You are on page 1of 361
Pendekatan Critical Public Relations, Etnografi Kritis & Kualitatif 97 Zam Rachmat Kriyantono, Ph.D. PUBLIC RELATIONS, ISSUE & CRISIS MANAGEMENT Pendekatan Critical Public Relation, Etnografi Kritis & Kualitatif Edisi Kedua Copyright © 2014 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978-602-9413-67-0 ISBN (E) : 978-602-422-439-4 15x 230m xviii, 428 him: Cetakan ke-2, April 2015 Cetakan ke-1, Januari 2014 Kencana. 2012.0396 Penulis Rachmat Kriyanto, Ph.D. Desain Sampul control.design @ yahoo.com Penata Letak Kancilmas Percetakan PT Falar Interpratama Mandiri Penerbit KENCANA (Divisi dari PRENADAMEDIA Group) Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220 Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134 e-mail: pmg@prenadamedia.com www.prenadamedia.com INDONESIA Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit. Public Relations, Issue & Crisis Management BABS PROSEDUR RISET ETNOGRAFI KRITIS 1. enNeaeeon Merumuskan Masalah.... Menentukan Teknik Pengumpulan Data.... Mempertimbangkan Etika Riset. Memilih Partisipan atau Informan. Mengumpulkan Data di Lapangan Analisis & Interpretasi Data Validitas & Reliabilitas Menulis Laporan Riset BAB 6 MANAJEMEN ISU, KRISIS & KOMUNIKAS! KRISIS. C@rnoa Mengenal Isu Isu: Akibat Interaksi dengan Lingkungan Jenis-Jenis Isu..... Tahapan Isu Manajemen Isu..... Bagaimana Manajemen Isu diterapkan Tim Manajemen isu Definisi Krisis * Karakteristik Krisis + Sumber dan Jenis Krisis ..... + Tahapan Krisis Manajemen Krisis Public Relations dalam Manajemen Krisis: Mengontrol Lingkungan Melalui Komunikasi Krisis. + Rumor: Kegagalan Komunikasi Struktur Formal...... Komunikasi Krisis Berdasarkan Pendekatan Emosional... Berkomunikasi dengan Media... Model Tahapan Krisis, Manajemen Krisis, & Komunikasi Krisis Konstruksi Sosial Isu & Krisis Krisis dalam Bingkai Fenomenologi..... 129 130 132 134 138 149 142 146 149 151 151 154 156 159 162 165 170 171 174 176 178 180 186 xv Daftar Isi 10. Krisis dalam Bingkai Teori Interaksi Simbolik... 11. Krisis dalam Bingkai Teori Dramaturgi. BAB7 IDENTIFIKASI PUBLIK & MENJAGA REPUTASI DI MASA KRIS. PENDEKATAN SITUASIONAL DI MASA KRISIS .. 1. Key-Points Manajemen Krisis ... 2. Situational Theory of The Public & Kategorisasi Publik: Start awal sukses.. 3. Tipe-Tipe Publik... 4. Varabel Perilaku Komunikasi & Persepsi Situasional * Variabel Independen: Persepsi Situasional .. * Variabel Dependen: Perilaku Komunikasi 5. Analisis Psikografis untuk Memperluas Kategorisasi Publik... 6. Situational Crisis Communication Theory: Publik adalah Prioritas, Reputasi Menyusul .... + Raih Legitimasi Raih Reputasi. 7. Variabel Reputasi and Crisis Cluster BAB 8 KRISIS: KONSTRUKSI SOSIAL PARA AKTOR 1. Luapan Lumpur: Krisis yang Luar Bias: 2. Kekuatan Ekonomi Politik Perusahaan. 3. Relasi, Power & Pengaruh dalam Krisi 4. Konstruksi Sosial Strategi Komunikasi Krisis + Atribusi Peristiwa.. + Konstruksi Sumber & Aktor Penanggung Jawab..... BAB 9 PERILAKU KOMUNIKASI & PERSEPS! SITUASIONAL DI MASA KRISIS.... 1. Konteks Sosial Kultural.. 2. Dampak Krisis: Pengalaman Situasional Selama Krisi: 3. Respons-Respons Komunitas 4. Perilaku Komunikasi xvi 219 222 229 231 234 234 241 244 247 249 255 256 263 268 292 292 299 313 313 324 334 341 Public Relations, Issue & Crisis Management * Sumber Informasi. 342 * Model Aliran Komunikasi...... 344 * Media Massa sebagai Sumber Informasi 346 5. Situational Theory of the Public dalam Praktik Public Relations........ 346 BAB 10 MENGUKUR REPUTASI SELAMA KRISIS 353 1. Proposisi-Proposisi Manajemen Krisis Inefektit 353 * Manajemen Krisis yang Lambat.... * Gagal Mengurangi Ketidakpastian * Fokus pada Reputasi Korporat. * Ketertutupan Komunikasi .. 2. Strategi Komunikasi Responsif 3. Determinasi Manajemen Krisis pada Reputasi 362 4. Situational Crisis Communication Prinsip Public Relations sebagai Manajer Krisis...... 364 BAB 11 KESIMPULAN: MANAJEMEN KRISIS DALAM PERSPEKTIF KRITIS PUBLIC RELATIONS .... 367 1. Proaktif Public Relations 2. Ekonomi Politik dan Pertarungan Konstruksi 373 DAFTAR PUSTAKA 377 GLOSSARY... 397 INDEKS... 419 & xvii Bahan dengan hak cipta bab 1 RISET DALAM PUBLIC RELATIONS* ‘The majority of practitioners still prefer to “fly by the seat of the pants” and use intuition rather than intellectual procedures to solve Public relations problems. (James E. Grunig & Todd Hunt (1984: 77) “Public relations practitioners are applied social & behavioural scientists who use research to help the decision making process.” (Edward Robinson in Cutlip & Center, 2006: 319) 1. Public Relations: Aktivitas Berbasis Riset Sesuai dengan fungsinya, kegiatan riset merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh Public relations. Urgensi riset dalam ak- tivitas Public relations ini sebenarnya tampak dalam definisi-defini- * saya lebih banyak menggunakan istilah “Public relations” daripada “Humas’. Kedua isti- lah ini merujuk pada profesi yang sama. Secara fungsi keduanya mempunyai arti yang sama. ‘Tetapi, secara etimogi (asal kata), mengacu pada Kriyantono (2012b: 3), sebenaraya peng- gunaan istilah Hubungan Masyarakat ini tidak tepat. Arti kata “public” dalam Public relations berbeda dengan kata “masyarakat” dalam Hubungan Masyarakat. Istilah masyarakat terlalu luas, sedangkan public (publik) hanyalah bagian dari masyarakat yang luas itu. Publik meru- pakan sekumpulan orang atau kelompok dalam masyarakat yang memiliki kepentingan atau perhatian yang sama terhadap sesuatu hal. Kepentingan yang sama itulzh yang mengikat anggota publik satu sama lainnya. Tetapi beberapa narasumber yang diwawancarai di buku ini, ada yang memilih kata “Humas’. Riset dalam Public Relations si Public relations. Mari kita lihat beberapa di antaranya: James E. Grunig dan Todd Hunt (1984: 173) mengatakan bahwa, Public rela- tions adalah “bagian dari manajemen komunikasi antara organisasi dan publiknya.” Candy Tymson, Peter Lazar, dan Richard Lazar (2004: 21) menyebut Public relations adalah “upaya yang direnca- nakan dan berkelanjutan untuk membangun dan memelihara kese- pahaman bersama antara organisasi dan publiknya.” Kim Harrison (2008: 1) menyebut Public relations sebagai “fungsi membantu orga- nisasi mencapai tujuan-tujuannya melalui komunikasi yang efektif dan relasi-relasi yang konstruktif.” Sementara Scott Cutlip, Allen Center, dan Glen Broom (2006: 6) menyebut Public relations sebagai “fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hu- bungan baik dan bermanfaat dengan publiknya yang memengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi.” Dari definisi di atas, dapat ditarik benang lurus bahwa Public relations adalah proses membangun relasi, kepercayaan, dan kerja sama antara individu dengan individu dan organisasi dengan pub- liknya melalui strategi atau program komunikasi yang dialogis dan partisipatif. Agar proses komunikasi yang dilakukannya berjalan efektif, maka Public relations perlu memahami pengetahuan, per- sepsi, motif, dan kebutuhan publik sasaran. Jika program-program Public relations diandaikan sebagai sebuah pistol, maka Public rela- tions adalah “the man behind the gun” dan pesan-pesan komuni- kasinya adalah peluru. Sebelum menembakkan pelurunya, Public relations mesti menentukan sasarannya, bagian mana dari sasaran yang paling mudah ditembak, berapa kali menembak, dan memilih jenis peluru agar efektif memengaruhi sasarannya. Proses mencari informasi tentang pengetahuan, persepsi, motif dan kebutuhan pu- blik serta proses menentukan siapa publik sasaran adalah proses ri- set. Riset berasal dari bahasa Yunani “re” (lagi) dan “cercier” (men- cari), dalam bahasa Inggris berarti “to search”, mencari informasi (Kriyantono, 2010b: 1). 2 a Public Relations, Issue & Crisis Management Kriyantono (2010b) menjelaskan bahwa komunikasi yang efektif dapat terjadi apabila Public relations sebagai komunikator melaku- kan pemeriksaan atau menganalisis kondisi komponen-komponen dalam proses komunikasi. Komponen tersebut antara lain: komu- nikator, pesan, media, sasaran, gangguan-gangguan, umpan balik hingga efek yang kemungkinan terjadi. Misalnya, siapa orang yang menjadi sasaran program? Pesan apa yang sesuai dengan kebutuh- an sasaran tersebut? Atau efek apa yang diinginkan terjadi? Upaya memeriksa komponen-komponen di atas mesti didasari data-data empiris dan tepercaya. Kegiatan mencari dan mengumpulkan data empiris dan tepercaya ini disebut riset. Data empiris adalah data yang bersifat faktual yang diperoleh dari lapangan. Data empiris dan tepercaya ini selaras dengan pendapat Doug Newsom, Alan Scott, dan Judy Turk (1993: 4), yang bahkan menempatkannya sebagai prinsip pertama dari sepuluh prinsip dasar Public relations: “Public relations berkaitan dengan fakta-fakta, bukan fiksi.” Riset berfungsi menyediakan informasi empiris di lapangan dan bukan dari konstruksi subjektif seorang Public relations. Konstruksi subjektif ini dapat berbentuk intuisi, insting, imajinasi, dan trial & error, yang bersifat sulit dibuktikan kebenaran ilmiahnya, peluang terjadi inkonsistensi dan bias pribadi sangat besar. Kalau ini terjadi, aktivitas Public relations akan tidak mendapatkan dukungan publik karena refleksi, temuan atau solusi yang diberikan dalam memecah- kan persoalan hubungan organisasi dan publiknya terlalu dangkal, tidak sesuai realitas, dan tidak tepat sasaran. Contoh: mengadaptasi teori Spiral of Silence, opini karyawan yang muncul di permukaan belum dapat dikatakan merepresentasikan opini semua karyawan. Bisa jadi, terdapat sejumlah besar karyawan yang mempunyai opini tidak setuju terhadap regulasi dari manajemen tentang gaji, tetapi karena tidak mengekspresikannya secara terbuka—karena takut dipecat atau takut tidak naik pangkat—maka karyawan yang tidak setuju ini memilih diam. Karena diam, opini ketidaksetujuan ini ter- an 3 Riset dalam Public Relations tutup oleh opini yang setuju. Tetapi, jika situasi ini dibiarkan terus- menerus dan jika muncul faktor pemicu—seperti tingginya harga kebutuhan dan bertumpuknya ketidakpuasan—maka opini yang terpendam ini dapat meledak setiap saat berupa aksi-aksi demons- trasi. Jika program-program Public relations hanya berdasarkan asumsi-asumsi dari opini yang ada di permukaan tersebut maka ak- tivitas Public relations dapat dikatakan tidak tepat sasaran, terlalu dangkal, dan tidak merepresentasikan realitas. Yang dapat dilaku- kan Public relations yaitu ‘merangkul’ berbagai opini, baik yang di permukaan maupun yang masih tersembunyi—melalui kegiatan ri- set yang memungkinkan karyawan bebas menyalurkan aspirasinya tanpa adanya ketakutan struktural berupa sanksi. Misalnya, penye- diaan kotak opini yang bersifat anonim, yaitu ada jaminan keraha- siaan identitas si pengirim opini. Seperti disampaikan di kutipan pada awal bab ini, riset mem- buat Public relations berjalan berdasarkan prosedur ilmiah daripada mengandalkan intuisi atau mengira-ngira. Riset merupakan sumber inspirasi terpenting bagi Public relations untuk merancang program. komunikasinya. Tanpa riset, Public relations akan berjalan dalam. kegelapan; tidak tahu apa yang mesti dikerjakannya; sulit menentu- kan program apa yang relevan dilakukan; tidak tahu kapan dimulai dan diakhiri; tidak tahu dampak dari programnya atau tidak tahu programnya untuk siapa. David R. Drobs, President of Ketchum Public relation Worldwide (dikutip di Newson, Scott, & Turk, 1993: 90) mengatakan: “We can’t manage what we don’t measure.” Public relations tidak dapat mengatur dan meng-handle fungsinya dengan baik, jika ia tidak dapat mengukur atau menilai apa yang akan di- lakukan, yang sedang, dan yang sudah dilakukannya. Dalam tataran teoretis, terdapat titik temu di antara beberapa model Public relations, yaitu menempatkan riset sebagai titik awal (point-entry) melakukan aktivitas. Cutlip, dkk. (2006) mengenalkan model empat tahap (Defining Problems, Planning and Programm- 4 a Public Relations, Issue & Crisis Management ing, Action, Communicating) di mana riset adalah prosedur yang di- gunakan untuk mendefinisikan atau mengeksplorasi masalah-ma- salah yang terjadi; John E. Marston (1979) dengan model RACE, (Research, Action, Communication, Evaluation); Jerry A. Hendrix (2000) dengan model ROPE (Research, Objectives, Program, Evalu- ation); Ronald D. Smith (2002) mengenalkan model FoSTE (For- mative Research, Strategy, Tactics, Evaluation Research). Fase for- mative research (riset yang dilakukan pada awal sebelum merumus- kan program) terdiri dari tiga tahap strategi: analisis situasi, organi- sasi, dan publik. Riset digunakan Public relations untuk memonitor lingkungannya sebelum merancang program kegiatannya. Kemu- dian, menggunakan riset untuk memonitor pelaksanaan dan meng- evaluasi hasil kegiatan. Salah satu urgensi riset bagi Public relations adalah saat dirinya melakukan aktivitas manajemen isu. Dia harus memonitor isu-isu yang berkembang, yang berpotensi memenga- ruhi reputasi organisasi, dan jika dibiarkan berpotensi menimbul- kan krisis. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa aktivitas Public relations diawali dan diakhiri dengan riset, dan riset ini berdasar- kan pendekatan ilmiah yang datanya dapat dipertanggungjawab- kan. “Public relations practitioners are applied social & behavioural scientists who use research to help the decision making process.” (Edward Robinson in Cutlip & Center, 2006: 319). 2. Fungsi Riset bagi Akademisi dan Praktisi Public Relations Dari paparan di atas, riset dalam aktivitas Public relations mempu- nyaienam fungsi pokok, yaitu: konfirmasi, memperjelas, reorientasi, informatif, membangun teori, dan sarana proaktif. Pertama, fungsi konfirmasi. Riset berfungsi sebagai sarana konfirmasi asumsi- asumsi atau rekaan-rekaan dari pihak manajemen tentang masalah- masalah atau sikap publik terhadap organisasi. Contohnya, Public relations bisa saja bertanya apakah program saya ini relevan untuk publik? bagaimana sikap publik terhadap organisasi saya? Melalui an 5 Riset dalam Public Relations survei, misalnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab. Kedua, fungsi memperjelas (clarity). Riset dapat membantu manaje- men mengidentifikasi isu-isu di masyarakat yang mempunyai ke- terkaitan dengan organisasi. Isu adalah masalah-masalah yang men- dapat sorotan publik karena berkaitan dengan kepentingan mereka. Dalam hal ini, riset menyediakan informasi yang memadai tentang isu-isu tersebut. Pemahaman terhadap isu sangat penting untuk: (a) Merumuskan program-program yang dapat meningkatkan ci- tra organisasi. Dengan merumuskan program-program yang sesuai dengan isu yang menarik perhatian publik, diharapkan potensi mendapat perhatian, umpan balik, dan partisipasi aktif dari publik akan semakin besar. Jika program tersebut dikelola dengan baik, pe- luang peningkatan citra positif juga besar. (b Sebagai upaya mengelola isu agar tidak berpotensi menjadi konflik. Di dalam sebuah isu, terkandung gap (perbedaan) antara ha- rapan publik dengan apa yang sudah dilakukan organisasi. Jika gap ini tidak diatasi dengan baik, akan menjadi pemicu mun- culnya krisis. Misalnya, isu tentang diskriminasi gaji antara kar- yawan tetap dengan karyawan kontrak mengandung gap pada karyawan kontrak bahwa mereka tidak puas akibat kecilnya gaji dibanding gaji karyawan tetap. Jika harapan karyawan kontrak ini tidak mendapatkan solusi pemecahan, dapat membuat ak- si-aksi ketidakpuasan seperti unjuk rasa dan boikot kerja. Jika aksi ini mendapat liputan media, maka perusahaan akan masuk dalam fase krisis yang akut (baca Bab 6 tentang Krisis). Ketiga, fungsi reorientasi. Riset dapat mendorong perubahan orientasi dari manajemen ketika mengelola roda organisasi. Riset dapat memberikan pemahaman akan perlunya reorientasi pada ke- butuhan publik. Contoh: hasil riset menunjukkan ketidakpuasan 6 a Public Relations, Issue & Crisis Management karyawan wanita atas kurangnya kesempatan dalam berkarier ke jenjang yang lebih tinggi dan rendahnya gaji dibanding gaji kar- yawan pria. Hasil riset ini dapat mendorong manajemen untuk menghilangkan sikap diskriminasi pada karyawan wanita, misalnya mengubah standardisasi sistem promosi agar berorientasi pada ke- mampuan dan prestasi, bukan berdasarkan pada gender. Keempat, fungsi informatif. Riset berfungsi memberikan informasi yang ber- guna sebagai dasar mengevaluasi aktivitas Public relations. Informa- si ini nantinya menjadi dasar merumuskan program-program se- lanjutnya. Keempat fungsi di atas menunjukkan bahwa riset adalah aktivitas yang selalu dilakukan Public relations. Riset menjadi dasar awal dan akhir dari aktivitas Public relations sehingga dapat disebut sebagai proses yang terus-menerus dan tak berkesudahan. Kelima, fungsi teoretis. Riset merupakan sarana untuk memper- kaya kajian Public relations, secara akademis maupun praktis. Secara akademis, riset merupakan sarana menjelaskan teori, menerapkan teori, membuktikan teori, dan membangun teori baru. Sebagai se- buah aktivitas sosial, Public relations muncul sejak adanya manusia di bumi ini,? tetapi sebagai suatu disiplin ilmu, Public relations relatif baru (Grunig & Hunt, 1984; Ihlen & Van Ruler, 2009). Karena itu, masih sedikit teori-teori yang berasal dari riset-riset Public relations. James E. Grunig (1989: 17) mengatakan bahwa, “IImuwan Public relations banyak meminjam teori-teori dari ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya? Bagi para praktisi, teori merupakan landasan aktivitas keseharian karena teori membantu praktisi mendeskripsi- kan konsep-konsep yang ditemui dalam aktivitas mereka. Contoh: proses menghubungkan kepentingan organisasi dan publik yang di- lakukan praktisi, dalam kajian teoretis disebut boundary-spanning. ? Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia harus berinteraksi dengan sesamanya. Mere- ka saling bertukar barang (barter) maupun kerja sama untuk bertahan hidup. Semuanya memerlukan kemampuan komunikasi untuk bernegosiasi, Inilah bentuk sedethana dari aktivitas Public relations. an 7 Riset dalam Public Relations Selain itu, teori digunakan untuk memprediksi kemungkinan-ke- mungkinan yang terjadi. Misalnya, jika organisasi tidak menerap- kan konsep boundary-spanning, bisa diprediksi hal ini akan meme- ngaruhi kualitas hubungan dengan publik. Keenam, fungsi proaktif. Riset menjadi sarana yang mendorong Public relations bersikap proaktif. Proaktif bermakna bahwa Public relations mesti mengantisipasi munculnya masalah, bukan sebagai “pemadam kebakaran” ketika masalah muncul. Karena itu, Public relations dituntut memahami perubahan lingkungan sosial, ekono- mi, budaya, politik atau lingkungan hidup. Pemahaman ini perlu di- dukung oleh pemahaman terhadap kompleksitas ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk memahami perubahan-perubahan lingkung- an sosial, ekonomi, dan sebagainya. Riset berfungsi sebagai alat un- tuk mengantisipasi masalah akibat perubahan-perubahan lingkun- gan sebagai konsekuensi dinamisnya sistem sosial kemasyarakatan. 3. Penentu Aplikasi Riset: Budaya Organisasi dan Kemampuan Sumber Daya Perkembangan riset dalam praktik Public relations pada dasa- warsa 1990-an hingga sekarang menunjukkan kecenderungan me- ningkat dibanding dasawarsa 1980-an. Sebuah lembaga riset Public relations di Amerika Serikat yang bernama Ketchum Public Rela- tions (Ketchum Nationwide Survey on Public Relations Research, Measurement and Evaluations), seperti ditulis Wimmer & Domi- nick (2006: 396), telah mengerjakan 80 proyek Public relations pada 1993. Dari jumlah tersebut, 57% adalah riset evaluasi, meningkat 24% dari tahun 1988. Masih dari sumber yang sama dilaporkan bahwa sebagian besar Public relations yang disurvei mengatakan memprioritaskan riset-riset sistematis. Stacks (2002) menambah- kan bahwa perusahaan industri di AS telah meningkatkan penggu- naan riset berbasis teori seperti kerja sama antara Institute for Public Relations (representasi akademisi) dan Council of Public Relations 8 a Public Relations, Issue & Crisis Management Firms (organisasi para praktisi) yang melakukan riset dampak akti- vitas Public relations. Dari beberapa jurnal tentang Public relations, ditemukan be- berapa fakta yang menunjukkan adanya perubahan sikap dalam praktik Public relations untuk lebih berorientasi pengukuran (ri- set). Sebuah riset yang dilakukan Smythe, Dorward, dan Lambert di Inggris pada 1991 menemukan bahwa 83% praktisi setuju untuk memberikan penekanan pada perencanaan dan pengukuran efek- tivitas dari aktivitas komunikasi yang mereka lakukan. Riset survei pada 1992 yang dilakukan the Counselors Academy of the Public Relations Society of America (PRSA) menemukan bahwa 70% dari seribu praktisi anggota PRSA berpendapat bahwa tuntutan untuk melakukan pengukuran yang tepercaya adalah salah satu tantang- an dunia industri (1994). Pada 1993, Gael Walker dari University of Technology Sydney menemukan bahwa 90% praktisi Public rela- tions percaya bahwa riset saat ini telah diterima secara luas sebagai bagian yang penting dan integral dari proses perencanaan, pengem- bangan program, dan evaluasi (1997). Situasi yang digambarkan pada dua paragraf di atas menunjuk- kan tren positif jumlah riset yang terjadi pada 1990-an daripada dasawarsa 1980-an. Pada 1988, misalnya, Ketchum Public Relations menyurvei 945 praktisi Public relations di AS dan menyimpulkan bahwa “Sebagian besar riset Public relations bersifat biasa dan in- formal, bukan riset ilmiah dan tidak akurat. Riset banyak dilakukan oleh Public relations yang telah terlatih bukan dilakukan oleh Public relations yang terlatih dalam riset” (Lindenmann, 1990: 3-24). James Grunig menemukan bahwa masalah utama pembentukan citra ada- lah kurangnya metodologi riset untuk mengevaluasi program Pub- lic relations (1983). Masih sedikitnya aktivitas riset yang dilakukan Public relations ini semakin diperkuat oleh riset yang dilakukan Lyoyd Kirban pada 1983 yang menemukan bahwa lebih dari sepa- ruh praktisi menyatakan kekhawatirannya jika diukur (dievaluasi), an 9 Riset dalam Public Relations bahkan Grunig (1983: 28-32) menyebut ada kekhawatiran jika hasil riset akan menguak ‘dosa-dosa’ Public relations. ‘Dosa di sini dapat diartikan sebagai kekurangan-kekurangan atau kegagalan-kegagal- an Public relations. Meskipun mengalami peningkatan yang lebih baik dan adanya perubahan orientasi yang menganggap pentingnya riset dibanding dasawarsa 1980-an, secara umum kuantitas riset yang dilakukan Pu- blic relations masih rendah. Riset yang dilakukan International Pu- blic Relations Association (IPRA) pada 1994 menemukan kesenjang- an antara sikap terhadap pentingnya riset dengan pelaksanaan riset. Kebanyakan praktisi menganggap riset itu penting, tetapi pelaksa- naan riset masih tidak sebanding dengan anggapan tersebut. Seperti disajikan pada Tabel 1.1. Tabel z.2. Riset yang Masih Perlu Ditingkatkan PN ia cy Selatan aa rN) Er) Anggapan bahwa riset eauaciadaah pening, | 79% | 989 | Basle | B5.% Frekuensi melakukan riset evaluasi 16% 14% 25.4% | 18.6% Sumber: IPRA Gold Paper no. 12, 1994. Lalu, bagaimana dengan kondisi nyata praktik Public relations di Indonesia? Apakah pentingnya riset dalam tataran teoretis, seba- gai bentuk ideal yang disampaikan beberapa ilmuwan di atas, juga diterapkan oleh praktisi Public relations dalam tataran praktis? Apakah riset sudah menjadi bagian dari praktik keseharian mereka? Dari kajian teoretis dan wawancara dengan para praktisi Public rela- tions, saya beranggapan bahwa masih terdapat kendala mengapli- kasikan riset dalam praktik Public relations di Indonesia, baik itu untuk organisasi profit maupun nonprofit. Kendala-kendala ini, sa- ya masukkan dalam dua faktor: internal dan eksternal. 10 Public Relations, Issue & Crisis Management Faktor internal. Penerapan riset dalam praktik sehari-hari sa- ngat dipengaruhi oleh pemahaman Public relations terhadap fung- sinya beserta ruang lingkup pekerjaannya. Sebagai orang yang ber- tanggung jawab dalam perencanaan dan implementasi manajemen komunikasi, Public relations harus berorientasi riset dan mempu- nyai pemahaman tentang pentingnya riset untuk mendukung pe- kerjaannya. Selain itu, perlu pemahaman tentang teori-teori komu- nikasi dan harus mempunyai bekal kemampuan aplikasi riset. Me- narik sekali pernyataan dari seorang eksekutif Public relations bah- wa “kendala riset dalam praktik adalah ketidakmampuan melaku- kan riset dan kemalasan, yaitu lebih suka menggunakan intuisi dan pengalaman” (Cutlip, Center & Broom, 2006: 323). Penggunaan in- tuisi, atau metode “kira-kira” ini senada dengan pernyataan Grunig & Hunt yang dikutip sebagai pembuka bab ini, yaitu: The majority of practitioners still prefer to “fly by the seat of the pants” and use intuition rather than intellectualprocedures to solve Public relations problems (1984: 77). Faktor eksternal. Kendala riset juga muncul dari pihak mana- jemen yang menganggap riset tidak penting. Akibatnya, manaje- men tidak mengalokasikan dana yang cukup untuk kegiatan riset. Sikap ini merupakan refleksi budaya organisasi yang disebut budaya asimetris, sebuah konsep yang ditemukan Grunig, dkk. dari risetnya terhadap 321 perusahaan di tiga negara yaitu: AS, Kanada, dan Ing- gris (2008). Sifat budaya asimetris ini antara lain: (1) tertutup dan ti- dak membuka diri pada informasi dari luar organisasi; (2) berorien- tasi internal, yaitu hanya memandang realitas dari kacamata organi- sasi dan tidak memandang realitas dari kacamata publik; (3) meng- anggap efisiensi dan kontrol atas segala biaya lebih penting dari- pada kebutuhan akan inovasi sehingga tidak mengalokasikan dana yang cukup untuk kegiatan riset, karena riset dapat menghasilkan temuan-temuan (inovasi) baru. Riset dianggap hanya membuang- buang uang dan waktu; (4) konservatif, yaitu cenderung menolak a W Riset dalam Public Relations perubahan. Salah satu akibat riset adalah menghasilkan informasi baru yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengelola or- ganisasi. Misalnya, hasil riset menemukan adanya perilaku publik yang menginginkan ketersediaan informasi secara terbuka dan te- rus-menerus. Informasi ini dapat ditindaklanjuti, misalnya, dengan menyediakan membuat majalah dinding, memproduksi majalah in- ternal ataupun newsletter. Tetapi, jika organisasi bersifat konservatif, upaya-upaya alternatif ini sulit terlaksana. Menarik untuk disampaikan hasil riset Linda C. Hon terhadap 32 praktisi Public relations dan 10 top manajer di AS pada 1998. Linda melakukan riset kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Riset ini menemukan fakta: (a) para praktisi mengaku bahwa aktivitas Public relations merefleksikan prioritas- prioritas yang telah ditetapkan organisasinya; (b) para CEO meng- akui bahwa tujuan Public relations adalah mengomunikasikan citra organisasi; (c) meskipun perencanaan dan evaluasi Public relations sudah dilakukan sistematis tetapi masih ada kendala kurangnya sumber daya manusia; dan (d) para praktisi masih banyak yang me- lakukan riset-riset informal, hanya sedikit yang melakukan riset-ri- set formal. Dari riset ini, saya menyimpulkan bahwa faktor internal, yaitu kemampuan praktisi, menjadi kendala pelaksanaan riset yang ilmiah (formal), meskipun manajemen sudah mempunyai orientasi positif terhadap aktivitas Public relations. Di Kolom Kisah 1.1-1.3 berikut ini saya sampaikan hasil wa- wancara tentang pengalaman riset dari beberapa praktisi Public re- lations di Indonesia. Zulkarnaen Nasution adalah Ketua Perhumas, Malang dan Bambang Tri Prasojo adalah Manajer Public relations sebuah perusahaan rokok nasional. Iwan Sabatini, General Mana- ger Pelindo IIT Benoa, Bali, dan mantan Kepala Humas Pelindo III, Surabaya. Dari wawancara ini, ditemukan fakta bahwa praktisi Pub- lic relations di Indonesia sudah memahami dan mengimplementa- sikan riset, meski beberapa masih dengan metode yang sederhana 12 & Public Relations, Issue & Crisis Management dengan ketersediaan dana yang minim. Tampak bahwa kebutuhan riset sangat menyesuaikan dengan budaya organisasi. Sementara Kolom Kisah 1.4 berikut ini, merupakan hasil survei yang dilakukan Erica Austin, Bruce Pinkleton, dan Andrea Dixon (2000) tentang kendala-kendala dalam program riset yang dilakukan beberapa praktisi Public relations. Kisah 2.2 Riset penting bagi praktik humas. Riset kami gunakan untuk kegiatan fact-finding. Memang kebanyakan informal, salah satunya dengan menganalisis dokumen. Yang sering kami lakukan adalah meriset masalah penerimaan mahasiswa. Kami ingin mendapat data tentang representasi wilayah, dari mana saja mahasiswa berasal, wilayah mana yang dominan, persentasi wilayah, program studi apa yang diminati. Kami kemudian lebih mengeksplorasi, misalnya kalau banyak peminat berasal dari Tulungagung, Kediri atau Malang, maka kami akan mengambil langkah membuat program berkunjung dan promosi ke sekolah-sekolah di kota-kota ini. Untuk wilayah lain yang jarang peminat, misalnya Jakarta, maka kami akan mengadakan pa- meran-pameran. Selain itu, kami juga mengadakan polling kepada mahasiswa yang kami taruh di majalah internal kami, misalnya tentang kepuasan terhadap fasilitas dan pelayanan kami. Hasilnya diserahkan ke pihak- pihak terkait. Jika tentang akademik, diserahkan ke akademik. Na- mun untuk polling tentang pelayanan, kami merasakan kesulitan, karena sering kali masukan-masukan dari polling mendapat respons yang negatif. Ada yang menganggap hasil riset membuat malu pihak tertentu. Jadi, riset dilakukan berdasarkan situasi, tergantung situasi internal. Faktor dana juga berpengaruh. Selain itu, masalah tidak pahamnya pengambil kebijakan tentang peran dan fungsi humas dalam riset. Mereka hanya mengetahui bahwa fungsi humas hanya sebatas menjembatani media dengan lembaga saja —Zulkarnaen Nasution Kisah 2.2 Untuk riset, kami minimal setahun sekali. Objektifnya sen- diri bisa bermacam-macam. Ada yang bersifet riset internal dan riset eksternal. Untuk internal risetnya, umumnya sebagai bagian untuk melekukan strategi improvement (pengembangan) untuk team PR di Riset dalam Public Relations lanjutan... tahun-tahun berikutnya terhadap "klien" kita di mana para stake- holder yang ada di company kami. Sementara untuk eksternal, umum- nya kita sasarkan kepada media. Umumnya lebih kepada media per- ception terhadap company kita. Untuk metode risetnya, kami masih menggunakan metode seder- hana. Biasanya menggunakan survei dalam bentuk polling (baik menggunakan paper maupun e-paper). Dalam survei ini, kami meng- gunakan data kvantitatif dan juga kualitatif. Tentunya, saat kami me-report-kan ke manajemen, nantinya sudah dalam bentuk kom- prehensif analisis riset yang lengkap. —BambangTri Prasojo Kisah 2.3 Kami tidak melakukan riset secara khusus, karena kami se- bagai BUMN. Tim humas dibagi dua, ada media relation dan antar- lembaga media relation di mana staf melakukan pantavan berita baik cetak, online, facebook, termasuk keluhan, pembuatan release, jumpa pers, dan sebagainya. Untuk antarlembaga kami terus memantau ke- giatan arus informasi dari pemerintah daerah, kadinda, dan instansi terkait dan lainnya. Riset atau mungkin lebih tepat saya sebut hasil pantauan, saya gu- nakan kuantitatif (dominannya) namun kami juga mencatat (bobot) opini yang muaranya juga kualitatif dari hasil pantavan berita, dibuat laporan bulanan di sana dicatat yang terpenting tentang opini. Opini positf, bila muatan mengandung unsur citra positif bagi perusahaan; opini negatif, membuat citra negatif, perlu ditindaklanjuti latar be- lakang tulisan berita itu, apakah salah narasumber, apakah sasaran tembak atau apakah perlu hak jawab. Kami hampir jarang membuat hak jawab atau berita sanggahan di koran yang sama, karena berita negatif rata-rata ada muatan kepentingan tertentu yang dimaksud- kan menyudutkan perusahaan dengan tujuan tertentu, namun kami menggelontor release ke media lain lebih banyak lagi, dan ini cukup jitu. Kami tidak lagi melakukan pembungkaman (pemboikotan), na- mun kemi memberikan reward kepada media yang "berkontribusi pemberitaan positif" berupa pariwara atau advetorial. Opini netral (non opino) adalah tulisan oleh narasumber lain dengan topik lain (misal, tentang perdagangan) namun juga menyebut tentang PT Pe- Public Relations, Issue & Crisis Management lindo Ill sebagai penyedia jasa pelabuhan, ini juga kami akomodasi sebagai pencitraan. —Iwan Sabatini Kisah 2.4 Sebuah survei melalui email dengan responden 300 prak- tisi Public relations anggota Public relations Society of America. Res- ponden dibagi berdasarkan dua peran Public relations, yaitu peran manajerial (berperan dalam proses pengambilan keputusan, sebagai fasilitator komunikasi, perencana strategi organisasi) dan peran tek- nisi komunikasi (hanya memproduksi media komunikasi, seperti ma- jelah, newsletter atau press-release). Beberapa item yang diajukan da- lam kuesioner antara lain: (a) item tentang sikap responden terhadap peran riset evaluasi dalam Public relations, menggunakan 7 poin skala mulai dari poin a (sangat tidak setuju/strongly disagree) sampai poin 7 sangat setuju/strongly agree). Responden diminta sikapnya tentang beberapa pernyataan: * riset diperlukan sebagai bukti bahwa program Public relations ber- jalan baik; + adalah penting untuk melakukan riset prakampanye (precampign); * adalah penting untuk melakukan riset selama kampanye berlang- sung; + riset telah diterima oleh sebagian besar organisasi sebagai bagian penting Public relations; + adalah penting untuk melakukan riset setelah kampanye berlang- sung (postcampaign); + riset telah diterima oleh sebagian besar praktisi sebagai bagian yang perlu untuk proses perencanaan; + riset telah diterima oleh besar praktisi sebagai bagian yang pen- ting untuk proses perencanaan. (b) item tentang sikap responden terhadap metode riset yang di- gunakan, menggunakan 7 poin skala mulai dari poin (tidak pernah menggunakan) hingga poin 7 (pernah menggunakan), yaitu: + apakah responden menggunakan metode berorientasi sumber, yaitu: * perlakuan media (media treatment), * media coverage. Riset dalam Public Relations * volume pemberitaan media + apakah responden menggunakan metode berorientasi pada pe- nerima pesan, yaitu mengukur: * tingkat kesadaran khalayak. * pengetahvan khalayak. * sikap dan perilaku khalayak. (©) item tentang sikap responden terhadap kendala-kendala untuk melakukan riset, mulai dari poin skala 2 (tidak pernah ada kendala) hingga skala poin 7 (selalu ada kendala), yang mencakup pernyataan sikap tentang: + kurangnya perhatian dari manajemen. + kurangnya kemampuan riset. + riset dianggap tidak perlu oleh organisasi + kurangnya waktu yang tersedia untuk melakukan riset + kurangnya dana. Riset ini menghasilkan temuan bahwa organisasi yang menempatkan Public relations dalam peran manajerial mempunyai kecenderungan untuk melakukan riset-riset yang berorientasi kepentingan publik da- ripada Public relations dalam peran teknisi; praktisi yang berorientasi pada peran manajerial menganggap bahwa dana adalah kendala uta- ma melakukan riset, sedangkan praktisi yang berorientasi pada peran teknisi menganggap bahwa waktu dan kemampuan riset adalah ken- dala utama. 4. Jenis-Jenis Riset Public Relations Di buku ini, saya membuat kategorisasi riset Public relations berdasarkan beberapa kelompok: berdasarkan waktu, berdasarkan sifat, dan berdasarkan bidang yang diriset. Berdasarkan Waktu Berdasarkan waktu, riset dapat dilakukan pada awal sebelum merancang program (riset formatif), di saat program berlangsung (riset asesmen/penilaian), dan di akhir program (riset evaluasi/su- matif). Riset formatif bertujuan melakukan scan atau memonitor 16 red Public Relations, Issue & Crisis Management situasi, baik di lingkungan internal maupun eksternal. Data hasil riset digunakan sebagai dasar untuk menentukan program apa yang mesti dirumuskan Public relations. Hasil memonitor situasi ini memberikan informasi tentang situasi terkini dan kecenderungan- kecenderungan perilaku publik yang dapat digunakan untuk mem- prediksi tren situasi di masa depan. Termasuk dalam kategori ini adalah riset untuk mengidentifikasi isu-isu faktual terkait dengan aktivitas organisasi. Riset asesmen bertujuan memonitor dan menilai apakah prog- ram yang tengah berlangsung sudah sesuai dengan rencana dan sesuai yang diharapkan. Sementara, riset sumatif bertujuan untuk mengukur bagaimana hasil pelaksanaan program. Apakah publik berubah dari tidak tahu menjadi tahu? Dari tidak setuju menjadi setuju? Apakah ada perubahan perilaku? Seberapa baik kampanye dilaksanakan? Riset sumatif ini juga menyediakan informasi untuk menyusun program berikutnya. Berdasarkan Cara Dari segi bagaimana cara pelaksanaan riset, ada dua jenis riset Public relations: riset formal dan informal (Cutlip, dkk, 2006; Kri- yantono, 2010b; Stacks, 2002). Ada perbedaan dalam mendefinisi- kan dua istilah jenis riset di atas antara ketiga literatur di atas. Dalam buku Primer Public Relations Research (2002), Don W. Stacks mengelompokkan riset-riset kuantitatif, survei dan polling, eksperi- men, statistik deskriptif, dan statistik inferensial, sebagai riset for- mal. Di sisi lain, dia mengelompokkan riset-riset kualitatif, seperti studi kasus; mengobservasi orang; focus group discussion; wawan- cara mendalam; analisis isi; dan metode kesejarahan (history), seba- gai riset informal. Buku ini menggunakan definisi riset formal dari Cuttlip, dkk. (2006) dan Kriyantono (2010b), yaitu sebagai riset yang dilakukan secara sistematis melalui prosedur atau metode riset ilmiah, baik a 17 Riset dalam Public Relations kuantitatif maupun kualitatif. Metode ilmiah dalam riset dapat di- artikan sebagai cara-cara dalam pengumpulan data yang menjamin data bersifat objektif dan dapat diverifikasi. Termasuk riset formal adalah analisis isi, wawancara mendalam, survei, focus group discus- sion, dan eksperimen. Sementara riset informal adalah riset yang di- lakukan tanpa menggunakan prosedur risct yang sistematis, meski tetap menjaga faktualitasnya, misalnya menyediakan kotak opini, observasi atau manajemen by walking around (mengunjungi ruang kerja karyawan untuk mengobrol dan menampung aspirasi), dan Kliping pemberitaan media (Kriyantono, 2010b). Berdasarkan Bidang yang Diriset Riset Public relations dapat dikelompokkan berdasarkan fokus bidang yang dirisetnya. Bidang-bidang tersebut adalah area peker- jaan dari praktisi Public relations, yaitu: a. Riset yang fokus pada upaya memonitor lingkungan. Yaitu riset yang bertujuan memonitor perkembangan opini publik dan isu-isu sosial yang berpotensi memengaruhi ope- rasional organisasi. Contoh: terkait dengan isu pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh buangan limbah pabrik gula di Cukir Jombang milik PT Perkebunan Nasional X yang juga disiarkan salah satu TV swasta pada Mei 2012, Public relations dapat menggali data tentang bagaimana isu tersebut diberitakan media melalui analisis isi dan meriset opini publik, baik me- lalui survei, mengundang tokoh-tokoh masyarakat dalam focus group discussion dan wawancara mendalam dengan komunitas sekitar. b. _Riset yang fokus pada organisasi. Yaitu riset yang bertujuan memonitor situasi internal organisa- si, misalnya memonitor kepuasan kerja anggota organisasi, ba- gaimana kondisi iklim komunikasi dalam organisasi, serta ba- 18 & Public Relations, Issue & Crisis Management gaimana opini anggota organisasi terhadap manajemen. Riset ini dapat disebut sebagai upaya mengaudit organisasi. Dari ha- sil audit ini Public relations memperoleh data penting antara lain: bagaimana iklim komunikasi yang terjadi, apakah terdapat situasi saling percaya, saling mendukung, dan kerja sama anta- ra anggota organisasi dari berbagai level? Bagaimana karyawan memaknai pesan-pesan manajemen? Apakah terdapat kecu- kupan informasi dalam organisasi? Bagaimana proses pengam- bilan keputusan, apakah memungkinkan partisipasi aktif kar- yawan? e Riset yang fokus pada pesan Public relations. Riset ini bertujuan menganalisis berbagai elemen pesan, mi- salnya bagaimana proses produksi pesan? Bagaimana tingkat keterbacaan pesan (readability) oleh publik? Apakah isi pesan dapat memenuhi kebutuhan publik? bagaimana pengaruh pe- san terhadap publik, apakah dapat mendorong perubahan pe- ngetahuan (dari yang tidak tahu menjadi tahu), perubahan si- kap (dari yang tidak setuju menjadi setuju) atau perubahan pe- rilaku (ikut berpartisipasi dalam program Public relations)? dan sebagainya. Riset dan Crisis Management Di buku ini, ketiga bidang riset di atas dapat dilakukan dalam aktivitas manajemen krisis (crisis management). Seperti saya jelas- kan di halaman 6, riset adalah alat dalam melakukan manajemen. isu, seperti memonitor isu apa yang terjadi di kalangan public atau isu apa yang menjadi pemberitaan media. Kemudian, isu-isu terse- but dikelompokkan berdasarkan kesamaan-kesamaannya dan di- lakukan pemetaan isu, yang di dalamnya mencakup informasi ten- tang apa jenis isunya (tema isu), siapa yang terkait dengan isu itu, bagaimana potensi ancaman isu pada citra dan reputasi organisasi, dan solusi yang dapat ditawarkan agar isu tidak berkembang. Isu a 19 Riset dalam Public Relations yang tidak ditangani dapat membuat terjadinya krisis, dan sebuah krisis dapat mengandung berbagai macam isu, baik isu baru mau- pun merupakan perkembangan dari isu-isu yang terjadi sebelum- nya. When the crisis occurs the research must be at hand... its facts understood... the communicators ready to go into action. The modern PR person must know how to do research any subject, do it quick- ly, and summarize it well and briefly.’ (Frank Wylie, past president PRSA in Newsom, et al, 1993: 538). 20 & vabe PENDEKATAN-PENDEKATAN RISET & PRAKTIK PUBLIC RELATIONS “We cannot improve the practice of public relations until we un- derstand the many ways that public relations contributes to the effec- tiveness of organizations” (Trujillo & Toth, 1987: 200) 1. Landasan Filsafati Mencari Pengetahuan Kita adalah makhluk Tuhan yang memiliki kemampuan mena- lar, yaitu kemampuan berpikir secara sistematis dengan menggu- nakan kerangka berpikir tertentu. Kemampuan berpikir ini meng- gunakan simbol-simbol tertentu, seperti bahasa dan simbol nonver- bal, untuk merepresentasikan realitas. Misalnya, ketika menjelaskan tentang gunung berapi, kita tidak harus datang mendaki gunung, tetapi dapat menggunakan bahasa dan gambar-gambar gunung un- tuk merepresentasikan gunung yang asli. Karenanya, tidaklah heran jika ada yang menyebut manusia sebagai ‘animal symbolicum’ dan ‘social animal. Artinya, yang membedakan manusia dengan hewan adalah kemampuan manusia dalam berpikir dan menalar dengan menggunakan simbol-simbol verbal maupun nonverbal. Simbol- simbol tersebut dihasilkan dan dikonstruksi lewat interaksi sosial sebagai wujud ketergantungan individu pada lingkungan sosialnya. Pendekatan, Metode Kualitatif dan Etnografi dalam Riset Public Relations Kemampuan berpikir ini kita gunakan untuk mencari penge- tahuan. Pengetahuan pada dasarnya adalah informasi tentang re- alitas atau fenomena di lingkungan sehingga kita dapat menjelas- kan realitas itu (seperti, apa realitas itu? mengapa realitas itu ter- jadi? dan untuk apa realitas itu terjadi?), kemudian kita dapat ber- adaptasi dan bahkan mengubah realitas disesuaikan kebutuhan hidup kita. Dari tulisan Endraswara (2012), Mustansyir & Munir (2001); Ritzer & Goodman (2003), dan Suriasumantri (2001) da- pat disimpulkan bahwa secara filsafat, ada beberapa penjelasan tentang sumber mencari pengetahuan yaitu: rasionalisme, empir- isme, kritisme, dan idealisme. Rasionalisme adalah paham yang disebarkan Rene Descartes yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah rasio atau pikiran manusia. Rasionalisme melahirkan cara berpikir deduk- tif, dari hal umum ke khusus. Menurut rasionalisme, rasio atau pikiran manusia dapat menghasilkan pengetahuan yang dapat di- percaya dan tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan, karena rasio dapat menentukan kebenaran penge- tahuan dari dirinya sendiri. Manusia dianggap mempunyai ide- ide bawaan (innate ideas). Prinsip rasionalisme ini tampak dari ajakan Descartes agar manusia selalu meragukan sesuatu, dikenal sebagai skeptis metodis, dan tidak ada yang pasti di dunia kecuali keraguan itu sendiri, Sementara itu, empirisme adalah paham yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman. Pengalaman di sini adalah apa yang dialami manusia, baik bersifat lahir-fisik mau- pun batin. Pikiran atau rasio manusia, menurut empirisme, ha- nya berfungsi untuk mengolah data yang berasal dari pengalam- an. Bagi kaum empiris yang dimotori oleh Francis Bacon (abad 15) dan David Hume (abad 17), rasio manusia diibaratkan sebagai kertas putih yang belum ada coretan atau tulisan apa pun. Empir- isme melahirkan cara berpikir induktif. Bacon memperkenalkan 22 red Public Relations, Issue & Crisis Management metode eksperimen dalam pencarian pengetahuan di mana pe- ngetahuan diperoleh dari pengalaman yang memungkinkan ma- nusia mengetahui benda-benda dan hukum-hukum relasi antara benda-benda tersebut. Empirisme lebih bersifat aposteriori, yang berarti unsur-unsur pengetahuan berasal dari pengalaman. Se- mentara itu, rasionalisme lebih bersifat apriori, yang berarti un- sur-unsur pengetahuan terlepas dari segala pengalaman. Perbedaan antara rasionalisme dan empirisme kemudian di- jembatani oleh Immanuel Kant dengan mengenalkan filsafat kri- tisme. Menurut kritisme, sumber dari pengetahuan adalah per- paduan dari rasio dan empiris, karenanya pengetahuan bersifat sintesis. Pengalaman empiris merupakan sistesis dari hal-hal dari luar diri seseorang dan dari bentuk-bentuk ruang dan waktu (pro- ses perkembangan) yang ada dalam diri seseorang. Pengetahuan rasional adalah sintesis dari pengalaman dan sumbangan kategori- kategori (misalnya skemata) dalam pikiran manusia. Pengetahuan rasional bersifat apriori dan bersifat analitik, yakni proposisi yang predikatnya sudah tercakup dalam subjek. Misalnya semua ang- sa putih, es itu dingin. Putih sebagai predikat sebenarnya sudah tercakup atau inheren dalam diri angsa, yang memang berwarna putih; dingin sebagai predikat sudah tercakup dalam diri es, yang memang bersifat dingin. Pengetahuan empiris bersifat aposteriori dan sistesik, yakni tak dapat diuji kebenarannya dengan melalui pernyataan tetapi harus diuji secara empiris. Misalnya, rumah mahal, baju baru. Apa benar baju berharga Rp 1 juta itu mahal? Mahal bagi siapa? Apa sesuai dengan bahan bajunya? Menurut Kant, Rasionalisme bersifat universal tetapi tidak memberikan in- formasi baru sedangkan empirisme memberikan informasi baru tetapi tidak universal. Rasionalisme maupun empirisme diang- gap berat sebelah. Sebagai jalan tengah, Kant menawarkan solusi: pengetahuan sintesis apriori. Artinya, pengetahuan yang bersum- ber dari rasio dan empiris dan sekaligus bersifat apriori dan apos- & 23 Pendekatan, Metode Kualitatif dan Etnografi dalam Riset Public Relations teriori (akal budi dan pengalaman indriawi dibutuhkan serentak) (Mustansyir & Munir, 2001). Karena itu, Kant berpendapat bahwa yang dimaksud pengalaman sebenarnya merupakan “hasil kon- struksi oleh rasio” (Endraswara, 2012:53), atau dapat juga diisti- lahkan sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). Plato memandang manusia sebagai makhluk yang humanis, yaitu memandang manusia sebagai manusia yang utuh, yang ti- dak hanya bersandar pada kemampuan rasionya saja, jadi selain sebagai homo sapiens atau makhluk yang berpikir, manusia adalah makhluk humanis. Sebagai makhluk humanis, manusia mempu- nyai dua kenyataan, yaitu dunia ide dan dunia indriawi. Dunia ide adalah dunia yang tetap dan abadi (realitas sejati) sedangkan du- nia indriawi adalah dunia yang berubah, yang mencakup benda- benda fisik yang ditangkap indriawi. Filsafat dualisme dari Plato ini menjadi dasar filsafat kritisme dan kemudian dikembangkan oleh filsafat idealisme. Ide adalah realitas yang tidak dapat dirasa, dilihat dan didengar dan merupakan dunia objektif yang berada di luar pengalaman. Pengetahuan merupakan ingatan semua yang diketahui di dunia ide. Filsafat Plato ini dikenal pula sebagai filsa- fat spekulasi, karena ide adalah hasil pencarian yang bersifat spe- kulatif terhadap pandangan tentang kebenaran. Idealisme merupakan perpanjangan dari pemikiran dualis- me dari Plato. Filsafat idealisme, dengan tokohnya Georg Fried- rich Hegel, memandang bahwa esensi dari alam adalah pikiran. Sementara alam itu sendiri adalah jiwa atau pikiran yang diob- jektifkan. Alam adalah proses pemikiran yang menerawang jauh yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk dunia luar. Oleh ka- rena itu, hukum-hukum pikiran adalah hukum-hukum realitas. Alam telah ada sebelum manusia ada, tetapi adanya arti dalam dunia, mengandung makna bahwa ada pikiran di tengah-tengah idealitas (ada proses mental manusia). Dengan demikian, filsafat dualisme, kritisme dan idealisme mendorong pemahaman per- 24 red Public Relations, Issue & Crisis Management lunya sintesis antara fenomena dan kesadaran (pikiran) sebagai sumber pengetahuan. Inilah yang kemudian mendorong mun- culnya filsafat fenomenologi dari Edmud Husserl dan Maurice Ponty. Fenomenologi memandang manusia secara aktif mengin- terpretasi pengalamannya dan memahami dunia dengan lang- sung mengalaminya. Dengan kata lain, setiap fenomena yang di- tangkap indra kita pasti mengandung makna yang sesuai dengan maksud subjek yang menampakkan fenomena itu. Fenomolog berpendapat bahwa pengetahuan berada dalam suatu fenomena dan dirinya adalah s tuisi. Fenomenologi inilah yang menjadi akar riset-riset kualitatif, termasuk etnografi, di mana periset mesti terjun langsung di la- pangan untuk memahami realitas. ana mendapatkan pengetahuan melalui in- Dari beberapa pemikiran filsafati tentang sumber pengetahu- an di atas, dilanjutkan dengan pembahasan tentang pendekat- an-pendckatan dalam memandang realitas. Pemikiran mengenai sumber pengetahuan di atas menjadi dasar bagaimana pendekat- an manusia dalam memahami realitas. Dapat dilihat pada Gam- bar 2.1. Rasionalisme Empirisme - Dualisme Sumber Pendekatan/asumsi Objekt ig [| > |interpretif Humanitis pengetahuan tentang realitas Kritis Kritisme Idealisme Gambar 2.1. Filsafat pengetahuan dan pendekatan 2. Pendekatan dalam Memahami Realitas Bahasan ini berangkat dari kenyataan bahwa cara bagaimana seseorang memaknai peristiwa di sekitarnya dan tindakan yang dilakukannya sangat ditentukan bagaimana cara pandang dia ter- hadap peristiwa itu. Contoh: perbedaan cara pandang tentang ke- a 25 Pendekatan, Metode Kualitatif dan Etnografi dalam Riset Public Relations bersihan. Seorang istri sering mengeluh dan komplain kepada sua- minya. Menurut si istri, suami adalah orang yang malas karena ja- rang membersihkan atau mengepel lantai. Kalau pun si suami mem- bersihkan, masih saja diomeli, karena si istri menganggap kurang bersih atau suami dianggap tidak sungguh-sungguh membersihkan lantai. Sementara itu, si suami membantah anggapan istri. Menurut suami, dia tidak membersihkan lantai bukan karena malas. Tetapi, dia menganggap lantai sudah bersih karena itu tidak perlu dibersih- kan. Terjadi perbedaan cara pandang tentang apa yang diyakini se- bagai bersih. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan persepsi dan perilaku seseorang. Di berbagai literatur istilah cara pandang (worldview) mempu- nyai padanan kata dengan istilah pendekatan, paradigma atau per- spektif. Berkaitan dengan contoh tentang perbedaan antara suami dan istri di atas, riset dapat diartikan sebagai aktivitas manusia yang ditentukan oleh bagaimana pendekatan si pelaku riset terhadap ob- jek yang dirisetnya. Metode ilmiah dan teori sebagai produknya bu- kanlah bersifat pasti objektif, bukan bersifat netral dan bebas nilai, dan bukan merupakan representasi sesungguhnya dari realitas. Si- fat teori yang merupakan abstraksi realitas yang hanya menjelaskan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya dari suatu reali- tas menunjukkan adanya sifat subjektivitas dari metode ilmiah itu sendiri. Grunig dan White (2008:33) menyebut sifat subjektivitas ini sebagai worldview atau skemata, yaitu “asumsi tentang dunia yang dimiliki seorang ilmuwan yang merupakan kerangka konseptual dalam pikirannya yang menentukan bagaimana dia memandang re- alitas, seperti apa yang menjadi fokus perhatiannya, dan bagaimana dia membuat kesimpulan.” Pendekatan adalah falsafah yang mendasari suatu metodologi riset. Riset merupakan sarana inovasi untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan, Menurut Suriasumantri (2001:119), “Metodolo- 26 & Public Relations, Issue & Crisis Management gi berasal dari kata ‘metodos’ (cara, teknik atau prosedur) dan ‘lo- gos’ (ilmu). Jadi, metodologi adalah ilmu yang mempelajari prose- dur atau teknik-teknik tertentu. Metodologi riset merupakan suatu pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode riset. Adapun metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematik.” Dari berbagai literatur—meski menggunakan istilah yang ber- beda—seperti Daymon dan Holloway (2003); Egon Guba & Yvon- na Lincoln (1994); James Anderson (2009); Rachmat Kriyantono (2010b); Lawrence Neuman (2006); Littlejohn dan Karen Foss (2008); Nick Trujillo & Elizabeth Lance Toth (1987); dan Wimmer dan Dominick (2006), ada dua kelompok besar pendekatan, yaitu: (1) objektif dan (2) subjektif (interpretif dan kritis). Perbedaan pen- dekatan ini adalah perbedaan dalam memandang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari realitas yang diriset. Ontologi ber- kaitan dengan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan re- alitas itu, apa yang dicari, apa yang ingin diketahui; epistemologi berkaitan dengan bagaimana cara seseorang mendapatkan penge- tahuan, bagaimana metodenya; aksiologi berkaitan dengan tujuan atau untuk apa seseorang mempelajari realitas dan apakah manfaat- nya. Epistemologi pada akhirnya menghasilkan metodologi, yaitu kajian yang mempelajari teknik-teknik menemukan pengetahuan. Jika dikaitkan dengan pernyataan pada paragraf sebelumnya bahwa riset merupakan sarana inovasi untuk mengembangkan suatu ilmu pengetahuan, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga pertanyaan dalam aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ini adalah dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga pertanyaan tersebut se- lalu dipertanyakan dalam aktivitas mencari ilmu pengetahuan yang akhirnya membentuk proses sirkular yang berkelanjutan. Dapat dilihat pada Gambar 2.2. a 27 Pendekatan, Metode Kualitatif dan Etnografi dalam Riset Public Relations Gambar 2.2. Tiga dasar pengembangan ilmu Pendekatan Objektif (Positif) Realitas dipandang sebagai sesuatu yang nyata, diatur oleh hu- kum-hukum yang bersifat objektif dan universal. Karenanya, realitas dapat diukur dengan standar tertentu, dapat digeneralisasikan, dan bebas dari konteks dan waktu (berlaku umum, kapan pun). Karena mengikuti hukum atau kaidah tertentu maka pendekatan ini juga disebut pendekatan positif, artinya ada hukum positif (yang saat ini sedang berlaku) yang menjadi guide bagi seseorang dalam memak- nai realitas. Contoh: jika ada pohon tumbang di hutan, pendekatan ini beranggapan pasti menimbulkan bunyi jatuh. Ada aturan umum. yang berlaku kapan pun: jika benda jatuh pasti berbunyi. Dapat di- generalisasikan kepada semua objek. Karena realitas bersifat objektif, realitas berada di luar diri atau terpisah dengan individu. Untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas, periset harus menjaga jarak dengan realitas yang dirisetnya 28 a Public Relations, Issue & Crisis Management dan tidak memberikan penilaian subjektif (bias pribadi). Contoh: untuk mengukur konsep “sikap”, periset tidak boleh mendefinisi- kan sikap menurut dirinya sendiri atau meminta responden untuk mendefinisikan. Kata “sikap” berada di luar periset (tidak berasal da- ri pikiran periset). Karenanya, periset harus mencari hukum/kaidah umum tentang sikap yang berasal dari literatur-literatur. Kemudian mensintesiskannya ke dalam suatu alat ukur (misalnya kuesioner). Periset dalam pendekatan ini, berperan sebagai ilmuwan yang tidak memiliki kepentingan atas realitas yang diriset. Tujuan mem- pelajari realitas adalah untuk menerapkan, menguji atau membuat hukum/kaidah universal tentang realitas yang diriset. Karenanya, secara metodologi, pembuktian kebenaran dilakukan dengan cara deduksi melalui eksperimen atau survei dengan analisis kuantita- tif Dalam riset objektif ini, orang yang diteliti disebut objek riset (menjadi objek, bersifat pasif). Bersifat pasif berarti hanya mere- spons pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner ini dianggap sebagai hukum atau kaidah universal yang mewakili realitas yang diteliti. Sebagai hukum objektif, kuesioner harus diuji validitas dan reliabili- tasnya terlebih dulu. Pengaruh rasionalisme pada riset kuantitatif terletak pada ba- gaimana literatur-literatur dijadikan alat ukur realitas yang dikaji. Makna berasal dari rasio periset yang berasal dari kajian-kajian teo- retis sebagai sarana menjaga jarak keobjektifan dengan realitas. Pe- ngaruh empirisme tampak bahwa alat ukur yang digunakan harus- nya mampu merepresentasikan fakta-fakta di lapangan sehingga dapat digeneralisasikan Pengaruh idealisme maupun humanistis terhadap riset kuan- titatif terletak pada bagaimana periset mencoba mengobjektifkan pikiran (yaitu teori-teori). Instrumen riset seperti kuesioner meru- pakan hasil pemikiran yang objektif dan mesti bersifat tetap (kon- sisten) melalui uji validitas dan reliabilitas yang cermat. a 29

You might also like