You are on page 1of 15

Thalassemia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penetapan diagnosis suatu penyakit merupakan hal penting dalam proses pelayanan medis di
mana pasien datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan yang ia rasakan. Diagnosis sangat
diperlukan untuk melakukan proses selanjutnya setelah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan-pemeriksaan, seperti terapi atau penatalaksanaan pada pasien. Adanya kesalahan
dalam penetapan diagnosis dapat mengakibatkan terjadinya ketidaksembuhan atau tidak
adanya perbaikan pada pasien setelah dilakukan terapi atau bahkan dapat mengakibatkan
keadaan patologis lainnya.
Anemia merupakan keadaan patologis yang sering terjadi di Indonesia dengan angka prevalensi
pada anak balita 30-40% (WHO, 1989). Pada pasien kelainan hematologis terutama balita yang
sedang dalam masa pertumbuhan seperti anemia, dokter perlu memahami tanda dan gejala
klinis khas jenis-jenis anemia dengan memperhatikan segala aspek sehingga dapat mengetahui
diagnosis jenis anemia tertentu pada pasien. Untuk melakukan diagnosis pada pasien anemia
memang tidak mudah terutama apabila ingin mengetahui lebih jelas jenis anemia yang diderita
pasien dan membutuhkan pengalaman untuk melakukan hal tersebut. Dalam rangka
pengenalan masalah klinis secara dini dan belajar terintegrasi melalui skenario penulis dituntut
untuk dapat memecahkan dan mendiagnosis masalah yang terjadi pada pasien pada skenario
dalam tutorial.
Pada skenario 2 terdapat seorang anak laki-laki 2 tahun diantar orang tuanya ke tempat praktik
dokter umum dengan keluhan utama lemas. Hasil anamnesis (heteroanamnesis) didapatkan:
- anak lemas, pucat, dan mudah capek sejak 6 bulan lalu,
- sudah dua kali periksa ke puskesmas dengan mendapatkan obat penambah darah tetapi tidak
membaik,
- anak sering panas, batuk pilek selama 6 bulan terakhir (sebulan bisa 2 kali sakit),
- pasien anak pertama, ibu sedang hamil anak kedua 2 bulan dan berasala dari keluarga social
ekonomi kurang,
- sepupu pasien mengalami penyakit yang sama dan sering mendapatkan transfusi darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: anak tampak kurus (BB 10 kg, TB 75 cm), anemis, lemas,
takikardia (120 kali/menit), respirasi 24 kali/menit, suhu 38,00C, tonsil membesar dan
kemerahan, faring kemerahan, splenomegali sebesar 1 shuffner, hepatomegali sebesar 2 ibu
jari di bawah arcus costarum. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: Hb 4,8 g/dl, AL
15.200/µl, AT 480.000/µl, dan Hct 14,6 %.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis berusaha untuk menetapkan diagnosis atau diagnosis
banding pada pasien dengan dukungan data yang ada pada skenario dan melakukan terapi
serta pencegahan setelah didapatkan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien. Diharapkan
penulis dan pembaca dapat mengetahui dan melakukan penetapan diagnosis atau diagnosis
banding melalui masalah skenario di atas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab dan bagaimana proses terjadinya tanda dan gejala klinis pada pasien?
2. Apakah penyebab utama pada manifestasi klinis pasien tersebut disebabkan oleh adanya
kelainan dalam produksi hemoglobin?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien?
4. Apakah pasien ini mengalami thalassemia yang disertai infeksi dikarenakan hemoglobinopati
pada anemia hemolitik?
5. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada pasien?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui patofisiologi tanda dan gejala klinis pasien.
2. Dapat menetapkan penyebab utama manifestasi klinis pasien yang disebabkan oleh adanya
kelainan produksi hemoglobin.
3. Dapat menganalisis hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada pasien kelainan
hematologi.
4. Mampu melakukan penetapan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien.
5. Mampu memberikan terapi atau penatalaksanaans dan pencegahan pada pasien.

D. Hipotesis
1. Anak atau pasien tersebut memderita anemia dikarenakan adanya gejala anemis, pucat,
lemas, dan penurunan kadar hemoglobin.
2. Pasien tersebut menderita infeksi dikarenakan adanya panas (suhu 38,00C), batuk pilek,
tonsil membesar dan kemerahan, dan faring kemerahan.
3. Hepatosplenomegali pada pasien dapat disebabkan oleh kerja kedua organ dalam destruksi
eritrosit dan metabolisme secara berlebihan dalam melawan infeksi untuk mencapai
homeostatis, di mana destruksi eritrosit tersebut disebabkan oleh adanya kelainan produksi
hemoglobin.
4. Pasien kemungkinan menderita thalassemia yang disertai infeksi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu protein tetramer (protein yang terdiri dari 4 rantai polipeptida). Pada
manusia dewasa hemoglobin utama disebut Hb A, yang terdiri dari dua rantai α dan dua rantai
β (α2β2) (Slamet Suyono, 2001). Selain Hb A pada manusia dewasa terdapat hemoglobin
pendamping (minor) yang disebut Hb A2 (α2δ2). Pada bayi (neonatus) dan janin (embrio)
terdapat bentuk hemoglobin lain yaitu: Hb F (alfa2 gamma2) (Slamet Suyono, 2001) dan
hemoglobin embrional : Hb Gowers 1 (zeta2 epsilon2), Hb Gowers 2 (alfa2 epsilon2), dan Hb
Portland (zeta2 gamma2). Kadar Hb normal dewasa yaitu:
Hb A : 96-98 %
Hb A2 : 1,5 – 3,2 %
Hb F : 0,5 – 0,8 % (A.V. Hoffbrand, et al., 2005)
Pada tahap perkembangan hemoglobin manusia dimulai dengan pembentukan Hb Gowers 1
kemudian pembentukan Hb Gowers 2 yang bekerja sama dengan Hb Portland dalam masa
transisi menuju Hb F (Tanya Desi DP-nya…). Pada saatnya adanya pergantian pembentukan
rantai gamma pada Hb F oleh rantai alfa globin sehingga terbentuk Hb A. (Tanya juga ke Desi,
kok bisa lupa nanya seh??) Perubahan utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa
terjadi 3-6 bulan setelah kelahiran (A.V. Hoffbrand,et al., 2005). Terjadi penurunan kadar Hb F
mulai bayi berumur 20 minggu post partum (setelah kelahiran). Pada manusia dewasa normal
Hb F masih ditemukan walaupun dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 1%). Hemoglobin
embrional hanya bertahan sampai umur janin 10 minggu saja (Slamet Suyono, 2001). Di
samping hemoglobin normal ditemukan pula hemoglobin abnormal yaitu Hb H (β4) dan Hb
Bart’s (γ4) yang ditemukan pada thalassemia α serta merupakan tanda khas dari penyakit ini.
Pembentukan atau sintesis hemoglobin terjadi dalam sel-sel pendahulu eritrosit. Molekul
hemoglobin terdiri dari 4 senyawa hem identik dengan masing-masing mengandung cincin
protoporfirin dan besi yang terikat dengan 2 rantai globin. Jadi, semua molekul hemoglobin
mengandung 4 pasang hem + globin dengan berat molekul total sekitar 68.000 (D.N. Baron,
1990).
Dikarenakan hemoglobin terdiri dari dua unsur yaitu hem dan globin maka sintesis hemoglobin
terdiri dari sintesis hem dan sintesis globin. Sintesis hem merupakan suatu rangkaian reaksi
biokimia yang terjadi dalam mitokondria. Sintesis hem ini dimulai dari adanya kondensasi
antara suksinil koenzim A (suksinat) dengan asam amino glisin membentuk asam α-amino β-
ketoadipat dan kemudian menjadi asam δ-levulinat (ALA= δ-amino laevulinic acid) yang
dipengaruhi oleh kerja enzim ALA sintetase yang juga merupakan enzim yang mengatur
kecepatan bagi keseluruhan sintesis hemoglobin (D.N. Baron, 1990; A.V. Hoffbrand, 2005). Dan
juga dipengaruhi oleh piridoksal fosfat (vitamin B6) sebagai koenzim yang dirangsang oleh
eritropoetin (A.V. Hoffbrand, 2005). Dua molekul ALA berkondensasi menjadi satu molekul
porfobilinogen, monopirol pengganti, dan empat molekul porfobilinogen berkondensasi
(menggunakan uroporfirinogen I sintetase dan uroporfirinogen III kosintetase untuk
membentuk komponen isomer tetrapirol (porfirin) siklik, uroporfirinogen seri I dan III.
Uroporfirinogen I merupakan precursor porfirin lain, tetapi tidak berperan lebih lanjut dalam
sintesis hem. Uroporfirinogen III merupakan precursor seri porfirin III dan dikonversikan
menjadi koproporfirinogen III serta kemudian melalui protoporfirinogen menjadi
protoporfirinogen IX yang mengikat besi dalam bentuk ferro (Fe 2+) untuk membentuk hem
(D.N Baron, 1990). Hem menghambat ALA sintetase dan ini merupakan control umpan balik
atas sintesis porfirin serta hemoglobin.

Suksinil ko-A Glisin

asam α-amino β-ketoadipat

asam δ-levulinat (ALA)

Porfobilinogen

Uroporfirin III Uroporfirinogen III Uroprofirinogen I Uroporfirin I


Koproporfirin III Koproporfirinogen III Koproporfirinogen I Koproporfirin I

Protoporfirin IX
Besi
Hem

Gb. Sintesis Hem pada Hemoglobin

Sintesis rantai globin terjadi di dalam ribosom sitoplasma yang dipengaruhi oleh gen-gen
penentu rantai globin dengan susunan asam amino. Sintesis globin ini dikendalikan oleh gen
yang mengatur susunan asam amino dan gen yang mengatur kecepatan sintesis rantai globin
(Yuwono A, 2007). Rantai polipeptida alfa terdiri atas 141 asam amino dan rantai beta, delta,
dan gamma terdiri dari 146 asam amino (Pantjita, 1997). Rantai globin dapat dibagi menjadi
dua kelompok:
1. Kelompok α (Alpha like) terdiri dari rantai alfa dan rantai zeta.
2. Kelompok β (Beta like) terdiri dari rantai beta, gamma, delta, dan epsilon.
Kedua kelompok tersebut ditentukan oleh kelompok gen (gene cluster) yang terletak pada
kromosom yang berbeda, yaitu masing-masing pada kromosom nomor 16 untuk kelompok α
dan kromosom nomor 11 untuk kelompok β. Kelompok gen α pada kromosom 16 mengandung
dua gen zeta (diantaranya pseudogen) dan tiga gen alfa (satu diantaranya pseudogen).
Pseudogen adalah gen strukturnya mirip sekali dengan gen “asli” tetapi tidak menghasilkan
protein fungsional dan ditandai dengan awalan psi (ψ).
Urutan gen pada kromosom 16 (5’-3’) adalah:
Zeta - psi zeta - psi alfa1 - alfa1 - alfa2
Sedangkan urutan gen pada kromosom 11 adalah:
Epsilon – Gamma - A gamma - psi beta – delta – beta (Purnomo S, 2000).
Setelah sintesis hem dan sintesis globin selesai, maka kedua unsure tersebut akan berikatan
membentuk hemoglobin.
Secara fungsional eritrosit berfungsi mengikat dan membawa O2 ke jaringan dan
mengembalikan CO2 dari jaringan ke paru-paru. Oksigen dalam tubuh ada 2 bentuk, yaitu:
oksigen fisik yang terlarut dalam darah dan oksigen terikat secara kimia oleh hemoglobin.
Dikarenakan kelarutan okasigen dipengarugi oleh tekanan parsial O2 dan suhu, dimana hal itu
merupakan factor yang sangat berubah-ubah sehingga untuk memenuhi kebutuhan O2 dalam
jumlah besar dibutuhkan mekanisme lain yaitu aksigen terikat secara kimia. Hal ini dilakukan
oleh hemoglobin dimana terjadi ikatan antara oksigen dengan hemoglobin sebagai
oksihemoglobin. Pengikatan O2 oleh hemoglobin khususnya dilakukan oleh besi (Mohamad
Sadikin, 2001).
Hemoglobin terdiri dari hemoglobin normal dan hemoglobin patologis. Hemoglobin normal
diantaranya, yaitu: Hb A (hemoglobin normal dewasa, terdiri 2 rantai alfa dan 2 rantai beta), Hb
A2 (hemoglobin normal dewasa, terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai delta), Hb F (Hb normal
pada janin, terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma), Hb Gowers (Hb normal pada awal
khidupan embrio dan hilang sebelum lahir), Hb Portland (Hb normal pada janin akhir trimester
pertama) (Newman Dorland, 2005). Hemoglobin patologis merupakan akibat dari adanya
kelainan produksi hemoglobin. Hemoglobin tersebut yaitu:
- Hb H : hemoglobin tetramer beta (β) yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
- Hb Bart’s : hemoglobin tetramer gamma (γ) yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
- Hb A1c : hemoglobin A terglikasi, terdapat satu heksosa pada terminal N rantai β, konsentrasi
meninggi pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik.
- Hb anti-Lepore : hemoglobin crossover abnormal yang sama dengan Hb Lepore tetapi rantai
non-α bergabung dengan konfigurasi yang berlawanan dengan Hb Lepore (rantai β pada
terminal N dan rantai δ pada terminal C).
- Hb Lepore : Hb crossover abnormal dengan rantai α normal dan dua rantai globin yang
memiliki bagian rantai δ pada terminal N dan rantai α pada terminal C.
- Hb C : hemoglobin abnormal dimana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi enam
rantai β.
- Hb D : hemoglobin abnormal yang ditandai oleh mobilitas elektroforetik yang sama dengan Hb
S pada kertas atau selulosa asetat.
- Hb E : hemoglobin abnormal di mana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi 26 rantai
β.
- Hb S : hemoglobin abnormal di mana valin menggantikan asam glutamate pada posisi enam
rantai β. Keadaan homozigot mengakibatkan anemia sickle cell dan heterozigot asimptomatik
disebut sickle cell trait. (Newman Dorland, 2005)

B. Pembentukan, Maturasi, dan Destruksi Eritrosit


Eritropoesis merupakan proses pembuatan eritrosit. Pada janin dan bayi baru lahir proses ini
berlangsung dalam limpa dan sumsum tulang, tetapi pada individu yang lebih tua hanya
terbatas pada sumsum tulang, seperti: vertebra, tulang iga, sternum, tulang tengkorak, sacrum,
pelvis, ujung proksimal femur (A.V. Hoffbrand, et al., 2005).
Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari rangkaian sel darah merah adalah
proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai maka dari sel-sel stem CFU-E (Colony Forming
Unit-Erytroid) dapat dibentuk banyak sekali proeritroblas. Sekali proeritroblas ini terbentuk
maka ia akan membelah beberapa kali sampai akhirnya akan terbentuk banyak sel darah merah
yang matur. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil eritroblas. Pada generasi berikutnya, sel
sudah dipenuhi oleh hemoglobin dengan konsentrasi sekitar 34% (polikromatofil eritroblast),
maka nukleus memadat menjadi kecil, dan sisa akhirnya terdorong dari sel (ortokromatik
eritroblast). Pada saat yang sama, retikulum endoplasma direabsorbsi. Pada tahap ini, sel
disebut retikulosit karena masih mengandung sedikit bahan basofilik, yaitu terdiri dari sisa-sisa
aparatus Golgi, mitokondria, dan sedikit organel sitoplasmik lainnya. Selama tahap retikulosit,
sel-sel berjalan dari sumsum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara diapedesis
(terperas melalui pori-pori membran kapiler).
Bahan basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan menghilang dalam waktu 1
sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit matur. Karena waktu hidup eritrosit ini
pendek, maka konsentrasinya diantara seluruh sel darah merah dalam keadaan normal < 1 %
(A.C. Guyton dan John E. Hall, 1997).
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi eritropoiesis antara lain: sel induk: CFUE, BFUE,
dan normoblast (eritroblast), bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin B12, asam folat, protein,
dll, serta mekanisme regulasi seperti faktor pertumbuhan hemopoietik dan hormon
eritropoietin (I Made Bakta, 2006).
Maturasi atau pematangan akhir eritrosit dipengaruhi oleh vitamin B12 (sianokobalamin) dan
asam folat. Kedua unsur tersebut penting untuk sintesis DNA, karena sianokobalamin dan asma
folat tersebut dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat, yaitu salah satu blok
pembangun penting dari DNA. Oleh karena itu, kurangnya sianokobalamin atau asam folat
dapat menyebabkan penurunan DNA sehingga dapat terjadi kegagalan pematangan dan
pembelahan inti. Sel-sel eritroblastik pada sumsum tulang akan gagal berproliferasi secara
cepat sehingga mengakibatkan ukuran sel lebih besar dari normal (A.C. Guyton dan John E.
Hall,1997).
Masa hidup eritrosit pada umumnya selama 120 hari. Sebagian besar eritrosit mengakhiri
hidupnya di limpa dikarenakan jaringan kapiler organ ini sempit sehingga sel menjadi rapuh dan
pengeluaran eritrosit usang pada hati oleh mekanisme makrofag (Laurelle Sherwood, 2001).
Dalam limpa, sebelum eritrosit masuk ke dalam sinus limpa, eritrosit harus melewati bagian
pulpa limpa akan diperas sehingga sel-sel eritrosit tersebut akan rapuh karena trauma tersebut
(A.C. Guyton dan John E. Hall, 1997). Proses destruksi eritrosit terjadi secara normal setelah
masa hidup eritrosit habis (sekitar 120 hari). Proses ini terjadi melalui mekanisme yang terdiri
dari:
1. Fragmentasi
Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa bagian membrane eritrosit
sehingga menyebabkan isi sel keluar termasuk hemoglobin.
2. Lisis Osmotik
Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya kecenderungan mendorong air dan
Na dari daerah konsentrasi tinggi di interstisium ke daerah dengan konsentrasi air rendah di
plasma (atau konsentrasi protein plasma lebih tinggi). Sehingga protein plasma dapat dianggap
“menarik air” ke dalam plasma. Hal ini dapat mengakibat lisis eritrosit yang disebabkan efek
osmotik.
3. Eritrofagositosis
Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang dilakukan oleh monosit, neutrofil,
makrofag. Fagositosis eritrosit ini terutama terjadi pada eritrosit yang dilapisi antibody.
Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator adanya AutoImun Hemolitic Anemia (AIHA).
4. Sitolisis
Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8, C9). Sitolisis ini meruapakan
indikator Peroxysimal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH).
5. Denaturasi Hemoglobin
Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk Heinz bodies. Eritrosit dengan
Heinz bodies akan cepat didestruksi oleh limpa. Heinz bodies melekat pada membran
permeabilitas membesar sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga.

Destruksi Eritrosit
Eritrosit

Globin Heme
Asam amino Fe CO Protoporfirin

Pool protein Pool Besi Bilirubin indirek

Disimpan/ digunakan lagi


Hati (glukuronida)
Bilirubin direk
EMPEDU

Feses: Urine: Sterkobilinogen Urobilinogen

Gb. Destruksi Eritrosit (diambil dari I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas, Jakarta:EGC, 2006)
Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence, sedangkan destruksi
patologis disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dapat juga terjadi
ekstravaskuler, terutama dalam sistem RES (reticuloendotelial system) yaitu lien (limpa) dan
hati.
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya komponen-komponen
hemoglobin menjadi :
1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai
kembali.
2. Komponen heme akan pecah menjadi 2 :
a. Besi : yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai kembali.
b. Bilirubin : yang akan diekskresikan melalui hati dan empedu. (I Made Bakta, 2006)

C. Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis adalah
pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-rata
eritrosit yaitu 120 hari) sehingga menyebabkan terjadinya pelepasan hemoglobin dan isi sel
lainnya dari eritrosit. Hemolisis ini menyebabkan terjadinya kerusakan eritrosit lebih cepat dari
kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Proses hemolisis ini akan menimbulkan
penuruanan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia, peningkatan pemecahan
eritrosit dalam tubuh, dan kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan eritropoesis (I
Made Bakta, 2006). Anemia ini dapat disebabkan oleh adanya defek molekuler
(hemoglobinopati atau enzimopati), abnormalitas struktur dan fungsi-fungsi membran, dan
faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi (Ikhwan Rinaldi; Aru W.S., 2006).

Secara etiologi, anemia hemolitik dikelompokkan menjadi:


1. Anemia hemolitik herediter
a) Defek enzim/Enzimopati
- Defek jalur Embden Meyerhof (defisiensi piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase,
fosfogliserat kinase)
- Defek jalur heksosa monofosfat (defisiensi G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase, defisiensi
glutation reduktase)
b) Hemoglobinopati
- Thalassemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain seperti heterozigot ganda (thalassemia-Hb E)
c) Defek membran (membranopati) : Sferositosis herediter, eliptositosis herediter,
stomatositosis herediter.
2. Anemia Hemolitik Didapat
a) Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun,
infeksi, transfuse.
b) Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom Uremik
Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)/Disseminated Intravascular
Coagulation/DIC, preeclampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.
d) Infeksi, misalnya :infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium.
(I Made Bakta, 2006; Ikhwan R, Aru W.S., 2006)

D. Hemoglobinopati

Hemoglobinopati merupakan kelainan hematologis yang disebabkan oleh adanya abnormalitas


hemoglobin yang diturunkan maupun didapat akibat kelainan produksi hemoglobin. Kelainan
produksi ini dapat disebabkan oleh kelainan gen yang mengatur susunan asam amino seperti
pada anemia sel sabit, Hb S disease, Hb C, Hb E, dll. dan kelainan gen yang mengatur kecepatan
produksi hemoglobin khususnya rantai globin seperti pada thalassemia. Hemoglobinopati
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Hemoglobinopati structural (kelainan struktur asam amino pada rantai globin)
- Hb S, Hb C, Hb D, Hb E, anemia sel sabit
2. Sindrom thalassemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta)
(I Made Bakta, 2006)

E. Thalassemia
Thalassemia merupakan suatu sindrom anemia hemolitik herediter resesif dimana produksi
satu atau lebih dari rantai polipeptida terganggu yang menyebabkan keabnormalan bentuk
molekul hemoglobin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal (kuantitatif).
Thalassemia dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Thalassemia-α (gangguan pembentukan rantai α)


Sindrom thalassemia-α disebabkan oleh delesi pada gen α globin pada kromosom 16 (terdapat
2 gen α globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi seperti gangguan mRNA pada
penyambungan gen yang menyebabkan rantai menjadi lebih panjang dari kondisi normal.
Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
- Delesi pada satu rantai α (Silent Carrier/ α-Thalassemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin α sedangkan tiga lokus globin yang ada masih bisa
menjalankan fungsi normal sehingga tidak terlihat gejala-gejala bila ia terkena thalassemia.
- Delesi pada dua rantai α (α-Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH dan terjadi
manifestasi klinis ringan seperti anemia kronis yang ringan dengan eritrosit hipokromik
mikrositer dan MCV 60-75 fl.
- Delesi pada tiga rantai α (HbH disease)
Delesi pada tiga rantai α ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang disertai anemia
hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz bodies, dan retikulositosis. HbH terbentuk
dalam jumlah banyak karena tidak terbentuknya rantai α sehingga rantai β tidak memiliki
pasangan dan kemudian membentuk tetramer dari rantai β sendiri (β4). Dengan banyak
terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah
eritrosit dapat dihancurkan. Penderita dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang
(Hb 8-10 g/dl) dan MCV 60-70 fl.
- Delesi pada empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi pada empat rantai α ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak
Hb Barts (γ4) yang disebabkan juga karena tidak terbentuknya rantai α sehingga rantai γ
membentuk tetramer sendiri menjadi γ4. Manifestasi klinis dapat berupa ikterus,
hepatosplenomegali, dan janin yang sangat anemis. Kadar Hb hanya 6 g/dl dan pada
elektroforesis Hb menunjukkan 80-90% Hb Barts, sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF.
Biasanya bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah kelahirannya.

2. Thalassemia-β (gangguan pembentukan rantai β)


Thalassemia-β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi pendek kromosom 11.
- Thalassemia βo
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai β sehingga tidak dihasilkan rantai
β yang berfungsi dalam pembentukan HbA. Bayi baru lahir dengan thalasemia β mayor tidak
anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun
pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir.
Bila penyakit ini tidak segera ditangani dengan baik, tumbuh kembang anak akan terhambat.
Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan demam berulang akibat infeksi.
(Kapita selekta kedokteran)
- Thalassemia β+
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal dan fungsional namun hanya sedikit
sehingga rantai β dapat dihasilkan dan HbA dapat dibentuk walaupun hanya sedikit.
Sedangkan secara klinis thalassemia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a). Thalasemia Mayor
Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat thalassemia. Gejala penyakit
muncul sejak awal masa kanak-kanak dan biasanya penderita hanya bertahan hingga umur
sekitar 2 tahun. Penderita memerlukan transfusi darah seumur hidupnya.
b). Thalasemia minor/trait
Gejala yang muncul pada penderita Thalasemia minor bersifat ringan, biasanya hanya sebagai
pembawa sifat. Istilah Thalasemia trait digunakan untuk orang normal namun dapat
mewariskan gen thalassemia pada anak-anaknya.

PATOFISIOLOGIS DAN PATOGENESIS


Patogenesis thalassemia secara umum dimulai dengan adanya mutasi yang menyebabkan HbF
tidak dapat berubah menjadi HbA, adanya ineffective eritropoiesis, dan anemia hemolitik.
Tingginya kadar HbF yang memiliki afinitas O2 yang tinggi tidak dapat melepaskan O2 ke dalam
jaringan, sehingga jaringan mengalami hipoksia. Tingginya kadar rantai α-globin, menyebabkan
rantai tersebut membentuk suatu himpunan yang tak larut dan mengendap di dalam eritrosit.
Hal tersebut merusak selaput sel, mengurangi kelenturannya, dan menyebabkan sel darah
merah yang peka terhadap fagositosis melalui system fagosit mononuclear. Tidak hanya
eritrosit, tetapi juga sebagian besar eritroblas dalam sumsum dirusak, akibat terdapatnya
inklusi (eritropioesis tak efektif). Eritropoiesis tak efektif dapat menyebabkan adanya
hepatospleinomegali, karena eritrosit pecah dalam waktu yang sangat singkat dan harus
digantikan oleh eritrosit yang baru (dimana waktunya lebih lama), sehingga tempat
pembentukan eritrosit (pada tulang-tulang pipa, hati dan limfe) harus bekerja lebih keras. Hal
tersebut menyebabkan adanya pembengkakan pada tulang (dapat menimbulkan kerapuhan),
hati, dan limfe.
a. Thalasemia-α
Pada homozigot thalassemia α yaitu hydrop fetalis, rantai α sama sekali tidak diproduksi
sehingga terjadi peningkatan Hb Bart’s dan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb-nya cukup,
karena hampir semua merupakan Hb Bart’s, fetus tersebut sangat hipoksik. Sebagian besar
pasien lahir mati dengan tanda-tanda hipoksia intrauterin.
Sedangkan pada thalassemia heterozigot yaitu αo dan α+ menghasilkan ketidakseimbangan
jumlah rantai tetapi pasiennya mampu bertahan dengan penyakit HbH. Kelainan ini ditandai
dengan adanya anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.
b. Thalasemia-β
Tidak dihasilkannya rantai β karena mutasi kedua alel β globin pada thalassemia β
menyebabkan kelebihan rantai α. Rantai α tersebut tidak dapat membentuk tetramer sehingga
kadar HbA menjadi turun, sedangkan produksi HbA2 dan HbF tidak terganggu karena tidak
membutuhkan rantai β dan justru sebaliknya memproduksi lebih banyak lagi sebagai usaha
kompensasi. Kelebihan rantai α tersebut akhirnya mengendap pada prekursor eritrosit. Eritrosit
yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies/heinz bodies yang menyebabkan
pengrusakan di lien dan oksidasi membran sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi
hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada thalassemia β
disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit.
Pada hapusan darah, eritrosit terlihat hipokromik, mikrositik, anisositosis, RBC terfragmentasi,
polikromasia, RBC bernukleus, dan kadang-kadang leukosit imatur.

GEJALA KLINIS
a. Thalassemia Mayor
- Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen tidak terpenuhi yang
disebabkan hemoglobin pada thalasemia (HbF) memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen
- Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena hiperplasia sumsum hebat
- Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel darah merah berlebihan,
hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan beban besi.
- Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis, dan trabekula
kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak besar kadang-kandang terlihat
brush appereance.
- Hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan keterlambatan menarse dan
gangguan perkembangan sifat seks sekunder. Selain itu juga menyebabkan diabetes, sirosis
hati, aritmia jantung, gagal jatung, dan perikarditis.
b. Thalassemia Minor
Penderita yang menderita thalasemia minor, hanya sebagai carrier dan hanya menunjukkan
gejala-gejala yang ringan.

BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Patofisiologi Gejala Klinis Pasien

Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala umum anemia yaitu: anemis, pucat, mudah
capek, dan adanya penurunan kadar hemoglobin. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsional
hemoglobin dalam menyuplai atau membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh yang
digunakan untuk oksidasi sel. Sehingga oksigenasi ke jaringan berkurang. Selain sebagai
pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai pigmen merah eritrosit sehingga apabila terjadi
penurunan kadar hemoglobin ke jaringan maka jaringan tersebut menjadi pucat. Penurunan
fungsional hemoglobin tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan pembentukan
hemoglobin, penurunan besi sebagai pengikat oksigen dalam hemoglobin. Kompensasi tubuh
agar suplai oksigen ke jaringan tetap terjaga maka jantung sebagai pemompa darah berdenyut
lebih keras dan sering yang disebut sebagai takikardia di mana hal ini juga terjadi pada anak
tersebut (denyut nadi 120 kali/menit, normal 60-100 kali.menit). Tetapi frekuensi respirasi
pasien dalam tahap normal 24 kali/menit (normal 16-24 kali/menit). Lemas dan mudah capek
disebabkan oleh karena suplai oksigen ke jaringan untuk oksidasi sel sebagai proses penghasil
energy berkurang. Pasien mengalami penurunan kadar hemoglobin (4,8 g/dl) di mana nilai
rujukan normal untuk anak-anak sebesar 10-16 g/dl (Sutedjo, 2007). Penurunan ini dapat
disebabkan oleh adanya kelainan produksi/pembentukan hemoglobin berupa kelainan susunan
asam amino dan kelainan kecepatan sintesis hemoglobin. Kelainan dua hal tersebut dapat
dikategorikan adanya hemoglobinopati. Kelainan pembentukan hemoglobin tersebut dapat
mengakibatkan adanya morfologi eritrosit abnormal (mikrositik, Heinz bodies, sel target)
sehingga dengan cepat akan didestruksi oleh limpa dan hati. Peristiwa destruksi eritrosit secara
cepat kurang dari masa hidupnya (120 hari) disebut sebagai hemolisis.
Adanya hepatomegali dan splenomegali merupakan salah satu tanda dari anemia hemolitik di
mana disertai adanya penurunan kadar hemoglobin. Pada pasien ditemukan splenomegali
sebesar 1 shuffner (satuan splenomegali yang diukur dengan membuat garis diagonal antara
arcus costarum dengan crista illiaca melewati umbulicus, lalu dari garis tersebut dibagi menjadi
delapan bagian. Satu bagian dinamakan satu shuffner). Splen atau limpa secara normal
bertugas menghancurkan eritrosit tua maupun abnormal sehingga dapat melepaskan
hemoglobin yang akan dimetabolisme menjadi biliribun di hati/hepar, menjadi reservoir
cadangan eritrosit, sintesis limfosit dan sel plasma dalam system imun, dan membentuk
eritrosit baru saat masa janin dan bayi baru lahir. Adanya hemolisis menyebabkan proses
perombakan eritrosit secara cepat. Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati
dengan bantuan makrofag sehingga semakin banyak eritrosit abnormal maka kerja limpa akan
semakin berat. Hal inilah yang menyebabkan adanya splenomegali. Selain destruksi eritrosit di
limpa juga terdapat di hati. Selain itu sebagai kompensasi atau umpan balik dari penurunan
kadar hemoglobin akibat oksigenasi ke jaringan kurang merangsang terjadinya eritropoesis 6-8
kali lipat oleh sumsum tulang. Untuk menunjang dan membantu kerja sumsum tulang dalam
eritropoesis sehingga terbentuk eritropoesis ekstramedular pada limpa dan hati sehingga
merupakan salah satu penyebab hepatosplenomegali. Pada pasien hemoglobinopati anemia sel
sabit tidak ditemukan hepatomegali di mana limpa mengecil dikarenakan terjadinya infark.
Selain itu makrofag di limpa lebih aktif dibandingkan makrofag pada hati. Penyebab lain
hepatomegali pada pasien disebabkan oleh pemberian obat penambah darah dan penyerapan
besi meningkat akibat peningkatan eritropoesis di mana mengandung preparat besi (sulfas
ferrosus) sehingga terjadi penimbunan cadangan besi berlebih. Padahal hati secara normal
berfungsi sebagai sintesis ferritin (simpanan besi) dan transferin (protein pengikat besi) dan
sebagai tempat penyimpanan terbesar cadangan besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin.
Adanya hepatomegali dan splenomegali pada pasien dapat mengakibatkan penurunan imunitas
tubuh sehingga tubuh rentan terhadap infeksi mikroorganisme. Limpa sebagai tempat sintesis
limfosit dan sel plasma (bahan antibodi) merupakan salah satu pertahanan imunitas tubuh. Hati
sebagai tempat yang sering dilalui mikroorganisme patogenik yang akan dihancurkan sebelum
memasuki saluran gastrointestinal. Kemungkinan pasien mengalami infeksi dimana terdapat
tanda-tanda infeksi pada pasien, yaitu : suhu (38,00C), panas, tonsil membesar dan kemerahan,
dan faring kemerahan. Infeksi ini bisa didapatkan dari mikroorganisme seperti: malaria,
hepatitis, haemophilus, streptococcus, pneumococcus, dll. Suhu tubuh meningkat dikarenakan
adanya metabolisme organ yang berlebihan terhadap infeksi. Tonsil merupakan salah satu
jaringan limfoid yang memproduksi limfosit untuk pertahanan imunitas tubuh dan akan
membesar apabila bekerja berlebihan terhadap suatu infeksi atau penurunan imunitas lainnya.
Infeksi mikroorganisme menyerang saluran pencernaan salah satu faring sehingga membuat
organ tersebut mengalami kemerahan. Gejala infeksi lainnya pada pasien yaitu batuk pilek.

B. Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien ditemukan hasil pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:


- Hb : 4,8 g/dl (Normal: 10-16 g/dl)
- AL : 15.200 µl (Normal: 9.000-12.000 µl)
- AT : 480.000 µl (Normal: 200.000-400.000 µl)
- Hct : 14,8 % (Normal: 33-38 %)
Penurunan kadar hemoglobin (Hb) terjadi pada pasien yang mengalami anemia, penyakit ginjal,
kanker, penyakit Hodgkin, pemberian cairan intravena berlebihan, dan pemberian obat-obatan.
Hal yang paling memungkinkan terjadi pada pasien yaitu adanya anemia yang didukung oleh
tanda dan gejala yang terjadi pada psien yang telah diuraikan di atas. Leukositosis (leukosit di
atas normal) pada pasien kemungkinan disebabkan oleh peningkatan komponen imunitas
leukosit terhadap infeksi. Peningkatan jumlah trombosit (tromobositosis) kemungkinan
diakibatkan oleh pengaruh secara bersamaan pada eritropoesis di mana antara eritropoesis dan
trombopoesis memiliki salah satu factor pemicu yang sama. Penurunan kadar hematokrit (Hct)
pada pasien merupakan salah satu pendukung bahwa pasien mengalami anemia. Penurunan
kadar Hb dan Hct mempengaruhi indeks eritrosit sehingga kemungkinan adanya eritrosit
mikrositik hipokromik pada pasien di mana hal tersebut terjadi pada pasien anemia defisiensi
besi, thalassemia, dan anemia sideroblastik dari segi morfologi eritrosit. Sehingga dapat
disimpulkan dari hasil pemeriksaan hasil laboratorium pasien kemungkinan terdapat eritrosit
mikrositik hipokromik dan adanya infeksi.

C. Penetapan Diagnosis atau Diagnosis Banding

Berdasarkan uraian di atas mengenai tanda, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium
pada pasien, kemungkinan pasien menderita anemia hemolitik pada kelompok
hemoglobinopati. Hemoglobinopati pada pasien kemungkinan menderita thalassemia yang
bersifat herediter di mana pasien memiliki sepupu yang mempunyai sakit yang sama dan sering
mendapat transfusi. Pasien tidak mungkin mengalami anemia sel sabit (hemoglobinopati
struktural) dikarenakan pada anemia sel sabit tidak ada hepatomegali seperti yang dijelaskan di
atas. Sebagai diagnosis banding yaitu anemia hemolitik akibat infeksi dan hemoglobinopati
lainnya selain anemia sel sabit. Untuk melakukan diagnosis secara pasti untuk thalassemia perlu
dilakukan pemeriksaan berupa:
Pemeriksaan Fisik
Secara umum pasien tampak pucat, bentuk muka mongoloid (facies Cooley) atau deformitas
tulang diakibatkan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang, dapat ditemukan ikterus,
gangguan pertumbuhan, dan hepatosplenomegali yang menyebabkan perut membesar. Gejala-
gejala lain dapat menyertai jika tidak dilakukan penatalaksanaan secepatnya.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan hematologi rutin
1. Morfologi eritrosit (gambaran darah tepi) – eritrosit hipokromik mikrositik, sel target,
normoblas (eritrosit berinti), polikromasia, bashopilic stipling, Heinz bodies pada β-thalassemia.
2. Kadar Hb pada thalasemia mayor 3-9 g/dl, thalasemia intermedia 7-10 g/dl
b. Elektroforesis Hb
3. HbF meningkat : 10-98%
4. HbA bisa ada pada β+, bisa tidak ada pada βo
5. HbA2 sangat bervariasi, bisa rendah, normal, atau meningkat
c. Pemeriksaan sumsum tulang
6. Eritropoesis inefektif menyebabkan hiperplasia eritroid yang ditandai dengan peningkatan
cadangan Fe.
d. Uji fragilitas osmotik (darah + larutan salin terbuffer)
7. Pada darah normal 96% eritrosit akan terlisis, sedangkan pada thalasemia eritrosit tidak
terlisis
e. Pengukuran beban besi
8. Pengukuran feritin serum dan feritin plasma sebelum dilakukan transfusi
f. Pemeriksaan pedigree untuk mengetahui apakah orang tua atau saudara pasien merupakan
trait
g. Pemeriksaan molekuler
9. Analisis DNA (Southern blot)
10. Deteksi direct gen mutan
11. Deteksi mutasi dengan probe oligonukleotida sintetik
12. ARMS (mengamplifikasi segmen target mutan)
13. Analisis “globin chain synthesis” dalam retikulosit akan dijumpai sintesis rantai beta
menurun dengan rasio α/β meningkat.

D. Penatalaksanaan dan Pencegahan Pada Pasien

Pada penatalaksanan pada pasien harus melakukan pertimbangan aspek ekonomi, sosial, dan
budaya pasien. Untuk memberikan terapi senantiasa meminta persetujuan dari pasien. Pada
pasien anak tersebut dapat diberikan terapi:
- Transfusi : untuk mempertahankan kadar hb di atas 10 g/dl. Sebelum melakukannya perlu
dilakukan pemeriksaan genotif pasien untuk mencegah terjadi antibody eritrosit. Transfusi PRC
(packed red cell)dengan dosis 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
- Antibiotik : untuk melawan mikroorganisme pada infeksi. Untuk menentukan jenis antibiotic
yang digunakan perlu dilakukan anamnesis lebih lanjut pada pasien.
- Khelasi Besi: untuk mengurangi penimbunan besi berlebihan akibat transfusi. Khelasi besi
dapat berupa: desferoksamin diberikan injeksi subcutan, desferipone (oral), desferrithiochin
(oral), Pyridoxal isonicotinoyl hydrazone (PIH), dll.
- Vitamin B12 dan asam folat : untuk meningkatkan efektivitas fungsional eritropoesis.
- Vitamin C : untuk meningkatkan ekskresi besi. Dosis 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi
besi
- Vitamin E : untuk memperpanjang masa hidup eritrosit.Dosis 200-400 IU setiap hari.
- Imunisasi : untuk mencegah infeksi oleh mikroorganisme.
- Splenektomi : limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur. Jika disetujui pasien hal ini
sebaiknya dilakukan setelah anak berumur di atas 5 tahun sehingga tidak terjadi penurunan
drastis imunitas tubuh akibat splenektomi.
Pencegahan thalassemia atau kasus pada pasien ini dapat dilakukan dengan konsultasi pra
nikah untuk mengetahui apakah diantara pasutri ada pembawa gen thalassemia (trait),
amniosentris melihat komposisi kromosom atau analisis DNA untuk melihat abnormalitas pada
rantai globin.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan tanda, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, pasien
kemungkinan menderita thalassemia walaupun penegakan diagnosis secara pasti masih perlu
dilakukan dikarenakan data hasil pemeriksaan penunjang yang mengarah ke thalasemia kurang
lengkap. Diagnosis banding pasien, yaitu : anemia hemolitik akibat infeksi, dan hemoglobinopati
lainnya. Pasien juga mengalami infeksi yang kemungkinan disebabkan oleh penurunan imunitas
tubuh pada hepatosplenomegali pada pasien.Untuk melakukan diagnosis secara pasti
thalassemia diperlukan pemeriksaan penunjang, seperti: elektroforesis Hb., gambaran darh
tepi, analisis DNA, dll.

B. Saran

1. Sebaiknya orang tua pasien senantiasa memperhatikan anaknya tersebut selain mengurus
kehamilan anak keduanya.
2. Perlu dilakukannya penelusuran pedigree/garis keturunan untuk mengetahui adanya sifat
pembawa thalassemia pada keluarga pasien.
3. Sebaiknya calon pasutri sebelum nikah melakukan konsultasi untuk menghindari adanya
penyakit keturunan.herediter, seperti pada thalassemia.
4. Sebaiknya skenario dilengkapi data-data hasil pemeriksaan laboratorium yang lengkap
sehingga memudahkan mahasiswa dalam menetapkan diagnosis pada skenario.
5. Perlu dilakukannya upaya promotif dan preventif terhadap thalassemia kepada masyarakat
luas yang dilakukan oleh pelayan kesehatan

You might also like