You are on page 1of 298
HTL a Te dan Filsafat HSI Prof. Dr. IZomiddin, M.A. PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM Edisi Pertama Copyright © 2018 ‘aan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KOT) ISBN 978.602.422.282.6 15x 23cm x, 362 him Cetakan ke-1, Mei 2018 Kencana, 2018.0927 Penulis Prot. Dr. Izomiddin, M.A. Desain Samput Suwito Penata Letak Ria Penerbit PRENADAMEDIA GROUP (Divisi Kencana) Ji. Tambra Raya No. 23 Rawemangun - Jakarta 13220 Telp: (021) 478:64657 Faks: (O21) 475-4134 ‘e-mail: pmg@prenadamedia.com ‘ww prenadamedia.com INDONESIA Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotckopi, tanpa izin sah dari penerbit. PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM BAB5 PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM 61 BAB6 HAKIKAT HUKUM ISLAM 71 BAB7 TUJUAN HUKUM ISLAM 79 BAB8 DINAMISASI HUKUM ISLAM 95 BAB9 PEMBARUAN HUKUM ISLAM 99 BAB 10 HAKIKAT KEDUDUKAN WANITA DAN POLIGAMI lll BAB 11 HAKIKAT HAK KAUM MINORITAS DAN MAYORITAS 127 BAB 12 HAKIKAT KONSTITUSIONALISME 157 A. Kedudukan Konstitusi .. B. Problema Kedaulatan. C. Hukum dan Hak Warga Negara... D. Persoalan Diskriminasi di Depan Hukum BAB 13 HAKIKAT HUKUM PIDANA ISLAM A. Persoalan Administrasi Hukum .. B. Identifikasi, Definisi, dan Ruang Lingkup Hudud C. Rasionalisasi Keagamaan Hudud dalam Standar Hukum Internasional D. Persoalan Diskriminasi di Depan Hukum. BAB 14 DESAKRALISASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Desakralisasi Hukum Islam... B. Kategorisasi Hukum Islam Berdasarkan Posisi Ajarai BAB 15 DEKONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI HUKUM ISLAM 341 DAFTAR PUSTAKA 353 RIWAYAT PENULIS 361 1 Ke Arah Pengertian Istilah-Istilah A. Arti Pemikiran Pemikiran adalah sebuah istilah yang bergantung pada pandangan (proses kegiatan mental maupun hasilnya) seseorang berkenaan dengan metafisika, universalitas, dan epistemologi dengan menggunakan suatu dialog batin yang menggunakan ide-ide abstrak yang sama sekali tidak fiktif, yang memiliki realitas sendiri untuk melahirkan ide-ide umum, yang mungkin saja bercorak epifenomenalisme (penampakan sisi luar) (Bagus, 2002: 210, 793-794). Lazimnya, apabila sesuatu telah diteorikan (konsep), pemikiran adalah elaborasi terhadap sebuah teori (konsep) atas dasar tuntutan fenomena-fenomena, konteks, atau realitas. Pe- mikiran adalah sebagai genus, sedangkan filsafat dan intelektualisme adalah sebagai species. Dalam sejarah pemikiran dipahami, bahwa pe- mikiran menunjukkan keterpelajaran seseorang, orang-orangnya bisa dikelompokkan dengan sebutan sarjana, intelektual, dan filsuf. Khu- sus filsuf lebih dipandang sebagai pemikir yang dipandang mampu mengekspresikan pemikiran yang telah sampai ke tingkat kejeniusan seseorang, karena filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum terpelajar. Kebenaran yang dicapai oleh filsuf berbeda dengan kebenaran yang dicapai orang awam karena cara atau metode pema- haman yang dipakai oleh kedua kelompok tersebut berbeda. Sementara pemikir atau tokoh-tokoh terpelajar yang lebih berafiliasi kepada massa disebut kaum intelektual. PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM B. Arti Filsafat Dalam Kamus Filsafat yang disusun oleh Lorens Bagus, kata filsa- fat berasal dari kata philosphia yang terdiri dari dua suku kata: philos = “cinta atau philia = persahabatan, tertarik kepada, dan kata sopho. kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inte- legensi. Para filsuf telah memberikan banyak arti dalam menggunakan kata filsafat. Ada beberapa pengertian mendasar terhadap filsafat: 1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh objek yang dapat ditangkap oleh pancaindra, apa yang disebut realitas. 2. Penggalian dasar persoalan guna dapat melukiskan hakikat (kebe- naran yang paling mendasar dan nyata). 3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan suatu penge- tahuan; sumbernya, tujuannya, atau hikmahnya. 4, Perenungan kritis terhadap pernyataan pengetahuan. 5. Merupakan cara keilmuan untuk membantu manusia, melihat apa yang dikatakan dan mengatakan apa yang dilihat. Menurut Yuyun $, Suriasumantri, dalam bukunya Filsafat Ilmu, mengumpamakan yang berfilsafat sebagai seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia sedang memahami jati dirinya (hakikat) di tengah-tengah realitas. Karakteristik-karakteristik berpikir filsafat, menurutnya, adalah sifat mendasar, menyeluruh, dan. spekulatif. Dikatakan mendasar karena yang digali dalam suatu reali- tas adalah kebenaran yang paling mendasar, bukan hanya sebatas ke- benaran-kebenaran yang tampak dipermukaan dari suatu pernyataan. Orang yang berfilsafat tidak percaya begitu saja, bahwa ilmu itu benar, agama itu benar sebelum digali hal yang mendasar yang benar-be- nar dapat meyakinkan dirinya akan kebenaran sesuatu. Kerendahan hati yang dimiliki oleh seorang filsuf, seperti Sokrates, bukanlah ver- balisme yang sekadar basa-basi, melainkan benar-benar merupakan hasil pembongkaran (dekonstruksi) secara fundamental. Disebut sifat menyeluruh; bagi seorang filsuf atau seorang yang terbiasa berpikir filosofis tidak akan merasa puas jika ilmu atau pengetahuan hanya dari sudut pandang jenis ilmu atau pengetahuan itu sendiri, tetapi dia juga melihat hakikat dalam suatu ilmu tersebut dalam konstelasi pengeta- huan yang lainnya, dia ingin tahu keterkaitan suatu ilmu dengan mo- ral, atau akhlak dalam Islam, dia ingin yakin bahwa ilmu itu membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Filsafat disebut juga memiliki sifat spekulatif bertolak dari pemahaman, bahwa kebe- 2 ps4 BAB 1 > Ke Arah Pengertian Istilah-Istilah naran itu sendiri dapat dipertanyakan dengan berbagai pertanyaan, ibarat sebuah lingkaran, seperti, mengapa ilmu itu dapat disebut be- nar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria-kriteria dilaku- kan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Dan, lalu kebenaran itu sendiri apa? Untuk menyusuri sebuah lingkaran harus mulai dari satu titik yang awal dan sekaligus yang terakhir, lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar? Dalam hal ini kita hanya berspekulatif dalam menentukan titik awal yang sekaligus sebagai titik akhir tersebut. Dari uraian di atas dapat dipahami kata filsafat yang berarti “cin- ta akan kebijaksanaan” menunjukkan, bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala se- suatu yang dimaksudkan dengan “kebijaksanaan”, namun terus-me- nerus harus mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang menem- busi dasar-dasar yang paling mendasar dari segala sesuatu, dan filsafat juga berarti menggumuli seluruh realitas, eksistensi, dan tujuan manu- sia (Bagus, 2002: 242-243). Pengertian filsafat yang mengangkat mak- na kebijaksanaan sesungguhnya sejalan dengan pengertian “hikmah” dalam Islam. Fuad al-Ahwani, dikutip Hasbi ash-Shiddieqy, dan dikutip juga Fathurrahman Djamil (Djamil,1997: 4), menerangkan, bahwa ke- banyakan pengarang Arab menempatkan kata hikmah di tempat kata falsafah, dan menempatkan kata “hakim” di tempat kata filsuf atau se- baliknya. Ungkapan senada juga disampaikan oleh Mustofa Abdul Ra- ziq dalam kitabnya Tamhid li tarikh al-falsafah al-Islamiyah. Apabila para filsuf Muslim menggunakan kata hikmah sebagai pa- danan dari kata falsafah, fukaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum). Para mufasir juga menganggap kata hikmah sepadan dengan kata falsafah. Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar memberikan pengertian hikmah: “Hik- mah adalah pengetahuan yang benar, dan itu merupakan sifat yang ko- koh pada diri seseorang lagi menguasai iradat, dan mengharapkan ira- dat-iradat itu pada pekerjaan” (Djamil, 1997: 5). Hikmah juga dipahami pula sebagai “paham yang mendalam tentang agama” (Diamil, 1997: 3). Semua pemahaman tentang hikmah muncul dari orang-orang yang menggunakan akal pikirannya secaramendalam, ada beberapa hal yang merupakan unsur dalam persoalan penggalian hikmah, yaitu: (i) Masa- Jah; (ii) Pengetahuan kebenaran yang dalam; (iii) Rahasia-rahasia; (iv) Akal pikiran yang mendalam; (v) Keyakinan. Sebagai rangkuman dapat disebut bahwa hikmah adalah pengetahuan kebenaran yang mendalam yang sebelumnya merupakan rahasia dari suatu masalah yang berha- Es 3 PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM sil diangkat ke permukaan oleh akal-pikiran yang mendalam schingga menambah keyakinan akan kebenaran sesuatu. C. Pengertian Hukum Islam Dalam khazanah kajian hukum Islam terdapat banyak istilah. Se- tiap istilah mempunyai konsep tersendiri dan baku, dan istilah-istilah tersebut umumnya adalah produk masa lampau. Persoalan muncul ke- tika para pembaru hukum Islam menggunakan istilah lama yang sudah baku tersebut dengan pengertian yang tidak sama atau diperluas pema- hamannya. Dari beberapa pengertian yang ditulis dalam buku-buku, pengertian yang dapat dikemukakan pada pembahasan selanjutnya. 1. Syari’ah Istilah Syartah berasal dari bahasa Arab yaitu; syara’a, yasyra”'u, syaran, syartatan wa syiratan. Secara bahasa mempunyai arti, jalan menuju sumber air. Kata tersebut kemudian dikonotasikan oleh orang Arab dengan jalan lurus yang harus dituntut dan diikuti (AL-Afriqi, t.t : VII, 175) . Kata syar?ah dan asal munculnya digunakan lima kali dalam Al-Qur’an,' penggunaannya dalam Al-Qur’an diartikan sebagai jalan terang yang membawa kemenangan. Al-Qur’an, menggunakan perka- taan syaraa, syir'ah, dan syariah untuk menunjukkan makna akidah- tauhid, hukum-hukum dan perarturan, dan adab serta akhlak. Mah- mud Syaltut mengemukakan, bahwa Islam mempunyai dua landasan, yakni akidah dan syari@h.? Kedua dasar ini akan mengarahkan akal dan hati manusia guna mencapai tujuan beragama Islam, yakni akhlak, oleh karena itu, ketiga unsur dalam Islam ini, akidah, syari’ah, dan akhlak, merupakan substansi agama (Syaltut, 1980: 9). Tidak mengherankan ada sebagian ulama menganggap syari’ah ini sama dengan Agama (Umar, 2007: 37-38). Ibnu Taimiyah, misalnya, memahami syari’ah sebagai kitab Allah, Sunah Rasulullah, amal per- buatan, politik, hukum, dan masalah kenegaraan (Ibnu Taimiyah, 1398, 19: 306-307, dan 35: 395). Singkatnya, secara etimologi, syari’ah berarti jalan terang, menerangkan, menjelaskan, dan membuat peraturan. ' Lihat: QS. asy-Syuraa [26]: 13 dan 21, al-A’raaf (7]: 163, al-Maa'idah [5]: 48, al- Jaatsiyah [45]: 18. »Adapun menurut Mahmud Syaltut adalah seperangkat hukum-hukum Tuhan yang diberikan kepada umat manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Baca Mahmud Syaltut, Islam: “Aqidah wa Syari-ah, (Kaito: Dar al-Qa- lam, 1966), him. 12. 4 ps4 BAB 1 > Ke Arah Pengertian Istilah-Istilah Pengertian syari’ah secara khusus dipakai oleh ulama Ushul figh dan Fiqh dalam kaitannya dengan bentuk kata al-tasyri. Kata tasyri’ meru- pakan bentuk mashdar dari syarraa yang berarti menciptakan dan menetapkan syartah (Umar, 2007: 38). Dalam terminologi ini, syari’ah adalah suatu aturan Allah SWT dari hukum-hukum yang ditetapkan dengan argumentasi-argumentasi yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunnah serta cabang sumber hukum Islam seperti; ijma, qiyas, dan dalil-dalil yang lain (Qardawi, t.t.: 21). Menurut Muhammad Sa’id al-Ashmawi, pada awalnya istilah syari’ah digunakan dalam pengertian jalan Allah (the way of God), yang di dalam pengertian tersebut terca- kup juga aturan-aturan hukum yang diwahyukan dalam Al-Qur'an, lalu aturan-aturan yang termuat dalam Hadis, selanjutnya tafsir, pendapat- pendapat, ijtihad (personal opinion), fatwa ulama (religious opinion), dan keputusan-keputusan hakim (Kurzman, 1998: 50). Dalam definisi Jain, istilah syari’ah, menurut ulama ushul, adalah “titah (khithdab) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik beru- pa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat, atau penghalang). Jadi konteksnya adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (Khallaf, 1990: 96) Sejalan dengan pengertian ini, A. Fyzee menyebut syari’ah sebagai canon law of Islam, yakni keseluruhan perintah Allah SWT be- rupa nash-nash. Al-Na’im menyebutkan, bahwa Shari'a was in fact the product of a very slow, gradual, and spontaneous process of interpreta- tion of the Qur'an, and collection, verification, and interpretation of Sun- na during the first centuries of Islam (Al-Na’m, 1998: 33). Lebih lanjut Al-Na'im menyebutkan, bahwa Sharia was in fact the product of a very slow, gradual, and spontaneous process of interpretation of the Quran, and collection, verification and interpretation of Sunna during the first centuries of Islam (Al-Na’m, 1998: 33). Definisi-definisi di atas, baik dari segi etimologi maupun termino- logi, menggambarkan bahwa syari’ah adalah sebuah undang-undang ilahi yang diberikan kepada manusia untuk dijadikan sebagai jalan agar manusia berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan. Da- Jam hal ini syari’ah bersifat ihktiyéri, artinya manusia diberi kebebasan untuk memilih mana yang terbaik untuk kemaslahatan personal dan communal masyarakat. Inilah metodologi yang berjalan dalam konsep Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, pada hakikatnya, pembumian Syari’ah bersifat alamiyah yang tidak disertai dengan paksaan. Adapun ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan syari’ah sebagai hukum Allah antara lain adalah QS. al-Maaidah (5): 47, 48, dan 49. Ayat di atas, merupakan rambu-rambu hijau kepada manusia Es 5 PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM untuk selalu menaati peraturan ilahi. Dalam konteks inilah tercermin. kewajiban menerapkan. Menurut Rahman (2000: 141) sejak awal mu- lanya, tujuan praktis tertentu merupakan bagian dari konsep syariat, jalan yang ditetapkan oleh Tuhan di mana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk untuk merealisasi kehendak Tuhan. Ia adalah konsep praktis yang berhubungan dengan tingkah laku pribadi an sich. Teta- pi di sini menyangkut seluruh tingkah laku spiritual, mental, dan fisik. Dengan demikian, hal ini meliputi baik keyakinan maupun praktik, membenarkan dan meyakini adanya Tuhan adalah bagian dari syari’ah yang sudah diturunkan Allah SWT sejak Nabi Musa, Isa, dan sempurna pada risalah Nabi Muhammad SAW, berupa kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, dan sebagainya. Selanjutnya, segala transaksi hukum dan sosial serta semua tingkah laku pribadi harus didasarkan pada syariat sebagai prinsip keseluruhan cara hidup yang komprehensif yang meru- pakan realita kehidupan manusia dalam semua dimensi. Syariat dalam semua sendi kehidupan manusia, syariat yang dise- but dalam kata Syir’atan wa minhaja, dapat diartikan sebagai jalan hi- dup manusia, karena Syir’aian wa minhaja merupakan dua kata yang saling menguatkan (Ar-Razi, 1995, IV: 14). 2, Hukum Syara’ Menurut Effendi (2008: 36) secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti mencegah atau memutuskan. Menurut etimologi, ushul figh hukum berarti: “Khitab (alam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang muka- laf, baik berupa iqtidla (perintah, larangen, maupun anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melaku- kan), atau wad!'i (ketontuan yang menetapkan sesuatu sebagai se- bab, syarat atau mani’ (penghalang).” Kalam Allah adalah hukum baik langsung, seperti ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, atau secara tidak langsung, seperti Hadis-hadis hu- kum dalam Sunnah Rasulullah yang mengatur amal perbuatan manu- sia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena apa yang diucapkan Rasulullah di bidang fasyri’ tidak lain ada- lah petunjuk dari Allah juga karena Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu di bidang hukum kecuali berdasarkan wahyu.’ Dalil-dalil hu- Lihat Al-Qur'an, Surat an-Najm (93): 2-3. 6 ps4 BAB 1 > Ke Arah Pengertian Istilah-Istilah kum lainnya tidak sah dijadikan sebagai sandaran dasar hukum kecuali setelah diketahui adanya pengakuan dari wahyu. Oleh karena itu, ayat- ayat dan Hadis-hadis hukum itulah yang disebut hukum. Wahbah az-Zuhaili, dikutip oleh Effendi (2008: 36), memasukkan hukum sah, fasad/batal, azimah, dan rukhshah ke dalam kategori hu- kum wadli. 3. Al-Figh Al-Figh adalah ilmu yang secara khusus membahas hukum-hu- kum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia. Ibnu Subki, dikutip Effendi (2008: 4), mendefinisikan al-Fiqh sebagai pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu per satu dalilnya. Yang dimaksud dengan ilmu (penge- tahuan) di sini adalah pengetahuan yang hanya sampai pada tingkatan zhan (asumsi), hal ini disebabkan dalam definisi di atas terdapat kata al-muktasab yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikan hukum- nya dari nash, Al-Figh juga dapat dipahami sebagai pengetahuan ten- tang hak dan kewajiban seseorang yang diketahui dari Al-Qur'an dan Sunnah atau disimpulkan dari keduanya atau apa yang telah disepakati oleh para ahli hukum agama (A. Fyzee, 1981: 19-20). Dengan maksud yang sama secara substansial, Satria Effendi (wafat 2002 M) mengemu- kakan, bahwa syari’ah adalah al-nushush al-muqaddasah (nash-nash yang suci) dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah al-mutawatirah (Hadis- hadis mutawatir), sedangkan figh adalah pemahaman terhadap nash- nash tersebut (Effendi, 1990; 312) . 4, Hukum Islam Terlepas dari adanya perbedaan pengertian antara syari'ah dan fiqh, istilah “hukum Islam” yang merupakan terjemahan dari kata da- lam istilah bahasa Inggris, yaitu Islamic law, telah mencakup kedua pengertian tersebut (Djamil, 1997: 12). Al- Syathibi juga menggunakan istilah ahkdm al-Islam (hukum Islam) untuk dua pengertian tersebut (Al-Syathibi, t.t., 2:39). Menurut RS. Khare, syari’ah adalah proses pan- jang dari formulasi hukum untuk menjawab hubungan antara persoal- an spiritualitas (keagamaan) dan kemanusiaan (Khare.(ed.), 1999: 9). 5. Syari’ah Historis Dalam konteks pembaruan hukum Islam ada yang disebut dengan Es 7 PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM syari’ah historis. Istilah yang disebut terakhir ini merupakan sebutan terhadap hukum Islam produk abad ke tujuh hingga sembilan Masehi. Salah seorang pembaru yang memakai istilah syari’ah historis adalah al-Na’im, menurutnya, teknik-teknik penjabaran syari’ah dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamental- nya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, sosial, dan politik umat Islam. Hanya saja, menurut al-Na’im tak mungkin mem- bahas semua itu secara komprehensif dan menggambarkan secara tun- tas seluruh prosesnya dalam pemikirannya, namun sebuah kerangka singkat, mungkin dapat membantu memahami bagaimana syari’ah itu disusun (al-Na’im, 1998: 23-24). Argumen al-Na’im tentang alasannya menyebut syari’ah historis, adalah sejalan dengan masa pembentukan syari’ah (tdrikh al-tasyr7’). Tercatat oleh sejarah, bahwa tiga abad perta- ma Islam (abad VII hingga IX M) adalah periode pembentukan syari’ah. Sejak masa itu determinan sejarah utama dalam pembentukan syari’ah mencakup watak teritorial, geografis, dan konteks sosial-politik umat Islam (GS. Hodgson, 1974, bk. 1). Al-Na'im—dengan menyitir pendapat Taha—mengatakan: “the content of the Quran and Sunna reveals two level stages of the message of Islam, one of the erlier Mecca Period and the other of subsequent Medi- na Stage...the earlier message of mecca is in fact the eternal and funda- mental message of Islam, emphasizing the inherent of all human beings, regardless of gender, religious belief, race, and so forth’ (Al-Na’im, 1998:52). Dalam konteks pesan kedua ini, al-Na’im menyatakan, bahwa karena syari'ah merupakan hasil pemahaman tentang Islam yang dipengaruhi kondisi historis tertentu, maka pemahaman pemikir modernis, mung- kin dan bisa dibenarkan dalam perspektif Islam, sebagaimana halnya rumusan pemikir tradisional tentang syari’ah yang telah diterima dan diakui di masa lampau (Al-Na'im, 1998: 321). Oleh karena itu, ide-ide pembaruan al-Na’im tentang hukum publik dipandangnya sebagai konsep hukum publik alternatif, yang disebutnya “syari’ah modern.” D. Pengertian Pemikiran Pembaruan Hukum Islam Pemikiran pembaruan adalah hasil penalaran untuk mengganti- kan pemahaman lama terhadap hukum Islam (syari’ah) dengan pema- haman baru yang bertujuan agar menjadi relevan dengan peradaban modern yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tek- nologi. Pemahaman lama yang dimaksud di sini adalah pemahaman 8 ps4 BAB 1 > Ke Arah Pengertian Istilah-Istilah yang terdapat dalam hukum Islam historis, sedangkan pemahaman yang baru adalah hasil pemikiran para pembaru pemikiran hukum Is- Iam (syari’ah) yang dimulai abad ke-19 Masehi. E. Hukum Publik Syari’ah Hukum publik syari’ah yang dimaksud dalam uraian di sini adalah norma-norma, aturan-aturan, atau ketentuan-ketentuan yang dipe- domani dan berdampak pada kehidupan umum masyarakat Muslim yang terdapat dalam hukum Islam, mencakup hukum dagang, hu- kum perdata, hukum pidana, konstitusi, hukum internasional, hukum warisan, dan hukum keluarga (Al-Na’im, 1998: 1-6). Tidak ada perbe- daan mutlak antara hukum publik dan hukum privat karena, menurut al-Na’im, hukum privat dapat juga berimplikasi publik, seperti hukum keluarga dan hukum warisan (Al-Na’im, 1998: 1). F. Teleologi Hukum Islam Secara filosofis apa yang telah disyariatkan didalam hukum-hukum Islam tidaklah bertujuan untuk menjauhkan manusia dari hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan duniawi, semua aturan-aturan hukum. pada hakikatnya bermuara kepada terpeliharanya dan terwujudnya ke- seimbangan dalam hidup. Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber pokok hukum Islam menjadi pedoman, undang-undang ataupun petunjuk bagi manusia di dalam menjalankan berbagai dimensi kehidupan. Agar dapat memahami hukum Islam secara utuh dan banyak mengambil hikmah dari penetapannya, maka kita perlu memahami dan mengkaji tentang bagaimana sejarah pembentukan hukum Islam itu sendiri. Se- jarah pembentukan dan perkembangan hukum Islam tidak terlepas dari berbagai fase penting, mulai dari kondisi bangsa Arab pra Islam, diterimanya wahyu dari Rasulullah, hingga pada pengambilan sebuah ijtihad hukum untuk menjawab berbagai persoalan yang tidak diatur secara eksplisit di dalam sumber hukum pokok. Bahan dengan hak cipta 2 Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam umber utama hukum Islam adalah Al-Qur'an dan al-Sunnah. Terhadap segala permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum Muslimin diperbolehkan berijtihad dengan menggunakan akalnya guna menemukan ketentuan hukum untuk pe- netapannya, dalil sebagai landasan kebolehan berijtihad adalah Hadis Nabi SAW,! demikian rangkuman intisari kerangka penetapan hukum Islam. Selanjutnya, sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, dikalangan ulama figh kontemporer terdapat beberapa macam pandangan. Dua di antaranya yang terkenal adalah pandangan Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan Mustafa Ahmad az-Zarga (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Jordan). Pandangan pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syeikh Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh Tasyri’ al-Islami (Sejarah pembentukan hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu: (1) Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul; (2) Periode para sahabat besar; (3) Periode sahabat kecil dan *tabiin; (4) periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H; (5) Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; (6) Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217- 1265]) sampai sekarang. Pandangan kedua, pembentukan hukum (fikih) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarga dalam bukunya, al-Madkhal al- Fighi al-‘amm (pengantar umum fikih Islam). Ia membagi periodisasi “Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud, tt,, Juz Ill: 303). PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM Bek sampai periode kelima, tetapiia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu pertama periode pembentukan dan pembinaan hu- kum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya majallah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum perdata kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H. Kedua periode sejak munculnya majallah al-Al-Akam al-‘Adliyyah sampai sekarang. Al-Qur’an adalah sumber hukum ilahi yang paling autentik. Al- Qur’an diturunkan sebagai sumber hukum bagi manusia. Al-Qur’an memberikan kerangka dasar hukum dunia dan akhirat bagi manusia. Kerangka tersebut adalah kerangka hukum dasar yang kemudian ditu- runkan menjadi hukum-hukum partikular yang bersifat operasional. Sebagaimana firman Allah (QS. Yunus [10]: 37), yang alih bahasanya: “tidaklah mungkin Al-Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (ALQur’an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan men- Jelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari tuhan semesta alam.” Hukum-hukum partikular tersebut itulah yang kemudian menjadi hukum-hukum terapan yang digunakan untuk mengatur umat Islam dan setiap individu wajib untuk menaatinya. Proses diturunkannya sumber hukum dasar menjadi hukum-hukum partikular atau dengan kata lain proses perjalanan yang dilalui oleh umat Islam dalam men- jabarkan hukum-hukum dasar yang terkandung di dalam Al-Qur’an menjadi hukum-hukum terapan disebut dengan proses pembentukan hukum Islam. Rekaman sejarah mengenai proses pembentukan hukum Islam tersebut diistilahkan dengan sejarah proses pembentukan hukum Islam atau tarikh Tasyri: Hukum Islam yang ada di tangan kita saat ini adalah sesuatu yang telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Oleh karena itu, bagi setiap orang Islam memahami tarikh Tasyri’ adalah hal yang sangat penting. Dengan memahami hal itu, setiap Muslim akan dapat menge- tahui dengan terang bagaimana sebenarnya hukum Islam itu berproses dan halinitentu akan menambah wawasan dan menambah kedewasaan kita dalam beragama. Dalam uraian ini disampaikan sejarah pemben- tukan dan perkembangan dengan menggabungkan beberapa sumber. BAB 2 > Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam A. Pembentukan Hukum Islam pada Masa Rasululullah SAW (610-632 M) Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul disemenanjung arab di suatu daerah tandus yang dikelilingi laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi ke empat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di tengah-tengah gurun pasir yang sangat luas yang memenga- ruhi cara berpikir dan cara hidup suku-suku arab, mereka hidup dalam klan-klan yang disusun berdasarkan garis patrilinial yang saling ber- tentangan (Philip K. Hiti, 1970: 13-16). Pengangkatan anggota Klan ini didasarkan pada pertalian darah dan ada juga yang berdasarkan per- talian adat. Pertalian adat terjadi apabila anggota suku klan lain di- angkat menjadi anggota klan yang bersangkutan dalam suatu upacara antara lain dengan meminum beberapa tetes darah anggota klan yang asli. (Philip K. Hiti, 1970: 21), Susunan klan yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya dan oleh karena itu jika ada salah seorang anggota klan yang melepaskan diri dari anggota klannya ia dianggap telah memutuskan hubungan dengan klan asalnya dan se- bagai akibatnya ia tidak lagi dilindungi oleh anggota Klannya. Inilah latar belakang penjelasan mengapa Nabi Muhammad setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah dianggap telah memutuskan hubungan de- ngan klannya yang asli dan karena itu juga ia diperangi oleh anggota klen asalnya. Sebagaimana juga dalam masyarakat patrilinial yang lain karenanya kedudukan wanita dipandang sangat rendah. Wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali. Oleh karena itu, jika anak perempuan lahir di dalam satu rumah tanga seluruh keluarga menjadi malu karena telah melahirkan anak yang kelak tidak akan bisa mempertahankan nama klannya sehingga keluarga yang bersangkutan berusaha melenyapkannya ataupun membunuh bayi wanita (Philip K. Hiti, 1970: 23). Di tengah kondisi bangsa Arab pada waktu itu lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya diberi nama Ahmad dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab berarti terpuji atau yang dipuji. Muhammad lahir pada bulan Rabiul Awal tahun gajah. Para penulis sejarah menyebut kelahirannya itu pada 12 Rabiul Awal (bulan ke tiga tahun Hijriah) bersamaan dengan tanggal 20 April 571 M. Akan tetapi, ada pula yang menyamakan bulan Rabiul Awal tersebut dengan bulan Agustus tahun 570 M (Haikal, 1979: 55). a 13 PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM Muhammad tumbuh menjadi seorang yang karena sifatnya yang suka membantu orang-orang yang lemah dan karena ia selalu memper- hatikan perdamaian antarsuku serta senantiasa membela kebenaran dan keadilan, Pada usia 25 tahun beliau menikah dengan Siti Khadijah yang usianya 15 tahun lebih tua dari beliau. Khadijah tertarik karena sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad. Dalam waktu-waktu seng- gang dari aktivitas perdagangan, beliau sering kali menyendiri untuk merenungkan kemerosotan akhlak bangsa Arab. Tiga tahun sebelum mendapatkan wahyu Muhammad biasa mengasingkan dirinya Di goa Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai usia 40 tahun (610 M) beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu pula beliau ditetapkan menjadi Rasulullah. Tiga tahun berikutnya malaikat jibril membawa perintah Allah untuk menyebarkan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia. Dalam menyampaikan misi keislamannya Rasu- Jullah banyak menyebarkan dakwah secara sembunyi-sembunyi hingga akhirnya beliau diperintahkan untuk melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah wahyu, yang di antara wahyu tersebut terdapat ayat-ayat yang berkenaan dengan hu- kum. Menurut Abdul Wahab Khalaf (guru besar di Universitas Kairo) ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah berjumlah 140 ayat di da- lam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini berkenaan dengan soal-soal ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji. Adapun ayat hukum mengenai muamalah jum- lahnya 228 ayat (Khalaf, 1875: 30). Metode yang terbaik untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an itu adalah metode autentik yakni metode perbandingan langsung antara semua ayat-ayat yang ada sangkut pautnya satu de- ngan yang lain dengan persoalan pokok masalah yang dibicarakan (Ha- zairin, 1975: 3). Wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad juga da- pat penjelasan terhadap persoalan yang dihadapi oleh umatnya pada waktu itu. Selain itu, juga beliau memutuskan berbagai persoalan yang muncul dengan berdasarkan pendapat beliau sendiri yakni dengan Sunnahnya yang kini telah dibukukan dalam kitab-kitab Hadis. Dengan turunnya wahyu kepada Rasulullah, dalam bentuk Al- Qur'an dan Sunnah, mulailah timbul sejarah hukum Islam. Ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum kebanyakan ayat madaniyah yang jumlahnya tidak banyak, diturunkan secara berangsur-angsur (tadrij), tidak sekaligus. Selain dari kedua sumber di atas, nabi sendiri memberi contoh berijtihad apabila tidak ada nash Al-Qur’an, sedangkan persoal- an harus segera diselesaikan. Untuk itu pada zaman ini nabi memiliki multitugas, yakni tugas membuat hukum sekaligus pelaksanaannya. 4 & BAB 2 > Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam Iman umat, hakim, mufti akbar, mubalig, dan sebagainya, bila ditelu- suri, sesungguhnya ilmu-ilmu yang berkenaan dengan hukum Islam, khususnya figh dan ushul figh sudah ada pada zaman Rasulullah, sudah berakar pada diri pribadi beliau sendiri. Hanya saja, belum ada Klasili- kasinya dan kodifikasinya, dan semua itu disebut ilmu. Masa ini meru- pakan periode peletakan dasar prinsip-prinsip umum. Pengertian figh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang da- pat dipahami dari nash (ayat atau Hadis) baik yang berkenaan dengan masalah akidah, hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, figh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum. terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut masalah itu. Dengan demikian, menurut Mustopa az-Zarga, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah telah mengumumkan kai- dah-kaidah umum dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun pada masa Rasululluh SAW ini, kekuasaan pem- bentukan hukum berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini dinamakan Sunnah Rasulullah SAW. Istilah figh dalam pengertian yang dike- mukakan ulama ushulfiqgh Kasik maupun moder belum dikenal ketika itu. Imu dan figh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Pengertian figh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang da- pat dipahami dari nash (ayat atau Hadis), baik yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum, maupun kebudayaan. Di samping itu, figh pada periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap sesuatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut ter- jadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu. De- ngan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarga, pada periode Ra- sulullah SAW belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hu- kum Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun dari Sunnahnya sendiri. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pada periode yang tidak ber- langsung lama inilah—lebih kurang 22 tahun—terwariskan dasar-dasar pembentukan hukum yang sempurna. a 15 PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM Periode ini terdiri dari dua fase yang berbeda: Fase pertama, yaitu masa Rasulullah di Mekkah, lamanya 12 ta- hun, lebih beberapa bulan, sejak kerasulan beliau hingga hijrah ke Madinah. Pada fase ini belum ada arahan pembentukan hukum amaliya dan penyusunan undang-undang perdata, perdagang- an, keluarga, dan sebagainya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada masa itu sebagian besar berbicara tentang akidah, akhlak, suritauladan, dan sejarah perjalanan orang-orang terdahulu. Hal ini dapat kita pahami dalam tinjauan historis karena pada fase ini fokus perhatian Rasul adalah pada pengenalan prinsip-prinsip Is- lam, meninggalkan penyembahan berhala dan mengajak orang bertauhid, serta berusaha menyelamatkan para pengikut Islam dari orang-orang yang merintangi dakwah. Secara kuantitas kaum Muslimin pada saat itu masih lemah dan belum memiliki pemerin- tahan sendiri (Rasyad Hasan Khalil, Al-Madkhal Lil Figh Al Islami, 1995: 77). Fase kedua, yaitu sewaktu rasul berada di Madinah, lamanya ham- pir 10 tahun, sejak hijrah beliau hingga wafatnya. Dalam fase ini, Islam benar-benar telah tegak dengan kuantitas pengikut yang be- sar dan memiliki pemerintahan sendiri. Kebutuhan pembentukan hukum dan penyusunan undang-undang menjadi sebuah kenis- cayaan untuk mengatur hubungan internal, eksternal, baik dalam keadaan perang maupun damai. Oleh karena itu, telah disyariatkan hukum perkawinan, talak, waris, utang piutang, dan sebagainya. Dan, surah-surah Madinah (surat-surat yang turun setelah hijrah) banyak mengandung ayat-ayat hukum, selain ayat-ayat akidah, akhlak, dan kisah-kisah (Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Al-Figh Al-Is- lami, Tarikh Tasyri’, 1995: 78). Wewenang Pembentukan Hukum di Masa Rasulullah Dalam periode ini, wewenang pembentukan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasul. Al-Qur'an selalu diiringi bentuk praktis lewat perkataan dan tindakan Beliau (H.A. Hidayat ‘2005: 88). Apabila kaum Muslimin dihadapkan pada suatu permasalahan, mereka segera me- nyampaikannya pada Rasul. Beliau sendiri yang langsung menyam- paikan fatwa hukum, menyelesaikan sengketa, dan menjawab berbagai pertanyaan. Keputusan hukum tersebut kadang-kadang dijawab oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada rasul, dan kadang-kadang 16 BAB 2 > Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam beliau berijtihad. Apa yang datang dari rasulullah menjadi hukum bagi kaum Muslimin dan menjadi undang-undang yang wajib ditaati, baik yang datangnya dari Allah maupun dari ijtihad beliau sendiri, Namun ini bukan berarti pintu ijtihad tertutup sama sekali bagi selain rasul. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian sahabat telah berijtihad dimasa hidup rasulullah (Abd. Aziz. Moh. Azam, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, '98-99: 5). Ali bin Abi Thalib diberi arahan oleh nabi cara memutuskan hu- kum ketika diutus ke Yaman untuk menjadi hakim. Muadz bin Jabal pun sebelum diutus ke Yaman pernah ditanya oleh Nabi: “Dengan apa engkau akan mengambil keputusan, apabila dihadapkan kepadamu suatu masalah yang tidak engkau temukan di dalam kitabullah dan sunnah rasul?’, Muadz menjawab: “Aku akan beijtihad dengan penda- patku’, Rasulullah kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah, yang telah menyesuaikan utusan rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya’. Amr bin Ash pada suatu hari pernah diperintah oleh nabi dengan sabdanya: “Putuskanlah perkara ini’, Amr bertanya: “Apakah aku akan berijtihad, sedangkan engkau ada ya Rasulullah?’, Rasul menjawab: “Ya! Kalau engkau benar, maka engkau akan memperoleh dua pahala, dan kalau salah, maka akan memperoleh satu pahala’, Meski demikian, kewenangan para sahabat untuk beri; lah hanya pada situasi-situasi khusus dan sifatnya dalam rangka tath- biq (penerapan/pelaksanaan hukum) dan tidak dalam rangka sasyri (pembentukan/perbuatan hukum). Di samping itu, hasil ijtihad para sahabat tentang suatu masalah tidaklah menjadi ketetapan hukum bagi kaum Muslimin secara umum atau mengikuti mereka, kecuali ada ikrar (legalisasi) dari Rasul. 2, Sumber Pembentukan Hukum di Masa Rasulullah Sumber pembentukan hukum dalam periode rasul ini ada dua, yaitu: wahyu ilahi dan ijtihad rasul (ijtihad nabawi). Jadi, apabila datang permasalahan di antara kaum Muslimin yang membutuhkan ketentuan hukum (terjadi sengketa, pertanyaan, atau permohonan fatwa), ada dua kemungkinan yang akan terjadi: Pertama, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad un- tuk menetapkan keputusan. Contohnya adalah turunnya wahyu untuk menjawab pertanyaan sahabat tentang: perang di bulan haram (2: 217) dan tentang arak dan judi (2: 219). Kedua, adalah suatu hukum. diputuskan dengan ijtihad nabawi. Ijtihad ini pun pada suatu waktu a 17 PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM merupakan ta’bir liham ilahi yang diberikan Allah kepada nabi, dan di waktu yang lain praktis merupakan hasil dari kesimpulan-kesimpulan yang beliau ambil sendiri dengan berorientasi kepada kemaslahatan. Hukum-hukum jjtihadiyah yang nabi tidak memperoleh ilham dari Allah, yakni yang bersumber dari pandangan pribadi beliau disebut hu- kum nabawi, hukum ini tidak akan diakui Allah, kecuali kalau ternyata benar. Jika terjadi salah, maka Allah akan mengadakan pembetulan. Contoh nyata mengenai hal ini adalah peristiwa penetapan hukum bagi tawanan perang Badar. Saat itu belum ada syariat tentang tawan- an perang, karenanya nabi berijtihad dengan memusyawarahkan hal ini dengan para pembesar di kalangan sahabat. Abu Bakar memberikan pandangan agar para tawanan itu dikenakan tebusan sebagai imbalan pembebasannya, “mereka adalah kaummu dan kerabatmu, biarkanlah mereka tetap hidup, barang kali Allah menerima taubat mereka, lalu ambillah fidyah dari mereka, yang berfungsi memperkuat sahabat-sa- habatmu’, demikian pendapat Abu Bakar. Adapun Umar bin Khattab berpendapat, bahwa para tawanan itu harus dibunuh, “mereka telah membohongi dan mengusir engkau, maka hadapkanlah mereka ke- mari dan penggallah leher-leher mereka, mereka adalah tokoh-tokoh kafir, sedangkan Allah akan memberimu kecukupan bukan dari wang tebusan’. Demikian alasan Umar. Rasulullah kemudian lebih memilih pendapat Abu Bakar, yang kemudian ternyata Allah mengadakan pembetulan dengan turunnya ayat (QS. Al-Anfaal [8]: 67), yang alih bahasanya: “Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta ben- da duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk- mu). Dan, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Contah lain berkaitan dengan ijtihad nabawi yang diralat firman Allah adalah peristiwa pemberian izin nabi kepada beberapa orang un- tuk tidak turut dalam peperangan Tabuk dengan alasan adanya uzur. Allah mengadakan pembetulan keputusan nabi tersebut dengan menu- runkan firman-Nya dalam QS. At-Taubah [9]: 43) yang alih bahasanya: “Semoga Allah mema‘afkanmu. Mengapa kamu memberi izin ke- pada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembentukan hukum 8 ps4 BAB 2 > Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam pada periode rasul ini dapat dikatakan seluruhnya adalah bersumber dari Allah, meskipun ada ijtihad Rasul. Karena pada akhirnya keputusan tetap harus sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Jika ijtihad itu benar Allah akan membiarkannya, dan jika salah maka akan segera mendatangkan pembetulan atau ralat. 3. Pedoman Pembentukan Hukum di Masa Rasulullah Dalam upaya memberikan keputusan hukum yang merujuk ke- pada sumbe-sumber tasyri, Rasulullah selalu menunggu datangnya wahyu sebelum memutuskan sesuatu, dan kalau ternyata wahyu tidak turun, beliau menyadari, bahwa persoalannya telah diserahkan kepada ijtihad beliau dengan berlandaskan kepada undang-undang ilahi dan jiwa tasyri, serta perhitungan pribadinya yang berorientasi pada ke- maslahatan, dan juga musyawarah dengan para sahabat. Adapun prin- sip-prinsip umum yang menjadi landasan pembentukan hukum, secara garis besar ada 4 prinsip: a, Berangsur-angsur (Tadarruj) Proses pembentukan hukum Islam terjadi secara berangsur-ang- sur, Hukum-hukum syariat tidak datang secara sekaligus berbentuk undang-undang, ia datang bertahap mengikuti berbagai peristiwa dan kejadian. Tadarruj ini memiliki hikmah sebagai berikut (Rasyad Hasan Kha- lil, Tarikh Al-Figh Al-Islami, Tarikh Tasyri, 1995: 61): 1. Memudahkan umat dalam mengenal materi demi materi undang- undang yang mengatur kehidupannya. 2. Memudahkan umat dalam memahami masalah-masalah hukum secara sempurna. 3. Menjadi ilaj (obat) untuk memperbaiki jiwa-jiwa yang keras agar siap menerima taklifagama tanpa bosan, kesulitan, atau keenggan- an. b. Menyedikitkan Peraturan-peraturan Kelahiran hukum-hukum syariat adalah semata-mata karena ada- nya kebutuhan manusia dalam menjamin kemaslahatannya, maka se- yogianya pembentukan hukum-hukum itu dibatasi menurut relevansi kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Al-Qur’an dan Sunnah mela- rang memperbanyak pertanyaan yang menyebabkan menjadi ketetapan a 19 PEMIKIRAN DAN FILSAFAT HUKUM ISLAM hukum (Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Al-Figh Al-Islami, 1994: 37). Allah SWT berfirman tercantum dalam QS. Al-Maaidah [5]: 101, artinya: “ai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (ke- pada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan me- nyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Quran itu diturunken, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaaf- kan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. Rasulullah SAW bersabda: Yang paling besar dosanya bagi orang Islam terhadap orang Is- lam, adalah orang bertanya-tanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan bagi kaum Muslimin, kemudian diharamkan torhadap mereka karena pertanyaannya"". Beliau juga bersabda, alih bahasanya: sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan, dan telah meletakkan pembatasan-pembatasan, maka janganlah kamu melampauinya, dan telah mengharamkan beberapa perkara, maka ja- nganlah kamu melanggar, dan telah mendiamkan bebereapa perkara, sebagai rahmat atas kamu dan bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya” c. Mempermudah dan Memperingan (Taisir dan Takhfif) Prinsip memberikan kemudahan dan keringanan adalah karakter syariat Islam yang sangat menonjol. Allah SWT berfirman (QS. Al-Ba- qarah (2): 185), alih bahasanya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....” Allah juga berfrman (QS. An-Nisaa’ [4]: 28), alih bahasanya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”. Dan, QS. Al-Hajj (22): 78, alih bahasanya: “Dan tidak dijadikan bagi kalian dalam agama satu perkara yang berat”. 20 &

You might also like