Makanan yang dikonsumsi oleh manusia hendaknya dipersiapkan dengan
baik agar dapat memberikan nilai gizi yang baik. Sayangnya tidak mungkin mendistribusikan dan juga menghasilkan makanan yang dikonsumsi manusia secara massal dalam kondisi seperti itu. Oleh karena itu diperlukan usaha pengolahan makanan untuk mencegah kerusakan nilai gizi dari makanan. Aplikasi teknologi pangan modern yang berhasil baik membuka kemungkinan pengawetan kualitas yang dikehendaki yang sedikit banyak dapat memantapkan ketersediaan bahan pangan. Bahan pangan mantap yang efektif memungkinkan distribusi yang luas sehingga dapat memenuhi kebutuhan penduduk dimanapun mereka berada. Faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang cukup berat terhadap produk yang dikemas dalam penyimpanan dan distribusi, juga pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan. Proses Pengolahan Aseptis (aseptic processing) merupakan salah satu inovasi besar yang telah memberikan sumbangan nyata bagi kemajuan teknologi dan industri pangan. Pada tahun 1991, asosiasi ahli teknologi panagan di USA (Institute of Food Technologists, IFT) mengumumkan 10 besar inovasi di bidang teknologi pangan di dunia, dimana proses pengolahan aseptis menduduki peringkat pertama. Tidak hanya itu, pada tahun 2007, Dr. Philip E. Nelson dari Purdue University, USA mendapatkan pengakuan internasional dan menerima Penghargaan Pangan Dunia (The World Food Price) atas pekerjaan penelitiannya yang melahirkan aplikasi pengolahan aseptis ini di dunia industri, khususnya untuk bulk aseptic processing yang telah memungkinkan pengiriman buah-buahan dan produk olahan segarnya dalam skala besar secara global. FAKTOR KRITIS PADA PROSES ASEPTIS
A. Usaha Menjaga Mutu Makanan
Kehilangan mutu dan kerusakan pangan disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1). pertumbuhan mikroba yang menggunakan pangan sebagai substrat untuk memproduksi toksin didalam pangan; 2). katabolisme dan pelayuan (senescence) yaitu proses pemecahan dan pematangan yang dikatalisis enzim indigenus; 3). reaksi kimia antar komponen pangan dan/atau bahan-bahan lainnya dalam lingkungan penyimpanan; 4). kerusakan fisik oleh faktor lingkungan (kondisi proses maupun penyimpanan) dan 5). Kontaminasi serangga, parasit dan tikus. Agar dapat berjalan, setiap reaksi kimiawi dan enzimatis membutuhkan kondisi lingkungan yang optimum (misalnya suhu, pH, konsentrasi garam, ketersediaan air, kofaktor dan faktor lainnya). Sebagai contoh, mikroorganisme memerlukan semua kondisi yang optimum untuk berlangsungnya reaksi kimiawi dan enzimatis, dan juga membutuhkan karbon, sumber nitrogen, beragam mineral, dan ada atau tidak ada oksigen (aerobik/anaero-bik), beberapa vitamin dan sebagainya. Sehingga untuk mengontrol kerusakan kita harus membuat kondisi yang dapat menghambat terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki. Secara umum, penyebab utama kerusakan produk susu, daging dan unggas adalah mikroorganisme sementara penyebab utama kerusakan buah dan sayur pada tahap awal adalah proses pelayuan (senescence) dan pengeringan (desiccation) yang kemudian diikuti oleh aktivitas mikroorganisme. Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu: 1). Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial; 2). Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan; dan 3). Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama. Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial dapat dilakukan dengan cara: a). mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis); b). mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi; c). menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia; d). membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi. Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan dapat dilakukan dengan cara destruksi atau inaktivasi enzim pangan, misalnya dengan proses blansir dan atau dengan memperlambat reaksi kimia, misalnya mencegah reaksi oksidasi dengan penambahan anti oksidan. Pengolahan (pengawetan) dilakukan untuk memperpanjang umur simpan (lamanya suatu produk dapat disimpan tanpa mengalami kerusakan) produk pangan. Proses pengolahan apa yang akan dilakukan, tergantung pada berapa lama umur simpan produk yang diinginkan, dan berapa banyak perubahan mutu produk yang dapat diterima. Berdasarkan target waktu pengawetan, maka pengawetan dapat bersifat jangka pendek atau bersifat jangka panjang. Pengawetan jangka pendek dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya penanganan aseptis, penggunaan suhu rendah (<20°C), pengeluaran sebagian air bahan, perlakuan panas ‘ringan’, mengurangi keberadaan udara, penggunaan pengawet dalam konsentrasi rendah, fermentasi, radiasi dan kombinasinya. Makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang penanganan Aseptis. B. Pengertian Proses Aseptis 1. Proses Sterilisasi Proses Sterilisasi adalah proses pengolahan yang bertujuan untuk menginaktifasi semua mikroba. 2. Proses Aseptis Proses Pengolahan Aseptis adalah kombinasi proses untuk sterilisasi, dimana produk (bisa obat atau pangan) yang sudah steril dikemas dalam kemasan yang steril sehingga dihasilkan produk akhir yang steril. Pada umumnya proses aseptis ini banyak diaplikasikan untuk pengolahan dan pengawetan produk pangan cair (seperti sari buah, telur cair, santan dan susu), produk pangan cair yang mengandung partikulat (bubur kacang hijau dan sup), dan produk pangan semi padat. Secara skematis, perbedaan pengolahan metode konvensional dengan pengolahan aseptis seperti terlihat pada gambar berikut : C. Komponen Proses Pengolahan Aseptis 1. Proses Sterilisasi Produk Salah satu keuntungan dari proses pengolahan aseptis adalah bisa dilakukannya sterilisasi secara terpisah, antara sterilisasi produk dengan sterilisasi kemasan. Hal ini memungkinkan dilakukannya sterilisasi secar berkesinambungan (continuous) dengan mengunakan alat penukar panas atau bahkan dengan pemanasan langsung, sehingga pemanasan dapat dilakukan dengan suhu yang sangat tinggi dan waktu yang sangat singkat. Pemanasan yang demikian sering disebut sebagai pemanasan ultra-high temperature atau beberapa literatur juga menyebutkan sebagai ultra-heat treatment yang dua- duanya sering disingkat sebagai UHT. Umumnya, UHT adalah proses pemanasan pada suhu tinggi (>135oC- 150oC) tetapi pada waktu hanya sekitar 2-15 detik. Pemanasan demikian, mampu membunuh spora bakteri tahan panas sehingga tercapai kondisi sterilitas produk yang diinginkan dan sekaligus mampu meminimalkan tingkat kerusakan mutu (tekstur, warna, citarasa, flavour) dan zat gizi. Produk pangan yang populer diproduksi dengan teknik UHT antara lain adalah susu, sari buah, teh, sup dan produk pangan cair lainnya. Beberapa keuntungan yang bisa diproleh dengan sistem pemanasan terpisah ini, antara lain adalah a. proses dapat berjalan dengan berkesinambungan (continuous) b. proses pemanasan dan pendinganan yang cepat, karena bahan kemasan tidak men jadi penghalang c. beberapa skema konversi energi dapat diaplikasikan pada sistem ini dan sekaligus d. meningkatkan jumlah pilihan bahan dan sistem pengemasan. Pengendalian Aliran Hal terpenting dalam aplikasi sistem pengolahan secara aseptis ini adalah pengendalian aliran energi panas. Secara umum, aliran panas pada proses sterilisasi secara berkesinambungan seperti pada gambar berikut : Proses pemanasan terjadi dalam alat penukar panas atau HE (heat exchanger) dan kemudian dipertahankan konstan pada HT (holding tube) dan setelah itu didingankan kembali.Karena proses ini berjalan secara berkesinambungan, maka kecepatan dan profil laju aliran dalam HT perlu diperhitungkan dalam penentuan kecukupan panas. Sebagai ilustrasi, cairan yang bersifat Newtonian dan dialirkan seraca laminar, dengan bilangan Reynold (Re) < 2100, maka akan diperoleh titik tengah sebagai the fastest moving particle, titik yang paling sedikit menerima panas, dimana kecepatannya(Vmax) sama dengan 2 kali kecepatan rata-rata (ṽ). Dalam kondisi laminar ini, karena masing- masing posisi di dalam HT mempunyai laju aliran yang berbeda, maka masing- masing bahan pangan dalam posisi tersebut juga akan memperoleh jumlah perlakuan panas yang berbeda pula. Itu sebabnya, untuk memperoleh homogenitas pemanasan yang lebih baik, maka fluida biasanya dialirkan secara turbulen dengan Re > 4000, untuk memberikan profil laju aliran yang lebih seragam yang berarti pemanasan yang lebih seragam pula. Pengendalian laju aliran juga sangat penting kaitannya dengan penentuan waktu tinggal minimum produk pangan di alar penukar panas, Semakin tinggi laju alirannya, maka akan semakin pendek waktu tinggalnya. Mengacu pada kasus aliran laminar, dimana titik paling cepat mempunyai kecepatan 2V, maka titik tercepat itu hanya akan berada di HT selama(1/2ṽ). Jika suhu pada HT adalah T ho, mak jumlah panas yang diterima oleh pertikel tersebut dapat dinyatakan dengan nilai F sebagai berikut : Tho −Z250 Tho −Z250 L F = 10 t min = 10 2V Keterangan : Tho : suhu pada HT (diukur pada bagian outlet dan hulu dari HT) L : panjang HT ṽ : kecepatan rata-rata. Terlihat bahwa nilai F suatu proses pemanasan (sterilisasi) sangat dipengaruhi oleh aliran bahan pangan dalam HT, terutama profil dan kecepatan aliran merupakan hal kritis yang perlu dikendalikan dalam proses sterilisasi. Berdasrkan pada itu berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka pengendalian aliran untuk menjmin kecukupan dan konsisitensi proses sterilisasi : − Pompa hendaknya dipasang di bagian hulu dari sistem pemanasan − Pompa yang digunakan adalah positive displacement pump, pompa ini tidak sensitihf terhadap perubahan tekanan − Untuk memberikan kepastian bahwa pertikel yang bergerak paling cepat menerima panas yang ditargetkan, maka perlu dilakukan perhitungan kecukupan panas − Untuk memberikan kepastian bahwa lama pemanasan tidak berubah, maka bisa digunakan pompa dengan laju yang tetap. Jika digunakan pompa dengan variabel speed, perlu dipastikan bahwa perubahan kecepatan hanya bisa dilakukan oleh authorized personel yang sudah ditunjukkan dan diberikan training memadai. Holding Tube (HT) Holding tebu merupakan jantung dari keseluruhan proses pemanasan untuk menjamin tercapainya sterilitas yang diiginkan. Karena itu, selain pengendalian kecepatan pompa, perlu dilakukan pamastian bahwa suhu proses yang diinginkan telah tercapai, dan bisa di pertahankan dengan baik selama proses, sehingga kombinasi perlakuan suhu (T) dan waktu (t) bisa menjamin tercapainya sterilitas yang ditargetkan. Beberapa hal tentang holding tube yang perlu diperhatikan adalah: − Posisi HT harus dibuat miring dengan kemiringan cukup, sehingga menghindari terbentuknya kantong udara pada produk dan untuk memastikan terjadinya self draining − HT di buat dari bahan dan desain dengan standar dan prinsip- prinsip sanitary design (permukaan halus, komponen mudah diurai dan dirakit kembali, mempunyai fail save system, terutama berkaitan dengan perubahan panjang atau diameter) − HT dikonstruksi pada area yang kering dan tiodak lembab, sehingga tida memungkinkan terjadinya kondensasi yang akan meepengaruhi suhu (Tho) − Tekanan di dalam HT perlu dipertahankan tinggi, jauh lebih tinggi daripada tekanan uap air pada Tho. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya proses mendidih atau flashing yang bisa mempengaruhi suhu (Tho) − Suhu HT (Tho) perlu dicatat dan dikendalikan baik pada inlet ataupun outlet, tetapi pengukuran suhu (Tho) dilakukan pada outlet HT. 2. Proses Sterilisasi Kemasan Unsur kritis kedua dalam menjamin proses pengolahan aseptis yang berhasil adalah proses sterilisasi kemasan. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk bisa melakukan proses srerilisasi kemasan secara kering. Salah satu yang populer dan terbukti efektif adalah sterilisasi menggunakan H2O2 (hidrogen peroksida). 3. Sterilisasi Zona Aseptis Kondisi zona aseptis yaitu area atau ruangan steril dimana proses pengisian produk ke dalam kemasan steril akan dilakukan. Zona jelas akan mempengaruhi keberhasilan proses sterilisasi secara keseluruhan. Pada dasarnya keseluruhan area atau zona aseptis perlu disterilkan dengan menggunakan sterilen yang aman dan efektif. Sterilen yang sering digunakan adalah uap panas dan atau H2O2 (hidrogen peroksida) yang disemprotkan secar homogen ke seluruh permukaan zona aseptis. Sering sterilen H2O2 (hidrogen peroksida) juga dibantu dengan uap panas, untuk memastikan tingkat sterilitas yang diinginkan. Hal penting lain kaitanya dengan zona aseptis ini adalah bahwa kondisi steril ini harus dipastikan terpelihara dengan baik selama proses berlangsung. GLOSSARY : Aseptis : kondisi yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi Bilangan Reynolds : rasio antara gaya inersia (vsρ) terhadap gaya viskos (μ/L) yang mengkuantifikasikan hubungan kedua gaya tersebut dengan suatu kondisi aliran tertentu. Bilangan ini digunakan untuk mengidentikasikan jenis aliran yang berbeda, misalnya laminar dan turbulen. Namanya diambil dari Osborne Reynolds (1842–1912) yang mengusulkannya pada tahun 1883. Sterilisasi : proses pengolahan yang bertujuan untuk menginaktifasi semua mikroba Steril : kondisis dimana semua sel hidup sudah diinaktifkan Steliser : alat atau set peralatan yang digunakan untuk melakukan proses sterilisasi. Contoh steriliser adalah autoklaf, pemasak hidrostatis, atau sistem pengolahan aseptis Steril Komersial : suatu kondisi dari produk pangan yang terbebas dari mikroba yang mampu tumbuh dan atau mikroba yang bisa menyebabkan kerusakan, sehingga produk tersebut bisa aman, awet disimpan pada kondisi penyimpanan tanpa refrigerasi. Steril omersial bukanlah kondisi steril sempurna DAFTAR PUSTAKA
Anonima. Kehilangan Mutu dan Kehilangan Pangan.
http//harnawatiaj.wordpress.com. Di akses tanggal 1 Juni 2009.
_______b. Teknik aseptis. http://blogkita.info/my-kampuz/my-
kuliah/mikrobiologi. Di akses tanggal 1 Juni 2009.
Haryadi, Purwiyatno. 2009. Faktor Kritins Pada Proses Aseptis. Food Review. Vol IV(2). Februari.