You are on page 1of 3

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP-RS HASAN SADIKIN BANDUNG

Bacaan Jurnal
Oleh : Nisa Hermina Putri
Divisi : Nutrisi dan Penyakit Metabolik
Pembimbing : Prof. Dr. dr. Dida Achmad G, Sp.A(K), M.Kes
dr. Julistio T.B. Djais, Sp.A(K),
dr. Tisnasari Hafasah, Sp.A(K)
dr. Viramitha K. Rusmil, Sp.A, M.Kes
Pelaksanaan : November 2021

Eggs in Early Complementary Feeding and Child Growth:


A Randomized Controlled Trial
Kam Lun Hon1, Karen Lora L. Iannotti, PhD,a Chessa K. Lutter, PhD,b Christine P. Stewart, PhD,c Carlos Andres Gallegos Riofrío,
MA,d Carla Malo, BS,d Gregory Reinhart, PhD,e Ana Palacios, MD, MA,e Celia Karp, BS,d Melissa Chapnick, RD, MS, MPH,a
Katherine Cox, BA,a William F. Waters, PhD

BACKGROUND: Eggs are a good source of nutrients for growth and development. We abstract hypothesized
that introducing eggs early during complementary feeding would improve child nutrition.
METHODS: A randomized controlled trial was conducted in Cotopaxi Province, Ecuador, from March to
December 2015. Children ages 6 to 9 months were randomly assigned to treatment (1 egg per day for 6 months
[n = 83]) and control (no intervention [n = 80]) groups. Both arms received social marketing messages to
encourage participation in the Lulun Project (lulun meaning “egg” in Kichwa). All households were visited
once per week to monitor morbidity symptoms, distribute eggs, and monitor egg intakes (for egg group only).
Baseline and end point outcome measures included anthropometry, dietary intake frequencies, and morbidity
symptoms. RESULTS: Mothers or other caregivers reported no allergic reactions to the eggs. Generalized
linear regression modeling showed the egg intervention increased length-for-age z score by 0.63 (95%
confidence interval [CI], 0.38–0.88) and weight-for-age z score by 0.61 (95% CI, 0.45–0.77). Log-binomial
models with robust Poisson indicated a reduced prevalence of stunting by 47% (prevalence ratio [PR], 0.53;
95% CI, 0.37–0.77) and underweight by 74% (PR, 0.26; 95% CI, 0.10–0.70). Children in the treatment group
had higher dietary intakes of eggs (PR, 1.57; 95% CI, 1.28–1.92) and reduced intake of sugar-sweetened foods
(PR, 0.71; 95% CI, 0.51–0.97) compared with control.
CONCLUSIONS: The findings supported our hypothesis that early introduction of eggs significantly improved
growth in young children. Generally accessible to vulnerable groups, eggs have the potential to contribute to
global targets to reduce stunting
Pediatrics. 2017;140(1):1-10

Pendahuluan
Stunting merupakan masalah keshatan yang kompleks akibat interaksi dari kemiskinan, faktor lingkungan dan
biologis. Stunting dapat menyebabkan kematian dan gangguan perkembangan anak. Angka kejadian stunting
lebih banyak di negara berkembang, terutama daerah pedesaan. The World Health Assembly memiliki target
untuk menurunkan kejadian stunting sebanyak 40% pada tahun 2025. Intervensi yang banyak dilakukan selama
ini ialah dengan pemberian makanan yang difortifikasi atau supelemen, namun pemberian makanan local yang
mudah dijangkau masyarakat sebagai salah satu upaya pencegahan stunting masih terbatas bukti ilmiahnya.
Telur merupakan salah satu bahan makanan hewani yang terjangkau, mudah disimpan dan diolah serta
mengandung > 50% nutrisi penting bagi tubuh. Hipotesis penelitian ini adalah peningkatan konsumsi telur
dapat meningkatkan biomarker choline, betaine dan vitamin B yang penting untuk pertumbuhan anak dan
mencegah stunting.

Metode
Penelitian ini merupakan randomized control trial (RCT) 5 area pedesaan di Provinsi Cotopaxi, Ecuador
(Pastocalle, Toacaso, Guaytacama, Tanicuchi, Mulalo). Krietria inklusi pada penelitian ini meliputi bayi usia 6-
9 bulan, lahir tunggal, dan sehat. Sedangkan kriteria eksklusinya meliputi adanya penyakit jantung bawaan,
malnutrisi berat akut, atau alergi telur. Penelitian ini mendapat izin etik dari komite etik Universitas
Washington. Data yang telah terkumpul diacak dan orang tua/pengasuh mendapatkan label kelompok alfa atau
beta pada kotak tertutup yang mereka pilih. Tim peneliti tidak mengetahui sampel yang mereka teliti termasuk
ke dalam kelompok alpa atau beta, namun ada 1 peneliti yang mengetahui semuanya dan bertugas mengawasi
jalannya penelitian secara keseluruhan. Intervensi yang diberikan adalah pemberian 1 buah telur ukuran sedang
(± 50 gram) setiap hari selama 6 bulan. Telur berasal dari peternakan di sekitar area penelitian dan disuplai
setiap minggu. Kunjungan rumah/pemanatauan di lokasi penelitian dilakukan setiap minggu. Luaran primer
yang dinilai ialah peningkatan status antropometri sampel penelitian pada saat sebelum diberikan intervensi dan
setelah 6 bulan intervensi. Pengukuran antropometri dilakukan oleh enumerator yang sudah menjalani
pelatihan. Setiap sampel diperiksa oleh 2 enumerator menggunakan infantometer seca 417 (untuk panjang
badan) dan timbangan digital seca 874 (untuk berat badan), dan apabila terdapat selihis pengukuran panjang
badan ≥ 5 mm atau berat badan ≥ 0,05 kg, pengukuran dilakukan sekali lagi dan dihitung reratanya. Data
antropometri kemudian diinterpretasikan dalam bentuk panjang badan per usia (PB/U), berat badan per usia
(BB/U), berat badan/panjang badan (BB/PB dan indeks masa tubuh (IMT). Stunting didefinisikan apabila nilai
PB/U < -2, underweight jika BB/U < -2, wasting jika BB/PB < -2 dan kurus apabila IMT < -2. Data kemudain
dianalisis mengunakan aplikasi Stata versi 13.1.

Hasil
Dari proses pengambilan data di bulan Februari-Juni 2015, didapatkan ada 175 ibu/pengasuh, namun 4
diantaranya tidak memenuhi kriteria inklusi dan 8 lainnya menolak menjadi sampel penelitian. Sebanyak 163
sampel diacak, 83 masuk ke dalam kelompok kontrol dan 80 masuk ke dalam kelompok intervensi. Namun
yang dianalisis di akhir penelitian terdiri dari 73 sampel kontrol dan 75 sampel intervensi. Prevalensi stuntinf
mencapai 38%. Dari data awal, anak pada kelompok intervensi memiliki prevalensi stunting dan underweight
lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol. Luaran pertumbuhan anak meningkat secara signifikan di
kelompok intervensi, yakni PB/U meningkat (konfidens interval 95%, 0,38-0,88), BB/U meningkat (konfidens
interval 95%, 0,45-0,77), prevalensi stunting menurun 47% (konfidens interval 95%, 0,37-0,77), prevalensi
underweight menurun 74% (konfidens interval 95%, 0,38-0,88), BB/PB meningkat dan BMI meningkat. Tidak
ada anak yang mengalami reaksi alergi selama penelitian berlangsung. Namun terdapat peningkatan prevalensi
diare pada kelompok intervensi sebanyak 5,5% pada akhir penelitian.

Pembahasan
Hasil RCT ini memberikan gambaran perubahan status gizi yang bermakna, terutama PB/U setelah ada
intervensi makanan sederhana berupa telur 1 butir/hari sejak awal pemberian makanan pendamping ASI di usia
6 bulan. Sebuah penelitian di Australia mengenai pengaruh pemberian kuning telur yang kaya asam lemak n-3
dibandingkan dengan telur biasa dan kontrol menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi eritrosit asam
dokosaheksagonik pada kelompok yang diberi telur kaya asam lemak n-3, dan peningkatan fe serum, dan
saturasi transferrin pada kedua kelompok telur dibandingkan dengan kontrol. Penelitian observasional di India
menyimpulkan bahwa konsumsi telur yang rendah pada anak usia 0-23 bulan meningkatkan risiko 2 kali lipat
untuk menderita stunting.
Telur mengandung konsentrasi kolin yang tinggi untuk menunjang pertumbuhan anak. Kumpulan asam
amino dalam telur sangat penting untuk penambahan massa otot dan meningkatkan absorbsi mineral dan
berbagai nutrient esensial. Dalam penelitian ini tidak ada reaksi alergi yang terjadi, namun terdapat peningkatan
prevalensi diare akut pada kelompok intervensi. Hal ini diduga berkaitan dengan reaksi non-imunoglobulin atau
penyakit akibat makanan dikarenakan perisapan pemberian makanan yang kurang baik. Namun masih ada
kemungkinan bahwa diare ini merupakan faktor pernacu akibat kondisi gangguan gastrointestinal terkait diet
telur pada anak usia muda atau pelaporan yang tidak akurat pada anak yang mendapatkan ASI eksklusif.
Keterbatasan penelitian ini diantaranya ialah walaupun proses randomisasi menghasilkan 2 kelompok
yang komparabel, namun terdapat perbedaan data antropometri dan gejala diare pada saat pengumpulan data
awal di antara kedua grup. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan laju catch up pertumbuhan selama proses
penelitian. Peneliti berusaha mengatasi hal tersebut dengan mengikutsertakan data antropometri awal pada
seluruh analisis. Penelitian ini tidak memasukkan data berat lahir dan usia gestasi, meskipun merupakan 2
faktor yang juga dapat memengaruhi laju pertumbuhan anak. Hal tersebut terjadi dengan pertimbangan
seringkali orang tua tidak ingat sehingga data menjadi tidak akurat. Keterbatasan lainnya ialah masih adanya
kemungkinan orang tua/pengasuh membagi telur yang dialokasikan untuk sampel penelitian kepada
adiknya/kakak subjek penelitian.

Simpulan
Pemberian 1 butir telur/hari di awal masa pemberian makanan pendamping ASI (usia 6-9 bulan) selama 6
bulan, dapat meningkatka pertumbuhna linier secara signifikan dan menurunkan prevalensi stunting di populasi
Andean. Perlu adanya strategi matang untuk meningkatkan ketersediaan telur bagi penduduk ekonomi rendah
dan mempromosikan pemberian telur dalam menu makanan pendamping ASI.

You might also like