You are on page 1of 8

Nama : Revanggi Marendra Rizky Surya

Oftalmologi Komunitas Maret – Mei 2017

1. 10,000 adults were enrolled in a study and followed for 15 years to examine the
association between alcohol consumption and risk of cataract. At the end of the 15
years 5,000 of the originally enrolled study participants were traced and examined for
cataract. The table below shows the number of people reporting different levels of
alcohol intake and the number diagnosed with cataract in each group.

Consumption of alcohol Number of Cases of Cumulative incidence Cumulative


(number of drinks) people cataract (%) per 10 years incidence ratio
Never 1000 20
1 per month to <1 per
2000 80
week
≥1 per week to <1 per day 1000 140
≥1 per day to <4 per day 1000 100

1. a)  What type of study is this?

Jawaban : Prospective Cohort study

2. b)  Calculate the cumulative incidence (% per 10 years) of cataract for each

category of alcohol consumption.

Jawaban : Risk = Cumulative incidence

Number of new cases∈an given time period


¿
Number of persons at risk at the start of the time period

Kategori I (1 per month to <1 per week ) 80/2000 = 0.04

Kategori II (≥1 per week to <1 per day)  140/1000 = 0.14

Kategori III (≥1 per day to <4 per day) 100/1000 = 0.1

Consumption of alcohol (number Number of Cases of Cumulative incidence (%) per


of drinks) people cataract 10 years
Never 1000 20 2%?
1 per month to <1 per week 2000 80 4%
≥1 per week to <1 per day 1000 140 14%
≥1 per day to <4 per day 1000 100 10%
3. c)  Calculate the cumulative incidence ratio for each category of alcohol

consumption using „never‟ as the reference group.

Jawaban : Cummulative incidence ratio = Risk Ratio

Cummulative incidence exposed (each category)


Cummulative incidence unexposed (never )

Kategori I (1 per month to <1 per week ) (80/2000) : (20/1000) = 2

Kategori II (≥1 per week to <1 per day)  (140/1000) : (20/1000) = 7

Kategori III (≥1 per day to <4 per day) (100/1000) : (20/1000) = 5

Consumption of alcohol (number of Number of Cases of Cumulative incidence


drinks) people cataract ratio
Never 1000 20 1 (Refference)
1 per month to <1 per week 2000 80 2
≥1 per week to <1 per day 1000 140 7
≥1 per day to <4 per day 1000 100 5

4. d)  Describe the association between alcohol consumption and the risk of

cataract in this study.

Jawaban :

a. Risiko subjek yang mengkonsumsi alkohol kurang dari 1 minggu dalam 1


bulan, memiliki resiko sebesar 2x lipat untuk menjadi katarak dibandingkan
orang yang tidak mengkonsumsi alkohol dalam 10 tahun.
b. Risiko subjek yang mengkonsumsi alkohol lebihg sampai kurang dari 1 kali
perhari, memiliki resiko sebesar 7x lipat untuk menjadi katarak dibandingkan
orang yang tidak mengkonsumsi alkohol dalam 10 tahun.
c. Risiko subjek yang mengkonsumsi alkohol alkohol lebih dari 1 perhari sampai
kurang dari 4 perhari, memiliki resiko sebesar 5x untuk menjadi katarak
dibandingkan orang yang tidak mengkonsumsi alkohol dalam 10 tahun.

-
-e)  Why did the statistician go on to adjust the analysis of this association

(between alcohol and cataract) for smoking? Explain your answer.

Jawaban : Penelitian diatas memiliki respon rate 80,7%, dengan loss to follow up
19,3%, sehingga penelitian diatas masih bias dikatakan baik. Penelitian tersebut juga
bukan suatu penelitian intervensi yang melanggar etik ataupun norma. Mengingat
penelitian tersebut prevalence rasionya adalah 1, yang mengindikasikan bahwa
pemberian garam substitusi tidak menurunkan angka kejadian hipertensi. Maka,
apabila akan dilakukan penelitian serupa maka sah – sah saja asalkan sesuai kaidah
etik penelitian, namun sebaiknya tidak perlu karena hasilnya tidak memberikan
pengaruh (terutama efek positif).

f)  Suggest two other variables the statistician should adjust for in this

analysis.

Jawaban : Usia, dan riwayat penyakit sistemik.

Usia : asosiasi alkohol dengan terjadinya katarak didistorsi oleh variabel umur.
Peningkatan usia dapat mempengaruhi kejadia katarak sehingga dapat
memberikanterhadap outcome.

Riwayat sistemik.: hubungan konsumsi alkohol dengan kejadian katarak dapat dirancu
dengan riwayat penyakit sistemik. Pasien dengan riwayat diabetes melitus dapat
meningkatkan kejadian katarak sehinga dapat menyamarkan outcome.

5. g)  What was the follow up rate?

Jawaban : Follow up rate = (5000: 10000) x 100% = 50%

6. h)  Could this loss to follow up influence the incidence estimates?


Explain your answer.

Jawaban : Ya, loss follow up dapat mempengaruhi estimasi insidensi karena dapat
menyebabkan bias terhadap kemungkinan hubungan antara konsumsi alkohol dengan
kejadian katarak. Contohnya : sejumlah besar pasien yang loss to follow up adalah
pasien yang tidak pernah konsumsi alkohol namun terdapat katarak. Maka dapat
disebabkan overestimate kejadian katarak karena alkohol. Sebaliknya bila yang loss to
follow up kebanyakan adalah minum alkohol namun tidak terjadi katarak maka akan
overestimate kejadian katarak karena alkohol.

7. i)  Name one other study design you could use to examine the relationship between
cataract and alcohol.

Jawaban : Case control study


8. j)  State one advantage and one disadvantage of the study design you
selected in question (i) above compared to the study method reported.

Jawaban :

Keuntungan : Dapat dipergunakan untuk menilai berapa besarkah peran faktor risiko
dalam kejadian suatu penyakit, dapat digunakan untuk kasus yang jarang, hasilnya
cepat dan relatif murah, serta dapat digunakan untuk identiikasi berbagai faktor
risiko sekaligus dalam satu penelitian.

Kerugian : Desain penelitian case control bisa terdapat recall bias, tidak dapat
memberikan incidence rate, dan penelitian ini kurang jelas dalam menggambarkan
hubungan sebab akibat dibandingkan cohort.

2. The elimination of avoidable blindness has been agreed as a global priority by the
World Health Organization and the IAPB.

a) Describe the five main achievements of VISION 2020 so far.

Jawaban :

1. Jawaban : Achievement pertama adalah penurunan angka buta katarak.


Katarak merupakan fokus utama di banyak program untuk mencapai tujuan
vision 2020. Kesuksesan angka penurunan buta katarak terutama di India dan
negara sekitar, dengan CSR di India meningkan 5x lipat dalam 20 tahun, dan
penggunaan IOL sudah melebihi 94%.

2. Meningkatkan layanan gangguan refraksi. Merubah definisi gangguan


penglihatan (uncorrected refractive error) menjadi presenting vision dari yang
sebelumnya best corrected visual acquity. Membentuk Vision Center,
memberikan pelatihan, membangun sekolah optometri, mempromosikan
kacamata dengan harga murah.

3. Menurunkan angka kejadian onchocerciasis. Dengan membagikan ivermectin


secara gratis ke seluruh daerah endemis yang membutuhkan. Kejadian
Onchocersiasis sudah mulai menurun di beberapa bagian di barat afrika, dan
diharapkan juga turun di afrika timur tahun 2025.

4. Menurunkan angka kejadian trakoma, dengan cara memberikan pengobatan,


melakukan tindakan operasi pada komplikasi trakoma, dan memberikan
edukasi untuk menjaga kebersihan dan memberikan donasi untuk penanganan
trakoma, didukung oleh program WHO yaitu GET2020 dan SAFE, saat ini
kejadian trakoma di daerah endemis sudah menurun

5. Menurunkan angka kebutaan pada anak akibat deficiency Vitamin A,


meningkatkan skrining dan pengobatan Retinopaty of prematurity (ROP) dan
meningkatkan pemahaman akan pentingnya intervensi untuk menangani
diabetic retinopati.
b)  List and explain the five key priorities for the next 8 years globally.

Jawaban :

1. Implementasi INSight plan, melaksanakan program Sanitasi dan Air Bersih,


memperluas Africa Program of Onchocerciasis Control 2025 dan bekerjasama
dengan program / gerakan penyakit tropis yang selama ini terabaikan.

2. Mempertahankan dan meningkatkan cakupan imunisasi dan suplementasi


vitamin A.

3. Bekerjasama dengan unit neonatology untuk skrining ROP, penyediaan sarana


dan pelatihan ROP.

4. Dalam hal penanganan kelainan refraksi. Akan berintegrasi dengan sistem


kesehatan global terutama di sekolah medis dan dengan program IMC
(Integrated Managenen of Children) untuk penanganan kelainan refraksi pada
anak. Memperkuat pelayanan kesehatan mata terutama di tingkat primer untuk
masyarakat umum.

5. Menjalin kerjasama yang lebih erat dengan program-program diabetes. Juga


bekerjasama dengan NonCommunicable Disease (NDC) movement,
meningkatkan kesadaran masyarakat dengan penyuluhan dan melakukan
penelitian agar dapat memberikan penanganan yang efektif pada masyarakat.

c) Discuss how a health systems approach can be used to deliver comprehensive eye care

Jawaban : Untuk meningkatkan efektifitas pelayanan mata, dengan cara intervensi program
sistem kesehatan mata hanya bisa ditingkatkan bila terintegrasi dengan program sistem
kesehatan secara global. Oleh karena itu untuk membantu perencanaan program yang efektif
dan efisien berdasarkan permasalahan yang muncul di masyarakat maka dilakukan analisis
situasi berdasarkan eye health assessment agar dapat memberikan penilaian sistem kesehatan
dan memberikan perencanaan dan implentasi program kesehatan mata, sesuai temuan
kekuatan dan kelemahan yang didapatan. Hasil akhirnya dapat memberikan rekomendasi
program untuk meningkatkan kesehatan mata secara komprehensif.
Jawaban :
1. a. Prevalensi ratio hipertensi antara kelompok intervensi dan kontrol pada baseline.
100/1000 = 1
30/300

b. Prevalensi ratio hipertensi antara kelompok intervensi dan kontrol pada follow up.

80/800 =1
25/250

2. Tidak. Hal ini karena Prevalensi ratio memberikan nilai 1, yang memberikan kemaknaan
bahwa hubungan pemberian garam substitusi tidak menunjukkan faktor protektif maupun
faktor risiko atas kejadian hipertensi.

3. Pada penelitian ini terdapat 15% pasien kelompok intervensi yang tidak compliance dan
ahirnya menjadi hipertensi (nilai alfa 15%). Dalam kebanyakan penelitian biasanya nilai alfa
sebesar 5% yang dapat diterima. Sehingga dalam penelitian ini tidak pas jika kita
membandingkan pasien dari kelompok intervensi dan kontrol dalam hal penurunan prevalensi
hipertensi.

4. C. Mempengaruhi valditas dan power.

5. Pada grup yang diberikan terapi dapat menunjukkan bias, yaitu bias seleksi. Hal ini karena
subjek dan pemeriksa mengeahui tindakan yang dilakukan. Tidak dilakukan randomisasi
yang baik mengakibatkan sample tidak merepresentasikan kondisi di populasi.

6. Bias Pengukuran information (measurement). Hal ini karena alat pada alat pengukuran
yang tidak akurat akan mempengaruhi terhadap hasil. Sehingga data yang dihasilkan bisa
lebih besar atau lebih kecil sehingga mempengaruhi hasil, ini menyebabkan bias pengukuran
(measurement bias).

7. Loss to follow up dapat mempengaruhi hasil karena mengakibatkan bias seleksi.


Apabila loss to follow up < 5 % hanya dapat memberikan pengaruh yang kecil, sehingga
penelitian masih memiliki validitas baik Namun bila loss to follow up >20%
N, maka akan mempengaruhi hasil menjadi tidak akurat dan dapat mengancam hasil
(outcome) penelitian. Penelitian prospektif cohort skala besar masih dikatakan baik apabila
dapat mempertahankan follow up 80-90% selama periode penelitiannya.

8. Penelitian diatas memiliki respon rate 80,7%, dengan loss to follow up 19,3%, sehingga
penelitian diatas masih bias dikatakan baik. Penelitian tersebut juga bukan suatu penelitian
intervensi yang melanggar etik ataupun norma. Mengingat penelitian tersebut prevalence
rasionya adalah 1, yang mengindikasikan bahwa pemberian garam substitusi tidak
menurunkan angka kejadian hipertensi. Maka, apabila akan dilakukan penelitian serupa maka
sah – sah saja asalkan sesuai kaidah etik penelitian, namun sebaiknya tidak perlu karena
hasilnya tidak memberikan pengaruh (terutama efek positif).

You might also like