You are on page 1of 442
¢ ig \\ 16-1 -1m a CeO} SYAHID MUHAMMAD (ELEFTHERIAWORDS) AMOR FATI KITA ADALAH SEPASANG SALAH YANG MENOLAK PASRAH Tentang KALA. Tentang proses, romansa. Ya hidup. Dengan penyampaian yang.. ah, baca saja. Semoga tenggelam. ~ @ghumaydha Novel yang sungguh puitis, bahkan untuk orang-orang yang menyukai puisi dan terlalu manis untuk dilewatkan mereka yang tidak menyukai puisi. Novel ini untuk semua orang yang sempat kehilangan sesuatu dalam dirinya, dan tetap percaya bahwa kelak nanti akan menemukannya kembali. ~ Tia Setiawati (Penulis Buku Perempuan Penggenggam Rindu) Kisah cinta yang lahir dari kolaborasi 2 penulis muda berbakat. Diksi yang indah dari 2 sudut pandang yang berbeda dikemas dengan alur yang menarik membuat pembaca tidak sulit untuk memahami karakter Saka dan Lara. Bacalah, maka kau akan tau bagaimana indahnya menginterpretasikan gambar ke dalam aksara. ~ Hani (bookstagrammer) Satu kisah romansa dari dua penulis muda berbakat yang bisa dikategorikan unik, dengan pemilihan diksi yang tidak umum digunakan oleh penulis-penulis muda zaman sekarang. Alur kisah yang manis, diceritakan dalam sudut pandang masing-masing (Saka dan Lara). ~ F. Annisa (bookstagramer, guru) Sebuah kisah sederhana yang mencerminkan kehidupan sehari- hari, tetapi dengan pemilihan kata yang luar biasa indah. Kisah yang ingin terkubur, namun dia akan selalu menemukan celah untuk muncul dalam memorimu. Sebab Saka dan Lara adalah kau dan dia. ~ Elmaria (Master Student in Acturial Science, Kent University) Novel ini recomended banget bagi kalian yang suka bacaan berbau- bau sastra puisi dan yang gagal move on dalam percintaan. ~ Amberr Untuk para penikmat sastra, buku ini bisa menjadi salah satu pilihan untuk dibaca untuk mengisi waktu senggang, dan untuk awam yang baru atau ingin belajar memahami sastra, buku ini merupakan pilihan yang tepat. ~ alineafajr Untuk pecinta genre romance buku ini sangat romantis. Saya membaca buku ini layaknya orang gila, senyum-senyum sendiri. Diksi dalam cerita ini amat sangat pas bikin baper. Covernya lucu hitam manis gimana gitu. ~ Syabillaptr Aku masih begitu terpukau dengan deretan kalimatnya. Menambah perbendaharaan kataku juga seperti: entitas, enigma, nisbi, dsb. Banyak kata-kata baru yang berseliweran, senang aku mendapatkan pengetahuan lebih. Sekali lagi, tidak picisan. ~ @ra.juwita Cocok buat yang suka novel yang agak puisi-puisi gitu, setelah kamu baca halaman pertama, aku yakin kamu gakan bisa berhenti sampai halaman terakhir. ~ @putridinaryr Kisah cinta dengan akhir yang lucu. Aku pun mau punya ending kaya dibuku ini. Semesta yang tidak mau meninggalkan sepasang manusia yang terluka. ~ irhammaladi (http://www.penar.org) AMOR FATI KITA ADALAH SEPASANG SALAH YANG MENOLAK PASRAH STEFANI BELLA {HUJANMIMPI) SYAHID MUHAMMAD ({ELEFTHERIAWORDS) € GRADIEN MEDIATAMA AMOR FATI Penulis: Stefani Bella & Syahid Muhammad ISBN: 978-602-208-161-6 Penyunting: flo Penyelaras Aksara: Tri Prasetyo Desain Sampul dan Tata Letak: eleftheriawords, Techno Penerbit: Gradien Mediatama Redak: Jl. Wora-Wari A-74 Baciro, Yogyakarta 55225 Telp/Faks: (0274) 583 421 E-mail: redaksi@gradienmediatama.com Web: www.gradienmediatama.com Distributor Tunggal: TransMedia Pustaka Jin, Moh, Kahfi 2 No.13-14 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 : (021) 7888 1000 Fax: (021) 7888 2000 emasaran@distributortransmedia.com Cetakan Pertama, November 2017 Cetakan Kedua, Januari 2018 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin dari penerbit Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Stefani Bella & Syahid Muhammad AMOR FATI /Penulis, Stefani Bella & Syahid Muhammad — Yogyakarta: Gradien Mediatama, 2017. 440 him. ; 13 x 19. cm ISBN 978-602-208-161-6 1. AMOR FATI 1, Judul I. flo 895 “Dalam sebuah KALA tempat kita bermula, pada sebuah percaya kita ingin bermuara.” Thanks To \\ AMOR FATI tak pernah direncanakan sebelumnya. Setelah kelahiran KALA, Tuhan dengan rencana-rencananya membawa kami pada kesempatan yang tidak pernah kami semogakan. Dengan Keromantisan Tuhan, hinggaplah kami pada masa yang siap untuk akhirnya AMOR FATI dapat terlahir dari dua pasang jari-jari kami. Oleh karena itu, kembali kami ingin memanjatkan syukur yang tiada henti tercurah. Izinkan kami mengucapkan terima kasih untuk setiap hal yang sempat bersinggungan di hidup kami. Terima kasih kepada Allah SWT, atas segala kesempatan lainnya, kekuatan, dan seluruh hal yang diberikan kepada kami hingga detik ini. Sebab, jika bukan karena izin-Nya karya ini tidak akan bisa lahir. Kepada keluarga kami, terima kasih atas doa, kasih sayang, dan support yang tidak pernah ada habisnya. Kepada editor kami, Mbak Aning, terima kasih sudah menemukan dan memberikan kesempatan kepada kami untuk menjadikan kolaborasi ini nyata. Dan, tentunya kepada seluruh tim Penerbit Gradien Mediatama yang terlibat—Mas Tepe, Mas Tikno, dan mereka-mereka yang belum kami kenal namanya—terima kasih. Sebab, tanpa kerja keras mereka buku ini tidak akan hadir. Kepada semua pembaca KALA dan tulisan kami lainnya, kalianlah yang sesungguhnya membuat AMOR FATI punya kesempatan untuk hidup di hati kalian. Kepada Fadil dan rekan-rekan di The Point Coffee & Drama di Jogja, terima kasih telah memberikan kami izin untuk menggunakan nama tempat coffee shop-nya. Juga, kepada Kyotown Coffee di Bandung yang menjadi tempat penulis untuk bisa meramu AMOR FATI. Dan, kepada Andry Bem Mandariana terima kasih untuk dukungannya yang tiada henti terhadap kami, juga terhadap KALA. Terima kasih atas kreativitas dan karyanya karena telah dengan luar biasa membuatkan sebuah lagu tentang SAKA dan LARA. Last but not least, kepada seluruh sahabat, teman, dan orang-orang yang mengenal kami—baik yang hanya singgah dan masih bertahan hingga sekarang—terima kasih sudah hadir dan memberikan banyak pelajaran akan kehidupan. Darl Kami with Camu \\ Hai, selamat berjumpa lagi! Bagaimana, sudah bosan dengan kisahku? Atau, justru semakin penasaran dengan ceritaku dengannya? Sebab, menurut kabar yang kudengar, kamu bahkan teman- temanmu cukup gemas dengan akhir yang katanya menggantung. Padahal siapa bilang itu menggantung? Menurutku, yang kemarin itu adalah akhir terbaik yang bisa aku ceritakan. Kamu tahu kan, meminta lebih terkadang justru tak akan berakhir baik? Bagaimana jika nanti pada apa yang kuceritakan ini, malah akan kamu temui hal-hal yang mengecewakan? Jangan protes! Ingat, ini juga maumu kan? Maka, saat ini aku putuskan untuk kembali, menyelesaikan apa-apa yang belum selesai. Ya, aku kembali, pada rangkaian kisah yang belum jua usai. Aku kembali, pada potongan-potongan kejadian yang membawaku untuk mengurai kembali segalanya agar lebih jelas. Bila pada kisah Jalu katamu aku terlalu egois dan menuntut, maka kali ini mungkin saja masih akan atau malah berubah. Entah aku tak tahu juga. Sudahlah, aku tahu kamu tak ingin berlama-lama membaca ini. Justru kamu mungkin lebih tertarik untuk membalik halamannya. Maka, segeralah balik halamannya Jalu lanjutkan cerita yang kemarin sempat tertunda. Tapi ingat, tak usah gemas sendiri. Ajak saja temanmu untuk ikut serta merasakannya. Sebab, kisahku ini bukan hanya tentang perjalanan melainkan juga tentang pelajaran. Sebab, kisahku ini bukan hanya perihal kisah cinta yang manis atau penuh kemelut, tapi juga tentang sebuah penerimaan akan hidup. Tenggelamlah bersama barisan aksaranya, tapi jangan sampai hanyut, karena pagi masih menantimu untuk kembali. Oh ya, jangan selalu berharap akhir dari kisahku ini akan penuh kebahagiaan. Sebab mungkin, definisi bahagiaku denganmu memang tak pernah sama. Salam rindu, Lara 10 \\ =, Kudengar banyak yang sebal denganku pada kisah = Bd sebelumnya? Ayolah, jangan egois. Aku ini lelaki. Aku yang harusnya egois, bukan? Sebetulnya kisah yang lalu sudah selesai, bahkan menurutku tidak menggantung. Karena di sini, perjalananku berbeda. Tidak akan seperti yang kalian harapkan. Oh tentu, kini aku sudah berteman baik dengan semesta untuk mengacaukan harapan kalian. Hanya untuk kalian yang mau untuk menerjemahkan makna di balik semua yang akan aku persembahkan, yang dapat memahaminya. Aku tidak berpikir aku akan berhenti menyebalkan pada kisah ini. Karena, jika beberapa orang terlihat baik, mungkin mereka cukup pandai menyembunyikan keburukannya. Jadi, jika aku terlihat menyebalkan di mata kalian, sempurnakan pandangan kalian. Mubazir rasanya memiliki sepasang mata sempurna nan indah tapi hanya digunakan memandang dengan sebelah mata. Semesta, masih akan mengajak kalian berjelajah. Cerita kami hanya sebuah portal pengingat perihal takdir a yang menuju diri kalian masing-masing. Apakah semua yang terjadi memang sepatutnya demi kebaikan kalian? Atau, justru adalah sebuah tantangan? Bahwa, kalian perlu melakukan hal yang lebih. Karena, hanya kalian yang dapat memahami, kapan kiranya sebuah cukup akhirnya bisa disepakati. Salam syahdu, Saka 12 DAFTAR ISI Thanks to Dari Kami untuk Kamu Semesta CHAPTER | “Kelak Setiap Kenangan Hanya Akan Berakhir Pada Ingatan" CHAPTER Il “Dekat yang Tak Melekat, Tetapi Hanya Memberi Sekat" CHAPTER III “Pergi, dari Satu Titik Ragu Menuju Satu Titik Percaya” CHAPTER IV “Hingga Kemudian Kembali Meragu, Pada Satu Titik yang Berujung Temu" 15 21 87 143 217 13 CHAPTER V 265 “Masing-Masing Kita Membawa Rahasia, yang Menanti untuk Diungkap" CHAPTER VI 319 “Pada Jarak yang Sempat Tercipta, Sebuah Renung Seharusnya Berkuasa” CHAPTER VII 375 “Pada Sebuah Kembali yang Seutuhnya, Ada Sebuah Penerimaan yang Sepenuhnya" Tentang Penulis 437 14 SEMESTA “Mas, iced chocolate satu, ya.” pesan seorang wanita yang baru datang. Ia duduk di kursi bar sambil tersenyum. “Siap, Mbak. Gulanya mau manis aja apa manis banget?” tanya seorang barista sedikit menggoda untuk mencairkan dan mengakrabkan suasana. Terlebih, perempuan itu sepertinya bukan salah satu tamu reguler yang sering datang ke coffee shop tersebut. “Manisnya yang cukup aja, asal nyaman.” Si perempuan balik menggoda. Sambil tersenyum, barista tadi dengan sigap menyiapkan gelas untuk membuat pesanan perempuan itu. Tidak butuh waktu lama, segelas iced chocolate pun ready. “Silakan Mbak, iced chocolate-nya. Gulanya sengaja saya pisahin aja. Saya enggak punya hak untuk nentuin seberapa manisnya Mbak. Eh, seberapa manis minumannya buat Mbak.” 15 Perempuan itu kemudian tertawa mendengar kelakar si barista. “Eh, Kev. Gue cabut ya.” Barista itu mendadak pamit seraya melepaskan vest berwarna biru tuanya. “Lah, tumben balik cepet lu.” Lelaki yang bernama Kevin itu menjawab keheranan. “Yoi, ada janji gue,” ucap barista itu sambil memamerkan senyuman yang menyiratkan tanda tanya bagi yang melihat. “Mas Saka pasti mau ketemu cewek sih ini. Enggak pernah kayaknya Mas Saka pamit pulang on time,” timpal seorang perempuan bernama Narni dari salah satu kursi yang tidak jauh dari bar. Di mejanya tampak segelas Americano dingin di samping buku dan tumpukan diktat. “Serius lu? Ajegilee... akhirnya, pergi sama cewek lagi doi,” goda Kevin. “Ah, kalian enggak bisa apa liat temennya seneng? Udah ya, gue cabut dulu.” Saka meninggalkan teman-temannya setelah sebelumnya sempat kembali menyapa barista yang lain. “Eh, Gil, cabut duluan ya!” Yang disapa kemudian ikut tersenyum sambil menggoda Saka, “Mas Saka, sukses ya! Lain kali diajak ke sini toh temen perempuannya.” “lya, diajak Mas. Jangan disembunyiin lagi, terus tiba- tiba cerita udah putus aja.” Narni masih menggoda. Saka tersenyum namun tak mengindahkan godaan 16 teman-temannya. Ia hanya melambaikan satu tangannya sebagai tanda pamit. YO. “Siaaal...! Kok, ilustrasinya enggak kayak yang diharepin sih,” gerutu seorang perempuan dari balik mejanya. Mata perempuan itu terus menatap kertas-kertas yang menampilkan sederet gambar. Ia acuh saja meski jam di dinding sudah menunjukkan hari semakin malam. “Kenapa, Ra? Enggak sesuai lagi? Udah dibilang kalau buat ilustrasi buku romance tuh mending sama yang freelancer satunya lagi aja.” Temannya kemudian menasihati. “Ya, masalahnya kemarin tuh udah ditanya sanggup apa enggak? Doi jawab sanggup. Ya, udah aja kasih ke dia. Lagian juga, gue pikir enggak ada salahnya ngasih kesempatan buat orang lain biar bisa berkembang. Eh, enggak tahunya, hasilnya bikin naik darah gini. Mampus, deh!” Perempuan itu terlihat kesal. Ia membanting kertas- kertas yang ada di mejanya, “Kalau dia belum paham konsep- nya tuh harusnya bilang, elah. Mana deadline besok lagi. Minggu depan harus udah up buat cetak. Sekarang, kalau begini jadinya, kan kacau semua.” Si perempuan lalu menghempaskan diri ke kursi sambil memijat pelipisnya. 17 “Coba lu tanyain sama ilustrator satu lagi, keburu enggak kira-kira kalau dia yang handle?” “Raniiii... ini bukan masalah keburu enggaknya. Tapi, gue telanjur deal sama yang ini. Kalau harus gue tolak padahal udah bolak-balik revisi, kan kasian juga. Lagian, kalau sekarang gue hubungin ilustrator yang itu, bisa kena mahal kali bayarannya. Ya, lu pikir aja, semalem harus selesain sekian ilustrasi, dikira lagi bikin candi?” “Lara, gini deh mending nolak karena enggak sesuai sama konsep. Atau, diterima tapi setengah hati? Ngejalanin yang setengah hati tuh enggak enak loh.” Perempuan bernama Rani itu kembali mengomentari kemarahan si perempuan, Lara, dengan menggodanya. “Lah, kenapa malah curhat? Haha,” Lara kemudian tertawa sambil melirik ke jam tangannya. “Sial, udah hampir telat. Gue cabut duluan deh ya. Ntar malem di rumah aja baru gue pikirin lagi enaknya gimana. Atau, kalau enggak besok lagi baru gue kerjain.” Lara berpamitan seraya membereskan meja kerjanya. “Lah, mau ke mana lu? Tumben amat. Ntaran lagi, Ra. Gue masih nanggung nih. Masa lu tega, gue lembur sendirian sekarang.” “Gue ada janji makan malem. Lupa gue,” ucap Lara sambil meringis memamerkan deretan giginya. Rani sontak menghentikan kegiatannya sambil mem- belalakkan mata menatap Lara. 18 “DEMI APA? Been centuries, akhirnya lu punya janjimakan malem sama cowok?” “Enggak usah lebay dih. Lagian siapa yang bilang, gue janjiannya sama cowok?” “Alah, udah santai kali. Muka lu enggak usah merah kalau emang bukan sama cowok. Lagian, kalau emang iya sama cowok juga enggak apa-apa. Gue malah seneng dengernya.” “Hmm... Ya, udah ah, gue cabut ya. Sampe ketemu besok, Sayang.” Lara kemudian mencium pipi teman kerjanya lalu bergegas pergi. ~” 19 20 Semoga separuh aku yang kamu bawa dapat menemanimu. Karena kamu pergi membawa doa-doa yang aku titipkan. Semoga, doa-doa itu akan selalu bisa menemanimu, bukan hanya saat kamu kesepian. Namun, juga saat kamu bersama seseorang meski tetap merasa sepi. Kupastikan, aku tak kehilangan apa pun kecuali kehadiranmu. Percayalah, kini aku telah menerima kehilanganmu, menerima luka yang tersisa dari kepergianmu. Tak ada yang lebih menenangkan dari sebuah penerimaan. Karena tak ada yang lebih menyiksa dari mempertahankan kebencian. Melangkahlah dengan tegap, tak perlu lagi kamu pikirkan bagaimana aku tanpamu. Nikmatilah kamu yang kini tanpaku. se CHAPTER I. “KELAK SETIAP KENANGAN HANYA AAU laa a CA ;° “Thad it all figured out. So I cut out a little early, who cares? Its probably a good thing. Life sucks, anyway. But I met you and it got weird. And, you were so... Amazing. And I?” “What? What?” “I just wanted a little more time. So all in all, I'd say you’re the worst thing that’s ever happened to me. Goodbye partner.” “I’m staying with you until you leave. I don’t care how much time we have! Give up you stupid jerk.” “th, Mas Saka nangis yaaaa...?” celetuk Narni. “Anjriiiiit... sialan, Narniiii...!” Aku yang tengah “ menikmati scene goodbye dari film Keith harus terganggu oleh celetukan Narni yang tiba-tiba. “Hahahahahahahahahahahahahaha.... terbahak-bahak. “Anjrit, mata lu kok juga basah gitu, Nyet? Hahahaha.” Kevin tertawa Giliran aku menggoda Kevin. “ya, apa? Masa sih?” Kevin segera mengelap genangan di kedua matanya. “Duh, kalian nih ya, cowok-cowok lembut. Bisa banget nangis nonton film drama gini.” Narni masih saja menggoda. “Kita enggak nangis, Narni! Enggak sempet nangis karena udah keburu kamu ganggu duluan!” Aku protes sembari diam-diam menyeka mataku. 23 “Lagian kamu bisa-bisanya lagi nonton malah merhatiin orang sih?” Kevin protes dan berdiri dari tempatnya duduk. Ja menuju dapur, mungkin mau mengambil minum. “Ya, gimana mau merhatiin, Mas? Udah kalian berdua nonton paling depan, berisik bener sama idung. Kukira ingusan, ternyata lagi siap-siap mau nangis. Gimana aku mau konsen coba?” canda Narni. Film yang seharusnya membuatku tergugah, puas akan aksi kedua tokoh dari Natalie dan Keith, harus berakhir mengesalkan karena Narni. Kami masih saja_berisik menyalahkan Narni. Namun, gadis itu sama sekali tidak merasa berdosa. Dia malah asyik menggoda kami terus. Dia yang perempuan seharusnya lebih terharu menonton film drama bukan? Ini malam terakhirku di Jogja. Sebelum pulang, kami ngumpul di rumah Narni. Dia yang memaksaku, karena setelah sekian lama saling kenal tak pernah sempat mengunjungi rumahnya. “Rame juga tapi ya filmnya. Narni nanti nonton sendiri aja ah, biar enggak ada yang ledekin kalau nangis. Hehehe.” Narni berdiri dari ranjang tempatnya duduk. “Ah, sialan Narni. Harusnya aku pulang ke Bandung dalam keadaan bahagia nih. Udah bisa terharu nonton film. Lah, malah jadi mentah gini deh.” Aku kembali protes, lalu segera berdiri menyiapkan barang-barangku. “Lu bawa laptop bukan? Lu nonton aja di kereta 24 ntar. Download dulu aja, bentaran juga kelar pasti.” Kevin menyarankan. “Yakali Sob, terus gimana ntar kalau gue di kereta terenyuh mau nangis gara-gara filmnya? Bayangin penumpang lain harus nahan ketawa ngeliat gue yang gondrong gini, tapi matanya berair nonton drama. Enggak keren lagi gue.” Aku menjawab. “Mas Saka, lakik yang berani nangis tuh keren! Yang enggak keren tuh lakik yang bikin nangis.” Narni membalasku. “Hahaaaaaaaaaa.... Kenaa lu, Nyet. Kena lu! Skak mat! Hahahahaha....” Kevin tak bisa menahan tawa mendengar ucapan Narni. “Eh, Narni salah ngomong ya?” Narni belagak polos. “Enggak, Narni. Kamu... bener.. banget....” Aku menjawab pelan dengan wajah yang tak keruan. Aku teringat Lara. Teringat apa yang pernah membuatnya menangis. Sebuah penyesalan yang tidak bisa aku bayar. Namun, kini setidaknya keadaan kami sudah cukup untuk membuatku sedikit tenang dari rasa bersalah yang bisa saja masih menghantuiku. “Udah tenang, Sob. Lu sama Lara kan udah baikan. Udah saling merelakan dan saling nerima lagi.” Kevin coba menenangkan. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku. “Saling nerima lagi sebagai teman ya, Mas Saka.” Narni masih saja menggodaku dengan ucapannya. 25 “Duh, kok gue dengernya nyelekit gitu ya.” “Man, gue baik-baik aja. Kata-kata lu yang bikin seolah itu nyelekit. Jangan gitu dong. Stop saying like I’m not okay. You guys who make me not okay!” Aku mengeluh sebal sembari mengecek perlengkapanku. Memastikan tidak ada barang yang tertinggal. “Eh, sori-sori, Sob. Gue enggak maksud, sumpah! Keceplosan gue. Sori!” Kevin meminta maaf. “Mas Kevin tuh, dijaga coba omongannya sama sahabat sendiri.” Narni menyalahkan Kevin. Aku hanya diam dan mengacuhkan permintaan maaf Kevin. “Heh! Kamu juga tuh, Narni. Mentang-mentang cewek bisanya nyalahin doang. Hih,” jawab Kevin ketus. Sementara mereka berseteru, aku masih sibuk dengan barang-barangku untuk menyembunyikan wajahku, dan mencoba memastikan apa aku benar baik-baik saja, atau sebetulnya tidak. Meski sebenarnya tidak apa jika memang aku masih menyimpan sisa-sisa luka. Tidak apa jika aku memang tidak baik-baik saja. Tapi, jika aku harus berpura- pura saat ini, aku memilih untuk berpura-pura baik-baik saja. Ya, dari pada berpura-pura tidak baik-baik saja. “Udah napa, pada berisik mulu. Just please stop making fun of it. Gue tuh enggak kenapa-napa. Lu pada boleh becandain hal itu, tapi please jangan ngomong apa pun yang menyudutkan gue, atau seolah gue nyesek dan enggak baik- 26 baik aja. Becandanya enggak usah nyampah, please.” Aku memberi nada tegas, meski sedikit tidak enak. Tapi, mereka perlu tahu bahwa tidak semua orang bisa menerima gurauan. “Siap, Pak Bos! Maafkan kami!” seru Narni dan Kevin bersamaan. Meski kadang menyebalkan atau kadang ada perkataan dan gurauan mereka yang menyinggung, yang membuatku senang adalah mereka begitu bisa menerima teguran dariku. Bukan teman yang hanya akan lebih menyudutkanku jika aku marah, atau tidak terima atas gurauan mereka. Setelah selesai bersiap, kami melaju menuju Stasiun Tugu untuk mengantarkanku pulang. Jalanan Jogja di tengah malam selalu melambaikan kerinduan. Mengejekku dengan riang, seolah aku akan pulang dengan berat. Aku terhibur saat memandang lampu-lampu jalan yang seolah tersenyum mengantarkan kepulanganku. “Gue balik dulu ya!” Aku pamit setelah menukarkan boarding pass di stasiun Tugu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kereta yang akan membawaku pulang ke Bandung akan berangkat 30 menit lagi. “Mas Saka, ini Narni tadi dibawain nasi kucing sama Mama. Buat Mas Saka kalau laper di jalan. Kucingnya udah Narni pisahin kok. Sama ini juga semangka buat makanan penutupnya. Atau, kalau enggak mau repot, makan semangkanya pake nasi aja biar sekalian telan.” Narni 27 tersenyum polos. “Kapan kamu bawa semangka? Kok, enggak ketahuan? Anyway, terima kasih Narni.” Aku berkata dengan gemas, sedang Narni hanya tersenyum. “Tiati, Sob. Jangan lupa bentar lagi gue lulus. Terus, yang gue omongin kemarin dipikirin. Siapa tahu ya, siapa tahu lu masih pengen perjuangin Lara. Kan, biar sekalian. Haha.” Kevin memelukku. “Hahaha... kampret! Ya, gampang lah...” “th! Kalian ngobrolin apaan kemarin. Kok, Narni enggak tahu sih?” Belum selesai aku menjawab, Narni langsung memotong. Mukanya cemberut. “Sstt.... Itu urusan lelaki, kamu jangan dulu ikut-ikutan!” tukas Kevin. “Lah, itu ngomongin Mbak Lara juga, berarti ada urusan perempuannya juga dong,” balas Narni. “th, nih anak enggak bisa dikit aja enggak bawel. Udah, ntar juga kamu tahu. Ini masih rencana, belum bisa dikasih tahu siapa-siapa. Nanti kalau enggak jadi kan malah malu,” jelas Kevin berharap Narni bisa diam. “Yo Mas, mumpung masih rencana siapa tahu aku bisa bantu. Aku nih lagi dilanda tekanan proposal skripsi, sedang teraniaya. Amin dariku tuh bakal didenger ribuan malaikat Joh. Bisa bikin rencana yang kalian obrolin jadi diijabah sama Tuhan.” Narni bersikeras ingin tahu. Aku hanya bisa tertawa terbahak mendengar debat 28 mereka. “Heh, Narni. Itu enggak ada apa-apanya dibanding aku yang bentar lagi mau sidang tesis. Deg-deganku lebih kenceng daripada kamu. Aku nih lebih teraniaya. Amin dariku bisa bikin isi surga ikut ngaminin! Sstt, udah diem!” Kevin kali ini benar-benar gemas. “Emm, penghuni surga sama malaikat banyakan mana ya, Mas?” Narni bertanya polos. Kevin mengelap wajah dengan kedua tangan, tanda tak lagi bisa menahan gemas. Aku masih tertawa melihat mereka berdua. Pulang memang selalu menjadi hal terberat. Harus membawa rindu yang tak bisa aku bawa sendirian. Aku yakin rindu yang aku bawa akan cukup membuatku sendu dalam beberapa hari ke depan. Sejak nanti aku kembali tiba di Bandung. Tidak lama, kami benar-benar berpisah. Aku melangkah masuk ke ruang tunggu penumpang. Terlihat para penumpang yang sedang beristirahat. Entah untuk pulang atau melanjutkan perjalanan. “Bu, air mineralnya satu,” pintaku kepada ibu-ibu di kantin stasiun. Aku lalu melongok isi bungkusan yang diberikan Narni kepadaku. Nasi kucing dan potongan buah semangka. Aku tertawa kecil. Sungguh ada-ada saja kelakuan gadis itu. Langkahku gontai mencari tempat duduk yang menurutku nyaman. Lalu, tak bisa kutolak pikiranku menyapa ingatan 29 tentang Lara. Bahagia dan rindu sedang berpesta dalam diriku. Perutku dibuat geli karena kupu-kupu baru saja keluar dari kepompong. Saat seperti ini, sulit sekali menahan bibirku untuk tidak keras kepala tersenyum. Orang-orang di stasiun bisa menganggapku sedang jatuh cinta. Memang iya. Tapi, mereka tidak tahu bahwa aku tidak jatuh cinta kepada seseorang. Sial, aku merasa kikuk sendiri di antara ratusan orang, padahal mereka tidak sedang memerhatikanku. Aku memutuskan membuka aplikasi notes di smartphone milikku. Rasa ini harus tumpah pada tempat yang tepat. Kepada nurani, Inikah tujuan dari semua langkah? Mengantarkan aku pada rasa yang megah? Membukakan aku sebuah pintu yang penuh berkah? Apa kamu sedang mengejekku dengan senyummu yang merekah? Sial kamu nurani, berani-beraninya mempermainkanku. Tapi, apa daya. Aku pun dibuatnya malu dan terpaku. Dan, akhirnya yang hanya bisa aku lakukan hanya mengaku. Bahwa kamu telah memberiku pemahaman yang sangat membahagiakan aku. 30 Biar saja semua orang melirikku dengan curiga. Tentang senyum yang sedari tadi sombong ingin terus bersinar. Tentang degup yang tak ingin berhenti menggelar perayaan dalam dada. Kukatakan dengan lantang dalam diam. Aku memang sedang jatuh cinta. Tapi, bukan pada seseorang. Biar saja mereka mereka-reka. Rasa ini milikku, takkan kubagi kepada siapa pun yang tak pantas. Kedatangan kereta yang akan membawaku pulang telah meneriakkan semangatnya dari jauh. Aku bergegas berdiri dan bergerak menuju titik tunggu. Bersama para penumpang yang ingin segera pulang, atau ingin segera sampai, atau hanya ingin segera pergi. Kereta api Malabar tujuan Bandung akhirnya tiba di depan kami. Semua penumpang dengan teratur memasuki pintu masuk. Jogja, terima kasih untuk kejutannya, rindu ini akan aku tanggung sendirian. “Lara, sampai tiba-tiba bertemu lagi ya,” ucapku dalam hati. 31 Bandung masih selalu cerah sejak kepulanganku. Mungkin karena seirama dengan suasana hatiku. Meski begitu, sudah beberapa hari aku bermalas-malasan dulu. Menghabiskan rasa bahagia yang masih bersisa. Rasa yang mengganggu mood untuk mulai kembali bekerja. Maksudku, untuk membuka email. Karena aku bisa tahu ada pekerjaan design dari notifikasi email yang ada di smartphone milikku. Sengaja aku biarkan, sekali aja aku ingin bermalas- malasan. Ya, sesekali setelah liburanku selesai. Badanku lesu karena terlalu banyak tertidur dan menonton TV kabel. Sesuatu tiba-tiba muncul dalam kepalaku. Aku ingin berolahraga. Hal yang cukup aneh memang bagiku, tapi entah dari mana datangnya keinginan itu. Apakah Lara mengirim doa agar aku mulai mau hidup sehat? Entah, tapi sepertinya aku ingin. Entah hanya ingin atau memang ingatan tentang Lara yang dulu sering mencerewetiku perihal kesehatan, membuatku ingin memiliki pola hidup yang lebih baik. Aku teringat ada tempat fitness dekat rumahku. Seketika aku bersiap dan setelah menikmati sarapan seadanya di dapur, lalu pergi untuk mendaftarkan diri sebagai anggota. Mulailah aku berolahraga. Ternyata, olahraga cukup membuatku, bahagia. Badanku terasa segar dan lelah di saat yang sama. Sesampainya di rumah aku berniat untuk membuka email yang sejak beberapa hari kemarin aku abaikan. Namun sayang, lelah ini 32 membawa kantuk yang sangat menggoda hingga tak terasa aku terlelap. Drrrtt...dddrrttt... Kepalaku masih pusing. Sepertinya, aku baru terlelap beberapa detik saja. Getar pesan di ponsel membangunkanku. “Man, cek email bisa kali. Sekalian jangan lupa gue tunggu di kantor buat brief desainnya.” Salah satu temanku mengirimi pesan. Ah ya, aku lupa akan membuka email yang sudah menungguku, berserta janji untuk bertemu rekanku di kantornya. Pesan temanku itu belum sempat aku balas. Aku terbangun dan mulai membuka email. Setelah membuka inbox email di layar laptop, aku tiba-tiba merasa lapar. Entah karena olahraga yang ternyata menguras tenaga, atau isi email yang ternyata cukup banyak. Badanku mulai terasa pegal-pegal. Aku seketika mengutuki diri sendiri kenapa bisa-bisanya ingin berolahraga. “Badan segar ternyata hanya ilusi!” Aku merutuk dalam hati. Tak lama aku segera mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor temanku. “Udah enak males-malesannya, Kasep? Ganteng?” Suara dari ruang tengah tiba-tiba menyapaku saat aku baru 33 menuruni tangga. “Lah, Mamah, kirain kerja.” “lya, Mamah ngambil libur dulu lagi enggak enak badan,” jawab ibuku santai. Meski begitu, ibuku masih saja sibuk dengan laptop untuk mengerjakan pekerjaannya. Aku menangguhkan kepergianku, berjalan ke arah dapur dan membuatkannya teh panas. Bisa-bisanya aku tidak mengetahui jika ibuku sedang sakit. “Nih, santai dulu atuh Mah, kerja mulu. Udah makan?” Aku bertanya seraya duduk di sebelahnya. “Eh, nuhun bageur. Udah udah makan kok tadi. Istirahat teh bikin makin lemes, Mamah mah enggak suka. Mending sambil ngerjain sesuatu biar istirahatnya produktif,” jawab ibuku sembari meneguk teh panas dariku. “Eh, Saka, kamu teh udah umur segini, enggak kepikiran apa pengen nikah?” Ibuku tiba-tiba saja berhenti melakukan pekerjaannya dan bertanya. Seolah pertanyaannya adalah pertanyaan, biasa. Seolah apa yang aku dengar, biasa saja. “Emm... Mamah kepikiran pengen punya mantu?” Aku berbalik bertanya karena belum mendapatkan jawaban yang baik untuk didengar ibuku. Aku masih sibuk terkejut dengan pertanyaannya. “Lah, dari dulu atuh kepikiran pengen punya mantu mah. Mamah teh suka penasaran, Mamah bakal punya mantu kaya gimana. Ya, habis anak Mamah kerjaannya sering pergi- pergian. Sering di rumah cuma buat istirahat atau ngerjain 34 kerjaan.” Ibuku terdengar sedang mengerjaiku. “Emm... Saka juga penasaran Mamah teh kepengen punya mantu kayak gimana?” Aku masih saja menjawab dengan pertanyaan. “Mamah mah, yang penting kamu sayang dan enggak bikin kepaksa. Enggak kepaksa karena Mamah nanyain kamu kapan nikah. Enggak kepaksa karena kamu enggak tahu lagi mau sama siapa. Enggak kepaksa kalau, amit-amit, kamu udah ngebet banget pengen nikah. Pokoknya, jangan kalau bikin kamu kepaksa.” Ibuku meneguk lagi teh panasnya. Kali ini lalu menyimpan laptop di pangkuan dan meletakkannya di meja. Arah duduk ibuku kini menghadapku, seolah perbincangan semakin seru. Aku semakin gemetar. “Terus, Saka tahu kalau itu enggak kepaksa itu gimana?” Lagi-lagi tanyaku pelan. “Yang enggak kepaksa itu, yang bikin kamu sehat. Bikin ibadah kamu sehat. Bikin diri kamu sehat. Bukan hanya badan kamu sehat, tapi yang bikin pikiran kamu juga sehat.” Ibuku menjelaskan. Aku diam. Mataku menatap layar televisi yang menampilkan seseorang berbaju seksi tengah membicarakan kehidupan orang lain. Isi kepala ini bertengkar, ingin mengeluh kenapa ibuku menonton acara seperti ini, atau membahas apa yang sedang ibuku coba bicarakan. “Mamah enggak kepikiran nikah lagi?” Tiba-tiba per- 35 tanyaan itu melayang dari bibirku. Aku hanya berharap, per- tanyaan itu akan mengalihkan pembicaraan tentang diriku. Ingin sekali aku menariknya kembali, namun kata-kata itu kini sudah hinggap di kepala ibuku. Giliran ibuku yang kini diam. Cukup untuk membuatku mengerti bahwa ada yang sedang dipikirkan olehnya. “Mamah tuh takut, Saka...” Ibuku menarik napas, “Takut kalau anak-anak Mamah ada yang enggak setuju. Kalian pasti enggak rela kalau posisi almarhum Bapak ada yang gantikan di hidup kalian.” Ibuku menyelesaikan kalimatnya. Kalimat itu menghujam dadaku, mengobrak-abrik perasaanku, membuat degup kebingungan berdetak. Aku tak tahu pernyataan itu akan keluar dari bibir ibuku. Ada hal yang sedang membuat sesak dan menyeruak dalam dadaku. Ibuku harus takut terhadap anak-anaknya. Harus mengekang keinginannya menemukan orang yang baru untuk menemaninya. Dan, seolah aku dan adik- adikku mengekang dirinya. Hal lainnya, kalimat ibuku jelas menyampaikan kesepiannya. Air mata merajuk ingin tumpah. Semua sel darah dalam diri aku paksa untuk menahannya agar tak sedikit pun berani untuk menggenang di kelopak mataku. Tak aku sangka, ternyata aku memang masih tak rela jika ibuku harus bersama seseorang yang tidak aku kenali. Aku tidak menginginkan ada orang asing berada dalam rumahku. Kini aku hanya ingin menjadi egois, dengan menyesali pertanyaanku yang tidak 36 bisa aku terima jawabannya. “Mamah emang pengen nikah lagi?” Aku beranikan untuk bertanya. Lebih bersiap untuk mendengar apa kata beliau daripada menjawab pertanyaan ibuku perihal keinginanku untuk menikah. “Mamah enggak ingin mengeluh kesepian karena kamu dan adik-adik kamu sibuk sama kegiatannya masing-masing. Adik kamu paling gede, Sinar, udah kerja. Permata, lagi giat-giatnya kuliah dan cari beasiswa sana-sini. Si bungsu, Putri, seneng sama ekskul debat di SMP-nya. Mamah seneng, kalian tuh sibuk buat ngejar cita-cita kalian. Seneng enggak ada dari kalian yang sering di rumah cuma males-malesan. Meskipun Mamah enggak bisa perhatiin kalian semua, tapi dengan tahu kalian sibuk untuk hal positif, Mamah lega. Mamah rela kesepian.” Ibuku meneguk teh yang sepertinya kian menghangat, bersiap melanjutkan perkataannya. “Tapi, Mamah juga pengen ada temen ngobrol. Mamah enggak pengen minta waktu kalian terus-terusan kalau lagi pengen ngobrol. Mamah cuma pengen minta izin kalian kalau Mamah ingin punya ayah baru untuk kalian. Mamah berani ngomongin ini sama kamu, karena kamu anak paling gede. Kamu yang gantiin Bapak untuk bertanggung jawab sama Mamah. Untuk ngasih izin sama Mamah.” Ibuku menyelesaikan kalimat yang selama ini sepertinya menunggu untuk diutarakan. Hal yang kukira akan tentangku, ternyata sebenarnya 37 menyoal ibuku. Kini aku merasakan sebuah beban yang selama ini dipendam oleh ibuku. Sebuah rindu yang lama ibuku sembunyikan. Rindu akan seseorang yang dapat mengayomi selayaknya saat Bapak masih hidup. Aku dan adik-adikku bukan hanya sibuk untuk cita-cita kami. Kami sibuk membiarkan ibuku menelan kesepiannya sendirian. Ddrrttt...ddrrrttt.... Notifikasi pesan baru sampai di ponselku. "Udah di mana lu? Jangan telat yak! Bos gue lagi rewel.” Temanku bertanya lagi. Aku hampir lupa bahwa aku harus pergi. Tapi, aku tak mungkin meninggalkan obrolan dengan ibuku menggantung. “Sok, kalau kamu harus ngerjain kerjaan. Pergi aja dulu ya. Mamah juga mau ngerjain kerjaan lagi. Eh, nanti pulangnya Mamah minta tolong nitip beliin madu hitam ya. Punya Mamah udah habis.” Ibuku mengerti bahwa aku harus pergi. Sungguh tidak adil bagaimana ibuku yang harus selalu mengerti akan kesibukan anak-anaknya. “Nanti, kita ngobrol lagi ya, Mah. Nanti Saka coba ngobrol juga sama yang lain. Saka pergi, dulu. Assalamualaikum.” Aku pamit dan mencium punggung tangan ibuku. Meninggalkan pernyataan yang setidaknya bisa menenangkan ibuku. Tidak menggantung dengan perasaan yang mungkin membuatnya 38 tak keruan karena telah mengatakan hal-hal yang membuatku tidak nyaman. “Walaikumsalam,” ibuku menjawab. Betapa ironis dan egois, pekerjaan yang menunggu harus mengorbankan ibuku sendiri. Seketika aku merasa menjadi anak yang durhaka. Perasaan tak nyaman ini menaungi diriku. Namun, aku yakin ibuku tidak marah dan tidak merasa ditinggalkan. “Ya elah, gue kira lu lagi ngapain. Itu kursor kedip-kedip mulu, capek kali dianggurin.” Ucapan dan tepukan halus Rani sukses mem- buatku terperanjat. Aku yang sedari tadi hanya menatap kosong ke layar monitor sambil bertopang dagu, kemudian menoleh sambil tersenyum menatap wanita berkacamata itu. “Kenapa lu bengong aja? Biasanya jam segini kalau enggak lagi nulis atau ngedit, lu blogwalking. Ini kenapa kayak orang kesambet gitu?” Rani kembali mengajukan pertanyaannya kepadaku usai meneguk air dari gelas yang tadi dibawanya. Rani adalah editor di tempatku bekerja saat ini. Kiranya aku bisa menyebut dia sebagai Kanaya kedua. Sifatnya mirip sekali dengan Kanaya. Hanya saja Rani belum sedekat itu denganku. Percakapan kami pun tidak pernah menyinggung masalah pribadi. Hanya berkutat soal pekerjaan dan 39 gosip-gosip yang memang sedang marak dibicarakan oleh kebanyakan orang. “Enggak tahu nih, enggak ada ide. Males juga ngerjain yang lain. Kalau belum deadline kayaknya kurang berasa dikejar.” “Dikejar banget, Ra? Lagian tumben amat enggak ada ide tulisan. Hidup lu lagi kurang sedih sama kurang patah hati tuh kayaknya,” ucap Rani seraya terkekeh sambil kembali mengamati kertas-kertas di hadapannya. Aku tak menimpali ucapannya sama sekali, justru sibuk memikirkan ucapan Rani tadi. Aku kembali diam dan mengingat-ingat kapan terakhir kali menulis dengan lancar bahkan bekerja dengan teramat sibuk sampai lupa waktu untuk sejenak menjeda. “Mungkin karena ini di Jogja,” pikirku. Hawa santainya membuatku jauh lebih rileks dalam melakukan kegiatan. Tak seperti sedang dikejar waktu, pun tidak seperti sedang mengejar sesuatu. Atmosfernya memang teramat berbeda ketika aku berada di Jakarta. Hingga akhirnya aku tak sempat lagi merasakan kesedihan, karena cukup sibuk menjadi bahagia dengan kehidupanku sekarang. Atau, mungkin juga benar seperti kata Rani tadi. Aku kurang patah hati. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku merasakannya, sampai akhirnya mataku menemukan sebuah tulisan di arsip blogku. Seketika aku terpaku pada akhir 40 kalimat dalam tulisan itu. Tulisan yang sudah cukup lama aku unggah. - Kamu, awal tanpa akhir dan akhir yang tak membutuhkan awalan: = Seketika itu juga pikiranku kembali saat aku dan Saka akhirnya kembali bertemu, tidak dalam kondisi yang salah apalagi bertengkar. Malah pertemuan itu terjadi dalam kondisi yang teramat tepat untuk kemudian membuatku dengannya bisa menyelesaikan apa yang masih mengganjal. Seulas senyum tiba-tiba saja tersungging di bibirku hanya dengan mengingat momen itu. Bahkan aku juga teringat momen saat aku dan Saka lagi-lagi tidak sengaja bertemu di coffee shop, sehari sesudah camping itu berlalu. Mungkin memang benar apa yang tadi Rani katakan, hidupku saat ini kurang mengalami kesedihan pun patah hati tak sedang kurasakan. Hubunganku dengan Saka yang sudah kandas, kukira akan menyisakan namanya dalam barisan tulisanku hingga bertahun-tahun lamanya. Tapi ternyata, sesudah percakapan di pantai itu, aku bisa selega ini melepasnya. Tak merasakan sesak, justru perasaan bahagia tengah menguasaiku dengan terang-terangan. Saka, dia saat ini memanglah bukan siapa-siapa lagi di hidupku. Bukan seseorang yang memiliki status khusus bahkan istimewa untuk membuatku dan dia terikat. Tapi, 41 tanpa status itu sekalipun, kehadirannya di hidupku ternyata membuat segalanya lebih dari sekadar cukup. Hubungan kami bahkan sudah lebih dari sekadar kata baik. “Ra, beneran kesambet lu lama-lama! Tadi bengong, sekarang mesem-mesem. Gih, kerjain itu naskah yang barusan gue email. Dimarahin sama Rio baru tahu rasa lu!” Rani kembali menyadarkanku. “Serba salah mulu gue kayak Raisa hahaha,” aku kemudian tertawa menanggapi ucapan Rani, seraya mulai mengecek inbox. Aku sendiri tak habis pikir dengan apa yang ada di hati dan pikiranku saat ini. Sebuah perasaan yang baru kali ini aku miliki ternyata mampu membuatku kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya. Mungkin memang benar kata orang-orang, lebih mudah menuliskan kesedihan daripada kebahagiaan. “Saka, apa kabar?” tanyaku lirih di dalam hati. a “Loh Lara, kamu enggak makan siang?” Aku yang sedang asyik membaca naskah dari Rani mendadak dikagetkan oleh suara lelaki yang kini tengah memandangiku dengan lekat. Rio, dia adalah pemimpin redaksi di kantor. Saat pertama kali datang ke sini aku jarang 42 bersinggungan dengannya, karena dia baru cuti. Tapi, lain halnya untuk saat ini. Aku bahkan bisa melihatnya berada di kantor setiap hari, pun ketika ada rapat redaksi di tiap Minggu. “Eh iya Pak, ini nanggung, hehe.” Aku menjawab pertanyaannya sembari menggaruk leher yang tidak gatal untuk menutupi kecanggungan yang tiba-tiba saja merebak di sekitarku. “Deadline?” tanyanya sembari menautkan kedua alis. “Belum sih Pak, emang lagi asyik aja.” “Kerjaannya kan bisa ditunda dan enggak ngaruh apa- apa juga. Tapi, kalau makan siang ditunda bisa kena maag kamu.” Aku sedikit tersentil mendengar kalimat itu. Aku ingat sering menasihati Saka seperti ini saat aku masih berpacaran dengannya. Jika dulu aku terbiasa mengingatkan, sekarang justru aku yang perlu diingatkan oleh hal-hal yang sudah aku tahu betul konsekuensinya. “Eh, iya sih. Bentar lagi deh Pak, 5 menit lagi.” “Berapa kali dibilangin sih kalau enggak usah manggil Pak? Panggil nama aja kayak yang lain. Atau, kalau alesanmu biar sopan, ya udah panggil Mas aja.” Umurku dengan Rio memang tak jauh berbeda, hanya terpaut 2 tahun lebih dewasa dia daripada aku. Sejak pertama bertemu dengannya, Rio memang menyuruhku untuk memanggilnya dengan nama saja. Atau, bisa juga dengan 43 embel-embel mas, seperti karyawan lain memanggilnya. Tapi, entah kenapa ketika berpapasan dengannya aku selalu lekat dengan sapaan pak. Mungkin karena pembawaan Rio yang sangat dewasa dan penampilannya yang karismatik, sehingga membuatku segan kepadanya. Padahal cara berpakaiannya tidak menyiratkan kedewasaan umurnya sama sekali. Bahkan cenderung jauh dari umurnya. Mirip dengan Saka, hanya saja ini dalam versi yang lebih rapi. Sepatu new balance cokelat tua dan sweter abu-abu yang sering dikenakannya membuat Rio seperti Jelaki yang baru saja lulus bangku perkuliahan. “Ya, udah buruan beresin kerjaannya, kita makan siang bareng abis itu.” Ucapannya tidak terdengar seperti pertanyaan, justru seperti sebuah perintah. Sejak kapan pula dia menawariku untuk makan siang bersama, dan aku menyetujui ajakannya. Seusai mengatakan hal itu Rio justru segera melangkah ke luar, membuat aku hanya terdiam sambil menatap punggungnya dengan keheranan. Belum usai menelaah apa yang tadi Rio ucapkan, suaranya kembali terdengar. Namun, kali ini setengah berteriak, “Buruan Ra, aku tunggu di mobil ya!” Aku segera menyimpan naskah yang tadi kubaca kemudian mematikan komputer. Buru-buru mengambil gawaiku setelah sebelumnya memasukkan dua lembar uang pecahan lima puluh ribu pada case belakangnya. 44 Jika hanya ke luar untuk makan siang seperti ini, aku memang tak suka membawa banyak barang apalagi tas. Karena, bagiku waktu makan siang bukanlah saat yang tepat untuk disibukkan dengan kegiatan lain yang justru membuatku tidak bisa menikmati hidangan yang tersaji. “Loh Ra, kamu enggak bawa tas?” Rio memandangku yang baru saja masuk ke dalam mobilnya dengan tatapan penuh keheranan. “Enggak,” aku menoleh sembari menggeleng, lalu memasang seatbelt, “cuma mau makan siang, kan?” “Tya sih, tapi biasanya cewek tuh mau ke mana aja selalu bawa tas,” ucapnya sambil mulai melajukan mobil. “Ya, itu kan cewek biasanya, Pak. Eh, Mas. Nah, aku kan cewek yang enggak seperti biasanya.” Aku kemudian tersenyum memamerkan sederet gigiku kepada Rio. Rasanya baru kali ini aku berbicara sepercaya diri itu kepada seseorang yang masih dibilang cukup baru di hidupku. Rio tertawa mendengar gurauanku, “Haha, ya, ya, ya. Aku tahu itu sejak pertama kali liat kamu.” “Ha? Gimana, gimana?” Aku tersedak mendengar jawabannya. “Enggak, itu tadi ada kucing lewat. Eh, ini mau makan di mana?” Aku menyatukan alis sembari menatapnya heran. Gurauan lelaki itu justru tak lucu sama sekali. Aku tahu ucapannya hanyalah untuk mengalihkan topik saja. 45 Sebetulnya ingin mencari tahu maksud dari perkataan Rio, tapi sudahlah aku terlalu malas untuk sekadar bertanya. “Dih lucu dia mah, segala bawa-bawa kucing. Makan di mana aja, terserah.” “Kalau aku kasih kamu pilihan buat turun sekarang di tengah jalan atau turun di tempat sepi enggak ada angkutan umum, jawabanmu juga terserah?” “Eh, ya itu mah kalau Masnya tega.” Rio melirikku sekilas kemudian menggelengkan kepala. “Ra, Ra, hidup itu selalu ngasih pilihan ke kita. Terserah itu bukan jawaban. Terserah itu milik mereka yang enggak tahu mau dibawa ke mana hidupnya.” Aku tersenyum melihat Rio. Menarik juga pikirku. “Salah, Mas. Terserah itu lebih luas tahu artinya. Gini, ketika kita ngasih jawaban terserah berarti ada hal yang melatarbelakangi itu. Pertama, karena emang seikhlas itu nerima mau diajak ke mana aja dan emang udah sepercaya itu dengan pilihan si pemberi pertanyaan. Kedua, karena emang sedang enggak ada rencana mau milih apa. Ketiga, karena enggak mau sampe melukai keinginan dari si pemberi pertanyaan untuk mendapatkan sesuatu yang dia mau.” “Gimana, gimana, Ra? Coba jelasin, coba.” Rio bertanya, tampak tertarik dengan jawabanku. “lya, gini. Tadi kan yang ngajak makan tuh Mas Rio. Ya, manalah aku tahu kalau sebenernya Mas Rio tuh mau makan miayam misalnya. Terus, ketika aku jawab mau sop ayam kan 46 jadi enggak cocok. Mematahkan keinginan Mas sebelumnya. Padahal siapa tahu tadi Mas udah ngebayangin enaknya mi ayam pake ceker dengan kecap dan sambel yang pedes. lya, enggak?” Rio terlihat sejenak berpikir sebelum kemudian mengangguk dan bersuara. “Oh, I see. Menarik dan cukup masuk akal sih. Tapi, tetep aja sih, Ra. Kalau kita udah dikasih pertanyaan gitu dan bebas nentuin pilihan, berarti si penanya emang udah seikhlas itu untuk ngasih pilihan dan keputusan ke yang dia tanya. Kedewasaan seseorang bisa juga diukur dari dia yang bisa menentukan pilihan loh.” Kini giliran aku yang memikirkan perkataan Rio. “Iya sih, tapi itu juga enggak bisa dijadikan tolok ukur kedewasaan, Mas. Itu malah...” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Rio sudah memotongnya, “Ya, udah ya, bahasannya udah dulu. Tuh, di depan ada tongseng, makan itu aja mau?” Rio mengarahkan jari telunjuk pada sebuah warung makan di pinggir jalan. “Mm... “Jawab iya atau enggak, jangan terserah lagi.” “Tya mau,” ucapku sambil memberikan senyuman tipis kepadanya. “Good girl!” Rio tersenyum seraya mulai menepikan a” mobil. 47 48 Memiliki Kita pada akhirnya kembali semesta pertemukan, dengan rencananya yang selalu mencengangkan. Kita pada akhirnya mampu menerima segala hal, dengan lebih terbuka tanpa menyimpan sedikit pun sesal serta amarah. Kita pada akhirnya bisa tersenyum dan saling mendamaikan, usai seluruh perdebatan yang dulu begitu kita kutuk sebagai kesalahan. Kita pada akhirnya sampai pada sebuah pemahaman, yang terbentuk dari sebuah perenungan ketika jarak berkuasa. Kita telah sampai pada titik itu. Kita sampai meski dengan tertatih bahkan sesekali merintih. Untuk kamu yang kembali hadir membawa serta seluruh kenyamanan dan menyingkirkan ketakutan, terima kasih telah memberi banyak pelajaran. Untuk kamu yang kembali datang membawa ribuan pemahaman dengan penerimaan yang tidak pernah aku sangka sebelumnya, terima kasih karena sudah berani untuk menyelesaikan. Dan terima kasih, untuk kamu yang akhirnya membiarkanku kembali memilikimu, sebagai apa pun kamu di hidupku. -L- Aku baru saja mem-posting sebuah tulisan baru di Blog ketika teleponku berdering. Mama calling. “Assalamualaikum. lya Ma, ada apa?” “Waalaikumsalam. Yeee, kamu mah, Mamanya baru nelepon udah ditanya ada apa.” “Hehe, Lara lagi engga konsen tadi, Ma. Jadinya langsung to the point deh.” “Kamu tuh ya, enggak kangen emang sama Mama?” Sebuah pertanyaan terdengar dari seberang telepon dan aku hanya tersipu mendengarnya. Entah, rasanya selalu seperti ini ketika beliau menanyakan kerinduanku kepadanya. “Bilang aja Mama yang kangen, haha. Mau dibawain apa? Minggu ini Lara balik kok, Ma.” Aku tersenyum di ujung telepon sambil menutup laptop. “Bakpia telo ungu ya, tiga. Kejunya dua,” pinta ibuku. “th, banyak banget! Emang Mama sanggup ngabisinnya?” tanyaku lagi. 49 “Ya, kan buat disimpen-simpen. Nanti kalau Mama mau lagi, tinggal makan aja. Enggak usah nungguin kamu balik. Kalau nungguin kamu balik tuh bisa keburu udahan kepinginnya.” Sebuah sindiran halus kini terdengar dan membuatku keki. Tapi, aku tak kehabisan akal, justru sekarang balik menggoda dengan sebuah permintaan yang terselubung. “Makanya, kalau Mama mau bisa makan itu kapan aja, ikut pindah ke Jogja, yuk! Temenin Lara di sini, biar kita engga LDR-an lagi. Hehehe.” “LDR-an banget, Nak? Dulu sama yang kemarin aja betah buat LDR, nyamperin mulu lagi. Ini LDR-an sama Mamanya, malah jarang nyamperin.” Aku dibuat mematung oleh ucapan ibuku barusan. Tiba- tiba saja kembali teringat kebiasaanku untuk berkunjung ke Bandung bila akhir pekan datang. Sudah lama rasanya tidak bertemu Saka. Terakhir kali, itu pun pertemuan tidak sengaja di coffee shop di Jogja. Setelah itu perjanjianku dengannya sebelumnya tetap berlaku. Kami tidak akan saling menghubungi jika aku tidak lebih dulu berkunjung ke kotanya, atau kami kembali dipertemukan secara tidak sengaja. Aku tersenyum mengingat-ingat hal itu hingga suara ibuku di ujung telepon kembali terdengar. 50 “udahan ngelamunnya? Ini Mamamu masih nelepon loh.” “Hahaha, enggak ada yang ngelamun, Ma. Ya, udah nanti Lara beliin pesenan Mama. Ada yang mau dititip lagi?” “Titip bawain calon mantu ya, Nak. Assalamualaikum.” Belum sempat aku protes mengenai omongan ibuku, beliau sudah mematikan sambungan telepon. Meninggalkan aku yang hanya bisa tersenyum menggeleng sambil berucap lirih. “Waalaikumsalam.” Sebetulnya topik itu menjadi salah satu hal yang membuat aku malas bolak-balik ke Jakarta dan berlama-lama ada di rumah. Meski aku senang dengan sifat jahil ibuku dan sering merasakan rindu akan sifatnya itu, tapi tetap saja, aku merasa malas jika beliau sudah mulai merambah ke ranah jodoh dan semacamnya. Ya, aku memang hidup di tengah keluarga yang bisa dibilang cukup kuno. Bila seorang wanita belum menikah di umur twenty something, maka akan banyak pertanyaan ‘kapan’ yang akan hadir. Tak hanya berhenti sampai di situ, pertanyaan kapan adalah momok terbesar di setiap acara keluarga yang kuhadiri. Bila belum juga membawa pasangan maka pertanyaan yang mampir adalah, kapan menikah? Bila sudah menikah dan belum jua dikarunia anak, pertanyaannya 51 akan berganti dengan, kapan punya momongan? Bila sudah menikah dan punya anak, pertanyaannya akan semakin bervariatif dengan, kapan nih dikasih adik? Kasihan masa sendirian aja anaknya? Menarik sebetulnya. Banyak sekali yang lebih peduli dengan kekurangan hidup orang lain dibandingkan dengan kekurangan hidupnya. Sibuk menambal sulam kekurangan dirinya dan memamerkan kesempurnaan semata di depan khalayak umum. Masih dirasa belum cukup, mereka juga menerapkan standar definisi bahagianya kepada orang lain. Dengan kata lain, bila seseorang yang dia kenal itu belum seperti apa yang ada di bayangan mereka, maka orang itu memang tidak bahagia. Aku memijat kedua pelipis dengan ujung jari telunjuk dan ibu jari. Menyandarkan kepalaku di kursi sambil memejamkan mata. Berusaha menghentikan isi kepalaku yang terasa semakin melelahkan jika terus-menerus kuberi- kan pemikiran seperti tadi. Mendadak aku dihadiahi semesta sebuah perasaan rindu. Rindu untuk berkisah dan berbagi, setidaknya kepada sahabatku, Kanaya. a 52 Aku mulai kembali pada rutinitas pekerjaan freelance-ku. Karena hampir setiap hari pulang malam, belum sempat lagi aku dan ibuku melanjut- kan perbincangan kami. Belum sempat juga aku mengajak ngobrol adik-adikku perihal apa yang disampaikan ibuku. Meski kadang aku mengerjakan pekerjaan di rumah, ibu dan adik-adikku pasti sudah berangkat untuk bekerja dan sekolah saat aku terbangun. Lalu, tak lama bosan akan datang dan membuatku ingin mendatangi beberapa coffee shop untuk mencari inspirasi dan melanjutkan pekerjaanku. Tidak hanya bergelut dengan rutinitas, aku mulai membeli beberapa buku untuk aku baca. Aku juga semakin aktif untuk menulis di Blog pribadiku. Hal lain yang membuatku tetap merasa hidup dan tidak kesepian. Hal lain juga yang menggantikan hobiku berkutat dengan kamera, karena sudah jarang mengikuti kegiatan komunitas fotografi. Di suatu weekend, aku memutuskan berkumpul dengan beberapa rekan komunitas menulis di salah satu coffee shop di Bandung. Ajakan dari salah satu teman. “Mas Saka kemarin abis dari Jogja katanya ya? Ketemu sama anak-anak nulis di sana?” tanya Nina, salah seorang anggota di komunitas menulis. “Tya. Hehe. Sebenernya enggak sengaja ketemu. Ternyata temenku ada yang ikutan komunitas nulis juga. Hehe.” Aku menjawab sambil asyik menatap layar laptop karena sedang memikirkan tulisan yang akan aku buat. 53

You might also like