You are on page 1of 6
ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM FIK- IMA DITERBITKAN OLEH Ensiklopedi Hukum Islam + PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta eT + PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta mae put: Sylvia Yudhira Graphic Design, Jakarta ene + Drs. D. Sirojuddin Ar. SUSUN HURUF + PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta SEPARASI WARNA : PT Bintang Warna Scan, Jakarta CETAKAN KEEMPAT — = 2000 PENCETAK : PT Ikrar Mandiriabadi, Jakarta in tertulis dari penerbit, tidak diperbolehkan memperbanyak dan/ aoe 2 i uaskan dalam bentuk apa pun sebagian atau seluruh isi buku ini baik dengan jalan cetak, fotokopi atau dengan cara lain. Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Ensiklopedi hukum Islam/editor, Abdul Azis Dahlan...{et al. —Cel. 1.—Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. 6 jl. ; 26 cm. ISBN 979-8276-90-6 (no. ji. | ISBN 979-8276-91.0 { iy nate) ISBN 979-8276-92-2 (ji, 2) ISBN 979-8276-93-0 (jl 3) ISBN 979-6276-94.9 (jl 4) ISBN 979-8276-95.7 (ji. 5) ISBN 979-8276-96-5 (jl. 6) 1, Hukum Islam - Ensiklopedi | Dahlan, Abdul Azis 2974 Dipindal dengan CamScanner 638 IDAH dilarang melakukan perkawinan dengan lelaki ain selama waktu tertentu yang ditetapkan syarak. Dalam masa ida ini, suami str yang telah bercerai itu dapat berpikir, apakah perkawinan itu lebih baik dipertahankan, sehingga suami kembali kepada {strinya (rujuk), jika perceraian yang terjadi adalah talak raj‘ (talak satu dan dua), atau perceraian itu lebih baik, schingga suami tidak rujuk lagi pada istr- nya. Di samping itu, masa tunggu juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah rahim wanita itu berisi janin atau tidak, sehingga apabila ternyata wanita itu hamil, maka *nasab anak tersebut diketahui dengan jelas. lama fikih menyatakan bahwa idah bagi wanita yang kematian suami djaikan syarak sebagai masa belasungkawa dan penghormatan pihak istri terha- dap suami yang meninggal. Dengan demikian, me- nurut ulama fikih, idah merupakan ketentuan syarak yang harus dijalani para wanita yang bercerai dengan suaminya Dasar Hukum Idah, Para ahli fikih sepakat menyatakan bahwa wanita yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan menjalaniidah, Dasar hukum keberadaan idah ini cukup banyak, di antaranya firman Allah SWT dalam surah al-Bagarah (2) ayat 228 yang artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qu.” Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istr-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari...” (Q8.2:234). Dasar hukum idah dalam sunah Rasulullah SAW di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW tethadap Fatimah binti Qais: "Beridahlah (jalanilah idah) kamu di rumah Umm Maktum” (HR. Muslim, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa'i, dan Abu Dawud) Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: "Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat melakukan *ihdad lebih dari tiga hari, kecuali bagi suaminya (yang wafat), vaitu selama empat bulan sepuluh hari” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Berdasarkan ayat dan hadis di atas, tulama fikih sepakat (*iimak) menyatakan bahwa bagi anita muslimah yang telah bercerai dengan suami- nya wajib menjalani masa idahnya. ‘Akan tetapi, ulama fikih berbeda pendapat dalam hal idah wanita nonmuslimah. Imam *Abu Hanifah menyatakan bahwa bagi wanita nonmus- Jimab, baik *zimi maupun harbivah (wanita-wanita kafir yang memusuhi Islam) tidak ada idah, kecuali wanita *ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani) yang di ceraikan suaminya yang muslim. Yang terakhir ini ‘wajib menjalani idah. Karena, menurutnya, idah itu merypakan hak Allah SWT dan hak suami, sedang. kan wanita-wanita ablulkitab dikenakan tuntutan syarak yang berkaitan dengan hak-hak individu ham. ba Allah SWT). Oleh sebab itu, menurutnya, demi menjaga hak suami (hak individu) dan tidak ber- campurnya nasab anak yang mungkin dikandung. nya, maka wanita ahlulkitab tersebut diwajibkan dan dipaksa menjalani idah. Akan tetapi, apabila wanita ahlulkitab yang telah dicerai suaminya vang muslim itu berada di *Darul Harbi (negara yang bermusuhan dengan Islam), maka ulama Mazhab *Hanafi sepakat menyatakan bahwa wanita tersebut tidak mempunyai idah. Keberadaan wanita itu di Darul Harbi, menurut mereka, menjadi penghalang untuk menerapkan idah, karena hukum Islam hanya bisa, diterapkan kepada nonmuslim apabila mereka berada di "Darul Islam. Jumhur ulama, termasuk dua orang sahabat Imam Abu Hanifah yakni Imam *Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-*Syaibani, me- nyatakan bahwa wanita-wanita zimi, baik suaminya ‘muslim maupun nonmuslim, diwajibkan menjalani idah, apabila dicerai suami mereka. Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah keurnuman aya ayat idah di atas, yang tidak membedakan antara wanita muslimah dengan zimi. Macam-Macam Idah. Ulama fikih mengemu- akan bahwa wanita beridah adakalanya discbabkan arena dicerai suaminya, yaitu talak satu, dua, dan tiga, dan adakalanya karena kematian suami Wanita-wanita yang dicerai suaminya itu ada yang telah dicampuri dan ada pula yang belum. Apabila ‘anita yang dicerai itu wanita yang belum dicampur maka wanita itu tidak mempunyai idah. Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 49 yang artinya: "Hai orang-orang yang ber iman, apabila kamu menikahi perempuan-perem- puan yang beriman, kemiudian kamu ceraikan me- eka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali kali tidak wajib atas mereka idah...” Akan tetapi apabila wanita yang belum dicampuri ini kematian suami, maka ia wajib menjalani idah, yaitu empat bulan sepuluh hari, sebagaimana dinyatakan Allah SWT dalam surah al-Bagarah (2) ayat 234 di atas. Wanita yang telah dicampuri terbagi lagi kepad wanita yang masih *haid, wanita yang telah berhent haid karena usia lanjut atau masih belum bala wanita hamil, dan wanita yang haid secara ters menerus. Wanita-wanita yang kematian suami itt adakalanya hamil. a (1) Idah wanita yang masih haid, tetapi tidal hamil. Idahnya adalah selama tiga kali al-"qurt Alasannya adalah firman Allah SWT dalam sure al-Bagarah (2) ayat 234 di atas. Akan tetapi, vam fikih berbeda pendapat dalam mengartikan kata ae Dipindal dengan CamScanner sworgebut. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan qui nese "berart haid, berdasarkan kepada a Rasulullah SAW yang disampaikan kepada cabde Mnvanita yang haidnya tidak keluar terus seotal falkan salat engkau pada hari-hari agra''(haid). Toatir. Abu Dawud, bnu Majah, dan an-Nasa' sn evan binti Abu Bakar). Disamping itu, menu. den Nha, idah disyariatkan antara lain untuk | Motahui apakah rahim sudah berisianin atau ier xosong; Keadaan itu dapat diketahui dengan mag lautidakya seorang wanila, Dengan demilian ih wanita yang masih haid tetapi tidak harnil idan gut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali adaleh (takai haid. Akan tetapi ulama Mazhab *Maliki {8h Mazhab *Syaf'i berpendapat bahwa al-qurd” Shinya suci, dengan alasan bahwa kata yang di- pergunakan Allah SWT dalam idah wanita seperti ini (aldsata qurd‘Aiga kali qura’) menunjukkan tha yang dimaksudkan adalah suc, Karena kata ‘alisata lebih tepat dipadankan dengan kata qu yang berarti st sui (2) Idah wanita yang tidak haid. Menurut kese- pakatan ulama fikih, idah wanita yang telah bethenti haid karena usia lanjut (menopause) atau anak kecil yang belum haid diperhitungkan berdasarkan bula yaitu selama tiga bulan. Ketentuan tiga bular didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah at-Taléq (65) ayat 4 yang artinya: "Dan perempuan- perempuan (yang tidak haid lagi/menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu- regu (tentang masa idahnya) maka idah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan- perempuan yang tidak haid.. (3) Idah wanita hamil. Menurut kesepakatan ulama fikih idah wanita hamil adalah sampai melahirkan, Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah af-Talag (65) ayat 4 yang artinya: ”..Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan tandungannya...” Ayat ini juga didukung oleh sabda Rasulullah SAW kepada Subai‘ah al-Aslamiyyah yang diriwayatkan alJamaah (mayoritas ahli hadis), bahwa ia dizzinkan Rasulullah SAW untuk melak- ‘nakan perkawinan setelah ia melahirkan anaknya.. Akan tetapi, apabila wanita hamil itu kematian suami, terdapat perbedaan pandangan ulama ten- ‘ang apakah ia tetap beridah dengan idah hamil dtaulidah kematian suami. Jumhur ulama fikih me- "yatakan bahwa idah wanita hamil yang kematian {uami adalah sampai ia melahirkan, sekalipun ‘lahiran itu belum mencapai waktu empat bulan uluh hati (idah wanita kematian suami). Bahkan “enurut mereka, sekalipun wanita itu melahirkan IDAH 639 sepuluh hari, Apabila wanitai empat bulan sepuluh hari belum juga melahirkan, maka idahnya sampai melahirkan, Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT dalam surah al-Bagarah (2}ayat 234 yang menyatakan bahwa wanita-wanita yang kematian suami idahnya adalah empat bulan sepuluh hati, tanpa membe- dakan apakah wanita itu hamil atau tidak. Kemudian dalam surah at-Talag (65) ayat 4 Allah SWT me- nyatakan bahwa wanita hamil itu idahnya adalah sampai melahirkan. Ayat terakhir ini pun, menurut mereka, bersifat umum untuk wanita hamil yang dicerai hidup dan wanita hamil yang tercerai mati Oleh sebab itu, menurut mereka, kedua ayat ini ha. tus dikompromikan dengan cara membatasi ayat kedua (at-Talag (65) ayat 4) hanya untuk wanita- wanita hamil yang dicerai hidup dan anaknya belum. Jahir juga setelah menjalani waktu empat bulan se- puluh hari. Sementara itu, ayat pertama tetap bersifat umum untuk wanita yang tidak hamil dan anita hamil. Dengan demikian, menurut mereka, dengan cara ini kedua ayat di atas sama-sama bisa diamalkan, (4) Idah wanita kematian suami, Menurut kese- pakatan ulama fikih adalah empat bulan sepuluh, hari, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Bagarah (2) ayat 234 yang telah disebutkan di atas. Apabila wanita yang kematian suami tersebut dalam keadaan hamil, jumhur ulama menyatakan idah yang dijalani wanita itu adalah idah wanita hamilsesuai dengan firman Allah SWT dalam surah at-Talag (65) ayat 4 di atas. Akan tetapi, Ali bin Abi Talib dan Ibnu Abbas menyatakan bahwa idah vyang dijalani wanita itu adalah idah yang terlama dari idah kematian suami dan idah melahirkan; sebagaimana dikemukakan dalam permasalahan wanita hamil pada poin ke-3 di atas. (5) Idah al-mustahddah, yaitu idah wanita yang haidnya keluar secara terus-menerus. Menurut ulama Dipindal dengan CamScanner

You might also like