You are on page 1of 37
TANAN: osaik sosioLocis errtestrion umberday? at Lokal, Politik Masyaral mempertajam diskursus te ai kesepakatan j ikad untuk mencapal just ada itikat a permasalanin kehutanan r dapat menghambat Tee Mengapa? Karena tida saja membuat dis. mendesak harus fetta, tetapi membawa kesimpulan pada banyak kusi ee i ermasalahan kehutanan yang menyangkut masyatg, rimbawan, bal ee a sebaiknya ditunda, atau diserahkan saja pada par ee val & Jusi permnasalahan secara para. i ich so! adahal dalam mempero |! aN an pula pemahaman akan karakter hutan sebagai ekosistem ici me! 2 i : - yang juga sama tidak sederhananya sebagaimana sistem sosial, terutamy bila menyangkut hutan hujan tropis di luar Jawa. Dapat disimpulkan bahwa situasi yang berkembang di atas me. nunjukkan masih'adanya ‘kesenjangan’ dalam memahami istilah masya rakat lokal antar disiplin imu, ataupun antara kelompok teoritis yang berpikir ‘teks-ilmiah’ dengan para praktisi dan pegiat lapangan (misal dari organisasi non-pemerintah). Perbedaan tersebut akan semakin tajam apabila mempettemukan antara pihak yang berbeda kepentingan- nya terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan (misal antara masyarakat dengan pengusaha perkayuan). Oleh karena masyarakat lokal akan men- jadi sentral bahasan dalam buku ini, maka saya mempertimbangkan penting untuk mendiskusikan secara dini permasalahan istilah de ae baik berdasarkan lingkup diskusi selama ini maupun sumbet tee eyeen akhir dasi diskusi dala sub-bab Bee Fa a Pemaheman ‘masyarakat loka!” yang diag , yang sekaligus diharapkan dapat dijadikan kes¢p® a : tan dari seluruh pembaca sebelum masuk pada bab-bab berikutny* Tsu fu fara e, a yang melandasi kontradiksi bermula dari pe™ EriSrarakae rapa membentuk istilah masyarakat lokal, yaitu ist memang dalam ken ni) dan istilah ‘loka?’ (local). Istilah ‘commit Te (Gangat res diterjemahkan langsung sebagai ‘asl Pre dalam. Pitas nakan istilah ‘komunitas’, ‘kom osiologis sebagai persekutuan hidi al pengoun ; aan d; t juga a] BD) Pemahaman istilah masyarakat sanga' tint, 2001), dari suatu bangsa (nat jara s Sockanto, 1990: | 20 a arakat Lokal umberdaya Hut in MOSAIK SOSioLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Polik dan Kelestanes Sumberdaya —aslarian Sumberdaya penduduk suatu wilayah administrasi (population), atau babkan setiap a » Karena setiap warganegara memang memiliki ‘hak’ yang sama dalam memperoleh kehidupan dan penghi- dupan, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. ig istilah ‘rakyat? (peopl) juga digunakan untuk an tetapi telah luas di- ifat politis penggunaannya, karena cenderung pada Pembedaan antara suatu kelompok dari warga negara yang lemah (inferior) terhadap pihak penguasa/pemerintah yang lebih kuat kedudukannya (spperior). Begitu pula dalam bidang kehutanan masa lalu (secara jelas dapat dilihat pada Undang-Undang Pokok Ke- hutanan No, 5/1967), istilah ‘hutan rakyat (private forest) lebih menekan- kan hak kepemilikan di luar negara (dalam arti membedakannya dengan ‘milik’ (baca: dikuasai negara--state-owned ores). Sebenarnya fenomena yang terjadi mengenai pemahaman di atas sudah pernah dikemukakan oleh Mitchell (1984), bahwa pengeunaan istilah ‘masyarakat’ bersifat Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 91 MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian ‘Sumberdaya —S eee yang lebih baik pada beberapa generasi yang lalu (misal suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur yang turun dari Apokayan di per- batasan dengan Malaysia ke wilayah daerah aliran sungai Mahakam; atau beberapa warga terkena program rese/lement atau relokasi desa (ihat detil al. Jessup, 1981; Bilung, 1995; Gellert, 1995; Subroto, 1997) Kiranya akan lebih jelas bila dalam hal ini dicoba secara konkret untuk menyampaikan kesulitan pendefinisian ‘masyarakat loka!’ yang dihadapi olch Gellert (1995) pada saat melakukan studi tentang pekerja !okal di perusahaan perkayuan di Kalimantan Timur (lihat Kolom 2.1.). Kolom 2.1. Siapakah yang Dimaksud ‘Masyarakat Lokal’? Istilah masyarakat lokal (atau di ebutnya ‘orang setempat’) dan ‘masya- takat pribumi’ (atau discbutnya ‘orang asli?) menjadi kontroversial di Indo- nesia, Khususnya dalam scktor kehutanan, Secara ringkas, para pengusaha perkayuan khawatir bahwa pengakuan terhadap masyarakat pribumi akan jmendorong tuntutan atas_komp: Bantuan yang. berkelanjur . Perusahaan perkayuan (HPH) s wan tethadap tuduhan bahwa mereka tidak memberikan keuntungan atau manfaat yang memadai bagi masyarakat di sekitarnya, dan manfaat dimaksud yang langsung dapat di- nikmati adalah lapangan pekerjaan. Oleh karenanya mercka mencoba untuk merekrut beberapa orang lokal sebagai pekerja. Salah sata di antara upaya yang dilakukan adalah dengan men 1 ( Indonesia adalah masyarakat lokal— lah argumen dalam rangka Indonesiasi pekerja pada tahun 70’an, Dalam ke Syataannya di Kalimantan Timur pekerja perusahaan HPH terdicl dari be- tagam kelompok etnis—baik dari Kalimantan dan pulau-pulay lai Me agam kelompok Dayak (contoh Kenyah, Kayan, Punan, ‘Tunjung, Bahau, dan | ada Paling Jama dan tentunya dikualifikasikan sebagai ‘orang atas niigrasi orang Ba dati Sulawesi. Bahkan sejah tahun 70-an d; Masyarakat Lokal 1 MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya poet ee b = e vation), yang justru memperlemah tuntutan mereka cestral land rights). Migrasi yang paling dikenal adalah perp’ an ke beberapa wilayah Sungai Mahakam (antara : ‘ ; Oleh karenanya di bidang kehutanan, cara yan lakan masyarakat lokal dari kelompok pendatai ani mereka di suatu wilayah sebelum atau sesu PH. Meskipun ikian, masih dijumpai ad: an batas geoprafi penetapan ‘lokal’. Peru: tai dan Banjar dalam da‘ Pada akhirnya, tidaklah definisikan dan mei ess poe yang berkaitan dengan pembangu ae alam hal ini pengembangan pengelolaa® syarakat lokal itu sendiri, B Dalam Surat i , len; lanjutnya dipeitimbangkan berdara tee Semasyarakatan (yang S© an perubahan hirarki carat | 4 Masyarakat Lokal ae dan umberdaya Hutan K i: 11/2001 tentang Peete (SK) Menteti Kehutanan No. 31/Kpts MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Mayra Lol Pot an Kolesar Sumber "TAP MPR No. 5/2000 diangk«i dalam draf ane hal yang sama—belum bernomor dani ber- Se dig eroleh pada Mei 2001), tertera pengertian umum “masya~ Oe chal (dalam draf disebut sebagai ‘masyarakat setempat)), yaitu: a sosial yang lerdiri dari warga negara Republik I indonesia, vee ae di dalam dan/ atau di sekitar butan, yang membentuk, komunitas, yang eT om pada mata penccharian yang berkaitan dengan hutan, kesejar lie eterika tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kebidupan bersama Uraian di atas menunjukkan, bahwa sejauh ini memang tidak ae kriteria yang disepakati bersama dalam mendefinisikan ‘masyaral ; lokal’, Oleh karenanya guna kepentingan bahasan dalam buku ini pet! a ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: Pertama, bahwa apa yang dimaksui masyarakat lokal adalah sekelompok orang, baik yang disebut masyata- kat adat maupun péndatang (baik sedaerah ataupun dari luar daerah), yang telah turun-temurun bertempat tinggal di dalam dan di sekitar hutan sehingga memiliki keterikatan kehidupan (termasuk teknologi dan norma budaya) serta penghidupan (meliputi subsistensi dan pen- dapatan) bersama atas hasil hutan dan/atau lahan hutan. Dalam kaitan ini tentunya penggunaan pemahaman ini lebih dimaksudkan pada saat terjadi konflik kepentingan terkait sumberdaya hutan dengan pihak dari luar (misalnya antara masyarakat lokal dimaksud yang telah ada sebelum kebangunan ekonomi tahun 70-an beserta keturunannya dengan peng- usaha perkayuan ataupun pencari kerja/petani hutan yang datang ke- mudian). Kedua, bahwa kemudian seandainya kita masih mengalami per- masalahan internal yang terkait dengan kepentingan kelompok atas sumberdaya hutan antara dua kategori masyarakat pada suatu wilayah maka prioritas ‘penghormatan hak’ seharusnya diberikan kepada ‘ma ftatalt adat? daripada ‘pendatang" (dalam kategori terakhir sekali lagi arus dipahami baik yang sedaerah ataupun dari luar daerah). Sebe. Fae sulit untuk mencari alasan yang sangat ‘akurat’ dalam hal ini n tetapi secara pemikiran logis (comm il bi : takat adat memperoleh nee rene eee ae kepentin, toleh priotitas kep gan terhaday b ae ees lebih tinggi daripada kelompok penlineeSeek gan saya fal ini ditinjau baik dari sisi sejarah kehadirannya (yang Macvarabat T a1--1 yon 00.09 gumberday? : 4 l Fs dan tangguns jawab bagi mag h econ lebih besat); implementasi kelem sya ar memnbuday) Bp oiibenkan oleh pihak-pihak luar ats 2 engakuan yan Pparusny Jebih kuat). g raR HUTAN 2.2. TIPCLOGI MASYARAKAT SEKITAR . ahami istilab ‘masyarakat lokal’ sajq, Bukan hanya dalam hal py Bein apolog masyaralalll tetapi juga tidaklah mudah untul memet Flteecbut mega i Thutan hujan tropis saat int. Fiat fer ¢ osha y m pembangunan sosial-eko. bangan berbagai kebijakan dan progra' per : anid donesia (diikuti dengan perubahan fisik hutan) selama bebe. ndonesia j a dasarwarsa telah mewarnai sejarah keberadaan suatu komunitas pada suatu wilayah (misalnya desa). Dengan demikian juga terjadi dina. misasi hak dan tanggung jawab yang dimilikinya serta hubungan keter gantungan suatu komunitas tethadap hutan. Beberapa ahli/peneliti membuat tipologi masyarakat lokal secara berbeda menurut sudut pandang masing-masing. Sebagai contoh, von Maydell (1989; lihat juga deBeer dan McDermott, 1989) berpendapat, bahwa masyarakat lokal pada dasarnya cukup bila dibedakan atas dua kelompok yaitu: 1. Pemburu (bunteri) dan peramu atherers) hasi } iistl L ri asil hut: tila: Pecan pened butan (re dwellers), RoNipan’ sel ee ber: ae ema, al tersebut dilakukan secara sangat se im. aes diperoleh lebih banyak digunakat pao i i subsistence), Kelompok ini daptt mereka sudah turun dari ekosis 4 mu; atl ekosistem hutan, kareft erpindah. Interaks temurun tin, tan, 1 1 di dal: i" nak: eraksi tethadan linet alam hutan, dan aca ‘ 40 populasi dan kcttade ing mache cen ae “ 2 a erbatas4 nd ion orest farmers) yan, Peay ‘ar hutan (forest ee ‘a, maka kel, las “ca umumnya aka Mpok ini Surroundiny ya merup: telah uillagers). Sesuai dengt iN aaa a’ Menetap dalam seb agang traders) 158: hidup dari kerajinall 7 "Pat dikatakan walaup MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan starian Sumberdaya masih sangat erat berhubungan dengan hutan, tetapi dari sumber-sumber lainnya. Hasil yang diperoleh jukan baik untuk keperluan sendin iisuae) atau ‘ual (commercial). Dengan demikian bila dikatakan sebagai masyara- ay ee a Btn Kea poor), bukan berarti mereka pe- ngangguran (jobless), tetapi tidak memiliki kesempatan mempero! leh pendapatan tunai (cash-income). kehidupanrya juga tergantung Le hutan. dituy Akan tetapi Awang (1993) berdasarkan pengalamannya berpen- dapat, bahwa pada dasarnya seluruh masyarakat lokal di dalam atau di sekitar areal hutan di luar Jawa berbasis pada pertanian ladang atau sering disebut pertanian ‘gilir-balik’’. Ini berarti bahwa baik forest dwellers dan forest surrounding villagers dalam petkembangannya pada dasarnya me- miliki kegiatan yang kurang lebih sama. Oleh karenanya Awang (1993) lebih memilih mengelompokkan masyarakat menjadi tiga beserta karak- teristiknya dengan mendasarkan pada perkembangan sosial-ekonomi (termasuk mata pencaharian) kelompok masyarakat dimaksud, yang dapat disarikan sebagai berikut: 1. Magarakat Teal, yet mereka yang tinggal wilayah terisolir (remote areas), biasanya pada wilayah geografis perbukitan, lembah-lembah atau tepi sungai, merupakan kelompok masyarakat adat yang berada di tempat asalnya sehingga bersifat homogen dan hukum adat masih diberlakukan (terneg us adanya tanah adat yang dihormati bersama), kebutuhan hidup utamanya berasal dari hutan, dan memiliki tekno- logi usahatani berladang. 2. Masyarakat Baru Yang Transisi, yaitu mereka yang mencoba m Randle dan penghidypanoya ke arah lel rete dengan gee dan/atau tinggal pada wilayah-wilayah yang relatif terbuka seperti di tepi jalan atau Pusey kegiatan (beam HPH, Karena perpindahan dari tempat asal maka merupakan kelompok masyarakat yang relatif eae (sehingga ikatan adat semakin longgar, termasuk soal status lahannya), mulai memiliki akses pasar dan oleh karenanya me- peembangkan usaha tani menetap dengan jenis-jenis utama tanaman es yang niagawi (karet, buah-buahan, dan alawija). Akan tetapi utan (khususnya berburu dan memungut lier hutan_nir-ka: 5 masih berperan penting dalam menambah pendapatan keluarga; % 3. Masyarakat Yan; i i 2 Menetap, yaitu yang telah tinggal pada di mpung (termasuk kampung tua yang dibentul ae magna Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 27 | MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya Danum, Ransa, Limbai, Ngaju, Ma’anyan, Bentian, orang Ot oa Lun Dayeh, dan Kelabit. Tunjung, Luangan, Benua’, Akan tetapi Djatmiko (1999) dalam kaitannya dengan pengem- omuniti forestri (community forestry), merasa lebih sestai bila pe- kan masyarakat lokal sekitar hutan secara lebih rinci tetap ber- dasarkan hubungan dengan sumberdaya tersebut, yaitu: t i -suku asli yan; 1. Masyarakat penghuni hutan (forest divellers), ialah suku-suku ash yang a 2 | dan ee di dalam hutan dan ean ear budayanya ore dalam memanfaatkan dan mengelola hutan. Masyarakat suku sen asli ini memiliki hukum adatnya senditi berkenaan dengan peman- faatan sumberdaya hutan tersebut; bangan k ngelompo! 2. Masyarakat adat pen; lola hutan (indigenous people), ialah masyarakat adat yang, meskipun tidak tinggal di dalam hutan, menguasai dan menge- fola kawasan hutan untuk kepentingan bersama- Sebagian dati masyarakat adat ini memiliki wilayah hutan yang khusus dipet- untukkan bagi keperluan religi; 3. Masyarakat pemilike bhutan (forest owners), ialah masyatakat yang mem- budidayakan, memiliki dan mengelola hutan-hutan rakyat, batik yang terikat di dalam hukum adat ataupun tidak; 4. Masyarakat lokal di sekitar butan (local communities), talah masyarakat tinggal di sekitar dan memanfaatkan hutan, namun tidak me- nei ff miliki atau menguasai kawasan hutan; Berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, Devung (2000) berdasarkan pengamatannya pada masyarakat sekitar hutan di Kali- mantan Timur menggunakan dua dasar, yakni sejarah dan pola peng- gunaan hutan guna memperoleh Klasifikasi atas masyarakat lokal se- bagai berikut: 1. Berdasarkan hubungan historis dengan sumbe! 1 rdaya hutan, dapat di- pane atas: a) Masyarakat adat dengan ae adat dan pie wen ral ees ‘yang relatif masih sama seperti dulu, b) Masyarakat adat a oi re layah adat dan wilayah desa tradisional yang sudah terbagi atau ter- ate I j a administra pemerintahan, Be penduduk, resetel- Mit felokas dea, kchadiran proels pembanganan, perisabaan, “dll; 0) aoe pie popek dengan wilayah desa tradisional yang relatif masih santa lulu; d) Masyarakat lokal dengan wilayah tradisional / yang sudah ter- Masyarakat Lokal din SamberdayavHtenp | 20m MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: sya otal Pan Keston Suber j i ‘i i i ude res bagi atau terpisah oleh s.stem, »merintahan, perpindaban pen a i Be aie oe pembangunan, perusahaan, dan se . Berdasarkan sistem emanfaatan Masyarakat ya fe Le gales di sekitarnya; fasyarakal yan pee butan di eiaayar 5 Masyarakat Jang! seberapa tergantung, dari sumberdaya butan di sekitarnya; yang kebidupannya sama sekitarnya. Pembagian sebagaimana dikemukaka diatas, secara teoritis benar adanya dan bah! ; nangl cermat. Akan tetapi menurut hemat penulis dalam aplikasinya menimbulkan kesulitan, dikarenakan terlampau detilnya pembagian | lompok masyarakat. Padahal dalam realita perkembangan demo beserta dinamika sosial ekonomi dan budayanya selring: dengan bukaan wilayah Sumatera dan Kalimantan, dijumpai (dan tidak dap dih karakteristik kelompok masy: hindarkan) adanya tumpang. tin } : Oleh karenanya, mencoba menarik benang merah dari berbagat pe dapat di atas, dan dengan pertimbangan pemahaman atas mas lokal yang telah didiskusikan pada sub-bab terdahulu, serta antisipasi petkembangan sosial-ekonomi yang pesat di masa datang, maka dalam buku ini tipologi masyarakat lokal hanya akan bedakan atas dasar dua kelompok yang lebih umum, yaitu: kan dipertimbas 1. Masyarakat lokal tradisional (local traditional community), yaitu kat ‘yang sudah berada turun temurun di dalam atau sekitar hut baik yang saat ini sudah atau belum bertempat tinggal pada s\ desa yang definitif, tetapi masih memiliki dan mempraktekkan “ lembagaan (organisasi, struktur dan norma) adat dan teknologi U™ sionalnya dalam kehidupan sehari-hari (termasuk dalam meng sumberdaya hutan sebagai sumber utama kehidupan dan P hidupan ceeDRIR| kegiatan perladangan dan per sional). Umumnya kelompok zdiional ini merupakan masyat asli, yang relatif bersifat homogen (dari satu etnik dan me! Ne hubungan kekerabatan yang erat), lokasi tempat tinggalnya terpenG pa terisolir (khususnya dari kegiatan pembangunan), dail 0 arenanya fasilitas fisik dan prasarana sosial lainnya tertinggal Ue peek pendidikan dan kesehatan), serta pola, dan orientasi hidup®) sederhana (bahkan ada beberapa kelompok yang masih bess! Masyarakat Lokal dan Sumberdava Hutan MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Polk dan Kelestarian Sumberdaya San Kelesaran Sumberdaya tertutup tethadap orang asing). Termasuk dalam kelompok ini lain di Sumatera adalah Suku Anak Dalam aN ans eee ae rakat asli di Kepulauan Mentawai (lihat Tae 1994; Setyowati 2000). Sedangkan contoh dari Kalimantan adalah beberapa kelom- pok suku Dayak, antara lain Kenyah di Long Betoh ataupun masya- rakat Dusun di Tanjung Pinan, Kabupaten Pasir (Rain Timur), sebagian komunitas Dayal Kanayantn, Iban dan Simpakng (alimsgte Barat), sebagian kelom ok masyarekat Dayak Ot (Kalimantan Tengah) (lihat Aris, 1987; Anonim, 1992; Soedjito, 1994; Pilin dan Petebang, 1999; Supriyadi, 2000). Nn Masyarakat lokal non-tradisional (local non-traditional community), yaitu masyarakat asli ataupun perdatang yang telah tinggal permanen di Pema dusun ataupun desa-desa definitif di dalam dan sekitar tan, meskipun tidak memiliki (dan apalagi mempraktekkan) insti- tusi adat (kalaupun ada bersifat sangat faa it) tetapi ada yang telah mengembangkan aturan/kesepakatan lokal dalam pengelolaan sum- berdaya alam di sekitarnya termasuk pemanfaatan sumberdaya hutan asil hutan dan lahan hutan untuk pertanian). Lokasi relatif terbuka (aksesibilitas cukup ungei) dan secara umum merupakan pusat per- tumbuhan ekonomi (ada kegiatan pasar, warung, dan industri rumah tangga), dan/atau berada di pe pemerintahan lokal (ibu- kota Kecamatan ataupun Kota/Kal bata) Keterbukaan wilayah juga mengakibatkan struktur demografinya heterogen (multietnik), aaa tersentuh dengan beberapa program pembangunan (khususnya sarana dan prasarana sosial-ekonomi, pendidikan dan kesehatan), motivasi dan orientasi semi-komersial hingga komersial mulai mewarnai kehidupan perekonomian masyarakat. Contoh masyarakat ini lebih banyak daripada masyarakat yang masih tradi- sional, tetapi pada umumnya memang dijumpai pada desa-desa di hilir dan/atau tepi sungai dan wilayah pantai di Sumatera dan Kali- mantan. Hal yang perlu digarisbawahi di sini bahwa penyajian tipologi yang berbeda dengan penulis-penulis lain sebelumnya, dalam hal ini, sama se- kali tidak dimaksudkan untuk semakin memperumit pemahaman me- ngenai masyarakat lokal. Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan $1 MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: esyarakat Lokal Polk dan Kelestafan Sumberdaya 2.3. KETERGANTUNGAN MASYARAKAT LOKAL Sebenarnya amat mudah dipahami bilamana sebagian rakat di wilayah-wilayah pedesaan atau pedalaman di luar | gantungkan kehidupan dan penghidupannya dari sumb mengingat lebih dari 60% dari luas wilayah daratannya Ketergantungan dimaksud tidak sebatas pada aspek produ lahaa hutan, tetapi juga fungsi perlindungan dan fungsi tata klj bisa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung m langsung dari ekosistem tersebut, dalam mem (existence) dan peningkatan kesejahteraan mereka (weffar’). jelas hal tersebut disajikan pada Tabel 2.1. di bawah. Tabel 2.1. Berbagai Manfaat yang Diperoleh Masyarakat Lokal dari Sumberdaya Hutan di Sekitarnya 4 Fungsi Manfaat Bagi Masyarakat Lokal Hutan Langsung fi Hasil Hutan Kayu dan turu- * Penghasilan (semi kom rodurss nay Gani borat ec dan komersial); dinding, peralatan, kayu bakar/ arang); * Hasil Hutan Nir-Kayu (al. hutan (al. uf buah-buahan, biji-bijian, pada masyat ayak); sayur-mayur, rempah-rempah, _» Pelestarian dan perke binatang buruan, getah-getah- —_an industri rumah tanag: an, rotan, bambu, gaharu, syarakat sarang burung, madu) + Areal untuk bercocok tanam/ berladang, $ Lindung * Tanah (kesuburan tanah, ke- lembaban, erosi air dan angin, bentang alam); * Tata Air (air bersih, proteksi banjirdan kekeringan) *Keanekaragaman hayati (flora, fauna, mikro organisme) hidup_masyaraka! tata klimat!); Masyarakat Lokal 32 dan Sumberdaya Hutan MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya Lanjutan kim mikro (kesejukan, dan curah hujan lokal); Udara bersih (penghasil oksi- gen dan menyerap karbon di- oksida); * Sinar matahari (media albedo), * Polusi udara {filter debu dan artikel padat lainnya, serta ebisingan) * Batas tanah dan/atau tanda pernilikan lahan; * Perlindungan tempat-tempat keramat/dihormati, termasuk tanah/hutan adat Tata Klimat Lain-lain binatang, pembuatan zat pe- wama dan racun, pemanenan madu) * Kenyamanan dan kedamaian kehidupan pedesaan; *Mendukung kehidupan yang sehat sejahtera); * Mengurangi dampak bencana alam (misal kemarau panjang dan kebakaran hutan) * Mendukung pelestarian iden- titas kelembagaan lokal (a.l. gotong royong, ‘pamali/pan- tangan, pewarisan, ganti rugi); + Melestarikan etika konservasi dan pergauian hidup antar anggota masyarakat (ter- masuk komunalitas). Dalam sub-bab ini tidak akan dibahas secara detil mengenai masing-masing manfaat, mengingat sudah cukup banyak pustaka yang mengulas secara panjang lebar hal tersebut (a.l. DeBeer dan Mc. Dermott, 1989; Vogt, dkk., 2000). Akan tetapi penting diingatkan kem- bali, sebagaimana telah disinggung terdahulu, bahwa ketergantungan tersebut sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Dimulai sejak masyarakat secara berkelompok hidup pada masa meramu dan berburu, ketergantungan tersebut berjalan terus walaupun budidaya tanaman dan domestikasi hewan telah mulai dikenal. Kemudian saat mereka mulai tnggal bersama pada satu rumah (a.l. rumah panjang atau lebih dikenal sebagai ‘lamin’ pada masyarakat Dayak di Kalimantan), dan bahkan juga rumah tunggal pada satu wilayah administratif definitif yang disebut desa. Secara jelas ketergantungan tersebut tetap bisa disaksikan hingga kini pada wilayah-wilayah pedesaan, pedalaman, dan bahkan perbatasan di Sumatera dan Kalimantan. Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan $3 siOLOGIS KENTA an umberdaya Masyarakat Lokal, ltl G2? ‘elestal Tentu saja saja dan seni perekonoman jumpat adalah dari skal subsistensi me komersial. an orientasi dan moti ‘Ada yang betp : ri daripada masyarakat yarakat tradisional adalah itimbulkan oleh industrialisasi sumbi sebagai dampak negatif yang ditimb daya alam dan modernisasi pedalaman. Keduanya menyebabkan tidak hanya terjadinya perubahan budaya (akulturasi), tetapi juga dalam beb rapa hal justcu terjadinya degradasi kualita nilai budaya ; makin pudarnya kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang de miliki masyarakat) (ihat a.l. Gunawan, 1995; Melalatoa, 1997; Swasono, 1997). Akan tetapi bila dihubungkan i oleh Soemarwoto (1989), perubahan suatu sistem (termasuk sis sosial) seperti itu pada dasarnya merupakan konsekuenst logis dari sual pembangunan, yang menyebabkan sistem pedesaan (yang dalam hal dimasukkan sebagai sistem yang lebih kecil dan lebth lemah dibanding: ae none cepat atau lambat akan terimbas dan terlindas. Per tnt pining banana jadikan lokasi cagar budaya. endapat, bahwa perubah: ; Scie yang pay digarisbawahi di sini, bahwa ketergantungan masy® pe aes lap hutan dalam tingkatan tertentu juga harus ii Fala a juga bisa diperoleh sumberdaya itu senditi pany duniiiayal es ae terjaganya kelestarian struktur dan fua A senyatanya terdapat Tales ae aa ceapeaian ine 7 masyarakat dan Pyke a aes (ner) ‘i sekitarnya. Berdasarkan peneli i Masyarakat Lokal 34° dan Siaberdsaeicas MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya yang dilaksanakan di beberapa lokasi kegiatan kehutanan (dan industri pertambangan) di Propinsi Kalimantan Timur, Sardjono, dkk. (1998) mengidentifikasi berbagai bentuk interdependensi hutan dan masyara- kat sesuai perkembangan wilayahnya serta mengelompokkannya dalam empat pola. Dengan sedikit modifikasi, keempat pola tersebut disajikan sebagai berikut (bandingkan dengan konsep ‘manent’ dan ‘transcendent yang dikemukakan Soemarwoto, 1989): 1. Pola E&straksi, dijampai pada kelompok masyarakat tradisional yang lokasinya tidak langsung berdekatan dengan industri. Pemanfaatan sumberdaya sebatas kebutuhan yang dikendalikan etika dan norma yang berlaku. Pandangan bahwa lingkungan sosial merupakan bagi- an dari ekosistem yang lebih luas mendorong pemanfaatan sumber- daya alam secara bijaksana dan/atau hati-hati. Dengan demikian struktur sumberdaya walaupun ada perubahan tetapi dengan resi- liensi yang dimilikinya mampu memperbaiki diri dan mengem- balikan fungsinya kembali. Kalaupun ada upaya-upaya campur tangan manusia yang dilakukan (artinya ada aliran lan M dari masyarakat ke sumberdaya hutan--Gambar 2.1.) dapat dikatakan terbatas, karena memang ane diperlukan. EKOSISTEM F+iM ra Tanaman Keluarga Mineral Individy Pemukirhan * MASYARAKAT Tanah F+M Kesehatan Gambar 2.1. Pola Ekstraksi yang relatif tidak merusak antara hutan dan masyarakat (Ket. F=Fungsi, M=Manfaat) Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 35 EHUTANAN suberoy8 oa A —— kan konsekuens! dari peningkatan Poh, ) i eo lup y,! chp i) dan peningkatan istem hutan P 2 es tk Moo al terpisah dati si i a Migbkan, $8! Soraya Gihat Gambat 22). Kondi ig neketkan_ alital shedaerah terbuka yang penne oe 2° Disp DO ad octal dengan tingkat migras! me yan bie i (t pt desa-desa baru yang dihum masy: P 1 (te: B baz ) Jami degradast akibat aliran by } Suma dan fan anand eesbilies) yang kurang dpe. (dalam ben! ee | EM SOSIAL | SIST SISTEM ALAM Me Tanaman es eluates Individi Prasarana/ a Pemukirgan *" MASYARAKAT Kesehatan Gambar 2.2. Pola Eksploitasi yang Merusak antara Hutan dan Masyarakat (Keterangan: F=Fungsi; M=Manfaat) >. Pola Konfrontasi, ditujukan khususnya pada wilayah-wilayah hut! Yane dapat dikonversi atauy Hae z i pun bahkan kawasan konservasi yang ™ Ri kekayaan sumberdaya alam mineral. Adanya konflik kep&™ (et yang tinge rasan |e peu mengakibatkan tidak adanya kejelasan akan a tarian nt pean Pembangunan ekonomi dan kebutuhan ich Masyarakat Lokal yeenfaat sumberdaya hutan yang dibutuhkan 0° J4ga manfaat yan, Bae dan fungsi hutan alam (dengan de ‘gant dan ae pada masyarakat lokal) akan sa Sosial tidal integral dengan sano ingin dicapai. Untuk itu sist al am atau hutan (Gambat 23} 36 dessyarakat Lokal dan Sumberdays Hutan MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian ‘Sumberdaya es SISTEM ALAM SISTEM SOSIAL Tanaman celine Hewan Pemukirhan daya MASYARAKAT HUTAN Mikto orgattisme Toporedh Air Tanah Kesehatan Gambar 2.3. Pola Konfrontasi yang Merugikan antara Hutan dan Masya- rakat (Keterangan: F= Fungst; M= Manfaat) 4. Pola Kooperast, pada dasarnya merupakan konsep pola ideal yang me- tupakan alternatif pendayagunaan saling ketergantungan masyarakat iste dengan sumberdaya hutan di sekitamya (Gambar 2.4.). Asumsinya sangat sederhana (tetapi peiennya sulit untuk penerapan- nya) yaitu adanya kepentingan paralel antara upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (sistem sosial) dan mempertahankan ke- sinambungan struktur dan fungsi sumberdaya hutan (sistem alam). Aliran-fungsi dan manfaat dari sistem sosial dalam perspektif keles- tarian ae sama besarnya dengan pemanfaatan sistem alam, tetapi bilamana pune justru lebih besar. Kondisi ini enting di- tinjau dari: (a) Aspek demografi (peningkatan penduduk beserta tuntutan kebutuhan hidup), dan (b) Aspek daya dukung lingkungan yang dapat menurun tanpa upaya memadai. Pola ini tampaknya yang menjadi paradigma baru pembeneuaag kehutanan yaitu ‘vorninunity based’ dan ‘ecosystem oriented’. Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 37 | ‘oSIOLOGIS KEHUTANAN: fea Lokal, Poltk dan Kelestarian sumberdaya EKOSISTEM F+M Keluarga Tanaman Mineral Hewan Individ 2 O TAM Budaya : MASYARAKAT Q- organisme TopogrAfi Pendidikan Kesehatan Tanah F+M Gambar 2.4. Pola Kooperasi yang Saling Menguntungkan antara Hutan daa | Masyarakat (Keterangan: F= Fungst M= Manfaat) pihak yang mungkin berpendapat, bs at ‘masyarakat urban’ di Indo- gi komunikas Disadari ada ‘sementara sangatlah naif dan tidak adil bila pada sa nesia dewasa ini memasuki era informasi dengan teknolo; yang semakin canggih, tetapi masyarakat lokal sekitar hutan dil tetap hidup bergantung pada kemanjaan alam yang semakin mel dan miskin. Akan tetapi pandangan seperti itu pada dasarnya kuna realistis dan dipertimbangkan kurang jujur, mengingat beberapa a8 yang mungkin saja tidak disepakati semua pihak. Perfama, pen pemanfaatan sumberdaya alam termasuk hutan selama ini yanB™ dukung kemajuan yang dicapai hingga sekarang, faktanya just oa menyentuh hampir keseluruhan masyarakat lokal karena memang aos paerenan ke sa Masyarakat lokal yang hanya berharap dati ‘ree eee ean melalui proyek-proyek pembangunan, sering Se prioritas pembangunan yang desainnya memang turup (top-down) ternyata tidak menjawab persoalan atau berbasis kebucel” yang sebenarnya. Industri-industri besar bersifat padat modal da? | Masyarakat Lokal 38 dan Sumberdaya Hutan MOSAIK SOSIOLOGis Lt |ANAN: Masyarakat Lokal, Polk dan Kelson sumbeusts aren Sumberdaya ‘wilayah pedalaman atau perbatasan, harus atau teknologi, melainkan ketersediaan kebutuhaa hidup sehari-hari dari lingkungan hidup atau sumberdaya alam di sekitarnya. Kedua, ketergantungan atas sumberdaya alam termasuk hutan se- mata-mata bukan hanya kepentingan masyarakat lokal, ietapi juga bagi kesinambungan pembangunan ekonomi itu sendiri. Hal ini dikarenakan sebagian besar industri yang ada di Indonesia saat ini berbasis sumber- daya alam (resource based industries), sehingga eksploitasi yang tidak bijak- sana selama ini terbukti mempercepat kebangkrutan negara. Apalagi ke- kayaan sumberdaya alam hutan luar Jawa yang menempatkan Indo- nesia sebagai pusat ‘wegadiversity’ tidak dimiliki oleh negara maju seperti Amerika, Jepang, atau negara-negara Eropa sekalipun, dan juga menjadi sangat potensial mendukung perekonomian masa depan. Khusus ber- kaitan dengan sumberdaya hutan, perekonomian masa depan dimaksud adalah perkembangan teknologi hayati (biotechnology) dan wisata ling- kungan (ecotourism). Dengan demikian, dalam hal ini, menghormati ke- tergantungan masyarakat lokal atas manfaat sumberdaya hutan yang kalau kita amati secara cermat (lihat Tabel 2.1.) tidak seluruhnya ter- gantikan (atau tidak dapat disubstitusi dengan produk lainnya), tidak hanya akan melestarikan identitas kulcural yang dimilikinya tetapi sekali- gus menjadi kontrol sosial yang efektif bagi pemanfaatan sumberdaya dimaksud secara berkesinambungan. Hal ini dikarenakan masyarakat akan melindungi sumberdaya ini dari setiap bentuk gangguan. i i lah disipee teense Ket kait dengan butir kedua di atas dan te! gu awal eg ini di inden pada akhir Abad ke-20 diketahui terdapat sekitar 30 juta hektar (dan bahkan jau lebih luas bila mengutip data da World Resource Institute--lihat Ginting, 2000) lahan hutan tidak produkt Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 39 MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya atau kritis yang menuntut rehabilitasi. Tenaga aoe yar atau dimiliki oleh pemerntah (Pusat dan ea ) a ae “ mampu menjamin keberhasilan pelaksanaan oa re aa gantungan masyarakat terhadap hutan (dalam a ae a harus ‘ dipandang sebagai potensi sumberdaya manus! ie iS ‘pat dip sertakan dalam mendukung efektivitas dan efisiensi kegiatan q Apalagi kalau dalam lingkungan masyarakat lokal eon ad aa rakat tradisional) telah terdapat bentuk-bentuk a ‘ nadidaya hy yang telah teruji kesesuaian lingkungan dan sosial ee (va and socio-economic conformities) dan yang memung He an dimanfaad Hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana bencul a Yang big | diberikan sebagai kompensasi tenaga dan waktu yang ‘orbankan, cy | tentu saja kiat apa guna memulihkan kepercayaan mereka akan, ke untungan masa depan yang dapat turut mereka dan/atau generasi he. rikutnya nikmati dari hasil rehabilitasi hutan tersebut. 2.4. KEARIFAN LOKAL TERHADAP EKOSISTEM HUTAN Menurut Colfer dkk. (1999), fokus dari perhatian dan pertimbang. an diberikan lebih besar kepada masyarakat lokal dibandingkan peng guna hutan (forest users) lainnya. Hal tersebut dikarenakan berbagai di- mensi penting terkait dengan pengelolaan hutan lestari, tidak hanya me nyangkut kedekatan tethadap hutan (baik fisik maupun emosional), hak-hak yang harus dihormati (akibat dari sejatah keberadaannya), ke miskinan yang dihadapi (baik ditinjau dari uang tunai dan pemenuhat konsumsi) yang dapat b Masyarakat Lokal 40 dan umberdaya Hutan MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politi dan Kelestarian Sumberdaya SSS 8 Menuraut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masya- rakat lokal dengan sumberdaya alam khususnya hutan di sekitarnya, bahwa ‘kearifan lokaP identik dengan ‘pengetahuan tradisional (radi. tional knowledge). Zakaria (1994; lihat juga al. Widjono, 1998), menge- mukakan bahwa keatifan tradisional (termasuk di dalamnya kearifan lingkungan) merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyatakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebu- dayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Pengetahuan dimaksud merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi, yang bercorak kosmis- magis dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri, dimana terdavat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbang- annya. Oleh karenanya untuk menghindarkan bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia wajib menjaga hubung- annya dengan alam semesta. Termasuk dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab. Akan tetapi bila mencermati definisi di atas dan mengacu pada urai- an tentang makna.religi dari alam sekitar dalam kebudayaan Dayak sebagai masyarakat pribumi Kalimantan (lihat a.1. Ukur, 1994), kearifan lokal di samping terkait dengan pengetahuan tradisional pada dasarnya juga merupakan hasil dari interelasi dengan dua faktor lainnya yang telah disebutkan terdahulu yaitu ketergantungan kehidupan dan integrasi bu- daya. Hal ini dikarenakan pengetahuan tradisional dimaksud lahir ber- dasarkan pengalaman dan tradisi kehidupan antar generasi. Ketiganya melahirkan berbagai bentuk ‘kearifan’ yang sangat luas yaitu dari ke- percayaan dan pantangan, etika dan aturan, teknik dan teknologi, atau- * pun juga dalam bermacam praktek atau tradisi pengelolaan hutan dan lahan yang secara keseluruhan tidak hanya berperspektif kelestarian sumberdaya akan tetapi juga sangat berarti bagi kehidupan serta kese- jahteraan masyarakat itu sendiri. Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 41 MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUT, y Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian eran —<—<_—_—__ Lanjutan Praktek dan Tradisi * Menelapkan sebagian areal hutan sco: Pengelolaan hutan lind r ir Seoagal Hutan/Lahan munal); lung untuk kepentingan bersama (ko- * Melakukan ‘koleksi' berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lehan per- ladangan dan pemukiman (konservasieksitu); « Mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman/hasil hutan yang berharga. Mempelajari kearifan lokal, tidak berarti mengajak kita kembali pada petiode jaman batu (stone-qge period). Akan tetapi hal ini justru penting tidak saja dalam memahami bagaimana masyarakat lokal mem- - perlakukan sumberdaya alam di sekitarnya (sehingga kita akan lebih fair dalam menilai kapasitas mereka), tetapi juga bagaimana memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan generasi di masa mendatang. Beberapa hal positif yang bisa diperoleh dengan mempelajari kearifan lokal adalah (liihat juga Moniaga, 1994; Ukur, 1994; Colfer, dkk., 1999): 1. Menambah pengetahuan kita yang relatif masih terbatas mengenai kompleksitas karakter ekosistem hutan hujan tropis Dipterokarpa, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya pelestariannya. Pengalaman panjang yang menyertal ees kearifan Tokal mall merupakan pengujian dan sekaligus pembuktian atas daya adaptasi (adapiabil) dan daya adopsi (adoptibility) yang dimilikinya; 2. Membantu kita dalam pen; ema teknik/teknologi penesiolsae sumberdaya hutan secara lebih efektif dan efisien, tidak terkecuali terkait dengan pendekatan yang berbasis spesifik lokal dari sisi ling- kungan, pe aatekenonl dan budaya (aasieal and socio-economic conformiliesy sexta kebutuhan masyarakat (/ocal needs); 3. Menyadarkan kita akan kepentingan untuk tidak memanfaatkan hutan secara berlebihan atau secata lebih rasional, baik atas per- timbangan keberlanjutan produksi ataupun keberadaan sumber- daya. kal ini masih bisa dijumpai Disadari bahwa walaupun kearifan lo! disional di Sumatera dan pada kelompok-kelompok masyarakat tra Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 43 i keberadaannya Aantat pene eda degtadasi Penguasaany ang, lebih muda dibandinglan ; djono dan Samsoedin, En ae dan cksternal yang metny a di ertimbangkan sangat Pa ‘iy kearifan tradisional antar genera aki yaitu ketersen" 4 ke Wat desa di kalangan pene muda, baik oly! ; si nilai-nilai b “menjadi { pengetahuan dan penetra i it uray ee: aa dari luar. Contoh situasi yang 4ijumpat pat MS dikalangan masyarakat Jokal di pedalaman dip timbangkan sangat relevan dengan pendapat ini. Pada dasamya mengenai perladangan, hingga kini masih didenge| adanya silang pendapat, apakah kegiatan int merusak (atau sebagai su yer utama kerusakan hutan di lvar Jawa) ataukah justru selatas denge| oa et Mubyarto, 1991; Zakaria, 1994; Soemarwoto, dick. 199 ae Pengamatan penulis, pada dasarnya dalam masyatakat i) a dan aturan yang bersifat positif meny t timbulkannya, yang memungkinkan penekanan kerusakan y#8 | milihan lahan Mal tersebut tidak hanya al a yang harus benar-benar erness pie. ntl pa Beers tana, tetap ju at agar produktivitt ee akaran, ay ga upaya-upaya yang © eembali on UKUp pan; Pelaksanaan pemberaan lahan ® -sosial,s clum dguahe tne agar tanah mam) egen! Ta eM kaa yang ge cet Pa Pohl beri pu meregen’ soo ‘njung) adalah but ‘yong? si berikutnya. Dari sg Pemilihan joj Mea pence; % atau ‘tonau’ (istilah pada yi hi Masi Petladanpan ‘kearifan lokal’. 6% 0 sata, Camb, Sd Hulu hp, dan siklus perladangt” i Makan pian (Kalimantan 1 *mudah pemahamat a Gartbar 2. MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya Lahan-Kering Umaq/Une | Baber/Boay | Kelewako | Kelewo/Balng| shan Tahun | ‘Tahun | Tahung | Tahun 4 Laity { M | Kurat Urag/Kurat Ure r | Hutan SekunderMuda Kurat Tuha/Betekng | ee 1 els (gies a ¥ _.—| ~~ Benghar Bengkaletn _|— Hutan Sekunder Tua Bengkar ‘ |— Hutan Primer Benghar Mentutn Garsbar 2.5. Siklus Perladangan pada Masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur Keterangan : © Umag/Ume: Areal lahan kering baru dibuka untuk pembuatan ladang (tahun ke-1) berasal dari hutan sekunder muda, sekunder tua, atau hutan; Baber/ Boag: Areal ladang yang terus digunakan untuk kegiatan berladang tahun ke-2 (dipertimbangkan masih subur, tapi biasanya areal sudah di- tumbuhi tanaman hutan sekunder di samping padi); Kelewako: Areal ladang yang terus digunakan hingga tahun ke-3 (juga di- pertimbangkan masih subur tanahnya, sementara tumbuhan sekunder sudah mencapi tinggi sekitar 2.0 meter); Kelwo/Baling Batekng Hampir serupa Kelewako, tetapi areal sudah di- tinggalkan akibat lahan sudah tidak subur lagi dan gulma (weeds) sudah me- nutupi seluruh lahan (bekas-bekas kayu tebangan sudah mulai membusuk); Kurat Ure, Lahan yang berumur sekitar lima tahun setelah diladangi. Tum- buhan sekunder sudah mencapai diameter sekitar 15,0-20,0 cm; Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 45 | SOSIOLOGIS KEHUTANAN: a Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya ee F sekitar 5,0 - 15,0 tahun g ha/ Batekng Lahan yang, Lecumut 15,0 tabun se . ee amit ei sudah banyak yang mencapat tingkat pohon, i i Jcunder tua, yan ea saletn: disebut sebagat areal butan se yang meat ' eee aa komposisi dari suatu ekosistem hutan; beri. lokasinya dekat dengan pemukiman van melainkan untuk kegiatan berbum, rl adu; © Bengkar. Hutan tua yang karena] tidak dialihkan ke areal ladaug, ngumpulan rotan dan pemungutan m: © Bengkar Mentutn. Hutan tua yang, jarang dialihkan menjadi areal petladangan, dan bahken jarang dikunjungi penduduk dikarenakan iokasinya umumny, jauh dari pemukiman. Hanya saja permasalahannya, dalam kondisi penyempitan lebensraum atau ruang hidup akibat kehadiran industri besar (yang meng. akibatkan kepadatan agraris semakin meningkat), sejauhmana tempat tempat yang rentan seperti lereng dan tepi sungai mampu dipertahan- kan sebagai hutan? Di samping itu dengan semakin berkurangnya tenaga kerja muda di kalangan masyarakat lokal dengan adanya migrasi keluar saat ini (khususnya urbanisasi), apakah etika dan aturan untuk memberakan bekas ladang selama beberapa tahun masih mampu di- fungsikan oleh seluruh masyarakat lokal dari golongan lanjut usia, pe rempuan, dan anak-anak yang tertinggal di desa? Sejauhmana pula ke: terbukaan wilayah dan digunakannya teknologi modern (seperti contoh tanyaan ini harus dij pepecate Petladangan terjadi? Tampakaya per Per kasus. Schingga tidaklah adil jika menggeneralisir bahw: ae la sebagai pela utame heres hao sional di sekitar hutan a Indonesia. Apalagi kalau ee ckosistem hutan hujan tropis hutan yang berkemban 4 ta melihat praktek-praktek pengelolaa? sail nilai konservasi eave pra eiat lokal dimana re me- sillea eae eadilan sosi An melalui kegiatan perla ce oe tinggi yang di kungan’ ompck ane een Brea gan’ dan ‘Pengetah, yang tidak memiliki ‘kearifa® Re Masyarakat Lota MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya Senna 2.5. ASPEK TANAH PADA MASYARAKAT LOKAL SEKITAR HUTAN Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat lokal, baik ditinjau dari aspek kepercayaan dan kesejarahan (pada masyarakat tradi- sional) ataupun secara umum bagi kepentingan sosial-ekonomi dalam kehidupan kesehatiannya. Penggunaan istilah ‘lokal’ saja sudah meng- indikasikan aspek ‘tempat’ yang berarti juga ‘ruang hidup’. Bagi masya- rakat lokal sekitar hutan, tuang hidup dimaksud adalah hutan dan kom- ponennya yang bersifat hayati (pohon, tanaman, mikro organisme) dan nir hayati (di dalamnya termasuk air dan tanah yang menjadi habitat komponen hayati dan sekaligus penyangga kehidupan sistem sosio-kul- tural). Dengan demikian, tanah bagi masyarakat lokal merupakan ‘teri- torial’ guna menyatakan keberadaan, penguasaan, status dan sekaligus harta. Apalagi sebagian teritorial itu diperoleh dengan perjuangan, apa- kah itu berarti pepetangan (khususnya pada jaman petang antar suku atau kelompok masyarakat) atau diperoieh dengan kerja keras mengolah ‘hutan belantara’ (virgin forest). Berkaitan dengan uraian di atas Soekanto (1981; menyusun kembali tulisan Soekanto, 1955) mengemukakan, bahwa dimana ada perse- kutuan hidup (baca’ masyarakat) di situ ada hubungan antara perse- kutuan dengan yang diduduki dengan berbagai alasan yang rasional (memberi penghidupan, tempat untuk makan) ataupun tidak rasional (tempat /elembut yang melindungi kehidupan). Persekutuan hidup ter- sebut, yang juga disebut ‘persekutuan hukum’, memiliki hak untuk menguasai tanah, air beserta pohon-pohon yang ada sebagai ‘hak untuk menguasai sepenuhnya’ (beschikking recht). Wilayah penguasaan tersebut pada umumnya hanya ada satu. Akan tetapi ada pula yang dua ling- kungan (dubbele beschikkingskring), misalnya satu di pedalaman (dimana Warga persekutuan tinggal) dan yang kedua jauh letaknya (misal di Pantal, tempat garam diambil). Adapun persekutuan hukum dimaksud ada yang didasarkan pada kekerabatan yang erat dan berdasarkan ke- turunan satu nenek moyang (genealogis), berdasarkan wilayah yang didiami (tetritorial), atau kedua-duanya (genealogis-territorial) Menurut Abduri kenal dengan berba tachman (1978), hak persekutuan atas tanah di- gai istilah lokal, yaitu di Kalimantan dengan istilah Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 47 Masyarakat ‘Spewatasan” (daerah yang in: aR: al ot Hak atas tanah seperti itu menyangkut kesel hukum adat, yang selanjutnya disebut Hak Ulayat, Mempunyai jy Ss is 5. Persekutuan hukum tidak boleh memindahtangankan he 6. Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan ine IS KEHUTANAN: hb bahan makanan), panyan-turui’ (penetapany ae berbatas). Sedangkan di Sumatera ce ty an’ (Batak), ‘Ssimelungun’ (Sumatra Timur), ‘Rawasan’ (Indy, anan angkabau) yang berarti daerah kekuasaan wali/pe, nto‘ (di ebagai berikut: " Persekutuan hukum itu dan anggots aneeoe a dapat m 5 gunakan tanah hutan belukar di dalam ayahnya dengan seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, mem hasilnya, berburu, menggembala dan lain sebagainya; . Yang bukan anggota dari persekutuan hukum dapat pula m guna hak itu (biasanya hanya hak memungut penghasilan Senotrecht), tetapi hanya atas pemberian izin dari persekutuan itu, tanpa izin ia membuat kesalahan, . Dalam mempergunakan tanh itu, bagi anggotanya hanya ka . kadang tapi yang bukan anggota selalu harus membayar sesuil (recognitie); ‘ 3 . Persekutuan hukum menipunyay tanggung jawab atas beberapal jahatan tertentu yang terjadi dalam lingkungan wlan bilamam orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dapat igugat, tid enal; (vervreemden; menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama nya kepada siapapun juga; 7 dap tanah-tanah yang telah digar: a eee don al bal nah cee ae Meskipun hak ulayat mendasarkan pada pengelolaan tanah ut kepentingan bersama, akan tetapi memungkinkan setiap watg? a ingin mendapatkan manfaat atas sebidang tanah dalam persia (misal untuk kegiatan pertanian) sepanjang diketahui dan imempel izin dari kepala masyarakat hukum adat setempat. Hak pet! tersebut merupakan ‘hak milik’ (Inlandisch Bexitrech?), dan akan MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya menjadi hak ulayat jika tanah-tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi selama bertahun-tahun (Abdurrachman, 1978; Soekanto, 1981) Sifat istimewa dari hak ulayat adalah daya timbal baliknya terhadap hak perseorangan, yang diistilahkan sebagai ‘hak ulayat mengembang dan mengempis’. Makin kuat hak perscorangan, makin surutlah hak masyarakat/ulayat, dan demikian sebaliknya. Apabila hak perseorangan hapus, maka hak ulayat menjadi penuh kembali, Akan tetapi dalam masyarakat adat hampir tidak pernah terjadi perselisihan dalam hal pe- nguasaan tanah, karena mereka memiliki instrumen guna mengetahui penguasaan atau pemilikan tanah (Zein, 1994; menguup ier Haar). Sebagai contoh dalam lingkungan masyarakat Dayak Simpakng di Kali- mantan Barat yang dikemukakan oleh Mushi (1998; dengan sedikit per- ubahan), bahwa ada tiga kriteria untuk seseorang mengetahui kepe- milikannya, yaitu: (1) Pengakuan secara umum bukti kepemilikan atas tanah adalah pengakuan dari masyarakat, baik dari pemilik tanah yang berbatasan dengannya ataupun diperkuat dengan pohon-pohonan se- perti durian (Durio ziberhinus), tengkawang (Shorea spp), langsat (Lansium domesticur), atau pinang (Areca catechu); (2) Berupa pohon buah-buahan secara berbaris, bambu jenis betung (Dendrocalamus f. asper), jalan dan anak sungai; (3) Sapafatau tanda batas khusus untuk jenis tanah pribadi. Hanya saja berbagai hak ulayat yang diatur oleh hukum adat ter- sebut di atas sejak diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU- PA) No. 5 tahun 1960 menjadi dibatasi. Menurut Widjono (19982), Ptinsip nasionalitas dalam UUPA telah memberikan kewenangan yang amat luas kepada negara dalam bentuk ‘hak menguasai’ (Domein Verklaring). Sedangkan, hukum adat meskipun diakui keberadaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Dengan kata lain, masyarakat hukum adat tidak lagi memiliki kewe- aa yang otonom atas persoalan pertanahan, dan hanya menjadi ae pelaksana’ dari hak menguasai negara. Bahkan berdasarkan per- Ee pelaksanaan Selanjutnya kewenangan untuk memberikan izin om viata tanah tidak lagi pada Kepala Masyarakat Hukum Adat : = eralih pada kepala wilayah administratif. Sedangkan tanda peng. atas pemilikan sebidang tanali secara resmi/formal memerlukan Masyarakat Lokal dan Sumbardava Histon tl “ANAN: i On sn Kelestarian Sumberdaya Masy@! I, kembanganya menjadj ng mana dalam pet sail , Yan’ dialibhakkan. Padahal dalam a ai ois KEHUT r oditt untu: Seay ; | cre age din ‘tanab’ bukanlah komoditi (lihat detil pada ni chman, 1978): , Kolom 2.2- Contoh Pola Pengu: e Masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara membuat kategori | ula’ (tanah desa), ‘taneh Ragin untuk fasilitas umum), - juaten (ana yang cy tinakan oleh anggota masyarakat secara in Taneh kuia dan taneh Resain dikuasai oleh masyarakat, hak pengatu ada masyarakat secara kuat. Sedangkan taneh buat-buaten menunjeklis peawa individu diberi hak lebih uat oleh masyarakat untuk mem faatkannya. Kategori lain adalah penguasaan lan menutu turunan patriline yaitu taneh ep nint/ nininal. ¢ Masyarakat Dayak Simpakng di Kabupaten Ketapang di Kalbar kawasan adat menjadi sembilan. Pertama, Timaa magokng uldl in tort - (buen panes) yang merupakan milik bersama untuk tempat mengambl yu bahan bangunan, mengambil rotan, berburv, dan men, bil ba serta obat-obatan. Kawasan ini dapat dibuka untuk perladan; -terdapat hak bak perscorangan seperti hak atas sampuatn (pohon nilik individu tertentu, tapi atas undangan pemiliknya, 1 h madu di situ. Kedwa, ‘Lambokng (tempat pemukiman masyarakat adat). Kei a, ‘keramat. padagi (t gius mempererat hubungan ‘manusia dengan pencipta ya) ‘sanokng tajor’ (kuburan). Kelirza, ‘kebotnh janah tempat berladane a en ). Keenara, ‘dorik ti (tempat penyan: lan sumber mat oes iP: ban cae an yang beans Kelujuh, ‘buah jai 101 ) lapan, ‘trojutn riapi’ kebun 4 dan sumber mata air), dan ‘uri ntambma’ (ka olvatan). Kesernbilan, ‘kampokng lobo Toa wae) ee vat kan untuk Jahan perumahan, pekarangan, dan lumbung padi : Sebagai perbandingan: « Ma Ee be {ci Papua) membuat kategori ekosistem Oa eeeed (dusun sagu), ‘eauit'(kebun), ‘aminta’ (sao ene nilik bersaina reese Mesto panes. hele turunan (Tipu), sedangan dasun sage cuss oleh 1998; Subanjita, ded MOSAIK SOSIOLOGIS KEHUTANAN: ‘Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya UUPA 5/1960 yang dijadikan dasar bagi penerbitan peraturan per- undangan lainnya dan pelaksanaan progtam-program pembangunan di segala bidang memberikan implikasi yang sangat luas bagi timbulnya berbagai konflik pertanahan antata masyarakat adat atau masyarakat tradisional dengan pihak lainnya (lihat Widjono, 1998). Dalam bidang kehutanan konflik dimaksud secara umum adalah dengan pengusaha erkayuan (pada kawasan hutan produksi), tetapi juga bisa dengan pihak pemerintah atau Departemen Kehutanan (pada kawasan konservasi). Bahkan konflik tidak hanya menyangkut masyarakat adat, tetapi juga masyarakat Jokal secata luas (termasuk yang dikategorikan pendatang atau yang non-tradisional) terutama yang telah hadir di satu kawasan selama berpuluh-puluh tahun, jauh sebelum penetapan fungsi dan sta- tus hutan (contoh seperti beberapa kasus di Kalimantan Timur al. masyarakat Bugis di Hutan Wisata Bukit Soeharto dan pemukim dari berbagai kelompok etnis di Taman Nasional Kutai, ataupun kasus- kasus serupa di berbagai kawasan konservasi lainnya di Kalimantan dan Sumatera). 2.6. BERBAGAI PRAKTEK PENGELOLAAN HUTAN SECARA TRADISI- ONAL Uraian mengenai kearifan lokal dan keterkaitan masyarakat lokal dengan hutan dan tanah telah memperjelas pemahaman kita mengenai timbulnya berbagai bentuk praktek atau tradisi pengelolaan hutan dan lahan. Begitu banyak penelitian yang dilaksanakan di Sumatera, Kali- mantan dan daerah luar Jawa lainnya, yang telah menginventarisir dan mengidentifikasi beragam bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal, khususnya komunitas tradisional (lihat a.l. Seibert dan Sardjono, 1985; Michon, dkk., 1986; Sardjono, 1990; Zakaria, 1994; Awang dan Yuniati, 1998; Suharjito, dkk. 1999; Purwanto dan Waluyo, 2000)6. Praktek-praktek tradisional semacam itu yang oleh kalangan organisasi Non-pemerintah (non-governmental organizations) disebut sebagai Sistem Hutan Kerakyatan (Mushi, 1998; Pili 1 i Ae ne (Mushi, ; Pilin dan Petebang, 1999--lihat detil Masyarakat Lokal dan Sumberdaya Hutan 51

You might also like