You are on page 1of 45
LAPORANRESMI PRAKTIKUMTOKSIKOLOGI “U \TERATOGENIK” KELOMPOK4 1.FANISA KURNIAPUTRI NIM052211017 2.MROISMAULANA NIM052211016 3.REFI HARDIANTI NIM052211019 4.SANCABERTLY MADA ‘NIM052211015 5. RINI SEPVIRA NIM 052211066 FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2021 Pembagian Jobdesk NO NAMA JOBDESK 1 Muhammad Rois Maulana Menyusun Pembahasan dan Kesimpulan Laporan Praktikum 2. Sanca Bertly Mada Menyusun Daftar Pustaka dan Lampiran Laporan Praktikum 3 Refi Hardianti Menyusun Tujuan, Landasan Teori dan Cara Kerja Laporan Praktikum 4a Fanisa Kumia Putri Menyusun Data dan Perhitungan Laporan Praktikum 3 Rini Sepvira ‘Menyusun Cara Kerja dan Alat serta Bahani Laporan Praktikum PRAKTIKUM IIL UJL TERATOGENIK I. Tanggal Praktikum Praktikum dilaksanakan pada : Hari Rabu Tanggal Rabu, 12 Oktober 2021 Tl. Tujuan Praktikum Mahasiswa/i mampu memahami tujuan, sasaran, pelaksanaan, dan manfaat Uji Terotogenik III. Dasar Teori Uji. keteratogenikan adalah uji ketoksikan suatu. obat yang diberikan atau digunakan selama masaorganogenesis suatu hewan bunting. Uji ini digunakan untuk ‘menentukan apakah suatu obat dapatmenyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang dikandung oleh hewan bunting, dan apakahcacat tersebut berkerabat dengan dosis obat yang diberikan, Dengan demikian uji keteratogenikan bermanfaat sekali sebagai Jandasan evaluasi batas aman dan resiko penggunaan suatu obat oleh Wanita hamil, utamanya berkaitan dengan cacat bawaan janin yang dikandungnya.pada praktikum uji keteratogenikan ini, akan dilakukan pengujian Teratogenesis adalah _pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini sudah diketahuiselama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama morbiditas serta mortilitas pada bayi yang baru lahir. Setelah pembuahan, sel telur mengalami prolifer asi sel.diferensiasi sel, dan organogenesis. Embrio kemudian melewati suatu ‘metamorfosis dan periode perkembangan janin sebelum dilahirkan (Lu, 1995) Faktor yang menyebabkan cacat ada dua kelompok, yaitu faktor genetis danlingkungan. Faktor genetis terdiri Dari 1. Mutasi, yakni perubahan pada susunan nukleotida gen (ADN). Mutasi menimbulkanalel cacat, yang mungkin dominan atau resesif. (pasangan basa ogennya tidaksesuai, sehingga terjadi salah penerjemahan kode genetik) 2. Aberasi, yakni perubahan pada sususnan kromosom. Contoh cacat_ karena ini adalah berbagai macam penyakit turunan sindroma. (kekurangan kromosom atau kelebihankromosom, seperti 23XX+XY atau 2IXY+XX) yang seharusnya normalnya adalah 22AA+XX Faktor lingkungan terdiri dari 1. Infeksi, cacat dapat terjadi jika induk yang kena penyakit infeksi, terutama oleh virus 2. Obat, berbagai macamobat yang diminum —ibu waktuhamil_ dapat menimbulkan cacat pada janinnya. Factor yang digunakan dalam praktikum 3. Radiasi, ibuhamil yang diradiasi sinar-X ,ada_yang melahirkan_ bayi cacat pada otak. Mineral radioaktif tanah sekeliling berhubungan erat dengan lahir cacat bayi di daerah bersangkutan IV. Alat dan Bahan Alat: Spuit injeksi Bahi 1. Larutan X 15,04mg/kg 2. Bter 3. Tikus Hamil 4, Larutan Fisiologis V. Prosedur Kerja 1, Timbang tikus hamil dan hitung volume pemberian 2. Berikan larutan X pada tikus pada masa kehamilan hari ke 8,10,13 secara per oral dengan volume pemberian yang sama 3. Pada hari ke 14 bedah tikus, sebelumnya dibius dengan eter, lalu keluarkan janin dan plasenta, 4, Hitung panjang janin dan berat janin serta plasenta. 5. Amati apakah ada yang cacat/reabsorpsi, kematian janin serta tempat implan kosong. VI. Data Uji Ketoksikan Teratogenil Diketahui : Dosis yang digunakan BB awal : 17,3 gram BB akhir : 178,6 gram ‘Kelompok Dosis (mg/kgBB) | Stok (mg/ml) 17,13 4 04 2.8.14 6 0.6 3.9,15 8 0.8 4.10.16 10 1 SLIT 12 12 612,18 14 14 Pengamatan Kontrol Jumlah Korpus Lutea: Kanan 4 Yanin, Kiri 4 Janin Janin Panjang janin (cm) Berat janin (gram ) 1 23 0.9254 2 2 0,7878 3 22 0,9498 4 21 0.8594 5 2.2 0,9408 6 2.3 0.8504 a 2.2 0.8636 g 21 0.9277 Pengamatan perlakuan Jumlah Jumlah | Jumlah Resopsi kelompok Kematian | Resopsi Awal Akhir Panjang] Berat | Berat umlah] Tumiah [Fumiah} Jumlah Kelompok |Janin] Janin | Janin Plasenta|Korpus] Bayi [Korpus|Jabang] Tempat |Jabang] — Cacat (Cm)_|(Gram)] (Gram) [Luteum|Hidup| Lutea | Bayi _{Implantasi] Bayi_[Makroskopis 1] 3 [rsossfoses[ 4 | 1 [ 3 1 1 1 0 2 | 27 [i.s23s[ 03096 4 [0 | 3 1 0 1 0 3 [24 |i6362] 0.3753] 5 1 [4 1 1 1 1 4 [25 [1433s[03766[ 2 | 0 | 2 | o 0 0 8 3 | 25 [ieseifoses| 1 | o [| 3 | 0 0 0 2 6] 4 fias7fosm] 4 [i [3 1 1 1 1 7 | 22 [isso2fosses] 6 [1 [ 4 1 0 1 0 17,13 8 | 24 [iassif 0409s] 3 1 [os 1 1 1 0 9 | 3 [iea7foasis| 2 1 [3 1 1 1 0 io] 2 [is4e6fosz49] 1 [oo | 2 1 0 0 0 u | 27 [iasosfosis3]_ 3 [| 0 | 3 1 0 0 0 1 | 38 [3.7735] 04064] 2 tae 1 1 1 0 2 [38 [3.8805] 0.3384] 2 Tes 1 1 1 0 3 s7is4] 03393] 5 | o | 5 1 1 1 1 2.8.14 4 3.8792] 0.4174] 4 ia 1 1 1 0 3 3,664] 03696] 4 [1 [| 4 | 0 0 0 0 6 331 [0.3405 | 4 1[4T[o 0 0 0 1 0.9987 0.4141] 5 1{[3 [0 0 0 a 2 0.9953] 0.377 [1 o [2 To 0 0 1 3 (0,7669| 0.4061 | 3 1 1 1 1 1 0 4 0.9169] 0.6937 | 3. Tea 1 1 1 0 3.9.15 5 (0,8046] 0.5726] 2 rie 1 0 1 0 6 osdo6foaso9] 4 | o | 4 1 1 1 0 7 | 2 [i2sasfo3s37| 6 | o | 5 1 0 0 5 8 os fost s | o [3 1 1 1 4 1 1,5597[ 0.7934] 4 1[4T[o 0 0 3 2 15759] 0,2536[ 4 [1 | 4 | 0 0 0 0 3 1,5868]0.4283| 4 | o | 5 1 1 1 0 4 1,4741[ 0.9858] 2 ie |) 0 0 0 3 13926/0,4201| 2 | o | 4 1 1 1 1 6 1,7426[0,7662| 3 | o | 4 1 1 1 5 7 1,6388] 0,7655 | 2 io 1 1 1 0 4.10.16 8 1,2456] 0.9404 [1 1[i 0 0 0 0 0,7293| 1 (a 0 0 0 0 0,6207| 3 1 2 0 0 0 1 05592] 3 1 1 1 1 1 2 05212 | 3 o | 2 1 1 1 0 03742] 3 ol] 4 0 0 0 1 o3sss| 4 1 4 1 0 0 4 0412 [5 1 5 1 1 1 7 05319] 2 1 3 0 0 0 0 5.1117 0,292 | 2 (ee 1 0 0 0 0.4539] 1 1 2 1 1 a 0 03133] 2 1 4 1 1 i 0 VII. Perhitungan Hasil Uji Analisa SPSS Dengan Metode Chi- Square Dengan Tingkat Kepercayaan 95% Kelompok * Jumlah_Kematian ‘Case Processing Summar cases valid Nissing Total N Percent N Percent N Percent Kelompok* Jumlah_Kematian 52] 100,0% 0] 0.0% 52] 100.0% Kolompok * Cacat_ Makroskopis 52] 100,0% ol 00% sz] 100,0% Crosstab Count Jumlah_Kematian | 2.00 | 300 | «00 [ s00 | 5.00 | 1 Kelompok 1.7.13 1 o Kelompok 2,8,14 o Kelompok 3.9.15 1 Kelompok Kolompok 4,10,16 Kolompok 6,12,18 0 Kelompok 5.11.17 o 0 1 Asymp. Sig. | Monte Carlo Sig. (2-sided) Monte Carlo Sig. (1-sided) (2-sided) | sig. | 95% Confidence Interval | Sig. | 95% Confidence Interval Lower | Upper Lower | Upper Bound _| Bound Bound | Bound Pearson Chi-Square 23,742" 824 984 Likelihood Ratio 27,307 748 944 Fisher's Exact Test 23,700 798 ov Linear-by-Linear Association | 2,096" 070 276 282 N of Valid Cases 52 * Cacat_Makroskopis Count Crosstab Cacat_Makroskopis Total Kelompok 1.7.13 Kelompok 2,8,14 Kelompok 3,9,15 Kelompok 4,10,18 Kelompok Kelompok 5,11,17 Kelompok 6,12,18 300 _| 4,00 7 2 1 ° ° ° 5 1 o ° ° o 4 1 1 ° 1 1 6 2 1 1 ° 1 5 1 ° ° 1 o 6 1 ° ° ° 33 8 4 4 2 2 Chi-Square Tests Asymp. Sig. | __ Monte Carlo Sig. (2-sided) Monte Carlo Sig. (1-sided) (sided) | sig, |_95% Confidence Interval Sig 95% Confidence Interval Lower Upper Bound | Bound Lower Bound Upper Bound Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 944 4,000 944 1,000 94a 1,000 879 1,000 VIM. Pembahasan Teratogenesis adalah terjadinya kecacatan bawaan. Kelainan ini sudah diketahui selama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama morbiditas serta mortilitas pada bayi yang baru lahir. Setelah pembuahan, sel telur mengalami proliferasi sel, differensiasi sel, dan organogenesis. Embrio kemudian melewati suatu metamorfosis dan periode perkembangan janin sebelum dilahirkan (Lu, 1995). Sehingga diperlukan pengujian sebuah produk atau senyawa sebagai tolak ukur. Pada praktikum uji teratogenik memiliki tujuan untuk memahami uji keteratogenikan suatu bahan, mengetahui bahan yang bersifat teratogenik dan ‘mengetahui dampak teratogen terhadap perkembangan janin. Pengujian_ ini ‘memerlukan tiga tahap untuk menentukan hasil yang akan dicapai. Tahap pertama adalah pengawinan hewan uji dan menetapkan masa waktu hamil, di masukkan mencit yang akan digunakan kelingkungan baru, selama tujuh hari agar terjadi adaptasi dengan sekitar dan tidak stress. Diamatilah mencit betina siklus estrusnya, setelah dinyatakan dalam kondisi estrus maka dicampur dengan mencit jantan. Dilakukan pengawinan pada masa estrus karena pada masa ini mencit betina berada dalam puncak birahinya, dimana sel telur yang diproduksi oleh ovarium sudah matang dan siap untuk dibuahi. Kemudian amati vagina plug sampai hari ditemukan sel telur, hari pertama ditemukan = hari ke nol kehamilan. Tahap kedua diberikan bahan teratogenik ke mencit yang hamil, dimulai dari hari kehamilan ke-6 — hari ke-18 dengan dosis yang ditentukan agar mengetahui sejauh mana dampak teratogen yang diberikan terhadap janin mencit. Pemberian bahan teratogen dengan jarum kanul sekali setiap hari, kemudian setelah hari ke-18 ‘mencit dimatikan dan embrio diambil untuk diamati efek teratogen. H+6 = fase awal organogenesis, H+15 = fase puncak pembentukan organogenesis, H+18 = H-1 kelahiran mencit. Dibedah pada H-1 kelahiran adalah untuk mencegah kerusakan yang terlalu parah dan jika dlakukan pada H+19, dikhwatirkan embrio sudah keluar dari rahim induknya, Tahap ketiga adalah pengamatan fetus. Pengamatan terhadap fetus meliputi jumlah fetus seperindukan, mortalitas fetus, berat fetus, panjang fetus, morfologi fetus, dan sistem rangka fetus. Pemeriksaan sistem rangka (skeletal) dilakukan dengan pewarnaan Alizarin Red $. Untuk itu beberapa embrio masing-masing induk dipersiapkan untuk pembuatan preparat skeletal. a, Hasil Uji Analisa SPSS Dengan Metode Chi-Square Dengan Tingkat Kepercayaan 95 Crosstabs er Ga vata Missing Taal a Teionpok mish Kematan| —s2 | 100.0% [0] 00% | sr 100.0% *iompok™ _ sz | rox | o | oox | sz | 000% Berdasarkan hasil diatas kedua kelompok tersebut terdapat 52 data yang ter-analisis, (maka tidak ada data yang missing atau hilang) sehingga tingkat kevalid an nya 100% Kelompok * Jumlah_Kematian aaa coat I Ta a ae re BREE mateo eS veineyee [Eines |e a aot oeaema|e pata] neat a eo oes] a fergie pe gegen cago ia ee peepee gape eee eee aie Tae Waa | a] Fae Se | or ee on ae Te — Se ‘95% Confidence interval | Sig "95% Confidence interval iowrsoml] Set ro Sor Ea remsoncnaawre | aan] so] sea] soe] a] a a a a | erste Tet | 23750 “a08| 7 om imerariner | aoxe| af aaa] are| om] ae ase] oe aa Not vai cir 5 2 ca Oh oped one Tav rS Tiana Spe OT TE i ad on Sepia amg ed OO eT tate aC TA Berdasarkan tabel Jumlah_Kematian output diatas diketahui nilai Asymp. Sig. (2- sided) Pada uji Pearson Chi-Square adalah sebesar 0,784. Karena nilai Asymp. Sig. (2-sided) 0,784 > 0,05, maka bias di intepretasikan bahwa “Tidak ada hubungan antara kelompok Jumlah_Kematian dengan Cacat_Makroskopis” berartikan Cacat makroskopis tidak akan menambah Jumlah kematian Kelompok * Cacat_Makroskopis Coma count Get Warromope Toa po [ie [30] 300] 00 [50 [7m [a EE DY 3|_—a]| —a[ —o[ —o| ol —ol —a fF Reiompot 3.9.15 onions ina none eam eens | ene ome Tipmpok 6,106 is] [area nee ea [eeseerg| ree) oneere | eal Relompok 511,17 erg err |r| erg err | erereg| eee ay Relompok 6.12.18 6] a [of of of of of a ovsqure rst vae | ot [ssme-se-t2 | Meme cane sg des) Mone Gao 8) soe [se Lox mre | Se |_ 96% conten era tower sours | upper Soune tower ound | upper Soune fnooncrsguve | maa] 35 sz] 100 sul s000 netnood nto sail a8 205] 1.000" ul 2000] raters tar test 25904 000" sul 1000] nary eae 5 or} as] se 79] 2000] ae am] ” a ts (69,58 have nec covet es aS. The minimum expected cu saad on 2 samp abies wih sang 4nd 200000. Berdasarkan tabel Jumlah_Kematian output diatas diketahui nilai Asymp. Sig. (2- sided) Pada uji Pearson Chi-Square adalah sebesar 0,923. Karena nilai Asymp. Sig. (2-sided) 0,923 > 0,05, maka bias di intepretasikan bahwa “Tidak ada hubungan antara kelompok Cacat_Makroskopis dengan Jumlah_Kematian” berartikan Cacat makroskopis tidak akan menambah Jumlah kematian VI. KESIMPULAN Pengujian ini berfungsi untuk mengetahui apakah cacat tersebut berakibat pada jumlah kematian janin yang dikandung oleh hewan uji yang berasal dari efek bahan teratogenik tersebut, namun dari hasil praktikum diketahui bahwa bahan produk yang digunakan terbilang aman dari teratogenik Karena tidak menimbulkan dampak jumlah kematian yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA. Harris, C. L. 1992. Zoology. Harper Collins Publishers Inc: New York Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. UI-PRESS: Jakarta Santoso HB. 2006. Pengaruh Kafein terhadap Penampilan Reproduksi dan Perkembangan Skeleton Fetus Mencit (Mus musculus L.). (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Setyawati, Iriani dkk. 2011, Penampilan Reproduksi dan Perkembangan Skeleton Fetus Mencit Setelah Pemberian Ekstrak Buah Nanas Muda, Jurnal Veteriner Vol. 12 No. 3: 192-199 Smith, Susan M. 1997. Alcohol-Induced Cell Death in the Embryo. Alcohol health and Research world Vol. 21, No. 4 Snow, Mary E. 2006. The Effectsof Prenatal Alcohol Exposure on Endochondral Bone Development in the Fetal Rat. Columbia : The University of British Columbia. Yantrio A, Sugiyanto J, Aida Y. 2002, Efek Klorambusil terhadap Perkembangan Fetus Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Strain Sprague — Dowley. Jurnal Biota VII(3): 101- 108. Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embriologi. Bandung : Penerbit Tarsito Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 | NDEKS KUNING TELUR (1KT) DAN HAUGH UNIT (HU) TELUR PUYUH (Coturnix caturnix japonica) SETELAH PENAMBAHAN TEPUNG KUNYIT (Curcuma longa L.) DAN TEPUNG I KAN PADA PAKAN Suparyanti*, Koen Praseno*, Tyas Rini Saraswati * Depertemen Biologi, Fakultas Seins dan Matematika, Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang 50275 Telepon (024) 7474754; Fax. (024) 76480690 ABSTRACT This researchwasdesigned to study the potential of turmeric powder and fish powder in the feed to improve of Yolk Index (VI) and Haugh Unit (HU) of Coturnix coturnix japonica Quail tread with turmenic powder 54 mg/quail/day with protein 25,19% The parameters include daily feed, yolk indek (Vi) and hugh unit (HU) Experimental animal used in this study were 60 female japanese quails, which were divided into 4 experimental group each treatment 3 quails with 5 replication while perameters measurement was carried out for 4 months, namely PO (standard feeding), P1 (85% standard feeding and 15% fish powder feeding), P2 (85% standard feeding and 15% fish powder feeding added with turmeric powder on age 2 to 120 weeks), P3 (85% standard feeding and 15% fish powder feeding added with turmeric powder on age 45-75 days), The date obtained was analyzed using Analysis of Variance (Anova) on the basis of e completely randomized design (CRD) followed by duncan test with @ 96% confidence interval overall analysis was using the sotwere SAA 9,1 for windows. The results showed that the addition of turmeric powder with concentration of 54 mg/quail/day and fish powder on feed didn’t affect the yolk index end haugh unit. The adcition of turmeric powder (Curcuma longa L.} and fish powder in this study had no potential to increase the yolk index and haugh unit of quail’s egg (Coturnix coturnix japonica) Key words: Yolk Index (YI), Haugh Unit (HU), fish powder, quail (Coturnix coturnix japonica), turmeric powder ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tepung kunyit dan tepung ikan pada paken terhadap peningkatan Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU) Coturnix coturnix japonica. Perlekuan yang diberiken menggunaken tepung kunyit dengan konsentrasi 54 mg/ekor/hari can protein 25,19% Parameter yang digunakan adalah konsumsi pakan harian, indeks kuning telur.dan haugh unit Hewan yang diujikan dalam penelitian ini adalah 60 ekor puyuh yang dikelompokkan menjadi 4 kelomipok perlakuan, masing-masing perlakuan 3 ekor puyuh, dengan 5 ulangan dalam tiap kelompok, pengukuran parameter dilakukan selama 4 bulan Perlakuan yang diberikan adalah PO: pemberian pakan stander, PI: pemberian pakan standart 85% dan tepung ikan 15% , 2. pemberian pakan standart 85% dan tepung ikan 75% ditambah tepung kunyit pada umur 2 minggu hingge 120 minggu, F3: pemberien pakan standert 85% dan tepung ikan 15% ditambah kunyit pada umur 45-75 hari Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan Analisis of Varian (Anova) dengan dasar rancangan acak Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 lengkap (RAL) dilenjutkan dengen uji lenjut duncan pada taraf signifikan 95% menggunakan program SAS 9,1 Hasi Penelitian menunjukken bshwa penambahan tepung kunyit dengan dosis 54 mg/ekor/hari dan tepung iken pada pakan tidak mempengaruhi indeks kuning telur dan haugh unit dan tepung ikan pada penelitian ini tidak tepung kunyit (Curcuma longa L) Penambehan berpotensi untuk meningkatkan IKT dan HU telur puyuh (Coturnix coturnix japonica) kata kunci: Haugh Unit (HU), Indeks Kuning Telur (IKT}, Puyuh (Coturnix coturnix Japonica), Tepung Ikan, Tepung Kunyit Pendahuluan Puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) banyak diternakkan untuk diambil telunya karena produktivitas telurnya tinggi. Produksi telur puyuh juga sangat dipengaruhi oleh ransum yang diberikan. Puyuh — mencapai dewasa kelamin pace umur 42 hari dan sudah___menghasilkan _telur (Nasution, 2007) Salah satu parameter untuk mengukur kualitas telur dengan mengukur Indeks Kuning Telur (IKT) dan Haugh Unit (HU). Albumin merupakan bagian dari telur yang berfungsi untuk melindungi yolk Nuryati (1998) menyatakan yolk banyak tersimpan zat-zat_makanan yang sangat penting untuk membantu perkembangan embrio. Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat diperlukan puyuh dalam memproduksi_ telur. Pakan mempengaruhi kualitas telur yang di antaranya adalah dapat dilihat dari IKT dan HU. Pakan yang diberi tambahan tepung kunyit dapat meningkatkan nafsu makan, meningkatkanmetabolisme _—_tubuh, memperbaiki mikroflora_ pencernaan, meningkatkan enzim-enzim pencernaan agar absorbsi meningkat Bintang dan Jaya (2005), menyatakan bahwa penambahan tepung kunyit dalam ransum menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum Kunyit mengandung kurkuminoid yang berfungsi sebagai antibakteri, antiinflamasi, antioksidan yang sangat_mempengaruhi dalam perbaikan sistem saluran reproduksi serta hati. Hati memiliki peranan yang sangat penting dalam mensintesis vitolegenin (Vg) sebagai perkursor yolk yang diinduksi oleh hormon estrogen Serbuk kunyit itu sendiri mengandung fitoestrogen (Saraswati dkk, 2013) Fitoestrogen memiliki prinsip kerja yang sama seperti estrogen. Prekursor yolk tersebut terdiri atas lipid, protein tipoprotein yang kemudian akan dibawa — menuju —ovarium —_untuk pembentukan kuning telur, sehingga terjadi pertumbuhan folikel Pertumbuhan folikel akan mempengaruhi |KT. Yolk akan dibungkus oleh protein puyuh telur ketika melintasi magnum, Kelenjar tubuler magnum mengancung organel_ sel yang mencukung proses _pembentukan albumin, Yolk yang masuk dalam oviduk merupakan sinyal bagi sel-sel penyusun magnum untuk segera dilapisi oleh albumin. Sintesis yolk dan albumin terjadi secera simultan setiap hari, dan mencapai masa puncaknya saat perkembengan folikel_ovari (Kasiyati dkk, 2013) Hasil penelitian Syamsir dkk (1994) menyebutkan bahwa Indeks kuning telur puyuh sebesar 0,499 dan tidak berbeda nyata dengan indeks kuning telur untuk telur ayam ras yaitu Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 0,489, Indeks kuning telur untuk telur yang masin baru menetas berkisar antara 0,30-0,50. Hal ini diperkuat pada hasil penelitian dari Imai okk (1984), yang menyatakan bahwa indek kuning telur puyuh adalah 0,52 Penelitian Syamsir ckk (1994) menyatakan bahwa nilai haugh unit adalah 84,12 Berdasarkan dari uraian di atas dapat dilakukan penelitian terhadap kualitas telur yang diberi penambahan tepung kunyit dan tepung ikan berdasarkan IKT dan — HU. IKT merupakan nilai perbandingan tinggi yolk dan diameter yolk sedangkan HU untuk melihat mutu kesegaran telur yang dapat dihitung dari bobot telur dan tinggi albumin Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tepung kunyit dan tepung iken pada pakan terhadap kualitas telur melalui peningkatanIKT dan HU Coturnix coturnix japonica dan pemanfaaten penggunaan keduanya dalam managemen pakan ternak Hasil penelitian ini ciharapkan mampu memberikan inforrnasi kepada masyarakat bahwa tepung kunyit dan tepung ikan dalam pakan untuk peningkatkan kualitas telur puyuh pada diversifikasi managemen pakan puyuh (Coturnix coturnix japonica) Metode Tempat dan Waktu Penelitian —cilakukan—— di Laboratorium Struktur_ dan Fungsi Hewan .urusan Biologi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro Semarang dan dilaksanaken pada bulan November 2011 hingga bulan Maret 2012 Alat Alat_ yang digunakan dalam penelitian antara lain kandang kolektif, kandang baterai, lampu, kabel, tempat makan, tempat minum, botol sprayer, timbangan, sendok, kaca datar, sendok pemisah putih dan kuning telur, ember, gayung, gelas ukur, teko berskala, plastik, thermohigrometer, kamera, masker penutup wajah, sarung tangan serta alat tulis. Bahan Bahan yang digunakan antare lain puyuh dengan jumlah 60 ekor DOQ (Day Old Quail), tepung kunyit, tepung ikan, sekam, koran, karung, vaksin, rodhalon, pakan konsentrat, air, vita chick, vita stress, kertas kue 17 g, tissue dan betadine Cara Kerja Penelitian Cara kerja penelitian ini meliputi persiapan kandang kolektif, aklimasi pada kandang kolektif,emeliharaan pada kandang percobaan, prosedur pengukran parameter a. Persiapan kandang kolektif Satu kandang kolektif disiapkan dengan |uas masing-masing 1 m?, tinggi keki 50 cm, Koran diletakkan di dalam — kandang —kolektif yang digunakan sebagai alas. Sekam diletakkan ci atas_ koran dalam kandang kolektif. Fumigasi desinfektan (komposisi Cetylpyridium Chloride 1% Cetyltrimethyl Ammonium Bromide 2% dan Benzalkonium Chloride 2% )10 mL disemprotkan pada _kandang, tempat makan dan tempat minum sehari sebelum peletakan puyuh dengan air 3300 mL dicampur dengan desinfektan 10 mL. Kandang kolektit ditutup dengan koran dilakukan selama 2 hari sebelum peletakan puyuh. Koran dibuka dan 2 buah lampu 25 Watt dipasang — pada_—-masing-mmasing kandang di sisi yang berbeda. Sebanyak 60 burung puyuh betina umur 1 hari (DGQ) dimasukkan dalam kandang kolektif b. _Aklimasi pada kandang kolektif Selama_penelitian berlangsung, puyuh Cipelinara dan diaklimasi selama Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 2 minggu ci kandang kolektif, aklimasi dilanjutkan di kandang batere selama 7 minggu. Puyuh diberikan pakan standart selama tujun hari, Pemberian minum berupa air gula hanyadiberikan pagi hari pada hari pertama Penggantian air minum dengan air biasa pada hari kedua dan seterusnya pada harike tiga, pemberian vita stress pada air minum dengan komposisi 7 liter air ditambah dengan 1 g vita stress di pagi hari dan diganti air biasa pada sore hari. Hari keempat puyuh dipuasakan selama 2 jam kemudian dilakukan vaksinasi cengan penetesan vaksin yang dicampurkan dengan pelarut vaksin ND1 dan ND2 dengan dosis sesuai kemasan yang diteteskan pada mata puyuh. Pemberian vita stress pada air minum di pagi hari dengan komposisi yang sama dengan sebelumnya dan diganti air biasa pada sore hari pada hari ke lima. Pemberian vita chick pada air minum seminggu sekali sesuai dengan dosis pemberian dalam kemasan paca hari ke enam Berat badan puyuh ditimbang dan dihitung nilai koefisien keragamannya Pengelompokan puyuh pad kandang percobean dengan puyuh berbobot badan yang sama yaitu 80 - 90 g dengan jumlah puyuh 60 ekor. c. Pemeliharaan pada percobaan Persiapan kandang sama dengan persiapan kandang kolektif, jumlah kandang yang disiapkan 20 kandang, setiap kandang diisi dengan 3 ekor burung puyuh Pernberian pakan P, dari umur 2 minggu hingga 720 hari, Komposisi pakan terdiri dari pakan standart yang ditakar 850 g dengan tepung ikan 150 kandang percobaan g Pakan perlakuan P3 berupa tepung ikan dalam pakan standart yang ditambah dengan —_serbukkunyit S4mg/ekor/hari (dosis_ optimal berdasarkan _penelitian yaitu 54mg/ekor/hari) Pemberian pakan can minum secara ad libitum Pembersinan feses dilakukan 3. hari sekali Pemberian vita stress dilakukan sebulan sekali selama penelitian d. Prosedur pengukuran parameter Cara yang digunakan untuk mengukur IKT adalah perbandingan tinggi kuning telur yang diukur dengan menggunakan tusuk gigi lalu diukur dengan penggaris dan ciameter kuning telur dengan menggunakan kaliper. Badan Stancar Nasional Indonesia (2008), menjelaskan perhitungan untuk —_mengetahui Indeks Kuning Telur (IKT) dengan menggunakan rumus berikut Tinggi kuning telur IKT = Diameter kuning telur sebelumnya HU diukur untuk melihat_ mutu kesegaran telur. Cara untuk mengukur HU adalah pengukuran tinggi putin telur dan bobot telur. telur ditimbang, dipecah can diletakan di tempat datar (kaca atau cawan petri). Tinggi putin telur diukur dengan menggunakan tusuk gigi kemudian diukur dengan menggunakan penggaris. Bagian putih telur yang diukur cipilih diantara kuning telur putih telur. Pengukuran dilakukan dalam keadaan —segar (setelah menetas). Rumus perhitungan untuk mengetahui nilai HU seperti yang digunakan oleh Sudaryani (2006) adalah: HU =100 log (H+5,75~1,7W 2) Keterangan HU: Haugh Unit H_: Tinggi putin telur W_ : Bobot telur (g) Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis Of Varian (ANOVA) dengan Rencangan Acak Lengkap (RAL) dan jika ada beda nyata Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan Semua analisis data dikerjakan pada program SAS. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data penelitian berupa konsumsi pakan, Haugh Unit (HU), dan Indeks Kuning Telur (IKT) setelah pemberian tepung kunyit_ dengan —konsentrasi_ 54 mg/ekor/hari dan tepung ikan dengan waktu yang berbeda dengan menggunakan ANOVA pada taraf kepercayaan 95% cisajikan pada tabel Tabel 1.Hasil analisis Konsumsi Pakan, HU dan IKT. keterangan: PO= kontrol, Pl= pakan standart 85% dan tepung iken 15%, P2= pakan (pakan standart 85% dan tepung iken 15%), dan ditambeh tepung kunyit 54mg/ekor/hari dari umur 74 hari sampai 120 hari, P3= pakan (pakan standart 85% dan tepung iken 15%), dan ditambah tepung kunyit S4mg/ekor/hari dari umur 45 heri hinggs umur 76 hari ( pengamatan dilakukan pada bulan ke-4 }. Angka dengan huruf superskrip yang berbeda dalam satu baris menyatakan beds nyata peda taraf Signifikasi 95% Berdasarkan tabel 1 _hasil analisis penelitian terhacap konsumsi paken menunjukkan berbeda nyata Hal ini menyatakan bahwa pemberian Peranin Parameter . Konsums 22.550" 24809 20,887 pakan(hari : : an) HU 86,709" 93,628 90,884 90,284 VT 0.45600" 0.4360 0.4480 0,4380 o oe oF tepung kunyit dengan konsentrasi 54 mg/hari/ekor dan tepung kan mempengaruhi. konsumsi —_pakan puyuh. Penambahan tepung kunyit dengan tepung ikan ke dalam pakan dapat meningkatkan nafsu makan puyuh, sehingga terjadi peningkatan konsumsi pakan.Banyak —sedikitnya konsumsi pakan sanget bergantung pada ukuran tubuhternak, _ sifat genetis, suhu lingkungan, — tingkat produksi, perkandangan, —_ tempat makan, keadaan air minum, kualitas dan kuantitas pakan serta penyakit (Suprijatna dkk, 2005). Konsumsi paken dipengaruhi oleh palatabilitas. Wahyu (1988) menyebutkan palatabilitas adalah rasa bahan makanan.Tepung ikan tidak dapat © mempengaruhi _palabilitas pakan, namun yang mempengaruhinya adalah tepung kunyit. Konsumsi pakan pada substitusi limbah padat kunyit sampai kadar 10% mengalami peningkatan (Eniarsih dan Saraswati, 2006). Peningkatan konsumsi pakan puyuh dikarenakan adanye kebutuhan nutrisi yang diperlukan untuk produksi telur. Proses pembentukan — telur banyak mengeluarkan energi, sehingga terjadi timbulnya rasa lapar karena tubuh kekurangan energi. Pengaruh peningkatan konsumsi pakan mungkin dikerenaken adanya senyawa-senyawa dari tepung kunyit seperti minyak atsiri dan kurkuminoid,Minyak atsiri_ yang dikendung kunyit memberikan bau yang khas pada kunyit.Hasil penelitian dengan penambahan protein saja (P1) yaitu tepung ikan pada pakan tidak ada perubahan yang signifikan, sehingga perlu. ditambah dengan tepung kunyit.Penambahan tepung kunyit di dalam pakan berguna untuk menambah nafsu makan puyuh. Hal ini disebabkan karena kunyit memiliki fungsi meningkatkan kerja organ pencernaan — unggas_ dengan merangsang dinding kantong empedu, mengeluarkan cairan empedu, enzim lipase yang —-berguna_——_untuk meningkatkan pencernaan lemak can merangsang keluarnya getah penkreas Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 yang mengandung enzim amilase. Tiga macam enzim pencernaan _yaitu karbohidrase, protease, dan lipase dikeluarkan dari pankreas.Enzim amilase merupakan salah satu enzim pemecah karbohicrat yang memecah pati menjadi disakarida yang selanjutnya pada usus halus disakarida menjadi monosakarida seperti glukosa, fruktosa, dan galektosa, Enzim lipase memecah lemak menjadi asamlemak dan gliserol (Djulardi dkk, 2006 dalam Sa’adah 2008) Kunyit| juga mengandung minyak atsiri yang berfungsi mencegah keluarnya asam = lambung yang berlebinan, — sehingga_ membantu mengurangi kerja usus yang terlalu berat dalam mencerna Zat-zat makanan (Sumiati, 2004). Glandula fundika adalah kelenjar lambung yang mengancung sel-sel khusus yaitu sel- sel body chief sebagai zimogen dalam bentuk tidak aktif, yaitu pepsinogen yang diaktifkan menjadi pepsin oleh HCL yang disekresikan oleh sel-sel parietal.Pepsin melakukan pemecahan protein menjadi asarn amino (Herper dkk, 1980). Hasil dari_metabolisme karbohidrat berupa glukosa akan di absorbsi oleh sel-sel intestinum ke dalam darah dan hati, Boron ( 2005) menyatakan _penyerapan glukosa dalam intestinum melalui dua tahap, yaitu melewati apikal intestinum ke dalam sel epitel dan kemudian melewati_membran basal. Absorbsi glukosa melewati membran apikal difasilitasi oleh sodium dependent glucose transporter (SGLTI) dengan cara difusi terfasilitasi secangkan pada membran basalis difasilitasi_ oleh transporter glukosa (GLUT2). Glukosa masuk melewati membran basalis diberi_ yang difasilitasi oleh gradien elektrokimia Na*. Guyton (2006) menyatakan pada keadaen tidek ada transport natrium melewati membran, tidak ada glukosa yang diabsorbsi Glukosa bergerak bersama Na* dan dilepas dalam sel. Natriurn diangkut ke dalam ruang interseluler lateral can glukosa diangkut oleh GLUT2 ke dalam interstisium lalu masuk dalam kapiler (Ganong, 2005). Sloan (2004), mengungkapkan —glukosa_——yang terabsorbsi. dalam ~—_intestinum ditransport ke hati melalui vena porta hepatika yang kemucian dipakai untuk pembentukan energi dan sisanya akan disimpan ai hati sebagai glikogen atau disintesis. manjadi lemak kemudian disimpan dalam jaringan lernak Protein yang telah menjadi asam amino _kemudian diserap. Nurcahyo (2005), menyatakan bahwa penyerapan asam amino dengan cara difusi fasilitasi_ melalui mukosa yeyenum dan ileum, asam amino yang berasal dari makanan selanjutnya dibawa oleh sirkulasi darah ke dalam amino acid pool (gudang penimbunan asam amino) yaitu darah dan cairan jaringan (interseluler) Asam amino yang cibawa oleh pembuluh darah melalui vena porta hepatika menuju ke hati. Selain glukosa dan asam amino yang diabsorbsi melalu pembuluh darah, asam lemak rantai pendek dan gliserol juga diserap oleh perbuluh darah Lemak pada saluran pencernaan akan bercampur dengan empedu yang dihasilkan oleh hati membentuk micelle yang akan mengemulsifikasikan lemak Enzim lipase yang dihasilkan oleh saluran pencernaan akan menguraikan trigliserida menjadi asam lemak can gliserol Minyak atsiri yang mengontrol lambung untuk menetralisir keasaman isi lambung, sehingga keadean isi lambung tidak terlalu asam,Minyak atsiri mengatur keluarnya isi lambung agar tidak berlebihan. Globulus yang berada di dalam saluran pencerngan dicerna Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 akan di pecah menjadi pertikel yang lebih kecil (chyme) sehingga lemak mudah diserap oleh intestinum (Darwis dkk, 7991), Lemak diserap oleh sel mukosa intestinum dengan cara difusi pasif yang kemudian mengalami reesterifikasi (penggabungan kembali asam lemak dan gliseral) menjadi trigliserida, Trigleserida can ester kolesterol bersatu diselubungi oleh selaput protein membentuk lipoprotein (dalam bentuk chilomicron). Lipoprotein keluar dari sel mukosa usus secara__eksositosis kernudian diangkut lewat sistem limfalik selanjutnya masuk ke dalam sirkulasidarah.Gliserol__ langsung diabsorbsi ke pembuluh darah vena porta hepatike. Glukosa, lemak can protein di hati di gunakan sebagai sumber energi. Substrat_hasil metabolisme juga dipakai untuk sintesis vitelogenin (prekursor kuning telur) Proses pembentukan vitelogenin (vitelogenesis) terjadi di__hati Vitelogenin acalah glikofosfolipoprotein Sintesis vitelogenin dikontrol oleh hormon estrogen, kemucian _vitolegenin ditransportasikan melalui aliran darah ke folikel ovarium untuk pertumbuhan dan perkembangan hierarki folikel Kunyit mengandung senyawa fitoestrogen (Saraswati dkk, 2013).Fitoestrogen memiliki _efek estrogenik.Fitoestragen berperan memacu hati untuk —mensekresi vitelogenin (va) kemudian disekresikan ke dalam aliran carah sehingga terjadi_—_peningkatan konsentrasi vetelogenin dalam darah yang kemudian dibawe ke gonad untuk pembentuken kuning telur Hasil analisis penelitian terhadap IKT menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan indeks kuning telur yang relatif sama untuk semua perlakuan. Indeks kuning telur adalah perbandingan antara tinggi kuning telur dengan diameternya setelah kuning telur kuning telur dipisahkan cari putin telur (Buckle dkk, 1987).Penambahan tepung kunyit can tepung ikan pada pakan tidak mempengaruhi indeks kuning telur.Hal ini diduga vitelogenin didistribusikan ke banyak folikel yang berkembang sehingga produktivitas telur yang meningkat.Hasil penelitian (Saraswati dkk, 2013) menunjukkan bahwa pemberian serbuk kunyit mempengaruhi jumlah yang berkembang Berdasarkan hasil_penelitian terhadap = Haugh Unit. — (HU) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.Putih telur menyusun sebagian besar dari isi telur itu sendiri.Protein putih telur terdiri dari ovomucin, dan protein globular yaitu ovalbumin, conalbumin, avomucoid, —_lysozirn, flavopotein, ovaglobulin, ovoinhibitor dan avidin. Klasing (2006) menyatakan protein-protein tersebut _disintesis dalam retikulum endoplasma glanuler (REG) cari sel-sel sekretori kelenjar tubuler, kemudian dikemas oleh aparatus golgi membentuk granula yang citutupi membren lipid. Protein folikel tersebut disintesis secara lanjut menjelang ovulasi dan meningkat pada seat telur berada di dalam magnum.Yolk yang masuk dalam oviduk merupakan sinyal bagi sel-sel epitel magnum untuk mensintesis can mensekresikan komponen putih telur tersebut ke dalam lumen magnum. Harris, (1992) mengungkapkan tahap-tahap pembentukan telur diawali dari pelepasan kuning telur (ovum) dari ovarium.Yok tersebut diselimuti oleh = membran —folikuler_ yang menempel pada ovarium.Membran folikuler ini memiliki suatu bagian yang disebut stigma yang mengandung Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 sedikit pembuluh darah dan dalam stigma tersebut yolk robek can melepaskan ovum pada saat ovulasi yang selanjutnya yolk diterima oleh infundibulum dan langsung menuju magnum yang merupakan saluran terpanjang pada _oviduk. Sekresi albumin terjadi paca magnum. Telur kemudian masuk ke dalam isthmus selama 2 sampai 3 jam setelah ovulasi, sel-sel granuler isthmus mensekresikan berbagai__ komponen untuk menyusun membran kerabang telur selanjutnya telur masuk ke dalarn uterus untuk membentuk kerabang telur. Pembentukan kerabang telur membutuhkan waktu 17 sampai 20 jam. Sa’adah (2008), — meyatakan lapisan terakhir cari cangkang yang terbentuk adalah kutikula merupakan suatu material organik yang berfungsi melindungi telur. Nilai heugh unit pada penelitian ini menujukkan hasil tidak beda nyata setelah diberi penambahan tepung kunyit dan tepung ikan pada pakan standart. Haugh unit sebagai parameter mutu kesegaran _telur dihitung berdasarkan tinggi putih telur dan bobot telur (Syamsir,1994) Kualitas telur berdasarkan nilai Haugh Unit (HU) menurut USDA adalah kualitas AA apabila nilai HU lebih dari 72, kualitas A bila nilai HU 60-72, nilai kualitas B bila nilai HU 31-60 dan kualitas C bila nilai HU kurang dari 31 (Apriyantono, 1990). Hasil_ dari penelitian ini menunjukkan bahwa nilai HU telur puyuh memiliki kualitas AA yaitu kualitas yang sangat baik yaitu perlakuan PO (88,709), P1 (93,628), P2 (90,834) dan P3 (90,284) Tepung ikan merupakan sumber protein hewani yang mempunyai asam amino yang cenderung lengkap (Mozin, 2006).Faktor terpenting dalam ransum yang mempengaruhi berat telur adalah protein, karena kurang lebih 50% deri berat _kering telur adalah protein. Peningkatan jumlah asupan_ protein yang seimbang akan meningkatkan ukurantelur. (Amrulih, 2003) Kebutuhan protein yang tercukupi pada pakan akan mempengaruhi bobot telur. Kesimpulan Hasil penelitian dengan perlakuan penambahan tepung kunyit (Curcuma longa L) dengan dosis 54 mg/ekor/hari dan tepung ikan 25,19% menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap indeks kuning telur can haugh unit) namun menunjukkan berbeda nyata pada konsumsi pakan Berdasarkan dari hal diatas maka dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung kunyit (Curcuma longa L) dan tepung ikan pada penelitian ini tidak berpotensi dalam meningkatkan indeks kuning telur dan haugh unit pada telur burung puyuh (Coturnix —coturnix Japonica) Daftar Pusteka Amrullah, LK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembage Satu Gunung Budi, Bogor Badan Standar Nasional Indonesia 2008. Telur Ayam Konsumsi 12983_SNI 3926: 2008. Diakses 20 Maret 2013 Bintang, I.K dan A.G.N Jaya, 2006. Pengaruh Penambahan Tepung Kunyit (Curcurna domestica val) dalam Ransum Broiler. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner, Boron, W.F., Boulpaep £.L. 2005. Medical Physiology: A Celluler and Moleculer Approach. Update ecition, Elsevier Sounders. Philadelpia Buckle, K.A., R.A Edwards, G.H Fleet and M. Wooton. 1988. IImu Pan. Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 gan Terjemahan: — Purnomo Adiono. Ul Press. Jakarta Darwis, S.N., A.BD. Modjo Indo dan Hasiyah. 1991. Tanaman Obat Familia Zingiberaccae. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Industri. Bogor Djularci, dkk. 2006. Nutrisi Ternak dan Harapan.Andalas Press, Yogyakarta. Eriasih, |., Saraswati, T.R 2006. Penambahan Limbah —_Padat Kunyit’ (Curcuma Dorestica) pada Ransum Ayam — dan Pengaruhnya terhadap Status Darah dan Hepar Ayam (Gallus Sp). Buletin Anatomi can Fisiologi XiV(2) Ganong, W.F. 1995. Review of Medical Phisiology 4th ed. Prentice Hall International Inc, San Fransisco. Guyton, A.C. 2006, Textbook of Medical Phisiology. W.B.Saunder Company. Philadelphia Harris, C.L. 7992. Concepts in Zoology. Aneka Satwa University Harper Collins Publisher. New York. Harper, HA. V.W.Rodwell and P.A. Mayes, 1980. Biokoimia. Lange Medical Publication, Los Altos California Imai, C. Mowlah, dan Saito J 1984. Stroge Stability of Japanese Quail (Coturnix Coturnix ssponica) Eggs at Room Temperature. Poultry Science (1986)65: 474-480 Kasiyati,K.N.., Hera M, Wasmen WM. 2013. Penerapan — Cahaya Monokromatik untuk Perbaikan Kuantitas Telur Puyuh (Coturnix- coturnix japonica.L). _Buletin Anatomi dan Fisiologi 1 (XVII) 1-11 Klasing, KC. 2006. Comparative Avian Nutrition. CAB International London Syamsir, E. Soewarno T. Soekarto; dan Sri S.M. 1994. Stuci Komparatif Sifat Mutu dan Fungsional Telur Puyuh dan Telur Ayam Ras. Bul Tek. dan Industri Pangan 3(5): 34-36. Nasution, Z. 2007. Pengaruh Suplemen Mineral (Ca, Na, P,Cl) dalam Ransum terhadap Performance dan 10FC Burung Puyuh (Coturnix-coturnix Japonica). Skripsi. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Univ. Sumatera Utara, Medan Nurcahyo, H. 2008. Sistem Pencernaan Makanan (Digesti). Program Pembimbingan Olimpiade Biologi. Yogyakarta Nuryati, Tutuk. — 1998. Memetaskan Telur. Swadaya. Jakarta Sukses Pt Peneber Sa‘dah, U. 2007. Daya dan Kestabilan Buih Putih Telur Ayam Ras pada Umur Simpan dan _—_ Level Penambahan Asam Sitrat yang Berbeda Skripsi. Program Studi Hasil Ternak Fak Peternakan IPB, Bogor Saraswati, RN. Wasmen N., Damierti R.E.K., Nastiti K.R 2013. Optimalisasi Kondisi Fisiologis Puyuh — Jepang (Coturnix coturnix japonica) Senyawa Suplementasi Serbuk Kunyit (Curcuma longa). Disertasi. Institut Pertanian Pertanian, Bogor Sloan, E. 2004, Alin bahasa Veldman J Anatomi dan Fisiologi, Edisi 1 EGC Kecokteran. Jakarta Sudaryani, 2006. Kualitas Penebar Swadaya. Jakarta Suprijatna, E. D.Sunarti. L.JMahfudz dan U.Nimah, 2009. Efisiensi Penggunaan Protein untuk Produksi Telur pada Puyuh Telur Jurnal Biologi, Volume 2 No 3, Agustus 2013 Hal. 67-75 Akibat Pemberian — Ransum Protein Rendah yang Disuplementasi_Lisin Sintesis Laboratorium Ternak Unggas Fakultas Peternakan Undip Sumiarti, T. 2004. Kunyit Si Kuning yang Kaya Manfaai. Cakrawala. Syamsir, E. Soewarno T. Soekarto; dan Sri S.M, 1994, Stuci Komparatif Sifat Mutu dan Fungsional Telur Puyuh dan Telur Ayam Ras. Bul Tek. dan Industri Pangan 3(5): 34-36. Perkembangan Hewan Kelompok 8 Uji Keteratogenikan Amirotul Faizah (1513100003), Lutfi Surya Muchamad (1513100015), Alvhi Widya Calandry (1513100018), Rintafiani (1513100043), Yuni Astina Sari (1513100055) , Wahyu Dwi kurniawan (1513100060), Dessy Rahmawati yuliani (1513100075) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan IImu Pengetahuan Alam, InStitut Teknologi Sepuluh Nopember (irs) JI, Arief Rahman Hakim, Surabaya 601 11 Indonesia e-mail: suuchamadluifisurya@-yahoo co id Abstrak— Uji keeratognikan adatah uj ketoksikan sustu obat yang diberikan ata diginakan selama mast orginagensis suatu hhewan bunting, Uj ini digunakan untuk menentukan apakah satu ‘bat dapat menyebabkan kelainan atau cacat bawaan pada dri janin yang dikandurg oleh hewan bunting, dan apakah cacat tersebut derkerabat dengan dass obat yang dierikan. Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Perkembangan abnormal tidak mencelakakan embrio tetapi_ kelainan tersebut akan berakibat’ pada anak. Kelainanan perkembangan ada dua macam, yaitu: kelainan genetik dan kelainan sejak lahir. Faktor yang menyebabkan cacat ada dua kelompok, yaitu faktor genetis dan lingkungan. Faktor genetis terdiri dari mutasi dan aberasi, Faktor lingkungan terdiri dari Infeksi, obat dan radiasi. Kata Kunci—Penetrasi, Fertlisasi, Perkembangan Embrio Ayam, Perkembangan Embrio Katak. LPENDAHULUAN ji ketertogenikan adalah uj ketokskan sustu obat yang diberian ‘tau digunakan selama masa organogenesis suatu hewan bunting. Uji ini digunakan untuk menentukan apakah suati obt dapst menyehabkan ‘elainan atau cacat bawaan pada di janin yang dikangung oleh bewan butting dan apdkah cacstterebut berkerdbat dengan doxis oat yang dliberikan, Dengan demikian uj keteratogrikan bermanfint sekal sebaga Jandsan evdunsé bates aman dan resko penggunean sus obxt oleh warts hamil, wtamana bekaitan dengan cat bawan janin yang dlkandhungnya. (Donats2005) Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan.Kelainan ini sudah diketahui selama beberapa dasawarsa dan ‘merupakan penyebab utama morbiditas serta mortilitas pada bayi yang baru lahir. Setelah pembuahan, sel telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, dan organogenesis. Embrio kemudian melewati suatu ‘metamorfosis dan _ periode petkembangan janin sebelum dilahirkan (Barile., 2008) Pada kenyataannya, kira-kira satu dari tiga kali keguguran embrio pada manusia, sering tanpa diketahui oleh si Ibu bahwa dia sedang hamil. Perkembangan abnormal tidak ‘mencelakakan embrio tetapi kelainan tersebut akan berakibat pada anak. Kelainanan perkembangan ada dua macam, yaitu: elainan genetik dan kelainan sejak lahir, Kelainan genetik dikarenakan titik mutasi atau penyimpangan kromosom dan akibat dati tidak ada atau tidak tepatnya produk genetik selama meiosis atau tahap perkembangan, Down syndrome hanyalah salah satu dari banyak kelainan genetik. Kelainan sejak lahir tidak divariskan melainkan akibat dari faktor ekstemal, disebut teratogen, yang mengganggu proses petkembangan yang normal. Pada manusia, sebenarnya banyak zat yang dapat dipindahkan dari sang ibu kepada eturunannya melalui plasenta, yaitu teratogen potensial Daftar dari teratogen yang diketaivui dan dicurigai meliputi vinus, termasuk tipe yang menyebabkan asus penyakit campak Jerman, alkohoi, dan beberapa obat, termasuk aspirin Faktor yang menyebabkan cacat ada dua kelompok, yaitu faktor genetis dan lingkungan, Faktor genetis terdiri dari 1, Mutasi, yakni perubahan pada susunan nukleotida (ADN). Mutasi menimbulkan alel cacat, yang mungkin dominan atau resesif. Abenasi, yakni perubahan pada sususnan kromosom. Contoh’ cacat_ Karena ini adalah berbagai_macam penyakit turunan sindroma. Faktor lingkungan terdiri atas 1, Infeksi, cacat dapat terjadi jika induk yang kena penyakit infeksi, terutama oleh virus. 2. Obnt, berbagai macam obat yang diminum iby waktu hhamil dapat menimbulkan cacat pada janinnya, 3. Radiasi, ‘bu. hamil yang diradiasi sinar-X , ada yang melahirkan bayi cacat pada otak. Mineral radioaktif tanah sekeliling berhubungan erat dengan lahir cacat bayi di daerah bersangkutan, Praktikum ini bertyjuan untuk memahami uj keteratogenikan suatu bahan,mengetahui bahan yang bersifat teratogenik dan mengetahui dampak teratogen terhadap perkembangan fetus. METODOLOGI A, Waktu dan Tempat Percobaan Praktikum Penetrasi, Fertlisasi, dan Perkembangan, Embrio ini dilakukan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada hari Selasa tanggal 11 November 2014 pukul 07:00-10:00 WB. B. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan pada praktikum ini adalah Bak (kandang), Kawat kassa, Jarum kanul, Botol kaca bermulut lebar, Dissecting set, Papan bedah, “Mikroskop, pipet, Mencit (Mus musculus) albino jantan dan betina virgin antara umur 2-3 bulan berjumlah 3 ekor, Alkohol, Gliserin, Alcohol-Induced Cell Death in the Embryo Susan M. Smita, Px.D. Exposure to alcohol during gestation can have profound consequences, but not all cells within the embryo are affected equally. Recent advances in molecular embryology have allowed an expioration of this variation. Much of this research has focused on the embryo's vulnerability to the facial malformations characteristic of fetal alcohol syndrome. Studies using mice and chicks show that alcohol exposure at specific stages of early embryo development results in significant death among the cells destined to give rise to facial structures (i.e., cranial neural crest cells). This type of cell death is through activation of the cell’s own “self-destruct” machinery (i-¢., apoptosis). Researchers have advanced several theories to explain how alcohol triggers apoptosis in the neural crest cells. These theories include deficiency in a type of vitamin A compound, retinoic acid; reduced levels of antioxidant compounds (i.e., free radical scavengers) that protect against damage from toxic oxygen molecules (i.¢., free radicals); and interference with the cell’s normal internal communication pathways. Key worps: congenital facial anomaly; fetal alcohol syndrome; prenatal alcohol exposure; cytolysis; gestation; teratogens; neural cell; temporal context; retinoic acid; free radicals; oxygen; cell signaling; animal model; literature review Icohol is capable of directly A iducing abnormalities during prenatal development that can lead to lifelong and profound disabili- ties (ie,, itis a teratogen'), In fact, prenatal exposure to alcohol—the most prevalent teratogen in Western society — is the most common known cause of ‘mental retardation and neurobehavioral deficits. By conservative estimates, 12 percent of all patients in long-term institutionalized care have fetal alcohol syndrome (FAS) (see Stratton et al. 1996 for an extensive discussion of FAS). Although the simplest prevention strategy is for women to avoid alcohol consumption when pregnant or planning to conceive, one-half of all pregnancies "For a definition ofthis and other technical terms used inthis article, see glossary, p. 295, ‘are unplanned. By the time these preg- nancies are confirmed, major embryonic events already have occurred. (For a brief overview of normal embryo de- velopment, see sidebar, p. 296-297.) Early diagnosis and intervention for children affected by prenatal alcohol exposure can reduce their risk for social difficulties later in life (e.g., problems with employment or trouble with the law resulting from impulsive behavior and lack of inhibition) (Streissguth et al, 1996), Identifying these children can be difficult, however. One useful FAS screening tool relies on the follow- ing trio of distinctive facial features that characterize prenatal alcohol exposure: small eye openings (i.e, short palpebral fissures), a thin upper lip, and a flattened or absent groove between the upper lip and nose (i.e, philtrum) (Astley and Clarren 1996), An excellent correlation exists between these structural malfor- ‘mations (i.e., dysmorphologies) and a history of prenatal alcohol exposure. Nevertheless, many children born to alcoholic mothers lack these facial defects, although the children do exhibit alcohol-related neurodevelopmental deficits, such as mental retardation, attention deficits, hyperactivity, im- pulsiveness, and poor judgmental skills To help define the risks associated with maternal alcohol use during pregnancy, researchers are seeking to understand the mechanisms of alcohol’s teratogenic effects on various tissues. Susan M. Sarr, Pi.D., is an associ- ate professor in the Department of ‘Nutritional Sciences at the University of Wisconsin —Madison, Vou. 21, No. 4, 1997 ‘The use of animal models to reproduce ‘many of the deficits seen in FAS allows investigators to study alcohol’s terato- genic effects in detail under controlled treatment conditions. In addition, recent findings in molecular embryology have greatly advanced scientific knowledge about the signals and agents that govern normal embryo development. Applying this knowledge can help elucidate how prenatal alcohol exposure results in birth defects. It also can clarify our under- standing of why certain physical defects are useful diagnostics for prenatal alco- hol exposure, and it places these deform- ities within the overall criteria that define whether a potentially affected person may qualify for support services. This article first reviews current understanding about the embryo’s vulnerability to facial malformations and the alcohol-induced cell death responsible for producing such deform: ities, The article then explores several theories on how alcohol triggers cell death in embryos and concludes with a discussion of possible future re- search directions. ALconoL-INpucED CELL DeATH ‘Many toxic substances (ie., toxicants), including alcohol, are specific in their actions and affect only a subset of cells within the embryo. The timing of expo- sure plays a role in the embryo's outcome as well: A given tissue’s susceptibility to disruption peaks during distinct timeframes of development (ie., critical sensitivity windows). Thus, a close examination of the target tissue’s devel- opmental history may reveal clues as to the toxicant’s mechanism and the basis for the tissue’s sensitivity. Such examination also may identify addi- tional, previously unsuspected targets. For example, because the face, limbs, urogenital tract, and central nervous system all use the same set of genes to direct their growth and development, it is not surprising that certain toxicants or genetic mutations will disrupt all of these tissues to some degree. ‘The concept of critical sensitivity windows is useful in examining how alcohol produces its teratogenic effects. Certain embryonic tissues, such as those of the face, heart, and urogenital tract, appear to be particularly sensitive to alcohol-induced malformations during the processes that establish location, growth, and three-dimensional shape as the tissues develop from their primitive origins. In humans, many of these early developmental events occur during a time when a woman may be unaware of her pregnancy, 3 to 6 weeks after Narrow forehead: Short palpebral fissures ‘Small nose ‘Small mictace. Long upper lip with J deficient (iat) phittrum fertilization. For example, alcohol is most likely to cause heart defects during the time when cellular signals are directing the heart's division into its various chambers and great vessels, starting 4 weeks after fertilization. In work that was critical in drawing attention to alcohols early effects on the embryo, Sulik and colleagues (1981) used a mouse model developed by Webster and colleagues (1980) to convincingly demonstrate that alcohol targets early events in organ formation. Using an experimental protocol that involved exposing mouse embryos to alcohol during a specific period of gestation (corresponding to the third ‘week of human pregnancy)” the research- ers produced facial malformations consistent with the visible characteris- tics of FAS in people (ie., a narrow forehead, short palpebral fissures, a small nose and midface, and a long upper lip with a deficient philtrum), as shown in figure 1. The peak maternal blood alcohol concentration (BAC) in the mice used in this research ranged from 0.2 to 0.5 percent; the lower ‘Protocols with alcohol exposure during other specific periods of gestation produced malfor- ‘mations in different body systems (eg, the ‘heart and limbs), as predicted by the critical ‘windows hypothesis. Figure 1 Similarities of facial defects found in (A) humans and (B) mice exposed prenatally to alcohol. Panel C shows a control ‘mouse fetus not exposed to alcohol. (Photograph courtesy of Kathy K. Sulik) ALCOHOL HEALTH & RESEARCH WoRLD Cell Death in the Embryo BAC levels, in particular, are achiev- able in alcoholics. The fact that alcohol causes similar facial defects in people and rodents implies that alcohol probably affects embryonic events common to both species. Closer examination of alcohol- exposed mouse embryos revealed significant cell death within specific groups (i., populations) of cells, in- cluding the primitive neural and facial tissues. In particular, cell death was observed in a group of cells called the neural crest (see figure 2 for similar cell death in chick embryos) (e.g., Sulik et al. 1988). Rats exposed to alcohol during late ‘gestation or soon after birth experienced a similar death of cells within specific brain regions. The restriction of alcohol- induced cell death to selected brain regions supports the concept that alcohol affects specific target tissues. Moreover, the causative relationship between alcohol and cell death is reinforced by the fact that several alcohol-affected embryonic tissues later result in body structures that exhibit malformations consistent with underdevelopment. In addition to the characteristic facial de- fects seen in FAS, these malformations. can include exencephaly, a condition in which the brain is exposed or extrudes. from a skull defect; spina bifida, a congenital defect in which part of the spinal cord is exposed through a gap in the backbone; absence of the corpus callosum, a brain structure that helps link the two brain hemispheres (i.e., failure of the corpus callosum to develop); and motor neuron losses in the spinal cord. Type of Cell Death Both chronic and acute aleohol expo- sures can lead to cell death in the mature liver, brain, and certain white blood cells (ie. lymphocytes), as observed in animal models and cell culture sys- tems. In turn, such aberrant cell death ‘might contribute to characteristic tissue diseases associated with repeated alcohol exposure (e.g, liver cirrhosis or immune suppression). Although some of this cell death involves necrosis, much of itis, consistent with the elicitation of another type of cell death called apoptosis, in A. Normal embryo B. Alcohol-exposed embryo ee . Be omme sp ee ( ¥ Primitive a : spinal column, Figure 2 Neural crest cell death in the chick embryo, Panel A shows a normal ‘embryo after 48 hours of incubation (corresponding to 22 to 25 days of human gestation), when the dark-stained neural crest cells (see arrows) ‘migrate from the primitive brain toward regions of facial development. Panel B shows a 48-hour embryo that was exposed to alcohol ata critical developmental time (i.e., a 18 to 36 hours of incubation). The diffuse, \eblike staining (see arrows) in the alcohol-exposed embryo indicates the presence of fewer neural crest cells compared with the many neural crest calls indicated by the denser staining in the control embryo. which the cell “programs” its own destruction. (For a discussion of the potential contribution of apoptosis to alcoholic liver disease, see the article by Nanji and Hiller-Sturmhotel, pp. 325-330.) Necrosis and apoptosis differ in several crucial ways. Necrosis occurs when cell metabolism ceases, leading to membrane disintegration and rupturing of the cell’s contents. In contrast, apop- tosis depends on activation of the cell's, ‘own internal cell-death machinery (White 1996). Apoptotic cells maintain their metabolism and membrane integ- rity but are characterized by damage to cellular repair systems, DNA fragmen- tation, and cellular breakdown into ‘membrane-enclosed, metabolically active cell fragments (1. “blebs”. These distinctive characteristics are the basis, for assays that differentiate apoptotic from necrotic cell death. Most cells contain apoptotic machinery but keep it checked with a series of regulatory suppressive proteins. A variety of signals may initiate apoptosis, however, including a loss of cell division con- trols (e.g., during the change from a normal to a precancerous cell); altered signaling from cell mediators that stimulate proliferation, differentiation, or cell survival (ie., growth factors); changes in cell attachment to various tissue surfaces; and activation of spe~ cific proteins that trigger cell death (i.e., “death domain” proteins). Some apoptosis is a natural part of development. In adults, for example, apoptosis is often a desirable process used to remove damaged or mutated cells (e.g., cells in tumors) that have escaped from the normal constraints on their growth. In embryos and fetuses, apoptosis shapes and remodels devel- oping tissues by removing unwanted Vou. 21, No. 4, 1997 289

You might also like