Jur eke iiss Indoeni IU ot Nae 2.1908
STOMATITIS AFTOSA REKUREN
DENGAN KECURIGAAN KLINIK INFEKSI VIRUS HERPES SIMPLEKS
(baporan kasus)
Afi Savitri Sarsito*
Abstrak
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan penyakit mulut yang
paling banyak dijumpai di masyarakat. Pada umumnya penyakit ini
menberikan gejala-gejala klinik yang khas yaitu adanya ulserasi
yang bersifat ulang kambuh pada mukosa mulut, tanpa disertai
dengan tanda-tanda lain dari penyakit.
Pada makalah ini dibahas 3 kasus SAR yang tidak biasa yaitu
selain gejala SAR, terdapat pula tanda-tanda adanya infeksi virus
Herpes simpleks (VHS). Dari pemeriksaan sitologi pada ketiga
kasus ini, dijumpai adanya badan inklusi VHS , tetapi dari pem-
berian terapi dengan Acyclovir ternyata 2 kasus memberikan man-
faat , dan pada 1 kasus tidak ada manfaatnya. Hal ini berarti
pada 2 kasus yang pertama terdapat peran dari VHS pada proses
penyakit dan pada 1 kasus tidak ada. Keadaan semacam ini perlu
diamati dan divaspadai mengingat kedua penyakit mempunyai prinsip
terapi yang berbeda. Pada SAR seringkali diperlukan pemberian
terapi dengan bahan-bahan golongan kortikosteroid, sedangkan pada
infeksi VHS pemberian bahan ini merupakan kontra indikasi. Selan-
jutmya pada makalah ini juga diberikan saran-saran untuk pengelo-
iaan penyakit yang dapat’ digunakan oleh para dokter gigi apabila
mendapatkan masalah yang sama.
Pendahuluan
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan penyakit mulut yang
paling banyak dijumpai di masyarakat. Menurut Wall lebin kurang
20% dari populasi terkena penyakit ini. (1) axeli didalam peneli-
tiannya menemkan kasus SAR sebanyak 17.7% dari populasi
Swedia.(?) pi Indonesia belum diketahui berapa prevalensi SAR di
masyarakat, tetapi dari data klinik Penyakit mulut Rumah sakit
Cipto Mangunkusumo tahun 1988 sampai dengan 1990, dijumpai SAR
sebanyak 26.6%. (3)
Secara Klinik SAR mompunyai gejala karakteristik yaitu adanya
ulserasi yang bersifat ulang kambuh pada mukosa mulut yang
* AEi Savitri Sarsito, drg., Bagian I. Penyakit Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi - Universitas Indonesia
aLtidak berkeratin tanpa disertai adanya gejala lain dari penyakit.
Akhir-akhir ini di klinik sering dijumpai adanya pasien dengan
gejala dan riwayat penyakit berupa SAR, tetapi disertai dengan
gambaran klinis yang mirip dengan infeksi virus Herpes simpleks
(vs). Pada ummnya pasien ini telah diberikan bermacam-macam
pengobatan tetapi tampaknya kurang ada manfaatnya. Keadaan ini
menimbulkan kecurigaan klinik adanya peran VHS didalam proses
penyakit. Disisi lain untuk mendiagnosis adanya suatu infeksi VHS
dimana perlu pemeriksaan laboratorium tampaknya masih banyak
hambatan. Hal ini disebabkan karena masalah pendanaan, lamanya
waktu pemeriksaan, dan kesulitan menginterpretasikan hasil 1abo-
vatorium.
Melihat masalah-masalah diatas dan mengingat bahwa terapi kedua
penyakit itu sangat bertentangan maka perlu difikirkan suatu
penatalaksanaan yang tepat bagi pasien semacam ini dimana diagno-
sis SAR disertai dengan kecurigaan Klinik infeksi VHS dengan
tujuan agar tidak terjadi kesalahan pengobatan sehingga merugikan
pasien.
‘Tinjauan pustaka
Seperti telah disebutkan diatas SAR adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan adanya ulserasi lang kambuh pada mukosa mulut
yang tidak berkeratin, tanpa disertai dengan adanya tanda-tanda
lain dari penyakit. Bticlogi SAR secara jelas belum diketahui.
Walaupun demikian beberapa faktor telah diketahui turut berperan
didalam terjadinya penyakit. Wall mengelompokkan faktor-faktor
ini menjadi dua yaitu faktor predisposisi dan faktor yang mem-
percepat timbulnya lesi.(2) vang termasuk faktor predisposisi
yaitu herediter, mikro-organisme mulut, defisiensi nutrisi dan
sensitivitas terhadap makanan, sedangkan yang termasuk dalam
faktor yang mempercepat yaitu trauma, hormonal, stres psikologis
dan bahan-bahan yang menyebabkan alergi
32Dilihat dari gambaran klinisnya SAR dibagi menjadi 3 tipe yaitu
minor, mayor dan herpetiformis, dimana ketiganya berbeda dalam
hal ukuran dan kedalaman lesi. SAR minor ditandai dengan terja-
dinya ulser bulat atau oval dengan diameter kurang dari 1 cm dan
sembuh tanpa jaringan parut. SAR mayor memberikan lesi-lesi yang
lebih besar yaitu 1 cm atau lebih dan penyembuhannya disertai
dengan jaringan parut, sedangkan SAR herpetiformis apabila lesi
kecil-kecil dengan diameter 1-3 mm yang tersebar pada mukosa
mulut. SAR tipe terakhir ini gambaran klinisnya mizip dengan lesi
pada infeksi VHS intra oral rekuren yang juga biasa terjadi pada
orang dewasa dan jarang disertai dengan gejala sistemik, Perbe-
@aannya lesi-lesi pada infeksi VHS berkelompok dan pada umumnya
terjadi pada mukosa yang berkeratin tebal seperti gingiva, mkosa
alveolar dan palatum durum. (4)
torium diagnosis infeksi vHS ini dapat ditegakkan. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan sitolo-
gi, titer antibodi atau isolasi virus.
Hanya dengan pemeriksaan labora-
Pengelolaan SAR seringkali menimbulkan masalah bagi klinisi
karena selain etiologinya belum diketahui juga banyaknya faktor
predisposisi yang berpengaruh serta sifat rekurensinya yang
tinggi. Rennie dkk. menganjurkan tahapan pengelolaan yang se-
paiknya dilakukan dalam merawat pasien sar. (5) Tahapan itu adalah
untuk menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor predisposisi
yang ada pada pasien dahulu, sebelum memberikan terapi obat-
obatan. Didalam hal terapi ini , berbagai macam bahan telah
icoba untuk mengobati pasien SAR. Bahan-bahan ini pada umumya
hanya bersifat simptomatik, empirik atau berdasarkan persepsi
dokter akan penyebab penyakitnya. Bahan-bahan yang digunakan
antara lain untuk mengurangi rasa sakit yaitu bahan yang mengan-
dung anestetikum, bersifat antiseptik atau antibiotik, atau yang
bersifat antiradang. Untuk yang terakhir ini bahan yang sering
digunakan adalah golongan kortikosteroid yang bisa digunakan baik
secara sistemik maupun lokal atau topikal. Kedua bentuk bahan ini
dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan hasil yang me-
muaskan. (6) yang penting dalam penggunaan bahan ini adalah ob-servasi pasien secara terus menerus agar efek samping yang mu-
ngkin terjadi dapat segera diketahui .
Sebaliknya prinsip penatalakeanaan infeksi virus adalah tindakan-
tindakan yang bersifat suportif seperti pemberian caizan, diet
tinggi kalori tinggi protein (TKTP), istirahat yang cukup dan
pemeliharaan kebersihan mulut.'7) penggunaan bahan kortikosteroid
untuk terapi Stomatitis herpetika merupakan kontra indikasi
arena sifatnya yang imunosupresit.(4) sebagai bahan antivirus,
Acyclovir dapat diberikan terutama pada pasien dengan penyakit
yang berat atau pada pasien imunosupresi. Penggunaan Acyclovir
sebaiknya diberikan bila lesi kurang dari 24 jam karena bila
pasien datang dengan lesi sudah berkembang maka pengobatan menja-
di tidak efektif. Kesulitan mungkin timbul karena pada umumnya
pasien datang dengan lesi-lesi yang sudah berkembang. Apabila hal
ini terjadi maka tindakan suportif akan lebih membantu dan pem-
berian Acyclovir mungkin hanya bersifat pencegahan. (8)
Laporan kasus
asus 1.
Seorang pria, 32 tahun, dokter IDT , datang dengan keluhan sering
sariawan dimulutnya, ulang kambuh lebih kurang 1 tahun. sudan
berobat ke ahli THT, Interna dan mendapat obat kumur, anti
biotik serta vitamin tetapi tidak ada perbaikan. Dari pemeriksaan
Klinik didapat keadaan umm baik, pemeriksaan ekstra oral tak ada
kelainan, pemeriksaan intra oral kebersihan mulut baik, ulser
tepi tidak teratur pada palatum kiri diameter 1 cm dan daerah
retromolar kiri diameter 1 cm. Diagnosis klinik ditegakkan
sebagai SAR tipe mayor, sebagai diagnosis banding adalah Stomati-
tis Herpetika rekuren. Penatalaksanaan yang direncanakan berupa
pemeriksaan darah rutin untuk melihat kemungkinan adanya anemia,
Pemeriksaan sitologi untuk melihat adanya badan inklusi, konsul-
tasi dan terapi kumur tetrasiklin dan tablet Vigoral.pada kunjungan ke 2 yaitu 3 hari kemudian didapat keluhan dan
pemeriksaan Klinik masih sama dengan sebelumnya. Dari hasil
pemeriksaan darah ternyata dalam batas normal dan dari pemerik-
saan sitologi didapat badan inklusi VHS positif. Terapi yang
iberikan berupa tablet Acyclovir 1000 mg. per hari selama 10
hari, xumur Chlorhexidine 0.2% dan tablet Opilet M 500.
Pada kunjungan ke 3 yaitu 3 hari kemudian didapatkan lesi palatum
masih sama dengan sebelumya. Terapi yang diberikan berupa obat
yang sama tetapi tanpa Acyclovir.
Pada kunjungan ke 4 yaitu 4 hari kemudian didapat lesi palatum
masih ada. Terapi yang diberikan adalah Kenalog in ora base dan
opilet m 500.
Pada kunjungan ke 5 yaitu 4 hari kemdian didapat lesi palatum
masih ada, timbul lesi baru pada daerah alveolar regio molar
kanan bawah sebelah kiri. Terapi Kenalog langsung dihentikan,
diberikan kumur Tantum Verde dan Opilet 500
Pada kunjungan ke 6 yaitu 3 hari kemudian didapat lesi palatum
membaik , lesi pada daerah alveolar sudah tidak sakit lagi.
‘Terapi yang diberikan adalah Tablet Acyclovir dengan dosis yang
sama dengan sebelunnya, kumur Chlorhexidine 0.2% dan opilet
500
asus 2.
Pagien wanita, umur 37 tahun datang dengan keluhan sering saria-
wan, ulang kambuh selama lebih kurang 3 bulan. Pasien mengeluh
sering pusing dan telah berobat ke dokter serta mendapat obat
Nystatin dan Amoxillin tetapi tidak ada perbaikan. pasien memakai_
gigi tiruan yang tidak bisa dibuka buatan tukang gigi. Dari
pemeriksaan klinis didapat keadaan umum cukup baik dan pasien
mengaku tidak menderita penyakit sistemik. Dari pemeriksaan
ekstra oral terlihat angular cheilitis kiri dan kanan, intra oral
kebersihan mulut baik, lesi ulser diameter 1/2 cm. pada mukosa
35labial, lesi herpetiformis pada jung lidah dan gingiva rahang
atas regio premolar kanan, Diagnosis klinik ditegakkan berupa SAR
tipe herpetiformis, dan diagnosis banding adalah Stomatitis
herpetika rekuren. Penatalaksanaan yang diberikan berupa pemerik-
saan sitologi, terapi tablet Vigoral dan obat kumur Chlorhexidine
0.2%.
Pada kunjungan ke 2 yaitu 3 hari kemudian didapat keadaan umum
baik. Pemeriksaan eketra oral lesi masin sama dengan kunjungan
pertama, intra oral dijumpai lesi sama dengan kunjungan pertama,
Dari hasil pemeriksaan sitologi ternyata ditemukan badan inklusi
VHS positif. Terapi yang diberikan adalah Acyclovir 1000 mg
perhari selama 5 hari, tablet Vigoral dan Chlorhexidine 0.2%.
Pada kunjungan ke 3 yaitu 4 hari kemudian didapat keadaan umum
baik. Pemeriksaan ekstra oral lesi angular cheilitis membaik,
intra oral lesi-lesi sedikit membaik, tidak timbul lesi-lesi
baru. Terapi yang diberikan masih sama tetapi vitamin diganti
dengan Sangobion dan diberi Ampisilin. Pasien belum kembali lagi
ke Klinik
Kasus 3.
Seorang pria, 47 tahun, pekerjaan pedagang eceran mengatakan
sudah 3 bulan sering sariawan di lidah. Sudah berobat ke dokter
umum diberi Betadine, Albothyl dan vitamin B kompleks tetapi
tidak sembuh-sembuh. Pasien mengatakan mempunyai masalah dengan
keluarga. Dari pemerikeaan Klinik didapat keadaan umum baik,
pasien mengaku tidak menderita penyakit sistemik. Dari pemerik-
saan ekstra oral terlinat tidak ada kelainan, intra oral kebersi-
han mulut buruk, terdapat radiks gigi , terdapat gigi karies
Lidah keputihan disertai dengan lesi ulser diameter 3-4 mm pada
baian dorsumnya, lesi-lesi ulser diameter 2-3 mm berkelompok pada
palatum durum sebelah kiri. Diagosis klinik ditegakkan sebagai
SAR tipe herpetiformis dan sebagai diagnosis banding adalah
Stomatitis herpetika rekuren. Penatalaksanaan yang direncanakan
adalah konsultasi, terapi berupa Vigoral dan kumur Chlorhexidine
360.2%., ekstrakei gigi-geligi radiks dan perawatan gigi-geligi
karies.
Pada kunjungan ke 2 yaitu 3 hari kemdian didapat keadaan umum
baik. Pemeriksaan ekstra oral tidak dijumpai adanya kelainan,
intra oral dijumpai lesi pada dorsum 1idah dan palatum durum mem-
baik , lidah masih keputihan. Dari hasil pemeriksaan sitologi
dijumpai adanya badan inklusi VHS . Terapi yang diberikan sama
dengan kunjungan sebelumnya
Pasien tidak kenbali, tetapi 1 bulan kemidian datang lagi dengan
keluhan sariawan kambuh lagi. Dari pemeriksaan Klinik dudapat
keadaan umum baik. Pemeriksaan ekstra oral tak ada kelainan,
intra oral dijumpail esi pada palatum durum hilang, lesi pada
lidah timbul lagi, tinbul lesi baru pada mukosa pipi kiri, mkosa
bibir diameter 5 mm. Terapi yang diberikan berupa Acyclovir 1000
mg perhari selama § hari dan tablet Vigoral
Pada kunjungan ke 4 yaitu 4 hari kemdian dijumpai keadaan umm
paik. Dari pemeriksaan ekstra oral tidak dijumpai adanya kelai-
nan. Dari riwayat intra oral pasien mengatakan 3 hari setelah
minum obat timbul luka baru pada ventral lidah dan lesi-lesi yang
lama masih ada. Dari pemeriksaan lidah tampak keputihan. Terapi
yang diberikan adalah Suspensi Mycostatin dan tablet vigoral.
Pembabasan
Mengamati ketiga kasus diatas tampaknya ada beberapa hal yang
menarik perhatian. Disini diagnosis SAR ditegakkan karena riwayat
penyakit dan gejala klinie dari ketiga kasus ini sesuai dengan
SAR yaitu adanya lesi ulserasi pada mukosa mulut yang tidak
berkeratin, disertai dengan riwayat rekurensi. Akan tetapi dis-
amping itu timbul kecurigaan Klinik infeksi VHS karena disamping
gejala SAR dijumpai pula tanda-tanda infeksi VHS yaitu lesi
ulserasi yang berkelompok pada mukosa mulut yang berkeratin,
Untuk melinat apakah terjadi infeksi VHS dilakukan pemeriksaan
stsitologi adanya badan inklusi yang disebabkan olen VHS. Pemerik-
saan ini adalah satu-satunya pemerikeaan yang dapat dilakukan
mengingat biaya yang relatif murah dan hasil dapat segera dipero-
leh. Sebetulnya untuk mendiagnosis adanya suatu infeksi VHS
tidak cukup hanya dengan pemeriksaan ini saja karena hasil yang
positif tidak cukup untuk menyimpulkan adanya proses infeksi,
mengingat bahwa VES termasuk dalam virus yang bersifat oportunis-
tik. Untuk memastikan adanya euatu infeksi VHS pemeriksaan ini
harus dikonbinasikan dengan pemeriksaan lain seperti pemeriksaan
titer antibodi. Yang menjadi hambatan disini adalah pemeriksaan
ini memakan waktu yang lama dan biaya pemerikeaan dirasakan
pasien terlalu mahal,
Dari pemeriksaan ketiga kasus diatas ternyata diperoleh hasil
badan inklusi VHS positif. Dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa pada ketiga kasus ini mungkin terjadi infeksi VHS. Olen
karena pada ketiga kasus ini tidak @imungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya maka diputuskan untuk diberi terapi
Acyclovir sebagai terapi antivirus. Ternyata pada kasus 1 dan 2
terapi ini memberikan hasil yang baik yaitu tidak timbul lesi-
lesi baru pada mukosa mulut. Sebaliknya pada kasus 3 terapi
dengan bahan ini tampaknya tidak ada manfaatnya bahkan timbul
lesi-lesi baru pada daerah mukosa mulut yang lain. Yang dapat
Gisimpulkan dieini adalah pada kasus 1 dan 2 kemungkinan ada
peranan VHS pada proses penyakit, akan tetapi apakah peranan ini
berupa suatu infekei murni atau infekei oportunistif tidak dike-
tahui. Pada kasus 3, peranan VHS tampaknya tidak ada dan lesi-
lesi yang terjadi hanya disebabkan oleh SAR. Walaupun demikian
pemberian Acyclovir pada kasus 3 ini dapat dianggap sebagai
tindakan tahapan prosedur diagnostik maupun tindakan pencegahan
sehingga apabila diperlukan dapat digunakan terapi golongan
kortikosteroid.
Melinat dari pengalaman diatas dapat disarankan bagi para dokter
gigi apabila menjumpai kasus SAR dengan disertai adanya tanda-
tanda infekei VHS, sebaiknya waspada dan merujuk pasien untuk
38pemerikeaan laboratorium sehingga proses penyakit dapat diketa~
hui. Hal ini perlu dilakukan terutama bila terapi dengan bahan
kortike steroid akan diberikan. Apabila karena sesuatu hal pemer-
ikeaan yang sederhanapun tidak dapat dilakukan, terapi SAR dengan
bahan-bahan yang bereifat imunosupresif sebaiknya dihindarkan
arena dapat terjadi keadaan penyakit yang lebih parah. Selan-
Jutnya pada keadaan ini terapi SAR ditujukan kepada pengelolaan
faktor-faktor predisposis’ yang ada pada pasien disertai dengan
tindakan simptomatik dan suportif saja
Kesimpulan
Dari 3 kasus SAR yang diamati, ternyata memberikan hasil pemerik-
saan sitologi adanya badan inklusi. Setelah diberi bahan Acyclo-
vir, 2 kasus menberikan reakei yang baik dan pada 1 kasus tidak.
Xesimpulan disini adalah bahwa pada kasus-kasus SAR kadang-kadang
ada peranan dari VHS . Untuk itu perlu diwaspadai apabila dijum-
pai kasus SAR dengan tanda-tanda klinis infeksi VHS.
Daftar pustaka
1. Wall JG: Recurrent Aphthae Management Tips for the GP. Medi-
cal Progress. 1994; 21: 35-40
2. kxell T; A prevalence study of Oral Mucosal Lesions in adult
population. Odontologisk Revy. 1976; 27: 51-52
3. Sumariyah S,, Sarsito AS: Frekuensi Distribusi Penyakit
Mulut di Klinik Oral Medicine FKGUI-RSCM. Laporan Penelitian
FRGUE. 1992.
4. Lynch'MA, Brightman VJ, Greenberg MS: Burket's Oral Medicine
Diagnosis and Treatment. Philadelphia: JB Lippincott Co
1994: 182-185.
5. Rennie JS, Reade PC, Scully C: Recurrent Aphthous Stomati-
tis. Br Dent J. 1985; 159: 361-366
6. Vincent 8D, Lilly Gz. Clinical, historic and therapeutic
features of aphthous stomatitis. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol. 1992; 74: 79-86
7. Goldman HS, Marder MZ: Physicians’ Guide To Diseases of The
Oral Cavity. New Jersey, 1982: 139-142
8. Spruance Sl, Wenerstrom G: Pathogenesis of recurrent herpes
simplex labialis. IV. Maturation of lesions within @ hours
after onset and implications for antiviral treatment. Oral
Surg Oral Med Oral Pathol. 1984; 58: 667-670.
39