You are on page 1of 14

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm.

111-124 | E-ISSN: 2443-0110

DEMOKRASI DALAM RUANG KHAYAL BANGSAWAN


DAN BIROKRAT-POLITISI MALUKU UTARA

Murid

Program Studi S3 Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta-Indonesia

Alamat korespondensi: murid.konofo@yahoo.com


DOI: https://doi.org/10.14710/jscl.v4i2.24875

Diterima/Received: 9 Agustus 2019; Direvisi/Revised: 2 November 2019; Disetujui/Accepted: 8 November 2019

Abstract

In response to the total reform of national political system, aristocrats and bureaucrats-politicians of North Maluku called
for the establishment of North Maluku Province. They recited the sultanate's political system, which was claimed to be
democratic, into a governance system implemented specifically in the region. As a result, they eventually found
themselves in conflict before the establishment of the province. Bureaucrats-politicians rejected the Sultan's ideas
because they considered such ideas that would revive feudalism so as to control the country's economic resources after
the establishment of the province. This study reviews, understands, interprets and reflects why aristocrats and
bureaucrats-politicians recited the political system of the sultanate in the republic era and then they entered the contest.
By using a post-structuralism perspective, data were collected through in-depth interviews and casual conversation.
This study has found that political system is recited in order to provide antithesis to decentralization which is considered
to have failed to advance development and prosperity of the people in the region. In addition, in the context of
discourse, the recitation of the sultanate's political system is a new act of "historical creation" for the sultanate and
themselves to achieve certain political interests. Therefore, the contestation between aristocrats and bureaucrats-
politicians is caused by the process of socio-cultural and sociopolitical transformation they have made, whose traces are
easily found in myths of the origin of the kingdoms and kings and historical data of European nations.

Keywords: Recitation of the History of the Sultanate; Politics of Marginality; Regional Autonomy; Globalization.

Abstract

Dalam merespons reformasi total sistem politik nasional, bangsawan dan birokrat-politisi Maluku Utara mendorong
pembentukan Provinsi Maluku Utara. Mereka meresitasi sistem politik kesultanan yang diklaim bersifat demokratis
menjadi sistem kepemerintahan yang berlaku khusus di daerah. Berdasar pada hal itu, mereka justru terlibat konflik
sebelum adanya pembentukan provinsi. Birokrat-politisi menolak gagasan Sang Sultan karena dianggap menghidupkan
feodalisme untuk menguasai sumber daya ekonomi negara pascapembentukan provinsi. Kajian ini mengulas,
memahami, menafsirkan dan merefleksikan, mengapa bangsawan dan birokrat-politisi meresitasi sistem politik
kesultanan di zaman republik, dan setelah itu mereka berkontestasi? Dengan menggunakan perspektif post-
strukturalisme; pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan obrolan santai, studi ini telah menemukan bahwa
resitasi sistem politik dilakukan dalam rangka memberi antitesis terhadap desentralisasi yang dianggap telah gagal
memajukan pembangunan dan mensejahterakan rakyat di daerah. Selain itu, dalam konteks wacana, resitasi sistem
politik kesulitan adalah tindakan “penciptaan sejarah” yang baru bagi kesultanan dan diri mereka untuk mencapai
kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, kontestasi antara bangsawan dan birokrat-politisi disebabkan oleh proses
transformasi sosiokultural dan sosiopolitik yang mereka lalui, yang jejaknya mudah ditemukan dalam mitos asal muasal
kerajaan dan para raja serta data sejarah warisan bangsa-bangsa Eropa.

Kata Kunci: Resitasi Sejarah Kesultanan; Politik Marjinalitas; Otonomi Daerah; Globalisasi.

111
Murid (Demokrasi dalam Ruang Hayal Bangsawan dan Birokrat-Politisi Maluku Utara)

PENDAHULUAN dan Sulaksono, 2012: 1-2; Buchari, 2014; Haug,


2014). Oleh karena desentralisasi dianggap
Reformasi total sistem politik, selanjutnya disebut konsekuensi politik penerapan konsep bentuk
dengan reformasi saja, dianggap sebagai titik balik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
Indonesia. Titik balik itu ditandai dengan mereka lalu menawarkan sistem politik Kesultanan
perubahan sistem pemerintahan, dari negara Jailolo, Bacan, Tidore, dan Ternate, yang biasa
otoriter menjadi negara demokrasi (Hadiz, 1998; disebut Moloku Kie Raha (MKR), menjadi sistem
Sidel, 1998). Namun demikian, perubahan sistem kepengaturan/kepemerintahan (governmentalit-
pemerintahan di Indonesia rupanya mendapatkan ies) negara di daerah. Akan tetapi, resitasi sistem
respons beragam dari masyarakat daerah, politik kesultanan yang dilakukan justru memicu
terutama berkaitan dengan reformasi (selanjutnya konflik antara bangsawan dengan birokrat-politisi.
diganti dengan desentralisasi pemerintahan), yang Padahal, provinsi baru sebagaimana yang
semula berpusat pada lembaga kepresidenan, diharapkan belum terbentuk. Sementara itu,
kemudian disebarkan kepada lembaga tinggi konflik antara bangsawan dengan birokrat-politisi
negara lain (Baswedan, 2014). Jika birokrat-politisi terus berlanjut. Dalam arena politik lokal, konflik itu
men-dorong pemekaran wilayah (Warren, 2010; berujung pada tindakan politik saling
Henley dan Davidson, 2010; Eindhoven, 2014; Vel menyingkirkan.
2014), Elite Komunitas Adat Tempatan (KAT) Salah seorang bangsawan yang terlibat
menuntut negara mengakui mereka menjadi dalam pembentukan Daerah Istimewa Moloku
entitas budaya, politik, dan ekonomi yang mandiri Kie Raha (DIMKR) adalah Sultan Mudaffar
serta mengatur diri sendiri menurut hukum adat Sjah. Selanjutnya, jika DIMKR dibentuk, ia
(Sangaji, 2010; Murray Li, 2010; Murray Li, 2012; akan menjadi gubernur seumur hidup. Di sini
D’Andrea 2013). Sementara itu, para bangsawan lah letak pemicu konflik. Birokrat-politisi
berusaha menggali “belulang kerajaan” yang menuding sultan berusaha menghidupkan
kemudian dijadikan dasar untuk meminta status feodalisme yang tujuannya adalah untuk
daerah istimewa dan daerah otonomi khusus (van menguasai sumberdaya politik dan ekonomi
Klinken, 2010). setelah menjadi provinsi (van Klinken, 2007).
Tuntutan-tuntutan tersebut disampaikan Birokrat-politisi sendiri adalah sebutan untuk
beriringan dengan konflik yang terjadi hampir di para birokrat dan politisi. Birokrat ialah Pegawai
seluruh wilayah tanah air, baik konflik Negeri Sipil (PNS), sedangkan politisi pada masa
antaragama maupun antarsuku. Pengamat Orde Baru–terdiri atas bangsawan, tokoh agama,
mengklaim bahwa reformasi adalah pukulan tokoh masyarakat, dan para sarjana, yang diarahkan
balik daerah kepada pemerintah pusat, sebagai oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
bentuk kekesalan terhadap politik sentralistik, di untuk menjadi proponent Golongan Karya
samping merupakan ekspresi budaya-politik- (GOLKAR). Aktivis Partai Persatuan Pembangunan
ekonomi guna mencapai legitimasi hak istimewa (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tidak
(Legge, 1993; Smith, 2009; Perret, 2010). Hal dikategorikan sebagai politisi Orde Baru lantaran
itu seolah-olah menunjukkan bahwa sistem dalam proses pengambilan keputusan politik, baik di
politik sentralistik adalah sumber konflik antara pusat maupun di daerah peranan mereka tidak
pusat dan daerah yang terjadi hampir dalam diperhitungkan. Saat mendorong pembentukan
sepanjang sejarah Indonesia. provinsi, PNS, aktivis GOLKAR, PPP, PDI, tokoh
Dalam merespons desentralisasi, bangsawan agama dan tokoh masyarakat melawan bangsawan.
dan birokrat-politisi di Maluku Utara mendorong Perubahan politik pascareformasi telah menggeser
pembentukan Provinsi Maluku Utara. Pemekaran paradigma proses pengambilan keputusan politik.
wilayah memperpendek rentang kendali pemba- Rencana pembangunan dibuat birokrat/PNS
ngunan. Aliran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana kemudian disahkan politisi/Dewan Perwakilan Rakyat
Alokasi Khusus (DAK) pascapemekaran, dinilai dapat Daerah (DPRD). Dengan demikian, baik tokoh
memajukan pembangunan-ekonomi, dan memutus agama, tokoh masyarakat maupun
rantai kemiskinan di daerah (Qadir

112
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 111-124 | E-ISSN: 2443-0110

bangsawan tidak memiliki peranan lagi. Mereka mengawasi pembangunan daerah dan menegosi-
dianggap oposisi yang tidak signifikan. asikan kepentingan daerah kepada pusat.
Otoritas daerah telah memberikan Seperti dalam kasus DIMKR, pengamat dan
wewenang yang luas kepada birokrat dan politisi elite nasional menganggap bahwa DK dapat
untuk merencanakan pembangunan daerah. mengacaukan sistem pemerintahan daerah dan
Namun demikian, posisi politik mereka tidak mengancam integrasi negara-bangsa. Bagi
berubah sejak zaman Orde Baru. Pada bangsawan dan birokrat-politisi, menghidupkan
kenyataannya, mereka tetap bergantung kepada kembali sistem politik kesultanan di zaman
pusat. Hal ini terjadi karena pemerintah kembali republik dapat direalisasikan jika dikaitkan dengan
menerapkan strategi “negara koorporatisme dan tujuan pembangunan nasional, yakni untuk
royalisme demokrasi” sebagai konsekuensi dari menyejahterakan kehidupan bangsa. Asumsinya,
penerapan sistem resentralisasi, setelah Undang- karena warga negara Indonesia terdiri atas
Undang (UU) Pemerintahan Daerah dan UU beragam suku bangsa, maka dalam menyejahte-
Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah dicabut rakan rakyat, pemerintah harus bekerja menurut
oleh Presiden B. J. Habibie. Resentralisasi sistem sosial budaya politik yang dianut setiap
pemerintahan dilakukan dalam rangka memacu suku bangsa. Dalam kerangka itu, sistem politik
pertumbuhan ekonomi nasional. Bertolak dari kesultanan MKR yang diklaim bersifat demokratis,
alasan itu, pemerintah harus memastikan jaminan dapat dipertimbangkan menjadi sistem kepengatu-
keamanan investasi dengan mengorganisasi ran pemerintahan negara di daerah pada masa
semua elemen sosial (termasuk partai politik) republik.
sesuai standar yang ditetapkan pemerintah. Nasib Dengan dua fungsi yang disebutkan di
politisi lebih sial lagi pascaresentralisasi. atas, DK dapat juga menjadi instrumen politik
Menejemen partai politik yang dikelola layaknya yang efektif untuk memperkuat pelaksanaan
perusahaan pribadi telah memaksa mereka untuk otonomi daerah. Regulasi tentang pemerintahan
tunduk secara total kepada elite partai. daerah pascareformasi, misalnya sistem
Walaupun begitu, birokrat dan politisi tetap perencanaan pembangunan daerah yang harus
memiliki ruang untuk bermain di daerah. Dalam disesuaikan dengan arah kebijakan umum
menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif, dua pemerintah, telah membuat daerah tidak
kelompok ini saling mengintervensi wewenang otonom untuk mengurus diri sendiri justru pada
dan bahkan saling mengunci peluang. Misalnya, era otonomi daerah. DK juga dapat menjadi
politisi/legislatif mengintervensi/mengunci ruang mitra Pemerintah untuk berhadapan dengan
gerak birokrat/eksekutif dalam proses pengesahan kepentingan politik dan ekonomi koorporasi
program. Akan tetapi, karena hak eksekusi multinasional. Bagi birokrat-politisi, Pemerintah
program ada di tangan birokrat, eksekutif dapat daerah (Pemda) dan Pemerintah pusat menjadi
pula mengunci legislatif. Mereka kemudian powerless terhadap perusahaan transnasional
“berdamai” sebagai pelaku-pelaku rent seeking. setelah Pemerintah mengusungnya di level
Tumpang tindih fungsi seperti ini, yang telah daerah atas nama globalisasi.
mengaburkan batas-batas kewenangan mereka, Perubahan sikap politik birokrat-politisi
maka mereka penulis sebut “birokrat-politisi” saja. mendukung otsus Maluku Utara, menurut penulis,
Mereka ini yang sekarang memarjinalkan lebih merupakan siasat mereka menutupi kegagalan
bangsawan dari arena politik lokal. setelah dua puluh tahun membentuk provinsi.
Kelakuan politik seperti ini yang membuat Setelah provinsi terbentuk, birokrat-politisi hanya
birokrat-politisi gagal mewujudkan janji-janji menimbulkan kegaduhan politik setiap kali pemilihan
kemajuan pembangunan-ekonomi dan umum langsung kepala daerah (pemilukadal)
kesejahteraan rakyat setelah dua puluh tahun dilaksanakan, sehingga tidak sempat membangun
provinsi terbentuk (1999-2019), kemudian berbalik daerah. Mereka kemudian mengamuflase kegagalan
menerima otonomi khusus (otsus) yang digagas tersebut dengan berlindung di balik kewibawaan
Sultan Husain Alting Sjah. Ia menjadi bagian dari kekuatan politik tradisional. Jadi, dalam meresitasi
pemerintahan daerah yang berfungsi sistem politik

113
Murid (Demokrasi dalam Ruang Hayal Bangsawan dan Birokrat-Politisi Maluku Utara)

kesultanan, birokrat-politisi sebenarnya bahwa tokoh legendaris Gurabessi telah


menjadi-kan kesultanan/bangsawan membantu Tidore berperang dengan Jailolo
menjadi tameng politik belaka. (Mansoben, 1995). Sementara itu, banyak juga
Proposisi di atas dapat dibenar jika sikap mitos yang di dalamnya berisi asal-usul orang
birokrat-politisi yang memarjinalkan bangsawan Halmahera Utara atau Tobelo yang disebut-sebut
dengan mendiskreditkan mereka dengan cara berasal dari Johor (Platenkamp, 1993). Dari sisi
menciptakan dan mempertahankan ilusi tentang perkembangan linguistik, Kesultanan Jailolo,
sentimen etnis dalam konflik Maluku Utara Tidore, dan Ternate adalah pengguna bahasa
dicermati lebih dalam. Hal itu karena dalam konflik non-Austronesia, atau bahasa Halmahera Utara.
dua kesultanan ini, birokrat-politisi berpihak pada Sementara itu, Bacan, Obi, dan Sula adalah
etnis berbeda. Pada tahap selanjutnya, semua pengguna bahasa Austronesia (Issage, 1980).
peristiwa politik yang berpihak pada kedua Studi mutahir mengenai Maluku Utara
kesultanan ini kemudian dianggap hanya berkisar pada persoalan pemekaran
merepresentasikan konflik etnis. Klaim seperti wilayah dan konflik di Maluku Utara (1999-2001).
ini adalah cara birokrat-politisi merawat Bubandt (2014) menyatakan bahwa konflik Maluku
memori warga dari trauma konflik. Dengan Utara merupakan “kelanjutan konflik antara
cara itu, bangsawan/kesultanan akan terus Kesultanan Ternate dengan Tidore”. Hasyim
dianggap sebagai pelaku utama konflik. (2016) membaca konflik Maluku Utara dalam satu
tarikan napas, yaitu antara konflik Maluku Utara
METODOLOGI dengan konfigurasi dukungan elite terhadap
Gubernur Maluku Utara dalam pemilihan Gubernur
Studi tentang Maluku Utara yang telah dilakukan 2001-2002 dan 2007-2008. Hasyim (2016) tiba
antara lain meliputi masalah ekonomi dan konflik pada simpulan bahwa sentimen etnis memainkan
politik antarkesultanan, konflik antara kesultanan peranan penting dalam konflik kekerasan dan
dengan kelompok masyarakat sekitar, pengaruh konflik politik di Maluku Utara pada pembentukan
kesultanan terhadap bangsa-bangsa Eropa, baik provinsi (Mahmud, 2014; van Klinken, 2007;
sebagai sekutu maupun sebagai lawan (Andaya, Muller, 2013). Konflik batas enam desa yang
1991), serta ekspansi politik yang dilakukan diperebutkan Kabupaten Halmahera Utara dan
kesultanan MKR. Pada zamannya, wilayah Kabupaten Halmahera Barat misalnya, adalah
kekuasaan Ternate dan Tidore menjangkau sebagian konflik yang dianggap sebagai konflik etnis. Selain
wilayah Indonesia Timur dan Mindanao (Mansoben, itu, studi konflik dan kekerasan juga mengarah
1980; Fautngil, 1983; Lapian, 1991; Amal, 2010). pada kronologi, kerugian material, dan rekonsiliasi
Sementara itu, Bacan dan Jailolo tidak melakukan pascakonflik (Bujang dan Asagaf, 2000).
ekspansi politik. Berdasar mitos atau cerita asal Berbeda dari studi-studi di atas, pada artikel
muasal kesultanan, orang yang mengaku sultan ini diuraikan mengenai kontestasi antara
adalah keturunan Dafar Sadiq, dan keraton sebagai bangsawan dengan birokrat-politisi. Akar konflik
pusat yang memiliki nuansa sakral. Oleh karena itu, dapat dilacak melalui hikayat asal muasal
masyarakat memberi dukungan kepada sultan untuk kesultanan, dan nilai-nilai budaya politik yang
menjadi penentu kerajaan-kerajaan untuk diklaim mengajarkan nilai-nilai saling mengasihi
memperluas wilayah kekuasaannya dan menjadi antarsesama dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-
pusat dari wilayah sekitar. nilai budaya politik ini pula yang diklaim menjadi
Klaim ini cukup bermasalah. Jika para raja penataan sistem politik kesultanan yang bersifat
bersaudara, mengapa Ternate menyerang Jailolo demokratis dan untuk membangun tatanan politik
pada 1551, dan Jailolo menjadi vazzal Ternate? yang damai dalam konfederasi MKR.
Tidak ada sumber yang menyebutkan bahwa Dengan menggunakan perspektif post-
Seram dan Raja Ampat pernah menjadi vasal strukturalisme, pada studi ini diuraikan tindakan
Tidore, sehingga penduduknya memiliki persepsi bangsawan dan birokrat-politisi meresitasi sistem
yang sama tentang mitos tersebut (Widjojo, 2013). politik kesultanan sebagai diskursus penciptaan
Dalam mitos orang Raja Ampat disebutkan

114
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 111-124 | E-ISSN: 2443-0110

sejarah baru, untuk mencapai tujuan tertentu yang demikian, nilai-nilai itu justru menjadi alat
dipertahankan melalui wacana, sebagai “teks” untuk memarjinalkan bala kusu se kano-
yang maknanya tidak stabil (Laksono, 2006; kano (masyarakat akar rumput) yang
Laksono, 2009). Dalam pengertian itu, bahasa selanjutnya disebut bala kusu saja, dan
menjadi instrumen prakondisi tindakan bahwa “kita menyingkirkan pemimpin-kolano (pendiri
adalah “entitas yang berbeda” (Sarup, 2003:10- kerajaan pra-kesultanan).
13). Artinya, apa yang dipikirkan, diketahui, dan
dikatakan manusia sebenarnya diciptakan oleh ADAT MENURUT BALA KUSU DAN
bahasa. Dengan demikian, kehidupan sosial BANGSAWAN
terberntuk dari aktivitas yang dipromosikan oleh
wacana (Jones, 2009: 203). Menurut Shils (1981: 31), adat atau tradisi adalah
Dalam konteks ketidakstabilan makna teks “pola panduan yang ditetapkan secara berulang-
atau bahasa seperti itu, sejarah sebagai teks ulang”, kemudian diterima menjadi “sistem hukum
dapat dimaknai secara berbeda oleh dua atau yang mengatur sistem interaksi sosial, dan
lebih orang yang datang dari latar belakang menjadi sumber harapan anggotanya” (Abadullah,
sejarah sosial-budaya yang berbeda dan terutama 1966: 1). Artinya, adat adalah sistem ideal yang
untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kerangka mendasari orientasi diri yang bersifat kognitif,
inilah tindakan bangsawan dan birokrat-politisi afektif, dan evaluasional anggota terhadap objek-
meresitasi sejarah kesultanan harus benar-benar objek tertentu. Pengungkapannya mengacu pada
dipahami. Dalam upaya meresitasi sistem politik batasan psikologis berdasar pada kepercayaan
kesultanan, sangat mungkin upaya itu tidak terkait pada nilai tertentu. Dalam artikel ini, adat dan
dengan kepentingan kesultanan, bahkan dapat tradisi dimaknai sebagai tindakan dan perbuatan
merugikan kepentingan masyarakat adat. yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Berangkat dari latar belakang itu, artikel ini adalah Adapun (ke)budaya(an) adalah sistem ideasional
hasil penafsiran dari wacana resitasi sejarah yang (sistem gagasan) yang mendasari tindakan sosial-
dilakukan bangsawan dan berokrat-politisi. budaya anggota dalam kehidupan sehari-hari
Pengumpulan data dilakukan dengan mereka.
wawancara mendalam, obrolan santai, dan Bala kusu dan bangsawan menggunakan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial-budaya istilah adat, tradisi, dan budaya dalam pengertian
yang dilaksanakan masyarakat tradisional yang sama, yakni kebiasaan dan tata krama.
(kesultanan), antara September 2015-Agustus Sebagai contoh, jika seseorang lewat di jalan, lalu
2016. Sementara itu, informasi mengenai upaya ada orang yang duduk di teras rumah, atau sedang
resitasi sejarah kesultanan untuk menciptakan berdiri di tepi jalan, yang lewat akan mengucapkan
sejarah baru bangsawan dan birokrat-politisi, ma-silolowa (permisi): ‘Suba jo’, dan dibalas: ‘Jo
penulis dapatkan dari sumber-sumber tradisional. suba’. Jika yang lewat kebetulan menggunakan
Setelah dilakukan penelitian, ditemukan fakta capeu (topi), atau tuala (caping), dia akan membuka
bahwa perebutan sumber daya ekonomi dan politik dan meletakkannya di dada” (Wawancara dengan
pascapembentukan provinsi memang menjadi salah Dero, 19 Desember 2015). “Laki-laki yang telah
satu faktor konflik antara bangsawan dan birokrat- menikah selalu menggunakan kofia dalam segala
politisi, yang kemudian berlanjut menjadi konflik aktivitias. Mereka mengenakan baju lengan panjang,
Maluku Utara. Jika dilacak lebih jauh, hikayat asal dan celana panjang. Itu orang adat” (Wawancara
muasal tentang kerajaan dan para raja juga dengan Dero, 22 Januari 2016).
mengandung informasi tentang konflik antarkerajaan Terdapat jalinan politik kesultanan antara
dan antarbangsawan dalam satu kerajaan. Nilai-nilai adat dengan kesultanan. Saat adat dihubungkan
budaya diklaim mampu dengan politik kesultanan, adat menimbulkan
mengajarkan perilaku saling mengasihi keruwetan dalam perkara relasi antara bala kusu
antarsesama dalam kehidupan sehari-hari. Nilai- dengan bangsawan, dan antara bala kusu-
nilai budaya-politik itu juga diklaim menjadi dasar bangsawan dengan kesultanan/sultan. Benda
pembentukan sistem politik kesultanan. Namun material seperti kofia (songkok), aksesori tubuh

115
Murid (Demokrasi dalam Ruang Hayal Bangsawan dan Birokrat-Politisi Maluku Utara)

dalam kehidupan sehari-hari, saat dikaitkan Agama (Islam), ia berkaitan dengan aqidah, syariat,
dengan eksistensi kesultanan akan berubah akhlak, niat, perbuatan baik, dan cara melaksanakan
menjadi sangat politis, dalam soal niat untuk perbuatan lain. Dalam politik kesultanan,
hubungan antar-kerajaan, terutama cara Galib se Lukidi bersangkut paut dengan sumber
mereka saling memban-dingkan diri dan otoritas raja-kolano, yang diperoleh dari leluhur, dan
antara satu kesultanan dengan lain. raja-sultan yang didapat dari dukungan politik
Mahkota Kesultanan Ternate pada mulanya klan/soa pendiri kerajaan.
adalah kofia milik Mashur Malamo, raja kedua Nilai yang kedua adalah Bobaso se Rasai
Ternate, anak keempat dari Jafar Sadiq atau ajaran tentang perilaku saling mengasihi
(Wawancara dengan Om Dula, 17 Januari 2016). antar-sesama dalam kehidupan sehari-hari. Nilai
Dikisahkan bahwa songkok ini pernah dipinjamkan yang ketiga adalah Cing se Cingare, yang
kepada Nabi Muhammad. Setelah Nabi mengajarkan sifat saling mengasihi antarsesama
meninggal, ada seseorang yang hendak bangsawan, dan cara menempatkan bangsawan
mengambil songkok itu dari Saidinah Aisyah. Akan dalam struktur organisasi kesultanan. Nilai
tetapi, songkok itu tiba-tiba menghilang ke berkaitan dengan “adat dan aturan” atau disebut
kayangan, dan baru diberikan lagi kepada Mashur Adat se Atorang. Dalam konteks negara modern,
Malamo saat dia hendak dibawa pulang ke bumi Adat se Atorang dapat disamakan dengan hukum
oleh Jafar Sadiq. Hal inilah yang diduga menjadi positif, yang menyangkut penyelesaian hukum
penyebab Kesultanan Ternate tidak pernah bala kusu oleh Hukum Sangaji (semacam
mengalami kevakuman politik, sedangkan tiga Kejaksaan), dan pelanggaran hukum bangsawan
kesultanan lainnya pernah vakum dan baru yang diselesaikan oleh Hukum Soa Sio (semacam
muncul kembali setelah masa kemerdekaan”. Menteri Dalam Negeri). Nilai yang kelima adalah
Secara teoretik, cerita tersebut merepresen- Istiasat se Kabasarang, artinya “istiadat dan
tasikan “proses penciptaan sejarah”; dalam arti kebesaran”, atau melaksanakan adat menurut
mentransformasikan persepsi masa lalu ke masa kini aturan adat. Aturan-adat yang dimaksud meliputi
sebagai gugus-gusus waktu. Meskipun cerita yang aturan-aturan yang bersifat protokoler, seperti:
disampaikan berbeda-beda, namun saling menyerap posisi duduk Bobato (Dewan) Akhirat dan Bobato
melalui serangkaian abstraksi yang signifikansinya Dunia, yang mendampingi sultan dalam upacara,
terlihat dalam konteks sosial-politik yang saling parade tentara dalam upacara sebagai hiburan,
terjalin (Clummings, 2015: 87-91). Di titik ini, sejarah dan aturan-aturan protokoler lain. Keenam, Cara
menjadi semacam “mitos” atau narasi sebagai “kode” se Ngale, berisi tentang “cara pelaksanaan adat
yang menyampaikan pesan tertentu kepada menurut makna-makna yang terkandung dalam
pemangkunya (Vreden-bregt, 1983: 2-3). Pada titik nilai adat”. Nilai yang terakhir, atau ketujuh adalah
lain, sejarah sering kali diartikan sebagai “doxa”, Sere se Doniru. Dalam konteks modern, Sere se
yaitu asumsi-asumsi yang tidak terjelaskan namun Doniru ini mungkin dapat disamakan dengan
tertanam dalam tatanan sosial dan politik. Asumsi itu Juklak dan Juknis dari sebuat peraturan.
berlaku sebagai seperangkat proposisi yang diterima Secara umum, tujuh nilai budaya-politik ini
secara tidak kritis dan berfungsi untuk menemukan mengajarkan sifat saling mengasihi antarsesama
atau menegaskan diri” (Heehs, 1994: 3). dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari
alasan itu, bala kusu berpendapat bahwa mereka
Dalam konteks (penciptaan sejarah) seperti dan bangsawan berposisi setara dalam semua
itulah bangsawan menggunakan adat untuk arena politik kesultanan. Namun sebaliknya,
merumuskan sejumlah nilai budaya-politik. Nilai- bangsawan menganggap bahwa mereka dan bala
nilai budaya-politik ini selanjutnya digunakan untuk kusu tidak memiliki kedudukan sama.
merumuskan filsafat politik kesultanan. Ada tujuh Perbedaan pandangan ini muncul karena
nilai budaya-politik yang digunakan untuk cara mereka menafsirkan proses pengaruh-bentuk
merumuskan filsafat politik kesultanan. Pertama, Galib se Lukidi kepada enam nilai lainnya.
Galib se Lukidi, berhubungan dengan sistem Menurut bala kusu, Galib se Lukidi memberi
kepercayaan kepada leluhur. Dalam konteks pengaruh-bentuk sama kepada enam nilai lain.

116
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 111-124 | E-ISSN: 2443-0110

Setelah mendapat pengaruh-bentuk dari Galib se bangsa-bangsa Eropa datang menulis segala hal
Lukidi, enam nilai ini saling memberi pengaruh- tentang Maluku, kemudian melaporkannya kepada
bentuk yang dianggap sama antara satu dengan dunia yang lebih luas. Dalam keadaan kesejarahan
yang lain. Sementara itu, menurut bangsawan, seperti itu, kemudian sejawaran datang menuliskan
Galib se Lukidi memberi pengaruh-bentuk ke atas, sejarah mereka. Namun demikian, karya sejarawan
kepada Cing se Cingare, ke bawah ke pada ini justru melahirkan dilema tertentu. Misalnya,
Bobasi se Rasai. Setelah mendapat mengaruh- sejarah dipakai untuk membenarkan tindakan buruk
bentuk di Galib se Lukidi, Cing Se Cingare tujuan politik tertentu.
memberi pengaruh-bentuk langsung kepada Adat Karya-karya sejarawan itu berdasar pada
se Atorang dan Istiadat se Kabarasang. Demikian sumber-sumber otoritatif dan sangat metodologis,
pula, Bobaso se Rasai memberi pengaruh-bentuk dan digunakan bangsawan serta birokrat-politisi
langsung kepada Cara se Ngale dan Sere se untuk membenarkan tindak resitasi sistem politik
Doniru. Bersamaan dengan itu, Cing se Cingare, kesultanan pada zaman republik. Ini dapat terjadi
Adat se Atorang, dan Istiadat se Kabasarang karena dua hal; pertama, sumber sejarah tertulis
memberi pengaruh-bentuk kepada Cara se Ngale paling awal kerajaan-kerajaan baru muncul pada
dan Sere se Doniru melalui Bobaso se Rasai. awal abad ke-16 (Leirissa, 1999); kedua, sejarawan
Setelah menafsirkan nilai budaya-politik, juga mengutip mitos asal muasal yang kisahnya
para bangsawan melakukan beberapa hal berikut: merentang hingga ke abad-13 dari masa kerajaan-
pertama, bangsawan melakukan pengelompokan momole, masa prakesultanan yang tertuang dalam
nilai budaya-politik, di mana masing-masing hikayat. Melalui hikayat, mereka kemudian membuat
kelompok nilai mengatur kelompok sosial yang klaim bahwa sistem politik kesultanan dibangun di
berbeda; kedua, melakukan pengelompokan ulang atas tujuh nilai budaya yang bersifat demokratis.
kelompok-kelompok sosial yang melahirkan Oleh karena para sultan adalah keturunan Jafar
distribusi ketidakadilan kolektivitas yang berbeda; Sadiq, mereka dapat membangun tatanan politik
ketiga, memarjinalkan bala kusu dari arena politik yang damai melalui konfederasi MKR–yang
kesultanan; keempat, dengan itu bangsawan disepakati di Moti (Moti Vorbond) pada 1322. Klaim
membantah klaim mereka sendiri bahwa sistem seperti ini menjadi problematis.
kerajaan bersifat demokratis yang memberi ruang Informasi Moti Vorbond muncul kali
pada setiap kelompok sosial berpartisipasi dalam pertama dalam Hikayat Ternate yang ditulis
posisi setara dalam semua peristiwa budaya- Naidah (1878). Artinya, Moti Vorbond menjadi
politik kesultanan. diskursus sejarah setelah 556 tahun kesepakatan
itu dibuat. Data Portugis dan Spanyol tidak
ILUSI KETERTIBAN POLITIK MOLOKU menyebut Moti Vorbond. Tome Pirres (2015)
KIE RAHA merupakan orang Portugis yang pertama
berkunjung ke Ternate. Karyanya selesai ditulis
“Kita hidup dalam cerita-cerita yang kita pada 1512 dan di dalamnya disebutkan bahwa di
buat sendiri. Kehidupan sosial dan kultural Maluku terdapat empat kerajaan, yakni: Ternate,
kita adalah teater di mana kita memerankan
Tidore, Makian, dan Bacan. Pulau Moti sebagian
diri kita dan juga masa lalu kita yang penting
dikuasai Ternate, dan sebagiannya lagi di bawah
bagi kita. Maka cerita kita adalah diri kita.
kekuasaan Tidore. Pigafetta, utusan kerajaan
Makna cerita kita adalah diri kita, dan sistem
kebudayaan kita” (Clummings, 2015: 7). Spanyol, tiba di Tidore pada 1521, menyebut
Batocina atau Gilolo atau Jailolo, tidak memiliki
Kutipan di atas kira-kira dapat dimaknai hubungan dengan empat kerajaan itu (Pigafetta,
sebagai dilema sejarah masyarakat Maluku Utara 1971). Hal itu yang menyebabkan Amal (2010)
dan empat kerajaan di dalamnya. Pada dasarnya, mengklaim Moti Vorbond tidak pernah terjadi
masyarakat Maluku (Utara) adalah “Masyarakat dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.
Tanpa Sejarah”, jika sejarah dianggap sejarah Sultan Muhammad Amiruddin, atau Sultan Nuku
sejauh didukung dokumen tertulis (Mintz, 1987; (1797-1805) pernah berusaha merangkul Jailolo
Wolf, 2011). Mereka menjadi bersejarah setelah menjadi bagian kerajaan. Akan tetapi, usaha itu

117
Murid (Demokrasi dalam Ruang Hayal Bangsawan dan Birokrat-Politisi Maluku Utara)

gagal karena ditolak Ternate. Jailolo pulang. Apa yang hendak dicapai Naidah dari
justru ditaklukan Ternate, kemudian kisah nahas Raja Loloda? Naidah menghapus
menjadi vasal kerajaan Ternate, sejak Loloda dari teksnya untuk menunaikan tugas
akhir abad ke-16 (Amal, 2010). menggenapkan prinsip politik serba empat.
Demikian pula dengan klaim sistem politik Menurut masyarakat tradisional, setiap kerajaan
kesultanan bersifat demokratis sangat bermasalah. didirikan oleh empat klan/soa. Prinsip serba
Mitos Lesung-Aluh Emas, Hikayat Ternate, dan empat ini juga yang menjadi dasar konfederasi
Hikayat Bacan, yang dirujuk masyarakat adat dan kesultanan MKR (Lapian, 2003; Leirisaa, 1990;
sejarawan dalam menceritakan sistem politik Leirissa, 2003).
kesultanan mampu menghadirkan informasi yang Sayangnya, Naidah tidak cukup cerdas.
berbeda-beda. Mitos ini berisi cerita tentang sejarah Menyebut Loloda untuk kemudian menghapus
Kerajaan Ternate masa kolano. Mitos ini kemudian kerajaan itu dari naskah, justru menjadi bantahan
diterima menjadi milik bersama empat kerajaan yang tesis yang dia buat sendiri yaitu: bawah MKR
mengindikasikan semangat demo-krasi. Diceritakan sebagai konsep politik bersifat native. Dengan
bahwa Mole Baguna, Mole Matiti, dan Mole Cico, kata lain, saat menyebut Loloda, Naidah hendak
mula-mula disebut sebagai pemimpin komunitas mengatakan, di Maluku Utara sekarang, pada
masing-masing. Setelah mendirikan Kerajaan masa lalu, terdapat lima kerajaan. Moloku Kie
Ternate masa kolano, mereka menjadi pemimpin Raha adalah realitas politik yang diciptakan oleh
dalam kerangka kepemimpinan kolegial, mitos. Selain itu, membaca cara Naidah berkisah
sebagaimana Hikayat Bacan menempatkan para dalam satu helaan napas dengan data sejarah dari
duta besarnya–penulis setarakan dengan mole bangsa Portugis dan Spanyol dapat disebut
dalam Mitos Lesung-Aluh Emas–adalah pemimpin bahwa konfederasi MKR tercipta pada masa
yang berposisi setara dalam memimpin komunitas kolonial Belanda. Artinya, Moti Vorbond tidak
masing-masing. terjadi pada 1322. Moti Vorbind dibuat Belanda
Dalam Hikayat Ternate, juga pada akhir untuk melayani kepentingan ekonomi. Asumsinya,
Hikayat Bacan, tidak ada penyebutan para momole daripada berperang sendiri dengan banyak suku
atau ambasadoya. Dua hikayat ini menyebut Jafar bangsa yang tidak dikenal secara baik, langkah
Sadiq, pendatang dari Arab, berikut turunannya, paling masuk akal adalah menggabungkan
menjadi raja/sultan. Jadi, jika Hikayat Ternate dan kerajaan-kerajaan yang berkonflik.
Hikayat Bacan diasumsikan berkaitan dengan
sejarah kesultanan, para pemimpin masa kolano, NEGERI YANG TERLUPAKAN
atau para momole, telah sersingkir dari pemerinta-
han kesultanan setelah Jafar Sadiq dan empat anak Di zaman kolonial Belanda ini, penulis menduga
laki-lakinya menjadi raja-raja kesultanan di sini. Kesultanan Ternate dan Tidore meluaskan wilayah
Dengan kata lain, jika Hikayat Ternate dan Hikayat kekuasaan hingga menjangkau sebagian
Bacan dibaca sebagai wacana, tidak terbantahkan Indonesia Timur, dan ke Mindanao-Filipina
lagi dua hikayat ini bercerita tentang friksi politik sekarang. Dalam sebuah sumber tercatat Ternate
antarkerajaan dan para sultan. Kontestasi menundukkan Banggai, tetapi daerah itu
antarkerajaan muncul lebih kuat dalam Hikayat kemudian berada di bawah otoritas Pemerintahan
Ternate. Pada halaman-halaman awal hikayat itu, Belanda. Penyebabnya adalah ketika Belanda
disebutkan bahwa orang Tidore datang merusak memindahkan pusat kekusaannya ke Ambon,
kampung dan mau membunuh Raha Mudaffar (I)
seorang Gubernur Militer ditempatkan di Ternate,
yang berkuasa tahun 1607-1627.
yang membawahi kerajaan-kerajaan di sana.
Pertemuan Raja Ternate, Raja Tidore, Raja Selanjutnya, ketika Belanda memindahkan
Bacan, dan Raja Jailolo terjadi di Kota Janji kekuasaannya ke Batavia, seorang Gubernur
Ternate. Raja Loloda yang hendak menghadiri Militer ditempatkan di Ambon, dan satu Residen di
pertemuan itu, urung bergabung karena terdampar Ternate yang membawahi tiga kerajaan lainnya.
di Kayu Merah Ternate. Lantaran empat raja telah Kekuatan ekonomi-politik kerajaan-kerajaan di sini
melakukan pertemuan, Raja Loloda memilih mengalami kemunduran yang sistematis. Sejak

118
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 111-124 | E-ISSN: 2443-0110

saat itu, empat kerajaan di sini sudah tidak Ternate saja. Gapi, dari kata bahasa Arab, gafiluun,
berdaulat lagi. Para raja hanya seakan-akan saja artinya, “yang terlupakan” atau “terabaikan”. Negeri
berkuasa. Tidak hanya itu, wilayah kekuasan Gapi berarti negeri yang terlupakan. Kedua, mitos
Ternate dan Tidore menyusut sehingga terbatas di “Cengkih dan Burung”. Berulang kali penulis
pulau yang menjadi nama kesultanan itu sendiri. mendengar informan orang tua-tua bercerita, “Orang
Kerajaan semakin mengalami kemunduran Eropa sudah sejak lama mengenal cengkih yang
di zaman kemerdekaan. Dukungan dan mereka peroleh dari orang Arab. Saat orang Eropa
keikutsertaan Sultan Iskandar Muhammad Djabir bertanya dari mana orang Arab mendapat cengkih,
Sjah dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) orang Arab menjawab: ‘Cengkih mereka dapat dari
dalam pembentukan Negara Indonesia Timur sarang burung. Dari mana burung mengambil
(NIT), berdampak serius secara politik kepada cengkih, mereka juga tidak tahu’.
kerajaan-kerajaan dan daerah Maluku Utara Dalam konteks kontemporer, mitos
umumnya. Dianggap pendosa dalam sejarah “Cengkih-Burung” adalah kisah lain tentang
Indonesia, Rezim Orde Lama dan Orde Baru globalisasi ekonomi, dan marjinalisasi daerah
menghukum empat kerajaan di sini dengan dalam jaringan perdagangan global yang
menempatkan mereka di bawah Provinsi Maluku dimainkan koorporasi multinasional. Seperti
yang berpusat di Ambon. Pada masa lalu, Ambon halnya burung yang hanya dapat dilihat tera
menjadi daerah bawahan Kerajaan Ternate. (hinggap) di pohon mengambil buah cengkih
Tindakan politik dua rezim ini, oleh bangsawan lalu di bawah entah ke mana, orang daerah dan
dan birokrat-politisi dianggap merupakan tindakan pemerintah, menurut bangsawan dan birokrat-
memarjinalkan daerah. Mereka melihat gaya politisi, juga hanya sekadar menjadi penonton
politik pemerintah mirip dengan kebijakan kolonial perusahaan-perusahaan transnasional
Belanda, yang mengkerdilkan kerajaan setelah mengeks-ploitasi sumber daya alam, kemudian
memindahkan kekuasaannya ke Batavia emas dan nikel dibawa ke negeri antah
Membaca keadaan sosial-politik dalam berantah untuk menyejahterakan orang-orang
konteks ingatan masyarakat dunia, dan ingatan yang tidak dikenal. Globalisasi, kata mereka,
bangsa Indonesia, dalam satu kaitan dengan membuat orang daerah miskin di tengah
sejarah perdagangan rempah-rempah, keadaan sumber daya alam yang berlimpah. Satu
Maluku Utara sekarang barangkali mirip dengan anggapan yang mengingatkan kita pada kata-
keadaan sebelum bangsa-bangsa Eropa kara Carlyle, “In the minds of the pletoric planty,
menyejarahkan mereka. Jika klaim ahli botani the peoples perish” (Lipton, 1978 :27).
benar, cengkih hanya tumbuh di Pulau Bacan, Oleh karena pemerintah yang mengangkut
Makian, Moti, Tidore, Ternate, sejatinya daerah- koorporasi ke daerah atas nama globalisasi,
daerah ini telah dikenal di seantero belahan bangsawan dan birokrat-politisi lantas
dunia. Suku bangsa di sekitar Sungai Efferat menganggap pemerintah telah melakukan
telah menggunakan cengkih menjadi bumbu marjinalisasi kepada daerah. Dalam arti daerah
masak sejak abad ke-7 SM (Burnet, 2011). sebagai pinggiran: tempat di mana kekuasaan
Siapakah dan dengan cara apa cengkih dijalankan tetapi dengan implementasi yang
diantarbenuakan saat teknologi maritim belum tidak jelas yang dibutuhkan pemerintah untuk
berkembang seperti sekarang? “Hanya Tuhan menyelenggarakan pendisiplinan. Pada saat
yang tahu” , kata Turner (2011). Cengkih yang sama, Indonesia juga menjadi pinggiran
sampai ke Timur Tengah diperantarai oleh dari perkembangan dunia, karena Pemerintah
orang Cina (Leirissa, et. al., 1999). menjadi powerless berhadapan dengan
Absennya nama daerah penghasil rempah kepentingan politik-ekonomi perusahaan
dari ingatan masyarakat dunia sekarang dikenang transnasional itu setelah mengangkutnya ke
melalui: Pertama, cerita lisan mengenai “nama daerah. Oleh sebab itu, sebagai akibat dari
klasik” kerajaan. Hikayat Bacan menyebut empat globalisasi, di Indonesia telah tercipta tata dunia
kerajaan di sini bernama Gapi. Orang Ternate dalam bentuk rantai makanan Ikan-Ikan Hiu,
mengklaim Gapi adalah nama klasik kerajaan Ido, dan Homa (Mangunwijaya, 1978).

119
Murid (Demokrasi dalam Ruang Hayal Bangsawan dan Birokrat-Politisi Maluku Utara)

BEREBUT KONGA DI TEPI BATAS DUNIA pembangunan Pemerintah. Salah seorang


anggota DPRD Maluku Utara menyampaikan
Di Maluku Utara sekarang, marjinalisasi bangsawan bahwa “saat ini bukan lagi merupakan masa
yang disebut mengarah pada “diskriminasi” hadir di otonomi daerah, tetapi kuasai otonomi daerah,
mana-mana. Bangsawan melihat marjinalisasi dalam karena Pemda tidak berwewenang lagi menyusun
kaitan dengan kesulitan ekonomi yang dialami rencana pembang-unan sesuai kondisi daerah”.
kesultanan dan masyarakat tradisional mereka. Sejalan dengan pernyataan ini, Seorang pejabat
Sebagai contoh, pemerintah telah menetapkan bidang perencanaan mengatakan:
keraton menjadi museum hidup, tetapi tidak memberi “Kita di Pemda harus menyesuaikan program
dana operasional untuk perbaikan kerusahan fisik pembangunan dengan kebijakan pusat. Karena itu,
kita hanya usulkan apa yang diinginkan Pemerintah
keraton. Perbaikan fisik keraton dapat dilakukan
Pusat, walaupun kita tahu program itu pasti gagal.
karena sumbangan dari bala kusu. Mereka juga yang
Misalnya, program pembuatan lahan sawah, kita
bekerja secara gratisan (Wawancara dengan Hidaya
tahu pasti gagal karena orang Maluku Utara
Sjah, 16 Desember 2015). Untuk alasan itu lah, menganggap bekerja di sawah seperti mencebur-
bangsawan memandang Jakarta (pemerintah pusat) kan diri dalam lumpur. Tetapi, kita harus usulkan
layaknya tetangga yang kikir. Dalam (ber)negara- program itu sudah menjadi program pemerintah
bangsa, antara daerah dan pusat-daerah semestinya pusat dalam rangka melakukan ketahanan pangan.
seperti tetangga yang saling mendukung, terlebih Masa bodoh mau jadi apa, kita usulkan saja”.

ketika mengalami kesulitan. “Realitasnya,


Berangkat dari keadaan Pemerintah Daerah
Pemerintah seperti tetangga yang kikir, yang senang
seperti itu, birokrat-politisi sekarang diam-diam
kalau ada tetangga yang menderita. Kita punya
mendukung otsus yang digagas Sultan Husain,
kekayaan. Tetapi, giliran kita meminta hak, kita harus
seraya mengusulkan DK dengan dua fungsi yang
merengek”.
telah disebutkan di atas, yaitu untuk menguatkan
pelaksanaan otonomi daerah melalui penguatan
Di sisi lain, birokrat-politisi menghu-bungkan
daya tawar Pemda kepada Pemerintah, sekaligus
marjinalisasi dengan otonomi daerah. Salah satu
menjadi mitra sepantaran Pemerintah berhadapan
tujuan reformasi adalah membongkar sentralisasi
dengan kepentingan ekonomi koorporasi multina-
pemerintahan. Sayangnya, Undang-Undang (UU)
sional. Dalam pandangan birokrat-politisi,
No. 22/1999, tentang Pemerintahan Daerah, dan
globalisasi telah membuat pemerintah dan Pemda
UU No. 25/1999,
berkelahi berebut sesuatu yang hampa. Birokrat
tentang Perimbangan Keuangan antara
bagian perencanaan bahkan berkata, “kita tidak
Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan
tahu berapa produk yang dihasilkan perusahaan
Daerah, hanya sejenak memberi harapan
tambang. Saat kita tanya kepada Pemerintah
kepada daerah untuk mengurus dirinya sendiri.
Pusat jawaban yang mereka berikan juga tidak
Otonomi daerah segera pupus setelah UU No.
jelas. Akibatnya, kita seperti berkelahi dengan
33/2004, tentang Pemerintahan Daerah, dan
Pemerintah Pusat soal jumlah royalti”.
setelah UU No. 25/2004, tentang Sistem
Keadan seperti ini sekarang menjadi olok-
Perencanaan Pemba-ngunan Nasional
olokan dengan menggunakan frasa konga yang
diterapkan. Tata kelola pemerin-tahan daerah
digunakan dalam tiga makna. (a) ‘bulir padi tanpa
kembali terjebak pada desentralisasi setelah
berisi’, [b] bualan, [c] cemilan. Karena Pemerintah
dua UU yang disebutkan terakhir diterapkan.
yang mensponsori globalisasi, Pemerintah dan
Awalnya, birokrat-politisi mengira UU No.
globalisasi disebut para konga (pembual). Setelah
25/2004 dikeluarkan untuk tujuan sinkronisasi
membualkan globalisasi, Pemerintah dan Pemda
perencanaan pembangunan daerah dengan arah
hanya mendapat konga (sesuatu yang tidak ada),
kebijakan umum pembangunan nasional. Nyata-
yang untuk cemilan (bakonga) sudah tidak bisa.
nya, UU No. 25/2004 justru mematikan inisiatif
Jadi, globalisasi adalah “friksi” sebagai “fragmen-
daerah. Hal ini karena UU ini menyaratkan
fragmen ketika orang Indonesia memanfaatkan
perencanaan pembangunan daerah harus
peluang (tersisa) di garis depan (ruang hampa
disesuaikan dengan arah kebijakan umum
makna). Perjumpaan globalisasi dengan sumber
120
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 111-124 | E-ISSN: 2443-0110

daya alam dengan sumber daya manusia niat itu justru menjadi kontestasi antarbangsawan,
telah menghasilkan kualitas-kualitas bahkan antarkerajaan. Asumsinya, hal itu terjadi
interaksi yang aneh, tidak sepadan, dan karena anggapan mereka bersaudara kemudian
tidak stabil (Laksono, 2009: 10). saling sungkan. Namun, saat kerajaan berulah,
Dengan demikian, birokrat-politisi, atau ada seseorang yang dianggap menggangu
belakangan akademisi, menganggap otsus dan kepentingan bersama, mereka kemudian tidak
DK masuk akal dipertimbangkan menjadi sistem segan menggelar perkelahian terbuka. Secara
pemerintahan di daerah. Lagi pula, DK tidak teoretik, MKR sebagai sistem politik, menurut
bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan, penulis adalah sumber utama konflik
dan tidak akan mengancam integrasi nasional. antarbangsawan dan antarkerajaan. Kepercayaan
Istilah “kesatuan” dalam konstitusi merujuk pada pada konsep politik MKR ini pula yang menjadi
“kesatuan teritorial politik negara, bukan sumber malapetaka (konflik) antarbangsawan
kesatuan sistem tata negara”. dengan birokrat-politisi saat mereka mendorong
pembentukan Provinsi Maluku Utara. Dengan kata
SIMPULAN lain, MKR sebagai konsep politik, menjadi faktor
paling menentukan kerajaan-kerajaan dan
Klaim bahwa nilai-nilai budaya politik yang masyarakat di sini tidak memiliki kohesi sosial
mengajarkan sikap saling mengasihi antar sesama budaya, sehingga mudah berkelahi ketika dituntut
dalam kehidupan sehari-hari memungkinkan para untuk duduk sekadar mendiskusikan kepentingan
sultan membangun tata kehidupan politik bersama secara baik-baik. Ketika MKR dicarry
konfederasi MKR sebagai ilusi belaka. Hikayat over oleh birokrat-politisi, para bangsawan justru
asal muasal kerajaan dan data sejarah paling awal terjebak dalam konflik. Setelah gagal membangun
yang diwariskan bangsa-bangsa Eropa dipenuhi daerah pascapembentukan daerah, birokrat-politisi
informasi konflik antarbangsawan dan lalu menuding pemerintah pusat menjadi
atarkerajaan. Hikayat-hikayat itu juga mengandung penyebab kesembrautan pembangunan, baik
cerita marjinalisasi para momole, pendiri kerajaan ekonomi maupun politik di daerah. Fenomena itu
masa kolano atau masa prakesultanan. Mitos sangat mirip dengan masyarakat tradisional yang
Lesung Aluh Emas yang menjadi basis bangsawan menuding bangsa-bangsa Eropa menjadi
mengonstruksi sistem politik kerajaan telah memberi penyebab budaya konflik dalam masyarakat
ruang pada setiap orang, minimal kelompok Maluku Utara kini.
komunitas atau momole untuk menjadi pemimpin
dalam sistem kepemimpin kolegial. Pada REFERENSI
perkembangan selanjutnya, para
momole/ambasadoya kemudian tersingkir dari Amal, M. A. (2010). Kepulauan Rempah-Rempah:
organisasi pemerintah Kesultanan. Pendatang dari Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950.
Arab adalah pihak yang telah menyingkirkan para Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
momole/ambasadoya melalui politik. Disebutkan Andaya, L. Y. (1991). “Local Trade Network in
dalam Hikayat Ternate dan Hikayat Bacan seorang Maluku in the 16th and 18th Centuries”.
yang bernama “Jafar Sadiq datang dari Arab,
Journal Cakalele, Vol. (2) 2: 71-96.
Baswedan, A. (2014). “Prakata”, dalam Davidson dan
kemudian menikah dengan perempuan dari
Van Klinken (Ed). Politik Lokal di Indonesia.
kayangan, dan empat anak laki-lakinya menjadi raja Jakarta: Pustaka Yayasan Obor Indonesia dan
ditempat yang berlain-lainan”. KITLV. xiii-xv.
Berangkat dari keyakinan bahwa sistem Bertrand, J. (2012). Nasionalisme dan Konflik
politik dibangun di atas serangkaian nilai budaya Etnis di Indonesia. Yogyakarta:Ombak
yang mengajarkan sifat saling mengasihi Bubandt, N. (2014). “When Trauma Come to
antarsesama dalam kehidupan sehari-hari, dan Halmahera–Global Governance, Emotion
keyakinan bahwa para raja adalah keturunan Jafar Work. and Reinvention of Spirit in North
Sadiq, kerajaan-kerajaan merasa bahwa pendirian Maluku”, dalam Stodulka and Rottger-Rossler
(Eds). Feelings at the Margins: Dealing with
konfederasi MKR adalah keniscayaan. Namun,

121
Murid (Demokrasi dalam Ruang Hayal Bangsawan dan Birokrat-Politisi Maluku Utara)

Violence, Stigma and Isalation in Indonesia. Hendley, D. & Davidson, J. (2010).


Rankfurt - New York Campus Verleg. 81-102. “Pendahahuluan: Konservatisme Radikal –
Buchari, S. A. (2014). Kebangkitan Etnis Menuju Aneka Wajah Politik Adat”, dalam Davidson
Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Obor J, Hendley J. dan Moniaga, S. (Ed.) Adat
Indonesia. Dalam Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka
Bujang, A. S. dan Assagaf. N (2000). “Maluku Yayasan Obor Indonesia, halaman 1-55.
Utara Membara: Loputan Kronologi Issage, N. (1980). The Traditional Spririt World”, in
Kerusuhan di Maluku Utara.” Ternate: Issage, N. (ed). The Galela of Helmahera; A
Naskah tidak diterbitkan. Preliminary Survey. Osaka-Japan: National
Burnet, I. (2011). Spice Islands: The History, Romance Moseum of Etnology, 401-447.
and Adventure of the Spice Trade Over 2000 Jones, P. (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari
Years. Australia: Rosenberg Publishing Pyt, Ltd. Fungsional hingga Post-Modernisme. Jakarta:
Clummings, W. (2015). Yayasan Obor Indonesia.
Menciptakan Sejarah Leirissa, R. Z. (1990). “Masyarakat Halmahera dan
Makassar di Bawah Era Modern. Yogyakarta: Raja Jailolo: Studi tentang Masyarakat Maluku
Ombak. Utara”. Disertasi pada Universitas Indonesia.
D’Andrea, C. (2013). Kopi, Adat dan Modal: Leirissa, R. Z. (2003). “Menentukan Hari Jadi
Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Ternate”, dalam Ammarie, F. dan
Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Siokona, S. Ternate (Ed). Ternate:
Jakarta-Bogor-Palu: Yayasan Tanah Air Beta, Pemerintah Kota Ternate. 11-27.
Sayogyo Institute, dan Yayasan Tanah Leirissa, R. Z. et al. (1999). Sejarah Kebudayaan
Merdeka. Maluku. Jakarta: Departemen Pendidikan
De Clereq, F. S. A. (1999). Ternate: The Redidency dan Kebudayaan Republik Indonesia.
and Its Sultante. Washington, DC-UAS: Leirissa, R. Z. et al. (1999). Ternate sebagai Jalur
Smithsonian Institut. Bandar Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan
Eindhoven, M. (2014). “Penjajah Baru?: Identitas, dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan Laksono, P. M. (2009). Peta Jalan Antropologi
Mentawai Pasca-Orde Baru”: 87-115). Dalam Indonesia Abad Keduapuluh Satu:
Nordholt S.S dan Gerry van Klinken (Ed). Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era
Politik Lokal di Indonesia. Jakarta, Pustaka Globalisasi Kapital. Pidato Pengukuhan
Yayasan Obor Indonesia dan KITLVI. Jabatan Guru Besar. Yogyakarta: Fakultas
Fautngil, Ch. (1983). “Faktor-Faktor Penyebab Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Multilinguisme di Kepulauan Raja Ampat”, Laksono, P. M. (2006). Pergulatan Identitas – Dayak
dalam E.K.M. Masinambow (Ed). dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut.
Halmahera dan Raja Ampat: Studi-Studi Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik,
Terhadap Suatu Daerah Transisi. Jakarta: Universitas Gadjah Mada dan Galang Press.
LEKNAS-LIPI. 147-159. Lapian, A. B. (1991). “Manusia Minahasa: Sejarah
Graffland, N. (1991). Minahasa: Negeri, Rakyat dan dan Adat Istiadatnya”, dalam E.K.M.
Budayanya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Masinambow, et al. (eds), Si Tou Timou
Hadiz, V. R. (1998). “Reformasi Total: Labour After Tumou Tou: Peranan Manusia Minahasa
Soeharto”. Journal Indonesia, 66:109-124. dalam Pembangunan Nasional. Jakarta:
Hasyim, R. (2016). “Partisipasi Politik Elit Kesultanan Kerukunan Keluarga Kawanua. 131-136.
Ternate dalam Dalam Perubahan Lapian, A. B. (2003). “Ternate di Masa Awal:
Rezim: Upaya Mencari Hari Jadi Kota”, dalam
Sejarah Politik Ternate, 1946-2002”. Disertasi Ammari, F. dan Siokona, S. (ed). Ternate,
Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Fakultas Ternate: Pemerintah Kota Ternate. 28-58.
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Legge, J. D. (1993). Kaum Intelektual dan
Haug, M. (2014). “What Make a Good Life – Perjuangan Kemerdekaan: Peranan
Changing Marginality and Dayak Benuaq Kelompok Syahrir. Jakarta. Pustaka Utama
Subjective Wellbeing in East Kalimantan”, in Grafiti.
Stodulka T. & Rotiger-Rossier, B. (eds), Lipton, M. (1978). Why Poor People Stay Poor: Urban
Feeling The Margins: Dealing whit Violence, Biasin World Development. London: Temple
Stigma, and Isolation in Indonesia. Frankfurt- Smith.
on-Main: Campus Verlag GmbH.30-52.
Heehs,P. (1994). “Myth, History, and Theory”.
History and Theory, 33 (1): 1-19. Diundu dari:
122
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4, No. 2, 2019, hlm. 111-124 | E-ISSN: 2443-0110

Mahmud, I. (2014). Kelompok Etnis dalam Pelukan Davidson, J. Henley, D dan Moniaga, S.
Elit Lokal: Instrumentasi, Komodifikasi dan (Ed), Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta,
Kandidasi. Ternate: UMMU Press. Pustaka Yayasan Obor Indonesia:347-366.
Mangunwijaya, J. B. (1978) Ikan-Ikan Hidu, Sarup, M. (2003). Poststrukturalisme dan
Ido, Homa. Jakarta: Jambatan. Postmo-dernisme: Sebuah Pengantar
Mansoben, J. R. (1980). “Sistem Pemerintahan Kritis. Yogyakarta: Jendela.
Tradisional di Salawati, Raja Ampat”, dalam Shils, E. (1981). Tradition. Chicago: The
Masinambow, E.K.M (ed), Halmahera dan Chicago of University Press.
Raja Ampat; Konsep dan Strategi Sidel, J.T. (1998). “Macet Total: Logics of Circulation
Penelitian. Jakarta: LEKNAS-LIPI.151-168 and Accumulation in the Demise of Indonesia’a
Mansoben, J.R. (1995). Sistem Politik Tradisional New Orde”. Journal Indonesia (66):150-194.
di Irian Jaya. Jakarta: LIPI-RUL. Smith, A. D. (2009). Ethno-Symbolism and
Mintz, S. W. (1987). Sweetness and Power: The Place Nationalism: A Cultural Approach. London and
of Sugar in Modern History. USA: Pinguin New York: Routledge.
Muller, S. (2013). “Adat as a Means of Unification and Turner, J. (2011). Sejarah Rempah: Dari Erotisme
its Contestation: The Case of North Halmahera, Sampai Imprealisme. Depok: Komunitas
ini Hauser-Schaublin, B (ed). Adat and Indigenity Bambu.
in Indonesia: Culture and Entitle-ment between van Klinken, G. (2007). Perang Kota Kecil: Kekerasan
Heteronomy and Self-Ascription. Theaterplaz 7: Komunal dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta:
Gottingen Studies in Culture Property, Pustaka Yayasan Obor Indonesia dan KITLV.
Universitatverslag Gottingen. 99-114. van Klinken, G. (2010). “Kembalinya Para
Murray Li, T. (2010). “Adat di Sulawesi Tengah: Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian
Penerapan Kontemporer”, dalam Davidson, dalam Politik Lokal”, dalam Davidson, J,
J, Henley, D dan Moniaga, S. (ed). Adat Henley, D dan Moniaga, S. (Ed). Adat
dalam Politik Indonesia. Kleden, E.O. dan dalam Politik Indonesia. Jakarta. Pustaka
Dwisasanti, N. Jakarta: Pustaka Yayasan Yayasan Obor Indonesia:165-186.
Obor, halaman 367-405. Vel, J. (2014). “Kampanye Pemekaran di Sumba
Murray Li, T. (2012). The Will to Improv: Barat”, dalam Nordholt H. S. dan Gerry van
Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan Klinken, Politik Lokal di Indonesia. Jakarta:
di Indonesia. Bintora: Margin Kiri. Pustaka Yayasan Obor dan KITLVI:116-153.
Naidah. (1878). “Geschedenis van Ternate, in der Vredenbregt, J. (1983). “Pola Dasar
Ternataanschen en Meleischen Tekst, Kebudayaan-Kebudayaan di Indonesia”,
beschreven door der Ternatataan Naidah, dalam Masinambow, E.K.M (Ed).
Met Vertaling en Aantekeringen door P. van Halmahera dan Raja Ampat: Studi-Tsudi
der Grab”. Brijdragen tot de taal-, Land en Terhadap Suatu Daerah Transisi, Jakarta:
Volkenduknde van Nederlandsch-Idie. LEKNAS-LIPI. 2:1-11.
Perret, D. (2010). Kolonialisme dan Identitas: Batak Warren, C. (2010). “Adat dalam Praktek dan Wacana
dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Jakarta: Orang Bali: Memposisikan Wacana Prinsip
Kepustakaan Populer Gramedia, Ecole Kewargaan dan Kesejahteraan Bersama
Francaise d’Extreme-Oriente, Farum Jakarta- (commonwealt)”, dalam Davidson, J, Henley,
Paris dan Pengembangan Arkeologi Nasional. (ed), Adat Dalam Politik Indonesia: Jakarta:
Pigafetta, A. (1972). L’Indonesia Nella Relazione Pustaka Yayasan Obor Indonesia.
di Viaggio di Antonio Pigafetta. Roma. Widjojo, M. (2013). Pemberontakan Nuku. Depok:
Pirres, T. (2015). Suma Oriental. Yogyakarta: Ombak. Komunitas Bambu.
Platenkamp, D. J. M. (1993). “Tobelo, Moro, Ternate: Wolf, E. R. (2011). Europe and the People
The Cosmoligical Volarization Without History. Berkley-LosAngeles-
of History London: Univer-sity of California Press.
Event”. Journal Cakalele (4):61-89. Honolulu:
Hawaii University. DAFTAR INFORMAN
Qadir, Z. dan Sulaksono (2012). “Politik Rente dan
Konflik di Daerah Pemekaran: Kasus Maluku Dero.
Utara”. Working Papper No. 002/JKSG/2012. Om Dula.
Sangaji, A. (2010). “Kritik terhadap Gerakan Hidaya Sjah.
Masyarakat Adat di Indonesia”, dalam

123

You might also like