Professional Documents
Culture Documents
1537-Article Text-3225-2-10-20150914
1537-Article Text-3225-2-10-20150914
The agrarian problems in Indonesia have revealed the various gaps of resources occupation
which has received inadequate atttention by the regimes throughout the time. The anaysis of
agrarian reform history in Indonesia has expounded the sistemic state suppression toward the
public. The characteristics and patterns of the existing agrarian policy have illustrated the
resonance of many ideological struggles happening at the macro praxis level of development. The
public struggle, manifested in various communal property right is fronted by the state who is
highly productive in making hegemonic public policies in the social setting arena. The horizon of
this struggle is characterized by a tug and war between the state center approch views and the
society center approach views with some stream variants. Analysis has shown the different
articulation values between the Old Order and new Order regimes. In the light of class analytic
approach, the Old Order regime put more emphasis on a more populous agrarian policies based
on neo-Marxist views. The New Order dominantly implement agrarian policies which are based
on state center perspectives with the choice of state interest approach, strengtened by policies
which take the side of liberal capitalist with growing systemic repression level. The Reform regime
uses advocacy coalition framework approach for agrarian policy. The most important hypotetical
implication of this analysis is if the state functions are not capable in becoming the articulator of
public policy, the public itself will pursue collective policy which is known as land-reform by
leverage.
Kata kunci : state center approach, society center approach, land reform by leverage, agrarian
reform, advocacy coalition
Persoalan agraria di Indonesia merupakan agenda kebijakan publik yang tua dari aspek
usia tetapi tetap aktual. Dalam konstalasi kebijakan publik kesenjangan pertumbuhan ekonomi
antara sektor pertanian dan sektor industri merupakan persoalan struktural yang berkepanjangan.
Sejak rejim Orde Baru berkuasa, nasib sektor pertanian dapat dikatakan tertinggal jauh. Program
revolusi hijau yang diawali sejak tahun 1968 melalui modernisasi sektor pertanian memang
mampu membawa perbaikan agregat makro pertumbuhan sektor ini. Dicapainya swasembada
beras nasional sejak tahun 1984 hingga akhir tahun 1990 adalah merupakan prestasi besar yang
juga diakui oleh FAO. Namun demikian prestasi ini juga belum mampu memberikan gambaran
yang adil dan menggembirakan dalam aspek distribusi risorsis tanah. Sensus pertanian tahun
1993 memperlihatkan data bahwa dari 69% luas tanah pertanian ternyata hanya 14% area saja
yang dikuasai oleh rumah tangga perdesaan, sementara di kutub lain 43% rumah tangga
1
Dosen Tetap di Jurusan Ilmu Administrasi Publik, FISIPOL, Universitas Merdeka Malang. E-mail:
syukardi@yahoo.com.
2
Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, 1998, Petani dan Konflik Agraria, Akatiga, Bandung hal ix
3
Istilah agrarian reform dan land reform berbeda. Noer Fauzi memberikan batasan, pembaharuan agraria (agrarian
reform) sebagai usaha untuk melakukan pembaharuan dalam berbagai aspek yang menyangkut pola distribusi dan
pengendalian aset agraris. Konsep ini secara sempit acapkali dirujukkan dengan land reform yang berasal dari
bahasa Ingris yang bermakna, pembaharuan dalam bidang pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah. Lihat
uraiaian di dalam Noer Fauzi, 1999, Tanah dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Insist
Press - KPA, hal. vii.
4
Lihat, Dianto Bachriadi, 1997, Pembangunan Konflik pertanian dan Perlawanan Petani, dalam , Noer Fauzi
(Peny), Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 91.
5
Malcolm L. Goggin, et. All, 1990, Implementation Theory and Practice: toward a Third Generation, Scott,
Foresman/Little Brown Higher Education, glenview Illinois hal. 189-194.
6
Emilio Biagini, 1993, Spatial Dimension of Conflict, dalam GeoJournal, Vol. 31(2), October, Kluwer Academic
Publishers, p. 119. Menurut kesimpulan penulis ini berbagai analisis konflik yang dilakukan oleh Caillard (1963),
Foisil (1970), Garlan dan Nieres (1975), Harding(1978), Jaquart (1960, Joutard (1976), Tocqueville (1989)
memperkuat kesimpulan, bahwa “...conflict both internal (between elite and counter elite within a given social and
spatial system) and external (ie between two or more spatial and social system, each led by its own elite) is basically
a struggle for the control of space...”
Sumber : , Komnas HAM, Laporan Tahunan 1996, dikutip kembali oleh Pratikno
dan Cornelis Lay, hal 9 8.
Besarnya eskalasi kasus agraria yang terjadi di Indonesia ini di beberapa daerah juga mulai
mencuat. Di Jawa Timur misalnya, konflik agraria ini telah meruncing sebelum tumbangnya
Orde Baru. Sebut raja misalnya kasus waduk Nipah di Sampang, Madura, kemudian kasus
perebutan tanah antara angkatan Laut dengan petani di Raci, Pasuruan. Kasus sengketa tanah
antara petani dengan perkebunan di Doko, Blitar. Kasus reclaiming tanah perkebunan PTPN XII
7
Adnan Buyung Nasution, 1994, Defending Human Rights In Indonesia, dalam Journal of Democracy Vol. 5 No. 3
July p. 123.
8
Pratikno dan Cornelis Lay, 1999, Komnas Ham dan Ham di bawah Rejim Otoriterian, dalam Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Vol. 2 Nomor 3 Maret 1999, hal. 9.
9
Identifikasi dari berbagai kasus sengketa agraria di Jawa Timur ini dapat ditemukan dalam surat Petisi Paguyuban
Petani Jawa Timur (PAPANJATI) yang dikirim kepada DPRD Dati I Jawa Timur 3 September 1999, hal. 2. Petisi
PAPANJATI lain tertanggal 8 Juli 2000 yang dikirim kepada Presiden Abdurrahman Wahid, juga menyebutkan
bahwa hingga kini di Jawa Timur setidaknya terdapat 19 kasus sengketa tanah antara petani melawan BUMN
(PTPN) dan 22 kasus lain berhadapan antara petani melawan Perkebunan Swasta. Total luas tanah yang
disengketakan 23.531,731 ha.
10
Christopher Ham and Michael Hill, 1993, The Policy Process in the Modern Capitalist State, Harvester -
Heatsheaf, New York, p. 98.
11
Ibid. hal 99.
12
Mubyarto dkk, 1995, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan : Kajian Sosial Ekonomi, Adiya Media-Pusat
Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM, Yogyakarta, hal. 195-200.
13
Gunawan Wiradi, 2000, Reoforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir, Insist Press-KPA, Yogyakarta, hal.
14
Ibid. hal 134-135, yang menjelaskan secara detail, bahwa perjalanan menuju UUPA No. 5 tahun 1960 sebenarnya
ditujukan untuk melakukan penataan dan redistribusi dari resorsis agraria yang dianggap sebagai syarat utama
membangun industrialisasi sebagaimana dilakukan di India, China.
15
Ibid. hal 119.
16
Merilee S. Grindle and John W. Thomas, 1991, Public Choices and Policy Change: The Political Economy of
reform in Developing Countris, The John Hopkins University Press, Baltimore
17
Noer Fauzi, 2000, Budaya Menyangkal: Konsep dan Praktek Politik Hukum Agraria yang Menyangkal Kenyataan
Hak-Hak Masyarakat, dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif WACANA, Edisi 6 tahun II 2000, Insist Press, Hal.
106 dan 108-109. Realitas tentang lahirnya beberapa konsep HGU (Hak Guna Usaba, Hak Guna Bangunan dan
konsepsi Pembebasan Tanah adalah idiom-idiom kebijakan agraria Orde Baru yang sarat dengan kepentingan untuk
memberikan proteksi kepentingan kapitalis. Lihat selanjutnya di dalam Noer Fauzi, 1997, Anatomi Politik Agraria
Orde Baru, dalam Noer Fauzi (peny), 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta hal. 120-121.
18
Ibid hal. 166-167.
19
Ibid hal. 121
20
Sediono MP. Tjondronegoro, 1999, Sosiologi Agraria : Kumpulan Tulisan Terpilih, Akatiga, Bandung, hal. 14.
21
Sediono MP. Tjondronegoro, 2000, Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih, Akatiga Bandung, hal. 9.
Lebih lanjut dikemukanan “... Kemudian timbul pendapat di kalangan pemerintah maupun masyarakat bahwa
UUPA 1960 merupakan basil usaha PKI. Sukar bagi kita untuk menarik kesimpulan itu karena UUPA 1960 adalah
basil persetujuan Parlemen, yang divadalmnya PKI hanya salah satu pendukung dari kebijaksanaan Demokrasi
Terpimpin. Partai Nasional Indonesia (PNI), Nandatul Ulama (NU) dan sejumlah partai-partai kecil juga turut
menyetujui UUPA 1960. Barangkali PKI memeng lebih berhasil mengambil hati rakyat pedesaan dengan
memperjuangkan landreform untuk petani-petani yang lapar tanah dan buruh tani..” (huruf italic dan cetak tebal
dari penulis).
22
Noer Fauzi, 1997, Anatomi Politik Agraria Orde Baru, dalam Noer Fauzi (peny), 1997, Tanah dan
Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Di halaman 119 dikutip analisis Mochtar Mas‟oed yang
menyatakan “ ...lagi pula Angkatan Darat sendiri menganggap program landreform yang disponsori golongan kiri
selama awal 1960-an itu mengancam pengendaliannya atas beberapa perkebunan milik negara. Dan akhirnya,
sekalipun misalnya pimpinan Angkatan Darat berhasil menerapkan strategi radikal itu mereka tidak bisa berharap
bahwa strategi itu akan dapat memberikan hasil dengan cepat..”. (italic dari penulis)
23
Noer Fauzi, 2000, Budaya Menyangkal: Konsep dan Praktek Politik Hukum Agraria yang Menyangkal Kenyataan
Hak-Hak Masyarakat, dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif WACANA, Edisi 6 tahun II 2000, Insist Press, Hal.
106.
24
Ibid. hal 109, dinyatakan pasal 3 UUPA/ 1960 “...dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2,
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi...”
25
Noer Fauzi, 1997, Anatomi Politik Agraria Orde Baru, dalam Noer Fauzi (peny), 1997, Tanah dan Pembangunan,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta hal 119.
26
Christopher Ham dan Michael Hill, 1993, The Policy Process in the Modern Capitalist State, Harvester-
Whearsheaf, New York. Middlemas dan Schmitter pada buku ini di halaman 3944 menyatakan bahwa peran negara
yang demikian ini adalah sebagai realitas dan bagian dari proses akumulasi kapital (hal. 39), dalam konteks ini
negara perannya sangat dominan.
27
Ahmad Sodiki, 1996, Konflik Pemilikan Hak Atas Tanah Perkebunan, dalam Prisma No. 9 September 1996 hal 3-
17.
28
Gunawan Wiradi, Op. Cit, hal. 148.
29
Bisa disimak dari kebijakan pemerintah dalam pembebasan tanah dalam proses pembangunan waduk
Kedungombo, penyelesaian sengketa tanah adat di berbagai kawasan pedalaman Irian Jaya. Kasus pembebasan
tanah Tapos, Jawa Barat, kasus pembebasan tanah Cimacan, Badega yang kemudian disulap menjadi padang golf.
Penembakan terhadap empat petani di Nipah, sampang Madura
30
Fenomena reclaiming tanah ini dalam sejarah gerakan petani bukanlah modus pemberontakan yang baru.
Proses pemberontakan ini juga pernah terjadi di Scotlandia sekitar tahun 1976 setelah selama 200 tahun lebih
tanah itu dikuasai oleh Ingris. Studi tentang reclaiming tanah ini dapat dibaca dari analisis yang dilakukan oleh
Alastair McIntosh, Andy Wightman dan Daniel Morgan, 1994, Reclaiming the Scottish Highlands: Clearance,
Conflict and Crofting, dalam The Ecologist Vol. 24 No. 2 March/ April, hal . 6470.
31
Kompas, Rabu, 23 agustus 2000 hal. 19. Berita berjudul “Direkomendasi Petani Cimacan Peroleh Tanahnya
Lagi”. Dijelaskan bahwa setelah 13 tahun petani berjuang dengan berbagai usaha akhirnya BPN membatalkan hak
pakai PT. Bandung Asri Mulia yang semula memperoleh hak pakai selama 30 tahun. Tanah seluas 33.4 ha itu kini
dikuasai kembali oleh 287 kepala keluarga.
32
Edella Schlager dan William Blomquist, 1995, A Comparation of Three Emerging Theories of the Policy Process,
dalam Political Research Quarterly, Vol. 49, No. 3 (September) hal. 656-658.
33
John W. Thomas and Merilee S. Grindle, 1990, After the Decision : Implementing Policy Reforms in Developing
Countries dalam World Development, Vol. 18 No. 8, Pergamon Press, Great Britain, pp. 1166. Ditandaskan bahwa
“.. the central element in the model is that a policy reform initiative may be altered or reversed at any stage in its life
cycle by the presures and reactions of those who oppose it. Unlike the linear model, the interactive model views
policy reform a process, one in which interested parties can exert pressure for change at many points...” (kutipan
italic dari penulis)
34
Fukuyama, Francis, 1999, The Great Disruption : Human nature and The Reconstitution of Social Order, The
Free Press, New York hal 168-170. Resiprositas adalah salah satu kapital sosial terpenting dalam interaksi sosial.
Ditelaah dari dinamika pendekatan, pada tiap periode rejim terjadi orientasi pendekatan
yang berbeda-beda. Demikian pula aktor-aktornya juga berbeda-beda. Kalau pada periode
kolonialisme, aktor yang berperan dalam proses perumusan kebijakan adalah Parlemen Belanda
kemudian didelegasikan kepada Gubernur Jenderal dan kemudian diimplementasikan oleh
menteri jajahan dan selanjutnya dilakukan oleh birokrat kolonial dengan menyertakan birokrasi
lokal dan daerah jajahan. Pada rejim orde lama, berbagai kebijakan agraria sebenarnya dihasilkan
oleh pergulatan kepentingan dan arus kuat partai politik di bawah demokrasi terpimpin Bung
Karno. Sedangkan pada rejim Orde Baru lebih banyak dihasilkan oleh interaksi antar birokrat
atau negara, kapitalis dan militer. Pada rejim reformasi ini nampaknya proses kebijakan agraria
Biagini, Emilio. 1993. “Spatial Dimention of Conflict”. dalam GeoJournal 31(2): 119 — 128.
England: Kluwer Academic Publishers.
Bobrow, Davis B. and John S. Dryzek. 1987. Policy Analysis by Design. Pittsburg: University of
Pittsburgh Press.
Dowding, Keit., 1995. “Model or Metaphor? A Critical Review of the Policy Network
Approach”. dalam Political Studies XLIII: 136 — 158. Oxforf: Blackwell Publishers.
Fauzi, Noer. (ed). 1997. Tanah dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Fauzi, Noer. 2000. “Budaya Menyangkal : Konsep dan Praktek Politik Hukum Agraria yang
Menyangkal Kenyataan Hak-Hak Masyarakat Adat”. dalam Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif Wacana : Gerakan Hukum Kritis 6 (2): 102-114.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.
Yogyakarta: Insist Press-KPA.
Finkelstein, Neal D. (eds). 2000. Transparency in Public Policy : Great Britain and the United
States. London: Macmillan Press.
Fukuyama, Francis. 1995. Trust : The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York:
The Free Press.
Fukuyama, Francis. 1999. “Social Capital and Civil Society”. Presented at the IMF Conference
on Second Generation Reform, The Institute of Public Policy George Mason University,
USA.
Fukuyama, Francis. 1999. The Great Disruption : Human nature and The Reconstitution of
Social Order. New York: The Free Press.
Goggin, Malcolm L. et. Al. 1991. Implementation Theory and Practice : Toward a Third
Generation. Glenview Illinois: Scott, Foresman/Little. Brown Higher Education.
Grindle, Merilee S. 1991. Public Choices and Policy Change : The Political Economy of Reform
in Developing Countries. Baltimore: The John Hopkins University Press.
Ham, Christopher. and Michael Hill. 1993. The Policy Process in the Modern Capitalist State.
Harvester Wheatseaf.
Hansen, Jen Blom. 1997. “A „New Institutional‟ Perspective On Policy Network”. dalam Public
Administration Vol. 75: 669-693. UK: Blackwell Publishers Ltd.