You are on page 1of 7
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) Penatalaksanaan Terkini Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Layanan Primer Naldo Sofian,* Muchtaruddin Mansyur** **Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta **Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak Pendahuluan: Prevalensi pengidap gangguan pendengaran akibat bising di Asia mencapai 24-89% (1991-2009). Dengan variatifnya kelompok masyarakat yang beresiko, dan untuk memperbaiki kualitas hidup serta komplikasi penyakit lainnya, pemahaman lebih mengenai penyakit ini serta tatalaksana dini pada layanan primer diperlukan. Gangguan pendengaran disebabkan glutamat dalam kadar toksik pada saraf pendengaran ‘maupun stres oksidatif pada sel rambut. Batas ambang bising sebaiknya menjadi 80 dB selama delapan jam kerja. Penapisan dilakukan dengan anamnesis yang dipandu oleh kuisioner tervalidasi, otoskopi, dan Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE). Diagnosis tetap dilakukan dengan audiometri nada murni. Ketiga nya memiliki sensitivitas dan spesifisitas berturut-turut 32-91% dan 68-89% dalam mengidentifikasi gangguan pendengaran, termasuk akibat bising. Pencegahan gangguan pendengaran lebih lanjut dengan antioksidan maupun alat pelindung pendengaran, dibantu dengan regulasi administratif dianjurkan, Rujukan diperlukan pada temuan kegawatan. Oleh karena itu, pusat kesehatan di tingkat Iayanan primer memiliki peranan penting dalam menatalaksana dan memberikan rujukan untuk penanganan secara utuh. Kata Kunci: gangguan pendengaran akibat bising, pendengaran, diagnosis, tatalaksana, penapisan Korespondensi: Muchtarudéin Mansyur Email: muchtaruddin.mansyur@ui.ac.id J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 12 Desember 2013 oat Penatalaksanaan Terkini Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Layanan Primer Updates of Noise Induced Hearing Loss Management in Primary Health Care ‘Naldo Sofian,* Muchtaruddin Mansyur** “internship Doctor- Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Jakarta **Community Health Department-Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, Jakarta Abstract Introduction: The prevalence ofnoise-induced hearing loss (NIHL) in Asia has reached 24-89% in 1991-2009. By this high prevalence and multicultural risk as well as effort prevent quality of lifeand other complications reduction especially in productive age, more understanding and early ‘management about this disease is needed. NIHL is caused by toxic-dose gluiamate in auditoric nerve and also oxidative stress on hair cell. Limit of noise intensity was revised from 85 dB into 80 dB for 8-hour-work. Screening is possible by several methods: validated questionnaire-guided anamnesis, otoscopy, and Distortion Product Otoacoustic Emission (DPOAE) while definite diagnosis still depends on pure-tone audiometry. All three of them have sensitivity and specificity ‘by 32-91% and 68-89% respectively. Main management is prevention by using antioxidant and hearing-protector device. In addition, administrative regulation may help further prevention. Referral is needed when red flags have been found, such as deformity, facial paresis or fast progressive hearing loss. Thus, management ofthis case in primary health care is needed with additional references for complete management. Keywords: noise-induced hearing loss, hearing, diagnosis, treatment, screening Pendahuluan Bising menjadi salah satu faktor fisik yang berperan dalam mempengaruhi kesehatan pendengaran, terutama seiring dengan peningkatan industrialisasi dan perubahan pola hidup masyarakat. Survey WHO tahun 2005 menyatakan bahwa di Asia gangguan pendengaran akibat bising memiliki prevalensi bervariasi antar wilayah. Berdasarkan penelitian yang telah dipublikasikan, diketahui bahwa prevalensi ‘gangguan pendengaran mencapai 24-89% selama tahun 1991-2009 (dengan attributable risk 7-21%),! sedangkan prevalensi gangguan pendengaran akibat bising dari tempat kerja mencapai 16% (perkiraan prevalensi 7-21% pada daerah subregional) di dunia” Indonesia menempatkan asus ini sebagai kasus terbanyak ketiga di antara seluruh gangguan pendengaran di Indonesia dan termasuk dalam rekomendasi WHO-SEARO tahun 2002 untuk ditanggulangi.’ Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh bising ini kerap kali kurang ditanggapi, bahkan kurang diwaspadai oleh dokter sekalipun, Studi pada komunitas tertentu menunjukkan bahwa kemampuan dokter dalam menangani gangguan pendengaran akibat bising ini rata-rata hanya pada skor 6,0 dari 10,0 (SD: 1,4) Oleh karena itu, penulis menyajikan ulasan mengenai gangguan pendengaran akibat bising untuk ‘meningkatkan kewaspadaan masyarakat, khususnya dokter, dalam menangani kasus-kasus tersebut 632 Definisi Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise-Induced Hearing Loss) Jenny B dan Indro S* menyatakan bahwa gangguan pendengaran akiba: bising merupakan “gangguan pendengaran yang disebabkan pajanan bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja”. Bising, berdasarkan kutipan dari NIOSH tahun 1998,° didefinisikan sebagai “semua gangguan yang tidak diinginkan dalam rentang frekuensi yang umum digunakan.” Secara objektif, seseorang ‘mengalami gangguan pendengaran jika rata-rata nilai ambang dengar lebih dari 25 dB pada frekuensi 500, 1000, dan 2000 Hz’ Patofisiologi Molekuler Noise-Induced Hearing Loss (IHL) Pada keadaan normal, sel rambut menghantarkan sinyal rangsangan suara dengan melepaskan transmitter dari sinaps zglutaminergik pada serabut aferen koklea.” NIHIL merupakan gangguan pada telinga dalam yang dapat melibatkan struktur i koklea maupun pada persarafannya.s Menurut Robertson, pada tahap awal NIHL kematian sel rambut belum ditemukan, tetapi terjadi pembengkakan ujung saraf koklea pada sinaps sel rambut sebagai tanda eksitoksisitas dari glutamat. Kejadian itu menyebabkan J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 12, Desember 2013 Penatalaksanaan Terkini Ganggwan Pendengaran Akibat Bising pada Layanan Primer Pergeseran ambang pendengaran sementara.’ Menurut Mattson MP” hal demikian dapat terjadi Karena glutamat merupakan neurotransmitter regulasi neurogenesis dan sinaptogenesis. Memasuki tahap kerusakan permanen, kerusakan sel rambut di koklea yang sensitif'secara mekanik dan permanen, cepat atau lambat.* Le Prell, ef al* menyatakan kerusakan secara permanen dapat terjadi jika kadar toksik glutamat ‘ercapai disertai dengan masuknya Na’, K*, dan CI ke dalam sel-sel, sehingga menyebabkan cairan masuk ke dalam sel post-synaptic hingga merobek membran sel. Keadaan inilah yang disebut sebagai NIHL? Mekanisme lain yang diajukan penelitia lainnya (Henderson D, etal dengan mengutip penelitian dari Kusakari et al) adalah besarnya kebutuhan energi dari sel rambut untuk ‘merespon sinyal mekanik akibat suara dengan intensitas dan durasi abnormal." Bila terjadi iskemi, reactive oxygen spe- cies (ROS) terbentuk dan merusak sel rambut hingga menye- babkan gangguan pendengaran, Keadaan Lingkungan, Pekerjaan Penghasil Bising, dan Implikasinya Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bising dalam durasi tertentu dapat menyebabkan gangguan pada pen- dengaran, Oleh karena bising merupakan faktor risiko gangguan pendengaran, pencegahan pajanan merupakan cara terbaik. Threshold Limit Values and Biological Exposure In- dices (TLV and BEls) yang diterbitkan oleh ACGIH tahun 2006 telah menetapkan nilai ambang batas pajanan, yaitu 85 4B selama 8 jam per harinya,’ tetapi ada anjuran dilakukan perubahan nilai ini menjadi 80 dB karena angka kejadiannya ‘masih tinggi." Semakin lama pajanan bising maka besarnya intensitas bising juga harus semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Sebagai contohnya, pajanan bising sebesar 80 4B dapat ditolerir oleh mereka yang bekerja 24 jam sehari, sedangkan pajanan 130 dB hanya dapat ditolerir seseorang, dalam waktu kurang dari satu detik. Batasan ini tidak cukup dikendalikan hanya dengan menggunakan pengaturan secara administratif (contoh: sanksi jika tidak mengenakan alat pelindung diri) dan belum tentu berlaku untuk semua pekerja. Oleh karena itu, setiap pekerja perlu menyadari pentingnya masalah bising tersebut.” Selain itu, terdapat istilah lain yang perlu dibedakan ‘mengingat perbedaan kepentingannya, yaitu nilai ambang batas (NAB) dan baku mutu lingkungan (BML). Keduanya ‘merupakan suatu standar, dengan NAB merujuk pada durasi kerja (8 jam sehari atau 40 jam seminggu) dan BML merupakan tingkat pajanan yang diperbolehkan dalam suatu area dan ditetapkan pemerintah.”” Berdasarkan Peraturan Ment Kesehatan RI No. 718/MEN.KES/Per/X1/1987, ditetapkan empat zona yang diatur dengan BML sebagaimana tertera dalam tabel 1." J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 12, Desember 2013 ‘abel 1. Zona yang diatur oleh Baku Mutu Lingkungs Zona Tingkat Kebising Dianjurkan — Diperbolehkan A (Penelitian, Perawatan, 35 45 Keschatan, Sosial) B (Perumahan, Pendidikan, 45 58 Rekreasi) © (Petkantoran, Pertokoan, 50 60 Perdagangan, Pasar) D_ (industri, Pabrik, Stasiun 60 70 Kereta Api, Terminal Bus) re ect cer Perlu diperhatikan bahwa selain pekerja, mereka yang berisiko terpajan bising adalah angkatan bersenjata, buruh, Pertanian, pilot, klub malam, dan pemusik. Prevalensi beberapa studi tergambar pada tabel 2 berikut ini. n Akibat Bising dari Pejamu —Prevalensi (jumlah Keterangan—_Peneliti pejamu/sampel) Pekerja di 66,1% (165/250) Frekuensi Siddiqui IA, et al Penerbengan Rendah (2008)'* 81,3% (216/240) Frekuensi ‘Tinggi Remaja di 39% (666/1 708) Penurunan _Shargorodsky J, Amerika Serikat pendenga- et al (2010)! ran > 15 dB Pelajar 45% (148/329) 78% takike Sekolah Musik berada untuk Phillips SL, frekuensi Henrich VC, 6.000 Hz se- Mace ST dalam 15 4B (2009) Pekerjaan dengan menggunakan alat-alat berat seperti penambang dan konstruktor bangunan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Resiko ini dapat meningkat dengan keadaan kesehatan para pekerja itu sendiri, seperti rheuma- toid arthritis, diabetes mellitus, paparan zat kimia tertentu (Karbon monoksida, asam sianida, atau organofosfat), obat- obatan ototoksik, merokok, hiperlipidemia, dan usia di atas 40 tahun.” Dampak fisiologis dan psikologis juga dapat diakibatkan dari bising ini, Meta-analisis dari Kempen, et al menunjukkan adanya korelasi antara pajanan bising terhadap peningkatan tekanan darah. Studi lain membuktikan adanya peningkatan epinefrin, norepinefrin, dan kortisol. Gangguan tidur dan ognitif juga menjadi dampak lanjutan dari masalah tersebut. Dengan demikian, perburukan kualitas hidup pada mereka yang terpajan bising merupakan masalah kesehatan yang juga penting untuk ditatalaksana sedini mungkin."®"7 633 Penatalaksanaan Terkini Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Layanan Primer Panduan Diagnosis Gangguan Pendengaran diLingkungan Kerja Diagnosis umumnya ditegakkan dengan menggunakan audiometer nada murni. Gangguan pendengaran akibat bising, ibuktikan dengan adanya gambaran takik pada frekuensi 4 000 Hz. Penurunan pada rentang 3 000-6 000 Hz juga ‘menggambarkan kemungkinan adanya kerusakan sel rambut akibat adanya bising tersebut.5 Alternatif penegakan diag- nosis lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pemeriksaan berupa audiogram nada murni dan audiogram tutur."* Sedikit perbedaan jika dilihat dari aspek medikolegal, ada tiga kriteria yang harus diperhatikan: gangguan pendengaran pada frekuensi nada tinggi, paparan bising, dan bukti dalam audiogram. Dengan menggunakan audiom- eter, diagnosis dapat ditegakkan jika ada peningkatan ambang dengar lebih dari 10 dB pada frekuensi 3, 4, atau 6 kHz jika dibandingkan dengan ambang dengar pada 1 atau 2 kHz walaupun sudah dikoreksi dengan berbagai manuver. Paparan bising dapat menjadi faktor resiko jika ling- kungannya terpapar intensitas bising minimal antara 85-90 4B selama 8 jam per hari secara terus-menerus. Angka 85 dB, digunakan pada mereka yang terpapar bising dengan intensitas minimal 100 dB secara kumulatif dalam 1 tahun, sedangkan mereka yang secara individu lebih rentan ‘mengalami gangguan pendengaran menggunakan angka 90 4B sebagai kriteria."” Diagnosis juga dapat ditegakkan saat syarat pengukuran audiometri tidak mencapai kriteria yang, telah disebutkan sebelumnya (termasuk gambaran takik yang, khas pada frekuensi 3,4, atau 6 KH), tetapi pasien terpapar ppad suara bising berintensitas minimal 110 dB.” Penatalaksanaan Secara Bio-Sosial Menurut Lubis HS. penetapan ambang batas bising tidaklah cukup untuk mencegah tingginya tingkat kebisingan yang diterima oleh seseorang, fa menganjurkan empat hal untuk melindungi dir dari kebisingan: (1) penentuan pajanan, kebisingan sebagai suatu syarat fisik, (2) penilaian pajanan sebagai risiko tethadap pendengaran, (3) membatasi pajanan bila ditemukan kebisingan, (4) pengukuran pendengaran sebelum dan selama bekerja pada pekerjaan bising. ‘Seperti yang telah dijelaskan pada patofisiologi NIHL, terjadi stress oksidatif dan aktivasi kanal kalsium melalui ¢glutamat. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian terhadap beberapa pengobatan potensial. Adapun beberapa terapi yang pemah dilakukan maupun yang masih dalam tahap penelitian sebagaimana ditulis oleh Thom J, et al. yang 10 dB) dalam 90 hari, (3) riwayat pusing atau vertigo baru-baru ini, (4) riwayat kelemahan pada ‘wajah, (5) nyeri atau ketidaknyamanan pada telinga dalam 30 hari terakhir, (5) deformitas yang tampak (termasuk perforasi ‘membran timpani), (6) tuli sensorineural asimetris melebihi 10dB pada batas ambang nada muri rata-rata untuk 1,2, dan 4 kHz, (7) perbedaan pendengaran melalui udara dan tulang lebih dari atau sama dengan 15 dB pada 500, 1 000, dan 2.000 kHz, (8) serumen berlebihan atau benda asing. Pasien akan dirujuk sesudah penapisan menemukan adanya tanda-tanda kegawatan (red flags) tersebut. Rujukan diperuntukan untuk tatalaksana lebih lanjut baik dalam diagnosis maupun terapi, seperti penggunaan alat bantu dengar, oleh dokter spesialis atau pada tempat dengan fasilitas diagnosis yang lebih ‘memadai. Oleh karena itu, dokter layanan primer tidak perlu melakukan pemeriksaan audiometri terlebih dahulu jika 635 Penatalaksanaan Terkini Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Layanan Primer ditemukan ada tanda-tanda itu.°* ‘Kesimpulan Gangguan pendengaran akibat bising dapat terjadi jika sel rambut dan struktur organ korti ainnya telah mengalami malformasi akibat stress oksidatif yang diinduksi oleh kebisingan."” Tatalaksana awal sedini mungkin merupakan kunci utama penanganan gangguan ini untuk mencegah perubahan tingkat kerusakan sel rambut lebih lanjut.-** ‘Metode penapisan melalui kuisioner, otoskopi, dan DPOAE terbukti cukup efektif dan dianjurkan untuk diterapkan pada layanan primer.” Adanya tanda-tanda kegawatan menjadi pertimbangan untuk merujuk kasus ini pada rumah sakit dengan fasilitas diagnosis, tatalaksana, dan dokter spesialis yang memadai.* Oleh karena itu, perlu diperhatikan faktor- faktor protektif yang dapat dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya kasus tersebut. Seiring dengan temuan bukti-bukti terkini mengenai penatalaksanaan, termasuk penapisan, dengan metode yang sederhana untuk diaplikasikan pada daerah dengan keterbatasan fasilitas, penulis menganjurkan untuk menggunakan metode tersebut dalam menangani kasus tersebut. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besamnya, terutama atas bantuan dari Dr. dr. Muchtaruddin Mansyur MS, Sp.OK, PhD selaku pembimbing penulisan. Penulis juga berterima kasih kepada Lembaga Pengkajian dan Penelitian - BEM IKM FKUI yang telah mewadahi anggotanya untuk berkarya. Daftar Pustaka 1. Feunte A, Hickson L. Noise-induced hearing loss in Asia, Int J Audiol [Internet]. 11 November 2010 [Diakses 31 Maret 2011) Tersedia di http://informahealtheare.com/doi/abs/10.3109/ 14992027.2010.40584 2. Nelson DI, Nelson RY, Barrientos MC, Fingerhut M. The global burden of occupational noise-induced hearing loss. American Jour- nal of Industrial Medicine [Internet]. 18 November 2005 [Diakses 20 Maret 2011]; 48(6):446-58. Tersedia diz http:// “onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ajim,20223/abstract 3. Suwento R. Standar pelayanan Kesehatan indera pendengaran di puskesmas. KOMNAS PGPT [Online]. 20 Desember 2007 [Diakses 27 Juli 2012]. Tersedia di http:/hketulian.com/1/web index.php ?toarticledid=23 4. Sprecuwers D, Boer AGEM, Verbeek JHAM, Beurden MM, Dijk FIJH. Diagnosing and reporting of occupational diseases: a quality improvement study. Occupational Medicine [Internet]. 21 Januari 2008 [Diakss 20 Maret 2011]; 58:115-21. Tersedia di http:// ‘ocemed.oxfordjournals.org/content/$8/2/115.short 5. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (noise-induced hearing loss). Dalam: Socpardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu keschatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Fdisi ke-6, Jakarta: Fakultas Kedok- teran Universitas Indonesia; 2007. h. 49. 6. Concha-Barrientos M, Campbell-Lendrum Diarmid, Steenland K. Occupational noise: assessing the burden of disease from work ‘elated hearing impairment at national and local levels, WHO Environmental Burden of Disease Series [Internet] 2004 [Diakses 636 12. 13, 14, 17, 20. 21 12 Maret 2011];9:1,3-17. Tersedia dari: http://www.who. int {quantifying_chimpacts/publications/en/ebd9.paf ACGIH, Documentation of the threshold limit values and bio- logical exposure indices. Cincinnati: ACGIH; 2006, h112-115. Kujawa SG, Liberman MC. Adding insult to injury: cochlear nerve degeneration after “temporary” noise-induced hearing loss. The Journal of Neuroscience [Intemet]. 11 November 2009 [Diakses 12 Maret 2011]; 25(45):14077-85. Tersedia di http://www. jneurosei.org/content/29/45/14077.full.paf=html Mattson MP. Glutanat and neurotrophic factors in neuronal plasticity and disease. Ann N Y Acad Sci {Internet}; 1144: 97- 112, 6 Januari 2009 ‘Diakses 12 Maret 2011], Tersedia di http: Jwww.nebi.nlm.nih. gov/pme/articles/PMC2614307/pdf/ nihms82201.pdf Henderson D, Bielefeld EC, Harris KC, Bo HH. The role of ‘oxidative stress in cise-induced hearing loss. Ear & Hearing [Internet]. 2006 [Diakses 12 Maret 2011]; 27: 1-19. Tersedia di: hutp:/iwww-nmephe.med.navy.mil/downloads/oeemed toolbox’ Ear%20and%20Hearing%20review.pat . Rabinowitz PM, Galusha D, Dixon-Erast C, Slade MD, Cullen MR. Do ambient noise exposure levels predict hearing loss in a ‘modern industrial cohor?. Occup Environ Med [Internet]. 14 September 2006 [Diakses 12 Maret 2011]; 64:53-9. Tersedia di hutp://www.nebi.nlm.nih. gov/pme/articles/PMC2092595/pdt S3.pdt Dharma A. Baku mutu lingkungan & mekanisme pemantauan, Universitas Gunadherma [Power Point]. [Diakses 10 Agustus 2011). Tersedia di: htp://agus_dh staff gunadarma.ac.id/Down- Toads/folder/0.0 Schlenker TL. Potential health effects of noise exposure [Untemet]. Madison: Public Health Madison & Dane Country. 25, ‘November 2009 [Diskses 12 Maret 2011]. Tersedia dari: http:// www publichealthmde.com/publications/doeuments/Noise HealthEffectsReport pdf Siddiqui IA, Siddiqui RA. The effect of excessive noise exposure fon the hearing thresholds of aviation workers in Karachi. Pak J ‘Med Sei [Internet]. 18 Juni 2008 [Diakses 12 Maret 2012}; 24(4):523-30-Tersedic di htp://pjms.com pk/issues/julsep08/pdl/ noise.pdf Shargorodsky J, Cursan SG, Curhan GC, Eavey R. Change in prevalence of hearing loss in US Adolescents. JAMA [Internet 18 Agustus 2010 [Diakses 20 Maret 2011];304(7) Tersedia di hnttp:/jama.ama-assn org/content/304/7/772/T2.expansion.html Phillips SL, Henrich VC, Mace ST. Prevalence of noise-induced hearing loss in student musicians. Int J Audiol [Internet]. 27 Juli 2009 [Diakses 12 Maret 2011]; 49:309-16. Tersedia di http:// \www-uneg.edu/esd/faculty/MJA%20Prevalence’420article pat Seidman MD, Standrirg RT. Noise and quality of life. Int J Environ Res Public Health [Cnline]. 19 Oktober 2010 (Diakses 13 Juni 2012]:7:3730-8. Teredia di http:/swww.mdpi.com/journal/jerph Sagastuy B, Skaliotis M. European occupational diseases statis- tics (EODS). European Commission [Internet]. 2000 [Diakses 24 Maret 2011]. Tersedia di ec.curopa.cu/social/BlobServlet? docld=31534langld=en Coles RRA, Lutman ME, Buffin JT. Guidelines on the diagnosis of noise-induced hearing loss for medicolegal purposes. Clin. Otolaryngol [Internet 12 April 2000 [Diakses 19 Maret 2011]; 25: 264-73. Tersedia di https/wwww.acc.co.nz/PRD_EXT_CSMP/ _groups/external_communications/documents/reference_tools/ wpe091073.pdt Syarifuddin, Bashiruddin J, Alviandi W. Tuli koklea dan tuli retrokoklea. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Univer- sitas Indonesia; 2007. Lubis HS. Program perlindungan pendengaran pekerja terhadap kebisingan [Internet]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2002. ‘Tersedia di: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 12, Desember 2013 Penatalaksanaan Terkini Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Layanan Primer 22, 23, 24. 25. 26. 21 28 29. 3731/1/k3-halindas.pdf ‘Thom J, Peters C, MeIntyre E, Winters M, Teschke K, Davies H. Treatments for noise-induced hearing loss [Internet]. Safety and Health in Arts Production and Entertainment (SHAPE). Agustus 2005 [Diakses 13 Maret 2011]. Tersedia di http:// shape.be-ca/resources/pdfftreatmentnoiceinduced pdf Cheng-Yu L, Jiunn-Liang W, Tung-Sheng S, Pemg-ly 1, Yih-Min S, Mi-Chia M, et al. N-acetylcysteine against noiseinduced tem- porary threshold shift in male workers. Hearing Research [Internet]. 16 Juli 2010 [Diakses 15 Maret 2011}; 269: 42-7. TTersedia di Borchgrevink HM. Effects of shift work an intermittent noise exposure on hearing: mechanisms and prophylactic potential. ‘Noise Health (Internet) [Cited 2011 Mar 20] 11:183-4. Tersedia di http://www.noiseandhealth.org/text.asp?2009/11/45/183/ 56209 Mitchell J, MeCombe A. Noise-induced hearing loss. Journal of ENT Masterclass [Internet]. 2009 [Diakses 20 Mei 2011]; 2(1):109-13. Tersedia di htp:/www.entmasterclass.com/journals! ENT_Journal_2009.pdftpage=109 ‘Azizi MH. Occupational noise-induced hearing loss [Internet]. OEM. Juli 2010 [Diakses 20 Mei 2011]; 1(3):116-23. Tersedia i hup://www.theijoem.com/ijoemlindex.php/ijoem/article/ viewArticle/36 Ferrite S, Santana VS, Marshall SW. Validity of self-reported hearing loss in adults: performance of 3 single questions. Rev Saude Publica [Online]. 19 Januari 2011 [Diakses 25 Juli 2012]:45(5):824-30. Tersedia di: http:/www.scielo.bripdfirsp! v45n5/2466.pah Ito K, Naito R, Murofushi T, Iguchi R. Questionnaire and inter- view in screening for hearing impairment in adults. Acta Oto- Laryngologica [Online]. 2007 (Diakses 25 Juli 2012]; 127:24-8. ‘Tersedia di http:/www.noiseandhealth org/aticle.asp?iss 174 year-2012;volume=14ssue-56spage-32sepage38aulst-McCullgh Hong O, Ronis DL, Antonakos CL. Validity of self-rated hearing. ‘compared with audiometric measurement among ‘construction workers. Nurs Res [Online]. September 2011 [Diakses 25 Juli 2012];60(5):326-32. Tersedia di: http:/(journals.lww.com/ ‘J Indon Med Assoc, Volum: 63, Nomor: 12, Desember 2013 30. 31 32, 33, 34. 35. 36. nursingresearchonline/Abstract/2011/09000/Validity_of_ Self Rated Hearing_Compared_With.7.aspx Rosso M, Agius R, Calleia N. Development and validation of a screening questionnaire for noise-induced hearing loss. Occup Med (Online). 16 Agustus 2011 [Diakses 25 Juli 2012]; 61(6):416- 21, Tersedia di: http://ocemed.oxfordjourals.org/content/61/6! 416 Penafiel E. Developing a questionnaire to assess noise exposure in children and teens. Ohio University [Online]. Juni 2007 [Diakses 27 Juli 2012]. Tersedia di: https://kb.osu.edu/dspace! bitstream/handle/181 1/28399/knowledgebank-pdf?sequence=1 Edwards A, CollerP, Badenhorst C. Early identification of noise induced hearing loss: a pilot study on the use of distortion prod- Let otoacoustic emission as an adjunct to sereening audiometry in the mining industry. Occupational Health Southern Africa {Internet}. Mei 2010 (Diakses 20 Maret 2011]. Tersedia di: http! /researchspace.csir.co.za/dspace/bitstream/10204/4807/1/ Edwards3_2010.pdf Nageris Bi, Attias J, Raveh E. Test-etest tinnitus characteristics, in patients with noise-induced hearing loss. Am J Otolaryngol {Online}. 18 Sepiember 2008 [Diakses 23 Juli 2012];31:181-4, ‘Tersedia di ttp:/www.sciencedirect.com Chris W, Avery J, Bellhouse G, Greville A, Rosser J, Black D. Differential diagnosis. Dalam: Noise-induced hearing loss: a guide for medical practitioners. [Online]. Wellington: Occupational Safety and Health Service. April 1994 [Diakses 25 Juli 2012]. TTersedia di: hitp://www.osh.dol govt nzlorder/eatalogue/paf/ nhl pat Haase GM, Prasad KN, Cole WC, Baggett-Srehlau JM, Wyatt, SE. Antioxidant micronutrient impact on hearing disorders: con- cept, rationale, and evidence. Am J Otolaryngol [Online]. 22 Juni 2009 [Diakses 23 Juli 2012]; 32:55-61. Tersedia di ‘wwwscieneedirect.com WSIB CSPAAT Ontario. Program of care for noise induced hea- ring loss. [Diakses 28 Juli 2012]. Tersedia di: htp/www.wsib.on.ca! «en/community/ WSIB/230/ArticleDetail/24338?vgnextoi Talde35c81947210VgnVCM100000449c710aRCRD 637

You might also like