You are on page 1of 12
— InfaDATIn PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI Situasi Filariasis di Indonesia “Salah satu strategi eliminasi filariasis adalah memutus rantai penularan filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) filariasis di kabupaten/kota endemis filariasis. Pengobatan ini dilakukan sekali setahun selama lima tahun berturut-turut.” A. Pendahuluan Filariasis merupakan penyakit yang masih menjadi masalah Kesehatan masyarakat di dunia Pada tahun 2006, lebih dari 120 juta orang terinfeksi, dengan sekitar 40 juta cacat dan lumpuh oleh penyakit ini (www.who. int), Data WHO menunjukkan bahwa filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan. beberapa daerah subtropis. Di Regional South-East Asia (SEAR) terdapat 3 jenis parasit filariasis, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori yang terdapat di 9 negara, yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldive, Myanmar, Nepal, Sri Langka, Thailand, dan Timor Leste (Kementerian Kesehatan RI, 2014), Filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena masih berjangkit di sebagian besar wilayah Indonesia dan dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup. Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan eliminasi filariasis tahun 2020 sesuai ketetapan World Health Organization (WHO) tentang Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as @ Public Health Problem by the Year 2020) (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Di Indonesia, sampai dengan tahun 2014 terdapat lebih dari 14 ribu orang menderita Klinis kronis filariasis (elephantiasis) yang tersebar di semua provinsi. Secara epidemiologi, lebih dari 120 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis. Sampai akhir tahun tahun 2014, terdapat 235 Kabupaten/Kota endemis filariasis, dari 511 Kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jumlah kabupater/kota endemis filariasis ini dapat bertambah Karena masih ada beberapa kabupatenykota yang belum terpetakan (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Berdasarkan Permenkes Nomor 94 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Filariasis, Penyakit Kaki Gajah (Lymphatic Filariasis) yang selanjutnya disebut filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening, Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung, penyakit ini berdampak pada penurunan produlktivitas kerja penderita, beban keluarga, dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara yang tidak sedikit (Kementerian Kesehatan RI, 2014), Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, Filariasis W.bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrotti tive pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan (Kementerian Kesehatan Rl, 2014). Cacing filaria habitatnya dalam sistem peredaran darah, limfe, otot,jaringan ikat atau rongga serosa. Cacing dewasa mempakan cacing yang langsing seperti benang berwarna putih kekuningan, panjangnya 2 - 70 cm. Cacing betina panjangnya lebih kurang dua kali cacing jantan, biasanya tidak mempunyai bibir yang jelas, mulutnya sederhana, rongga mulut tidak nyata. Esofagus berbentuk seperti tabung, tanpa bulbus esofagus, biasanya bagian anterior berotot sedangkan bagian posterior berkelenjar (Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes dalam Masrizal, 2012). Penularan filariasis dapat terjadi apabila terdapat tiga unsur, yaitu a) adanya sumber penularan, baik manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya; b) vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis; dan c) manusia yang rentan terhadap filariasis. Gambar 1. Skema Rantai Penularan Filariasis Wuchereria Bancrofti Sumber: Kemenkes, 2014 Sure eee) een) et een Ce ete oe) bekembang ciel HEN Cue cet ores Berets ore @ Te Cea) Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif. Proses perpindahan cacing filaria dari nyamuk ke manusia adalah sebagai berikut: 1) Nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3-L3) menggigit manusia, 2) Larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. 3) Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui lubang bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Rantai penularan filariasis pada suatu daerah juga dipengaruhi oleh perkembangan larva L3 dalam tubuh manusia menjadi cacing filaria dewasa, lama hidup, dan kemampuan memproduksi anak cacingfilaria(mikrofilaria) yang dapat menular infektit Gambar 2. Daur Hidup Cacing Filaria Dalam Tubuh Manusia fo ee forevaea terhisap oleh nyamuk 7 nent rein Peas pe So een MEAL) Wet 9 bulzn Pee SIM ee ee oe nem | Crimes eorottent mampubetahan hdupseama 5-7 tahun, acing dewasa (makrofilaria) yang ada dalam tubuh manusia mampu bertahan hidup selama 5- 7 tahun. Selama hidup, makrofilaria dapat menghasikan ribuan mikroflaria setiap hari, sehingga dapat menjadi sumber penularan dalam periode waktu yang sangat panjang, Mikrofilaria dapat terhisap oleh nyamuk yang mengigit manusia (menular pada nyamuk), jika mmikrofilaria berada di darah tepi. Oleh karena itu, di daerah dimana mikrofilaria bersifat periodik nokturna, yaitu mikrofilaria keluar memasuki peredaran darah tepi pada malam hari, dan bergerak ke organ-organ dalam pada siang hari, mikrofilaria menular pada nyamuk yang aktif pada malam hari. Sementara di daerah dengan mikrofilaria subperiodik nokturna dan non periodik, penularan dapat terjadi pada siang dan malam hari (Kemenkes, 2014). Mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk, tidak segera menjadi infektif, tetapi memerlukan perkembangan menjadi larva L1, larva L2 dan akhimya menjadi larva L3 yang infektif (masa inkubasi ektrinsik). Spesies Brugia memerlukan waktu 8-10 hari, spesies Wuchereria memerlukan waktu 10-14 hari Kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah manusia yang positif mikrofilaria sangat terbatas, tetapi terlalu banyak mikrofilaria terhisap, dapat menyebabkan kematian nyamuk tersebut. Sebaliknya, apabila mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk terlalu sedikit, maka kemungkinan terjadinya penularan menjadi kecil karena stadium larva L3 yang dihasilkan juga sedikit. Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban juga sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 Disamping itu, mobilitas penduduk dari daerah endemis ke non endemis atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah (Kemenkes, 2014). E. Filariasis di Indonesia Pada tahun 2018, terdapat 10.681 kasus filariasis yang tersebar di 34 Provinsi. Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan, beberapa kasus dilaporkan meninggal dunia dan adanya perubahan diagnosis sesudah dilakukan konfirmasi kasus Klinis kronis yang dilaporkan tahun sebelumnya (Kemenkes, 2019). Grafik berikut menggambarkan peningkatan dan penurunan kasus filariasis di Indonesia sejak tahun 2010. Gambar 3. Jumlah Kasus Kronis Filariasis di Indonesia Tahun 2010-2018 ‘Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019 16rb 14rb 12156 12.282 120 10%b Bib bib 4 2tb ° 2010 ©2011-2012, 2013. 2014-20156. 2017S «2018 Lima provinsi dengan kasus kronis filariasis terbanyak pada tahun 2018 adalah Papua (3.615 kasus), Nusa Tenggara Timur (1.542 kasus), Jawa Barat (781 kasus), Papua Barat (622 kasus), dan Aceh (578 kasus). Provinsi dengan jumlah kasus kronis filariasis terendah adalah DI Yogyakarta (3 kasus). Jumlah kasus kronis filariasis menurut provinsi tahun 2018 dapat dilihat pada Gambar 4, Gambar 4. Jumlah Kasus Kronis Filariasis Menurut Provinsi Tahun 2018 ‘Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019 7 ial "35\; isin ___—__—_ 7,54) Java caret 731 Papua Garat mm 622 Ach 573 ‘awa Tengah” mm 439 Jawa Timur mat “412 Klinantan Timur a 349 Jambi Kalimantan Barat Sumatera Barat Riau Sulawesi Téhgah Sumatera Utara Sumatera Selatan Banten Kepiilatian Bangka Belitung Kalimantan Tengah Sulawesi Selatan Bengkulu Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Lampung Maluku iialiku Utara Kepulauan Riau Ki Jakarta Kalifantan Selatan Sulawesi Utara Bali Kalimantan Utara Nusa Tenggara Barat Gorontalo DiYogyakarta F. Program Eliminasi Filariasi: Eliminasi filariasis adalah tercapainya keadaan dimana penularan filarasis sedemikian rendahnya sehngga penyakit ini tidak menjadi masalah Kesehatan masyarakat (Kemenkes, 2014). WHO menetapkan kesepakatan global sebagai upaya untuk mengeliminasi filariasis pada tahun 2020 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional. Program Eliminasi Filariasis bertujuan untuk menurunkan angka mikrofilaria menjadi Kurang dari 1% di setiap kabupater/kota sehingga filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020 (Kemenkes, 2019). Pelaksanaan eliminasi filariasis di Indonesia adalah dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limatik Global dari WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi kecacatan. Selain itu, mencegah enyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi, dan antar negara. Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eli lariasis adalah kabupaten/kota (Kemenkes, 2014). Gambar 5. Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota ‘Sumber: Kementerian Kesehatan 2005 Strategi dalam program eliminasi filariasis sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 tahun 2014 adalah sebagai berikut: 1. Memutus rantai penularan filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) filariasis di kabupaten/kota endemis filariasis. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis fila Pengendalian vektor secara terpadu. Memperkuat surveilans, jejaring laboratorium, dan mengembangkan penelitian. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara, terutama dalam rangka memutus rantai penularan filariasis (Kemenkes, 2014). is. geen H.Daerah Endemis dan Non Endemis di Indonesia Berdasarkan hasil pemetaan daerah endemis di Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota merupakan daerah endemis filariasis yang terdapat di 28 Provinsi. Sedangkan sisanya enam provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya merupakan daerah nion endemis filariasis adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Kabupaten/Kota yang merupakan daerah non endemis filariasis adalah sebanyak 278 kabupaten/kota dar total 514 kabupatenykota se-Indonesia. Terdapat 38 kabupaten/kota yang telah lulus dalam survei penilaian penularan tahap kedua dan sebanyak 103 kabupater/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria menjadi kurang dari 1% pada tahun 2018, Dengan demikian, target sebanyak 65 kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria kurang dari 1% dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2018 berhasil terlampaui. Kabupaten/kota endemis filariasis di Provinsi Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, dan Sumatera Barat telah 100% berhasil menurunkan angka mikrofilaria menjadi <1% (Kemenkes, 2019). Gambar 6. Jumlah Kabupaten/Kota Endemis Filaria Berhasil Menurunkan Angka Mikrofilaria menjadi <1% Menurut Provinsi Tahun 2018 Sumber: Prof Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019 Sulawesi tari nei) Nisa fenigara Barat Gon ener Balan eseifiaass) ‘aa Timur "nen ender) ivegyaiarts inners ass) I Jakarta” (nn ender) acca’ 1005s lati) Linon AT TOO (dr tps) NW! TTT 100% 5 a5 iabyteria) ‘ET 100% (19 0Lzmpse/int) ‘isis tt 0% |i Vlabteicta _woOT iT 10% (ar Sctipsen lea) Lit AT 78% 7 9\shypteici) Lie: St A 75% (cabin ica) int TT 73% 01 hetevcy) Kop Baie Belt, _—_—_— 71% (7 hipster ic) CoronaIo Aaa 67% Gn tunes ota) tec AA 5/7 (bape) Snes ai a SON (ar lihuptenics) Sihiwes 9 A 505 (5c ihe) Kalimantan Tra S05 bute] Glimanian Scere 5095 (ctu) Sieh A 44% (679 beste) Kinane TT 36% (cI abuts) KepuLsU3" Ki 338 (abun Kelimanisn Vis maa 25% (jd tite ?:p.2 i 2% 5 fo abuptaa) NaiCie Uae 179% (an 6 abet) ‘Niki Tenggara Timi am 17% (du abuptenot ‘Acch mm 17% 2dr 12 abot) Papa Barat OB ln laden). Malakt”08 td abate it) iWelniian Barat "08 (abate) Jaa Tengah” 0% isabel). |. Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (P0PM) Filariasis Pemberian Obat Pencegahan secara Massal atau yang disebut POPM filariasis adalah pemberian bat yang dilakukan untuk mematikan mikrofilaria secara serentak kepada semua penduduk sasaran di wilayah endemis filariasis usia 2-70 tahun. Wilayah endemis filariasis meliputi satuan kabupaten/kota yang ditentukan berdasarkan hasil survei data dasar prevalensi mikrofilaria ‘menunjukkan angka mikrofilaria (microfilaria rate) lebih dari darvatau sama dengan 1% (satu persen) (Kemenkes, 2014), Pengobatan massal dilakukan sekali setahun selama lima tahun berturut-turut. Pengobatan ‘massal dapat dilakukan serentak pada seluruh wilayah kabupaten/Kota, atau secara bertahap per Kecamatan sesuai dengan kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan pengobatan massal. Pengobatan massal secara bertahap harus dapat diselesaikan di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar reinfeksi tidak terjadi (Kemenkes, 2005). Apabila berdasarkan hasil survei evaluasi penularan pada daerah kabupaten/kota menunjukkan angka mikrofilaria (microfilaria rate) kurang dari 1% (satu persen), pemiberian obat filariasis hanya dilakukan terhadap penderita (Kemenkes, 2014). POPM filariasis tidak dilakukan atau ditunda pemberiannya pada ibu hamil, penderita gangguan ‘fungsi ginjal, penderita gangguan fungsi hati, penderita epilepsi, penderita penyakit jantung dan pembuluh darah, penduduk yang sedang sakit berat, penderita filariasis klinis kronis sedang ‘mengalami serangan akut, dan/atau anak dengan marasmus atau kwasiorkor. Pelaksanaan POPM Filariasis wajib diteruskan selama 2 (dua) tahun apabila berdasarkan hasil survei evaluasi penularan Filariasis menunjukkan masih terjadi penularan darvatau cakupan pengobatan tidak memenuhi persyaratan minimal 65 % dari penduduk sasaran. Pelaksanaan POPM filariasis dihentikan apabila berdasarkan hasil survei evaluasi penularan Filatiasis ‘menunjukkan tidak terjadi penularan. Setelah penghentian POPM Filariasis telah berlangsung selama 2 (dua) tahun, pada wilayah tersebut dilakukan survei ulang evaluasi penularan filariasis. Jika hasil survei ulang evaluasi penularan filariasis menunjukkan tidak terjadi penularan, POPM filariasis tetap dihentikan dan dilakukan survei ulang penularan filariasis Kembali setelah 2 (dua) tahun (Kemenkes, 2014). Jumlah kabupaten/kota yang masih melaksanakan POPM filariasis di tahun 2018 adalah sebanyak 131 kabupaten/kota, sedangkan tahun 2017 sebanyak 152 kabupaten/kota Penurunan jumlah kabupatervkota yang masih melaksanakan POPM filariasis disebabkan karena beberapa kabupaten/kota telah selesai melaksanakan POPM is selama 5 tahun dan sedang memasuki tahap surveilans. Papua Barat, Maluku, Kalimantan Barat dan Jawa Tengah adalah provinsi dengan semua kabupaten/kota endemis filariasis melaksanakan POPM Sementara itu, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, dan Sumatera Barat merupakan provinsi dengan kabupaten/kota yang tidak melaksanakan POPM filariasis Karena sedang dalam masa surveilans pasca POPM filariasis (Kemenkes, 2019). Gambar 7. Jumlah Kabupaten/Kota yang Masih Melaksanakan POPM Filariasis Menurut Provinsi Tahun 2018 Sumber: Prof Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019 ki Jakarta DBiYogyakarta ‘Jawa Timur Bal Nusa Tenggara Barat Suiawesi Utara Jawa Tengah ialimantan Barat ‘Maluku Papua Barat ‘Aceh Nusa Tenggara Timur ‘Maluku Utara Papua Kalimantan Utara Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Kalimantan Seiatan Suiawesi Barat Sumatera Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Timur Gorontaio Kep, Bangka Belitung ‘Jawa Barat Sulawesi Selatan ‘Sumatera Utara Jambi Sumatera Barat Riau Bengkulu Lampung Banten (om endenis ass) (pon erdenis las) (om erdenis las) (oon erdenis fis (ponerdeni as) (oon erdenis ls) A 1008 (i siatecou) A 100% (lobe) A 100% (9 iat) 100 0) A £39 5 c2icicopsenton) 63% (5 lchptevio) A £39 (07 latexes) A 79% 1833p) LL 75% (saben) NN 67% (cr 3 tupac) LL G43 (1 abpatet) NN 56459 atoevton) NN 50% (db schptet) NN 50% (ns tupzevioa) NN 44% oi 8iipen ior) NN 42% (cn 1 abot) (SN 33% (5 1abpsteno) EEE 33% Cenc latupnevion) (NE 2096 Lanz) RN 27% (401 abopntevion) 25% cad Acdazeni) (RN 22% 29 absent} REE 20% (rs atopneniou) (ones paca PPM ss) (metas pasa Pew rss) (sores ca POP iss) (metas pasa Pew ts) (ness paxa PoP rs) ‘Selama delapan tahun terakhir POPM filariasis cenderung meningkat, dari 39,4% pada tahun 2010 menjadi 77,48% pada tahun 2018. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya komitmen Pemerintah Daerah dalam mencapai Eliminasi Filariasis (Kemenkes, 2019). Gambar 8. Cakupan POPM Filariasis Tahun 2010-2018 ‘Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2018, Tahun 2019 J. Obat-Obatan untuk Pengobatan Filariasis 1. Diethylcarbamazine Citrate (DEC) DEC merupakan obat filariasis terpilih terhadap mikrofilaria dan makrofilaria. Mekanisme kerja DEC terhadap mikrofilaria, yaitu dapat melumpuhkan otot mikrofilaria sehingga tidak dapat bertahan di tempat hidupnya dan mengubah komposisi dinding mikrofilaria menjadi lebih mudah dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh. Sedangkan mekanisme kerja DEC terhadap makrofilaria adalah menyebabkan matinya cacing dewasa, namun mekanisme belum jelas dan menghambat cacing dewasa yang masih hidup untuk memproduksi mikrofilaria selama 9-12 bulan. 2. Albendazole Albendazole dapat meningkatkan efek DEC dalam membunuh mikrofilaria, melemahkan makrofilaria, dan secara luas digunakan sevagai obat cacing usus (cacing gelang, kremi, camibuk, dan tambang) (Kemenkes, 2007). 10 DAFTAR PUSTAKA o Kementerian Kesehatan. 2005. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1582 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Khaki Gajah). Jakarta Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 893, Tahun 2007 tentang Pedoman Penanggulangan Kejadian ikutan Pasca Pengobatan Filariasis Jakarta: Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun. 2014 tentang Penanggulangan Filariasis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2019, ProfilKesehatan Indonesia 2018, Jakarta: Kementerian Kesehatan Masrizal. 2013. Penyakit Flariasis. Jakarta: Jumal Kesehatan Masyarakat, September 2012- ‘Maret 2013, Vol7, No.1 Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes. 2009. Parasitolog! Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. WHO. 2019. Lymphatic Filariasis. Diakses pada situs hitps:/www.who.innews-roomifact- sheets/detaillymphatic-flarias's tanggal 25 juli 2019. TIM REDAKSI Penanggung Jawab Penyunting Desainer/Layouter Didik Budijanto Winne Widiontini Hire Hobibi Redaktur Penulis Rudy Kurniawan Intan Suryantisa Indah i

You might also like