Professional Documents
Culture Documents
Stunting 2
Stunting 2
Abstract
In 2013, the prevalence of stunting in rural areas of Jember is 67% and 27,27% for urban areas.
Stunting if problem above 20% that is a public health problem. The purpose of this study was to
analyze the factors that influence the genesis of stunting in toddlers between rural and urban
areas. This type of this study is an observasional analytic with cross-sectional approached and
conducted in Patrang health center and Mangli health center for urban whereas Kalisat health
centers for rural with sample fifty respondents each. Analysis of data consisting of chi-square
test, mann whitney test and logistic regression with α=0,05. Result of analysis showed that
affecting factors of stunting occurrence in toddlers who are in the rural and urban areas were
the mother's education, family income, mother's knowledge of nutrition, exclusive breastfeeding,
complementary feeding age provision, zinc and iron adequacy level, infection disease history
and genetic factors. However, another factors such as mother's work, family numbers,
immunization status, energy adequacy level and BBLR status didn't affect the occurrence of
stunting. Protein and calcium adequacy level in rural areas showed a significant relation while in
urban areas showed no relation. The most factor affecting stunting on toddlers in rural and
urban areas was zinc adequacy level.
Abstrak
Pada tahun 2013 prevalensi stunting di Kabupaten Jember tertinggi di daerah pedesaan yaitu
67% dan wilayah perkotaan tertinggi sebesar 27,27%. Apabila masalah stunting di atas 20%
maka merupakan masalah kesehatan masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan
perkotaan. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross-sectional dan
dilakukan di Puskesmas Patrang dan Puskesmas Mangli untuk perkotaan dan Puskesmas
Kalisat untuk pedesaan dengan jumlah sampel sebanyak 50 responden. Analisis data
menggunakan analisis chi-square, mann whitney dan regresi logistik dengan α=0,05. Hasil
analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita
yang berada di wilayah pedesaan dan perkotaan adalah pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur pemberian MP-ASI, tingkat
kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta faktor genetik. Namun, untuk status
pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga, status imunisasi, tingkat kecukupan energi, dan status
BBLR tidak mempengaruhi terjadinya stunting. Tingkat kecukupan protein dan kalsium di
wilayah pedesaan menunjukkan hubungan yang signifikan sedangkan di wilayah perkotaan tidak
menunjukkan adanya hubungan. Faktor yang paling mempengaruhi terjadinya stunting pada
anak balita di wilayah pedesaan maupun perkotaan yaitu tingkat kecukupan zink.
di desa dan kota yaitu sebesar 100% pada stunting pada anak balita yang berada di
wilayah desa, sedangkan untuk wilayah kota pedesaan maupun perkotaan tidak memiliki
sebesar 93,3%. Tingkat pengetahuan ibu hubungan. Hal tersebut disebabkan oleh nilai p-
mengenai gizi pada anak balita stunting yang value dari uji keduanya yaitu > α (0,05) yaitu
berada di desa sebagian besar adalah kurang 0,279 untuk daerah pedesaan dan 0,086 pada
dengan persentase 64,5% (20 ibu anak balita), daerah perkotaan.
sedangkan untuk wilayah kota sebagian besar Tingkat kecukupan energi pada anak
yaitu tingkat pengetahuan cukup yaitu sebesar balita stunting yang berada di desa termasuk
86,7%. Jumlah anggota keluarga dalam kategori sedang sebesar 48,4%, sedangkan
penelitian diperoleh bahwa jumlah anggota untuk di perkotaan tingkat kecukupan energi
keluarga pada anak balita stunting baik yang kategori baik dengan persentase 53,3%. Selain
berada di desa maupun di kota sebagian besar itu untuk tingkat kecukupan protein pada anak
termasuk dalam kategori keluarga kecil dengan balita stunting yang berada di wilayah desa
persentase sebesar 77,4% pada daerah terbanyak adalah kategori kurang sebesar
pedesaan, sedangkan untuk di wilayah kota 41,9%, sedangkan untuk di perkotaan tingkat
yaitu sebesar 93,3%. kecukupan protein termasuk kategori baik
Berdasarkan hasil uji chi-square sebesar 46,7%. Pada tingkat kecukupan zink
terdapat hubungan antara variabel pendidikan pada anak balita stunting baik di desa maupun
ibu, pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu di kota sebagian besar termasuk dalam kategori
mengenai gizi terhadap kejadian stunting pada kurang dengan persentase 71% untuk di desa
anak balita antara di desa dan kota. Selain itu, dan 66,7% di kota. Tingkat kecukupan kalsium
untuk variabel status pekerjaan ibu dan jumlah yang berada di wilayah desa terbanyak adalah
anggota keluarga tidak menunjukkan hubungan kategori kurang yaitu sebesar 83,9%,
yang signifikan terhadap kejadian stunting pada sedangkan untuk di daerah perkotaan tingkat
anak balita antara di desa dan kota. kecukupan kalsium termasuk kategori cukup
Pada variabel pola asuh anak balita sebesar 60%, sedangkan tingkat kecukupan zat
meliputi pemberian ASI eksklusif dan umur besi anata di desa dan kota sama yaitu
pemberian MP-ASI pertama kali. Pada termasuk kategori kurang sebesar 80,6% di
pemberian ASI eksklusif di desa maupun di kota wilayah pedesaan, sedangkan untuk daerah di
sebagian besar tidak memberikan ASI eksklusif. kota sebesar 60%.
Hal tersebut dapat dilihat bahwa ibu yang tidak Berdasarkan hasil uji chi-square tidak
memberikan ASI eksklusif yaitu sebesar 71% di terdapat hubungan antara tingkat kecukupan
daerah pedesaan, sedangkan untuk di kota energi dengan kejadian stunting pada anak
sebesar 53,3%. Pada umur pemberian MP-ASI balita baik di desa maupun kota, sedangkan
pertama kali pada anak balita stunting yang untuk tingkat kecukupan zink dan zat besi
berada di desa sebagian besar adalah pada memiliki hubungan yang signifikan. Pada daerah
umur ≤ 6 bulan sebanyak 64,5%, sedangkan di pedesaan terdapat hubungan yang antara
untuk di wilayah perkotaan sebagian pada umur tingkat kecukupan protein dan kalsium terhadap
> 6 bulan dengan persentase 60%. kejadian stunting pada anak balita, ditunjukkan
Pada hasil uji bivariat diketahui bahwa dengan nilai p-value < α (0,05). Akan tetapi,
pemberian ASI eksklusif dan umur pertama untuk di daerah perkotaan memiliki nilai p-value
pemberian MP-ASI merupakan faktor yang > α (0,05), hal ini berarti tingkat kecukupan
memberikan hubungan antara pola asuh dengan protein dan kalsium tidak memiliki hubungan
kejadian stunting pada anak balita yang baik dengan kejadian stunting pada anak balita.
yang berada di wilayah pedesaan maupun Pada riwayat penyakit infeksi anak
perkotaan yang ditunjukkan dengan nilai p-value balita stunting baik di desa maupun di kota
pada masing-masing variabel < α (0,05). sebagian besar memiliki riwayat penyakit infeksi
Pada variabel perawatan kesehatan dengan persentase sebesar 100% pada kedua
meliputi status imunisasi menunjukkan sebagian daerah tersebut. Berdasarkan hasil uji chi-
besar anak balita stunting baik yang berada di square diketahui bahwa riwayat penyakit infeksi
desa maupun kota telah melakukan imunisasi. dengan kejadian stunting pada anak balita yang
Persentase jumlah anak balita stunting yang berada di pedesaan maupun perkotaan memiliki
telah melakukan imunisasi yaitu sebesar 90,3% hubungan yang signifikan yaitu dengan nilai p-
di pedesaan, sedangkan untuk daerah di kota value berturut-turut yaitu 0,017 dan 0,001 < α
yaitu sebesar 86,7%. Berdasarkan hasil uji (0,05). Pada status berat bayi lahir rendah
bivariat perawatan kesehatan dengan kejadian (BBLR) pada anak balita stunting baik di desa
maupun di kota sebagian besar tidak BBLR baik dapat menyediakan makanan dengan jenis
dengan persentase 74,2% di pedesaan, dan jumlah yang tepat untuk mendukung
sedangkan untuk di kota yaitu sebesar 93,3%, pertumbuhan dan perkembangan anak balita.
sedangkan pada faktor genetik anak balita Hasil analisis hubungan status
stunting yang berada di wilayah desa maupun pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada
kota sebagian besar dipengaruhi oleh faktor anak balita diperoleh hasil bahwa antara status
genetik dengan persentase 80,6% untuk di pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada
pedesaan, sedangkan di perkotaan yaitu anak balita tidak memiliki hubungan yang
sebesar 53,3%. Berdasarkan hasil uji bivariat signifikan. Hasil ini tidak sesuai dengan
pada kedua variabel tersebut menunjukkan penelitian yang dilakukan di Kota Semarang
bahwa BBLR dengan kejadian stunting pada menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
anak balita yang berada di wilayah pedesaan antara pekerjaan ibu dengan status gizi, dimana
maupun perkotaan tidak memiliki hubungan ibu yang bekerja mempunyai anak pendek (< -2
yang signifikan, sedangkan untuk faktor genetik SD) lebih banyak di bandingkan dengan ibu
dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang yang tidak bekerja [14]. Hal ini terjadi karena
signifikan dengan kejadian stunting pada anak pada penelitian ini sebagian besar ibu tidak
balita baik yang berada di pedesaan maupun bekerja, sehingga ibu yang tidak bekerja akan
perkotaan. mempunyai waktu yang lebih banyak dengan
anaknya dan mempengaruhi peningkatan
Pembahasan kualitas gizi anaknya.
Hasil analisis hubungan tingkat Hasil analisis diperoleh hasil bahwa
pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada jumlah anggota keluarga bukan merupakan
anak balita menunjukkan hubungan, baik yang faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
berada di daerah pedesaan maupun perkotaan. stunting pada anak balita di daerah pedesaan
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian maupun di perkotaan. Sama dengan hasil
yang pernah dilakukan di daerah perkotaan penelitian yang sebelumnya yang menunjukkan
yaitu di Kelurahan Kalibaru Kota Depok yang bahwa tidak ada hubungan bermakna antara
menyatakan bahwa kecenderungan kejadian jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian
stunting pada balita lebih banyak terjadi pada stunting pada anak balita [6]. Jumlah anggota
ibu yang berpendidikan rendah [5]. Hal ini keluarga tidak menjamin status gizi dari setiap
dikarenakan di masyarakat masih berkembang anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga jika
pemikiran bahwa pendidikan tidak penting serta diimbangi dengan ketersediaan dan distribusi
terkait dukungan dari keluarga untuk menempuh makanan yang merata dan seimbang dapat
pendidikan yang lebih tinggi yang masih belum mengurangi risiko terjadinya stunting pada anak
maksimal. Secara tidak langsung tingkat balita.
pendidikan ibu akan mempengaruhi Pada hasil analisis menunjukkan
kemampuan dan pengetahuan ibu mengenai terdapat hubungan yang signifikan antara
perawatan kesehatan terutama dalam pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting
memahami pengetahuan mengenai gizi. pada anak balita baik yang berada di daerah
Hasil analisis menunjukkan bahwa pedesaan maupun di perkotaan. Sama halnya
tingkat pengetahuan ibu mengenai gizi dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa
merupakan salah satu faktor yang dapat status ekonomi keluarga yang rendah di Maluku
mempengaruhi terjadinya stunting pada anak Utara berhubungan signifikan dengan kejadian
balita baik yang berada di daerah pedesaan stunting dan severe stunting pada balita usia 0 –
maupun perkotaan. Hasil penelitian ini sama 59 bulan [7]. Apabila ditinjau dari karakteristik
dengan penelitian yang dilakukan di Semarang pendapatan keluarga bahwa akar masalah dari
yang menunjukkan pengetahuan ibu tentang gizi dampak pertumbuhan bayi dan berbagai
merupakan faktor risiko kejadian stunting yang masalah gizi lainnya salah satunya disebabkan
bermakna [1]. Pengetahuan mengenai gizi dan berasal dari krisis ekonomi. Sebagian besar
merupakan proses awal dalam perubahan anak balita yang mengalami gangguan
perilaku peningkatan status gizi, sehingga pertumbuhan memiliki status ekonomi yang
pengetahuan merupakan faktor internal yang rendah.
mempengaruhi perubahan perilaku. Pada hasil analisis menunjukkan
Pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan bahwa kejadian stunting pada anak balita baik
perilaku ibu dalam menyediakan makanan untuk yang berada di wilayah pedesaan maupun
anaknya. Ibu dengan pengetahuan gizi yang perkotaan dipengaruhi oleh variabel pemberian
ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sesuai dengan imunisasinya lengkap maupun yang tidak
penelitian yang dilakukan di Surakarta yang lengkap memiliki peluang yang sama untuk
menyatakan bahwa status menyusu juga mengalami stunting.
merupakan faktor risiko terhadap kejadian Hasil analisis hubungan tingkat
stunting [6]. Rendahnya pemberian ASI eksklusif kecukupan energi dengan kejadian stunting
menjadi salah satu pemicu terjadinya stunting pada anak balita menunjukkan hasil bahwa
pada anak balita yang disebabkan oleh kejadian tingkat kecukupan energi antara anak balita
masa lalu dan akan berdampak terhadap masa yang berada di daerah pedesaan maupun
depan anak balita, sebaliknya pemberian ASI perkotaan tidak memiliki hubungan terhadap
yang baik oleh ibu akan membantu menjaga terjadinya stunting pada anak balita. Hasil
keseimbangan gizi anak sehingga tercapai penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian
pertumbuhan anak yang normal. sebelumnya yang menyatakan bahwa ada
Hasil analisis hubungan umur pertama hubungan yang signifikan antara konsumsi
pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting energi dengan kejadian stunting pada balita di
pada anak balita menunjukkan praktek Sumatera [6]. Hal tersebut dikarenakan asupan
pemberian MP-ASI pada anak balita merupakan zat gizi yang tidak adekuat, terutama dari total
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya energi berhubungan dengan masalah dan
stunting pada anak balita yang berada di daerah gangguan pertumbuhan fisik pada anak balita.
pedesaan dan perkotaan. Penelitian ini sesuai Perbedaan hasil hubungan antara asupan
dengan Depkes yang menyatakan bahwa energi balita dengan kejadian stunting pada
gangguan pertumbuhan pada awal masa penelitian ini bisa terjadi dikarenakan faktor lain
kehidupan bayi antara lain disebabkan oleh seperti adanya penyakit infeksi atau penyakit
kekurangan gizi sejak bayi, pemberian MP-ASI penyerta yang dapat menghambat dan
terlalu dini atau terlalu lambat, MP-ASI tidak menggangu proses penyerapan energi oleh
cukup gizinya sesuai kebutuhan bayi atau tubuh.
kurang baiknya pola pemberiannya menurut Hasil analisis hubungan tingkat
usia, dan perawatan bayi yang kurang memadai kecukupan protein dengan kejadian stunting
[9]. Anak balita yang diberikan ASI eksklusif dan pada anak balita menunjukkan bahwa tingkat
MP-ASI sesuai dengan dengan kebutuhannya kecukupan protein di daerah pedesaan
dapat mengurangi resiko tejadinya stunting. Hal berhubungan dengan kejadian stunting pada
ini karena pada usia 0-6 bulan ibu balita yang anak balita. Hal ini sesuai dengan penelitian di
memberikan ASI eksklusif yang dapat daerah pedesaan yang menunjukkan bahwa
membentuk imunitas atau kekebalan tubuh anak asupan protein berhubungan dengan stunting.
balita sehingga dapat terhindar dari penyakit Setiap penambahan satu persen tingkat
infeksi. Setelah itu pada usia 6 bulan anak balita kecukupan protein, akan menambah z-skor
diberikan MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi TB/U balita sebesar 0,024 satuan [6]. Pada
yang cukup sehingga anak balita terpenuhi daerah pedesaan umumnya sumber protein
kebutuhan zat gizinya yang dapat mengurangi yang dikonsumsi berasal dari protein nabati.
risiko terjadinya stunting. Kandungan protein pada sumber bahan
Hasil analisis hubungan perawatan makanan hewani lebih tinggi jika dibandingkan
kesehatan dengan kejadian stunting pada anak dengan sumber protein nabati. Akan tetapi,
balita menunujukkan bahwa tidak ada hubungan untuk di wilayah perkotaan tidak menunjukkan
antara pemberian imunisasi dengan kejadian hubungan yang signifikan antara tingkat
stunting pada anak balita baik di wilayah kecukupan protein dengan kejadian stunting
pedesaan maupun di perkotaan. Hasil ini pada anak balita. Sama halnya dengan
bertentangan dengan penelitian sebelumnya penelitian yang sebelumnya dilakukan di Afrika
yang menunjukkan bahwa status imunisasi yang bahwa anak stunting di perkotaan memiliki
tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan asupan protein cukup baik bila dibandingkan
dalam kejadian stunting pada anak usia < 5 dengan anak-anak yang stunting di pedesaan
tahun [7]. Dalam hal ini imunisasi yang lengkap sehingga menunjukkan tidak ada hubungan
belum tentu dapat menjamin anak terhindar dari antara kecukupan protein dengan status gizi
suatu penyakit. Terdapat beberapa hal yang kronis pada anak balita [11]. Tidak adanya
dapat mempengaruhi manfaat dan efektivitas hubungan antara kejadian stunting dengan
dari pemberian imunisasi seperti kualitas vaksin kecukupan protein disebabakan penggunaan
yang diberikan tidak memenuhi standart atau protein tersebut belum memadai dan efisien
kurang baik. Hal ini berarti baik anak balita yang untuk proses pertumbuhan linier. Selain itu juga
didukung dengan adanya faktor lain yang anemia gizi besi pada balita dihubungkan
menyebabkan zat-zat gizi yang telah dikonsumsi dengan terganggunya fungsi kognitif, perilaku
tidak sampai atau tidak diabsorbsi dengan baik dan pertumbuhan. Selain itu, zat besi
oleh tubuh seperti penyakit infeksi. memegang peranan penting dalam sistem
Hasil analisis hubungan tingkat kekebalan tubuh [10].
kecukupan zink dengan kejadian stunting pada Hasil analisis hubungan riwayat
anak balita menunjukkan bahwa tingkat penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada
kecukupan zink berhubungan dengan kejadian anak balita menunjukkan terdapat hubungan
stunting pada anak balita baik yang berada di antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian
daerah pedesaan maupun yang berada di stunting pada anak balita baik yang berada di
perkotaan. Sama dengan hasil penelitian yang pedesaan maupun yang berada di perkotaan.
pernah dilakukan di Semarang menunjukkan Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
bahwa rendahnya kecukupan zink dapat yang dilakukan di Karangasem yang
memberikan risiko perawakan pendek pada menunjukkan bahwa penyakit infeksi dapat
anak balita [13]. Hal tersebut yang dapat menggangu pertumbuhan linier dengan terlebih
mempengaruhi proses pertumbuhan, mengingat dahulu mempengaruhi status gizi anak balita.
zink sangat erat kaitannya dengan metabolisme Hal ini terjadi karena penyakit infeksi dapat
tulang, sehingga zink berperan secara positif menurunkan intake makanan, mengganggu
pada pertumbuhan dan perkembangan dan absorbsi zat gizi, menyebabkan hilangnya zat
sangat penting dalam tahap-tahap pertumbuhan gizi secara langsung, meningkatkan kebutuhan
dan perkembangan. metabolik [15]. Terdapat interaksi bolak-balik
Hasil analisis hubungan tingkat antara status gizi dengan penyakit infeksi.
kecukupan kalsium terhadap kejadian stunting Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi,
pada anak balita menunjukkan hubungan sedangkan infeksi dapat menyebabkan
signifikan di pedesaan. Hal tersebut sesuai malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran
dengan penelitian yang dilakukan di Afrika yang setan. Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu
menyatakan bahwa kurangnya tingkat lama dan tidak segera diatasi maka dapat
kecukupan kalsium dapat mengakibatkan menurunkan intake makanan dan mengganggu
munculnya masalah status gizi kronis pada anak absorbsi zat gizi, sehingga dapat meningkatkan
balita [11]. Akan tetapi hasil yang berbeda risiko terjadinya stunting pada anak balita.
ditunjukkan pada hasil bivariat yang dilakukan di Pada hasil analisis menunjukkan tidak
perkotaan, bahwa tidak ada hubungan yang ada hubungan antara status BBLR dengan
signifikan antara kecukupan kalsium dan kejadian stunting pada anak balita baik di
kejadian stunting. Perbedaan tersebut wilayah pedesaan maupun di perkotaan. Hasil
disebabkan oleh faktor lain seperti cara penelitian ini bertentangan dengan penelitian
pengolahan makanan yang dapat yang sebelumnya dilakukan yang menjelaskan
mempengaruhi kandungan kalsium dalam suatu bahwa anak yang BBLR kedepannya akan
makanan seperti dalam pembuatan susu. Di memiliki ukuran antropometri yang kurang di
daerah pedesaan cara pengolahan makanan masa dewasa [6]. Hal tersebut memang
yang kurang baik masih banyak ditemui. Pada berlawanan dengan adanya teori yang ada.
proses pengolahan dapat memberikan pengaruh Anak balita yang lahir dengan berat badan lahir
terhadap kelarutan mineral dan gizi bahan rendah lebih berisiko untuk tumbuh stunting
pangan karena terjadi kerusakan oleh panas dibanding anak yang lahir dengan berat badan
yang berakibat menurunnya nilai gizi. normal. Selain itu kondisi BBLR tidak akan
Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan mempengaruhi pertumbuhan anak balita jika
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. anak tersebut mendapatkan asupan yang
Pada hasil analisis menunjukkan bahwa memadai serta kondisi lingkungan mendukung
tingkat kecukupan zat besi mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak balita.
kejadian stunting pada anak balita baik yang Hasil analisis hubungan faktor genetik
berada di daerah pedesaan maupun yang orang tua dengan kejadian stunting pada anak
berada di perkotaan. Hal yang sama ditunjukkan balita diketahui bahwa faktor genetik orang tua
pada penelitian di Afrika bahwa rata-rata asupan merupakan faktor yang mempengaruhi
zat besi balita stunting mengalami defisiensi terjadinya stunting pada anak balita yang tinggal
dibandingkan dengan balita normal [11]. di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Hasil
Asupan zat besi yang rendah memungkinkan penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang
terjadinya anemia defisiensi besi. Dampak sebelumnya yang dilakukan di wilayah
perkotaan bahwa pada hasil analisis bivariat dan terjadinya stunting. Tingkat kecukupan protein
multivariat menunjukkan bahwa tinggi badan ibu dan kalsium di pedesaan menunjukkan
dan tinggi badan ayah merupakan faktor risiko hubungan yangsedangkan di perkotaan tidak
kejadian stunting pada balita usia 24–36 bulan menunjukkan adanya hubungan. Selain itu,
[1]. Salah satu atau kedua orang tua yang fakor yang paling mempengaruhi terjadinya
pendek akibat kondisi patologis dan memiliki stunting pada anak balita di wilayah pedesaan
gen dalam kromosom yang membawa sifat maupun perkotaan sama yaitu tingkat
pendek dapat mengakibatkan anak balita akan kecukupan zink.
mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi Saran yang dapat diberikan adalah: 1)
pendek atau stunting. Dinas Kesehatan perlu melakukan pengumpulan
Kejadian stunting pada anak balita data terkait angka kejadian stunting pada anak
merupakan konsekuensi dari beberapa faktor balita melalui survey penentuan status gizi
yang saling berpengaruh satu sama lain. Dari (PSG) di Kabupaten Jember serta melakukan
beberapa faktor yang ada, terdapat faktor yang upaya peningkatan pengetahuan ibu terkait
paling mempengaruhi terjadinya stunting pada penyebab dan dampak terjadinya stunting. 2)
anak balita baik yang berada di wilayah Puskesmas perlu mengadakan kegiatan penyu-
pedesaan maupun perkotaan. Berdasarkan hasil luhan bagi ibu anak balita terkait upaya untuk
uji regresi logistik menunjukkan bahwa tingkat memenuhi status gizi dan meningkatkan status
kecukupan zink merupakan faktor yang paling kesehatan. 3) Peningkatkan pelayanan kese-
mempengaruhi kejadian stunting pada anak hatan bagi puskesmas melalui kegiatan deteksi
balita yang berada di wilayah pedesaan maupun dini dengan mengukur tinggi badan anak balita
perkotaan. Hasil yang sama pada penelitian secara rutin setiap bulan. 4) Masyarakat perlu
yang dilakukan di Semarang bahwa tingkat meningkatan asupan makanan yang banyak
kecukupan zink merupakan faktor yang paling mengandung zink, terutama sumber bahan
mempengaruhi terhadap kejadian stunting pada makanan hewani serta memperhatikan pengola-
anak balita [13]. Zink merupakan salah satu zat han bahan makanan dengan baik dan benar. 5)
gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit tetapi Penelitian lebih lanjut mengenai hubungan ke-
kebutuhannya sangat esensial bagi kehidupan. beradaan dan pemanfaatan pelayanan kese-
Hal tersebut yang dapat mempengaruhi proses hatan serta sanitasi lingkungan dengan kejadian
pertumbuhan pada sebagain besar anak balita, stunting pada anak balita di desa dan kota.
mengingat zink sangat erat kaitannya dengan
metabolisme tulang sehingga zink berperan Daftar Pustaka
secara positif pada pertumbuhan dan [1] Nasikhah R. Faktor Risiko Kejadian
perkembangan. Anak membutuhkan zink lebih Stunting Pada Balita Usia 24-36 Bulan Di
banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan Kecamatan Semarang Timur, Semarang.
secara normal, melawan infeksi dan JKM. 2012: Vol (1): 56-64 [diakses tanggal
penyembuhan luka. Zink berperan dalam 29 Agustus 2014]
produksi hormon pertumbuhan. Zink dibutuhkan [2] World Health Organization. World Health
untuk mengaktifkan dan memulai sintesis Statistics 2012 [internet]: Risk Factors.
hormon pertumbuhan/GH. Pada defisiensi zink Geneva: WHO Library Cataloguing in
akan terjadi gangguan pada reseptor GH dan Publication Data; 2012 [diakses tanggal 18
produksi GH yang resisten [16]. Mei 2014]. Available from:
http://www.apps.who.int
Simpulan dan Saran [3 Kementerian Kesehatan RI. Laporan Hasil
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun
faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting 2013 [internet]: Status Gizi Anak Balita.
pada anak balita yang berada di wilayah Jakarta: Badan Penelitian dan
pedesaan dan perkotaan adalah pendidikan ibu, Pengembangan Kesehatan; 2013 [diakses
pendapatan keluarga, pengetahuan ibu tanggal 18 Mei 2014]. Available from:
mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur http://www.depkes.go.id
pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink, [4] Dewey KG dan Begum K. Long-term
tingkat kecukupan zat besi, riwayat penyakit Consequences Of Stunting In Early Life.
infeksi serta faktor genetik dari orang tua, Blackwell Publishing Ltd Maternal and Child
namun status pekerjaan ibu, jumlah anggota Nutrition. NCBI. 2011: Vol (7): 5-18 [diakses
keluarga, status imunisasi, tingkat kecukupan tanggal 30 Mei 2014] Available from:
energi, dan status BBLR tidak mempengaruhi http://www.ncbi.nlm.nih.gov