You are on page 1of 17
ES :~— BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT MATA CICENDO Laporan Kasus Diagnosis dan Penatalaksanaan Pa, dengan Glaukoma Sudut Tertutup Kronis. Penyaji : Laila Wahyuni Pembimbing + dr. Elsa Gustianty, SpM, MKes Telah diperiksa dan disetujui oleh: Pembimbing Unit Glaukoma ath Os dr. Elsa Gustianty, SpM, MKes Kamis, 02 Desember 2010 Pukul 07.30 WIB. ABSTRACT Objective To describe the sign, symptoms, and management of chronic primary angle closure glaucoma ‘and primary angle closure Case Report A 68 year-old man who came to Cicendo Eye Hospital with chief complaint of blurred vision of the both eyes. After physical and ophthalmological examination, was diagnosed as chronic primary angle closure glaucoma of the right eye and primary angle closure of the left eye. ‘Medical therapy of oral glycerol, acetazolamide, and topical beta blocker as initial management to reduce intra ocular rapidly and planned combined (one-site phacotrabeculectomy) of the right eye and trabeculectomy of the left eye was performed during the subsequent visit. Conclusion Understanding the sign and symptoms of angle closure glaucoma ts important because of its ocular morbidity. Medical management of a rapid intraocular pressure decrease be given to reduce discomfort of the patient and prevent further damage of the optic nerve. Surgery tabeculectomy is an effective treatment of primary angle closure, Combined phacoemulsification, intraocular lens implantation and trabeculectomy is associated with good intraocular pressure conirol and visual outcome in patients with CACG. PENDAHULUAN Glaukoma adalah kumpulan dari penyakit dengan karakteristik neuropati optik dengan penurunan lapang pandang dimana tekanan intraokular (TIO) yang tinggi merupakan faktor risiko primernya. The World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan dari akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an dari seluruh dunia, Glaukoma bertanggungjawab atas 15% dari seluruh angka kebutaan yang ada, dan glaukoma menempati urutan ke tiga penyebab kebutaan.' Survey keschatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996, menunjukkan angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia 0,38%.? Glaukoma diklasifikasikan sebagai primer dan sekunder. Glaukoma primer tidak sberhubungan dengan penyakit Jain yang menyebabkan peningkatan resistensi terhadap aliran kkeluar eairan akuos atau penutupan sudut bilik mata depan. Glaukoma primer bermanifestasi pada kedua mata, Glaukoma sekunder berhubungan dengan gangguan okular lainnya yang menyebabkan aliran keluar akuos teganggu dan biasanya unilateral. Secara anatomi glaukoma diklasifikasikan sudut tertutup dan sudut terbuka. Jadi secara umum glaukoma di Klasifikasikan sebagai sudut terbuka atau sudut tertutup dan primer atau sekunder.' Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh HA Quigley dan kawan-kawan menyatakan bahwa angka prevalensi glaukoma sudut tertutup kronis tahun 2010 yang berusia lebih dari 40 tahun ditaksirkan sebanyak 0,69% dengan Cina sebagai negara dengan prevalensi tertinggi di dunia yaitu lebih dari 15 juta jiwa. Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita glaukoma sudut tertutup kronis di dunia akan bertambah menjadi lebih dari 21 juta jiwa.> Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya sudut tertutup primer, diantaranya adalah usia tua (prevalensinya meningkat setiap dekade setelah usia 40 tahun), perempuan (2-4 kkali lebih sering dibandingkan laki-laki), riwayat keluarga dengan gangguan serupa, hiperopia, dan ras inuit dan Asia Timur. Pada glaukoma sudut tertutup kronis ditandai dengan terdapat sinekia yang menetap merupakan kelanjutan setelah sudut tertutup akut, atau sudut bilik mata depan menutup perlahan- Jahan dan TIO meningkat secara bertahap. Sudut bilik mata depan tertutup dapat terjadi akibat aposisi iris perifer ke anyaman trabekular sehingga mengakibatkan penurunan drainase cairan akuos melalui sudut bilik mata depan, Glaukoma sudut tertutup dapat memberikan gambaran ‘yang akut dengan gejala yang menonjol, atau kronis dengan penurunan visus yang bersifat asimtomatik. Morbiditas penglihatan pada glaukoma sudut tertutup primer yang tinggi kemungkinan karena bentuk asimtomatik kronis yang lebih banyak didapat, terutama di Asia, schingga banyak yang tidak terdeteksi dan diobati.'* ‘Terapi pada glaukoma sudut tertutup kronis selain memberikan obat-obatan untuk menurunkan TIO, iridektomi perlu dilakukan untuk memperbaiki blok pupil, dan menurunkan pembentukan sinekia“ I, LAPORAN KASUS Seorang laki-laki berusia 68 tahun datang ke Rumah Sakit Mata Cicendo pada tanggal 7 Oktober 2010 dengan keluhan utama kedua mata berangsur buram. Keluhan buram pada kedua ‘mata dirasakan timbul tidak bersamaan, mata kanan dirasakan buram sejak 1 tahun yang lalu, sedangkan pada mata kiri dirasakan buram sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan tersebut tidak disertai dengan mata merah, nyeri kepala, silau, seperti melihat pelangi, serta mual dan muntab. Riwayat mata merah dan nyeri kepala sebelumnya diakui. Riwayat berobat mata sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit glaukoma dalam keluarga disangkal. Riwayat mata terkena trauma disangkal, Riwayat darah tinggi diakui. Riwayat kenoing manis dan asma disangkal. ‘mata kiri 0,63 PH tela. Tekanan intra okular (dengan tonometer aplanasi Goldman) mata kanan 48 mmHg dan mata kiri 28mmHg, Posisi bola mata ortotropia. Gerakan kedua bola mata baik kesegala arah, Pada pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan pterigium grade 1, korea jemih, bilik mata depan dangkal, Van Herick (VE) grade I, flare -, sel -, pupil bulat ‘middilatasi dengan reflek cahaya langsung dan tidak langsung menurun, tidak didapat sinekia, dan lensa agak keruh. Pada mata kiri didapatkan pterigium grade 1, bilik mata dangkal, VH grade II, tensa agak Keruh lain-lain dalam batas normal. Pemeriksaan gonioskopi pada mata kanan didapatkan Schwalbe Line 360° dengan indentasi terlihat sclera spur hanya pada kuadran nasal dan temporal, pada mata kiri didapatkan Schwalbe Line 360° dengan indentasi terlihat ‘trabekular meshwork posterior hanya pada kuadran inferior. Pada pemeriksaan segmen posterior didapatkan pada mata kanan rasio cawan:diskus 0,7-0,8, dan pada mata kiri rasio cawan:diskus 0,3-0,4. Pasien didiagnosis sebagai glaukoma sudut tertutup primer kronis mata kanan, sudut tertutup primer mata kiri, pterigium grade I mata kanan dan grade II mata kiri, Katarak senilis imatur kedua mata, Terapi yang diberikan adalah topikal beta blokers 2x1 tetes pada kedua mata, oral karbonik anhidrase inhibitor 3x1 dan obat golongan hiperosmotik 50% S0ce. Pasien disarankan untuk menjalani pemeriksaan lapang pandang Humphrey, Optical Coherence Tomography (OCT), foto fundus, pakhimeter, saat kontrol 5 hari yang akan datang, Satu minggu kemudian, tanggal 13 Oktober 2010, pasien datang untuk kontrol dan tekanan kedua bola mata (dengan tonometer aplanasi goldman) 29 mmHg pada mata kanan dan 20 mmHg pada mata kiri. Keadaan kedua mata kurang lebih sama dengan pemeriksaan sebelumnya. Pasien diberikan terapi topikal beta blokers 2x1 tetes , dan topikal dorzolamide 3x1 tetes pada kedua mata, serta direncanakan untuk operasi combined + IL mata kanan des ‘tabekulektomi-matakici Pada tanggal 13 Oktober 2010, pasien menjalani pemeriksaan pakhimeter. Dari hasil pemeriksaan diperolch hasil bahwa ketebalan kornea pada kedua mata dalam batas normal ? . b. pemeriksaan pakhimeter pada mata Kanan; , Hasil pemeriksaan ‘pakhimeter pada mata ki smeriksaan lapang pandang Humphrey ‘a mata, Dari hasil pemeriksaan lapang Gambar 2,1. Hasil Tanggal 14 Oktober 2010 pasien menjalani per Threshold 30-2 sentral, OCT, dan fotofundus pada kedu pandang diperoleh defek lapang pandang pada kedua mata trutama mata kanan. ‘Gambar 2.2. Hasil pemeriksaan Humphrey pada mata kanan; b. Hasil pemeriksean Humphrey pada mata kiti Pemeriksaan OCT diperoleh hasil bahwa telah terjadi penipisan retinal nerve fiber layer pada mata kanan dengan rasio cawan:diskus 0,799, ketebalan retinal nerve fiber layer yang normal pada mata kiri dengan rasio cawan:diskus 0,536 Gambar 2,3. a. Hasil pemeriksaan OCT RNFT. kedua mata. b. Hasil pemeriksaan optic nerve head pada mata kenan. ¢, Hasil pemeriksaan optic nerve head pada mata kiri. Dibawah ini adalah hasil fotofundus pada kedua mata pasien Gambar 24 hasil foto fundus kedue mata, Tanggal 18 Oktober 2010 pasien kembali ke RSMC untuk menjalani pemeriksaan lapang pandang Humphrey Threshold 10-2 sentral, serta persiapan operasi pada mata kanan. Dari hasil pemeriksaan didapatkan adanya defek lapang pandang. ‘Gambar 2,5, hasil pemeriksaan Humphrey mata kanan Hasil pemeriksaan laboratorium, EKG, dalam batas normal, Sehubungan dengan pelaksanaan operasi dalam anastesi neuroleptik dan hasil pemeriksaan tekanan darah pasien adalah 170/100mmHg, pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam. Oleh bagian penyakit dalam disarankan untuk menunda operasi dan diterapi dengan obat anti hipertensi. Tanggal 25 Oktober 2010 pasien kontrol ke bagian penyakit dalam, saat itu tekanan darah pasien adalah 140/90 mmEg hingga disetujui untuk dilakukan tindakan operasi Keesokan harinya TIO pre operasi mata kanan 37,2 mmHg, mata kiri 31,8 mmHg (dengan tonometer schiotz), maka pasien diberikan manitol 20% sebanyak Scc/ kgBB yaitu sebanyak 300cc. TIO setelah pemberian manitol adalah 33,0 mmHg pada mata kanan dan 25,3 mmllg pada mata kiri. Pasien menjalani operasi combined ( fakotrabekulektomi + /OL ) mata Kanan dengan laporan operasi sebagai berikut (1) dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik, (2) dibuat kendala rektus, (3) dilakukan peritomi basis fornik, (4) dibuat linear incision 3 mm dati limbus, (5) dibuat tame! dengan menggunakan pisau cresént, (6) tunnel ditembus sampai ke bilikt mata depan dengan menggunakan karetom selebar 3 mm, (7) dimasukkan cairan visko, (8) dilakukan kapsulotomi (CCC) dengan menggunakan cystotome, (9) pinggir tunnel yang sudah ada digunting sehingga terbentuk flap sklera yang persegi dengan ukuran 4 mm x 3 mm, (10) ilakukan hidrodiseksi dan hidrodelineasi (11) korea ditembus selebar 1 mm dengan ‘menggunakan side port pada arah jam 2, (12) dilakukan fakoemulsifikasi dengan teknik phaco cop, (13) lakukan aspirasi itigasi sisa kortek, (14) masukkan cairan visko, (15) masukkan foldable 1OL dalam kantung lensa, (16) dilakukan sklerotomi dengan menggunakan alat trepine, (17) dilakukan iridektomi, (18) dilakukan aspirasi irigasi untuk membersihkan cairan visko dari bilik mata, (19) flap sklera dijahit sebanyak 3 jahitan dengan benang ethilon 10.0, (20) dilakukan hidrasi kornea, (21) dilakukan penjahitan terhadap Konjungtiva sebanyak 2 jahitan dengan enang ethilon 10.0, (22) disuntikkan garamicin + dexcamethason pada subkonjungtiva,(23) kkendala rektus dilepas (24) berikan salep mata antibiotik (25) luka operasi ditutup dan operasi selesai. Terapi pasca operasi topikal kombinasi prednisolon asetat, neomisin sulfat, dan polimiksin B sulfat 6x1 tetes pada mata kanan, salep mata kombinasi hidrokortison asetat dan chloramfenikol 2x pada mata kanan, NSAID oral 3x50mg, cefadroxil oral 2x500mg, Sehari pasea combined, tajam penglihatan mata kanan 2/60 PH tetap, mata kiri 5/10,TI0 mata kanan 29 mmHg, mata kiri 22,4 mmHg (dengan tonometer schiof2) . Pada pemeriksaan Jampu celah, mata kanan Konjungtiva bulbi hiperemis, ekimosis, bleb terbentuk, jahitan 2 buah baik, komea edema minimal, bilik mata depan VE grade III flare -, sel-, pupil bulat diameter 4 ‘mm, reflek cahaya menurun, iris terlihat iridektomi pada jam 12, terdapat IOL pada bilik mata belakang. Keadaan mata kiri sama dengan sebelumnya. Terapi yang diberikan pasca operasi dilanjutkan, ditambah pemberian topikal beta blokers 2x1 tetes dan topikal dorzolamide 3x1 tetes pada kedua mata tetes, disarankan untuk dilakukan pemijatan pada bola mata kanan, Pasien Pada pasien ini dilakukan fakotrabekulektomi + IOL mata kanan dengan pertimbangan selain terdapatnya tekanan bola mata yang sangat tinggi, penipisan retinal nerve fiber layer, gambaran glaucomatous pada neryus optikus, serta terdapatnya kekeruhan lensa yang diperkirakan telah menimbulkan defek Japang pandang. Terdapat dua metode fakotrabekulektomi yaitu one-site dan two-site, Pada awalnya fakotrabekulektomi menggunakan insisi “scleral tumel” yang sama untuk fakoemulsifikasi dan trabekulektomi, Namun dengan mulai diperkenalkannya insisi temporal pada fakoemulsifikasi, maka tercipta pula metode fakotrabekulektomi swo-site."° Pada pasien ini dilakukan metode one- site fakotrabekulektomi dimana tip fako memasuki bilik mata depan melalui insisi pada sklera, sehingea tidak diperlukan lagi insisi pada daerah clear cornea. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vaideanu D dan kawan-kawan di Sunderland-UK didapatkan basil tajam penglihatan pasca operasi yang sama antara kedua metode tersebut.' Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa insisi dengan scleral tunnel menghasilkan angka terjadinya astigmatisma yang lebih rendah dibandingkan dengan insisi clear comea.‘ Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh TousHiM dan kawan-kawan di Puerto Rico serta penelitian yang dilakukan oleh isasi Saseta dan kawan-kawan di Madrid menyatakan bahwa operasi combined trabekulektomi dan fakoemulsifikasi metode one-site maupun two-site ‘merupakan terapi yang sangat berguna untuk pasien glaukoma dengan catarak, baik untuk hasil penglihatan dan tekanan bola mata,'*"° Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh LIU He- nan yang menyatakan bahwa metode two-site memberikan hasil yang lebih baik dalam ‘mengurangi tekanan bola mata dibandingkan dengan metode one-site, hal tersebut disebabkan oleh two-site menggunakan insisi yang berbeda untuk fakoemulsifikasi dengan trabekulektomi, sehingga akan mengurangi manipulasi terhadap flap konjungtiva dan flap sklera selama tindakan fakoemulsifikasi, jadi akan mengurangi stimulus terhadap penyembuhan luka yang dapat mempertahankan tekanan bola mata tepat terjaga.'° Menurut the Advance Glaucoma Intervention Study (AGIS) operasi yang sukses adalah diperolch TIO yang kurang dari 18 mmHg tanpa medikasi pada 12 bulan pasca operasi."' Pada pasien ini ditemukan TIO dibawah 18 mmHg pada kontrol ke-2 dan ke-3 dan baru dicoba untuk tidak memberikan topikal anti glaukoma, Walaupun belum dapat dikategorikan dalam operasi yang sukses menurut AGIS, namun sampai saat ini telah menunjukkan respon yang baik terhadap operasi yang dilakukan, Prognosis pasien ini adalah quo ad vitam ad bonam karena walaupun terdapat hipertensi pada pasien ini masih dapat dikendalikan dengan pemberian obat anti hipertensi. Dan guo ad Jfunesionam dubia ad bonam Karena telah terdapat gangguan pada nervus optikus, namun penderita menunjukkan respon yang baik terhadap terapi yang diberikan yang diharapkan dapat ‘menghambat progresifitas dari kerusakan sarafnya. 4 10, u. 2s DAFTAR PUSTAKA, American Academy of Ophthalmology. Glaucoma. Section 10. San Fransisco: LEO; 2008-2009. h 123-33. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan Dan Kebutaan, Diakses dari hitp//pgpk.sisfo.net/index.php?option=com tanggal 27 november 2010. Quigley HA, Broman AT. The number of people with glaucoma worldwide in 2010 and 2020. Br J Ophthalmol. Mar 2006;90(3):262-7. Allingham RR, Damji K, Freedman 8, Moroi S, Shafranov G. Shield's Textbook of ‘glaucoma, Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. h 116-121. Ritch R, Lower R. Angle clousure glaucoma: mechanism and Epidemiology, Chapter 37. Dalam Shield M.B, The Glaucoma Clinical Science, Second Edition. Mosby. 1996. 801-831. American Academy of Ophthalmology. Lens and Cataract. Section 11. San Fransisco: LEO; 2008-2009. h 167. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology a Systematic Approach. Edisi ke-6. Edinburgh: Butterworth Heinemann; 2007. h 193-228. Aliza HE, Steve KL, Arthur SM: Acute Primary Angle-clousure Glaucoma, Chapter 2.2, Dalam Saunders, Clinical Ophthalmology an Asian Perspsective, first edition. 2005. h 123. Kitsos G, Gartzios C, Asproudis 1, Bagli E. Central corneal thickness in subjects with glaucoma and in normal individuals (with or without pseudoexfoliation syndrome). Clin Ophthalmol. 2009;3 ‘537-42. Bressler M, Ahmed K. The Stratus OCT Primer-Essential OCT, first edition. 2006. h. 1-3 and 37-67. Litke C, Dietlein TS, Liike M, Konen W, Krieglstein GK. A prospective trial of phaco- trabeculotomy combined with deep sclerectomy versus phaco-trabeculectomy. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2008 Aug;246(8):1163-8. TousHM, Nevérez J. Comparison between the outcomes of combined ‘phacotrabeculectomy by cataract incision site. P R Health Sci J. 2007 Mar;26(1):29- 33. 15 Isasi-Saseta MB, Urcelay-Segura JL, Zamora-Barrios J, Ortega-Usobiaga J, Moreno Garcia-Rubio B, Cortés-Valdés C. Trabeculectomy and phacoemulsification, One site ys. two site approach. A comparative study. Arch Soc Esp Oftalmol. 2003 Jul;78(7):349. Vaideanu D, Mandal K, Hildreth A, Fraser SG, Phelan PS. Visual and refractive ‘outcome of one-site phacotrabeculectomy compared with temporal approach phacoemulsification. Clin Ophthalmol. 2008 Sep;2(3):569-74. South East Asia Glaucoma Interest Group. Asia Paific Glaucoma Guidelines. Second edition. Hongkong. 2008: h 41-45, . LIU He-nan, CHEN Xiao-long, LI Xun, NIE Qing-zhu and ZHU Ying. Efficacy and tolerability of one-site versus two-site phacotrabeculectomy: a meta-analysis of randomized controlled clinical trials. Chinese Medical Journal 2010:123(15):2111- 2u15.

You might also like