You are on page 1of 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339538119

KEJAHATAN KEHUTANAN (ILLEGAL LOGGING, KEBAKARAN HUTAN DAN


LAHAN, KERUSAKAN HUTAN DAN PERAMBAHAN HUTAN FORESTRY CRIME
(ILLEGAL LOGGING, FOREST AND LAND FIRE, FOREST DAMAGE ....

Presentation · November 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.34878.23362

CITATIONS

1 author:

Basuki Wasis
IPB University. Indonesia
80 PUBLICATIONS   113 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Valuasi Dampak Kebakaran Gambut tahun 2015 View project

All content following this page was uploaded by Basuki Wasis on 27 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


WORKSHOP DAN LOKAKARYA
FORUM AHLI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
HIDUP MELALUI PENGADILAN
BATAM, 26 -29 November 2019

Penyelenggara :

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


REPUBLIK INDONESIA

KEJAHATAN KEHUTANAN (ILLEGAL LOGGING,


KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN, KERUSAKAN
HUTAN DAN PERAMBAHAN HUTAN

FORESTRY CRIME (ILLEGAL LOGGING, FOREST AND LAND


FIRE, FOREST DAMAGE AND FORESTRY

Oleh :

DR. Ir. Basuki Wasis, M.Si

DIVISI EKOLOGI HUTAN


DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
IPB UNIVERSITY
2019
ABSTRACT

Tropical rain forests in the world are in three main parts namely first in South
America (around 400 million ha) centered in the Amazon river basin, Brazil, second in
Indonesia - Malaya (around 250 million ha) and in West Africa (180 million ha) valleys
Congo River to the bay of Guyana. Tropical rain forests are climax ecosystems, there are
half the species of flora and fauna throughout the world, tropical rain forests are also dubbed
as "the world's largest pharmacy" because almost all modern medicines come from plants in
tropical rain forests, buffering the best environmental services (water management /
hydroorological, absorb carbon and produce oxygen), save a very high biodiversity. 90% of
the world's medicines come from tropical forests. The cause of the rapid and uncontrolled
destruction of forests and the environment is due to illegal logging (illegal logging). The
results of the interpretation of satellite images show the rate of destruction of natural forests
in 1985-1997 was recorded at 1.6 million ha / year, in 1997-2000 it was 2.8 million ha / year
and in 2000-2003 it was increasingly out of control. The material loss of 50 million ha of
natural forests in Indonesia has caused material losses to the state of around Rp. 30,000
trillion ($ 3,750,000,000,000). Ecosystem restoration needs to be done in damaged tropical
rain forests. Ecosystem restoration aims to restore environmental functions.

Keywords : destruction rate , environmental damage, forest destruction , state loss, tropical
rainforest

ABSTRAK

Hutan hujan tropis di dunia terdapat pada tiga bagian utama yaitu pertama di
Amerika Selatan (sekitar 400 juta ha) berpusat di lembah sungai Amazon, Brazil, kedua di
Indonesia – Malaya ( sekitar 250 juta ha) dan di Afrika Barat (180 juta ha) lembah Sungai
Congo sampai teluk Guyana. Hutan hujan tropis merupakan ekosistem klimaks, terdapat
setengah spesies flora dan fauna di seluruh dunia, hutan hujan tropis juga dijuluki sebagai
"farmasi terbesar dunia" karena hampir semua obat modern berasal dari tumbuhan di hutan
hujan tropis, penyangga jasa lingkungan terbaik (fungsi tata air/hidroorologis, menyerap
karbon dan menghasilakn oksigen), menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Obat-obatan didunia 90 % berasal dari hutan tropis. Penyebab terjadinya kerusakan hutan
dan lingkungan yang demikian cepat dan tidak tekendali itu disebabkan karena pembalakan
liar (illegal loging). Hasil penafsiran citra satelit menunjukkan laju perusakan hutan alam
tahun 1985 - 1997 tercatat 1,6 juta ha/tahun, tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha/tahun dan
tahun 2000 - 2003 semakin tidak terkendali. Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha di
Indonesia secara materi telah menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 30.000 trilun,-
($3,750,000,000,000). Restorasi ekosistem perlu dilakukan pada hutan hujan tropis yang
rusak. Restorasi ekosistem bertujuan supaya fungsi lingkungan dapat pulih

Kata kunci : hutan hujan tropis, kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, kerugian negara,
laju perusakan
PENDAHULUAN

Hutan hujan tropis di dunia terdapat pada tiga bagian utama yaitu pertama di
Amerika Selatan (sekitar 400 juta ha) berpusat di lembah sungai Amazon, Brazil, kedua di
Indonesia – Malaya ( sekitar 250 juta ha) dan di Afrika Barat (180 juta ha) lembah Sungai
Congo sampai teluk Guyana (Soerianegara and Indrawan 2005; Kusmana et al 2014). Hutan
hujan tropis merupakan ekosistem klimaks, terdapat setengah spesies flora dan fauna di
seluruh dunia, hutan hujan tropis juga dijuluki sebagai "farmasi terbesar dunia" karena
hampir semua obat modern berasal dari tumbuhan di hutan hujan tropis, penyangga jasa
lingkungan terbaik (fungsi tata air/hidroorologis, menyerap karbon dan menghasilakn
oksigen), menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (Richards 1957; Leksono
2007; Collins et al 1991; Irwan 2007; Kusmana et al. 2014; Wasis et al 2019). Obat-obatan
didunia 90 % berasal dari hutan tropis (Wasis 2003).

Menurut Whitmore (1975) dalam hutan hujan tropis Asia Tenggara tersimpan 25 –
30 ribu spesies. Hutan hujan Indonesia menjadi rumah bagi ribuan jenis keanekaragaman
spesies. Maka tidak salah apabila Indonesia disebut sebagai Megabiodiversity Country.
Daratan Indonesia hanya mencakup 1,3% daratan bumi, tetapi Indonesia memiliki 10 %
tumbuhan dunia, 12 % mamalia, 16% reptil dan amfibi, 17 % burung (Collin et al. 1991).
Angka-angka yang menunjukan kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia juga bermacam-
macam. Indonesia, misalnya memiliki lebih dari 38.000 spesies tumbuhan, 55% di antaranya
tumbuhan endemik. Spesies palem juga paling banyak ditemukan di Indonesia dengan 477
spesies, dimana 225 spesies diantaranya merupakan spesies endemik. Dalam hal
keanekaragaman tumbuhan Indonesia menduduki peringkat lima besar di dunia (Bappenas
2003)

Pembangunan ekonomi di segala bidang, mau tidak mau menyisakan permasalahan


eksternalitas berupa perusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang biasanya berujung
pada permasalahan sosial seperti sengketa publik. Berbagai peristiwa menyangkut
menurunnya kualitas lingkungan seperti kasus lumpur panas Porong Sidoarjo, kasus Buyat,
pembalakan liar, pembakaran hutan dan lahan, pertambangan, banjir, tanah longsor, polusi
udara, tempat pembuangan akhir sampah, pencemaran wilayah pesisir, limbah tambang dan
lain sebagainya yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan ekonomi yang hanya memenuhi
keinginan pasar semata, pada akhirnya hanya akan mengorbankan kualitas sumberdaya alam
dan lingkungan. Manakala sumberdaya alam dan lingkungan telah rusak, maka akan
menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri serta menimbulkan konflik sosial
yang berlarut-larut yang melibatkan berbagai unsur masyarakat (Salim 1987; Fauzi et al
2005; Keraf 2005; Wasis dan Assamsi 2019).

Hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan memberikan


kontribusi bagi negara berupa pajak dan kesejahteraan rakyat dari nilai log kayu yang ada.
Namun kayu hutan alam tersebut seringkali rusak atau hilang nilai ekonominya akibat
pembalakan liar, kebakaran hutan, diturunkan nilainya menjadi bahan baku serpih atau arang
dan lainnya. Hal ini sejalan dengan KPK (2005) Indonesia memiliki salah satu hutan tropis
terluas di dunia, dan sebagian besar hutan tersebut dikelola pemerintah dalam bentuk
kawasan hutan yang mencakup lebih dari 70 persn luas daratan. Berdasarkan Undang
Undang Dasar 1945 Pasal 33 Pemerintah bertanggung jawab mengelola sumberdaya alam
Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika kawaan hutan yang dikelola
negara ditebang untuk memproduksi kayu komersial Pemerintah memungut berbagai jenis
royalti, retribusi dan iuran berdasarkan laporan produksi kayu. Jika kayu tidak tercatat
dan/atau biaya royalti tidak dibayar, maka nilai ekonomi hutan hilang dirampas, sehingga
tidak dapat digunakan Pemerintah untuk kemaslahatan rakyat Indonesia.

Berdasarkan hasil paduserasi TGHK - RTRWP pada tahun 1999, luas kawasan hutan
alam diduga sekitar 120.353.104 ha (Purnama, 2003), dimana diperkirakan hutan alam yang
terdegradasi, sampai saat ini mencapai 50 juta ha (Haeruman, 2003). Hasil penafsiran citra
satelit menunjukkan laju perusakan hutan alam tahun 1985 - 1997 tercatat 1,6 juta ha/tahun,
tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha/tahun dan tahun 2000 - 2003 semakin tidak terkendali
(Purnama, 2003). Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha di Indonesia secara materi
telah menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 30.000 trilun, sungguh sangat ironis negara
Indonesia yang memiliki sumberdaya alam yang demikian kaya namun pada kenyataannya
negara dan rakyatnya miskin, disamping itu telah terjadi kerusakan lingkungan yang
menyebabakan terjadinya bencana banjir, kekeringan, kebakaran, munculnya hama dan
penyakit, pemanasan global, tanah longsor dan erosi yang akibatnya membuat kesengsaraan
masyarakat dan rakyat Indonesia (Darusman, 2003; Wasis, 2004).

Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan
hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh
Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem
politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan
bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.

Secara global pencemaran dan perusakan lingkungan memang sudah taraf yang
mengkhawatirkan :. a) Lebih dari 50 % wilayah pesisir dunia mengalami kerusakan akibat
tekanan pembangunan (World Research Institut, 2001) b) Pencemaran wilayah pesisir Cina
sepanjang Yellow Sea menerima limbah sekitar 50 - 60 juta ton pertahun. Sementara pesisir
Teluk Valparaiso, Chili menampung sekitar 244 juta ton limbah industri (World Research
Institut, 2001) dan c) Di Indonesia menunjukkan bahwa Teluk Jakarta menerima limbah
sekitar 600 juta meter kubik limbah per tahun (UNESCO, 1999). Bahkan Taman Nasional
Raja Ampat yang merupakan kawasan konservasi (Heritage Dunia) mengalami kerusakan
akibat karamnya kapal pesiar

Kegiatan pengelolaan Sumber Daya Alam (Hutan dan Tambang) yang dilakukan
oleh pihak perusahaan di Indonesia umumnya bersifat ektraktis dan ektensif. Kondisi
tersebut telah menyebabkan kerugian Negara yang sangat besar dan berdampak negatif
terhadap lingkungan hidup (Wasis 2006).

Kerugian negara yang demikian besar diakibatkan masalah struktural sebagai berikut
: 1) Sebagian besar unit-unit pengusahaan hutan (HPH) yang sedang berjalan melakukan
over cutting, 2) Pemodal yang mendapat back up dari pihak tertentu dapat mengkordinasikan
gerakan untuk mengeksploitasi kayu secara illegal, baik di dalam kawasan hutan produksi,
hutan lindung maupun kawasan konservasi, 3) Ijin-ijin pemanfaatan hutan baru maupun lama
dapat dipergunakan sebagai alat menampung kayu-kayu curian, 4) Adanya penyimpangan
ijin tebang penyelamatan (salvage logging) akibat kebakaran untuk menebang kayu (sehat)
lainnya, 5) Masyarakat setempat tidak mendapat jalan penyelesaian dalam upaya melindungi
hak-haknya atas sumberdaya hutan, sehingga timbul konflik dan ketidakpastian usaha serta
spekulasi untuk merusak hutan, 6) Kegiatan pertambangan pada kawasan hutan, dan 7) Izin
perkebunan, pertambangan dan pertanian pada kawasan hutan yang tidak pakai izin pinjam
pakai (Haeruman, 2003; Fakultas Kehutanan IPB, 2000; Inpres No. 4 tahun 2005).

Hutan adalah induk segala sungai, demikian pendapat banyak orang awam. Memang
hubungan antara hutan dan air sudah sejak lama dikenal masyarakat. Pengaruh hutan dapat
secara nyata dirasakan oleh penduduk. Peristiwa banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi
sampai lenyapnya suatu kebudayaan bangsa (Manan, 1997). Hutan produksi juga berfungsi
hutan lindung (fungsi lindung). Hutang produksi adalah suatu kawasan hutan alam yang
ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, terutama dikelola atas dasar
pengaruhnya yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah, sehingga tujuannya
yaitu untuk menghasilkan air, mengendalikan erosi, debit sungai dan banjir namun masih
dimungkinkan untuk ditebang secara selektif (selective cuting) dengan tanpa merusak fungsi
utama sebagai penyangga kehidupan (Kittredge, 1948; Manan, 1997, Manan et al, 2000, UU
No. 41 tahun 1999; Purnama, 2003).

Penyebab terjadinya proses degradasi hutan dan kerusakan hutan yang demikian
cepat dan tidak tekendali itu disebabkan karena pembalakan liar (illegal loging). Untuk itu
mengatasi pemerintah telah mengeluarkan INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2005 Tentang PEMBERANTASAN PENEBANGAN
KAYU SECARA ILLEGAL DI KAWASAN HUTAN DAN PEREDARANNYA DI
SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA, diinstruksikan semua aparat penegak
hukum pelu dilakukan percepatan pemberantasan penebangan secara ilegal di kawasan hutan
dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap
setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan : a) menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang berwenang, b) menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang
diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara tidak sah, c)
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu, d) membawa alat-alat berat dan atau
lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang dan e) membawa alat-alat yang lazim
digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
ijin pejabat yang berwenang.

Kegiatan yang termasuk pembalakan liar (ilegal loging) yang terjadi pada kawasan hutan
meliputi 1) penebangan di luar konsesi HPH, 2) pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan
kawasan budidaya tanaman pangan, pemukiman, perkebunan dan lainnya, 3) penebangan
diluar RKT blok tebangan, 4) pengelolaan hutan dan penebangan tidak berpedoman pada
sistem silvikultur TPTI, 5) penebangan pada kawasan lindung yaitu sepadan sungai, danau
dan mata air, 6) penebangan pada hutan lindung, 7) penebangan pada kawasan konservasi
seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional dan 8) penebangan pada petak ukur
permanen (PUP) dan petak kawasan konservasi dan plama nutfah (Haeruman, 2003; Fakultas
Kehutanan IPB, 2003).

Kerusakan hutan dan lingkungan yang sangat cepat dan hebat disebabkan kesalahan
cara pandang. Cara pandang selama ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang
memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai
nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada diluar, di atas dan terpisah dari alam.
Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam. Cata pandang seperti ini
melahirkan sikap dan perilaku eksploratif dan ekstaktif tanpa kepedulian sama sekali
terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri
(Keraf 2002; Wasis 2006). Sumberdaya alam (hutan pegunungan, hutan tropika basah, hutan
rawa gambut, hutan rawa, hutan pantai, hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang)
yang ada jika mengalami kerusakan tidak akan kembali seperti sediakala (Wasis 1993; Wasis
2003; Kusmana et al 2014)

Analisis terhadap perusakan hutan dan lingkungan yang cukup berat mengingat
kompleksitas permasalahan ekosistem hutan yang merupakan sumberdaya alam yang
terbuka. Beberapa hal yang perlu dianalisis pada perusakan kawasan hutan lain
menyangkut : a) Siapa yang menyebabkan perusakan lingkungan, b) siapa yang terkena
dampak negatifnya, c) status kepemilikan, d) jenis dampak/eksternalitas, e) besaran dampak,
f) lamanya dampak, g) jenis sumberdaya alam dan lingkungan yang terkena dampak, h) nilai
sumberdaya alam dan lingkungan baik yang dapat dinilai secara ekonomi maupun tidak dan
lain-lain (Permen LH No 13 tahun 2011 ; Permen LH No 7 tahun 2014).

DEFINISI DAN PENGERTIAN EKOSISTEM DAN HUTAN

Ekosistem adalaah suatu sistem di alam yang mengandung komponen hayati


(organisme) dan komponen non-hayati (abiotik), dimana di antara kedua komponen tersebut
terjadi hubungan timbal balik untuk mempertukarkan zat-zat yang perlu untuk
mempertahankan kehidupan (Kusmana et al, 2014).

Faktor penyebab perbedaan ekosistem yaitu : 1)Perbedaan kondisi iklim (hutan


hujan, hutan musim, hutan savana), 2) Perbedaan letak dari permukaan laut, topografi dam
formasi geologik (zonasi pada pegunungan, lereng pegunungan yang curam, lembah sungai)
3) Perbedaan kondisi tanah dan air tanah (pasir, lempung, basah, kering, tergenang)
(Kusmana et al, 2014)

Menurut Kusmana et al (2014) macam dan bentuk ekosistem meliputi :


Berdasarkan proses terjadinya:
a. Ekosistem alam: laut, sungai, hutan alam, danau alam, dll.
b. Ekosistem buatan: sawah, kebun, hutan tanaman, tambak, dll.
Secara umum ada dua tipe ekositem:
a. Ekosistem terestis:
- Ekosistem hutan
- Ekosistem padang rumput
- Ekosistem gurun
- Ekosistem anthropogen (sawah, kebun, dll)
b. Ekosistem aquatik:
- Ekosistem air tawar: kolam, danau, sungai, dll.
- Ekosistem lautan (hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang dll

EKOSISTEM DARAT
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.(UU No. 41 tahun 1999;
UU No. 18/2013).
Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat
maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya ((UU No. 5 /1990)
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan
(UU No. 26/ 2008)
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohon dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dan yang lainnya (UU No 41/1999; UU No 18 /2013)
Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai ukuran
diameter 10 cm atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,5 m diatas permukaan tanah (UU
No.18/2013)

EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PESISIR

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang tidak terpengaruh oleh iklim, tanah
terdapat di pantai berlumpur atau sedkit berpasir, dipengaruhi pasang-surut air laut, tidak
terkena ombak keras, tanahnya aluvial, air payau/asin, beberapa jenisnya berbuah vivipary,
serta berakar nafas, yaitu akar pasak (Avicennia dan Sonneratia), akar tunjang (Rhizophora),
dan akar lutut (Bruguiera) (Kusmana et al 2014). Indonesia memiliki hutan mangrove yang
terluas di dunia (Bappenas, 2003).

Padang lamun adalah ekosistem khas laut dangkal di perairan hangat dengan dasar
pasir dan didominasi tumbuhan vegetasi lamun, sekelompok tumbuhan anggota bangsa
Alismatales yang beradaptasi di air asin. Padang lamun hanya dapat terbentuk pada perairan
laut dangkal (kurang dari tiga meter) namun dasarnya tidak pernah terbuka dari perairan
(selalu tergenang). Padan lamun masih merupakan sebagai bagian dari ekosistem mangrove.
. Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosostem mangrove dan
terumbu karang Padang lamun adalah sumber pakan utama duyung , ikan dan binatang laut
lainnya (Dahuri 1999 ; Kusmana et al 2014)

Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan padang lamun: a. Perairan laut


dangkal berlumpur dan mengandung pasir. b. Kedalaman tidak lebih dari 10 m agar cahaya
dapat menembus. c. Suhu antara 20-30º C. d. Kadar garam antara 25-35/mil. e. Kecepatan
arus sekitar 0,5 m/detik. Fungsi padang lamun yaitu a. Sebagai tempat berkembangbiaknya
ikan- ikan kecil dan udang. b. Sebagai perangkap sedimen sehingga terhindar dari erosi. c.
Sebagai penyedia bahan makanan bagi biota laut. d. Bahan baku pupuk. e. Bahan baku
kertas. (Dahuri 1999; Kusmana et al 2014).

Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis
tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang termasuk dalam jenis filum
Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua
Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan
secara asal-usul, Morfologi dan Fisiologi. Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil
yang disebut Polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang
mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan
dikelilingi oleh Tentakel. Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan
berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik
dan warna beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Terumbu karang merupakan
habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya
yang belum diketahui (Suharsono, 1996). Luas terumbu karang di dunia mencapai 284.300
km2.

Terumbu karang Indonesia tidak lepas dari kasus pemutihan karang, di beberapa
daerah seperti Jakarta yang mengalami penurunan penutupan karang pada tahun 2007,
penurunan ini disebabkan adanya pencemaran minyak, eksploitasi biota secara berlebihan,
penggunaan bom untuk menangkap ikan dapat memberikan dampak negatif bagi
pertumbuhan karang, sehingga dapat memicu terjadinya penyakit karang seperti pemutihan
karang karena perubahan lingkungan/habitat karang yang kualitasnya semakin menurun
(Estradivari et al 2007).
Salah satu sumber daya alam yang penting dan mempunyai potensi yang besar
adalah kawasan terumbu karang. Terumbu karang memiliki nilai dan arti yang sangat
penting dari segi ekologi dan ekosistem. Terumbu yang bersimbiose dengan algae
merupakan sumber penghasil oksigen terbanyak di dunia yaitu 70 % dari total produksi di
dunia. Produksi oksigen yang dihasilkan algae tiap tahun berkisar 330 milyar. Produksi
2
oksigen yang dihasilkan terumbu karang (algae) sebanyak 1.160.745,7 ton/km atau 11.607,5
ton/ha (Walker, 1980; Ratri el al 2014; Wasis 2003, KLH 2008; Wasis 2014)

Terumbu karang Indonesia mempunyai keragaman paling tinggi di dunia.


Keragaman karang tertinggi serta terluas di Indonesia terpusat di bagian timur, khususnya di
Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan 7.500
km2 . Diperkirakan. Pada daerah Nusa Tenggara diperkirakan terdapat sedikitnya 225 jenis
terumbu karang (Bappenas, 2003). Produktivitas primer kotor tertinggi yaitu Estuaria dan
terumbu karang sebesar 20.000 kcal/m2/th dan hutan sub tropik dan tropik sebesar 20.000
kcal/m2/th (Wasis 2004, Kusmana el al 2014).

DEFINISI KERUSAKAN LINGKUNGAN

Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup (UU Nomor 32/2009).

Perusakan lingkungan hidup menurut UU No. 32/2009 adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung dan tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan atau
hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

Dengan demikian, kunci untuk memahami dan mengukur perusakan terhadap


kawasan hutan dan lingkungan adalah parameter sifat fisik, kimia dan atau hayati
lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan. Sehingga pengamatan
lapangan dan data analisa laboratorium akan perpatokan pada kriteria baku kerusakan yang
ada pada peraturan yang berlaku (PP Nomor 150/2000; Permen LH No 201/2004). Guna
mengetahui ekosistem hutan yang rusak faktor-faktor yang mempengaruhi dan mengubah
arus layanan (flow of service) dari aset alam tersebut juga perlu dianalisa.

Adapun kriteria kriteria baku kerusakan adalah sebagai berikut :

1. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas
perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan produksi
biomassa (PP No. 150 tahun 2000)
2. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati lingkungan
hidup yang dapat ditenggang (PP No. 4 tahun 2001)

3. Kriteria baku kerusakan mangrove adalah ukuran batasan perubahan fisik dan atau
hayati mangrove yang dapat ditenggang (Kepmen LH No. 201 tahun 2001)

4. Kriteria baku kerusakan padang lamun adalah ukuran batasan perubahan fisik dan
atau hayati padang lamun yang dapat ditenggang (Kepmen LH No. 200 tahun 2004)

5. Kriteria baku kerusakan terumbu karang adalah ukuran batasan perubahan fisik dan
atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang (Kepmen LH No 4 tahun 2001)

VERIFIKASI KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Guna pembuktian kerusakan harus memenuhi unsur antara lain a) Ketentuan yuridis
normatif b) Keterangan saksi dan ahli dan c) hasil analisa laboratorium. Penggunaan sarana
hukum tersebut harus didukung keterangan ahli dari berbagai disiplin ilmu terkait dan saksi
(UU Momor 32/2009; Edaran Kejaksaan Agung RI kepada Kepala Kejaksaan Tinggi, 1993;
Hardjasoemantri 2006, Syahrin 2009; KLH 2008).

Metode pengambilan sampel pada verifikasi adalah dengan purposive sampling.


Pengambilan sampel tersebut kemudian dibuatkan Berita Acara Pengambilan Sampel ole
Penyidik/PPNS (sesuai PP No. 4 tahun 2001; PP No. 150 tahun 2000; Soerianegara dan
Indrawan 1983; Singarimbun dan Effendi 1987; Laar dan Akca, 1997; Stell & Torries, 1984;
Wasis, 2006; Abdussalam, 2012, ).

Pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut
:
1. Penelitian Dokumen (document review)
Kegiatan pada penilaian dokumen mencakup penilaian keabsahan dokumen
dan penilaian substansi dokumen. Dalam melaksanakan penilaian keabsahan
dokumen, harus dilengkapi dengan pedoman-pedoman teknis dan peraturan yang
berlaku. Selanjutnya seluruh dokumen dan peta dinilai keabsahannya sesuai
pedoman/peraturan yang berlaku.
Penilaian substansi dokumen dimaksudkan untuk melihat sejauh mana
informasi yang terkandung di dalam data dasar digunakan sebagai acuan
perencanaan yang dibuat. Dalam penilaian substansi dokumen, informasi yang
dimuat dalam dokumen-dokumen perencanaan, laporan kegiatan pelaksanaan, dan
dokumen data dasar, dilakukan uji silang (cross check) untuk melihat keterkaitan
dalam hal target, materi, dan jangka waktunya.
Dokumen yang dikumpulkan terdiri dari :
1. SK penetapan HPH/HTI oleh Menteri Kehutanan
2. Salinan Akte Notaris
3. Peta RTRWP dan TGHK, Peta HPH/HTI dan Citra Lansat
4. Studi Kelayakan
5. Dokumen Andal, RKL dan RPL
6. Dokumen izin lingkungan
7. Dokumen RKPH, RKL dan RKT
8. Dokumen RKL dan RPL
9. Laporan Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPTI/THPB
10. Laporan Kegiatan RKL dan RPL
11. Laporan ITSP dan ITT
Penelitian dokumen dimaksudkan untuk mengatahui ketaatan kegiatan usaha
terhadap aturan yang berlaku (Izin, dokumen Amdal, Dokumen lingkungan, Peta dsb)

2. Penelitian Lapangan (scoping visit/Ground Cek)

Pengamatan lapangan sangat diperlukan petugas verifikasi dalam


menggungkap dugaan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang
meliputi tipe dan komponen sumberdaya alam dan ekosistem yang terkena dampak,
proses dan mekanisme terjadinya pencemaran dan atau Kerusakan lingkungan,
derajat kerusakan yang terjadi dan lamanya kerusakan. Hal tersebut sangat
diperlukan untuk menentukan pengamatan, penelitian dan pengambilan sampel yang
tepat dan akurat untuk dianalisa di laboratorium. Metode pengambilan
sampel/barang bukti yang dilakukan di lokasi kejadian terjadinya kerusakan
lingkungan dengan purposive sampling (PP No. 150 tahun 2000; Kepmen LH
Nomor 43 tahun 1996; Van Laar & Akca 1997; Stell & Torries, 1984; Sudjana,
1991; Suryabrata S. 2002; Singarimbun M. 1987, Wasis, 2006; Wibisono, 2009;
Abdussalam, 2012, ). Adapun pengamatan lapangan dapat dilakukan melalui metode
analisa vegetasi dan pengambilan sampel tanah (legal sampling) (Soerianegara dan
Indrawan, 2005; Suryabrata, 2002; Hardjowigeno, 1993; Permen LH Nomor 7 tahun
2006) .

3. Analisa Laboratorium

Analisa laboratorium untuk mengukur perubahan lingkungan hidup adalah


bersifat pendukung dari kerusakan lingkungan terjadi di lapangan. Laboratorium
tempat dilakukan analisa sampel untuk kriteria baku kerusakan yang telah memiliki
sertifikat akreditasi (KAN) (Permen LH nomor 06 tahun 2009) atau memiliki
sertifikasi lembaga tertentu misalnya BANPT,
Kelemahan data berdasarkan analisa laboratorium yaitu data analisa
laboratorium sangat dipengaruhi oleh waktu dan tempat sampel diambil
peristiwa lingkungan, memerlukan peralatan dan bahan kimia yang biayanya
mahal, data sangat dipengaruhi pada metode analisis, data yang diperoleh
ditentukan oleh sampling yang dilakukan, memerlukan waktu lama dan kurang
dapat menjelaskan proses dan mekanisme terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan (terutama apabila tidak melalukan sampling). Kelebihan analisa
laboratorium adalah merupakan alat bukti yang akurat, data yang diperoleh akurat
dan lebih objektif

PENUTUP

Hutan hujan tropis merupakan ekosistem klimaks, terdapat setengah spesies flora dan
fauna di seluruh dunia, hutan hujan tropis juga dijuluki sebagai "farmasi terbesar dunia"
karena hampir semua obat modern berasal dari tumbuhan di hutan hujan tropis, penyangga
jasa lingkungan terbaik (fungsi tata air/hidroorologis, menyerap karbon dan menghasilakn
oksigen), menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Obat-obatan didunia 90 %
berasal dari hutan tropis. Penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan yang
demikian cepat dan tidak tekendali itu disebabkan karena pembalakan liar (illegal loging).
Hasil penafsiran citra satelit menunjukkan laju perusakan hutan alam tahun 1985 - 1997
tercatat 1,6 juta ha/tahun, tahun 1997 - 2000 tercatat 2,8 juta ha/tahun dan tahun 2000 - 2003
semakin tidak terkendali. Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha di Indonesia secara
materi telah menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 30.000 trilun,- ($3,750,000,000).
Restorasi ekosistem perlu dilakukan pada hutan hujan tropis yang rusak. Restorasi
ekosistem bertujuan supaya fungsi lingkungan dapat pulih

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam R. 2012. Forensik. Penerbit PTIK. Jakarta.

Bappenas. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003 -2020.
Dokumen Regional Bappenas Pemerintah RI. Jakarta.

Buringh P. 1983. Pengantar Pengajian Tanah-tanah Wilayah Tropika dan Subtropika.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Binkley, D. 1987. Forest Nutrition Managemnent. A Wiley-Interscience Publication John


Wiley & Sons. New York

Dahuri, R. 1999, Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang, Lokakarya


Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang Indonesia, Jakarta.

DPR RI. 2016. Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Umum Panja Kebakaran Hutan
dan Lahan Komisi III DPR RI dengan Prof. Bambang Hero S, DR Basuki Wasis dan
Nelson Sihotang. Komisi III Bidang Hukum, HAM dan Keamanan DPR RI. Jakarta.

Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, & Timotius S. 2007. Terumbu karang Jakarta :
Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005).
Yayasan TERANGI. Jakarta. ix + 87 p.
Fakultas Kehutanan IPB. 2000. Selamatkan Hutan Alam Indonesia : Masalah, Prinsip, dan
Strategi Pembenahan Kelembagaan Penyelenggaraan Kehutanan. Draf Akademik
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Fauzi A; S. Anna; B. H. Saharjo dan B. Wasis. 2005. Panduan Penentuan Perkiraan Ganti
Kerugian akibat Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan akibat Kebakaran
Hutan, Perambahan Hutan dan Galian C. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Hardjowigeno, S. 1986. Ilmu Tanah. Akademi Pressindo. Jakarta

Haeruman, H. 2003 a. Pengelolaan hutan bersama masyarakat di HTI. Makalah Diskusi


PHBM Fakultas Kehutanan IPB tanggal 29 Januari 2003. Bogor.

Hartiwiningsih. 2011. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.


UNS Press. Surakarta

Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Lembaran Dokumen Negara RI. Jakarta.

Hamilton, L.S. and P. N. King, 1988. Daerah Aliran Sungai Tropika. Terjemahan.
Gajahmada University Press. Yogyakarta.

Fisher, R. F., and D. Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soils. Third
Edition John Wiley and Sons, Inc. New York. 489 p.

Instruksi Presiden RI No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Lembaran Dokumen Negara RI. Jakarta.

Hardjasoemantri K. 2006. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta. 640 hal.

Jordan C. F. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Wiley & Sons.
New York.

Kejaksaan Agung RI dan KLH. 2003. Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara
Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Kejaksaan Agung RI dan KLH, Jakarta

Keraf A S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

Kejaksaan Agung RI dan KLH. 2003. Pedoman Teknis Yustisial Penanganan Perkara
Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Kejaksaan Agung RI dan KLH, Jakarta
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2006. Panduan Perhitungan Ganti Kerugian
Akibat Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman Pengendalian Kerusakan di


Wilayah Pesisir akibat Gelombang Laut. Deputi Bidang Peningkatan Konservasi
Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan KLH. Jakarta

Kepmen LH No. 210 tahun 2004 tentang Kriteria Kerusakan Hutan Mangrove.

Kepmen LH No. 200 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun.

Kepmen LH No. 4 tahun 2001 tentang Kriteria Kerusakan Terumbu Karang.

Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor : 152/KPTS/IV-BPHH/1993


tentang Pedoman Penyusunan Rencana Karya Tahunan Pengusahaan Hutan

Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor : 153/KPTS/IV-BPHH/1993


tentang Pedoman Penilaian dan Pengesahan Rencana Karya Tahunan Pengusahaan
Hutan.

Kitredge, J, 1948. Forest Influences, Mc, Graw-Hill Book Company, New York.

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). 2015. Mencegah Kerugian Negara Di Sektor


Kehutanan. Sebuah Kajian Tentang Sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak dan
Penatausahaan Kayu. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang
Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi RI. Makalah Lokakarya dan Pelatihan
Nasional Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Penegakan Hukum
Multidoor tanggal 14-18 Maret 2016. Jakarta.

Kusmana C, Y. Setiadi, I. Hikwan, Istomo, O Rusdiana dan B. Wasis. 2014. Ekologi Hutan.
Materi Kuliah Bagian Ekologi Hutan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan
IPB. Bogor.

Laar AV and Akca A. 1997. Forest Mensuration. Cuviller Verlag, Germany. Gotingen.

Lee, R. 1980. Forest Hidrology. Columbia Press University. New York.

Lutz HJ and Chandler RF. 1965. Forest Soils. Printed in The United States of America.
New York

Notodarmojo S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air Tanah. Penerbit ITB. Bandung

Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Proyek
Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. IPB. Bogor.

Manurung , E. G. T. 2003. Potret pembangunan hutan tanaman industri di Indonesia


(Realitas dan kemampuannya dalam menghasilkan pulpwood sebagai bahan baku
industri pulp dan kertas di Indonesia). Makalah Bedah Buku Hutan Tanaman Industri
di Persimpangan Jalan, Fakultas Kehutanan IPB Tanggal, 7 September 2003. Bogor.
Peraturan Pemerintah RI Nomor : 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah
untuk Produksi Biomassa

Peraturan Pemerintah RI Nomor : 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan atau Lahan

Peraturan Menteri KLH RI Nomor : 13 tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Peraturan Menteri KLH RI Nomor : 7 tahun 2014 tentang Ganti Kerugian Akibat
Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengukuran Kriteria Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa. Jakarta

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 06 tahun 2009 tentang Laboratorium


Lingkungan. Jakarta

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 09 tahun 2010 tentang Tata Cara
Pengaduan dan Penanganan Pengaduan akibat Dugaan Pencemaran dan atau
Kerusakan Lingkungan Hidup.

Soerianegara, I dan Indrawan A. 1983. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Syahrin A. 2011. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. PT Sofmedia. Medan

Singarimbun M. 1987. Metode Penelitian Survai. Lembaga Penelitian Pendidikan dan


Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.

Steel R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan
Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Soedomo S dan Wasis B. 1993. Diktat Ilmu Tanah Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

Suryabrata S. 2002. Metodologi Penelitian. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Sudjana. 1991. Desain Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito Bandung.

Tan KH. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc. New York

Undang Undang Nomor : 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Negara Republik Indonesia.

Undang Undang Nomor : 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Negara Republik Indonesia
Undang Undang Nomor : 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan. Negara Republik Indonesia

Undang Undang Nomor : 26 tahun 2008 tentang Penataan Ruang. Negara Republik
Indonesia.

Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Negara Republik Indonesia.

Van Laar A and Akca A. 1997. Forest Mensuration. Cuvillier Verlag. Gotingen

Wasis B. 1993. Ilmu Tanah Hutan. Diktat Departemen Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.

Wasis B. 2003. Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap kerusakan tanah.
(Impact of forest and land fire on soil degradation). Jurnal Manajemen Hutan Tropika
Vol. IX No. 2 : 79-86

Wasis B. 2006. Identifikasi dan Penapisan Dampak pada Permasalahan Lingkungan Hidup
serta Penerapan Isu Isu Lingkungan Hidup. Indonesia-Australia Specialised Training
Project Phase III. Jakarta.

Wasis, B.dan Noviani, D. (2010). Pengaruh pemberian pupuk NPK dan kompos terhadap
pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq) pada media tanah
bekas tambang emas (tailing). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 15(1): 14–19. Retrieved
from http://journal.ipb.ac.id/index.php/ JIPI/article/view/6563

Wasis B. 2012. Soil Properties in Natural Forest Destruction and Conversion to Agricultural
Land in Gunung Leuser National Park, North Sumatera Province. JMHT XVIII(3) :
206-212

Wasis B, Fathia N. 2011. Pengaruh pupuk NPK terhadap pertumbuhan semai Gmelina
(Gmelina arborea Roxb.) pada media tanah bekas tambang emas (tailing). Jurnal
Silvikultur Tropika 2 (1): 14-18.

Wasis B, Mulyana B, Winata B. 2015. Pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba).


Jurnal Silvikultur Tropika 6(2):93-100.

Wasis B, Noviani D. 2010. Pengaruh pemberian pupuk NPK dan kompos terhadap
pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq) pada media tanah
bekas tambang emas (Tailing). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 15(1): 14-19.

Wasis B, Sandrasari A. 2011. Pengaruh pemberian pupuk kompos terhadap pertumbuhan


semai mahoni (Swietenia macrophylla king.) pada media tanah bekas tambang emas
(tailing). Jurnal Silvikultur Tropika 3(1): 109-112.

Wasis B, Setiadi Y, Tarigan HB. 2011. Pertumbuhan semai jabon (Anthocephalus cadamba
Roxb. Miq.) pada media tailing PT Antam unit bisnis pongkor dengan penambahan
top soil dan kompos. Jurnal Silvikultur Tropika 2(3):136-142
Wasis, B., Setiadi, Y., and Purwanto, E. 2012. Perbandingan Sifat Kimia Tanah dan Biologi
Tanah akibat Keterbukaan Lahan pada Hutan Reboisasi Pinus di Kecamatan Pollung
Kabupaten Humbang Hasudutan, Sumatera Utara.. Jurnal Silvikultur Tropika
03(01) : 33 – 36

Wasis B. and Andika A. (2017). Growth response of mahagony seedling (Swietenia


macrophylla King.) to addition of coconut shell charcoal and compost on ex-sand
mining site of West Java Province in Indonesia. Archives of Agriculture and
Enviromental Science 2(3): 238-243.

Wasis, B., Winata, B., and Marpaung, D. R. 2018. Impact of land and forest fire on soil
fauna diversity in several land cover in Jambi Province, Indonesia. Biodiversitas
10(2): 740-746. DOI: 10.13057/biodiv/d190249

Wasis B. Arifin and Winata. 2018a. Impact of Bauxite Mine to Natural Forest Biomass and
Soil Properies in Kas Island, Riau Island Province in Indonesia. Archives of
Agriculture and Environmental Science 3(3): 264-269.

Wasis B. and Assamsi K. 2019. Application of husk charcoal for waste risk minimization by
growing Acacia mangium (Willd.) on gold mining media. Agro Environ Media |
Agriculture and Environmental Science Academy, In: Contaminants in Agriculture
and Environment: Health Risks and Remediation DOI: 10.26832/AESA-2019-CAE-
0150-017 : 228-235.

Wasis B., Saharjo B.H., Kusumadewi F., Utami N. H., Putra M.H. W. . 2018b. Analysis of
economic valuation of environmental damage due to sand mine in Gumulung
Tonggoh, Cirebon District, West Java Province, Indonesia. Archives of Agriculture
and Environmental Science 3(4): 360-366

Wasis B., Saharjo B.H., Putra M.H. W., Winata B. 2019. Analysis of environmental
damage and environmental economic valuation on tropical rain forest destruction in
Simalungun Regency, North Sumatera Province, Indonesia. Archives of Agriculture
and Environmental Science 4(3): 313-318.

Wibisono Y. 2009. Metode Statistik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

View publication stats

You might also like