You are on page 1of 22

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….……..1

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….……..4

LATAR BELAKANG……………………………………………………….….......…4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..…...5

2.1. Psoriasi………………………………………………………………………..…...5

2.1.2. Epidemologi …………………………………………………………….…......5

2.1.3. Etiopatogenesis………………………………………………………….…......5

2.1.4. Gambaran klinis……………………………………………………………..…6

2.1.5. Diagnosis banding………………………………………………………….…..9

2.1.6. Histopatologik…………………………………………………………..….…..9

2.1.7. Faktor pencetus ……………………………………………………..…….….9

2.1.8. Komplikasi……………………………………………………………………..10

2.1.9. Pengobatan……………………………………………………………………..10

2.1.10. Edukasi…….………………………………………………………………….10

2.1.11. Prognosis …….………………………………………………………………..10

2.2. Parapsoriasis …..………………………………………………………………....11

2.2.1. Definisi ………………………………………………………………………...11

2.2.2. Epidemologi …………………………………………………………………...11

2.2.3. Klasifikasi ……………………………………………………………………..11

2.2.4. Gejala Klinis……………………………………………………………………11

1
2.2.5. Histopatologi …………………………………………………………………..13

2.2.6. Diagnosis banding ……………………………………………………………..13

2.2.7. Tatalaksana …………………………………………………………………….13

2.2.8. Patogenesis …………………………………………………………………….13

2.3. Pitriasis Rosea ……………………………………………………………………..14

2.3.1. Definisi …………………………………………………………………………14

2.3.2. Epidemologi ……………………………………………………………………14

2.3.3. Klasifikasi ……………………………………………………………………...14

2.3.4. Gejala Klinis……………………………………………………………………14

2.3.5. Diagnosis banding ……………………………………………………………15

2.3.6. Pengobatan ……………………………………………………………………..15

2.3.7. Prognosis ……………………………………………………………………….15

2.4. Eritoderma ………………………………………………………………………..16

2.4.1. Definisi …………………………………………………………………………16

2.4.2. Epidemologi ……………………………………………………………………16

2.4.3. Patofisiologi ……………………………………………………………………16

2.4.4. Gejala klinis dan diagnosis ………………………………………………….16

2.4.5. Tatalaksana …………………………………………………………………….17

2.4.6. Prognosis ……………………………………………………………………….17

2.5. Dermatitis seboroik ………………………………………………………………18

2.5.1. Definisi …………………………………………………………………………18

2.5.2. Epidemologi ……………………………………………………………………18

2.5.3. Patogenesis ……………………………………………………………………18

2.5.4. Gambaran klinis ……………………………………………………………….18

2
2.5.5. Diagnosis ………………………………………………………………………19

2.5.6. Diagnosis banding ……………………………………………………………..19

2.5.7. Tatalaksana …………………………………………………………………….20

III. KESIMPULAN ……………………………………………………………………21

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Dermatosis eritroskuamosa ialah penyakit kulit yang terutama ditandai dengan adanya eritema dan
skuama, yaitu psoriasis, parapsoriasis, pitiriasis rosea, eritroderma, dermatitis seboroik, lupus
eritematosus dan dermatofitosis. Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran
pembuluh darah kapiler yang reversible. Sedangkan skuama adalah lapisan stratum korneum yang
terlepas dari kulit. 3
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar genetik yang kuat dengan
karakteristik perubahan pertumbuhan dan diferensiasi sel epidermis disertai manifestasi vaskuler, juga
diduga adanya pengaruh sistem saraf.1 Di Indonesia pencatatan pernah dilakukan oleh sepuluh RS
besar dengan angka prevalensi pada tahun 1996, 1997, dan 1998 berturut-turut 0,62%; 0,59%, dan
0,92%. Psoriasis terus mengalami peningkatan jumlah kunjungan ke layanan kesehatan di banyak
daerah di Indonesia. Remisi dialami oleh 17-55% kasus, dengan beragam tenggang waktu. 3

Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, pada umumnya tanpa
keluhan, kelainan kulit terutama terdiri atas eritema dan skuama, berkembang perlahan dan perjalanan
kronik.3

Pitiriasis rosea (PR) adalah penyakit yang relatif umum, sembuh sendiri dermatosi papulo-
skuamosa yang tidak diketahui asalnya, yang terutama muncul pada remaja dan dewasa muda (10-35
tahun), sedikit lebih sering terjadi pada wanita. Memiliki serangan mendadak, dan dalam presentasi
tipikal, didahului oleh patch soliter yang disebut "Herald patch".7 Etiologi belum diketahui, tetapi
berdasarkan gambaran klinis dan epidemiologis diduga infeksi sebagai penyebab. 3

Erythroderma adalah umum kemerahan dalam pada kulit yang melibatkan lebih dari 90% perm
Patofisiologi eritroderma belum jelas, yang dapat diketahui ialah akibat suatu agent dalam tubuh,
maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema) yang universal.
Kemungkinan pelbagai sitokin bmperan.3ukaan tubuh dalam beberapa hari hingga minggu. 9

Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit dengan keradangan superfisial kronis yang mengalami
remisi dan ekserbasi dengan rasa seborik sebagai tempat predileksi. 11 Dermatitis seboroik merupakan
kelainan dermatologis inflamasi kronik yang paling sering terjadi umumnya menyerang orang dewasa
namun pada kekanak-kanakan juga terjadi.9

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Psoriasis
2.1.1. Definisi
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar genetik yang kuat
dengan karakteristik perubahan pertumbuhan dan diferensiasi sel epidermis disertai
manifestasi vaskuler, juga diduga adanya pengaruh sistem saraf. 3
Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis dengan predisposisi genetik yang kuat dan
sifat patogen autoimun. 5

2.1.2. Epidemologi
Psoriasis bersifat universal. Namun, prevalensi dalam populasi yang berbeda bervariasi
dari 0,1% menjadi 11,8%, menurut laporan yang diterbitkan. Tertinggi insiden yang
dilaporkan di Eropa terjadi di Denmark (2,9%) dan Kepulauan Faeroe (2,8%). Sebuah
studi terbaru tentang 1,3 juta orang Jerman menemukan prevalensi 2,5%. Prevalensi
serupa (mulai dari 2,2% hingga 2,6%) telah terjadi diukur di Amerika Serikat. Prevalensi
yang lebih tinggi pada Orang Afrika Timur yang bertentangan dengan orang Afrika Barat
mungkin menjelaskan prevalensi psoriasis yang relatif rendah di Afrika-Amerika (1,3%
vs 2,5% di Amerika kulit putih). Itu insiden psoriasis juga rendah pada orang Asia (0,4%),
dan dalam pemeriksaan terhadap 26.000 orang Indian Amerika Selatan, tidak ada satu
kasus pun yang terlihat. Psoriasis juga umum terjadi pada pria dan wanita. 9
Di Indonesia pencatatan pernah dilakukan oleh sepuluh RS besar dengan angka
prevalensi pada tahun 1996, 1997, dan 1998 berturut-turut 0,62%; 0,59%, dan 0,92%.
Psoriasis terus mengalami peningkatan jumlah kunjungan ke layanan kesehatan di banyak
daerah di Indonesia. Remisi dialami oleh 17-55% kasus, dengan beragam tenggang
waktu.3

2.1.3. Etiopatogenesis
Hanseler dan Christopher pada tahun 1985 membagi psoriasis menjadi tipe 1 bila onset
kurang dari umur 40 tahun dan tipe 2 bila onset terjadi pada umur lebih dari 40 tahun.
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang kuat mengenai patogenesis psoriasis, tetapi
peranan autoimunitas dan genetik dapat merupakan akar yang dipakai dalam prinsip
terapi. Mekanisme peradangan kulit psoriasis cukup kompleks, yang melibatkan berbagai
sitokin, kemokin maupun faktor pertumbuhan yang mengakibatkan gangguan regulasi
keratinosit, selsel radang, dan pembuluh darah; sehingga lesi tampak menebal dan
beskuama tebal berlapis. Aktivasi sel T dalam pembuluh limfe terjadi setelah sel
makrofag penangkap antigen (antigen persenting cell/APC) melalui major
histocompatibility complex (MHC) mempresentasikan antigen tersangka dan diikat oleh
ke sel T naif. Pengikatan sel T terhadap antigen tersebut selain melalui reseptor sel T
harus dilakukan pula oleh ligan dan reseptor tambahan yang dikenal dengan kostimulasi.
Setelah sel T teraktivasi sel ini berproliferasi menjadi sel T efektor dan memori kemudian

5
masuk dalam sirkulasi sistemik dan bermigrasi ke kulit. 3

2.1.4. Gambaran klinis


Gambaran klasik berupa plak eritematosa diliputi skuama putih disertai titik-titik
perdarahan bila skuama dilepas, berukuran dari seujung jarum sampai dengan plakat
menutupi sebagian besar area tubuh, umumnya simetris. Penyakit ini dapat menyerang
kulit, kuku, mukosa dan sendi tetapi tidak mengganggu rambut. Penampilan berupa
infiltrat eritematosa, eritema yang muncul bervariasi dari yang sangat cerah ("hof'
psoriasis) biasanya diikuti gatal sampai merah pucat ("cold' psoriasis). Fenomena
Koebner adalah peristiwa munculnya lesi psoriasis setelah terjadi trauma maupun
mikrotrauma pada kulit pasien psoriasis. Pada lidah dapat dijumpai plak putih
berkonfigurasi mirip peta yang disebut lidah geografik. Fenotip psoriasis dapat berubah-
ubah, spektrum penyakit pada pasien yang sama dapat menetap atau berubah, dari
asimtomatik sampai dengan generalisata (eritroderma). Stadium akut sering dijumpai
pada orang muda, tetapi dalam waktu tidak terlalu lama dapat berjalan kronik residif.
Keparahan memiliki gambaran klinik dan proses evolusi yang beragam, sehingga tidak
ada kesesuaian klasifikasi variasi klinis. 3
Manifestasi dermatologis psoriasis bervariasi. Psoriasis vulgaris juga disebut psoriasis
tipe plak, dan merupakan tipe yang paling umum. Istilah psoriasis dan psoriasis vulgaris
digunakan secara bergantian dalam literatur ilmiah. Meskipun demikian, ada perbedaan
penting di antara subtipe klinis yang berbeda.5

Manifestasi klinis psoriasis 5

1. Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris adalah bentuk psoriasis yang paling umum, terlihat pada sekitar
90% pasien. Merah, bersisik, plak yang terdistribusi secara simetris secara khas
terlokalisasi pada aspek ekstensor dari ekstremitas, terutama siku dan lutut, bersama
dengan kulit kepala, keterlibatan lumbosakral bagian bawah, bokong, dan genital. 9

6
Psoriasis vulgaris9
2. Psoriasis guttate
Psoriasis guttate (dari bahasa Latin gutta, yang berarti "setetes") ditandai dengan
letusan kecil (diameter 0,5–1,5 cm) papula di atas batang atas dan ekstremitas
proksimal. Ini biasanya bermanifestasi pada usia dini dan dengan demikian sering
ditemukan pada dewasa muda.9

Psoriasis guttate9
3. Psoriasis inferse (flexural).
Lesi psoriasis dapat terlokalisasi di lipatan kulit utama, seperti ketiak, daerah genito-
krural, dan leher. Scaling biasanya minimal atau tidak ada, dan lesi terlihat eritema
berbatas tegas mengilap, yang sering terjadi terlokalisasi di area kontak kulit-ke-kulit.
Berkeringat di area yang terkena.9

Psoriasis Inferse (flexural)9


4. Eritrodermik psoriatika
Eritroderma psoriasis mewakili bentuk umum penyakit yang menyerang semua
bagian tubuh, termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, batang, dan ekstremitas. 9

7
Eritrodermik psoriatika9
5. Psoriasis pustular
Psoriasis pustular ditandai dengan beberapa pustula steril yang menyatu. 5

Psoriasis pustular9
6. Psoriasis kuku
Perubahan kuku sering terjadi pada psoriasis ditemukan pada hingga 40% pasien,
Keterlibatan kuku meningkat seiring bertambahnya usia, dengan durasi dan luasnya
penyakit, dan dengan adanya artritis psoriatis.9

Psoriasis kuku9
7. Psoriasis arthristis
Artritis adalah manifestasi psoriasis ekstrakutan yang umum terlihat hingga 40%
pasien. Ini memiliki komponen genetik yang kuat, dan ada beberapa subtipe yang
tumpang tindih.9

8
Psoriasis arthristis9
2.1.5. Diagnosis banding
Diagnosis banding psoriasis: dermatitis numularis, pitiriasis likenoides, mikosis
fungoides, penyakit bowen, dermatitis seboroik, sifilis psoriasiformis, eritroderma karena
penyebab lain (penyakit kulit lain, alergi obat, penyakit sistemik), lupus eritematosus
kutan, neurodermatitis, pitiriasis rubra pilaris, kandidosis intertriginosa, intertrigo,
onikomikosis.8
2.1.6. Histopatoligik
Pada pemeriksaan histopatologis psoriasis plakat yang matur dijumpai tanda spesifik
berupa: penebalan (akantosis) dengan elongasi seragam dan penipisan epidermis di atas
papila dermis. Masa sel epidermis meningkat 3-5 kali dan masih banyak dijumpai mitosis
di atas lapisan basal. Ujung rete ridge berbentuk gada yang sering bertaut dengan rete
ridge sekitarnya. Tampak hiperkeratosis dan parakeratosis dengan pernp1san atau
menghilangnya stratum granulosum. Pembuluh darah di papila dermis yang membengkak
tampak memanjang, melebar dan berkelok-kelok. Pada lesi awal di dermis bagian atas
tepat di bawah epidermis tampak pembuluh darah dermis yang jumlahnya lebih banyak
daripada kulit normal. lnfiltrat sel radang limfosit, makrofag, sel dendrit dan sel mast
terdapat sekitar pembuluh darah. Pada psoriasis yang matang dijumpai limfosit tidak saja
pada dermis tetapi juga epidermis. Gambaran spesifik psoriasis adalah bermigrasinya sel
radang granulosit-neutrofilik berasal dari ujung subset kapiler dermal mencapai bagian
atas epidermis yaitu lapsan parakeratosis stratum korneum yang disebut mikroabses
Munro atau pada lapisan spinosum yang disebut spongioform pustules of Kogoj.3
2.1.7. Faktor Pencetus
Faktor lingkungan jelas berpengaruh pada pasien dengan predisposisi genetik.
Beberapa faktor pencetus kimiawi, mekanik dan termal akan memicu psoriasis melalui
mekanisme Koebner, misalnya garukan, aberasi superfisial, reaksi fototoksik, atau
pembedahan. Ketegangan emosional dapat menjadi pencetus yang mungkin diperantarai
mekanisme neuroimunologis. Beberapa macam obat misalnya beta-bloker, angiotensin-
converting enzyme inhibitors, antimalaria, litium, nonsteroid antiinflamasi, gembfibrosil
dan beberapa antibiotik. Bakteri, virus, dan jamur juga merupakan faktor pembangkit
psoriasis.3

2.1.8. Komplikasi
Komplikas yang dapat terjadi pada pasien eritroderma adalah hipotermia dan

9
hipoalbuminemia sekunder terhadap pengelupasan kulit yang berlebihan juga dapat terjadi
gagal jantung dan pneumonia. Sebanyak 10-17% pasien dengan psoriasis pustulosa
generalisata (PPG) menderita artralgia, mialgia dan lesi mukosa. 3

2.1.9. Pengobatan

Prinsip pengobatan yang harus dipegang adalah:

- Sebelum memilih pengobatan harus dipikirkan evaluasi dampak penyakit terhadap


kulitas hidup pasien. Dikategorikan penatalaksanaan yang berhasil bila ada perbaikan
penyakit, mengurangi ketidaknyamanan dan efek samping.
- Mengajari pasien agar lebih kritis menilai pengobatan sehingga ia mendapat informasi
sesuai dengan perkembangan penyakit terakhir. Diharapkan pasien tidak tergantung
dokter, dapat mengerti dan mengenal obat dengan baik termasuk efek sampingnya.
Menjelaskan bahwa pengobatan lebih berbahaya dari penyakitnya sendiri.
- Topikal kortikosteroid
- Kalsipotriol/Kalsipotrien
- Retinoid topikal
- Ter dan Antralin
- Fototerapi
- Sistemik
Metotreksat dosis rendah 7.5-15mg setiap minggu, dengan pemantauan ketat
pemeriksaan fisik dan penunjang.3
2.1.10. Edukasi
1. Penjelasan bahwa psoriasis adalah penyakit kronik residif dan pengobatan yang
diberikan hanya bersifat menekan keluhan kulit bukan menyembuhkan.
2. Menghindari faktor pencetus (Infeksi, obat-obatan, stres, dan merokok)
3. Kontrol secara teratur dan patuh terhadap pengobatan. 8

2.1.11. Prognosis
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam
- Ad sanactionam : dubia ad malam8

2.2. Parapsoriasis
2.2.1. Definisi
Parapsoriasis menggambarkan sekelompok penyakit kulit yang biasa ditandai dengan
papula bersisik, bercak yang memiliki kemiripan psoriasis. 6
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, pada
umumnya tanpa keluhan, kelainan kulit terutama terdiri atas eritema dan skuama,
berkembang perlahan dan perjalanan kronik.3

10
2.2.2. Epidemologi
Diagnosis parapsoriasis jarang dibuat karena kriteria diagnosis masih kontroversial. Di
Eropa lebih banyak dibuat diagnosis parapsoriasis daripada di Amerika Serikat. 1
Parapsoriasis plak besar (LPP) dan plak kecil parapsoriasis (SPP), secara umum,
merupakan penyakit pada orang paruh baya dan lanjut usia, dengan insiden puncak
didekade kelima. Kadang-kadang, lesi muncul di masa kanak-kanak dan mungkin
berhubungan dengan pitiriasis lichenoides. SPP menunjukkan dominasi laki-laki yang
pasti sekitar 3: 1. LPP mungkin lebih sering terjadi pada laki-laki, tetapi perbedaannya
tidak begitu mencolok seperti di SPP. Keduanya terjadi di semua kelompok ras dan
wilayah geografis.9
2.2.3. Klasifikasi
Pada umumnya parapsoriasis dibagi menjadi tiga bagian, yakni:
1. Parapsoriasis gutata
2. Parapsoriasis variegata
3. Parapsoriasis en plaques3
2.2.4. Gejala klinis
1. Parapsoriasis gutata
Bentuk ini terdapat pada dewasa muda terutama pada laki-laki dan relatif paling
sering ditemukan. Ruam terdiri atas papul miliar serta lentikular, eritema dan skuama,
dapat hemoragik, kadangkadang berkonfluensi, dan umumnya simetrik. Penyakit ini
sembuh spontan tanpa meninggalkan sikatriks. Tempat predileksi pada badan, lengan
atas dan tungkai atas, tidak terdapat pada kulit kepala, wajah, dan tangan. Bentuk ini
biasanya kronik, tetapi dapat akut dan disebut parapsoriasis gutata akut (penyakit
Mucha-Habermann). Gambaran klinis mirip varisela, kecuali ruam yang telah
disebutkan dapat ditemukan vesikel, papulonekrotik dan krusta. Jika sembuh
meninggalkan sikatriks seperti variola karena itu dinamakan pula parapsoriasis
varioliformis akuta atau pitiriasis likenoides et varioliformis.
2. Parapsoriasis variegata
Kelainan terdapat pada badan, bahu, dan tungkai, bentuknya seperti kulit zebra, terdiri
atas skuama dan eritema yang bergaris-garis,
3. Parapsoriasis en plaque
lnsidens penyakit ini rendah pada orang kulit berwama. Umumnya mulai pada usia
pertengahan, dapat terus-menerus atau mengalami remisi, lebih sering pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Tempat predileksi pada badan dan ekstremitas. Kelainan
kulit berupa bercak eritematosa, permukaan datar, bulat atau lonjong, diameter 2,5 cm
dengan sedikit skuama, berwama merah jambu, cokelat atau agak kuning. Bentuk ini
sering berkembang menjadi mikosis fungoides.3

11
Parapsoriasis plak besar. Terdapat plak yang irregular dan dengan ukuran yang
bervariasi pada lengan9

Parapsoriasis plak besar9

Gambaran parapsoriasis berupa digitate dermatosis 9

Parapsoriasis plak kecil9


2.2.5. Histopatologi
- Parapsoriasis gutata terdapat sedikit infiltrat limfohistiositik di sekitar pembuluh
darah superfisial, hiperplasia epidermal yang ringan, dan sedikit spongiosis
setempat.

12
- Parapsoriasis variegata Epidermis tampak menipis disertai parakeratosis
setempat. Pada dermis terdapat infiltrat menyerupai pita terutama terdiri atas
limfosit.
- Parapsoriasis en plaque Gambaran klinis tak khas, mirip dermatitis kronik. 3

2.2.6. Diagnosis banding


Sebagai diagnosis banding ialah pitiriasis rosea dan psoriasis. 3

2.2.7. Tatalaksana
Hasil pengobatan kumng memuaskan. Penyakit dapat membaik dengan penyinaran
ultraviolet atau kortikosteroid topikal seperti yang digunakan pada pengobatan psoriasis,
meskipun hasilnya bersifat sementara dan sering kambuh. Dalam kepustakaan banyak
sekali obat yang dicobakan, di antaranya kalsiferol, preparatter, obat antimalaria, derivat
sulfon, obat sitostatik, dan vitamin E. Ada laporan pengobatan parapsoriasis gutata akuta
dengan eritromisin (40 mg/kg berat badan) dengan hasil baik juga dengan tetrasiklin.
Keduanya mempunyai efek menghambat kemotaksis neutrofil. 3

2.2.8. Prognosis
Seperti telah dikatakan penyakit ini kronis dan residif, tidak ada obat pilihan dan
sebagian menjadi mikosis fungoides.3

13
2.3. Pitriasis rosea
2.3.1. Definisi
Pitriasis rosea adalah kelainan papulosquamos pertama kali dijelaskan oleh Robert
Wilian pada tahun 1798. Berbagai nama telah dibuat untuk kelainan ini seperti pitriasis
circinata , roseola anulata, dan herpes tonsurans maculosus. 2
Pitiriasis rosea (PR) adalah penyakit yang relatif umum, sembuh sendiri dermatosi
papulo-skuamosa yang tidak diketahui asalnya, yang terutama muncul pada remaja dan
dewasa muda (10-35 tahun), sedikit lebih sering terjadi pada wanita. Memiliki serangan
mendadak, dan dalam presentasi tipikal, didahului oleh patch soliter yang disebut
"Herald patch". 7

2.3.2. Epidemologi
Pitiriasis rosea didapati pada semua umur, terutama antara 15-40 tahun, jarang pada
usia kurang dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Ratio perempuan dan laki-laki adalah 1,5
: 1.3

2.3.3. Etiologi
Etiologi belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan epidemiologis diduga
infeksi sebagai penyebab. Berdasarkan bukti ilmiah, diduga pitiriasis rosea merupakan
eksantema virus yang berhubungan dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV)-7 dan
HHV-6. Erupsi menyerupai pitiriasis rosea dapat terjadi setelah pemberian obat, misalnya
bismut, arsenik, barbiturat, metoksipromazin, kaptopril, klonidin, interferon, ketotifen,
ergotamin, metronidazol, inhibitor tirosin kinase; dan telah dilaporkan timbul setelah
pemberian agen biologik, misalnya adalimumab. Walaupun beberapa erupsi obat dapat
menyerupai pitiriasis rosea, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pitiriasis rosea
dapat disebabkan oleh obat. Terdapat pula laporan erupsi menyerupai pitiriasis rosea yang
timbul setelah vaksinasi difteri, cacar, pneumokokus, virus Hepatitis B, BCG, dan virus
influenza H1N1.3

2.3.4. Gejala klinis


Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat. Pada sebagian kecil pasien dapat
terjadi gejala menyerupai flu termasuk malese, nyeri kepala, nausea, hilang nafsu makan,
demam dan artralgia. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Pitiriasis berarti skuama
halus. Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di badan, soliter,
berbentuk oval dan anular, diametemya kira-kira 3 cm. Ruam terdiri atas eritema dan
skuama halus di pinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu. Lesi
berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, memberi gambaran yang khas, sama
dengan lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, sehingga
menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa
hari. Tempat predileksi pada batang tubuh, lengan atas bagian proksimal dan tungkai atas,
sehingga menyerupai pakaian renang perempuan zaman dahulu. Kecuali bentuk yang
lazim berupa eritroskuama, pitiriasis rosea dapat juga berbentuk urtika, vesikel dan papul,
yang lebih sering terdapat pada anak-anak. Lesi oral jarang terjadi. Dapat terjadi

14
enantema dengan makula dan plak hemoragik, bula pada lidah dan pipi, atau lesi mirip
ulkus aftosa. Lesi akan sembuh bersamaan dengan penyembuhan lesi kulit. 3

Pitriasis rosea7
2.3.5. Diagnosis banding
- Tinea korporis
- Sifilis sekunder
- Dermatitis numularis
- Pityriasis lichenoides chronica
- Dermatitis seboroik
- Erupsi obat3

2.3.6. Pengobatan
Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatalnya dapat diberikan sedativa, sedangkan
sebagai obat topikal dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol 1/2--1%.
Bila terdapat gejala menyerupai flu dan/atau kelainan kulit luas, dapat diberikan asiklovir
5 X 800 mg per hari selama 1 minggu. Pengobatan ini dapat mempercepat penyembu an.
Pada kelainan kulit luas dapat diberikan terapi sinar UVB. UVB dapat mempercepat
penyembuhan karena menghambat fungsi sel Langerhans sebagai penyaji antigen.
Pemberian harus hatihati karena UVB meningkatkan risiko terjadi hiperpigmentasi pasca-
inflamasi.3
2.3.7. Prognosis
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam waktu 3-8 minggu. 3

15
2.4. Eritoderma
2.4.1. Definisi
Eritroderma ialah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema universalis
(90%-100%) biasanya disertai skuama. Bila eritema antara 50%-90% dinamai
preeritoderma.3
Erythroderma adalah umum kemerahan dalam pada kulit yang melibatkan lebih dari
90% permukaan tubuh dalam beberapa hari hingga minggu. 9
2.4.2. Epidemologi
Seperti telah disebutkan jumlah pasien eritroderma makin bertambah. Penyebab utama
ialah psoriasis yang meluas. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya insidens psoriasis. 3

2.4.3. Patofisiologi
Patofisiologi eritroderma belum jelas, yang dapat diketahui ialah akibat suatu agent
dalam tubuh, maka tubuh bereaksi berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema)
yang universal. Kemungkinan pelbagai sitokin bmperan. 3

2.4.4. Gejala klinis dan diagnosis


I. Eritroderma akibat alergi obat sistemik
Waktu mulai masuknya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit bervariasi
dapat segera sampai 2 minggu. Bila ada obat lebih dari satu yang masuk ke dalam
tubuh yang diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang paling sering
menimbulkan alergi. Gambaran klinisnya berupa eritema universal dan skuama
akan timbul di stadium penyembuhan.
II. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
1. Eritroderma karena psoriasis (psoriasis eritrodermik)
Psoriasis dapat menjadi eritroderma yang disebabkan oleh penyakitnya
sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat, misalnya pengobatan
topikal dengan ter dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Pada anamnesis
hendaknya ditanyakan, apakah pemah menderita psoriasis. Penyakit tersebut
bersifat menahun dan residif, kelainan kulit berupa skuama yang berlapis-
lapis dan kasar di atas kulit yang eritematosa dan sirkumskrip. Umumnya
didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis dapat
ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak meninggi daripada di
sekitamya dan skuama di tempat itu lebih tebal. Kuku juga perlu dilihat,
dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan miliar, tanda ini hanya
menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Jika ragu-ragu, pada
tempat yang meninggi tersebut dilakukan biopsi untuk pemeriksaan
histopatologik. Kadang-kadang biopsi sekali tidak cukup dan harus dilakukan
beberapa kali. Sebagian para pasien tidak menunjukkan kelainan semacam
itu, jadi yang terlihat hanya eritema yang universal dan skuama. Pada pasien
demikian kami baru mengetahui bahwa penyebabnya psoriasis setelah diberi

16
terapi dengan kortikosteroid. Pada saat eritrodermanya mengurang, maka
mulailah tampak tanda-tanda psoriasis.
2. Penyakit Leiner Sinonim penyakit ini ialah eritroderma deskuamativum.
Etiologinya belum diketahui pasti, tetapi umumnya penyakit ini disebabkan
oleh dermatitis seboroik yang meluas, hampir selalu terdapat kelainan yang
khas untuk dermatitis seboroik. Usia penderita antara 4 minggu sampai 20
minggu. Keadaan umumnya baik, biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit
berupa eritema universal disertai skuama yang kasar.
III. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan kulit
berupa eritroderma.
Sindrom Sezary
Penyakit ini tennasuk limfoma, ada yang berpendapat merupakan stadium dini
mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan dengan
infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneous T-Cel/
Lymphoma).3

2.4.5. Tatalaksana
a. Nonmedikamentosa
Pada eritroderma golongan I, obat yang diduga sebagai penyebab harus segera
dihentikan.
b. Medikamentosa Umumnya
pengobatan eritroderma adalah kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan oleh
alergi obat secara sistemik, dosis prednison 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat,
umumnya dalam beberapa hari - beberapa minggu. 3

2.4.6. Prognosis
Eritroderma yang tennasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sisternik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan dengan
golongan yang lain. Pada eritrodenna yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan
kortikosteroid hanya mengurangi gejala dan pasien akan mengalami ketergantungan
kortikosteroid (corticosteroid dependence). Sindrom Sezary prognosisnya buruk, pasien
laki-laki umumnya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan pasien perempuan setelah
10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis
fungoides.3

17
2.5. Dermatitis seboroik
2.5.1. Definisi
Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa. dengan predileksi di daerah
kaya kelenjar sebasea, skalp, wajah dan badan. Dermatitis ini dikaitkan dengan malasesia,
terjadi gangguan imunologis mengikuti kelembaban lingkungan, perubahan cuaca,
ataupun trauma, dengan penyebaran lesi dimulai dari derajat ringan , misalnya ketombe
sampai dengan bentuk eritroderma.3
Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit dengan keradangan superfisial kronis yang
mengalami remisi dan ekserbasi dengan rasa seborik sebagai tempat predileksi. 1
Dermatitis seboroik (SD) merupakan kelainan dermatologis inflamasi kronik yang paling
sering terjadi umumnya menyerang orang dewasa namun pada kekanak-kanakan juga
terjadi.9

2.5.2. Epidemologi
Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-5% pada populasi umum. Lesi
ditemui pada kelompok remaja, dengan ketombe sebagai bentuk yang lebih sering
dijumpai. Pada kelompok HIV, angka kejadian dermatitis seboroik lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 36% pasien HIV mengalami dermatitis
seboroik. Umumnya diawali sejak usia pubertas, dan memuncak pada umur 40 tahun.
Dalam usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang ringan, sedangkan pada bayi dapat terlihat
lesi berupa kerak kulit kepala (cradle cap) Jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan.3

2.5.3. Patogenesis
Berbagai faktor intrinsik dan lingkungan, dan interaksi antara faktor-faktor ini,
semuanya berkontribusi pada patogenesis dermatitis seboroik. Mekanisme yang diusulkan
untuk patogenesis Dermatitis seboroik termasuk sekresi kelenjar sebaceous, jamur
permukaan kulit kolonisasi (Malassezia spp), kerentanan individu dan tanggapan
kekebalan tubuh tuan rumah. Interaksi faktor-faktor ini menyebabkan gangguan pada
mikrobiota kulit. Reaksi kekebalan yang terganggu ke Malassezia spp. terkait dengan sel
T yang berkurang respon dan aktivasi komplemen. Meningkat adanya asam lemak tak
jenuh di permukaan kulit. Gangguan neurotransmiter kulit. Abnormal penumpahan
keratinosit. Gangguan penghalang epidermal terkait dengan faktor genetik. 9

2.5.4. Gambaran klinis


Muncul sebagai bercak merah, mengelupas, tampak berminyak di beberapa area dari
tubuh tempat kelenjar di kulit disebut sebaceous kelenjar (kelenjar penghasil minyak)
paling banyak. Lokasi yang sering terkena termasuk kulit kepala, garis rambut anterior,
alis, daerah glabella di dahi, nasal alar lipatan, lipatan melolabial, telinga (termasuk
bagian luar kanal, regio aurikuler anterior, regio retroaurikuler), dada tengah (area
sternum), dan daerah genital.9

18
Dermatitis seboroik1

Dermatitis seboroik (blefaritis)1

Dermatitis seboroik pada postaurikular kulit1

2.5.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi khas lesi eksema dengan skuama kuning
berminyak di area predileksi. Pada kasus yang sulit pertu pemeriksaan histopatologi. 3

2.5.6. Diagnosis banding


- Psoriasis
- Dermatitis atopik dewasa
- Dermatitis kontak iritan
- Dermatofitosis
- Rosasea3

2.5.7. Tatalaksana

19
Tatalaksana yang dilakukan antara lain:
1. Sampo yang mengandung obat anti Malassezia, misalnya: selenium sulfida,
zinc pirithione, ketokonazol, berbagai sampo yang mengandung ter dan
solusio terbinafine 1 %.
2. Untuk menghilangkan skuama tebal dan mengurangi jumlah sebum pada kulit
dapat dilakukan dengan mencuci wajah berulang dengan sabun lunak.
Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan krim imidazol dan turunannya,
bahan antimikotik di daerah lipatan bila ada gejala.
3. Skuama dapat diperlunak dengan krim yang mengandung asam salisilat atau
sulfur
4. Pengobatan simtomatik dengan kortikosteroid topikal potensi sedang,
immunosupresan topikal (takrolimus dan pimekrolimus) terutama untuk
daerah wajah sebagai pengganti kortikosteroid topikal.
5. Metronidazol topikal, siklopiroksolamin, talkasitol, benzoil peroksida dan
salep litium suksinat 5%. 6. Pada kasus yang tidak membaik dengan terapi
konvensional dapat digunakan terapi sinar ultraviolet-B (UVB) atau
pemberian itrakonazole 100 mg/hari per oral selama 21 hari. 7. Bila tidak
membaik dengan semua modalitas terapi, pada dermatitis seboroik yang luas
dapat diberikan prednisolon 30 mg/hari untuk respons cepat. 3

20
III

KESIMPULAN

1. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis dengan predisposisi genetik yang kuat dan
sifat patogen autoimun.

2. Parapsoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik dan residif, mempunyai dasar
genetik, dengan karakteristik gangguan pertumbuhan dan diferensiasi epidermis.

3. Pitiriasis rosea adalah suatu kelainan kulit akut yang diawali dengan timbulnya macula atau
plak soliter berwarna merah muda dengan skuama halus (“herald patch”).

4. Eritroderma merupakan kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema di seluruh tubuh
atau hampir seluruh tubuh, dan biasanya disertai skuama.

5. Dermatitis seboroik adalah kelainan kulit papuloskuamosa dengan predileksi di daerah kaya
kelenjar sebasea, skalp, wajah dan badan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Habif, T., 2015. Clinical Dermatology a Color Guide and Therapy, 6th ed. Saunders.
2. Mahajan, K., Vineet, R., Aditi,K.R.,&Vijay, K.G.(2016) Pityriasis Rosea: An Update on
Etiopathogenesis and Management of Difficult Aspects. Indian Journal of Dermatology,
180(87), 375-384.
3. Menaldi, SL., Bramono, K., & Indriatmi, W. 2019. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Ed.7. Balai Penerbit FK UI: Jakarta.
4. Murtiastutik, D., et al. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed.2. Airlangga
University: Surabaya.
5. Rendon,A.,& Knut,K.,(2019). Psoriasis Pathogenesis and Treatment. International
Journal Molecular Sciences,20, 4-28.
6. Sawant, S., Vidya, K., & Neelima, B., (2018). A Study of Parapsoriasis. International
Journal of Scientific Research.7,74-76.
7. Urbina, F., Anupam, D.,& Emilio,S.,(2017). Clinical Variants of Pityriasis Rosea. World
Journal of Clinical Cases. 5(6): 191-257.
8. Widaty, S., et al. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
di Indonesia. PERDOSKI: Jakarta.
9. Wolff, K., et al.2011. Fitzpztrick’s dermatology in General Medicine, 8th ed. Blackwell:
USA.

22

You might also like