You are on page 1of 14
29 od Menuju Arkeologi Maritim Indonesia’ Dua hal yang menjadi pandangan pokok bagi Diskusi Ilmiah Arkeologi XIV ini, yaitu pertama, pengembangan Arkeologi Maritim, dan kedua, perhatian pada kawasan timur Indonesia dan wilayah-wilayah di sebelah timurnya lagi, seluruh kawasan Oseania yang meliputi Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia. Mengenai perlunya perhatian ditujukan ke kawasan Pasifik di sebelah timur Indonesia telah pernah saya lontarkan dalam Diskusi Imiah Arkeologi II tahun 1985. Bahkan dalam pengembangan kurikulum di Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia telah dimasukkan matakuliah “Prasejarah Kepulauan Pasifik”. Namun, kemajuan belum tampak, para ahli arkeologi Indonesia kebanyakan masih terlalu “home bound”, kakinya masih berat untuk melangkah ke luar daerah asalnya. |_._'Makalah pada Diskusi Imiah Arkeologi (DIA) XIV, bertema ‘Hubungan Maritim Antara Indonesia dengan Wilayah Sebelah Timurnya”, diselenggarakan bersama oleh: IAAI Komda Sulawesi, Maluku dan Irian; SPSP Sulselra; Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin; Balai Arkeologi Makassar; dan Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati. Makassar, 16-17 Juni 2001. 1a Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah 30 Budayt Pengembangan arkeologi Asia-Pasifik, atau khusug Indonesia-Pasifik, memang memerlukan pemancangan nial yang kuat, disertai program yang terarah untuk pembinaan kemampuan di bidang penelitian dan kerja sama antamegara, dan juga antarlembaga. Masalah warisan bersama sejarah dan sejarah kebudayaan yang selama ini telah mendapatkan cukup banyak perhatian para ahli arkeologi Indonesia adalah yang berkaitan dengan kawasan ‘Asia daratan, sampai India dan Persia di arah arat, serta Cina di arah utara. Dalam pada itu data kebahasaan menunjukkan adanya kekerabatan budaya antara suku-suku bangsa di Indonesia dengan suku-suku bangsa di kawasan Oseania. Sejumlah penelitian prasejarah pun menunjukkan adanya hubungan-hubungan budaya tertentu, khususnya sebagaimana ditunjukkan oleh temuan keramik tanah liatnya. Petunjuk-petunjuk itu membawa ke arah keharusan adanya Komunikasi dan interaksi antarwarga budaya yang berlainan aE ae tentunya dengan melintasi sejumlah cones , baik itu laut besar, laut kecil, teluk, ataupun —— Selanjutnya, izinkan say Lb 4ya me! i ae i ape peaagkhususkan perhatian kepada than pe 5 em Arkeologi Maritim meliputi dua a mempelajari dan menangani segala tin a Penta segala sesuatu yang terkait q, pelayaran, nam a eee mun datanya terdapat dj ie engan kelautan ea ae ane aspek-asp elenya, Sudah tentu yang di dalam 9; au tin, a Arkeologi maritim yang te mait dan juga di i a antara lain adalah yang eae 2 dapat gi santa pen, akan adanyapelayuren eet? den, dijumpai di arkawasan, eo Si gan Arkeologi Maritim. Sarapan, yaitu pertama, ggalan di bawah air, dan aN si, BaN sisa_si nd sisa, atau i a : lu, seperti = a misalnya ¢ prasejarav Sebaran n antarpula' pulau di kegiatan } arkeologi kegiatan | pembuat pelayaran perlengk mutiara, | masa lalu penafsira tertulis, s melalui p yang ma: yang hid Sisa- lebih me tinggalan danau. In terdahult lalu di da sistem m yang ten disebutk: crannog ye Robert N Tinggala: i di “Arkeologi dan Perluasannya 31 misalnya ditunjukkan oleh sebaran gerabah sekerabat yang oleh prasejarawan disebut jenis Sahuynh-Kalanay dan Bao-Malayu. sebaran nekara perunggu pun merujuk pada adanya pelayaran antarpulau, serta antara daratan Asia Tenggara dengan pulau- pulau di Indonesia. Itu adalah data tak langsung mengenai kegiatan pelayaran di masa lalu. Adapun golongan kedua data arkeologi maritim adalah, baik yang berkenaan langsung dengan kegiatan kelautan manusia masa lalu, seperti yang menyangkut pembuatan kapal dan penggunaan peralatan penunjang pelayaran seperti untuk menentukan arah, maupun yang berupa perlengkapan penangkapan/pencarian hasil laut seperti ikan, mutiara, dan karang- Peralatan pelayaran dan kenelayanan dari masa lalu itu dapat ditemukan sebagai artefak arkeologi, yang penafsiran akan fungsinya dapat diperkuat oleh adanya data tertulis, seperti catatan-catatan lama, ataupun analogi etnografik melalui pengetahuan akan adat-kebiasaan dan teknologi serupa yang masih dapat diamati pada masyarakat-masyarakat etnik yang hidup di masa kini. Sisa-sisa teknologi dan sistem maritim masa lalu itu sendiri lebih mempunyai peluang untuk masih bisa diketahui melalui tinggalan-tinggalannya yang terdampar di dasar laut, sungai, atau danau. Ini termasuk ranah garapan pertama yang telah disebutkan terdahulu. Arkeolog harus menyelam ke dalam air. Sisa-sisa masa lalu di dasar Jaut itu dapat berupa sisa-sisa kapal dengan segala sistem manajemen dan peralatannya, maupun sisa-sisa hunian yang tenggelam ke dalam air. Suatu contoh kajian yang dapat disebutkan adalah berkenaan dengan sisa-sisa rumah yang disebut crannog yang ditemukan di perairan Skotlandia dan Irlandia (periksa wer Munro, 1882, Ancient ‘Scottish Lake Dwellings or Crannogs) ggalan crannog di dalam air itu, berkat efek pengawetan dari i Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah Budaya : Jain dapat melestarikan sisa-sisa Mentega g cate ungkin bertahan di atas tangy ang sistematis dan komprehensif mengep ‘i V0 yang karam dapat dilihat dalam Hollangj, nium. A Contribution to the Study of the History, Archaeology Compe Ceefeatnan Lsicograpy of] 150ft Dutch East ndiamen 7 St] 1750), yang disusun oleh Jerzy Gawronski, Bast Kist, dan Od Stokvisvan Boetzelaer (Rijksmuseum Amsterdam & Elser 1992). Struktur kapal, beserta tata peralatan dan tata penemp a ih muatan kapal dibahas dengan teliti, diklasifikasikan, dan disertai gambar-gambar detail. Pengembangan penelitian arkeologi bawah-air sesungguh- nyalah memerlukan taruhan besar dalam hal peralatan penelitian serta pelatihan fisik dan mental bagi para penelitinya. Itu semua memerlukan modal besar, dan juga keberanian besat- Bagsimanapun, kiranya adalah amat pantas apabila Indonesia, ee Perairan begitu luas, juga mempunyai divist ge nen yen a Usaha ke arah itu sudah dimulal pelaihan di negerisnec es oH arkeologi untuk menjalani Seri lain, Pada kongresnya ter n. That memuat dalam akhir (tahan toni Atkeologi Indonesia eKlarasinya, Ee 1999) di Yogyakarta telah pula dikembangkan di Indonee a? Atkeologi B, : Betbagai teknik pense Namun, usahe penv2” Air harus . : maupun men; Pendugaan, lum maksimal: . » baik menge, es genai kar ngenai laut, adalah tekni ndungan yang terkub ‘eaeman laut ur di ies ng sel; 1 baw, mikian juga teknikeet, Perla dif ae dasar i 1 4 teknil a eni. Pemu: ik Pendokumentasian sere Y*lamay BKatan ol atas permukaan 2 Pengangpar, Sta j se AN tey air, Bagi tem kaan air dip hal konserve Diperlukan f telah terjadi itu, diperlul biologi. Men air memerlu arkeologi itt bahu-memb masyarakat Arkeologi B Dalam | tegas meng atau peraire Ini tidak be Jalu harus ¢ tetap “pele sebagaima Kebudayaatr perlindung: Gawronski belum ada | penelitian pandangan didapat dai ada dua pa Pertama, m kapal-kapa komples d al. aut sat nu- sSe- nik- Arkeologi dan Perluasannya 33 Bagi temuan-temuan yang telah diangkat ke atas permu- kaan air diperlukan berbagai kemahiran lain, yaitu dalam hal konservasi benda-benda sesuai dengan ragam bahannya. Diperlukan pula kajian mengenai sebab-sebab kerusakan yang telah terjadi atas artefak-artefak yang ditemukan itu. Untuk itu, diperlukan keahlian dalam analisis kimia dan (mikro) biologi. Memang harus diakui bahwa kajian arkeologi bawah- ait memerlukan tunjangan berbagai disiplin ilmu lain di luar arkeologi itu sendiri. Sudah matang waktunya bagi kita untuk pahu-membahu antardisiplin, antarinstansi, antarpotensi dalam masyarakat, untuk mewujudkan kekuatan nasional dalam Arkeologi Bawah Air. Dalam kaitan itu semua perlu diambil sikap bersama yang tegas mengenai data masa Jalu yang tersimpan di dalam laut, atau perairan apa pun, yang terpusat pada tujuan pelestarian. Jni tidak berarti bahwa sisi komersial yang dapat dimanfaatkan lalu harus diabaikan sama sekali. Namun, pedomannya harus tetap “pelestarian dahulu”, baru yang lain-lain. Pelestarian, sebagaimana dipahami dalam teks calon RUU tentang Kebudayaan (Ditjen Kebudayaan, 1999), meliputi aspek-aspek perlindungan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan. Gawronski (dalam Compendium, 1992:15) mengeluhkan bahwa belum ada kerangka umum yang disepakati bersama mengenai penelitian arkeologi bawah air, dan adanya kesenjangan pandangan mengenai nilai dan hakikat dari artefakartefak yang didapat dari sisa-sisa kapal VOC yang tenggelam. Menurutnya ada dua pandangan yang bertolak belakang mengenai hal itu. Pertama, menganggap bahwa tinggalan arkeologi bawah-air dari kapal-kapal karam itu merupakan sumber informasi ilmiah yang komples dan beraneka ragam dan itu dapat digunakan untuk esa sarah Indonesia: Kajian Arkeologi Sets dan Sejaral Budaya In erekc i ia.Sementra i si kegiatan dan tata perilaku manusia. ° i ty, ag dua melihat artefak-artefak yang itemukan itu pandangan yang e ian koleksi penda-benda bersejarah yang rmempunyai harga pasaraniny® dan dengan Ce nae upaya techadapnya adalah Penge ar ogi”. Contoh yang sering diberi label salah sebagal arkeologi”. Conto: pendekatan kedua yang disebutnya adalah perlakuan terhadap peninggalan kapal Geldermalsen oleh M. Hatcher, yang bersifat purely commercial and is not aimed at producing or even keeping a record of archaeological information ‘murni komersial dan tidak ditujukan untuk membuahkan, atau bahkan menyimpan (saja) catatan sebagai informasi arkeologis’. Pengkajian mengenai teknologi pelayaran, beserta segala urusan i n yang terkait dengannya, seperti teknologi perkapalan IPA arsip-arsi tersedi pelayaran, maupun petdagan arsip, anya ‘gan, b; bai * terkait dengan masa ae ‘mengenai perkapalan, eadaan sepertinadinan Sah day; ne kadang-kadang dan isi tu ‘a dan sae analisis data dati sinero; Politik. Dalam analisis data dari aWah aj Slantar; terdapat ‘di — Sumber.si, Ngan pe *Penghimpunan uar air’ Nghi: arkeologi Indonesian : Bagaiman lig ihe smpunan dart nyata dalam Arken. eS Pang PU 8 lebj Keolog Bay Cunt, OPT ASL h banyak ada kemauan, gj » di si ™Mem| my - wu ada jalan Saya bere, bent Nida ahli 1 mana (E.B.. Tempe EJ.Bri oleh ar van de | “Ontw Java”, begitu Pencap Walaup Masih t Yang dit ada keb dimaksy asal-uen ali atan nana 35 @& Masyarakat dan Perubahan Gaya Seni: Ulasan atas Studi EB. Volger' E.B.Vogler telah membuat suatu kajian mengenai hiasan kalamakara pada candi Jawa hampir empat puluh tahun yang lalu (E.B.Vogler, 1949. De Monsterkop uit het Omlijstingsornament van Tempeldoorgangen ennissen in de Hindoe-Javaanse Bouwkunst. Leiden: EJ.Brill. Hasil studi yang berupa buku tersebut kemudian disusul oleh artikel-artikel mengenai pokok yang sama, yaitu “De stichtingstijd yan de tjandi’s Gunung Wukir en Badut”, BEI 108 (1952):313-50, dan “Ontwikkeling van de gewijde bouwkunst in het Hindoeistische Midden Java”, BKI 109 (1953):249-71.) Hasil studi sarjana ini telah begitu sering dikutip, dan sesungguhnya merupakan salah satu pencapaian penting dalam sejarah kajian Arkeologi Indonesia, walaupun oleh sarjana itu sendiri telah diakui bahwa mungkin masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam kesimpulan-kesimpulan yang ditarik, Akan tetapi, ia juga menyatakan dengan tandas bahwa ada kebenaran pada garis besarnya (1949: 235). Garis besa yang dimaksudkannya dalam kutipan ini khususnya berkenaan dengan asal-usul dari kerangka bentuk hiasan kalamakara. Namun, dari 'Makalah disajikan dalam diskusi ilmiah Arkeologi is gi VI, diselenggarakan ie TAAL katan Abli Arkeologi Indonesia) Komisariat Daerah Jabarta dan jawa Barat, di Jakarta, 11-12 Februari 1988. udaya Indonesia: Kajian Arkeolog, Sen, dan Sejarah 36 keseluruhan studi E.B.Vogler itu terbaca juga keyakinany a kebenaran kesimpulan-kesimpulannya yang erkenaan denpay . ip-prinsip dasar yang melandasi perkembangan kesenian} on (petiksa khususnya Vogler 1943: (Dinsisrrai spp Funstenkele wetten welke haar vormgeving en vormontvid ing beers halaman 1-23, dan “Slotsbeschouwingen", halamien) 234-43), Prinsip. prinsip dasar inilah yang dalam karangan ini akan dibahas. Kajian Vogler itu pada dasarnya merupakan suatu kajian mengenai vormgeving (pemberian bentuk, penciptaan bentuk) dalam seni rupa, seni pahat batu khususnya. Kasug yang ditelitinya adalah hiasan kalamakara pada pintu-pintu dan relung-relung candi batu di Jawa sepanjang masa yang disebutq 1 “Hindoe—Javaans” (Jawa-Hindu). Kajian vormgeving itu diara kan untuk mengidentifikasikan berbagai stijl (gaya) yang pad# gilirannya dihubungkannya dengan wilayah dan rentangall masa yang lebih sempit. Studi ini merupakan yang petta dalam Arkeologi Indonesia yang menggunakan pendekatall ‘uantitatif meskipun tidak digarap dengan teknik kuantitatl Yang dimaksud dengan pendekatan kuantitatif di sini adalall bahwa si peneliti menghadapi items (satuan-satuan, dalam hal ini 5 al ini masin ing hiasal wn ; '8-masing hias: ]amakara) sebagaimana laiknya dalam survei statistik orang menghadapi himpunan satuan-s; as 3 ati i emudian menyelidiki hubungan-hubusge eo emetlan sampe wubungan di ; itu dengan menganalisisnya berdacer va salam himpunal terdapat di dalam items terseby inset variabel keajian Vogler ini den, : gan kajian ED, vita ‘pigura sulur 2 Men; i hi: Se Belung, "8enai hiasas besar (periksa EDK. i candi yang lain, sama mengenai > me Bosch, 194g, tu es a * De Gouden, Jumlah yang Ki em: Inleiding it de Indische Symbol mencari hubung: melainkan henda kiem” (rahim em yang dikemukakat tertulis yang din melandasi tema I Vogler tidak pemasalahan lai pokoknya adalal bagaimana caran dijawabnya deng (variabel) dari dijumpai dan di lebih muda dijel: yang lebih tua. sendiri’ dan me seni. Dengan d terjadi sebagai Kesimpulan ini. telaahnya bahw perjalanan’, dan Kesimpulan ini kedua, yaitu b: berubah). Keny adalah bahwa se merupakan suz baku beserta v digunakan seb: Saya-gaya ters “Arkeologi dan Perluasannya 37 de Indische Symboliek. Amsterdam/] Brussel:Elsevier). Bosch tidak mencari hubungan antarsatuan atau antarkelompok satuan, melainkan hendak menjelaskan makna tema tunggal “gouden kiem” (rahim emas) yang diwujudkan dalam seluruh contoh yang dikemukakannya itu dengan menggunakan sumber-sumber tertulis yang dinyatakannya sebagai penjelasan konsep yang melandasi tema hiasan candi yang dibahasnya itu. Vogler tidak membahas makna simbolis. Ja mengajukan pemasalahan lain sejarah kesenian. Pertanyaan-pertanyaan pokoknya adalah: bagaimana asal-usul suatu gaya seni dan bagaimana caranya gaya seni itu terbentuk. Pertanyaan pertama dijawabnya dengan cara menelusuri satu per satu komponen (variabel) dari hiasan kalamakara itu: di mana ia mula-mula dijumpai dan di mana saja ia kemudian terdapat. Tempat yang lebih muda dijelaskannya sebagai “mengambil alih” dari tempat yang lebih tua. Masing-masing komponen dapat ‘berjalan sendiri’ dan menjadi unsur yang dapat mengubah suatu gaya seni. Dengan demikian, perubahan gaya seni pada dasarnya terjadi sebagai suatu stijlver-menging (percampuran gaya). Kesimpulan ini ditarik oleh Vogler karena ia menjumpai dalam telaahnya bahwa setiap komponen mempunyai suatu ‘riwayat perjalanan’, dan tidak pernah hanya terdapat pada satu contoh. Kesimpulan ini berhubungan dengan penjawaban pertanyaan kedua, yaitu bagaimana cara gaya seni itu terbentuk (atau berubah). Kenyataan yang muncul dari data yang digarapnya adalah bahwa setiap gaya seni yang diidentifikasikannya ternyata merupakan suatu konfigurasi saja dari komponen-komponen baku beserta variasi-variasinya. Latar sejarah dalam hal ini digunakan sebagai betul-betul suatu latar untuk meletakkan gaya-gaya tersebut. Dikotomi-dikotomi yang digunakannya 8 Budaya Indonesia: Kajian Arkeotogi, Seni, dan Sejarah 3 ntuk menggolong-golongkan Jatar tersebut adalah: “Siwaitiscy» ul vs budahistisc” dan “Sailendra” vs “non-Sailendra”, ditambah ula dengan dikotomi geosrafis yaitu “Midden-Java" ¥® Oost-Javar, Dibedakan pula “Noord Midden-Java” dengan “Zuid Midden-Jaya yang bertumpangtindih dengan perbedaan sifat Saiwa untuk Jawa Tengah Utara dan sifat Bauddha untuk Jawa Tengah Selatan, Kekuasaan politik maupun keagamaan dijelaskannya sebagai faktor yang menentukan dalam memaksakan perubahan gaya seni (Vogler 1949:7-10). Dalam bagian yang selebihnya dari bab pertama bukunya, Vogler menandaskan bahwa seni pahat Jawa-Hindu itu pada dasarnya bersifat dienstbaar (terpakai) dan gebonden (terikat). Dasar pikirannya adalah bahwa seni pahat, yang khususnya terlihat pada bangunan-bangunan keagamaan itu, sepenubnya diabdikan untuk memenuhi kebutuhan agama, dijalankan dengan rasa hormat dan ketaatan pada tradisi yang dianggap suci, dan tidak mungkin ada ruang untuk kebebasan individual si seniman. aan Vogler mengajukan kerangka pembabakan berdasarkan . i a pee ‘uno yang ada padanya, kemudian didukung 1 data perkembangan gaya seni pahat yang disusunnya. la Jawa Tengah Ss ase2| sa stirmasat gee engahan awa Timur i bad ke M] 382-3 | sekiar 7% hingga +750 M 750 hing 5 Masa | 3860-3927 ys nat B60 Mas Dinoyo, », 7E . Magacy OOM se a Sia 271042 itokhingga ag tt dari wa Ka Avangga; Wasa. S25] mundumya Kekuatan masyarakat indy, ingasan. S2t-Majapahit Kete kembang Jawa Ten Jawa Ten Jawa Tent Jawa Ten! Jawa Ten (Periksa Vo Jawe Namun, diperhat: pertumb Tengah, sesuatu 1 1949:23; Negeri ya dan Utar Laut dar Arkeologi dan Perluasannya 39 Keterangan-keterangan pokok mengenai tahap-tahap pet- kembangan seni pahat itu adalah: Guatutahap perkembangan Kesenian yang hiptels, hanya

You might also like