Professional Documents
Culture Documents
Tahapan Pembentukan Identitas Etnis Remaja Madura Di Surabaya Faqihul Muqoddam
Tahapan Pembentukan Identitas Etnis Remaja Madura Di Surabaya Faqihul Muqoddam
Faqihul Muqoddam
Program Studi Magister Sains Psikologi
Universitas Airlangga
Jl. Airlangga No 4-6, Surabaya, Indonesia, 60115
faqihul.muqoddam-2018@psikologi.unair.ac.id
No HP : 085335051381
Suryanto
Program Studi Magister Sains Psikologi
Universitas Airlangga
Jl. Airlangga No 4-6, Surabaya, Indonesia, 60115
suryanto@psikologi.unair.ac.id
No HP: 087702697767
Abstract — This research aims to describe the stages and driving factors the formation of
ethnic identity of Madurese adolescents who live in Surabaya. This research used qualitative
approach with narrative analysis. Participants in this study were Madurese adolescents who
lived in Surabaya aged 12-20 years. Data collection uses observation and interview
techniques. Data were analyzed by stages of data reduction, data presentation, and
conclusion drawing. The results showed that (1) Adolescents form their Madura ethnic
identity in Surabaya with the stage; bring back identity, intense interaction in ethnic groups,
and implementation of Madurese cultural elements in the Surabaya environment, (2) Factors
that encourage them in the formation of ethnic identity come from internal factors (sense of
belonging and sense of pride to ethnic identity) and factors of brotherhood solidarity in
ethnic groups. Suggestions for further research is to extend the context of research. The next
discussion is expected to find obstacles and expand the studies that have been studied
previously.
Abstrak — Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan serta faktor pendorong
pembentukan identitas etnis remaja Madura yang tinggal di Surabaya. Metode penelitian
yang digunakan adalah pendekatan Kualitatif dengan analisis naratif. Partisipan dalam
penelitian ini adalah para remaja Madura yang tinggal di Surabaya dengan umur 12-20 tahun.
Penggalian data menggunakan teknik observasi dan wawancara. Data dianalisis dengan
tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) Remaja membentuk identitas etnis Madura mereka di Surabaya
dengan tahap; memunculkan kembali identitas, Interaksi intens dalam kelompok etnis, serta
implementasi unsur budaya Madura di lingkungan Surabaya, (2) Faktor yang mendorong
mereka dalam pembentukan identitas etnis berasal dari faktor internal (rasa memiliki dan rasa
bangga terhadap identitas etnis) dan faktor solidaritas persaudaraan dalam kelompok etnis.
Saran penelitian agar konteks ini kembali diperluas pada penelitian selanjutnya. Pembahasan
selanjutnya diharapkan dapat menemukan hambatan dan memperluas kajian yang sudah
diteliti sebelumnya.
1. Pendahuluan
Surabaya dari masa ke masa merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia, hal itu
disebabkan oleh semakin padatnya para pendatang yang datang dari luar kota. Khususnya
pada masa transisi menuju abad ke 20, Surabaya menjadi salah satu kota terbesar dengan
jumlah 150.000 penduduk mengalahkan Jakarta kala itu, kemudian sekitar tahun 2002,
Surabaya mengalami peningkatan yang drastis dalam jumlah populasinya yang mencapai 2,6
juta penduduk sekaligus menempatkannya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia (Dick,
2002).
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aji (2014) menjelaskan bahwa pada awal
abad 20, jumlah masyarakat Madura di Jawa Timur mencapai sekitar 833.000, jumlah
tersebut hampir dua kali lipat jumlah masyarakat Madura yang bertempat tinggal di Pulau
Madura. Sedangkan Indah (2010) menyatakan bahwa etnis Madura mencapai 25% dari
keseluruhan masyarakat di Surabaya. Fakta diatas memberikan kesimpulan bahwa mayoritas
masyarakat Madura memiliki kecenderungan dalam melakukan migrasi ke berbagai tempat,
khususnya di Jawa.
Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) mengungkapkan bahwa kontak antar satu
budaya dengan budaya lain akan menyebabkan perubahan budaya yang dikenal dengan
Akulturasi. Proses perpindahan menuju Surabaya memunculkan sebuah permasalahan dalam
lingkup etnis bagi masyarakat Madura. Karena bagaimanapun, mereka masih memiliki
keterikatan dengan nilai-nilai budaya di Madura sehingga hal ini menjadi sebuah akulturasi
budaya yang cenderung mengalami perubahan kebudayaan karena tinggal di tempat yang
memiliki budaya berbeda dengan budaya yang dimilikinya di Madura.
Erikson (dalam Boeree, 2007) membagi krisis psikososial berdasarkan tahap
perkembangan menjadi delapan tahap. 1) Bayi (0-1 Tahun) yang lebih menekankan pada
pengembangkan kepercayaan tanpa ketidak percayaan, 2) Balita (2-3/4 tahun) yang
mengalami krisis kemandirian dan berusaha untuk menghilangkan rasa malu dan ragu-ragu,
3) Pra-sekolah (3-6 tahun) yang memiliki tugas untuk berinisiatif dan terlalu banyak
melakukan kesalahan, 4) Usia sekolah (7-12 tahun) memiliki tugas dalam pengembangan diri
dan berusaha menghindari dari rasa rendah diri, 5) Remaja (12-18/20 tahun) memiliki tugas
dalam pencapaian identitas diri dan menghindari peran ganda yang dimilikinya, 6) Pemuda
(18/20-30 tahun) memiliki tugas perkembangan dalam proses pendekatan dengan orang lain
dan menghindari sikap menyendiri, 7) Dewasa (menjelang 30-60 tahun) yang berusaha
“melahirkan sesuatu” dan menghindari stagnansi, 8) Usia senja (50/60 an sampai seterusnya)
yang berusaha mengintegrasikan ego dan menghindari keputus asaan dan kekecewaan.
Tahapan remaja merupakan proses dimana seseorang tidak bisa dengan mudah
meninggalkan kehidupan masa kecilnya yang penuh akan identitas aslinya. Seorang remaja
cenderung untuk sulit bangun dari identitas asalnya, ia akan semakin berhati-hati dalam
menghadapi kemungkinan-kemungkinan baru yang akan terjadi kepadanya Proses tersebut
merupakan salah satu masalah yang terjadi pada remaja. Namun di sisi lain, remaja
cenderung mengalami suatu akulturasi ketika dihadapkan pada budaya baru. Hal ini
kemudian semakin mencerminkan bahwa tahap remaja sering mengalami krisis identitas,
karena unsur budaya lain meresap dengan sendirinya dan tanpa terduga sebelumnya (Erikson,
1994)
Phinney (1989) menyebutkan bahwa identitas etnis terbagi menjadi empat komponen
utama, yakni Identifikasi diri, Rasa memiliki, Sikap, dan Partisipasi dalam kegiatan budaya.
Selain itu, ia membagi proses perkembangan identitas etnis menjadi tiga tahap, yakni
identitas etnis yang tidak teruji, pencarian identitas etnis, dan pencapaian identitas etnis.
Beberapa proses dan tahap menurut Phinney diatas merupakan hasil dari penelitiannya dalam
proses pembentukan identitas etnis pada remaja.
Hasil pengamatan Berry (2006) mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki
pandangan yang berbeda dalam menentukan dirinya setelah melakukan interaksi dengan
budaya lain. Selain timbulnya perubahan budaya dalam akulturasi, terdapat pula seseorang
atau kelompok orang yang tidak ingin mengubah budaya dan perilakunya tersebut. Oleh
karenanya, penelitian ini menarik untuk dilakukan dalam upaya mengetahui proses
pembentukan identitas etnis pada remaja Madura yang tinggal di Surabaya.
Rentannya remaja terseret dalam arus kebudayaan baru di Surabaya menimbulkan
beberapa pertanyaan, bagaimana seharusnya mereka membentuk pola identitas etnis Madura
di tengah-tengah lingkungan Surabaya?. Namun, untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu
untuk menguraikan 1) Proses serta tahap pembentukan identitas etnis remaja Madura di
Surabaya, 2) faktor yang menentukan remaja dalam membentuk identitas etnis Madura di
Surabaya? Semuanya akan dipaparkan serta dianalisis dalam penelitian ini.
Sam & Berry (2006) mengidentifikasi akulturasi menjadi empat model strategi, yaitu
asimilasi, separasi, marginalisasi, dan integrasi. Asimilasi disebutkan ketika individu ingin
meninggalkan budaya aslinya dengan cara menjalin kontak harian dengan budaya lain.
Separasi merupakan ketika individu ingin mempertahankan budaya aslinya dan menghindari
interaksi dengan individu atau budaya lain. Marginalisasi merupakan kurang nya minat
individu pada etnisnya sendiri maupun dengan etnis lain. Integrasi merupakan ketika individu
berminat dalam mempertahankan budaya aslinya serta budaya lain yang mendominasinya.
2. Metode Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja Madura yang tinggal di Surabaya
sebanyak 8 orang dengan karakteristik umur antara 12-20 tahun. Teknik sampling dalam
penelitian ini berbasis teori berdasarkan tahap perkembangan psikososial Erikson yang
menyatakan bahwa tahap remaja (12-20 tahun) merupakan tahap kebingungan peran dan
krisis identitas (Erikson, 1994).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis
naratif. Dalam pandangan Creswell (2015), pendekatan naratif digunakan untuk menuturkan
cerita pengalaman individual yang bisa saja mengungkapkan identitas yang melekat pada
dirinya. Dalam pendekatan naratif, pengumpulan data utama berupa wawancara dengan
partisipan dan menggunakan alat perekam untuk menyimpan hasil dari wawancara.
Prosedur dalam penelitian ini didasari oleh Neuman (2007) yang memaparkan bahwa
langkah dalam penelitian terbagi menjadi tujuh langkah; (1) memilih topik; (2) fokus
pertanyaan; (3) menentukan desain penelitian; (4) mengumpulkan data; (5) analisis data; (6)
interpretasi data; (7) menulis laporan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis tematik dengan
enam langkah diantaranya; (1) mengakrabkan diri dengan data; (2) menginisialkan kode; (3)
mencari tema; (4) meninjau tema; (5) mendefinisikan dan penamaan tema; (6) membuat
laporan (Braun & Clarke, 2006). Hal itu dilakukan atas dasar (Miles & Huberman, 1994)
yang menyatakan bahwa analisis data pada metode kualitatif tidak bisa terlepas dari tahap
reduksi data, tampilan data, dan kesimpulan & verifikasi hasil.
“Saya pribadi merasa tidak kehilangan tipikal budaya asli Madura saya disini
(Surabaya) karena lingkungan belajar sosial saya banyak saya habiskan dengan
orang sesama Madura disini (Mahmud)”
Pencarian identitas dengan cara interaksi antar sesama Madura juga dilakukan oleh
partisipan lain, bahkan ia pun menganggap bahwa ia sangat intens berkumpul bersama orang
Madura lainnya.
“Jika berbicara antara lebih banyak berinteraksi bersama orang Madura dengan
orang Jawa, saya lebih sering melakukan kontak dengan teman satu daerah.
Bahkan selain melakukan kontak keseharian, kami juga sering mengadakan
kajian rutinan misalnya rabuan (Lula)”
Tahap ketiga, remaja sudah mencapai titik pencapaian identitas etnis Madura di
Surabaya. Pada tahapan ini, remaja mengaplikasikan unsur-unsur budaya Madura di
Surabaya. Hal itu dilakukan dengan tiga cara, Pertama memakai sarung dalam kehidupan
sehari-hari ketika kondisi santai. Penggunaan sarung merupakan tradisi Madura dalam
kehidupan bersosial dan berkomunikasi antar satu sama lain (Qamariah, Jumaidin, &
Fachruddin, 2016). Kedua menggunakan bahasa Madura di lingkungan Surabaya. Berry, dkk
(1999) memandang bahwa bahasa merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam
melakukan komunikasi dengan orang lain. Dalam praktiknya, beberapa remaja tersebut
hampir keseluruhan bahasa yang digunakan sehari-hari berasal dari bahasa Madura, baik itu
secara interpersonal maupun di tempat umum. Melakukan interaksi dengan menggunakan
bahasa Madura secara lantang di tempat umum tidak membuat mereka malu, karena semua
itu mereka lakukan atas dasar rasa bangga terhadap etnis Madura yang dimilikinya.
“Saya tidak merasa malu jika berbicara dengan orang lain menggunakan bahasa
Madura. Bahkan ketika di tempat umum yang didominasi oleh budaya non Madura,
saya pun tidak malu berbicara dengan teman secara lantang menggunakan bahasa
Madura (Lula)”
Berbicara dengan bahasa daerah di budaya lain merupakan salah satu bentuk dari
pelestarian individu terhadap bahasa yang dimilikinya. Pelestarian bahasa ditentukan oleh
keinginan individu dalam melestarikannya di budaya lain dengan cara menerapkan bahasa
daerah dan mengajarkannya kepada orang lain atau penerus selanjutnya. Kehidupan di
Surabaya yang majemuk membuat individu atau kelompok individu merasa nyaman dalam
melestarikan bahasa daerah mereka. Sebaliknya, kondisi tempat tinggal baru yang tidak
memberikan perhatian pada pelestarian bahasa etnis masing-masing mengakibatkan proses
pelestarian tersebut kurang lancar dan tidak nyaman bagi pengguna bahasa daerah (Berry
dkk, 1999).
Ketiga menunjukkan rasa persaudaraan dengan individu Madura lainnya. Rasa
persaudaraan diantara mereka ditunjukkan dengan melakukan pembelaan terhadap sesama
etnis Madura apabila terlibat konflik dengan budaya lain di Surabaya. White, Kiehne, Taylor
& Masiglia (2017) menyatakan bahwa individu akan cenderung memperhatikan etnis asalnya
ketika mereka mengalami sebuah deskriminasi.
Proses dalam memperoleh identitas etnis pada masa remaja tentu menjadi bekal
berharga dalam menghadapi masa transisi menuju tahap perkembangan selanjutnya. Pendapat
tersebut disampaikan oleh Drake, Medina, Taylor, & Schaefer (2017). Karena apabila remaja
memiliki identitas etnis yang kurang dominan akan berdampak pada kepribadian individu
yang kemudian menimbulkan keputusasaan (Jaramillo, Worrell & Mello, 2015).
Keputusasaan individu tentu akan selalu dihindari dan tidak seorang pun yang ingin
mengalaminya. Hal tersebut terbukti dari proses pencapaian identitas etnis remaja yang kuat,
mereka tidak pernah mengalami penyesalan diri serta keputusasaan dalam menyikapi budaya
yang dimilikinya. Di sisi lain, identitas budaya juga dapat menentukan proses ketahanan pada
remaja, seperti ketika menghadapi sebuah kesulitan serta dapat menjauhkannya dari stress.
Biasanya hal ini terjadi pada remaja Asia (Richardson, Song, Pumarino & Hapsari, 2017)
Penelitian ini menemukan bahwa faktor yang berperan penting dalam proses
pembentukan etnis remaja Madura di Surabaya terbagi menjadi dua faktor; (1) faktor internal
dan (2) faktor eksternal.
Faktor internal yang menentukan pembentukan identitas etnis remaja Madura di
Surabaya berupa rasa memiliki dan rasa bangga terhadap budaya asli mereka, yakni Madura.
Phinney (1989) menyatakan bahwa rasa memiliki merupakan salah satu komponen dalam
identitas etnis individu. Menurutnya, rasa memiliki individu akan etnis yang dimilikinya
merupakan salah satu syarat individu dikatakan berada dalam suatu budaya atau etnis.
Pendapat lain memiliki kesamaan arti, bahwa identitas etnis yang kuat dapat menyebabkan
kebahagiaan serta memperkuat rasa bangga pada individu (Fuligni, 2011)
“Ketika di umum atau ketika berada di kelas dan ditanyakan oleh dosen, saya
tidak malu untuk mengakui bahwa saya orang Madura. Bahkan saya merasa
bangga akan hal tersebut. Sebab, bagaimanapun nilai-nilai Madura yang
melekat dalam dri saya tidak boleh hilang dan harus ditunjukkan kepada orang
lain (Hairul Agus)”
Partisipan diatas dengan bangga mengaku didepan orang lain bahwa dirinya menjadi
bagian dari orang Madura. Salah satu sebabnya yakni kuatnya pengetahuan individu tersebut
terhadap etnis Madura yang sudah melekat pada dirinya, seperti kuatnya rasa bangga dan rasa
memiliki. Remaja dengan rasa memiliki yang kuat menunjukkan locus of control internal
yang tinggi pula dalam menjalin interaksi dengan rekannya, sebaliknya rasa memiliki remaja
yang rendah terhadap etnis menunjukkan tingkat kontrol eksternal yang cenderung merasa
dirinya dikontrol oleh teman sebayanya (Schall, Wallace & Chhuon, 2014).
Rasa bangga dan rasa memiliki terhadap kebudayaan Madura juga memiliki relevansi
dengan kuatnya jati diri etnis yang dimiliki oleh individu. Seperti yang sudah dijelaskan oleh
Berry dkk (1999) bahwa jati diri etnis merupakan bagian dari identitas secara umum yang
memfokuskan pada proses pengenalan identitas etnis seseorang. Barbieri & Zani (2015)
menjelaskan bahwa imigran cenderung memiliki rasa memiliki yang kuat terhadap komunitas
atau kelompok asal mereka. Oleh karenanya, faktor internal yang dapat mendorong proses
pembentukan identitas etnis mereka di lingkungan budaya lain tidak bisa dipisahkan oleh
faktor rasa memiliki yang kuat akan budaya Madura.
Faktor eksternal remaja berasal dari rasa solidaritas antar teman yang berasal dari
Madura. Solidaritas tersebut terbentuk dari proses interaksi dengan orang lain sesuai dengan
tahap psikososial remaja yang telah sampai pada tahap ketertarikan mereka dalam
bergerombol dalam membentuk kelompok dengan orang lain (Erikson, 2010)
Erikson memandang bahwa interaksi individu dengan teman sebaya atau keluarga
merupakan salah satu ciri dari identity confusion (kebimbangan akan identitas). Individu yang
belum mampu menyelesaikan berbagai persoalan identitasnya, cenderung akan mengisolasi
dirinya sendiri dari teman sebaya. Sedangkan, bagi individu yang sudah mulai menemukan
atau sudah membentuk identitasnya, maka mereka akan melebur dengan mudah dengan
teman sebaya (Santrock, 2003).
Solidaritas dalam suatu kelompok etnis pada umumnya memunculkan stereotipe yang
kuat dari kelompok etnis lain. Individu etnis lain akan menganggap kelompok yang
solidaritas nya tinggi memiliki hubungan emosional yang kuat di dalamnya. Namun,
(Warnaen, 2002) menyatakan bahwa kontak juga berhasil membuat kelompok semakin
memiliki stereotipe yang solid dari kelompok lain. Menurutnya, semakin banyak individu
melakukan kontak dengan individu lain yang daerah asalnya berdekatan, maka akan
dipersepsi sama oleh orang lain.
Remaja Madura di Surabaya memiliki hubungan yang sangat kuat satu sama lain. baik
itu yang laki-laki maupun perempuan. Hasil ini juga didukung dengan penelitian Jafar (2017)
yang menunjukkan bahwa imigran Madura di salah satu desa di Kalimantan Timur memiliki
solidaritas yang sangat kuat. Hal itu dilihat dari beberapa pola interaksi yang dilakukan
mereka dalam keseharian.
4. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini menemukan bahwa remaja Madura yang tinggal di
Surabaya tidak mengalami akulturasi seperti yang dikatakan Berry (2002) bahwa individu
cenderung akan mengalami perubahan budaya ketika melakukan interaksi dengan budaya
baru. Namun, remaja Madura di Surabaya menerapkan strategi separasi namun juga
cenderung melakukan integrasi dengan cara menghargai etnis lain di Surabaya. Upaya yang
dilakukan oleh remaja Madura yang tinggal di Surabaya dalam membentuk serta
mengembangkan identitas asli mereka dengan tiga tahap, pertama mencoba memunculkan
kembali unsur-unsur budaya Madura yang masih melekat di dalam diri mereka seperti
membandingkan keunggulan budaya Madura dengan budaya lain di Surabaya. Kedua mereka
mulai mencari kembali identitas etnis asli mereka dengan cara sering melakukan kontak dan
berkumpul bersama individu lain yang juga berasal dari Madura. Ketiga mereka sudah
menemukan identitas etnis Madura dengan cara mengimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungan Surabaya, hal itu dilakukan dengan cara memakai sarung dan
berbicara dengan bahasa Madura dalam keseharian, serta penunjukan rasa solidaritas antar
sesama daerah dalam konteks ketika mereka sedang menghadapi konflik etnis dengan budaya
lain. Faktor yang menjadi komponen utama proses pembentukan identitas etnis remaja
Madura tersebut tidak lepas dari dua faktor; (1) faktor internal, seperti rasa bangga dan rasa
memiliki yang kuat mereka pada budaya Madura yang sudah melekat di masing-masing
individu; (2) faktor eksternal, yakni rasa persaudaraan yang kuat antar sesama individu yang
berasal dari etnis Madura.
Keterbatasan yang peneliti alami dalam penelitian ini berasal dari beberapa hal, yakni
waktu yang relatif kurang panjang mulai dari awal sampai akhir penelitian serta minimnya
penguasaan jalur perkotaan di Surabaya membuat peneliti merasa sedikit kesulitan dalam
memperoleh partisipan. Oleh karena itu, terdapat beberapa saran yang peneliti
rekomendasikan dalam penelitian selanjutnya, pertama peneliti selanjutnya agar lebih
memperhatikan kesesuaian isi wawancara dengan dasar teoritis yang ada, sebab dasar
tersebut menjadi penopang validitas dalam proses wawancara. Kedua agar lebih
memperhatikan dan terlibat secara aktif dalam keseharian partisipan penelitian, hal ini perlu
dilakukan agar peneliti dapat dengan mudah mendapatkan segala informasi terkait partisipan
yang diteliti. Ketiga peneliti harus bisa melakukan manajemen waktu sesuai dengan tempo
penelitian yang diharapkan, serta pemahaman yang komplek terkait kebutuhan selama proses
penelitian juga perlu disiapkan secara matang oleh peneliti, seperti pemahaman yang luas
terkait ruang lingkup partisipan, biaya yang dibutuhkan selama penelitian, dan bahan-bahan
penting seperti perekam (tape recorder) dan transportasi selama proses penggalian data
berlangsung.
6. Daftar Pustaka
Aji, R. S. (2014). Migrasi Etnis Madura di Surabaya tahun 1906-1942. Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia.
Barbieri, I, & Zani, B. (2015). Multiple Sense of Community, Identity, and Well- Being In a
Context of Multi Culture: A Mediation Model. Community Psychology in Global
Perspective. 1 (2), 40-60.
Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (2002). Cross-Cultural
Psychology: Research and Aplications. Second Edition. United States of
America: Cambridge University Press.
Berry, J. W. (2006). Contexts of Acculturation. In Sam, D. L & Berry (Ed), J. W. The
Cambridge Handbook of Acculturation Psychology. New York: Cambridge
University Press.
Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (1999). Psikologi Lintas
Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: PT. Gramedia
Boeree, C. G. (2007). Personality Theories. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Grup
Braun, V & Clarke, V. (2006). Using Thematic Analysis in Psychology. Qualitative
Research in Psychology. 3 (2), 77-101. Doi 10.1191/1478088706qp063oa.
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di Antara Lima
Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dick, H. W. (2002). Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000.
Columbus: Ohio University Press
Dimitrova, R., Johnson, D. J., & Fijver, F. J. R. V. D. (2017). Ethnic Socialization , Ethnic
Identity, Life Satisfaction and School Achievement of Roma Ethnic Minority
Youth. Journal of Adolescence. 62, 175-183. Doi
10.1016/j.adolescence.2017.06.003.
Drake, D. R., Medina, M., Taylor, A. J. U., & Schaefer, D. R. (2017). Ethnic-Racial Identity
and Friendships in Early Adolescence. Child Development. 88 (3), 710-724. Doi
10.1111/cdev.12790.
Erikson, E. H. (1994). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton
Erikson, E. H. (2010). Chilhood and Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fuligni, A. J. In Lick, D. (2011). How Do Ethnic anf Family Identities Affect Adolescents in
Immigrant Families?. Diakses pada tanggal 24 September 2018 dari
https://www.psychologyinaction.org/psychology-in-action-1/2011/11/15/how-do-
ethnic-and-family-identities-affect-adolescents-in-immigrant-families.
Indah, M. P. (2010). Identitas Masyarakat Madura di Perkotaan (Studi tentang Pengaburan
Identitas Kemaduraan Etnis Madura di Surabaya). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Airlangga, Indonesia.
Jafar (2017). Solidaritas Imigran Madura di Perantauan Desa Jemparing Kecamatan Longikis
Kabupaten Paser. E-journal Sosiatri-Sosiologi. 5 (1), 113-126. ISSN 0000-0000.
Jaramillo, J., Worrell, F. C., & Mello, Z. R. (2015). Ethnic Identity, Stereotype Thread, and
Perceived Discrimination Among Native American Adolescents. Journal of
Research on Adolescence. 26 (4), 769-775. Doi 10.1111/jora.12228
Lara, L. (2018). Ethnic Identities of Immigrant and Native Adolescents: Development and
Relationship to Life Satisfaction. Psicologia: Reflexao e Critica. 31-19. Doi
10.1186/s41155-018-0100-5.
Miles, M. B & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis: An Expanded
Sourcebook. (Second Edition). London: Sage Publications.
Neuman, W. L. (2007). Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches.
Second Edition. Boston: Allyn and Bacon
Phinney, J. S. (1989). Ethnic Identity in Adolescents and Adults: A Review of Research.
Department of Family Studies. California State University, Los Angeles.
Qamariah, I., Jumaidin, L. O., & Fachruddin, S. (2016). Budaya Komunikasi Etnis Madura
dalam Kehidupan Sosial di Kelurahan Mata Kota Kendari. Journal Ilmu
Komunikasi UHO. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo,
Kendari, Indonesia.
Richardson, C., Song, W. J. C., Pumarino, J., & Hapsari, A. P. (2017). Examining The
Relationship Between Strength of Ethnic Identity and Resilience in Canadian
Adolescents. Journal of Adolescent Health. 60 (2), S96. Doi
10.1016/j.jadohealth.2016.10370.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama
Schall, J., Wallace, T. L., & Chhuon, V. (2014). Fitting In High School: How Adolescent
Belonging Is Influenced by Locus of Control Beliefs. International Journal of
Adolescence and Youth. 21 (4), 462-475. Doi 10.1080/02673843.2013.866148.
Swenson, R. R., & Prelow, H. M. (2005). Ethnic Identity, Self Esteem, and Perceived
Efficacy as Mediators of The Relation of Supportive Parenting to Psychosocial
Outcomes Among Urban Adolescents. Journal of Adolescence. 28 (4), 465-477.
Doi 10.1016/j.adolescence.2004.09.005.
Taylor, A. J. U., Bhanot, R., & Shin, N. (2006). Ethnic Identity Formation During
Adolescence: The Critical Role of Families. Journal of Families Issues. 27 (3),
390-414. Doi 10.1177/0192513x05282960
Warnaen, S. (2002). Strereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Jogjakarta: Matabangsa
Weisman, M. B. (2015). Brief Report: Ethnic Identity and Aggression in Adolescence, A
Longitudinal Perspective. Journal of Adolescence. 47, 131-134. Doi
10.1016/j.adolescence.2015.05.015.
White, A. J. M. B., Kiehne, E., Taylor, A. U., & Marsiglia, F. F. (2017). In Pursuit of
Belonging: Acculturation, Perceived Discrimination, and Ethnic-Racial Identity
Among Latino Youths. Social Work Research. Doi 10.1093/swr/svw029.