You are on page 1of 11

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM

PERKARA PIDANA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Adi Harsanto, Jubair dan Sulbadana
adhi.s4s1@gmail.com
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako
Dosen Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako

Abstract
It was a juridical normative (legal) research studying the standing of Article 268 Section (3)
of Law Number: 8 Year 1981 prior to and post Constitutional Court Verdict, Number: 34/PUU-
XI/2013 and the attempts for Judicial Review to Constitutional Court Verdict, Number: 34/PUU-
XI/2013 under perspectives of justice principle, benefit principle and certainty principle. A judicial
review in a criminal case is an extra-ordinary legal attempt taken by a prisoner against a court
verdict legally binding, on condition that there have been mistakes by the judge sentencing the
verdict and there is a new novum never before presented in the trials. The judicial review as
provided under Article 268 Section (3) of the Indonesian Criminal Codes rules that a judicial
review may be filed only once. On the other hands, the Constitutional Court Verdict, Number :
34/PUU-XI/2013 provides that judicial reviews may be filed time to time in search of legal
material justice. In short, Article 268 Section (3) of the Indonesian Criminal Codes is superseded as
it is not consistent with the Indonesian Constitution (UUD 1945). The effect of a constitutional law
in a criminal case is conflicting with Article 24 Section (2) of Law Number : 48 Year 2009 about
Judicial Power and Article 66 Section (1) of Law Number : 14 Year 1985 about Supreme Court as
amended with Law Number : 5 Year 2004 and 2nd Amendment to Law Number : 3 Year 2009, as
well as Circular of Supreme Court Number: 7 Year 2014 principally confirming that a judicial
review may be filed only once to secure a legal certainty. The Constitutional Court Verdict,
Number: 34/PUU-XI/2013 is not to destruct a legal certainty. A legal certainty is attain when a
verdict is already legally binding and has changed the status of an accused into a prisoner as
confirmed in Article 268 Section (1) of the Indonesian Criminal Codes. The principles of justice and
legal certainty are inconsistent with multiple judicial reviews, as the later leads to a legal
uncertainty to someone.
Keywords: judicial review, constitutional court verdict about judicial, review filing under the
Indonesian criminal codes
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Peraturan perundang-undangan dibentuk Indonesia 1945 memuat aturan dasar tentang
dengan tujuan memberikan kepastian bagi kekuasaan kehakiman.diatur dalam Pasal 24
seluruh bagi setiap pengemban hak dan Ayat (1):
kewajiban untuk tercapainya ketertiban di “Kekuasaan kehakiman merupakan
dalam suatu negara yang berlandaskan pada kekuasaan yang merdeka untuk
prinsip kepastian hukum. Kepastian hukum menyelenggarakan peradilan guna
yang tidak dapat dipisahkan dari norma menegakkan hukum dan keadilan”
hukum yang tertulis dan dijadikan sebagai Berdasarkan pasal tersebut, dalam
pedoman bagi setiap orang. Kepastian hukum melaksanakan penegakan hukum serta
pula memberikan kejelasan bahwa hal-hal apa keadilan sepenuhnya berada di tangan
saja yang diperbolehkan, dan yang tidak lembaga kehakiman, dan diatur selanjutnya
diperbolehkan menurut hukum dalam setiap berdasarkan peraturan perundang-undangan.
peraturan perundang-undangan. Lembaga yang bertugas untuk menjalankan

1
2 e Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 3, Maret 2017 hlm 1-11 ISSN: 2302-2019

kekuasaan kehakiman tersebut berdasarkan telah dikeluarkan dalam sidang pleno MK


pasal Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu pada tanggal 6 Maret hari kamis 2014,
Mahkamah Agung serta lembaga-lembaga menyatakan bahwasanya pasal 268 ayat( 3)
peradilan yang ada di bawahnya, dan sebuah KUHAP bertentangan dengan UUD N RI
Mahkamah Konstitusi. Dasar hukum yang tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mengatur tentang lembaga peradilan tersebut hukum mengikat, itu artinya Pk tidak hanya
di atas adalah dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD bisa diajukan sekali tetapi boleh berkali –
NRI 1945: kali. Putusan dikabulkanya permohonan uji
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh materiil UU No.8 tahun 1981 tentang Hukum
sebuah Mahkamah Agung dan badan Acara Pidana (KUHP) terahadap Undang –
peradilan yang berada di bawahnya Undang Dasar Negara Republik Indonesia
dalam lingkungan peradilan umum, Tahun 1945( UUD N RI) yang diajukan oleh
lingkungan peradilan agama, Antasari Azhar kepada Mahkamah konstitusi,
lingkungan peradilan militer, tak terelakkan lagi menuai pro dan kontra
lingkungan peradilan tata usaha oleh beberapa pihak kususnya ahli hukum
negara, dan oleh sebuah Mahkamah indonesia, Pasalnya putusan ini membawa
Konstitusi” imbas bagi dunia peradilan indonesia.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu Beberapa pihak mempertanyakan Pengajuan
pelaku kekuasaan kehakiman yang salah satu PK berkali berkali dapatkah memenuhi
kewenangannya disebutkan dalam pasal 24 c kepastian hukum ataukah hanya alat untuk
ayat (1) Undang-undang Dasar Negara menunda perkara. Selebihnya fenomena
Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan putusan MK No. 34/PUU-XI/2013
mempunyai kewenangan mengadili pada dikhawatirkan akan berimplikasi pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya terganggunya keseimbangan antara proses
bersifat final untuk menguji undang undang keadilan dengan kepastian hukum sebagai
terhadap Undang Undang Dasar. Seringkali tujuan hukum.
mendapat sorotan publik terutama terkait Putusan MK dinilai memberikan
masalah putusan yang dikeluarkan. Putusan keadilan dan perhargaan Hak asasi manusia
Mahkamah konstitusi terkadang menimbulkan (HAM) mengingat permohonan uji materiil
kontroversi, dan menimbulkan pro kontra KUHP diajukan oleh Antasari Azhar yang
dalam masyarakat khususnya para ahli telah divonis selama 18 tahun penjara akibat
hukum. Dianggap kontroversial karena didakwa membunuh direktur PT. Rajawali
pertimbangan pertimbangan hakim dalam Putra Banjaran. Sebagaimana diputuskan di
putusannya yang terkadang dianggap ganjil tingkat pertama oleh pengadilan Negeri
dan tidak sejalan dengan apa yang tertulis Jakarta Selatan No. 1532/Pid.
dalam suatu perundang undangan sehingga B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 11 februari 2010
tidak dapat diterima. dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (
Selain Mahkamah Konstitusi sebagai inkrahct van gewisde ) dengan putusan
pelaksana kekuasaan kehakiman juga terdapat Mahmakah Agung (MA) No. 1429K/Pid/2010
Mahkamah Agung seperti dua sisi mata uang tanggal 21 september 2010 yang kemudian
yang berbeda tapi sama putusan Mahkamah diajukan peninjuan kembali (PK) dan telah
Agung juga terkadang menjadi sorotan publik diputus oleh MA dengan putusan No.
dan menuai kontroversi, dunia hukum 117PK/Pid/2011 tanggal 13 februari 2012.
digemparkan oleh putusan MK nomor Putusan MK tersebut berlaku untuk seluruh
34/PUU-XI/2013 mengenai pengajuan rakyat indonesia dan harus ditaati oleh
permohonan peninjauan kembali (PK) yang siapapun meskipun permohonan uji materil
diputuskan dalam rapat permusyawaratan dan dalam MK No.34/PUU-XI/2013 diajukan
Adi Harsanto, dkk. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan …………………………3

oleh terpidana Antasari Azhar karena memberikan keadilan. Menurut pemahaman


berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD N RI penulis, perlu dipertimbangkan lagi untuk
1945 putusan MK bersifat final dan mengikat memberikan batasan terhadap upaya hukum
(Final and Binding). peninauan kembali.
Mahkamah Konstitusi berpendapat Penulis berasumsi bahwa pembatasan
bahwa upaya hukum luar biasa Peninjauan pengajuan peninjauan kembali dapat
Kembali secara historis dan filosofis memberikan kepastian hukum bagi setiap
merupakan upaya hukum yang lahir demi pencari keadilan di negeri ini. Dalam artikel
melindungi kepentingan terpidana. Hal itu ilmiah ini mengkaji lebih dalam terhadap
berbeda dengan upaya hukum biasa yang implikasi hukum terhadap Putusan
berupa banding atau kasasi yang harus Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum. dan pembatasan upaya hukum peninjauan
Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu kembali
pengajuan upaya hukum biasa itu, maka akan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang METODE
melahirkan ketidakadilan karena proses
hukum tidak selesai. Selain itu, alasan lain Metode penelitian yang digunakan
Mahkamah Konstitusi ialah upaya hukum luar adalah metode penelitian hukum normatif
biasa bertujuan untuk menemukan keadilan yaitu penelitian hukum yang
dan kebenaran materil. Keadilan tidak dapat mengkonsepsikan hukum sebagai norma yang
dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas meliputi asas-asas, norma, kaidah dari
yang membatasi upaya hukum luar biasa peraturan perundang-undangan, putusan
Peninjauan Kembali, yang di dalam KUHAP, pengadilan, perjanjian serta doktrin. Dan
hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja merupakan penelitian kepustakaa yang
setelah diajukannya Peninjauan Kembali dan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
diputus,ada keadaan baru yang ditemukan mempelajari data yang terdapat dalam buku-
saat peninjauan kembali sebelumnya belum buku, literatur, tulisan-tulisan ilmiah,
ditemukan. dokumen-dokumen dan peraturan perundang-
Terkait dengan pengajuan pengujian undangan yang berhubungan dengan obyek
oleh Antasari Azhar tersebut, MK penelitian.
mengeluarkan kesimpulan bahwa
“Permintaan PK atas suatu putusan hanya HASIL DAN PEMBAHASAN
dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai Pencapaian Prinsip Keadilan, Prinsip
kekuatan hukum mengikat tertanggal 6 maret Kemanfaatan, dan Prinsip Kepastian
2014. Hukum Dalam Putusan Mahkamah
Pada prinsipnya upaya hukum Konstitusi Tentang Pengujian Materi
peninjauan kembali yang diajukan oleh Norma Upaya Hukum Peninjauan
terdakwa sendiri ataupun ahli warisnya Kembali Dalam KUHAP
terhadap putusan yang berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) tidak menunda Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
eksekusi. Namun apabila dalam pengajuan Nomor 34/PUU-XI/2013 pengujian terhadap
bukti baru (novum) yang dapat membuktikan Kaidah Hukum dalam Pasal 268 ayat (3)
terdakwa tidak bersalah dan ternyata terdakwa KUHAP yang dinyatakan bertentangan
telah dieksekusi, hal ini yang dapat dengan UUD yakni sebagaimana tertuang
mencederai rasa keadilan di mana tujuan pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal
hukum acara pidana adalah untuk 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
4 e Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 3, Maret 2017 hlm 1-11 ISSN: 2302-2019

1945, dalam hal ini Mahkamah mengambil adalah sangat materiil atau substansial
pertimbangan hukum, sebagai berikut: dan syarat yang sangat mendasar
“Bahwa upaya hukum luar biasa adalah terkait dengan kebenaran dan
Peninjauan Kembali secara historis- keadilan dalam proses peradilan pidana
filosofis merupakan upaya hukum yang sebagaimana ditentukan dalam Pasal
lahir demi melindungi kepentingan 263 ayat (2) KUHAP”
terpidana. Menurut Mahkamah, upaya Dari pertimbangan Mahkamah tersebut,
hukum Peninjauan Kembali berbeda dapat dimaknai bahwa Peninjauan Kembali
dengan banding atau kasasi sebagai (PK) adalah upaya hukum luar biasa
upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa (extraordinary remedy) yang diajukan
harus dikaitkan dengan prinsip terhadap putusan yang telah memperoleh
kepastian hukum karena tanpa kekuatan hukum tetap akibat adanya
kepastian hukum, yaitu dengan kekeliruan atau kekhilafan Hakim dalam
menentukan limitasi waktu dalam memidana terdakwa, adanya putusan yang
pengajuan upaya hukum biasa, justru saling bertentangan dan adanya keadaan baru
akan menimbulkan ketidakpastian (novum). Apabila dilihat dari sisi historisnya,
hukum yang tentu akan melahirkan dimulakan dari kasus Sengkon dan Karta
ketidakadilan dan proses hukum yang pada tahun 1977 inilah yang membuat negara
tidak selesai. Dengan demikian, telah salah mempidana (miscarriage of
ketentuan yang menjadi syarat dapat justice) atau salah meneraPeninjauan
ditempuhnya upaya hukum biasa di Kembalian hukum kepada penduduk yang
samping terkait dengan kebenaran tidak berdosa dan menyebabkan terjadi proses
materiil yang hendak dicapai, juga peradilan sesat (rechterlijke dwaling)
terkait pada persyaratan formal yaitu sehingga atas kesalahan tersebut maka negara
terkait dengan tenggang waktu tertentu mengadakan lembaga Peninjauan Kembali
setelah diketahuinya suatu putusan dengan tujuannya untuk memperbaiki putusan
hakim oleh para pihak secara formal pemidanaan yang salah.
pula. Adapun upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dikategorikan
bertujuan untuk menemukan keadilan sebagai upaya hukum luar biasa karena
dan kebenaran materiil. Keadilan tidak mempunyai keistimewaan, artinya dapat
dapat dibatasi oleh waktu atau digunakan untuk membuka kembali
ketentuan formalitas yang membatasi (mengungkap) suatu keputusan pengadilan
bahwa upaya hukum luar biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(peninjauan kembali) hanya dapat Sedangkan suatu putusan pengadilan yang
diajukan satu kali, karena mungkin saja mempunyai kekuatan hukum tetap, harus
setelah diajukannya Peninjauan dilaksanakan untuk menghormati kepastian
Kembali dan diputus, ada keadaan baru hukum. Dengan demikian, lembaga
(novum) yang substansial baru Peninjauan Kembali adalah suatu upaya
ditemukan yang pada saat Peninjauan hukum yang dipergunakan untuk menarik
Kembali sebelumnya belum ditemukan. kembali atau menolak putusan hakim yang
Adapun penilaian mengenai sesuatu itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
novum atau bukan novum, merupakan Berbeda dengan upaya hukum biasa,
kewenangan Mahkamah Agung yang maka permohonan terhadap upaya hukum luar
memiliki kewenangan mengadili pada biasa memiliki syarat tertentu, yaitu:
tingkat Peninjauan Kembali. Oleh 1. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap
karena itu, yang menjadi syarat dapat putusan pengadilan yang telah
ditempuhnya upaya hukum luar biasa berkekuatan hukum tetap.
Adi Harsanto, dkk. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan …………………………5

2. Dapat ditujukan dan diajukan dalam dipertegas oleh PERMA No. 1 Tahun 1980
keadaan tertentu, tidak dapat diajukan yang bersifat sementara karena mendesak
terhadap semua putusan pengadilan yang dengan tujuan utama untuk mengatasi
telah berkekuatan hukum tetap. Harus ada kesalahan negara dalam kasus Sengkon dan
dan terdapat keadaan–keadaan tertentu Karta.
sebagai syarat. Kasus sengkon dan karta pula menjiwai
3. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, lembaga Peninjauan Kembali dalam Bab
dan diperiksa serta diputus oleh XVIII Pasl 263 s.d 269 KUHAP.
Mahkamah Agung sebagai instansi Sebagaimana tampak dalam pendapat umum
pertama dan terakhir. fraksi-fraksi di parlemen ketika membahas
Sedangkan syarat materiil untuk dapat RUU KUHAP. Selain menjadi alasan utama
mengajukan Peninjauan Kembali diatur dalam dalam memasukkan Peninjauan Kembali
Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu, Permintaan dalam KUHAP, juga menjadi penyebab tidak
peninjauan kembali dilakukan atas dasar: ada perdebatan panjang diparlemen mengenai
a. Apabila terdapat keadaan baru yang norma-norma mengenai Peninjauan Kembali,
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika fokus Peninjauan Kembali adalah mencari
keadaan itu sudah diketahui pada waktu kebenaran yang sesungguhnya terhadap
sidang masih berlangsung, hasilnya akan terpidana yang telah dinyatakan bersalah
berupa putusan bebas atau putusan lepas sebelumnya atau kebenaran materiil.
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Peninjauan Kembali adalah upaya hukum
penuntut umum tidak dapat diterima atau dalam acara pidana dengan tujuan mencari
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan kebenaran materiil, dimana hakim sebelum
pidana yang lebih ringan. mengambil keputusan harus betul-betul
b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat memperhatikan pembuktian dalam sidang
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, sebelumnya dan pembuktian yang baru
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dihadapkan dalam persidangan.
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan Amar putusan yaitu pemidanaan, bukan
telah terbukti itu, ternyata telah diberikan kepada negara tetapi terpidana
bertentangan satu dengan yang lain. sebagai orang atau subyek hukum,sesuai
c. Apabila putusan itu dengan jelas ketentuan Peninjauan Kembali, maka hanya
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim terpidana saja yang berhak mengajukan
atau suatu kekeliruan yang nyata. Peninjauan Kembali, dan ahli waris dalam
Berkaitan dengan “terdapat keadaan penyebutan tidaklah berdiri sendiri tetapi
baru” menurut penjelasan Pasal 24 ayat (1) demi hukum mewakili terpidana. Harjono
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 melihat bahwa Peninjauan Kembali hanya
tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, terpidana karena terpidanalah yang
bahwa yang dimaksud dengan ”hal atau dinyatakan bersalah sehingga apakah benar
keadaan tertentu”, antara lain adalah kesalahan terpidana atas pidana yang
ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau dijatuhkan dan ahli waris sebagai pihak yang
adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim juga dirugikan, dimana demi memperbaiki
dalam menerapkan hukumnya. nama baik sehingga ahli waris mendapat
Tumpuan Peninjauan Kembali adalah kesempatan Peninjauan Kembali, ketentuan
demi keadilan dan pengembalian hak-hak Pasal 263 ayat (1) mengandung pengertian
terpidana yang telah dilanggar oleh Hakim. bahwa upaya Peninjauan Kembali itu
Hal-hal tersebut juga termuat dalam sesungguhnya merupakan hak terpidana dan
pertimbangan lahirnya PERMA No. 1 Tahun ahli warisnya untuk membuktikan dirinnya
1969 tentang Peninjauan Kembali yang bahwa ia tidak pantas untuk dihukum. Bahwa
6 e Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 3, Maret 2017 hlm 1-11 ISSN: 2302-2019

“due process of law” berfungsi sebagai Mahkamah Agung menimbang bahwa


pembatas kekuasaan negara bukan untuk berdasarkan hal-hal dan landasan-landasan
memperluas kekuasaan negara. hukum yang dipertimbangkan diatas, dan
Kemudian, mengenai titik awal dari berdasarkan asas legalitas dan dalam rangka
diperbolehkannya Jaksa Penuntut Umum meneraPeninjauan Kembalian asas
mengajukan Peninjauan Kembali keseimbangan antara hak asasi termohon
terjeahwantakan dalam Kasus Muchtar Peninjauan Kembali sebagai perseorangan
Pakpahan dengan putusan MA No.55 atau golongan tertentu sebagai satu pihak dan
PK/Pid/1996, dimana Jaksa Penuntut Umum kepentingan umum, bangsa masyarakat luas
ditetapkan sebagai pihak yang termasuk kepentingan “Pembangunan negara
berkepentingan. Beberapa perundang- kesatuan RI” sebagai kepentingan masyarakat
undangan yang menjadi pertimbangan hukum Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya yang
hakim, antara lain: dalam perkara ini diwakili oleh Jaksa
(1) bahwa hukum terbentuk antara lain Penuntut Umum sebagai satu kesatuan yang
melalui putusan-putusan hakim, seperti tidak terpisah dari Kejaksaan RI yang
halnya dalam masalah permohonan dipimpin oleh Jaksa Agung RI.
kasasi pada Pasal 244 KUHAP yang oleh Mahkamah Agung dalam tingkat
Hakim ditafsirkan yaitu putusan bebas Peninjauan Kembali selaku Badan Peradilan
murni tidak dapat dimintakan kasasi dan Tertinggi yang mempunyai tugas untuk
bebas tidak murni dapat dimintakan membina dan menjaga agar semua hukum dan
kasasi. Yang mana penafsiran tersebut Undang-Undang diseluruh wilayah negara
menjadi Yurisprudensi tetap; diteraPeninjauan Kembalian secara tepat dan
(2) Pasal 21 Undang-Undang No. 14 Tahun adil, lagi pula ada tidaknya diajukan
1970 dengan frasa “dapat dimintakan permintaan Peninjauan Kembali dalam
Peninjauan Kembali kepada MA dalam perkara ini masih menjadi masalah hukum
perkara perdata dan pidana oleh pihak- yang menimbulkan ketidakpastian hukum,
pihak yang berkepentingan” diartikan maka Mahkamah Agung melalui putusan
bahwa dalam perkara pidana terdapat 2 dalam perkara ini ingin menciptakan hukum
pihak yang berkepentingan dan Jaksa secara sendiri guna menampung kekurangan
Penuntut Umum sebagai perwakilan pengaturan mengenai hak atau wewenang
kepentingan umum/negara; Jaksa Penuntut Umum tersebut dengan
(3) Pasal 263 ayat (1) KUHAP dikatakan menyatakan bahwa permohonan Peninjauan
tidak dengan tegas menentukan atau Kembali dari pemohon Peninjauan Kembali
tidak diatur bahwa dengan kata lain tidak Jaksa Penuntut Umum secara formal dapat
ada larangan Jaksa Penuntut Umum diterima. Sehingga dapat diperiksa apakah
untuk mengajukan permohonan pihak yang mohon Peninjauan Kembali dapat
Peninjauan Kembali; membuktikan apakah putusan bebas tersebut
(4) Pasal 263 ayat (3) KUHAP dikatakan sudah tepat dan adil.
bahwa Jaksa Penuntut Umum adalah Atas pertimbangan-pertimbangan
pihak paling berkepentingan atas frasa tersebut, selanjutnya menjadi alasan dan
“permintaan Peninjauan Kembali pertimbangan hukum hakim dalam menerima
apabila dalam putusan dimana yang permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa
didakwakan terbukti akan tetapi tidak Penuntut Umum seperti putusan No.3
diikuti oleh pemidanaan” agar putusan PK/Pid/2001 (perkara Ram Gulumal, Gandhi
tersebut dapat dirubah sehingga putusan Memorial School), putusan No.15
diikuti dengan pemidanaan dengan atas PK/Pid/2006 (perkara Soetiyawati,
diri terpidana. Pengrusakan Barang), putusan No.109
Adi Harsanto, dkk. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan …………………………7

PK/Pid/2007 (perkara Pollycarpus, Turut Peninjauan Kembali harus ditafsirkan secara


Melakukan Pembunuhan Berencana & sistematis dengan Pasal 3 KUHAP sebagai
Pemalsuan Surat), putusan No. 12 dasar peradilan, dan Pasal 182 (1) huruf b
PK/Pid.Sus/2009 (perkara Joko S. Tjandra, sebagai hak terdakwa atau penasehat hukum
Korupsi). Akan tetapi dalam putusan No.57 mendapat giliran terakhir.
PK/Pid/2009 (perkara Roedyanto, Penipuan), Penafsiran Mahkamah Agung terhadap
Mahkamah Agung memutuskan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP kemudian lahir
permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa akibat dari Hakim Mahkamah Agung yang
Penuntut Umum tidak dapat diterima dengan salah dalam menerapkan hukum. Hal ini
pertimbangan bahwa Jaksa Penuntut Umum terdapat pada putusan No.133 PK/Pid/2011
tidak dapat menunjukkan adanya kepentingan tanggal 2 oktober 2013 yang kemudian
umum atau kepentingan negara yang harus melahirkan 3 (tiga) kaidah hukum, antara lain:
dilindungi. 1. Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan
Demikian pula pada putusan No.84 satu kali‟ dapat diartikan masing-masing
PK/Pid/2006 (perkara Mulyar bin Samsi, Pemohon Peninjauan Kembali yaitu
Pengangkutan Hasil Hutan) dengan terpidana atau ahli warisnya atau Jaksa
pertimbangan bahwa Pasal 263 ayat (1) telah Penuntut Umum dapat mengajukan
mengatur secara tegas dan limitatif yang dapat Peninjauan Kembali satu kali;
mengajukan permohonan Peninjauan Kembali 2. Permohonan Peninjauan Kembali saat ini
adalah Terpidana atau ahli warisnya, dan bahwa dapat diterima atas alasan terjadi
“due process of law” berfungsi sebagai kekeliruan/kekhilafan Hakim dalam
pembatas negara dalam bertindak kepada putusan Majelis Hakim Peninjauan
warganya dan bersifat normatif sehingga tidak Kembali sebelumnya yang memutus lebih
dapat ditafsirkan dan tidak dapat disimpangi tinggi dari putusan dilakukan Judex
karena akan melanggar keadilan dan kepastian Juris/Juris Facti sebelumnya sesuai Pasal
hukum, prinsip Pasal 263 ayat (1) KUHAP 266 ayat (3) KUHAP;
tidak tegas dalam melarang atau 3. Alasan lainnya dari Pemohon Peninjauan
memperbolehkan Jaksa Penuntut Umum Kembali berupa novum tidak dapat
sehingga wajar jika Hakim menafsirkan bahwa dibenarkan karena bukan berupa barang
Jaksa Penuntut Umum dianggap sebagai bukti yang menentukan.
pemohon apalagi asas keseimbangan yang Pada point 1), Mahkamah Agung telah
dijadikan tolak ukur. memberi sebuah kesempatan kepada masing-
Menurut Samsan Nganro, dasar hukum masing pihak untuk mengajukan permohonan
Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Pasal 268 ayat (3)
Peninjauan Kembali tidak diatur secara jelas KUHAP; “Permintaan peninjauan kembali
dan tegas dalam Undang-Undang atau atas suatu putusan hanya dapat dilakukan
KUHAP. Pendapat lain dari Suhardjono satu kali saja.” Kemudian Mahkamah Agung
bahwa Peninjauan Kembali oleh Jaksa melakukan penafsiran terhadap Pasal tersebut
Penuntut Umum dari sisi kepastian hukum yang mengakomodir masing-masing pihak
tidak boleh tetapi dari sisi keadilan dan/atau dalam mengajukan permohonan Peninjauan
kemanfaatan bisa saja tetapi dengan pendirian Kembali. Sehingga, wajar saja jika ada
penafsiran yang cermat oleh hakim, Jaksa penafsiran lain yang mengatakan Peninjauan
Penuntut Umum tidak boleh mengajukan Kembali diatas Peninjauan Kembali atau
Peninjauan Kembali karena bukan Jaksa Peninjauan Kembali dua kali atau Peninjauan
Penuntut Umum yang terkena musibah atau Kembali tiga kali hingga Peninjauan Kembali
terzalimi kecuali ada kepentingan negara berkali-kali.
berupa kerugian negara, pengaturan
8 e Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 3, Maret 2017 hlm 1-11 ISSN: 2302-2019

Undang-Undang yang dibuat secara telah seiring dengan ketentuan Pasal 268
politis juga memiliki daya laku tertentu yang ayat (3) KUHAP.
dapat berakhir karena tidak memiliki korelasi Upaya hukum Penijauan Kembali pasca
dengan nilai-nial dimasyarakat. Sehingga wajar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/
saja jika seorang hakim melakukan penafsiran PUU-XI/2013 adalah Kaidah Hukum dalam
agar dapat mengakhiri pertentangan pemikiran Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dinyatakan
hukum. Menurut Surya Jaya, hakim dalam bertentangan dengan UUD yakni
menafsirkan undang-undang sudah seharusnya sebagaimana tertuang pada Pasal 1 ayat (3),
memperhatikan prinsip interpretation cessat in Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1) dan
claris dan lebih berhati-hati lagi. Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD dan hanya sejalan
Perbedaan pendapat tentang siapa yang berhak dengan Pasal 28J ayat (2) UUD yang
mengajukan Peninjauan Kembali telah merupakan suatu perkembangan acara dalam
dipertegas dengan adanya Putusan Makhamak peradilan pidana dimana telah mengubah tata
Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang cara pengajuan Peninjauan Kembali bagi
pada pokoknya menyatakan Jaksa Penuntut Terpidana sebagai pencari keadilan. Dengan
Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan tidak berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP
Kembali pengajuan Peninjauan Kembali dapat
Prinsip yang mendasari Peninjauan dilakukan lebih dari satu kali merupakan
Kembali yakni prinsip keadilan, kemanfaan penerapan asas keadilan demi tercapainya
dan kepastian serta putusan Mahkamah rasa keadilan bagi Terpidana atas kebenaran
Konstitusi dengan prinsip ne bis in idem, materiil dan menjaga HAM, sedangkan asas
speedy administration of justice dan lites kepastian hukum digunakan sebagai suatu
finiri opertet haruslah sejalan dan tidak kepastian untuk mendapatkan keadilan,
saling membatasi. Penijauan Kembali sehingga nantinya suatu perkara dirasa tidak
merupakan upaya Terpidana untuk mencari akan ada akhirnya dan bertentangan dengan
keadilan, dan pembatasan pengajuan asas litest finiri oportet dan bagi yang
Peninjauan Kembali yang diatur dalam berperkara akan merasa tidak tentram terus
Pasal 268 ayat (3) KUHAP dimana menerus (nemo debet bis vexari) khususnya
Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan perkara dengan terpidana mati.
hanya satu kali adalah merupakan bentuk Kekuatan hukum putusan Mahkamah
dari prinsip kepastian hukum (lites finiri Konstitusi selain mengikat para pihak yang
opertet). Namun terhadap peraturan berperkara juga semua elemen negara baik itu
Peninjauan Kembali tersebut apabila kita rakyat dan lembaga tinggi negara. Putusan
cermati maka akan dirasa prinsip kepastian pengadilan biasa yang hanya mengikat para
hukum membatasi prinsip keadilan, pihak, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
sehingga prinsip keadilan dan kepastian perkara pengujian Undang-Undang mengikat
hukum tentunya akan saling berbenturan semua komponen bangsa, baik penyelenggara
dan rasa keadilan bagi Terpidana belum negara maupun warga Negara atau yang dikenal
dapat tercapai, sedangkan asas ne bis in dengan asas erga omnes putusan Mahkamah
idem dalam Peninjauan Kembali yang Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari asas erga
merupakan objek putusan Mahkamah omnes yang memiliki kekuatan mengikat secara
Konstitusi sebelumnya telah sejalan dengan hukum terhadap seluruh komponen bangsa,
ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP, serta sehingga semua pihak harus tunduk dan taat
pengajuan Peninjauan Kembali dengan asas melaksanakan putusan tersebut.
speedy administration of justice atau Putusan Mahkamah Konstitusi yang
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan telah membatalkan apa yang diatur dalam
pasal 269 ayat (3) KUHAP karena
Adi Harsanto, dkk. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan …………………………9

bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal Konstitusi menyatakan untuk memberikan
24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D kepastian hukum atas penyelesaian suatu
ayat (1) UUD 1945, dalam hal ini penulis perkara, tidak dibenarkan melakukan
hendak membahas eksistensi Putusan upaya hukum peninjauan kembali secara
Mahkamah Konstitusi mengenai Upaya berulang-ulang, namun dalam Putusan No.
Hukum Peninjauan Kembali berdasarkan teori 34/PUU-XI/2013 MK menyatakan
hukum yang relevan, apakah putusan pengajuan PK hanya satu kali dalam
Mahkamah tersebut telah sesuai dengan perkara pidana bertentangan dengan
tujuan hukum bangsa Indonesia yang keadilan, sehingga dengan demikian MK
berdasarkan pada Pancasila. Dalam proses dalam memberikan putusan belum
penegakan hukum (law enforcement) menurut mengusahakan kompromi secara
Gustav Radbruch, setidaknya dapat mencapai proporsional seimbang antara ketiga
tujuannya yaitu; kepastian hukum, prinsip yang menjadi tujuan hukum;
kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian hukum 2. Pengajuan permohonan upaya hukum PK
terkait erat dengan adanya jaminan yang dapat dilakukan lebih dari satu kali,
perlindungan kepada masyarakat atas berpotensi digunakan sebagai celah hukum
tindakan sewenang-wenang yang bertujuan bagi terpidana untuk menghindarkan diri
untuk ketertiban masyarakat, sementara dari pelaksanaan eksekusi putusan,
kemanfaatan adalah untuk menciptakan mengingat walaupun secara normative
manfaat atau kebahagiaan yang sebesar- pengajuan upaya hukum PK tidak
besarnya kepada masyarakat, sedangkan menghalangi eksekusi, namun dalam
keadilan merupakan kebenaran, tidak prakteknya instansi Kejaksaan sebagai
memihak, dapat dipertanggung jawabkan dan eksekutor putusan, khususnya untuk
memperlakukan setiap manusia pada terpidana mati ditangguhkan pelaksanaan
kedudukan yang sama didepan hukum eksekusi putusan apabila terpidana
(equality before the law). Namun dalam mengajukan upaya hukum PK, sehingga
praktek, implementasi ketiga tujuan hukum putusan Mahkamah Kosntitusi yang
tersebut yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, memberikan peluang pengajuan PK lebih
dan keadilan masih menimbulkan persoalan, dari satu kali tidak dapat mengakomodir
sehingga sangat sulit untuk aspek keadilan bagi masyarakat pada
diimplementasikan secara seimbang. umumnya, kemanfaatan dan kepastian
hukum tidak dapat diimplemantasikan
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI secara kongkrit.

Kesimpulan Rekomendasi
Dari hasil penelitian dan pembahasan Berdasarkan kesimpulan yang Penulis
yang telah dikemukakan pada bab kemukakan tersebut, maka Penulis
sebelumnya, maka berdasarkan rumusan memberikan saran, yaitu:
masalah dapat ditarik kesimpulan sebagai 1. Mahkamah Agung tidak perlu secara
berikut: ekplisit mengeluarkan SEMA tersebut
1. Bahwa dalam melakukan pengujuan materi yang akan menimbulkan permasalahan
Undang-Undang terkait dengan Upaya teoritis dan membingungkan, karena pada
Hukum Peninjauan Kembali, Mahkamah dasarnya tidaklah mungkin norma yang
Konstitusi tidak konsisten dalam lebih rendah dapat mengesampingkan
memberikan pertimbangan hukum, dimana norma yang lebih tinggi (lex superior
pada pertimbangan dalam Putusan derogate legi inferior). Persoalan
No.16/PUU-VIII/2010, Mahkamah peninjauan kembali tersebut dapat juga
10 e Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 3, Maret 2017 hlm 1-11 ISSN: 2302-2019

diatasi dengan cara Mahkamah Agung Ali, Achmad, 2008, Menguak Tabir Hukum :
melakukan revisi atau mencabut Surat edisi kedua, Ghalia Indonesia, Bogor
Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun Andi Ikhbal, 2014, PK Sebaiknya Hanya Dua
2014 dan kemudian mengatur bagaimana Kali Dalam Setahun, republika.co.id (10
mekanisme pengajuan novum beserta Maret 2014 17:37) di akses dari
alasan-alasan secara jelas untuk pengajuan http://m.republika.co.id/berita/nasional/
peninjauan kembali boleh diajukan. hukum/14/03/10/n27uv7-pk-sebaiknya-
2. Bagi pihak-pihak yang berhubungan hanya-dua-kali-dalam-setahun
dengan perkara pidana seyogianya Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-Dasar Ilmu
memaksimalkan proses pembuktian untuk Hukum Ed.1 cet.4, Sinar Grafika,
mengungkap fakta-fakta hukum baik oleh Jakarta
pihak penuntut umum maupun oleh Article 84 of The Rome Statute of
Terdakwa dari tingkat pemeriksaan di International Criminal Court (17 july
pengadilan, bahkan dari tingkat 1998) diakses dari www.icc-
pemeriksaan oleh penyidik dalam cpi.int/nr/.../rome_statute_english.pdf
penstrukturan fakta wajib didukung oleh Aryo Putranto Saptohutomo, 2014,
alat-alat bukti yang sah mengenai tindak Romli Atsasmita dukung PK bisa
pidana yang disangkakan, sehingga tidak diajukan berkali-kali, merdeka.com (13
memerlukan proses peninjauan kembali Maret 2014) di akses dari
secara berulang-ulang dengan dalih untuk http://www.merdeka.com/peristiwa/roml
mencapai keadilan. i-atmasasmita-dukung-pk-bisa-diajukan-
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. berkali-kali.html
34/PUU-XI/2013 yang menghapus Pasal Bisri, Ilhami, 2011, Sistem Hukum Indonesia:
268 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum
Acara Pidana perlu ditindaklanjuti oleh di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Pembentuk Undang-undang (Dewan Chazawi, Adami, 2011, Lembaga (PK)
Perwakilan Rakyat dan Presiden) dengan Perkara Pidana, Penegakkan Hukum
merevisi Undang-Undang Nomor. 8 Tahun dalam Penyimpangan Praktik &
1981 tentang Kitab Undang-undang Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta
Hukum Acara Pidana dan mensinkronkan Darji Darmodiharjo, 2004, Pokok-Pokok
ketentuan tersebut dalam revisi Undang- Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka
Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Utama, Jakarta
dan Undang-Undang tentang Mahkamah Duswara, Dudu, 2010, Pengantar Ilmu
Agung. Hukum: sebuah sketsa, Refika Aditama,
Bandung
DAFTAR RUJUKAN Hamzah, Andi, 2012, Hukum Acara Pidana
Indonesia: edisi kedua, Sinar Grafika,
A. Zainal Abidin, 1997, Opini : “Seputar PK Jakarta
Perkara Pidana”, Republika Online Harahap, Yahya, 2009, Pembahasan
(Sabtu, 18 Januari 1997), diakses dari Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/0 Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
1/18/0119.html Banding, Kasasi, dan edisi ke-2, Sinar
Akub, Syukri dan Baharuddin Badaru, 2012, Grafika, Jakarta
Wawasan Due Process of Law dalam Hijrah Adhyanti, 2014, Buletin eksepsi :PK
Sistem Peradilan Pidana, Rangkang dalam Hukum Acara Pidana (kepastian
Education, Yogjakarta hukum versus keadilan), Makassar,
Adi Harsanto, dkk. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan ………………………..11

Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Simorangkir, J.C.T, dkk, 2007, Kamus


Universitas Hasanuddin Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
L.J. van Apeldoor, 1985, Pengantar Ilmu Soeparman, Parman, 2009, Pengaturan Hak
Hukum, Pradnja Paramita, Jakarta Mengajukan Upaya Hukum dalam
Mahkamah Agung Ri, Pedoman Perilaku Perkara Pidana bagi Korban
Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Kejahatan, Refika Aditama, Bandung
Hakim dan Makalah berkaitan, Sofyan, Andi, 2013, Hukum Acara Pidana :
Pusdiklat MA RI, Jakarta, 2001 Suatu Pengantar, Rangkang Education,
Manan, Munafrizal, 2012, Penemuan Hukum Yogjakarta
Oleh Mahkamah Konstitusi, Mandar Sutiyoso, Bambang, 2006, Hukum Acara
Maju, Bandung Mahkamah Konstitusi Republik
Marpaung, Leden, 2004, Perumusan Memori Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung
Kasasi dan Perkara Pidana, Sinar Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum
Grafika, Jakarta Mertokusumo, Sudikno, Nasional Departeen Kehakiman, 1988,
2003, Mengenal Hukum: Sebuah Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
Pengantar, Liberty, Yogjakarta Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Mulyadi, Lilik, 2010, Kompilasi Hukum Triwulan, Titik, 2006, Pengantar Ilmu
Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Hukum, Prestasi Pustakaraya, Jakarta
Praktik Peradilan, Mandar Maju, Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV
Bandung Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang
Muzakkir, 1 Maret 2012, Makalah Mahkamah Konstitusi
disampaikan pada kegiatan diskusi Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
“Peninjauan Kembali Putusan Pidana Kekuasaan Kehakiman.
oleh Jaksa Penuntut Umum” Undang-Undang Republik Indonesia No. 8
diselenggarakan oleh Badan Litbang Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Diklat Kumdil Mahkamah Agung Pidana
Republik Indonesia di Hotel Santika.
P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, 1983,
Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung
Prasetyo, Teguh, 2013, Hukum Pidana : edisi
revisi, Rajawali Pers, Jakarta
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-
XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi No.16/PUU-
VI/2008
Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-
XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
33/PUU-XIV/2016
Siahaan, Maruarar, 2011, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia edisi 2, Sinar Grafika, Jakarta
Simanjuntak, Osman, 1995, Teknik
Penuntutan dan Upaya Hukum,
Grasindo, Jakarta

You might also like