You are on page 1of 13

Mery Yanti dan Yusnaini, The Narration of Digital Literacy Movement in Indonesia

INFORMASI: Kajian Ilmu Komunikasi-ISSN (p) 0126-0650; ISSN (e) 2502-3837


Vol. 48. No. 2 (2018). Pp.243-255. doi: https://doi.org/10.21831/informasi.v48i2.21148

THE NARRATION OF DIGITAL LITERACY MOVEMENT IN INDONESIA

Mery Yanti
mery.yanti@fisip.unsri.ac.id
Yusnaini
yusnaini@fisip.unsri.ac.id
Universitas Sriwijaya

Abstract
This article aims to analyze the digital literacy movement in Indonesia and its determinant
using the narrative approach. Empirical research is carried out with qualitative content
analysis methods. The primary data of the study came from 255 online news which
contained digital literacy keywords that were detected by Google search engines and
published in trusted online media. Secondary data collected from publications of
government, private, and civil society organizations related to digital literacy. We use
an interactive model and Atlas.ti 8 to analyze research data. The results showed that
each actor had a variety of views about the definitions and situations that underlie
digital literacy problems. The digital literacy movement narrative in Indonesia can be
explained using the logic of the problem - solution - results. Problem narratives tend to
be based on data from a variety of data sources on the profile and behavior of internet
users, the development of e-commerce, digital security and crime, digital radicalism,
basic competencies of digital literacy, national competitiveness, and the online mass
media industry. Starting from the problem narrative, the actors proposed the same
solution, namely strengthening digital literacy of internet users, although they differed
in identifying target groups. The goals of this solution are a reduction in digital crime,
an increase in the digital economy, knowledge, digital skills, and digital governance, as
well as the birth of practices in the use of information and communication technology
that refers to three principles, namely: security principle, economic principles, and
social-cultural principle. We identified four actors who acted as victims in the digital
literacy movement narrative in Indonesia: society as a whole, religious institutions,
state institutions, population, economic commodities, and market participants. The
criminal’s character includes internet users, legal players, government institutions, and
politicians. Meanwhile, heroes are all actors acting in the digital literacy movement in
Indonesia. Fours factors contributed to digital literacy movement: public participation,
commitment and togetherness, shared goals and interests, and a massive, systematic,
and synergistic strategy, movement management, and learning process. We discuss the
theoretical and practical implications of these findings.

Keywords: Digital Competency, Digital Literacy, Internet, Narrative Approach, Social


Movement.

243
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018

NARASI GERAKAN LITERASI DIGITAL DI INDONESIA


Abstrak
Artikel ini bertujuan menganalisis gerakan literasi digital di Indonesia dan determinannya
dengan pendekatan naratif. Riset empiris dilaksanakan dengan metode analisis isi
kualitatif. Data primer penelitian berasal dari 255 berita online yang mengandung kata
kunci “literasi digital” yang di deteksi mesin pencari Google dan dipublikasikan di media
online terpercaya. Data sekunder dikumpulkan dari publikasi organisasi pemerintah,
swasta, dan/atau masyarakat sipil yang berhubungan dengan literasi digital. Analisis
data penelitian menggunakan model interaktif dengan bantuan software Atlas.ti 8.
Hasil penelitian menunjukkan setiap aktor memiliki keragaman pandangan tentang
definisi dan situasi yang melatari masalah literasi digital. Alur cerita gerakan literasi
digital di Indonesia bisa dijelaskan menggunakan logika masalah – solusi – hasil.
Narasi masalah cenderung berbasis data dari beragam sumber data tentang profil dan
perilaku pengguna internet, perkembangan e-commerce, keamanan dan kriminalitas
digital, radikalisme digital, kompetensi dasar literasi digital, daya saing bangsa, dan
industri media massa daring. Bertolak dari narasi masalah, para aktor mengusulkan
solusi yang sama, yakni penguatan literasi digital pengguna internet, meski berbeda
dalam identifikasi kelompok sasaran. Hasil akhir solusi ini adalah berkurangnya
kriminalitas digital, meningkatnya perekonomian digital, pengetahuan, keterampilan
digital, dan digital governance, serta melahirkan praktik-praktik penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi yang mengacu ke tiga prinsip, yakni: prinsip keamanan,
prinsip ekonomi, dan prinsip sosio-kultural. Peneliti mengidentifikasi empat aktor
yang berperan sebagai korban dalam narasi gerakan literasi digital di Indonesia, yakni:
masyarakat secara keseluruhan, institusi agama, institusi negara, populasi penduduk,
komoditas ekonomi, dan para pelaku pasar. Para penjahatnya meliputi pengguna
internet, para pelaku pasar berbadan hukum, institusi pemerintah, dan oknum para
politisi. Sedangkan, pahlawannya adalah semua aktor yang bertindak nyata dalam
gerakan literasi digital di Indonesia. gerakan literasi digital dipengaruhi empat faktor
yakni: partisipasi publik, komitmen dan kebersamaan, tujuan dan kepentingan
bersama, dan strategi yang masif, sistematis, dan sinergis, manajemen gerakan, dan
proses pembelajaran. Peneliti mendiskusikan implikasi teoretis dan praktis temuan ini.

Kata Kunci: Gerakan Sosial, Internet, Kompetensi Digital, Literasi Digital, Pendekatan
Naratif

PENDAHULUAN mengkhawatirkan. Dianggap menggembira­


Menurut hasil survei Asosiasi Penye­ kan karena sebagian warga negara Republik
lenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dari Indonesia sudah menikmati kecanggihan
total penduduk Indonesia yang mencapai teknologi informasi dan komunikasi be­serta
256,2 juta orang, pengguna internet mencapai manfaat turunnya. Hal ini selaras dengan
132,7 juta. Jumlah ini tersebar di Jawa (65 riset-riset sebelumnya yang menunjukkan
persen), Sumatera (15,7 persen), Sulawesi (6,3 bagaimana internet memicu lahir­ nya
persen), Kalimantan (5,8 persen), Bali dan e-learning (Hidayat, 2017: 17–36; Knox,
Nusa (4,7 persen), dan Papua (2,5 persen). 2014: 164–177), e-commerce (Ardiansyah,
Pengguna internet laki-laki mencapai 51,8 Yunizar, & Harsanto, 2016: 243–254; Astuti
persen dan netizens perempuan men­capai & Nasution, 2014: 69–88; Santosa, 2001: 126–
48,2 persen (APJII, 2016). Perkem­bangan 141), e-procurement (Aprizal & Purba, 2013:
ini cukup menggembirakan sekaligus 15–28; Harjito, Achyani, & Payamta, 2015: 61–
82), e-voting (Hilbert, 2009: 87–110; Kahani,
244
Mery Yanti dan Yusnaini, The Narration of Digital Literacy Movement in Indonesia

2006: 113–125), dan e-health (Coleman, 2014: tepat dalam mendukung gerakan LD yang
1–7; Wentink, Prieto, de Kloet, Vliet Vlieland, dikelola para pengguna internet dengan
& Meesters, 2017: 1–6). prinsip kerelawanan. Ide penelitian ini lahir
Tetapi, penetrasi internet yang cukup dari semangat dan logika berpikir pragmatis
tinggi juga diiringi dengan lahirnya seperti ini.
beragam persoalan sosial baru, misalnya Di samping itu, dari sudut pandang
berita hoax, bullying, pornografi, penyebar akademik, penelitian ini menjadi penting
kebencian, perjudian daring, transaksi dilaksanakan karena dua hal: pertama, kajian
seks daring, pencurian informasi, dan LD lebih banyak dipotret dari sudut pandang
sebagainya. Beberapa riset sebelumnya e-learning. Kedua, penelusuran artikel ilmiah
sudah mengidentifikasi implikasi negatif selama lima tahun terakhir (2014-2018) di
internet dengan istilah patologi informasi SCOPUS dengan kata kunci “digital literacy”
(Bawden & Robinson, 2009, 180–191), AND “social movement” hanya menampilkan
ketidakadilan digital (Robinson et al., 2015, 1 (satu) artikel, yakni artikel Emejulu &
569–582), masalah sosial global (Drori, 2014: McGregor (2016, 1–17). Di Indonesia, baru
433–450). Begitu besarnya dampak beragam ada 2 (dua) artikel yang menjelaskan gerakan
persoalan ini bagi kehidupan bangsa LD (lihat, Jordana & Suwarto, 2017, 167–180;
Indonesia, mendorong Pemerintah Republik Kurnia & Astuti, 2017, 167–180). Hal ini
Indonesia mengeluarkan Undang - Undang menunjukkan minimnya perhatian para
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan ilmuwan yang melihat fenomena LD dari
Transaksi Elektronik. Yang terbaru, sebagai sudut pandang teori gerakan sosial. Pada
turunan dari undang-undang ini, adalah titik ini, penelitian ini diharapkan dapat
dibentuknya Badan Siber dan Sandi Nasional berkontribusi signifikan dalam perdebatan
(BSSN) melalui Peraturan Presiden Republik ilmiah tentang LD.
Indonesia Nomor 53 Tahun 2017 dengan tugas Ada beberapa penelitian yang telah
utama melaksanakan keamanan siber secara menggunakan pendekatan naratif untuk
efektif dan efisien dengan memanfaatkan, menjelaskan gerakan sosial. Studi Nielsen
mengembangkan, mengonsolidasikan (2009, 448–468) di India menemukan
semua unsur yang terkait dengan keamanan beragam makna yang diberikan aktor
siber. terhadap gerakan sosial yang mereka ikuti.
Pemerintah pusat sebetulnya sudah Riset Clark (2016, 788–804) menelaah
memiliki program untuk meningkatkan gerakan sosial online para feminis di Twitter
literasi digital (LD) para pengguna internet, dengan hashtag #WhyIStayed. Di Cina,
yakni program Internet Sehat dan program Huang (2016, 788–804) meneliti gerakan
#SiBerkreasi. Kedua program ini difasilitasi petisi online yang diinisiasi beberapa warga
pemerintah, melibatkan banyak pihak dari negara. Meskipun sama-sama menggunakan
beragam kalangan, dan bukan inisiatif dari pendekatan naratif, riset ini berbeda dengan
pengguna internet. Tetapi, dua program studi Nielsen (2009, 448–468), Clark (2016,
ini tetap saja belum mampu mengelola 788–804), dan Huang (2016, 788–804)
kompleksitas persoalan LD di Tanah Air. karena peneliti menggunakan pendekatan
Intinya, pemerintah tetap membutuhkan Narrative Policy Framework (McBeth, Jones,
partisipasi dari para pengguna internet & Shanahan, 2014). Selain itu, objek empiris
untuk merespons persoalan LD. Tetapi, ketiga riset ini fokus ke gerakan sosial daring,
pemerintah sebetulnya membutuhkan sedangkan ketiga penelitian sebelumnya
informasi awal seperti apa dan bagaimana fokus ke gerakan LD yang terjadi di level
sesungguhnya tindakan-tindakan nyata dunia nyata.
yang dilakukan para pengguna internet Secara teoretis, terminologi literasi
untuk meningkatkan LD sesama mereka. memiliki empat makna. Pertama,
Jika pengetahuan ini bisa dipetakan, maka kemampuan membaca dan menulis yang
pemerintah bisa memosisikan diri secara menjadi prasyarat bagi seseorang terlibat

245
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018

interaksi sosial. Kedua, kemampuan internet hanya mengenal data binary atau
membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga, data digital (1 atau 0), maka ketiga literasi ini
merujuk ke kualitas seseorang yang intelek sering dianggap sebagai elemen pokok LD
dan berpendidikan sehingga mampu (Koltay, 2011, 211–221; Martin & Grudziecki,
berpartisipasi secara penuh dalam aktivitas 2006, 1–19).
kemasyarakatan, baik di sektor sosial, Tetapi, beberapa ilmuwan melihat
ekonomi, politik, dan budaya. Keempat, LD dengan cara yang berbeda. Reynolds
literasi merupakan karakteristik kelompok (2016, 735–762) misalnya, menganggap
sosial atau budaya tertentu (Stokes, 2008, LD berisi enam elemen pokok yang saling
608–616). berhubungan satu sama lain, yakni:
Literasi melekat secara mendalam create (membuat), manage (mengelola),
kehidupan sosial (Kalman, 2008, 523–538). publish (mempublikasikan), socialize
Ketika lanskap kehidupan sosial berubah, (mensosialisasikan), research (mencari),
maka literasi juga berubah. Hari ini, surf (berselancar). Gruszczynska &
kehidupan manusia dikonseptualisasikan Pountney (2013, 25–36) melihat LD lebih
secara berbeda oleh para ilmuwan, mulai ke persoalan akses, keterampilan, praktik,
dari information society (Webster, 2010, 443– dan konteks sosio-kultural. Sedangkan
458)this Student Edition of the successful Bulger, Mayer, & Metzger (2014, 1567–1583)
Handbook of New Media has been abridged melihat LD sebagai kemampuan membaca
to showcase the best of the hardback dan menulis dengan menggunakan sumber
edition, knowledge society (Krohn, 2001, daya daring, menyeleksi sumber daya daring,
8139–8143), post-industrial society (Crouch, menyintesiskan informasi menjadi pesan
2001, 7347–7351). Di era information society, yang koheren, dan mengomunikasikan
knowledge society, atau post-industrial pesan ke penerima pesan. Sudut pandang
society, kemampuan membaca, menulis, dan LD sebagai keterampilan (skill) juga
berhitung yang dimiliki setiap individu tidak diungkapkan Helsper & Eynon (2013, 696–
lagi memadai dijadikan prasyarat partisipasi 713) yang membagi digital skill ke dalam
dalam beragam sektor kehidupan sosial. empat kategori, yakni: critical, social,
Inovasi teknologi komputer dan komunikasi creative dan technical skills. Bagi Ilomäki,
meningkatkan kemampuan manusia Paavola, Lakkala, & Kantosalo (2016, 655–
dalam memproduksi, mendistribusikan, 679), digital skill hanya salah satu komponen
dan mengonsumsi informasi secara masif. konsep digital competence. Jika LD dijelaskan
Informasi tidak lagi dipahami hanya sebatas dengan konsep digital competence, maka LD
huruf dan angka, tetapi meliputi gambar, juga meliputi: (a) kemampuan menggunakan
suara, dan audio visual yang diproduksi, teknologi digital secara bermakna dalam
didistribusikan, dan dikonsumsi melalui kehidupan sehari-hari; (b) kemampuan
beragam media. mengevaluasi teknologi digital secara kritis;
Di era masyarakat informasi, setiap dan (c) motivasi berpartisipasi dalam budaya
individu berhadapan dengan proses dan digital.
media komunikasi yang multimodality (Cope Sementara itu, konsep gerakan
& Kalantzis, 2009, 164–195) dan karenanya sosial merupakan abstraksi tingkat tinggi
membutuhkan kompetensi multiple literacies fenomena sosio-kultural yang kompleks
(Kellner, 2001, 67–81) yang berisi technology dan mengandung elemen identitas kolektif,
literacy (Erstad, 2010, 34–41; Gamire & kohesi, kontinuitas, jejaring kelompok
Pearson, 2006), media literacy (Sterling, dan individu, dan tujuan perubahan sosial,
2009, 884–887), dan information literacy organisasi dan struktur politik, emosi,
(Godwin, 2006, 268–287; Pinto, Pulgarín, budaya, pengaruh media, dan framing (Refle,
& Escalona, 2014, p. 2.311-2.329). Penemuan 2016, 244–245; Travaglino, 2014, 1–14).
teknologi internet memungkinkan terjadinya Gerakan sosial adalah salah satu bentuk
konvergensi ketiga literasi ini. Karena tindakan kolektif yang ada di masyarakat.

246
Mery Yanti dan Yusnaini, The Narration of Digital Literacy Movement in Indonesia

Ia bukan tindakan individu, tetapi tindakan tertentu. Analisis gerakan sosial fokus ke isu,
beragam individu. Sekumpulan individu ideologi, dan konstituen non-kelas.
ini bertindak kolektif karena memiliki
tujuan, kepentingan, nilai, atau imagined METODE
solidarity (Bayat, 2005, 891–908), social
consciousness (McNall, 1986, 3–28), atau Penelitian ini menggunakan pen­
belief system (Mueller & Judd, 1981, 182– dekat­ an analisis isi kualitatif (Elo et al.,
187) yang sama. Ide ini tentu saja bertolak 2014; Morgan, 1993) yang dikombinasikan
belakang dengan argumentasi Olson (1971, dengan pendekatan narrative policy frame­
p. 2) yang menyatakan bahwa setiap individu work (McBeth et al., 2014) untuk meng­
dalam kolektivitas tertentu tidak akan analisis narasi gerakan LD di Indonesia.
pernah bertindak untuk mencapai tujuan Konsekuensinya, empat elemen inti dalam
kolektif, tetapi hanya akan bertindak untuk analisis narrative policy framework akan
memenuhi kepentingan pribadinya. dijadikan sebagai fokus penelitian, yakni:
Menurut Buechler (1993, 217-235), latar (setting), aktor (character), alur cerita
ada beberapa teori yang berkembang di (plot), solusi (moral) (McBeth et al., 2014).
kalangan sosiolog untuk menjelaskan Data primer penelitian ini berasal dari
fenomena gerakan sosial. Yang pertama web berbentuk news (berita) yang mengan­
adalah teori resource mobilization (RM) dung kata kunci frase “literasi digital”. Pada
yang melihat gerakan sosial sebagai sesuatu 9 Januari 2018, Google© menampilkan
yang terstruktur dan memiliki pola-pola 350 web yang mengandung kata kunci
tertentu sehingga bisa dianalisis dengan ini. Halaman web ini dibuka satu per satu
konsep dinamika organisasi. Gerakan sosial meng­gunakan aplikasi Safari© versi 11.1.1
akan efektif ketika memiliki akses ke sumber (13605.2.8) untuk kemudian disimpan dalam
daya dan di topang sumber manusia yang bentuk portable document format (PDF).
bermotivasi tinggi. Pertemuan dua hal ini Karena proses duplikasi berita, peneliti
akan memicu proses mobilisasi yang mampu hanya mendapatkan 255 dokumen yang di­
melahirkan identitas kolektif. ikut­sertakan dalam proses analisis data
Yang kedua, lanjut Buechler (1993, 217- selanjutnya yang menggunakan aplikasi
235), adalah teori perubahan sosial yang ATLAS.ti© versi 8.2.4 (559). Tahapan analisis
bisa kelompokkan menjadi dua jenis, yakni data mengikuti tiga tahapan. Tahap pertama
political-centered dan cultural-centered. analisis data adalah pengkodean data. Pada
Teori political-centered melihat totalitas fase ini, peneliti membaca narasi teks dengan
masyarakat dengan konsep kapitalisme tujuan mengkode data ke dalam code. Proses
lanjut. Dalam masyarakat seperti ini, pengkodean ini mengacu ke fokus penelitian
kekuasaan bersifat tunggal, sistemis, dan dan menghasilkan kategori-kategori tertentu
terpusat. Gerakan sosial di lihat sebagai yang siap dianalisis lebih jauh. Di tahap
varian baru gerakan kelas dan akan bersifat kedua, peneliti akan menampilkan data yang
progresif jika beraliansi dengan gerakan sudah diolah dengan bantuan ATLAS.ti©. Di
kelas. Gerakan sosial adalah gerakan politik tahap ketiga, peneliti akan menunjukkan dan
dan bersifat radikal. Sebaliknya, gerakan mendiskusikan temuan penelitian. Satuan
budaya bersifat apolitis. Analisis gerakan analisis penelitian ini adalah lembaga,
sosial fokus ke lokasi dan situasi kontradiktif, organisasi, atau institusi. Meskipun yang
kelas menengah, dan kelas-kelas sosial baru. bertindak di lapangan adalah individu, tetapi
Sementara itu, kelompok teori cultural- tindakan individu dianggap mencerminkan
oriented melihat gerakan sosial sebagai perilaku lembaga, organisasi, atau institusi.
ekspresi simbolik, berpotensi menggantikan Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari
perjuangan kelas, dan bersifat radikal. publikasi organisasi pemerintah, swasta,
Sebaliknya, gerakan politik dianggap tidak dan/atau masyarakat sipil yang berhubungan
radikal karena dapat dikooptasi pihak-pihak dengan LD. Bentuk data sekunder bisa

247
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018

berupa jurnal ilmiah, laporan atau berita yang saling berasosiasi. Jika LD adalah arus
resmi lembaga. utama, maka terdapat tiga arus kecil yang
mengalir di sepanjang arus utama ini, yakni:
HASIL DAN PEMBAHASAN e-learning, e-commerce, dan e-security, yang
memiliki alur cerita sendiri.
Struktur narasi gerakan literasi digital
Latar Alur cerita
Latar adalah situasi kehidupan sosial Dalam konteks gerakan LD, meski setiap
manusia yang melahirkan masalah LD. Setiap aktor memiliki cara dan narasi yang berbeda
aktor, karena perbedaan afiliasi organisasi, tatkala mengonstruksi narasi gerakan LD,
sudut pandang, dan kepentingan jangka tetapi alur cerita mereka memiliki kesamaan,
panjang, memiliki keragaman pandangan yakni: masalah, solusi, dan hasil. Alur
tentang situasi hari ini yang melahirkan cerita ini mengikuti cara berpikir sistem yang
masalah LD. Hasil coding data primer dengan terdiri atas komponen input, proses, output,
ATLAS.ti© versi 8 menunjukkan bahwa aktor dan umpan balik.
pemerintah cenderung melihat kesenjangan Awal cerita aktor selalu dimulai dengan
digital, radikalisme, kriminalitas digital, data ilmiah, baik yang berhubungan dengan
konten negatif, dan rendahnya LD sebagai tingkat penetrasi TIK maupun perilaku
situasi yang mendorong perlunya gerakan pengguna internet di Indonesia. Sumber
LD. Sementara itu, aktor korporasi swasta data­nya berasal dari 18 (delapan belas)
mengidentifikasi kesenjangan edukasi LD, lembaga, baik institusi pemerintah, semi-
rendahnya kewirausahaan digital, rendahnya pe­merintah, universitas, asosiasi korporasi,
pembayaran digital, rendahnya transaksi korporasi bisnis, organisasi masyarakat sipil,
keuangan digital, kesenjangan digital anak, maupun organisasi internasional. Peng­guna
dan kesenjangan teknologi digital sebagai data ini bisa berasal dari institusi peme­
masalah yang harus diintervensi dengan LD. rintah, masyarakat sipil, korporasi, atau
Berbeda dengan kedua aktor ini, para pelaku individu. Substansi data yang digunakan
masyarakat sipil hanya mengidentifikasi pengguna data meliputi beberapa tema,
empat masalah yang melahirkan gerakan yakni: profil dan perilaku pengguna internet,
digital yakni: pergeseran minat baca ke perkembangan e-commerce, keamanan
informasi digital, rendahnya e-commerce, dan kriminalitas digital, radikalisme digital,
kesenjangan digital, maraknya konten kompetensi literasi dasar, daya saing bangsa,
negatif, dan rendahnya LD penduduk dan industri media massa daring. Data
Indonesia. profil dan perilaku pengguna internet yang
Terlepas dari definisi setiap istilah yang diproduksi APJII paling banyak digunakan
menggambarkan situasi masalah internet para pemangku kepentingan LD di Indonesia.
di Indonesia yang berhasil di identifikasi Inti data APJII adalah tingginya penetrasi
para aktor gerakan LD, setiap istilah ini internet di Indonesia yang dipersepsikan
tidak berdiri sendiri, tetapi terkoneksi satu beragam pemangku kepentingan melahirkan
dengan yang lainnya. Koneksi ini bisa ber­ banyak masalah di tengah masyarakat.
sifat kausalitas (misalnya, maraknya konten Bertolak dari persepsi tentang masalah, para
negatif disebabkan karena rendahnya LD), aktor kemudian menawarkan solusi untuk
asosiatif (misalnya, radikalisme agama ber­ menyelesaikan masalah.
asosiasi dengan rendahnya LD), dan indikatif
(misalnya, rendahnya transaksi pembayaran
digital merupakan indikator perkembangan Solusi
e-commerce). Jika disederhanakan, maka Solusi adalah pesan moral para aktor
situasi masalah internet di Indonesia di­ dalam narasi LD. Semua aktor sepakat bahwa
representasikan dua istilah, yakni: adanya meningkatkan kualitas LD adalah kata kunci
kesenjangan digital dan rendahnya LD untuk mengelola beragam persoalan yang

248
Mery Yanti dan Yusnaini, The Narration of Digital Literacy Movement in Indonesia

muncul akibat penetrasi teknologi informasi Semua aktor yang disebutkan di atas,
dan komunikasi di Tanah Air. Perbedaannya baik dari unsur pemerintah (Badan Nasional
hanya terletak pada istilah kelompok Penanggulangan Terorisme, Kantor Staf
sasaran. Ada yang menggunakan istilah Presiden, Kementerian Informasi dan
pengguna internet, warga negara, komunitas, Komuni­ kasi, Kementerian Pendidikan dan
guru dan pelajar, polisi, masyarakat, anak- Kebudayaan, dan Kepolisian Republik Indo­
anak dan generasi muda, penduduk, pelaku nesia), korporasi (Bank Negara Indonesia,
usaha UMKM. Perbedaan ini menunjukkan Indosat Ooredoo, PT. Amartha Mikro Fintek,
keragaman fokus para aktor dalam mengelola Telkomsel, Tokopedia), dan masyarakat sipil
persoalan LD di Indonesia. (Siberkreasi, Aliansi Jurnalis Independen,
Perbedaan juga terlihat dalam aspek hasil Asosiasi e-Commerce Indonesia, ICT
yang diharapkan. Peneliti mengidentifikasi Watch, Jaringan Penggiat Literasi Digital,
empat tema hasil yang menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah,
para pemangku kepentingan LD di Indo­ Nahdhatul Ulama, Yayasan Cinta Anak
nesia, yakni: kriminalitas digital (misalnya, Bangsa, dan Yayasan Taman Baca Inovator),
radikalisme, terorisme, ujaran kebencian, me­miliki karakter sebagai pahlawan karena
berita palsu, perundungan, pornografi), melakukan tindakan nyata untuk menye­
per­ekonomi­an digital (misalnya, keuangan lamatkan korban penetrasi teknologi infor­
mikro digital, pembayaran digital, masi dan komunikasi digital.
e-commerce, cashless society), pengetahuan Predikat kepahlawanan yang dimiliki
dan keterampilan digital (misalnya, teknik seluruh aktor ini tidak terlepas dari strategi
meng­ onsumsi, produksi, dan distribusi KOMINFO yang berusaha merangkul
masi digital), dan digital governance
infor­ seluruh elemen bangsa (misalnya melalui
(misalnya, regulasi, penegakkan hukum, program Siberkreasi dan Mudamudigital)
dukung­an kebijakan). Terkait dengan empat untuk membersihkan udara digital di Tanah
tema ini, tema pengetahuan dan kete­ Air dari ujaran kebencian, pornografi, berita
rampilan digital menjadi tema dominan yang palsu, perundungan, radikalisme, dan tero­
disoroti para pemangku kepentingan. risme melalui beragam aktivitas penguatan
LD pengguna internet. Meski KOMINFO
Karakter memiliki sumber daya lebih banyak di­
bandingkan dengan aktor lainya, tetapi
Menurut McBeth, Jones, & Shanahan mereka tetap kewalahan untuk mengatasi
(2014), setiap narasi kebijakan minimal masif­nya penyebaran konten negatif di inter­
mengandung tiga karakter, yakni korban net. Sebab, ujung tombak penyebaran konten
(tokoh yang disakiti), penjahat (tokoh negatif ada di ujung jari para pengguna
yang menyakiti), dan pahlawan (tokoh internet yang setiap saat bisa memproduksi,
yang membantu korban atau membasmi mendistribusikan, dan mengonsumsi ribuan
penjahat). Dari hasil coding, kami mene­ informasi dari internet dan media sosial.
mukan empat kategori korban penetrasi
tekno­ logi informasi dan komunikasi
berbasis internet yang dipersepsikan para Determinan gerakan literasi digital
pe­mangku kepentingan, yakni: masyarakat Untuk mengidentifikasi determinan
se­cara keseluruhan, institusi agama, institusi gerakan LD, peneliti meng-coding seluruh
negara, populasi penduduk (generasi muda pernyataan informan yang secara implisit
dan anak-anak), komoditas ekonomi (buku mengandung logika sebab-akibat ke dalam
cetak dan aplikasi media sosial), dan para kategori tertentu. Dalam setiap pernyataan
pelaku pasar (pengusaha toko buku konven­ ini, gerakan LD diposisikan sebagai variabel
sional dan perusahaan pengembang aplikasi bebas (variabel akibat), sedangkan variabel
media sosial). terikat (variabel sebab) adalah substansi
pernyataan informan. Di tahap pertama atau

249
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018

populer disebut dengan open coding, peneliti dimotori institusi pemerintah bekerja sama
mendapatkan beberapa kategori yang sama dengan beragam pihak.
dan berbeda. Kategori/konsep yang sama Gerakan LD yang diinisiasi KOMINFO
dijadikan satu kategori, sedangkan kategori ini akan meningkatkan pengetahuan, kete­
yang berbeda tetap dibiarkan berbeda. Hasil rampilan, dan kesadaran individu tatkala
penyederhanaan ini menghasilkan tiga memanfaatkan teknologi informasi dan
belas kategori. Peneliti menelaah lebih jauh komunikasi dalam kehidupan sehari-hari
hubungan antar kategori dengan mengacu yang lebih aman, beradab, berdaya, beretika,
ke konteks awal kategori/konsep di data bermakna, bermanfaat, bermartabat, bijak,
penelitian. Pada tahap ini, peneliti berusaha cerdas, demokratis, kritis, positif, produktif,
melihat: (a) apakah hubungan antar kategori dan sehat. Gerakan ini diharapkan dapat
bersifat kausalitas/sebab-akibat (jika X maka melahirkan kurikulum digital yang dapat
Y); (a) apakah hubungan antar kategori dijadikan pedoman bagi proses transfer nilai
bersifat non-kausalitas karena, misalnya, dan pengetahuan ilmiah tentang dunia digital
kategori tertentu merupakan atribut dari ke beragam elemen penduduk Indonesia di
kategori lainnya. pelbagai jenjang dan tipe pendidikan.
Proses analisis ini menghasilkan temu­ Meski difasilitasi KOMINFO, misalnya
an bahwa gerakan LD dilahirkan cyber program Siberkreasi dan program Muda­
gover­nance. Secara sederhana, konsep cyber mudi­ gital, pihak pemerintah berupaya
governance dapat dimaknai sebagai inte­ meminimalkan pendekatan hierarki dan
raksi beragam aktor (pemerintah, para memaksimalkan pendekatan kerelawanan
pelaku pasar, dan masyarakat sipil) dalam untuk mengelola gerakan LD di Tanah Air.
mengelola dunia digital di Indonesia. Dalam Kata kunci keberhasilan gerakan LD berbasis
cyber governance, meski aktor pemerintah kerelawanan, seperti diungkapkan banyak
bukan aktor tunggal, tetapi ia memiliki informan penelitian, terletak pada tema
posisi strategis karena institusi pemerintah kolaborasi para pemangku kepentingan.
yang memiliki legitimasi politik untuk Data lapangan mengungkapkan bahwa
menjalankan peran-peran sebagai regulator. kolaborasi banyak pihak dalam konteks
Dalam beberapa kasus, seperti ditunjukkan gerakan LD memiliki beberapa atribut yang
kasus pemblokiran, institusi pemerintah bisa saling berhubungan satu sama lain, yakni:
bersifat koersif dengan alasan melindungi (a) partisipasi publik; (b) komitmen dan
kepentingan publik yang lebih luas. kebersamaan; (c) tujuan dan kepentingan
Di Indonesia, institusi pemerintah ini bersama; (d) strategi yang masif, sistematis,
direpresentasikan oleh Kementerian Infor­ dan sinergis; (d) manajemen gerakan; dan
masi dan Komunikasi Republik Indonesia (e) proses pembelajaran.
(KOMINFO). Realitas empiris dunia digital Jika dihubungkan dengan teori
di Tanah Air yang dipenuhi konten negatif gerakan sosial, gerakan LD di Indonesia
mendorong KOMINFO untuk memfasilitasi sudah layak disebut sebagai gerakan sosial
terbentuknya gerakan LD yang bersifat dari, karena memiliki beberapa elemen kunci
oleh, dan untuk masyarakat, serta fokus dalam konsepsi teoretis gerakan sosial yang
di sektor hulu, kecuali infrastruktur fisik dikemukakan para ilmuwan, yakni: jejaring
(misalnya, proyek Palapa Ring), pembuatan kelompok dan individu, tujuan perubahan
regulasi dan kebijakan (misalnya, undang – sosial, budaya, framing, organisasi dan
undang perlindungan data pribadi yang saat struktur politik (Refle, 2016, 244–245;
ini masih di bahas pemerintah dengan DPR Travaglino, 2014, 1–14), dan kesadaran
RI), pengawasan (misalnya, pemantauan sosial (McNall, 1986, 3–28). Selain itu,
konten negatif di internet melalui mesin gerakan LD di Indonesia lebih berorientasi
sensor), dan pembangunan ekosistem digital kultural karena berusaha mengintervensi
(misalnya, ekosistem e-commerce, finance proses produksi, konsumsi, dan distribusi
technology, e-learning, e-health) yang tetap informasi digital yang sarat dengan ekspresi

250
Mery Yanti dan Yusnaini, The Narration of Digital Literacy Movement in Indonesia

simbolik (misalnya, melalui meme digital), hasil penelitian Clark (2016, 788–804) dan
klaim identitas (misalnya, pelaku teror, Huang (2016, 788–804) yang memfokuskan
LGBT, kelompok radikal, tentara digital), diri ke gerakan sosial di dunia daring.
pertarungan wacana (misalnya, perang
tagar antara kelompok #2019GantiPresiden SIMPULAN
dengan kelompok #Jokowi2Periode dan
#2019TetapJokowi), dan tekanan konfor­ Penelitian ini bertujuan untuk meng­
mitas (misalnya, penggunaan TIK harus analisis gerakan LD di Indonesia dan
memperhatikan nilai-nilai Ketimuran yang determinannya dengan pendekatan naratif.
dimiliki bangsa Indonesia). Hasil penelitian menunjukkan setiap aktor
Sementara itu, terkait dengan teori LD, memiliki keragaman pandangan tentang
para pelaku gerakan LD di Indonesia sepakat latar (situasi kehidupan sosial) yang
bahwa penetrasi TIK di Tanah Air telah melahirkan masalah dan definisi masalah LD.
melahirkan proses komunikasi yang multi- Jika disederhanakan, maka situasi masalah
modal dan membutuhkan kompetensi multi internet di Indonesia direpresentasikan dua
literasi, baik literasi teknologi, literasi media, istilah, yakni: adanya kesenjangan digital dan
atau literasi informasi (Cope & Kalantzis, rendahnya LD yang saling berasosiasi. Jika
2009; Erstad, 2010; Gamire & Pearson, 2006; LD adalah arus utama, maka terdapat tiga
Godwin, 2006; Kellner, 2001; Pinto et al., arus kecil yang mengalir di sepanjang arus
2014). Berbeda dengan para ilmuwan yang utama ini, yakni: e-learning, e-commerce, dan
hanya melihat LD hanya sebagai akses, e-security, yang memiliki alur cerita sendiri.
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi Alur cerita LD di Indonesia bisa meng­
mengelola sumber daya digital (Bulger et ikuti logika masalah – solusi – hasil.
al., 2014; Gruszczynska & Pountney, 2013; Narasi masalah yang dikonstruksi para
Helsper & Eynon, 2013; Ilomäki et al., 2016; aktor cenderung berbasis data dari be­
Reynolds, 2016), gerakan LD di Indonesia ragam sumber data tentang profil dan
menekankan pentingnya penggunaan perilaku pengguna internet (rasa percaya
teknologi informasi dan komunikasi berbasis terhadap data, penggunaan media sosial),
nilai yang direpresentasikan tiga prinsip, perkembangan e-commerce, keamanan
yakni: prinsip keamanan, prinsip ekonomi, dan kriminalitas digital, radikalisme
dan prinsip sosio-kultural. digital, kompetensi literasi dasar, daya
Berbeda dengan riset Nielsen (2009, saing bangsa, dan industri media massa
448–468) yang mengelompokkan narasi daring. Bertolak dari narasi masalah, para
berdasarkan tipe naratornya, peneliti aktor mengusulkan solusi yang sama,
mengelompokkan narasi berdasarkan jenis yakni penguatan LD, meski berbeda dalam
elemen narasi. Tetapi, hasil penelitian ini identifi­kasi kelompok sasaran. Hasil akhir
menguatkan temuan Nielsen (2009, 448– solusi ini adalah berkurangnya kriminalitas
468) perihal narasi yang tumpang tindih, digital, meningkatnya perekonomian digital,
meski penelitian ini tidak menemukan pengetahuan, keterampilan digital, dan
ketegangan dan proses negosiasi yang digital governance, serta melahirkan praktik-
disebabkan oleh narasi yang tumpang tindih. praktik penggunaan teknologi informasi dan
Sebaliknya, narasi yang tumpang tindih komunikasi yang mengacu ke tiga prinsip,
ini semakin memfasilitasi beragam aktor yakni: prinsip keamanan (sehat dan aman),
untuk berkolaborasi. Terakhir, gerakan LD di prinsip ekonomi (berdaya, bermanfaat,
Indonesia tidak hanya terjadi di dunia daring, produktif), dan prinsip sosio-kultural
tetapi juga dunia nyata. Riset ini sebetulnya (beradab, beretika, bermakna, bermartabat,
lebih fokus ke aktivitas gerakan di dunia bijak, cerdas, demokratis, kritis, positif).
nyata dan kurang memberikan perhatian ke Secara umum, ada logika kausalitas yang
dunia daring. Oleh karena itu, peneliti tidak terkandung dalam alur cerita LD di Indonesia
bisa memberikan komentar banyak terhadap yang dibangun para aktor.

251
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018

Peneliti mengidentifikasi empat aktor Agranoff, R. (2006). Inside Collaborative


yang berpredikat sebagai korban dalam Networks: Ten Lessons for Public
narasi LD di Indonesia, yakni: masyarakat Managers. Public Administration
secara keseluruhan, institusi agama, institusi Review, 66(s1), 56–65. https://doi.
negara, populasi penduduk, komoditas org/10.1111/j.1540-6210.2006.00666.x
ekonomi, dan para pelaku pasar. Para Aprizal, A., & Purba, J. R. T. (2013).
penjahatnya meliputi pengguna internet Akuntabilitas Pelayanan Publik dalam
(baik perorangan maupun kelompok Pelaksanaan E-Procurement di Kota
terorganisir dengan motif non-ekonomi), Pangkalpinang. JKAP (Jurnal Kebijakan
para pelaku pasar berbadan hukum (para Dan Administrasi Publik), 17(1), 15–28.
pengembang aplikasi berbasis Android),
institusi pemerintah, dan oknum para Ardiansyah, M. K. I., Yunizar, Y., & Harsanto,
politisi. Sedangkan, pahlawannya adalah B. (2016). Shari’ah-Compliant
semua aktor (pemerintah, korporasi bisnis, E-Commerce Models and Consumer
dan masyarakat sipil) yang bertindak Trust. Al-Iqtishad: Journal of Islamic
nyata (perorangan atau kolaboratif) untuk Economics, 8(2), 243–254. https://doi.
menanggulangi persoalan LD di Indonesia. org/10.15408/aiq.v8i2.2913
Karena gerakan LD bersifat kolaboratif, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
maka ada empat determinan yang Indonesia (APJII). (2016). Laporan
mempengaruhi proses ini, yakni: partisipasi Survey Penetrasi Internet Indonesia.
publik, komitmen dan kebersamaan, tujuan Jakarta, Indonesia: Asosiasi
dan kepentingan bersama, dan strategi yang Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
masif, sistematis, dan sinergis, manajemen (APJII).
gerakan, serta proses pembelajaran.
Astuti, N. C., & Nasution, R. A. (2014).
Terkait dengan upaya penguatan LD Technology readiness and E-commerce
pengguna internet di Indonesia, penelitian adoption among entrepreneurs of
ini merekomendasikan agar tiga prinsip SMEs in Bandung city, Indonesia.
(keamanan, ekonomi, dan sosio-kultural) Gadjah Mada International Journal of
yang dihasilkan penelitian ini dapat diadopsi Business, 16(1), 69–88.
para pemangku kepentingan sebagai salah
satu isi materi penguatan LD pengguna Bawden, D., & Robinson, L. (2009). The
internet di Indonesia. Selain itu, meski dark side of information: overload,
gerakan LD di Indonesia terjadi di dunia anxiety and other paradoxes and
nyata dan dunia daring, tetapi peneliti hanya pathologies. Journal of Information
memfokuskan diri ke aktivitas gerakan LD Science, 35(2), 180–191. https://doi.
di dunia nyata, maka ke depan, perlu ada org/10.1177/0165551508095781
penelitian khusus untuk menganalisis narasi Bayat, A. (2005). Islamism and Social
gerakan LD di dunia daring. Fenomena Movement Theory. Third World
kolaborasi aktor dalam gerakan LD juga Quarterly, 26(6), 891–908. https://doi.
dapat ditelaah lebih jauh dengan perspektif org/10.1080/01436590500089240
teoretis berbasis jejaring, misalnya social
network analysis (Scott, 1988; Wasserman & Blom-Hansen, J. (1997). A ‘new institutional’
Faust, 1994), policy network (Blom-Hansen, perspective on policy networks. Public
1997; Dowding, 1995), atau collaborative Administration, 75, 669–693.
management (Agranoff, 2006; Kapucu & Buechler, S. M. (1993). Beyond Resource
Demiroz, 2011), sehingga pengetahuan Mobilization? Emerging Trends
ilmiah tentang gerakan LD semakin utuh dan in Social Movement Theory. The
membantu banyak pihak untuk menguatkan Sociological Quarterly, 34(2), 217–235.
LD pengguna internet di Indonesia. https://doi.org/10.1111/j.1533-8525.1993.
DAFTAR PUSTAKA tb00388.x

252
Mery Yanti dan Yusnaini, The Narration of Digital Literacy Movement in Indonesia

Bulger, M. E., Mayer, R. E., & Metzger, M. J. Paterson’s Land, Moray House School
(2014). Knowledge and processes that of Education, University of Edinburgh,
predict proficiency in digital literacy. UK: Routledge. https://doi.org/10.1080
Reading and Writing, 27(9), 1567–1583. /17508487.2016.1234494
https://doi.org/10.1007/s11145-014- Erstad, O. (2010). Conceptions of Technology
9507-2 Literacy and Fluency. In P. Peterson, E.
Clark, R. (2016). “Hope in a hashtag”: the Baker, & B. McGaw (Eds.), International
discursive activism of #WhyIStayed. Encyclopedia of Education (34–
Feminist Media Studies, 16(5), 788–804. 41). Oxford: Elsevier. https://doi.
https://doi.org/10.1080/14680777.2016. org/10.1016/B978-0-08-044894-
1138235 7.00694-1
Coleman, A. (2014). Migration from resource Gamire, E., & Pearson, G. (2006). Tech tally:
based to knowledge based strategy for approaches to assessing technological
e-health implementation in developing literacy. (E. Gamire & G. Pearson, Eds.),
countries. Journal of Communication Literacy. Washington D.C., USA: The
[Delhi], 5(1), 1–7. https://doi.org/10.108 National Academics Press.
0/0976691X.2014.11884819 Godwin, P. (2006). Information Literacy in
Cope, B., & Kalantzis, M. (2009). the Age of Amateurs. Innovation in
“Multiliteracies”: New Literacies, New Teaching and Learning in Information
Learning. Pedagogies: An International and Computer Sciences, 5(4),
Journal, 4(3), 164–195. https://doi. 268–287. https://doi.org/10.11120/
org/10.1080/15544800903076044 ital.2006.05040268
Crouch, C. (2001). Industrial Society/Post- Gruszczynska, A., & Pountney, R. (2013).
industrial Society: History of the Developing the Concept of Digital
Concept. In N. J. Smelser & P. Baltes Literacy in the Context of Schools
(Eds.), International Encyclopedia of and Teacher Education. Enhancing
the Social & Behavioral Sciences (7347– Learning in the Social Sciences,
7351). Oxford: Elsevier. https://doi. 5(1), 25–36. https://doi.org/10.11120/
org/10.1016/B0-08-043076-7/00126-1 elss.2013.05010025
Dowding, K. (1995). Model or Metaphor? Harjito, Y., Achyani, F., & Payamta. (2015).
A Critical Review of the Policy Implementasi E-Procurement Ditinjau
Network Approach. Political Dari Kesuksesan Sistem Teknologi
Studies, 43(1), 136–158. https://doi. Informasi Dengan Menggunakan
org/10.1111/j.1467-9248.1995.tb01705.x Model DeLone Dan McLean. Jurnal
Drori, G. S. (2014). The Internet as a Ekonomi Dan Bisnis, XVIII(1), 61–82.
Global Social Problem. Handbook Helsper, E. J., & Eynon, R. (2013). Distinct
of Social Problems: A Comparative skill pathways to digital engagement.
International Perspective. https://doi. European Journal of Communication,
org/10.4135/9781412973526.n25 28(6), 696–713. https://doi.
Elo, S., Kääriäinen, M., Kanste, O., Pölkki, org/10.1177/0267323113499113
T., Utriainen, K., & Kyngäs, H. (2014). Hidayat, A. N. (2017). E-Learning
Qualitative Content Analysis. SAGE Implementation in Islamic Education
Open, 4(1), 215824401452263. https:// Innovation. HUNAFA: Jurnal Studia
doi.org/10.1177/2158244014522633 Islamika, 14(1), 17–36. https://doi.
Emejulu, A., & McGregor, C. (2016). Towards org/10.24239/jsi.v14i1.460.17-36
a radical digital citizenship in digital Hilbert, M. (2009). The maturing concept
education. Critical Studies in Education. of E-democracy: From E-voting and

253
INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi Volume 48. Nomor 2. Desember 2018

online consultations to democratic Education, 35(2), 164–177. https://doi.


value out of jumbled online chatter. org/10.1080/01587919.2014.917704
Journal of Information Technology Koltay, T. (2011). The media and the literacies:
and Politics, 6(2), 87–110. https://doi. media literacy, information literacy,
org/10.1080/19331680802715242 digital literacy. Media, Culture &
Huang, V. G. (2016). Speaking out: Society , 33(2), 211–221. https://doi.
Testimonial narratives of Chinese org/10.1177/0163443710393382
cyberpetitioners under networked Krohn, W. (2001). Knowledge Societies. In N. J.
authoritarianism. Discourse, Context Smelser & P. Baltes (Eds.), International
and Media, 14, 18–27. https://doi. Encyclopedia of the Social & Behavioral
org/10.1016/j.dcm.2016.09.002 Sciences (8139–8143). Oxford: Elsevier.
Ilomäki, L., Paavola, S., Lakkala, M., https://doi.org/10.1016/B0-08-043076-
& Kantosalo, A. (2016). Digital 7/03190-9
competence – an emergent boundary Kurnia, N., & Astuti, S. I. (2017). Peta
concept for policy and educational Gerakan Literasi Digital di Indonesia:
research. Education and Information Studi tentang Pelaku, Ragam Kegaitan,
Technologies, 21(3), 655–679. https:// Kelompok Sasaran dan Mitra.
doi.org/10.1007/s10639-014-9346-4 Informasi: Kajian Ilmu Komunikasi,
Jordana, T. A., & Suwarto, D. H. (2017). 47(2), 149–166.
Pemetaan Program Literasi Digital Martin, A., & Grudziecki, J. (2006).
di Universitas Negeri Yogyakarta. DigEuLit: Concepts and Tools for
INFORMASI: Kajian Ilmu Komunikasi, Digital Literacy Development.
47(2), 167–180. Innovation in Teaching and Learning
Kahani, M. (2006). Experiences in e-Voting. in Information and Computer Sciences,
Journal of E-Government, 2(3), 113–125. 5(4), 249–267. https://doi.org/10.11120/
https://doi.org/10.1300/J399v02n03_06 ital.2006.05040249
Kalman, J. (2008). Beyond defenition: central McBeth, M., Jones, M., & Shanahan, E. (2014).
concepts for understanding literacy. The Narrative Policy Framework. In
International Review of Education, 54(5– P. A. Sabatier & C. M. Weible (Eds.),
6), 523–538. https://doi.org/10.1007/ Theories of the Policy Process (Third,
s11159-008-9104-1 225–266). Philadelphia, USA: Westvew
Kapucu, N., & Demiroz, F. (2011). Measuring Press.
Performance for Collaborative Public McNall, S. G. (1986). Class Analysis and
Management Using Network Analysis Social Movement Theory: Toward A
Methods and Tools. Public Performance Synthesis. Mid-American Review of
& Management Review, 34(4), 549–579. Sociology, 11(2), 3–28.
https://doi.org/10.2753/PMR1530- Morgan, D. L. (1993). Qualitative
9576340406 Content Analysis: A Guide to Paths
Kellner, D. (2001). New Technologies/New not Taken. Qualitative Health
Literacies: Reconstructing Education Research, 3(1), 112–121. https://doi.
for the New Millennium. International org/10.1177/104973239300300107
Journal of Technology and Design Mueller, C. M., & Judd, C. M. (1981). Belief
Education, 11(1), 67–81. https://doi. Constraint and Belief Consensus:
org/10.1023/A:1011270402858 Toward an Analysis of Social Movement
Knox, J. (2014). Digital culture clash: Ideologies - A Research Note. Social
“massive” education in the E-learning Forces, 60(1), 182–187.
and Digital Cultures MOOC. Distance Nielsen, K. B. (2009). Four narratives of

254
Mery Yanti dan Yusnaini, The Narration of Digital Literacy Movement in Indonesia

a social movement in West Bengal. SAGE Publications.


South Asia: Journal of South Asia Travaglino, G. A. (2014). Social sciences and
Studies, 32(3), 448–468. https://doi. social movements: The theoretical
org/10.1080/00856400903374335 context. Contemporary Social Science,
Olson, M. (1971). The logic of collective action: 9(1), 1–14. https://doi.org/10.1080/21582
public goods and the theory of groups. 041.2013.851406
London, U.K: Harvard University Press. Wasserman, S., & Faust, K. (1994).
Pinto, M., Pulgarín, A., & Escalona, M. I. Social Network Analysis: Methods
(2014). Viewing information literacy and Application. Cambridge, UK:
concepts: a comparison of two branches Cambridge University Press.
of knowledge. Scientometrics, 98(3), Webster, F. (2010). The Information Society
2311–2329. https://doi.org/10.1007/ Revisited. In L. A. Lievrouw & S.
s11192-013-1166-6 Livingstone (Eds.), Handbook of New
Refle, J.-E. (2016). What is a Social Movement? Media: Social Shaping and Social
Social Movement Studies, 15(2), 244– Consequences of ICTs (307–327).
245. https://doi.org/10.1080/14742837.2 London: SAGE Publication Ltd. https://
015.1027765 doi.org/10.4135/9781446211304
Reynolds, R. (2016). Defining, designing for, Wentink, M. M., Prieto, E., de Kloet, A. J.,
and measuring “social constructivist Vliet Vlieland, T. P. M., & Meesters, J.
digital literacy” development in J. L. (2017). The patient perspective
learners: a proposed framework. on the use of information and
Educational Technology Research and communication technologies and
Development, 64(4), 735–762. https:// e-health in rehabilitation. Disability and
doi.org/10.1007/s11423-015-9423-4 Rehabilitation: Assistive Technology,
Robinson, L., Cotten, S. R., Ono, H., Quan- 0(0), 1–6. https://doi.org/10.1080/17483
Haase, A., Mesch, G., Chen, W., … 107.2017.1358302
Stern, M. J. (2015). Digital inequalities
and why they matter. Information,
Communication & Society, 18(5), 569–
582. https://doi.org/10.1080/136911
8X.2015.1012532
Santosa, S. (2001). The Application of
E-Commerce in Shipping Warehousing
Industri. Jurnal Akuntansi & Keuangan,
3(2), 126–141.
Scott, J. (1988). Social Network Analysis.
Sociology, 22(1), 109–127. https://doi.
org/10.1177/0038038588022001007
Sterling, C. (2009). Encyclopedia of Journalism.
Encyclopedia of Journalism. 2455 Teller
Road, Thousand Oaks California 91320
United States: SAGE Publications, Inc.
https://doi.org/10.4135/9781412972048
Stokes, W. (2008, December). Literacy. In
N. J. Salkind & K. Rasmussen (Eds.),
Encyclopedia of Educational Psychology
(Vol. 2, 608–616). Thousand Oaks, CA:

255

You might also like