You are on page 1of 14
SEPUTAR KONSEP PENELITIAN AGAMA BAB Il Seputar Konsep Penelitian Agama A. Konsep Penelitian Agama oy onsep penelitian agama bisa menimbulkan beberapa 4 pengertian. Pertama, penelitian agama berarti mencari agama atau mencari kembali kebenaran suatu agama atau jam rangka menemukan agama yang dianggap paling benar. Dalam pengertian ini, penelitian agama berarti meneari kebenaran substansi agama sebagaimana dilakukan para nabi, pendiri, atau pembaru suatu agama. Pengembaraan intelektual Ibrahim untuk mencari Tuhan yang bukan buatan manusia (berhala) atau Tuhan rekaan manusia (benda yang dituhankan), pencarian kebenaran oleh Budha Gautama dan pencarian hadis yang benar oleh para ahli hadis adalah bagian dari upaya manusia mencari agama yang benar. Pengertian ini bisa dipersoalkan karena dalam perspektif agama samawi, agama itu bukan hasil penclitian manusia, melainkan given dari Tuhan melalui wahyu yang diterima para rasul-Nya. Persoalan berikutnya adalah: Siapakah yang menentukan kebenaran suatu agama? Bukankah agama itu sendiri sebuah kebenaran? Bukankah meneliti itu terdorong oleh hasrat yang normatif padahal agama adalah sumber segala norma? Dengan berbagai pertanyaan ini, dan mungkin alasan-alasan lainnya, sebagian ulama/tokoh agama menolak gagasan penelitian agama. Bagi mereka, agama adalah realitas sosial yang final, tidak perlu dipersoalkan lagi. Agama bagi mereka bukan untuk diteliti melainkan untuk dipelajari, diambil barakah-nya (tabarrukan) dan hikmahnya, kemudian diamalkan dan dipertahankan. Kedua, penelitian agama berarti metode untuk mencari kebe- naran agama atau usaha untuk menemukan dan memahami 15 METODOLOG! FENELITIAN SOSIAL-AGAMA kebenaran agama sebagai realitas empiris dan bagaimana penyi- kapan terhadap realitas tersebut. Di sini agama sebagai subject mat- ter atau sasaran penelitian. Secara metodologis, agama dijadikan sebagai fenomena yang riil, betapapun mungkin terasa agama itu abstrak: metode studi Al-Qur’an (dirasah al-qur’an), metode studi hadis (dirasah al-hadis), metode studi fikih (ushul figh), filsafat agama, sejarah agama, perbandingan agama, dan sebagainya. Dengan kata lain, metodologi penelitian agama dalam pengertian kedua ini adalah metode studi agama sebagai doktrin yang mela- hirkan ilmu-ilmu keagamaan (religionwissensca/t). Penelitian agama sebagai doktrin berfokus pada substansi ajaran agama yang didasari oleh keyakinan atas kebenaran agama itu sendiri. Sebab, sebuah realitas sosial dianggap sebagai norma- norma suci yang mengikat perilaku apabila norma itu disakralkan dan diyakini dari Tuhan. Apakah substansi dari keyakinan religius itu? Apakah pemikiran agama telah mendekati ide moral atau sScmangat agama itu sendiri? Bagaimana dialektika teks kitab suci dengan konteks? Apakah yang dilakukan para mujtahid dan pemi- kir dalam upaya meneari kebenaran dan sSemangat suatu agama adalah maksud dalam pengertian ini? Ketiga, penelitian agama berarti meneliti fenomena sosial yang ditimbulkan oleh agama dan penyikapan masyarakat terhadap agama. Yang pertama yaitu fenomena sosial yang timbulkan oleh agama berupa struktur sosial, pranata sosial dan dinamika masya- rakat. Agama yang memiliki dimensi intelektual, spiritual, mistikal dan institusional, menurut Abdullah (1990:xiv), adalah landasan terbentuknya suatu “masyarakat kognitif". Artinya, agama merupa- kan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Sekte-sekte atau organisasi-organisasi keagamaan pada mulanya terbentuk dari pemikiran keagamaan yang sama, orga- nisasi tarekat terbentuk dari ikatan spiritual yang sama, Ikatan Persaudaraan Haji dibentuk dari ikatan ritual yang sama. Sebagai sebuah komunitas, “masyarakat kognitif’ memiliki simbol-simbol, tatanan struktural, doktrin, bagaimana sosialisasi dan perwu- judannya, serta dinamika kesejardhannya. Yang kedua, penyikapan masyarakat terhadap agama seperti pola pemahaman, stereotype komitmen dan tingkat keberagamaan dan perilaku sosial sebagai manifestasi keyakinan doktrin agama, Dari pola pemahaman agama, muncul! skripturalime, fundamentalis, 16 STPUTAR KONSEP PENELITIAN AGAMA modernisme, dan tradisionalisme. Dari stereotype dan tingkat keberagamaan, muncul varian abangan-santri, Islam kultural-Islam politik. Dari perilaku sosial sebagai menifestasi keyakinan dektrin agama, muncul perilaku politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Sebagai usaha akademis, penelitian agama mensyaratkan objek, metode, dan sistematika yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena itu, konsep penelitian agama tidak bermaksud untuk menemukan agama baru, agama yang “benar” atau kebenaran suatu agama, karena semua itu bukan tugas metodologi penelitian agama, melainkan filsafat agama. Dengan demikian, pengertian pertama, yang objeknya tidak bersifat empiris, dari penelitiaa agama tidak termasuk dalam pembahasan ini. Penelitian agama adalah peng- kajian akademis terhadap agama sebagai realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun perilaku sosial yang lahir atau sebagai perwujudan kepercayaan suci. Dengan kata lain, penelitian agama adalah pengkajian akademis terhadap ajaran dan keber- agamaan (religiosity). Menurut Rakhmad (Abdullah dan Karim, 1990:92-3), ajaran adalah teks (lisan atau tulisan) yang sakral yang menjadi sumber rujukan, sedangkan keberagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash. B. Perbedaan Penelitian Agama dengan Penelitian Sosial Lainnya Fakta membuktikan bahwa agama merupakan kebutuhan asasi manusia. Karena itu, masalah keagamaan adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan umat manusia sepanjang sejarah- nya sebagaimana masalah sosial lainnya, seperti masalah ekonomi dan politik. Keberagamaan menjadi bagian dari kebudayaan manusia yang telah dikembangkan sedemikian rupa, baik berupa ritus, pranata sosial, maupun perilaku dalam berbagai dimensinya. Ilmu pengetahuan sosial, dengan berbagai paradigma dan me- tode, dikembangkan dalam rangka mengkaji perilaku manusia, tak terkecuali perilaku dalam beragama. Karena itu, sebuah penelitian disebut sebagai penelitian agama atau penelitian sosial didasarkan. pada objek yang dikaji, bukan karena metodologinya. Objek studilah yang menentukan metode, bukan sebaliknya. Misalnya, perilaku poligami masyarakat nelayan dikatakan sebagai penelitian agama 7 METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL-AGAMA ketika dihubungkan dengan keberagamaannya, tetapi dikatakan sebagai penelitian sosial (biasa) apabila dihubungkan dengan misalnya kondisi ekonomi atau pranata sosial. Karena itu, pene- litian tentang fenomena keberagamaan oleh sebagian ahli dikatakan sebagai (bagian dari) penelitian sosial atau penelitian sosial- keagamaan, Persoalan yang timbul adalah apakah paradigma dan metode ilmu-ilmu sosial yang notabene lahir dan berkembang di Barat yang berpaham sekuler mampu atau tepat digunakan untuk mengkaji fenomena keberagamaan masyarakat Timur, khususnya Islam? Kegagalan Webber dalam analisisnya tentang masyarakat Islam, oleh sebagian ahli, dinilai sebagai contoh kegagalan metode ilmu-ilmu sosial Barat untuk mengkaji fenomena keagamaan masyarakat Timur, khususnya Islam (lihat Turner, 1991). Sebenarnya kegagalan tesis Weber terhadap Islam bukan semata-mata karena faktor metodologi yang digunakan, melainkan karena ketidakmengertian Weber terhadap Islam, ketidakmampuannya meninggalkan prakonsepsi ideologis, politis, religius, dan etnosentrisme Barat terhadap Islam. Menurut Mattulada (Abdullah dan Karim, 1990:7), untuk me- nentukan metode yang relevan dalam mengkaji agama, sebagai fenomena sosial-budaya, tidaklah sulit. Baginya, ilmu pengetahuan sosial, dengan cara, metode, teknik dan peralatannya masing- masing dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadi- nya perilaku itu. Sementara itu, Dhavamony (1973:21) menge- mukakan bahwa fokus penelitian agama adalah fakta agama dan pengungkapannya, dan untuk itu dapat dilakukan oleh berbagai di- siplin ilmu. Meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai disiplin tersebut mengkajinya dalam perspektif masing- masing sesuai dengan objek formalnya. - Metode ilmu sejarah menekankan proses terjadinya perilaku manusia dalam masyarakatnya dan membaginya dalam tahap- tahap tertentu (periodisasi) secara kronologis. Proses itu menje- jaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang ikut berperan di da- Jamnya. Metode sejarah yang dengan amat teliti mengamati suatu proses sosial budaya dapat digunakan untuk memahami proses formasi sebuah agama, persebaran agama ke seluruh perkumpulan hidup manusia. Dengan singkat, sejarah agama mengkaji bagai- mana proses sebuah agama mengalami growth, (pertumbuhan), de- velop (perkembangan), dan decline (kehancuran/kemunduran). 18 SEPUTAR KONSEP PENELITIAN AGAMA Metode antropologi mempelajari terbentuknya pola-pola perilaku dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manu- sia; bagimana doktrin dan simbol-simbol agama dipahami, disosiali- sasikan dan diinternalisasi dalam sistem budaya setempat. Melalui metode antropologi ini, diketahui keragaman dan keunikan pola, corak, tingkat dan stereotype keberagamaan suatu komunitas. Siyle keberagamaan dalam lingkungan sekte, denomisasi, dan ormas- ormas (gereja-gereja) dapat dikaji dalam perspektif antropologi ini. Metode sosiologi mengkaji posisi dan peranan tertentu dari seseorang atau sekelompok orang. Posisi dan peranan-peranan itu menyatakan diri dalam kehidupan bersama, sehingga kehidupan sosial dapat terselenggara melalui hubungan-hubungan fungsional dalam masyarakat, yang bersumber dari kedudukan dan peranan- nya dalam kehidupan umat beragama. Dengan beberapa paradigma, teori dan metode, dengan cermat sosiologi mengkaji perilaku beragama individu dan kelompok, hubungan antarkelompok, hubungan masyarakat (agama) dengan negara dan sebagainya. Metode psikologi agama mengkaji perilaku beragama dan pangalaman beragama dalam hubungannya dengan kondisi keji- waan sescorang; bagaimana hubungan agama dengan kondisi keji- waan seseorang dalam berbagai peristiwa, seperti kematian, bunuh diri dan sebagainya. Fenomena kegamanaan —seperti pelaksanaan ritus-ritus inisiasi seperti tahilan dan berbagai bentuk upacara/ sesaji dan selamatan dalam masa-masa sulit dan tidak menentu (masa liminalitas), fenomena istighasah, fenomena thariqat, pengalaman orang berhaji, dan sebagainya— akan dapat dicermati dengan teliti melalui psikologi agama. Metede-metode tersebut dapat digunakan untuk penelitian agama. Dari sini dipahami bahwa metodologi penelitian agama tidak harus berbeda dengan metodologi penelitian sosial. Karena, sebagaimana dikemukakan di muka, sebuah penelitian disebut penelitian agama bukan karena metodenya, melainkan karena objeknya. Persoalan berikutnya adalah apakah metode-metode tersebut dapat mengkaver fenomena keagamaan secara memadai terutama dalam mengkaji pemikiran konsepsional umat Islam dan perilaku beragama yang didasari sikap iman, ikhlas, tavoakkal, ridla, qanaah, amal saleh dan sebagainya? Metode ilmiah yang lahir di Barat yang disemangati oleh filsafat positivisme dan sekularisme sering tidak mampu menangkap kedalaman pemikiran dan sikap batin yang mendasari perilaku. Misalnya,seorang kiai yang dengan susah 19 METODOLOG! PENELITIAN SOSIAL-AGAMA payah mengelola pesantren atau seorang guru mursyid yang membina jamaah tarekat kerap dipahami hanya dalam rangka motif. ekonomi, kekuasaan, dan status. Pemahaman seperti ini bisa jadi memang tidak salah, tetapi bagi yang bersangkutan dirasa sangat naif dan bisa menimbulkan perasaan sakit hati. Atas dasar inilah, Rakhmat (Abdullah dan Karim, 1990: 92-6) menawarkan metode irfaniah, walaupun Rakhmat sendiri belum mampu memberikan penjelasan yang memadai tentang metode irfaniah itu sendiri. Bagaimana dengan fenomenologi dan ctnometodologi? Lebih lanjut dibicarakan dalam pembahasan berikutnya. C, Objek Penelitian Agama Di muka telah dikemukakan bahwa objek penelitian agama adalah ajaran dan keberagamaan. Ajaran adalah teks (tulisan atau lisan) yang menggambarkan doktrin teologis, simbol, norma, dan etika yang harus dipahami, diyakini, disosialisasikan, diamalkan dan dilembagakan dalam kehidupan. Ajaran itu bisa berupa teks Al- Qur’an, hadis, dan pemikiran para ulama. Sedangkan keber- agamaan adalah fenomena sosial yang yang diakibatkan oleh agama. Fenomena ini bisa berupa struktur sosial, pranata sosial, dan perilaku sosial. 1. Penelitian Agama yang Bersifat Normatif (Teologis) Penelitian atau studi agama yang bersifat normatif bertolak pada paradigma teologi atau iman, yaitu penelitian yang didasari atas kepercayaan terhadap doktrin/ajaran agama yang bersumber dari wahyu dan bertujuan untuk menjelaskan kebenaran atau mencari “yang lebih benar” dari agama itu sendiri. Studi agama yang bersifat normatif ini memiliki sikap apologetika: mencrima begitu saja kenyataan agama, tanpa melakukan penyelidikan sebab-sebab dan asal-usulnya. Studi agama normatif ini hendak menggambarkan logika intern agama yang bersifat khas agama, dan tidak bisa dijelaskan dengan penjelasan (ilmu) lain. Di sinilah ilmu (normatif) agama itu bersifat mandiri sebagaimana kemandirian ilmu yang bersifat positivistik. Kebenaran agama atau doktrin suatu agama tidak ditentukan oleh ilmu lain seperti sosiologi dan antropologi, walaupun sosiologi dan antropologi dapat mengubah stereotype beragama. Kebenaran agama 20 SEPUTAR KONSEP PENELITIAN AGAMA juga tidak ditentukan oleh ilmu seni atau olahraga, walaupun seni dan olah raga merupakan bagian dari semangat ajaran agama. Bahkan kebenaran suatu agama tidak bisa dinilai oleh agama lain. Misalnya, Islam memperbolehkan makan daging sapi tetapi agama Hindu justru mengharamkannya 2. Penelitian Agama yang Bersifat Empiris Sebagaimana dikemukakan di muka, metode penelitian bergantung pada objeknya, sedangkan objek penelitian agama yang bersifat empiris seperti teks kitab suci, teks pemikiran para ulama, feno- mena keberagamaan, struktur dan dinamika masyarakat beragama, dikaji dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti sejarah, sosielogi, antropologi, psikologi, dan hermeneutika. Sebelum dibahas lebih lanjut tentang metede yang tepat untuk meneliti fenomena sosial dan struktural keberagamaan ini, terlebih dahulu dikemukakan masalah realitas dan objek- tivitas penelitian agama. Mudzhar (1998: 13-4) mengemukakan, ada lima gejala agama yang dapat diteliti. Pertama, scripture, atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua para penganut, pemimpin, atau pemuka agama, yakni pemikiran, sikap, perilaku sebagai aktualisasi ajaran dan keyakinan agama. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti salat, puasa, ha; perkawinan, dan waris. Keempat, alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci, dan semacamnya. Kelima organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, Gereja Katolik, dan lain-lain. Sementara itu, Glock dan Stark (Robertson, ed.: 1988: 295-6) mengemukakan ada lima dimensi yang dapat dijadikan objek dalam penelitian tentang keberagamaan: keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi-konsckuensi. Dimensi keyakinan (ideologis) berkenaan dengan pandangan teo- logis dan pengakuan terhadap doktrin-doktrin mengenai keyakinan tersebut. Dimensi praktek agama mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dalam Islam, dimensi praktek agama ini seperti salat, puasa, haji, doa, wiridan, pembacaan ayat suci Al-Qur’an, perkawinan, dan khitan. 21 METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL-AGAMA Dimensi pengaiaman berkenaan dengan pengalaman keaga- maan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau sekelompok orang ketika berko- munikasi dengan zat yang supranatural. Jalaluddin Rakhmat (Abdullah dan Karim, 1990: 93) membagi pengalaman keagamaan (religion experience) dalam dunia sufi pada empat tingkatan: konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendak- nya atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipatif (merasa menjadi kawan setia kekasih, atau wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam melakukan karya ilahiah), Dimensi pengetahuan agama berkenaan dengan tingkat penge- tahuan penganut agama terhadap doktrin teologis, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi atau kultur keberagamaan. Dan dimensi konsekuensi berkenaan dengan identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan keagamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya penelitian tentang hubungan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial, hubungan corak teologis tertentu dengan etos kerja, perilaku politik, dan sebagainya. Hampir senada dengan yang dikemukakan Glok dan Stark di atas, Harjana (1993:13-4) berpendapat bahwa objek penelitian agama dapat didekati dari sistem atau struktur agama yang terdiri dari empat segi: ekststensial, intelektual, institusional, dan etikal. Segi eksistensial terjelma dalam iman dan kepercayaan. Dengan iman, manusia membangun pandangan dunia, world view, dan sekaligus sebagai sumber dan penyangga hidup. Iman menyangkut dan membawa dampak pada keseluruhan diri manusia: cipta, rasa, karsa, karya, dan hidupnya. Penelitian agama dalam segi ini, misalnya, bagaimana agama membentuk pandangan dunia sese- orang yang tercermin dalam cipta, rasa, karsa, dan karyanya. Segi intelektual berbicara tentang bagaimana penganut agama memahami Tuhan, kitab suci, hakikat iman, ibadat, dan moralitas yang terbentuk atau dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan, ungkapan-ungkapan, tulisan-tulisan, dan simbol-simbol. Penelitian mengenai paham tentang Tuhan: monoteisme, politeisme, pan- teisme, paganisme dan lain-lain. Sikap manusia terhadap Tuhan: deisme dan ateisme. Penelitian tentang pemahaman manusia terhadap kitab suci misalnya ditemukan sikap legalistis, literalistis, demitologistis atau egoistis. Sedangkan penelitian tentang pemi- 22 SEPUTAR KONSEP PENELITIAN AGAMA kiran terhadap ritus misalnya ditemukannya paham pietisme (iba- dat sarana menuju kesalehan pribadi), quietisme, ritualisme (pemut- lakan ritus, ritus adalah segala-galanya), formalisme (syari’ah sentris/eksoteris/yang penting melaksanakan perintah), estetisisme (mengutamakan keindahan), eskapisme (sublimatif, pelarian/ pengaduan) dan usaha magik (pamrih/karena ada yang dimaui). Segi institusional berkenaan dengan kelembagaan dan pengorga- nisasian agama. Penelitian dari aspek institusional ini misalnya bagaimana peranan lembaga agama dalam mempertahankan, mensosialisasikan serta mengamalkan doktrin dan simbol-simbol agama. Segi etikhal mengungkapkan iman-kepercayaan kepada Tuhan dalam perilaku. Iman kepada Tuhan tidak hanya mempengaruhi unsur batin tetapi juga perilaku lahir. Pengaturan perilaku ber- dasarkan iman-kepercayaan, terumuskan dalam bentuk perintah- perintah moral dan etikal itu secara subjektif menggejala dalam perilaku batin dan lahir. Perilaku yang diatur oleh agama meliputi perilaku pribadi, perilaku dalam keluarga, dan perilaku dalam masyarakat. : Sementara itu Abdullah (1996) berpendapat bahwa objek studi agama terdiri dari dua kelompok: pertama, agama sebagai norma yang lebih dominan watak teologisnya, kedua, agama sebagai fenomena sosial yang bersifat historis. Pada kelompok kedua ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu studi pemikiran yang bersifat filosofis dan studi kawasan yang bersifat historis-sosiologis. Dengan objek tersebut, Abdullah mengatakan bahwa studi agama memiliki dua pendekatan, yaitu normatifitas dan historisitas. Dari berbagai pendapat tersebut, objek penelitian agama dapat dikelompokkan menjadi tiga: pertama, sebagai ajaran/doktrin yang bersifat normatif dan historis; kedua perilaku beragama/keber- agamaan/stereotype beragama; dan ketiga, agama sebagai realitas sosial/fakta sosial/struktur sosial yang menyejarah dalam bentuk struktur dan dinamika masyarakat. Kalau kita konsisten dengan paradigma positivistik dalam kajian ilmiah, niscaya objek penelitian agama tidak ada yang bersifat normatif (normativitas), melainkan berupa realitas sosial dari agama itu sendiri, baik yang bersifat historis, sosiologis maupun budaya. Kitab suci, kitab-kitab agama, pemikiran para ulama tentang agama (fikih, tafsir, tasawuf, dan sebagainya), ritus, pola keberagamaan, pranata sosial dan struktur sosial yang diakibatkan oleh “agama” adalah realitas sosial, bukan norma. 23 METODOLOG! PENELITIAN SOSIAL-AGAMA D, Realitas Sosial dalam Penelitian Sosial-Agama Realitas sosial dapat dibedakan dalam dua kategori: Pertama, realitas dalam alam kodrat/alam anorganik (fisika/ilmu kealaman) dan realitas dalam alam organik/alam hayat (biologi). Realitas dalam kedua alam ini bersifat empiris, kuantitatif, materialistik, dan rasionalistik. Kedua, realitas dalam gejala-gejala sosial budaya (termasuk gejala keberagamaan). Ini merupakan gejala supra or- ganik yang bersifat abstrak dan tak teraba. Lebih-lebih gejala sosial agama yang berkaitan dengan keyakinan terhadap yang adikodrati (beyond be Life). Gejala-gejala sosial-agama seperti budaya manusia dalam bertuhan, kohesi kelompok dalam organisasi keagamaan, perilaku ritus, dan sebagainya, sungguh merupakan gejala yang abstrak dan verbalisme. Gejala-gejala sosial-agama itu dapat berupa tindakan- tindakan, ueapan-ueapan/ungkapan-ungkapan, sikap-sikap, simbol- simbel yang dihargai, cita-cita, emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang oleh pelakunya dianggap memiliki keterkaitan dengan hidup keberagamaannya atau merupakan perwujudan dari ajaran atau doktrin agama yang diyakini. Semua gejala keagamaan itu tidak sekadar dilihat bentuk, frekuensi (intensitas), pola (kebakuan), melainkan (yang lebih penting) adalah pemaknaannya (verstehen). Karena itu, realitas sosial dalam studi-studi sosial pada galibnya lebih banyak bergumul dengan konsep-konsep atau konstruksi sosial (social construction). Persoalan yang muncul adalah bagaimana cara mendefinisikan realitas sosial ke dalam suatu konsep, padahal realitas sosial itu bersifat kompleks dan multidimensional. Di sinilah peneliti di- haruskan mengenali seluruh aspek yang menjadi indikator dari realitas itu lalu melakukan imajinasi dan abstraksi yang kemudian diformulasikan secara verbal menjadi rational construction yang disebut konsep. Pembuatan konsep (konseptualisasi) ini sangat penting, karena perbedaan kensep akan menghasilkan perbedaan temuan data, dan perbedaan temuan data akan mengakibatkan perbedaan hasil analisis yang disebut kesimpulan. Persoalan berikutnya adalah siapakah yang membuat konsep, peneliti (subjek peneliti) atau yang diteliti (subjek yang diteliti)? Paradigma kaum strukturalis (paradigma makro) menyatakan bahwa peneliti yang berdasarkan kepakaran atau berdasarkan teori-teori yang ada, mestinya harus mengenali, mendefinisikan dan memformulasikan konsepnya. Realitas sosial tentang kemiskinan 24 SEPUTAR KONSEP PENELITIAN AGAMA misalnya, ditentukan oleh peneliti berdasarkan konsumsi kalori per hari, keadaan fisik dan fasilitas yang dimiliki, dan sebagainya. Contoh lain, suatu komunitas dikatakan beradab/modern bergan- tung kriteria yang dipakai peneliti, misalanya konsep hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Dari sini diketahui bahwa siapa yang menentukan konsep ternyata merupakan suatu persoalan penting. Kasus penentuan predikat sebagai desa tertinggal (IDT), misalnya, ternyata menimbulkan pro dan kontra, karena stan- darisasi yang dibuat oleh peneliti tidak sesuai dan ditolak oleh masyarakat yang bersangkutan. Daerah Istimewa Aceh, misalnya, menurut standarisasi Inpres Desa Tertinggal (IDT) hampir se- muanya masuk dalam ketegori desa tertinggal, padahal masyarakat Aceh mengukur kesejahteraan bukan pada fasilitas-fasilitas hidup antara lain seperti sarana perbelanjaan, sarana hiburan dan sarana olahraga, melainkan terletak pada jaminan hidupnya berupa ca- dangan (simpanan) logam mulia. Adapun paradigma kaum fenomenologis/interaksionis (mikro} menyatakan bahwa konsep yang harus dipakai untuk menyatakan secara definitif terhadap suatau objek haruslah menurut pelaku sosial sebagai realitas. Kaum strukturalis memandang perilaku ma- nusia dari perspektif luar (other perspective of human behavior) dan bersifat to learn about the people, sedangkan kaum fenomenologis memandang perilaku manusia dari perspektif dalam (inner perspektive of human behavior) dan bersifat to learn from the people. Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran objektif, yaitu upaya untuk mencari kebenaran tentang realitas. Menurut kaum strukturalis, realitas dan objektivitas itu ditentukan oleh peneliti berdasarkan teori yang ada, Karena itu, kebenaran bersifat subjectivied objectivies atau objektif yang subjektif menurut peneliti. Peneliti ibarat ahli biologi yang melihat bakteri melalui mikroskop di laboratorium (to leran about the people). Sebaliknya, menurut kaum fenomenologis, realitas sosial itu sesungguhnya adalah struktur kognitif seseorang atau sejumlah orang dan berada di alam imajinasi, pikiran, perasaan, dan cita. Hal inilah yang justru menjadi objek kajian dalam ilmu-ilmu sosial yang utama dan pertama-tama. Karena itu, subjektivitas awam itu justru merupakan objectivied subjektivies atau subjektif yang objektif. Peneliti ibarat murid yang belajar dari masyarakat yang diteliti (to lern from the people). METODOLOG! PENELITIAN SOSIAL-AGAMA 1) Teori/Metode Ilmiah yang relevan Dhavamoni (1995:21) mengemukakan dengan sangat baik tentang jangkauan teori/metode ilmiah untuk mengkaji fernomena agama. Dengan mengutip Wach (1943:11,205), Nottingham (1954:1), Yinger (1957:20-1), dan Dhavamoni mengemukakan bahwa pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan- tindakan seperti doa, upacara-upacara seperti kurban dan sakramen, konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat dalam mitos-mitos dan simbol-simbol, kepereayaan-kepercayaanya berkenaan dengan yang suci, makhluk-makhluk supernatural, dewa-dewa, dan seba- gainya. Penyelidikan ilmiah terhadap fenomena agama ini dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai disiplin tersebut memeriksanya dari aspek-aspek ‘khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya. 1. Sosiolegi agama, dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang inter-relasi dari agama dan masyarakat serta bentuk- bentuk interaksi yang terjadi antarmereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan-gagasan dan kelem- bagaan agama mempengaruhi —juga dipengaruhi— kekuatan- kekuatan sosial adalah tepat. Jadi seorang sosiolog agama ber- tugas menyelidiki bagaimana tata cara masyarakat, kebuda- yaan, dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok berpengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung dan tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat, termasuk bidang penelitian sosiologi agama. 2. Antropologi-sosial agama. Dalam perspektif kelahirannya, sosiologi digunakan untuk mengkaji masyarakat modern, sementara antropologi mengkhususkan diri terhadap masya- rakat primitif. Antropologi sosial agama berkaitan dengan soal- soal upacara, kepercayaan, tindakan, dan kebiasaan yang tetap (everyday life) dalam masyarakat sebelum mengena! tulisan, yang menunjuk pada apa yang yang dianggap suci dan super- natural. Sekarang terdapat kecenderungan antropologi tidak hanya digunakan untuk meneliti masyarakat primitif, melain- 26 SEPUTAR KONSEP PENELITIAN AGAMA kan juga masyarakat yang kompleks dan maju, menganalisis simbolisme dalam agama dan mites, serta mencoba mengem- bangkan metode baru yang lebih tepat untuk studi agama dan mitos. Antropologi agama memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam, khususnya tentang kebiasaan, peribadatan dan kepercayaan dalam hu- bungan-hubungan sosial. . Psikolagi agama; studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik sebagai individu (aspek individuo-psikologis) maupun secara berkelompok/anggota-anggota dari suatu kelompok (aspek sosio-psikologis). Aspek psikologis dari perilaku beragama berupa pengalaman religius, misalnya sebagai berikut. a) Ketika seseorang berada dalam puncak spiritual, seperti mi'raj-nya Nabi menghadap Sang Khalik, atau ketika se- orang Muslim khusyu dalam salat, orang kristiani dalam doa dan nyanyian. Ketika seseorang menerima wahyu/ilham/mendengarkan suara hati, ketika berkomunikasi dengan Sang Khalik, yang Ilahi dan supranatural. ¢) Ketika suatu kelompok larut dalam suasana emosional dan spiritual, seperti ketika kaum Syi'ah memperingati tragedi Karballa pada tanggal 10 Asyura, atau ketika warga NU menyclenggrakan istighasah. d) Ketika mengalami masa liminalitas yaitu masa yang tidak menentu, kacau, ambigu, dan menghadapi cobaan/tan- tangan, seperti saat salah satu anggota keluarga/orang yang dicintai meninggal dunia, seorang ibu akan melahirkan, seorang perawan akan menuju pelaminan, dan sebagainya. b Psikologi agama mempelajari motif-motif, tanggapan-tanggapan, reaksi-reaksi dari psikis manusia, pengalaman dalam berkomu- nikasi dengan Yang Supranatural yang sangat mengasyikkan dan sangat dirindukan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa psikologi agama adalah cabang psikologi yang menyelidiki sebab- sebab dan ciri psikologis dari sikap-sikap religius atau peng- alaman religius dan berbagai fenomena dalam individu yang muncul dari atau menyertai sikap dan pengalaman tersebut. . Sejarah agama. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa agama dan keberagamaan adalah produk sejarah. Al-Qur'an sebagian besar berisi sejarah, dan ilmu-ilmu keislaman serta peradaban 27 METODOLOG! PENELITIAN SOSIAL-AGAMA Islam telah berkembang sedemikian rupa dalam konteks sejarah. Karena itu, tepatlah apabila dikatakan bahwa sejarah bagaikan mata air yang tidak akan pernah kering untuk diambil airnya. Sejarah Islam merupakan bagian dari ilmu-ilmu ke- islaman yang amat penting diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, Menurut Shiddiqi (Abdullah dan Karim, 1990:72), karakter yang menonjol dari pendekatan sejarah adalah tentang signifikansi waktu dan prinsip-prinsip kesejarahan tentang individualitas dan per- kembangan. Melalui pendekatan sejarah, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta, dan melakukan rekonstruksi proses genesis: perubahan dan perkembangan. Melalui sejarah, dapat diketahui asal-usul pemikiran/pendapat/sikap tertentu dari seorang tokoh/mazhab/golongan. Melalui ilmu asbab al-nuzul dan asbab al- wurud dapat diketahui maksud sebuah teks Al-Qur’an atau kesahihan sebuah hadis. Melalui sejarah pula dapat diketahui stereotype keberagamaan suatu kelompok dan sikap suatu kelompok dengan yang lainnya. Misalnya perilaku elite politik NU yang lebih akomo- datif dan perilaku politik elite Muhammadiyah yang lebih zakelik dapat dikaji dalam perspektif sejarah. Mengapa Pulau Bali seakan tak tersentuh oleh dakwah Islam? Mengapa di daerah Nusa Tenggara Barat terdapat “Islam waktu telu”? Itu dapat dikaji melalui sejarah a

You might also like