ASESMEN DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Jovita Maria Ferliana
(jovita.maria@ukrida.ac.id)
Pinkan Margaretha Indira
(pinkan.margaretha@ukrida.ac.id)
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
Asesmen atau penilaian merupakan salah satu tahapan proses dalam
pendidikan anak usia dini, untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi
intervensi yang telah diberikan. Namun, kajian mengenainya di Indonesia
tampak belum berkembang, Tulisan ini memaparkan definisi, tujuan dan
metode asesmen yang dilakukan dalam pendidikan anak usia dini di
Indonesia melalui telaah terhadap tulisan atau artikel ilmiah yang
diperoleh mengenai topik tersebut. Kemudian, sebagai pembanding,
ditelaah pula artikel-artikel ilmiah mengenai asesmen yang dilakukan
dalam early childhood education di konteks Amerika Serikat. Selanjutnya
didiskusikan analisis perbandingan di kedua konteks tersebut untuk
memperoleh poin-poin pembelajaran, dan diakhiri dengan rekomendasi
tentang hal-hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan asesmen
PAUD di Indonesia.
Kata kunci: asesmen, pendidikan anak usia dini
PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya mempersiapkan generasi
muda bangsa yang berkualitas dan mampu bersaing di era globalisasi ini. Upaya-
upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dilakukan di
bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan, untuk seluruh jenjang usia warga
negara Indonesia. Khusus bagi anak Indonesia, komitmen pemerintah terhadap hak
anak diamanatkan dalam Amandemen UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 yang
menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, yang
diturunkan dalam UU No. 23 Tahun 2002 pasal 9 ayat 1 tentang Perlindungan Anak
yang menyatakan “Setiap anak bethak memperoleh pendidikan dan pengajaran
dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya”; juga dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
75Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa sistem
pendidikan di Indonesia dimulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, yang merupakan kesatuan sistemik.
Pendidikan usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal dalam bentuk
Taman Kanak-Kanak, Raudatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat; melalui
jalur nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA),
atau bentuk lain yang sederajat; melalui jalur informal berbentuk pendidikan keluarga
atau lingkungan (Pusat Kurikulum Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat
Pembinaan TK dan SD Universitas Negeri Jakarta, 2007)
Pelaksanaan pendidikan usia dini sebelum pendidikan dasar didorong oleh
bukti-bukti ilmiah dalam psikologi perkembangan dan neurologi yang menyatakan
bahwa usia 0 hingga 6 tahun merupakan usia emas, karena di masa tersebut terjadi
perkembangan struktur otak yang merupakan dasar bagi kemampuan bempikir
individu. Untuk sel-sel saraf yang dimiliki bayi dapat berk
dibutuhkan stimulasi yang tepat dari lingkungan dengan kecukupan asupan gizi.
Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini diarahkan untuk menyediakan layanan
stimulasi yang tepat bagi perkembangan kemampuan motorik, kognitif, bahasa, dan
sosioemosi anak, sehingga terjadi jaringan sinapsis dan dendrit yang kompleks,
yang membangun struktur otak sebagai dasar kapasitas berpikir manusia, yang
akan memprediksi peluang untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi
serta kualitas kehidupan yang lebih baik di kemudian hari Hasil-hasil penelitian di
luar Indonesia telah memberikan gambaran mengenai keuntungan yang diperoleh
anak-anak yang mengikuti pendidikan anak usia dini. Penelitian The Carolina
Abecedarian Program, yang dimulai pada tahun 1972, mendesain intervensi pada
anak yang beresiko mulai usia 4 bulan, melalui intervensi yang berkualitas tinggi dan
sesuai dengan perkembangan anak, selama lima hari dalam seminggu, berfokus
pada perkembangan kognitif, sosial, bahasa dan motorik kasar anak hingga usia 5
tahun. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesiapan sekolah anak, memudahkan
transisi mereka ke sekolah dasar, dan menyelidiki efek jangka pendek dan jangka
panjang dari intervensi tersebut. Efek yang positif ditemukan pada partisipan selama
usia 3 hingga 21 tahun, antara lain IQ yang lebih tinggi, skor membaca dan
matematika yang lebih tinggi, tingkat partisipasi di perguruan tinggi, dan tidak
memiliki anak di usia remaja, jika dibandingkan kelompok kontrol (Guide to Effective
76Programs for Children and Youth, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Guralnick,
1997, Ramey dan Ramey, 2004 menunjukkan bahwa pendidikan anak usia dini yang
didesain dan diimplementasikan dengan baik, akan mengarah pada keuntungan
secara kognitif, akademik, keuangan, dan sosio-emosi bagi anak dan keluarganya,
bahkan penelitian lainnya (Ramey & “Ramey, 1999; Ramey & Ramey, 2004;
Schweinhart, Barnes, Wiekart, Barnett, dan Epstein, 1993) mengoperasionalisasikan
keuntungan tersebut menjadi prestasi pendidikan yang lebih tinggi, berpeluang lebih
untuk masuk perguruan tinggi, status pekerjaan yang lebih tinggi, dan berkurangnya
kemungkinan hamil di usia remaja, kemungkinan penggunaan obat-obatan, dan
kemungkinan terlibat dalam kriminalitas sehingga masuk penjara (Downs & Strand,
2006). Di Indonesia, sejak tahun 1997 hingga 2005, World Bank mendukung Dirjen
PAUD untuk mengimplementasikan 600 pusat perkembangan anak usia dini di Bali,
Jawa Barat, Banten dan Sulawesi Selatan, yang dibangun dengan standar tinggi,
yaits pengajamya telah menerima pendidikan selama 2 tahun menge:
anak usia dini untuk memberikan layanan kepada anak-anak usia 4 — 6 tahun. Hasil
evaluasi dari proyek awal ini menunjukkan bahwa anak-anak yang berpartisipasi
memperoleh skor kesiapan sekolah yang lebih tinggi dari anak-anak yang tidak
berpartisipasi, di usia 6 tahun. (Human Development Sector Unit East Asia and
Pacific Region , 2006).
Data ilmiah membuktikan pentingnya pendidikan anak usia dini sebagai
layanan ataupun intervensi untuk menstimulasi perkembangan motorik, kognitif,
bahasa, dan sosio-emosi. Sebagai suatu intervensi, dalam perspektif keilmuan,
dibutuhkan pembuktian akan efektivitas dan efisiensi dari intervensi tersebut. Dari
hasil penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, di konteks Indonesia, tampaknya
masih lebih banyak dibahas mengenai jumlah ketersediaan PAUD, tingkat partisipasi
anak di PAUD, jumlah kebutuhan tenaga pengajar PAUD serta kualifikasinya, serta
model-model intervensinya, daripada pembahasan mengenai upaya-upaya untuk
mengukur efektivitas dan efisiensinya. Tentunya ini dapat dipahami mengingat
pemerintah Indonesia belum terlalu lama dalam menggerakkan program PAUD ini
Namun demikian, untuk memaksimalkan potensi dari program PAUD, dibutuhkan
penelaahan mengenai hubungan antara asesmen dengan intervensi (Downs &
Strand, 2006). Oleh karena itu, makalah ini bertujuan menelaah beberapa tulisan
ilmiah mengenai definisi, tujuan dan metode asesmen di pendidikan anak usia dini
7yang ada di Indonesia, kemudian membandingkannya dengan asesmen pendidikan
anak usia dini di konteks Amerika Serikat, yang telah terlebih dulu
mengimplementasikan pendidikan anak usia dini, dan telah banyak melakukan
penelitian terkait dengan asesmen PAUD, untuk memperoleh poin-poin
pembelajaran yang dapat direkomendasikan untuk implementasi PAUD di Indonesia,
sehingga proses pengembangan pendidikan anak usia dini akan berjalan lebih
progresif dan berbasis pada bukti ilmiah.
Asesmen Dalam Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia
Penulis menemukan empat tulisan ilmiah yang membahas tentang asesmen
dalam pendidikan anak usia dini di konteks Indonesia melalui pencarian di internet.
Tulisan pertama mengemukakan bahwa definisi asesmen adalah proses
pengamatan, pencatatan dan pendokumentasian kinerja dan karya anak,
keterampilan, sikap dan unjuk kerja yang dapat dilihat. Adapun tujuan asesmen bagi
anak usia dini adalah untuk melihat tingkat kemajuan perkembangannya serta
kemampuan yang telah ditunjukkan anak dalam sikap dan peritaku mereka, bukan
untuk mengukur prestasi ataupun pencapaian keberhasilan. Asesmen dilakukan
dengan pengumpulan data melalui observasi, pencatatan, dan perekaman terhadap
perilaku yang ditampilkan. Asesmen harus dilakukan secara kontinu, kemudian
hasilnya dianalisis untuk menggambarkan kemajuan anak tersebut. Ruang lingkup
asesmen adalah observasi, pencatatan, checklist, dokumen, portofolio dan authentic
assessment (Yusuf, 2009)
Tulisan kedua mengemukakan bahwa layanan anak usia dini yang bermutu
adalah layanan yang secara terus-menerus dievaluasi dan ditindaklanjuti. Tulisan ini
membedakan definisi dari tes, pengukuran atau measurement, penilaian atau
assessment dan evaluasi. Tes adalah bagian tersempit dari evaluasi dan diartikan
sebagai salah satu alat untuk mengumpulkan informasi mengenai kemampuan
sikap, minat, maupun motivasi dari peserta didik. Pengukuran dianggap lebih luas
daripada tes merupakan proses penetapan angka pada suatu karakteristik atau
keadaan, yaitu kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor, berdasarkan aturan-
aturan tertentu, yang dapat dilakukan melalui pengamatan. Penilaian dimaknakan
sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran. Sedangkan evaluasi
merupakan seluruh proses penyediaan informasi untuk bahan pertimbangan dalam
78pengambilan keputusan. Keterkaitan antara pengukuran, penilaian dan evaluasi
dimaknai sebagai hirarki, di mana evaluasi didahului dengan penilaian, dan penitaian
didahului dengan pengukuran. Oleh karena itu dalam pendidikan anak usia dini,
evaluasi dimaknakan sebagai proses pengumpulan, penganalisisan, dan pemberian
keputusan tentang data perkembangan dan belajar anak usia dini dalam kegiatan
pembelajaran atau program layanan stimulasi (Nugraha, 2010).
Tulisan ketiga merupakan paparan tentang pentingnya peran guru dan
orang tua untuk melakukan deteksi dini pada anak usia 2— 5 tahun, mengenai fungsi
kognitif, motorik, dan fisiologis dari anak, agar intervensi dini dapat segera diberikan
di masa perkembangan saraf otak yang optimum, sehingga intervensi lebih efektif.
Meski demikian, pendiagnosaan dan pemberian label perlu dilakukan secara berhati-
hati, karena gejala yang ditunjukkan anak bisa jadi merupakan gejala penundaan
perkembangan saja, karena setiap anak memiliki pola khusus dalam
perkembangannya. Oleh karena itu, serangkaian proses observasi, »emeriksaan
riwayat kesehatan anak, penggalian informasi dari orang tua, penilaian dari para
ahli, serta hasil-hasil tes yang terstandarisasi perlu dilakukan sebelum menegakkan
diagnosa, akan tetapi tes-tes yang terstandarisasi kurang tersedia di Indonesia
(Ivanti, 2006).
Tulisan keempat merupakan kerangka dasar kurikulum pendidikan anak usia
dini, dalam salah satu bagiannya mengemukakan bahwa asesmen adalah proses
pengumpulan data dan dokumentasi belajar dan perkembangan anak. Asesmen
dilakukan melalui observasi, konferensi dengan guru, survei, wawancara dengan
orang tua, hasil kerja anak, dan unjuk kerja, dimana keseluruhan penilaian dapat
dibuat dalam bentuk portofolio (Pusat Kurikulum Direktorat Pendidikan Anak Usia
Dini Direktorat Pembinaan TK dan SD Universitas Negeri Jakarta, 2007)
KAJIAN TEORI
Asesmen dalam pendidikan anak usia dini di Amerika Serikat
Artikel pertama mengemukakan tentang tantangan yang dihadapi_ untuk
melakukan asesmen pada anak usia bayi atau kanak-kanak karena banyak variabel
yang berpotensi mempengaruhi proses asesmen, misainya rentang perhatian yang
pendek, suasana hati anak, latar belakang budaya, keberadaan orang asing, juga
79keterbatasan keterampilan berbahasa anak. Meski demikian asesmen merupakan
bagian yang esensial dari intervensi yang berkualitas. Asesmen terhadap anak
sesungguhnya akan menolong pengasuh atau caregivers untuk memahami anak,
membedakan penyebab dan tujuan dari perilaku yang ditunjukkan anak, sehingga
dapat terbangun relasi sosial yang kuat sebagai dasar dalam proses belajar. Melalui
asesmen, pendidik juga dapat menggambarkan dan menelusuri perkembangan anak
dari waktu ke waktu untuk menjamin bahwa anak tumbuh dan berkembang sesuai
dengan harapan. Alasan utama melakukan asesmen secara regular adalah untuk
dapat menerjemahkan informasi hasil asesmen menjadi rencana individual untuk
masing-masing anak, sehingga mengarahkan proses penetapan tujuan dan
perencanaan kurikulum. Asesmen pada anak juga dapat memperkuat hubungan
antara rumah, program dan menguatkan keluarga, karena terjadi berbagi informasi
antara orang tua atau pengasuh dengan pendidik (Dichtelmiller & Ensler, 2004)
Artikel yang kedua memaparkan tentang peran dari asesmen dalam
pendidikan anak usia dini, metode-metode asesmen yang digunakan, lima prinsip
dalam mengorganisasikan asesmen untuk menjamin bahwa asesmen akan
memperbaiki performa anak melalui efek asesmen tersebut pada perilaku dan
pengambilan keputusan dari pendidik (Downs & Strand, 2006). Terdapat 4 peran
utama dari asesmen dalam pendidikan anak usia dini. Pertama, untuk menjamin
akuntabilitas dari pendidik, sekolah atau pengelola program pendidikan anak usia
dini_ dalam menyediakan intervensi yang efektif, dengan mendokumentasikan
efektivitas dari metode intervensi atau layanan yang diberikan melalui asesmen.
Kedua, untuk secara akurat mengidentifikasi anak-anak yang beresiko atau memiliki
kebutuhan akan intervensi yang khusus, sehingga mereka dapat menerima layanan
yang berdampak bagi perkembangan mereka. Ketiga, terkait dengan pendanaan
program anak usia dini yang berasal dari pajak masyarakat, maka perlu diupayakan
penyaluran dana yang efektif dan efisien, oleh karena itu asesmen memegang
peranan yang penting. Keempat, asesmen menyediakan informasi bagi pendidik
terkait dengan proses belajar anak, sehingga memberikan arahan bagi intervensi
yang spesifik untuk setiap anak
Terdapat tiga pendekatan metode asesmen yang biasa digunakan dalam
pendidikan anak usia dini, yaitu pengetesan terstandansasi tradisional, teacher-
rating dan sampel karya anak, serta pengukuran dan penilaian berbasis pada
80kurikulum. Pendekatan tes terstandarisasi memiliki kelebihan yaitu mampu
mengidentifikasi perkembangan anak dibandingkan dengan sebayanya, terutama
bagi anak-anak yang beresiko, serta mampu mengecek akuntabilitas dari program
dan pendidik. Kelemahan tes terstandarisasi adalah tidak banyak menyediakan
informasi yang dapat digunakan oleh pendidik untuk meningkatkan efektivitas
intervensi, serta memberi stigma pada anak melalui label yang diberikan sebagai
hasil tes tersebut. Sebagai respon terhadap kelemahan dari tes terstandarisasi untuk
anak usia dini, muncullah pendekatan altematif yang disebut dengan authentic
assessment, yaitu asesmen yang menekankan pentingnya menggunakan orang
dewasa yang telah dikenal untuk mengukur keterampilan anak ketika sedang
berperilaku secara fungsional dengan stimulasi yang familiar dalam seting yang
aiami. Contoh dari authentic assessment adalah Work Sampling System (WSS)
yang didesain oleh Meisels et al. di tahun 1994, yang mengkombinasikan antara
cklists perkembangan anak
portofolio dari karya siswa, dengan panduan dan
yang diisi oleh guru, dan rangkuman laporan, untuk menyediakan asesmen yang
detil_mengenai keterampilan anak dalam beberapa domain perkembangan.
Kelebihan dari pendekatan WSS adalah mampu mengidentifikasi anak yang
beresiko, serta memberikan informasi mengenai kualitas dan utilitas dari layanan.
Kelemahannya adalah tidak menyediakan informasi yang membantu pendidik
memperbaiki proses belajar anak. Bentuk lain dari authentic assessment adalah
curricullum-based assessment (CBA) yaitu penilaian penguasaan keterampilan
spesifik yang teroganisir dalam hirarki logis mengarah pada hasit yang dinginkan,
dan curricullum-based measurement (CBM), yaitu penilaian sampel keterampitan
yang lebih luas yang menunjukkan kemahiran dalam hasil yang diinginkan. CBA dan
CBM menilai anak dengan stimulus yang familiar, dalam lingkungan yang familiar,
ofeh orang dewasa yang familiar pula, akan tetapi tidak semata-mata tergantung
pada teacher-ratings, melainkan penilaian berulang secara langsung terhadap
performa keterampilan yang ditunjukkan anak. Kelebihan dari pendekatan CBM
adalah melalui asesmen yang berulang terhadap performa anak, pendidik dapat
mengukur perkembangan anak terkait hasil tertentu di awal dan di sepanjang
intervensi, sehingga tersedia data untuk mengidentifikasi anak yang beresiko, serta
data yang dapat digunakan untuk menganalisa kebutuhan dan utilitas layanan yang
diberikan. Keterbatasan dari pendekatan CBM adalah hanya memberikan informasi
81tentang intervensi secara umum, tanpa informasi mengenai keterampilan spesifik
yang perlu dikembangkan anak untuk membuat kemajuan mengarah pada hasil
yang diinginkan. Oleh karena itu disarankan untuk pendekatan CBM dikombinasi
dengan CBA, karena dapat menyediakan asesmen formatif kontinu tentang
penguasaan keterampilan anak yang mengarah pada perkembangan yang
diinginkan. CBA juga menyediakan umpan balik pada pendidik mengenai seberapa
baik mereka telah mengajar setiap anak mengenai keterampilan penting tertentu,
sehingga memungkinkan dilakukan modifikasi intervensi sesuai kebutuhan (Downs
& Strand, 2006).
Untuk memastikan bahwa aktivitas asesmen memperbaiki hasil yang
diinginkan pada anak, terdapat lima prinsip yang perlu diperhatikan. Pertama,
pengukuran harus dibatasi hanya pada variabel yang dianggap dapat berubah
dengan pemberian intervensi. Kedua, asesmen harus berpotensi menyediakan
informasi yang tak terduga atau unik. Ketiga, target utama dari aktivitas asesmen
seharusnya adalah hasil untuk setiap anak daripada metode pengajaran atau
kurikulum. Keempat, asesmen harus dilakukan dalam frekuensi yang memungkinkan
pendidik untuk menyesuaikan metode intervensi mereka sesuai dengan kebutuhan.
Kelima, hasil asesmen harus dipresentasikan kepada rekan sejawat profesional
Pada akhirnya, berbagai asesmen yang dilakukan akan bermanfaat jika ada tindak
lanjut dari informasi yang diperoleh. seperti pengembangan dan modifikasi intervensi
agar sesuai dengan beragam kebutuhan dari anak-anak dalam pendidikan usia dini
(Downs & Strand, 2006).
Artikel yang ketiga memaparkan tentang prinsip-prinsip umum yang perlu
diperhatikan dalam penetapan kebijakan dan praktek asesmen terhadap anak usia
dini atas kesadaran bahwa tidak mudah untuk menilai anak di usia tersebut karena
pada saat itu terjadi pertumbuhan fisik, motorik, dan bahasa yang cepat, episodik,
dan sangat dipengaruhi oleh dukungan lingkungan seperti pengasuhan orang tua,
kualitas pengasuh dan seting pembelajaran (Goal 1 Early Childhood Assessments
Resource Group, 1998). Prinsip-prinsip tersebut adalah asesmen harus membawa
keuntungan bagi anak; asesmen harus dirancang untuk tujuan yang spesifik dan
harus ajek, valid, dan adil; kebijakan asesmen harus didesain dengan menyadari
bahwa reliabiltas dan validitas asesmen semakin meningkat seiring dengan usia
anak; asesmen harus sesuai dengan usia anak baik secara konten maupun metode
82pengumpulan data; asesmen harus peka secara linguistik, dengan menyadari bahwa
dalam batas tertentu hampir semua asesmen merupakan pengukuran bahasa; orang
tua harus dihargai sebagai sumber informasi dalam asesmen, dan juga sebagai
pengguna informasi hasil asesmen.
Sistem asesmen yang tepat akan memiliki asesmen yang berbeda untuk
kategori tujuan yang berbeda. Terdapat 4 kategori tujuan yaitu asesmen untuk
mendukung pembelajaran, asesmen untuk identifikasi kebutuhan khusus, asesmen
untuk evaluasi program dan monitor tren, dan asesmen untuk akuntabilitas resiko
yang tinggi. Pada kategori tujuan yang pertama, asesmen dilakukan pada anak
sebagai bagian dari proses belajar mengajar, sehingga informasi yang diperoleh
akan berguna bagi pengasuh dan pendidik untuk mengetahui apa yang dapat
dilakukan o'eh setiap anak dan apa yang siap dia pelajari lebih lanjut dengan latihan,
dan apa yang terlalu sulit dipelajari saat ini. Pengguna informasi utama dati
asesmen di level kelas ini adalsh pendidik, anak didik dan orang tua untuk
mengetahui proses belajar anak dan apa yang dapat dikembangkan lagi. Kepala
Sekolah dan guru di sekolah dasar juga dapat menggunakan informasi dari asesmen
ini untuk menjamin akuntabilitas dari intervensi yang diberikan oleh program
pendidikan usia dini tersebut. Isi dari asesmen untuk mendukung pembelajaran
tentunya harus sejalan dengan apa yang sedang dipelajari anak, dan kapan materi
itu dipelajari. Reliabilitas dan validitas yang disyaratkan untuk asesmen ini tidaklah
terlalu ketat, karena informasi yang diperoleh lebih digunakan untuk pengambilan
keputusan hari demi hari untuk memodifikasi intervensi. Metode yang digunakan
untuk mengumpulkan data dalam asesmen ini adalah observasi langsung terhadap
anak selama aktivitas alami, memeriksa gambar dan sampel hasil karya, bertanya
secara lisan maupun tertulis, atau bertanya pada orang tua atau pengasuh. Semakin
muda usia anak, semakin tepat untuk menggunakan metode observasi, semakin
anak bertambah usia, semakin dapat digunakan metode bertanya pada anak
sebagai bagian natural dalam proses belajar. Rekomendasi yang diberikan terkait
dengan asesmen untuk kepentingan pembelajaran adalah pembuat kebijakan perlu
mengembangkan alat-alat asesmen yang sesuai dengan tujuan pembelajaran di
setiap tahapan usia perkembangan, dan mendukung pengembangan profesional
dari pendidik dan pengasuh anak usia dini, agar memiliki pemahaman yang tepat
mengenai perkembangan anak yang semestinya secara motorik, kognitif, bahasa,
83sosio-emosi, beserta kemungkinan variasinya. Pendidik juga perlu pelatihan
mengenai penggunaan formulir asesmen, tidak hanya untuk menilai anak, tetapi
untuk mengevaluasi dan memperbaiki praktek pengajaran yang dilakukan. Pelatihan
untuk mengevaluasi hasil karya anak sesuai kriteria tertentu, tidak sekedar
mengumpulkannya saja, tetapi memahami dan menganalisa kesalahan berpikir yang
terjadi, untuk membangun anak sesuai dengan kekuatannya (Goal 1 Early
Childhood Assessments Resource Group, 1998).
Kategori tujuan asesmen yang kedua adalah untuk mengidentifikasi anak
dengan kebutuhan akan layanan kesehatan atau layanan khusus. Melalui asesmen
ini diharapkan dapat diidentifikasi masalah khusus yang dialami anak dan ditentukan
layanan tambahan yang dibutuhkan dan dapat disediakan. Termasuk di dalamnya
identifikasi kebutaan, tuli, gangguan fisik, gangguan wicara dan bahasa, gangguan
emosi yang serius, retardasi mental, dan gangguan belajar spesifik. Untuk asesmen
ini, biasanya di
dengan screening, yaitu asesmen singkat untuk menentukan
apakah anak perlu dirujuk untuk asesmen yang lebih mendalam. Pengguna
informasi dari asesmen ini adalah orang dewasa yang ada di sekitar anak, spesialis
yang akan merancang intervensi lebih lanjut, orang tua, serta guru. Harus disadari
bahwa asesmen yang akurat untuk masalah sensori atau kognitif di anak usia dini
tidak mudah dilakukan kecuali pada gangguan yang ekstrim, oleh karena itu dalam
melakukan asesmen ini perlu diingat peluang berbahaya ketika salah memberi label
pada anak yang kemudian membuat anak diberi intervensi yang tidak efektif. Jaring
pengaman perlu ada ketika anak diases untuk kategori tujuan ini, seperti reliabiltas
dan validitas yang tinggi dari asesmen yang digunakan, dilakukan oleh profesional,
bukti harus diperoleh dari berbagai sumber, serta perbedaan bahasa ibu anak perlu
dipertimbangkan dalam melakukan asesmen. Peringatan yang perlu diperhatikan
terkait dengan screening adalah bahwa itu hanya diperuntukkan untuk proses
identifikasi dan memberikan rujukan lebih lanjut, tetapi tidak boleh digunakan
sebagai satu-satunya pengukuran untuk mengkategorikan anak, karena asesmen itu
terbalas oleh versinya yang pendek serta bukan diadministrasikan oleh spesialis.
Rekomendasi yang diberikan adalah negara perlu menjamin agar setiap anak
memiliki akses untuk pengecekan kesehatan secara reguler, serta perlu adanya
screening untuk penglihatan dan pendengaran di usia enam (6) tahun bagi semua
anak; terdapat program Child Find di pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar
84yang akan memastikan bahwa anak-anak yang berpotensi memiiki gangguan akan
dirujuk untuk asesmen yang lebih mendalam agar dapat diberi layanan yang sesuai;
pembuat kebijakan perlu meningkatkan ketersediaan dan intensitas layanan yang
berkualitas dengan intervensi literasi dan bahasa untuk populasi anak-anak yang
beresiko termasuk anak-anak miskin dah anak-anak berkebutuhan khusus; tes
screening perlu diperhatikan penggunaannya agar tidak disalahgunakan selain untuk
proses memberi rujukan, tidak boleh digunakan sebagai tes kesiapan yang
mengeluarkan anak dari sekolah (Goal 1 Early Childhood Assessments Resource
Group, 1998).
Kategori tujuan asesmen yang ketiga adalah memonitor trend dan
mengevaluasi program serta layanan. Tujuan pertama dan kedua digunakan untuk
membuat keputusan tentang anak. Asesmen dalam tujuan ini, mengumpulkan data
anak dalam kelompok untuk digunakan oleh penentu kebijakan dalam pengambilan
keputusan mengenai program pendidikan dan sosial. Terdapat dua pengukuran
utama yaitu indikator sosial untuk menilai adekuasi layanan terhadap anak atau
kondisi dalam lingkungan tertentu, misalnya persentase anak dari sosial ekonomi
rendah yang berpartisipasi dalam pendidikan anak usia dini. Pengukuran kedua
adalah pengukuran langsung pada anak, misalnya derajat perkembangan bahasa
anak atau pengenalan huruf. Kedua pengukuran tersebut dapat menjadi evaluasi
terhadap kualitas layanan atau program pendidikan anak usia dini, untuk menjamin
akuntabilitasnya. Pengguna informasi hasil asesmen ini adalah pembuat kebijakan,
masyarakat, pendidikan dan penyedia layanan sosial, agar dapat melakukan
perbaikan pada program yang diselenggarakan. Asesmen dengan tujuan ini harus
memenuhi kriteria validitas dan reliabilitas yang tinggi karena hasil asesmen ini
digunakan untuk mengambil keputusan dengan resiko tinggi dan berdampak bagi
banyak pihak. Rekomendasi yang diberikan adalah sebelum usia 5 tahun, sebaiknya
digunakan pengukuran yang berfokus pada indikator sosial yang mengukur kondisi
pembelajaran. Mulai usia 5 tahun, pengukuran langsung pada pembelajaran anak
memungkinkan untuk dilakukan, dengan catatan perlu dijaga agar tidak terjadi
penyalahgunaan hasil asesmen untuk membuat keputusan bagi anak secara
individual, Kategori tujuan keempat adalah asesmen prestasi akademik untuk
menjamin akuntabilitas siswa, pendidik dan sekolah. Tujuan dari asesmen ini lebih
kepada pemeriksaan eksternal, yang dimandatkan oleh otoritas di lar sekolah
85Asesmen ini hampir sama dengan asesmen kategori ketiga. Perbedaannya dengan
asesmen kategori tujuan ketiga adalah efek dari asesmen ini terhadap individu (guru
dan siswa) yang berpartisipasi dalam asesmen, karena skor individu siswa
dilaporkan sebagai informasi hasil asesmen. Oleh karena kemungkinan efek yang
besar tersebut, asesmen dengan kategori tujuan akuntabilitas ini disarankan
dilakukan setelah kelas tiga (3) Sekolah Dasar. Pengambil kebijakan dan pendidik
memiliki tendensi untuk menggunakan data dari satu asesmen untuk menjawab
beberapa tujuan, dengan alasan efisiensi. Akan tetapi, alasan efisiensi tersebut tidak
boleh mengenyampingkan kemungkinan salah penggunaan hasil asesmen sebagai
akibat kombinasi dari tujuan yang ingin dicapai, misalnya menggunakan hasil tes IQ
versi singkat yang seharusnya untuk tujuan screening, sebagai pertimbangan
merencanakan pengajaran atau menahan anak untuk tetap di taman kanak-kanak.
Asesmen pendidikan anak usia dini seharusnya dilakukan untuk mendukung proses
jaran setiap anak, memberi umpan balik bagi pendidik agar dapat terus
memperbaiki pengajaran atau intervensi yang diberikannya, serta menjamin
akuntabilitas dari penyelenggaraan program pendidikan anak usia dini (Goal 1 Early
Childhood Assessments Resource Group, 1998)
Perbandingan asesmen PAUD di Indonesia dan Amerika Serikat
Setelah menelaah empat (4) tulisan ilmiah mengenai asesmen PAUD di
konteks Indonesia dan tiga (3) artikel ilmiah tentang asesmen early childhood
education di konteks Amerika Serikat, penulis akan melakukan perbandingan dari
segi batasan definisi, tyjuan dan metode asesmen untuk memperoleh poin-poin
pembelajaran. Batasan definisi menjadi hal yang penting bagi sebuah konsep
karena sebagaimana asesmen didefinisikan maka sejauh itu juga asesmen itu akan
dipahami dan dipraktekkan oleh pihak-pihak yang terkait, seperti pengelola program
pendidikan anak usia dini, pendidik, pemerintah, anak usia dini dan juga orang tua
atau pengasuh. Keluasan dan kedalaman batasan definisi asesmen juga
menentukan keluasan dan kedalaman penggunaan hasil asesmen. Tujuan juga
merupakan aspek penting dalam asesmen, karena jika pendidikan anak usia dini
dipahami sebagai bentuk layanan atau intervensi yang menyediakan stimulasi agar
anak usia dini bertumbuh dan berkembang secara optimum, maka hasil intervensi
tersebut tentunya perlu diketahui melalui asesmen. Akan tetapi asesmen yang
dilakukan akan menjadi kurang tajam jika tujuannya tidak ditetapkan dengan jelas
86Sekedar memberi penilaian pada karya anak, atau perilaku anak, tanpa memahami
untuk apa penilaian itu dibuat tentunya kurang memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perkembangan anak itu sendiri. Metode asesmen atau
bagaimana asesmen dilakukan terhadap anak usia dini juga menjadi isu penting
karena metode akan menentukan hasil yang diperoleh. Jika metode yang digunakan
kurang sesuai maka hasil yang diperoleh dapat diprediksikan juga akan kurang
tepat.
Di konteks pendidikan anak usia dini indonesia, asesmen didefinisikan
sebagai proses pengamatan, pencatatan dan pendokumentasian kinerja dan karya
anak, keterampilan, sikap dan unjuk kerja yang dapat dilihat (Yusuf, 2009); kegiatan
yang menafsirkan data hasil pengukuran (Nugraha, 2010); dan proses pengumpulan
data dan dokumentas! belajar dan perkembangan anak (Pusat Kurikulum Direktorat
Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Pembinaan TK dan SD Universitas Negeri
Jakarta, 2007). Definisi-definisi tersebut menggambarkan asesmen di pendidikan
usia dini secara konseptual yang perlu untuk diterjemahkan secara operasional
untuk pelaksanaan di lapangan. Konsep bahwa asesmen merupakan sebuah proses
mengamati, mencatat atau pengumpulan data dan mendokumentasi perlu
diteriemahkan kepada bentuk pengamatan, catatan dan dokumentasi seperti apa
yang dimaksudkan. Demikian juga dengan konsep perkembangan, pembelajaran
anak yang dimaksud, yang masih umum, tampaknya perlu dispesifikasi. Konsep
penafsiran data hasil pengukuran juga perlu diterjemahkan kepada bagaimana dan
@ tafsiran yang akan diberikan. Batasan definisi untuk asesmen
PAUD di Indonesia, belum menyertakan secara eksplisit latar belakang mengapa
asesmen perlu dilakukan. Ini yang menjadi pembeda dengan batasan yang
dicantumkan dalam artikel ilmiah mengenai asesmen di konteks Amerika Serikat.
Definisi konseptual tidak lagi secara eksplisit dijabarkan, tetapi asesmen lebih diberi
batasan secara operasional sesuai dengan alasan dan tujuan yang ingin dicapai
Untuk mengidentifikasi posisi anak dibandingkan dengan teman sebayanya, maka
asesmen dibatasi sebagai pemberian tes terstandarisasi kepada anak. Sedangkan
jika ingin mengidentifikasi anak yang beresiko dan mengetahui kualitas dan utilitas
dari layanan, asesmen dibatasi sebagai pengkuran keterampilan anak ketika sedang
berperilaku secara fungsional dengan stimulasi yang familiar dalam seting alami,
oleh orang dewasa yang telah dikenal. Namun, jika ingin diperoleh informasi yang
dapat membantu pendidik untuk memperbaiki proses belajar anak, asesmen
dipahami sebagai penilaian penguasaan keterampilan spesifik anak dan penilaian
sampel keterampilan anak (Downs & Strand, 2006). Batasan yang lebih operasional
dan menyiratkan alasan mengapa asesmen perlu dilakukan akan mempertajam
87implementasi dari asesmen di pendidikan anak usia dini. Mengingat fase anak usia
dini yang masih merupakan masa-masa tumbuh kembang, maka hendaknya
asesmen yang dilakukan memiliki latar belakang jelas sehingga benar-benar
memberikan manfaat bagi perkembangan anak, bukan semata-mata suatu proses
yang biasa atau harus dilakukan karena kelayakan saja. Penyelenggara program
dan pendidik PAUD yang mengetahui secara spesifik apa dan mengapa asesmen
perlu dilakukan dalam layanan atau intervensi yang diberikannya, tentu akan lebih
seksama dalam memberikan penilaian kepada anak didiknya.
Terkait erat dengan batasan asesmen adalah tujuan mengapa asesmen
dilakukan dalam pendidikan anak usia dini. Di konteks Indonesia, tujuan asesmen
adalah melihat tingkat kemajuan perkembangan anak serta kemampuan yang telah
ditunjukkan anak dalam sikap dan perilakunya, bukan untuk mengukur prestasi
(Yusuf, 2009). Dalam kerangka dasar pengembangan kurikulum PAUD, bahkan
tidak dituliskan mengenai tujuan dari asesmen, hanya sebatas pada definisi dari
asesmen saja. Dalam konteks Amerika Serikat, asesmen dalam early childhood
education menspesifikasikan tujuan asesmen sebagai berikut: asesmen untuk
mendukung pembelajaran, asesmen untuk identifikasi kebutuhan khusus, asesmen
untuk evaluasi program dan monitor tren, dan asesmen untuk akuntabilitas (Goa/ f
Early Childhood Assessments Resource Group, 1998), serta menjamin efektivitas
dan efisiensi penyaluran dana pajak rakyat yang digunakan untuk intervensi anak
usia dini (Downs & Strand, 2006). Tujuan yang spesifik akan mengarahkan
pelaksanaan asesmen yang lebih bertanggungjawab. Tujuan asesmen PAUD di
konteks Indonesia, kurang memperhatikan upaya untuk mengidentifikasi anak-anak
usia dini dengan kebutuhan khusus, sehingga jika anak-anak tersebut mengikuti
PAUD, mereka tidak akan menerima intervensi yang sesuai dengan kebutuhan
mereka. Demikian juga dengan upaya untuk mengevaluasi program intervensi atau
layanan PAUD, serta menjamin akuntabilitas layanan tersebut, terkait juga dengan
kesadaran bahwa ada program PAUD yang dibiayai dengan pajak masyarakat
sehingga perlu dijamin efisiensinya, tampak belum terwadahi di konteks Indonesia.
Cita-cita untuk menyediakan layanan atau intervensi anak usia dini yang berkualitas
akan menjadi suatu utopia jika kurang ada kesadaran dan upaya untuk
mengevaluasi secara kontinu.
88Metode asesmen di PAUD konteks Indonesia adalah observasi, pencatatan,
checklist, dokumen, portofolio, dan authentic assessment (Yusuf, 2009),
pemeriksaan riwayat kesehatan anak, penggalian informasi dari orang tua, penilaian
dari para ahli, hasil-hasil tes yang terstandarisasi (Ivanti, 2006), konferensi dengan
guru, survei, hasil kerja anak, unjuk’ kerja anak, portofolio (Pusat Kurikulum
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Pembinaan TK dan SD Universitas
Negeri Jakarta, 2007). Di konteks Amerika Serikat, metode asesmen dikelompokkan
menjadi 3 pendekatan, yaitu pengetesan terstandarisasi, teacher-rating dan sampel
karya anak, serta pengukuran dan penilaian berbasis kurikulum. Dalam setiap
pendekatan terdapat proses asesmen yang menggunakan beragam_ teknik
observasi, wawancara dan tes, yang ditujukan pada anak maupun orang-orang
dewasa yang relevan. Dibandingkan dengan konteks PAUD Indonesia, pemilihan
setiap pendekatan ini didasari oleh alasan mengapa asesmen dilakukan. Hal ini
¥ rsirat dengan jelas di tulisan ilmiah mengenai asesmen PAUD konteks
Indonesia, sehingga menimbulkan peluang untuk penyelenggara program atau
pendidik mengimplementasikan metode asesmen tanpa paham benar latar belakang
dan sifat dari metode tersebut, yang berpengaruh pada kurang optimalnya utilitas
dari metode asesmen yang dilakukan. Di lapangan, pendidik PAUD dapat
melakukan observasi terhadap perilaku anak, tetapi tidak mengikuti kaidah teknik
observasi yang ilmiah, sehingga penilaiannya pun akan banyak dipengaruhi oleh
bias personal. Demikian juga dengan mengumpulkan sampel karya anak, pendidik
dapat menyusunnya dalam portofolio kemudian menunjukkan kepada anak ataupun
orang tua, tetapi kurang tajam dalam memberikan asesmen terhadap hasil karya
tersebut terkait dengan aspek-aspek perkembangan anak. sebagai informasi yang
bermantfaat bagi pendidik, anak didik maupun orang tua atau pengasuh
Selain definisi, tujuan dan metode asesmen pendidikan anak usia dini,
artikel ilmiah tentang early childhood education di konteks Amerika Serikat,
menekankan pula tentang prinsip-prinsip asesmen yang perlu diketahui oleh
berbagai pihak yang terlibat dalam intervensi tersebut, yaitu asesmen harus
menguntungkan anak, harus dirancang untuk tujuan yang spesifik, ajek, valid dan
adil, harus didesain dengan menyadari bahwa reliabilitas dan validitas asesmen
semakin meningkat seiring dengan usia anak, harus peka dengan usia anak secara
konten maupun metode, harus peka secara linguistik, harus menghargai orang tua
39sebagai sumber informasi sekaligus pengguna informasi hasil asesmen (Goal 1
Early Childhood Assessments Resource Group, 1998). Di konteks Indonesia,
prinsip-prinsip asesmen belum dirumuskan dengan spesifik, sehingga membuka
peluang implementasi asesmen yang tidak peka tethadap anak serta orang tua,
tidak menggunakan instrumen atau teknik yang valid, ajek dan adil, yang pada
akhimya justru berpeluang merugikan anak dalam masa perkembangannya. Prinsip-
prinsip dalam asesmen merupakan penuntun dan sekaligus pagar batas dalam
implementasi asesmen bagi semua pihak yang terlibat, dengan tujuan agar
keuntungan sebesar-besarnya diarahkan bagi perkembangan anak secara optimum
Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang diajukan penulis setelah menelaah tulisan atau
artikel ilmiah terkait dengan asesmen pendidikan anak usia dini di konteks Indonesia
dan di konteks Amerika Serikat, adalah sebagai berikut:
1. Pembuat kebijakan mengenai kerangka dasar kurikulum PAUD_ perlu
menspesifikasi dan mengoperasionalisasikan definisi mengenai asesmen
pendidikan anak usia dini di Indonesia sehingga pihak-pihak yang (erlibat
dalam PAUD akan memiliki kesamaan pemahaman dalam
mengimplementasikannya.
2. Pembuat kebijakan mengenai kerangka dasar kurikulum PAUD_ perlu
menetapkan tujuan asesmen dalam PAUD yang mewadahi anak-anak usia
dini dengan kebutuhan khusus, menjamin terlaksananya evaluasi kualitas dan
utilitas PAUD sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat.
3. Para akademisi dan praktisi di bidang pendidikan anak usia dini, perlu untuk
mengembangkan metode-metode asesmen yang bervariasi tergantung pada
alasan asesmen dilakukan dan utilitas asesmen tersebut. Teknik-teknik
pengamatan, wawancara, tes peru dilatihkan bagi pendidik dan
penyelenggara PAUD secara intensif, sehingga penilaian yang diberikan
benar-benar akurat dan membawa manfaat optimal bagi perkembangan anak
4. Pembuat kebijakan, akademisi dan praktisi PAUD di Indonesia perlu
merumuskan dan menyepakati prinsip-prinsip asesmen yang dilakukan di
pendidikan anak usia dini, sehingga dalam implementasinya, semua pihak
yang terlibat bergerak dalam batasan prinsip yang jelas, dilandasi oleh
90kesadaran bahwa hasil asesmen yang akurat akan menjamin pengambilan
keputusan yang lebih akurat di semua level (orang tua/pengasuh, pendidik,
pembuat kebijakan).
5. Akademisi di bidang PAUD perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang
asesmen dalam pendidikan anak’ usia dini agar tersedia bukti-bukti empiris
mengenai efektivitas dan kesahihan dari asesmen tersebut, sehingga praktisi
PAUD dapat mengimplementasikan asesmen yang telah teruji secara ilmiah.
otDAFTAR PUSTAKA
Dichtelmiller, M. L., & Ensler, L. (2004, January). Infant/Toddler Assessment One
Program's Experience. Diambil kembali dari www.naeyc.org:
www.naeyc.org/files/yc/file/200401 /dichtel.pdf
Downs, A., & Strand, P. S. (2006). Using Assessment to Improve the Effectiveness
of Early Childhood Education. Journal Child Family Study, 15, 671-680
doi:10.1007/s10826-006-9080-7
Goal 1 Early Childhood Assessments Resource Group. (1998). Principles and
Recomendations for Early Childhood Assessments.
Guide to Effective Programs for Children and Youth. (2003). www.childtrends.org.
Dipetik June 13, 2012, dari
www.childtrends.org/lifecourse/programs/CarolinaAbecedarianProgram.htm
Human Development Sector Unit East Asia and Pacific Region . (2006). Early
Childhood Education and Development in Indonesia: An Investment for A
Better Life. The World Bank.
Ivanti, A. (2006). Identifikasi Siswa Beresiko Mengalami Kesulitan Belajar Spesifik di
Taman Kanak-Kanak. Jurnal Universitas Paramadina, 6, 37 - 48.
Nugraha, A. (2010). Evaluasi Pembelajaran Untuk Anak Usia Dini. Unpublished
Manuscript. Jurusan Pedagogik, Pendidikan Guru PAUD, Fakultas limu
Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia
Pusat Kurikulum Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Pembinaan TK dan
SD Universitas Negeri Jakarta. (2007). Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan
Anak Usia Dini. Departemen Pendidikan Nasional
Yusuf, A. M. (2009). Penerapan Assessment (Penilaian) Pendidikan Anak Usia Dini
Ala Indonesia. Unpublished Manuscript. Jurusan limu Pendidikan, Fakultas
limu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha.
92