan namun belum
perkembangan BI, Krakatau berperan berperan namun kurang maksimal
UKM steel kurang kurang banyaknya maksimal
maksimal paguyuban UKM,
Akademisi dan fasilitas dari
cukup dinas kurang
berperan sehingga UKM
dalam Banten tidak
mengembang terlalu maju
kan aneka
ragam motif
batik banten
8. Dampak Memberikan Saling Saling memberi Saling Saling
kelompok usaha pelatihan dan Memberikan dukungan, memberi memberi
bersama (KUB) pengetahuan informasi, dan informasi dan dukungan, informasi dan
serta pekerjaan pengetahuan pengetahuan informasi pengetahuan
kepada ibu dan
rumah tangga pengetahuan
17
9. Kendala dalam Belum ada Kurangnya peran Persaingan Kurangnya Tidak ada
KUB yang pemerintah daerah informasi
berkaitan dengan dalam
produk, mempromosikan
pemasaran, dan batik banten
finansial
10. Kendala dalam Persaingan yang Kurangnya Bahasa Tidak ada Tidak ada
pemasaran cukup promosi dari
kompetitif dari pemerintah
sesame UKM kabupaten dan
sejenis dari provinsi
daerah lain
11. Unsur unsur Pewarnaan dan Ragam motif Ragam aneka Level Bumbu bumbu
inovasi dalam ragam produk yang menjadi olahan kepedasan yang diracik
produk yang lebih bervariasi bandeng dari sendiri
dihasilkan dari 75 menjadi Teknologi berbagai
90 vacuum macam
Pola dasar ragam Tanpa bahan makanan
hias berasal dari pengawet
benda sejarah Radiasi
purbakala
Sumber: Wawancara dengan Pihak Pelaku UKM di Lokasi Banten (2018)
18
Asosiasi
perancang
pengusaha mode
Indonesia
8. Dampak kelompok Menjadi lebih Meningkatkan Meningkatkan Meningkatkan
usaha bersama terkenal, pengetahuan, dan pengetahuan, pengetahuan,
(KUB) penjualan omset ketrampilan jaringan, omset ketrampilan dan
meningkat dan ketrampilan. jaringan
9. kendala dalam KUB Pemasaran yang Pemasaran yang Pemasaran yang Butuh lebih banyak
yang berkaitan harus lebih belum besar belum besar lagi informasi
dengan produk, ditingkatkan mengenai
pemasaran, dan pemasaran
finansial
10. Kendala dalam Belum memahami Belum memahami Belum Belum ada
pemasaran teknologi dalam teknologi dalam memahami
pemasaran pemasaran teknologi dalam
pemasaran
11. Unsur unsur inovasi Kualitas jahitan Racikan bumbu Model dan jenis Penambahan madu
dalam produk yang dan model yang yang lebih yang lebih pada racikan bumbu
dihasilkan lebih bervariasi bervariasi untuk kekinian ayam
segala macam
masakan
Sumber: Wawancara dengan Pihak Pelaku UKM di Lokasi Bandung (2018)
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah disampaikan maka ada beberapa saran terkait
atas model triple helix sebagai landasan perkembangan UKM di Jawa Barat, khususnya
Banten dan Bandung yang telah dikembangkan yaitu:
1. Implementasi dan lanjutan komitmen dari ketiga aktor dalam pengembangan UKM,
baik dari pemerintah, cendekiawan dan pebisnis model triple helix supaya program
dapat dirangkum dan direalisasikan pada setiap UKM di Jawa Barat, khususnya
Banten dan Bandung.
19
2. Komitmen model Triple Helix harus memiliki 5 hal utama yang harus dipegang oleh
aktor ABG (akademis, pebisnis dan pempemerintah) yaitu: kuantitas dan kualitas
SDM UKM, menciptakan iklim usaha yang kondusif, memberikan
penghargaan/apresiasi kepada pelaku UKM yang dihasilkan, memberikan informasi
teknologi, pengetahuan bagi pelaku UKM, Lembaga Pembiayaan yang mendukung
bagi pelaku UKM
Daftar Pustaka
Beate Svensson, Anja. (2015). Innovation in Waste Management A case study of the Oslo
Region as an Emerging Regional Innovation System in Waste Management. Master
Thesis at TIK Centre for Technology, Innovation and Culture Faculty of Social
Science, University of Oslo.
Carayannis, E.G. & Cambell, D.F.J. (2009). 'Mode 3' and 'Quadruple Helix': toward a
21st century fractal innovation ecosystem. International Journal of Technology
Management, 46(3/4), 201-234. http://dx.doi.org/10.1504/IJTM.2009.023374
Carayannis, E. G., & Campbell, D. F. J. (2010). Triple Helix, Quadruple Helix and
Quintuple Helix and How Do Knowledge, Innovation and the Environment Relate To
Each Other? International Journal of Social Ecology and Sustainable Development,
1(1), 41–69. https://doi.org/10.4018/jsesd.2010010105
Chowdhury, M.S., Alam, Z., & Arif, Md. I. (2013). Success factors of entrepreneurs of
small and medium sized enterprises: Evidence from Bangladesh. Business and
Economic Research, 3(2), 38-52. https://doi.org/10.5296/ber.v3i2.4127
Dhewanto, W., Lantu, D.C., Herliana, S. & Anggadwita, G. (2015). The innovation
cluster of ICT start-up companies in developing countries: case of Bandung,
Indonesia. International Journal of Learning and Intellectual Capital, 12(1), 32-46.
https://doi.org/10.1504/IJLIC.2015.067829
Herliana, S. (2015). Regional Innovation Cluster for Small and Medium Enterprises
(SME): A Triple Helix Concept. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 169,
151–160. https://doi.org/10.1016/J.SBSPRO.2015.01.297
Howkins, John. (2009). The Creative Economy: How People Make Money from Ideas.
Penguin: UK
Jo Foord. (2008). Strategies for creative industries: an international review, Creative
Industries Journal Volume 1 Number 2 Cities Institute, London Metropolitan
University
Kuncoro, Mudrajad. (2008). Tujuh Tantangan UKM di Tengah Krisis Global. Harian
Bisnis Indonesia 21 Oktober 2008. [Online]
http://www.mudrajad.com/upload/Tujuh%20 Tantangan%
20UKM%20di%20Tengah%20Krisis%20Global.pdf Diakses tanggal 5 Juni 2010
Kurniawan, Didi. (2009). Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan dengan Akselerasi
Sektor Riil dan UKM. Tersedia [Online] http://didikurniawan.web.id/2009/04/29/
mengembangkan-ekonomi-kerakyatan-dengan-akselerasi-sektor-riil-dan-ukm/
Diakses tanggal 25 Oktober 2018
Leydesdorff, L. (2008). Configurational Information as Potentially Negative Entropy:
The Triple Helix Model. Entropy 10, 391-410.
Prabawani, B., Saryadi, Widiartanto, and Hidayat, W. (2017). Knowledge Hubs for
Empowering Indonesian SMEs and the Sustainability. Advanced Science Letters,
23(1), 448-452. http://doi.org/10.1166/asl.2017.7219
Purnomo, D., Pujianto, T., & Efendi, N. (2015). Unpad – Ibu Popon Collaboration; A
Best Practice in Sustainable Assistance Model for Social Entrepreneurship in Agro-
industrial Based SME’s. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 3, 206–
210. https://doi.org/10.1016/J.AASPRO.2015.01.040
21
Rudito, B. (2014). The Improvement of Community Economy as Impact of Corporate
Social Responsibility Program: A Case Study in Pengalengan, Bandung, West Java,
Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 164, 471–476.
https://doi.org/10.1016/J.SBSPRO.2014.11.104.
Supriyadi, R. E. (2012). Local Economic Development And Triple Helix: Lesson Learned
From Role of Universities In Higher Education Town of Jatinangor, West Java,
Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 52, 299–306.
https://doi.org/10.1016/J.SBSPRO.2012.09.467.
Sripo. (2010). Tenaga Kerja. Harian Umum Sriwijaya Post Tanggal 15 April 2010.
22