You are on page 1of 16

PROBLEM KEKERASAN SEKSUAL: MENELAAH ARAH KEBIJAKAN

PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGANNYA

SEXUAL VIOLENCE PROBLEMS: ANALYZING THE DIRECTION OF


GOVERNMENT POLICY IN HANDLING THE PROBLEMS

Prianter Jaya Hairi


P3DI Bidang Hukum, Gedung Nusantara 1 Lantai 2, Setjen DPR RI,
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta Pusat 10270
email: Prianter.hairi@dpr.go.id

Naskah diterima: 5 Maret 2015


Naskah direvisi: 7 Mei 2015
Naskah diterbitkan: 22 Juni 2015

Abstract
Sexual violence cases is flourishing lately, Komnas Perempuan data showed that sexual violence cases
in Indonesia increasing yearly. The data demonstrate how feeble the law protection of sexual violence in
Indonesia. Sexual violences rule of law actually has already exist, but in fact substantially still far from
adequate, that is why the rule then considered as not capable to fighting sexual violence during this time.
In this study, the author meant to analyse what policy that the government should take to overcome sexual
violence in Indonesia. From the analysis, comprehended that during this time the government indeed have
done varied efforts to overcome sexual violence, including penal and non-penal ways, but in fact still
not effective yet. Therefor, in the future it required to improve the government policy. Such as that the
government need to do criminalization for the new form of sexual violence in KUHP Revision or in the
draft law of sexual violence. Beside that, the government also need to improve non-penal efforts through
activity such as help program or social education, cultivate community sanity through moral and religion
education, patrol activity on a regular basis by cops in every dangerous places such as factory or school.
Key words: sexual violence, criminal policy, penal, non-penal

Abstrak
Kasus kekerasan seksual semakin marak akhir-akhir ini, data Komnas Perempuan menunjukkan
bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat terus setiap tahunnya. Hal ini membuktikan
masih lemahnya perlindungan hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia. Peraturan
hukum terkait kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, namun secara substansi ternyata masih
memiliki banyak kekurangan sehingga dianggap belum bisa menanggulangi kekerasan seksual
selama ini. Dalam kajian ini penulis bermaksud untuk menganalisis persoalan bagaimana
seharusnya pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan dalam menanggulangi kekerasan
seksual di Indonesia. Dalam pembahasan dipahami bahwa selama ini pemerintah memang telah
melakukan berbagai upaya dalam menanggulangi kekerasan seksual, baik secara penal maupun
non penal, namun dalam kenyataannya masih belum efektif. Oleh sebab itu, di masa yang akan
datang diperlukan peningkatan terhadap langkah dan kebijakan pemerintah. Di antaranya bahwa
pemerintah perlu melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap bentuk-bentuk baru kekerasan
seksual baik melalui Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau dalam Rancangan
Undang-Undang Kekerasan Seksual. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan upaya non-
penal melalui kegiatan seperti penyantunan dan pendidikan sosial, penggarapan kesehatan jiwa
masyarakat melalui pendidikan moral dan agama. pengawasan oleh polisi dan aparat keamanan di
tempat-tempat yang rawan kejahatan seksual seperti dipabrik dan sekolahan.
Kata Kunci: kekerasan seksual, kebijakan kriminal, penal, non-penal

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 1


I. PENDAHULUAN kabupaten/kota yang tersebar di 30 Provinsi di
A. Latar Belakang Indonesia, yaitu mencapai 280.710 kasus atau
Baik pelaku maupun korban dalam tindak berkisar 96%. Sisanya sejumlah 12.510 kasus
kekerasan seksual pada hakikatnya dapat saja atau berkisar 4% bersumber dari 191 lembaga-
berjenis kelamin perempuan ataupun pria, lembaga mitra pengada layanan yang merespon
namun dalam kenyataannya tentu saja dapat dengan mengembalikan formulir pendataan
dikatakan bahwa mayoritas perempuanlah yang yang dikirimkan oleh Komnas Perempuan.3
menjadi korbannya. Fakta tersebut membuat Jumlah kasus kekerasan ini berarti meningkat
prilaku kekerasan seksual pada umumnya dibandingkan pada 2013 yang berjumlah 263
dianggap merupakan bagian dari kekerasan ribuan kasus.4
terhadap perempuan. Laporan Komnas Perempuan merinci
Mengenai kekerasan terhadap perempuan bahwa pada 2014 terdapat 8.626 kasus
ini, World Health Organization (WHO) dalam kekerasan terhadap perempuan yang terjadi
penelitian mengenai prevalensi kekerasan di ranah personal.5 Dari jumlah tersebut, 59
terhadap perempuan secara global dan regional, persen atau 5.102 kasus berupa kekerasan
menyatakan bahwa kekerasan fisik dan seksual terhadap istri, 21 persen atau 1.748 kasus
terhadap perempuan telah mencapai tingkat kekerasan dalam pacaran, 10 persen atau 843
epidemi, dan mempengaruhi lebih dari sepertiga kasus kekerasan dari mantan pacar, 0,7 persen
perempuan secara global. Kekerasan terhadap atau 53 kasus kekerasan yang dilakukan mantan
perempuan telah bersifat meluas dan merasuk, suami, dan 0,4 persen atau 31 kasus kekerasan
menembus wilayah yang berbeda-beda dan terhadap pekerja rumah tangga (PRT). Kasus
semua tingkat pendapatan dalam masyarakat.1 kekerasan seksual menempati urutan yang
Laporan penelitian WHO tersebut tinggi, meskipun bukan urutan tertinggi dari
menyebutkan bahwa sekitar 35% wanita di jenis tindak kekerasan dalam ranah personal.
dunia telah mengalami kekerasan fisik dan/ Sebanyak 2.274 kasus kekerasan seksual terjadi
atau seksual yang dilakukan oleh pasangannya pada perempuan. Kekerasan fisik mencapai
dan juga oleh orang yang bukan pasangannya. 3.410 kasus, kekerasan psikis 2.444 kasus, dan
Dari angka tersebut, hampir sepertiga (30%) kekerasan ekonomi 496 kasus.6
dari wanita di dunia mengalami kekerasan dari Selain itu, dari sejumlah 3.860 kasus
pasangannya sendiri. Sementara itu sekitar 7% kekerasan di ranah komunitas7 ada empat (4)
wanita di dunia mengalami kekerasan seksual 3

Komnas Perempuan, Lembar Fakta Catatan Tahunan
oleh orang selain pasangannya.2 (CATAHU) “Komnas Perempuan Tahun 2014: Kekerasan
Sementara di ranah domestik, kasus Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas
kekerasan terhadap perempuan juga tercatat Pelaku”, http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/
uploads/2015/03/Lembar-Fakta-Catatan-Tahunan-
mengalami peningkatan. Catatan tahunan
CATAHU-Komnas-Perempuan-Tahun-2014.pdf, diakses
Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap tanggal 18 Maret 2015.
Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan 4
“Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat”, http://www.
bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/15/03/07/
nktxf9-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat,
selama tahun 2014 yaitu sebanyak 293.220
diakses tanggal 18 Maret 2015.
kasus. Sebagian besar dari data tersebut 5
Ibid. Ranah personal artinya pelaku adalah orang yang
diperoleh dari data kasus/perkara yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman,
ditangani oleh 359 Pengadilan Agama di tingkat kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi
intim (pacaran) dengan korban.
1
World Health Organization, Global and Regional Estimates 6
Ibid.
of Violence Againts Woman: Prevalence and Health Effectsof 7
Ibid., Ranah komunitas jika pelaku dan korban tidak
Intimate Partner Violenceand Non-partner Sexual Violence, memiliki hubungan kekerabatan, darah ataupun
Geneva Switzerland: Departement of Reproductive perkawinan. Bisa jadi pelakunya adalah majikan, tetangga,
Health and Research, 2010, hal. 3. guru, teman sekerja, tokoh masyarakat, ataupun orang
2
Ibid., hal. 2. yang tidak dikenal.

2 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 1, Juni 2015


jenis kekerasan, yaitu seksual (56%), psikis tindak pidana kekerasan seksual, padahal
(1%), fisik (23%), ekonomi (kurang dari 1%), dalam paradigma perlindungan korban, korban
dan jenis yang dikategorikan sebagai lain-lain kekerasan seksual yang mayoritas merupakan
(14%). Jenis kekerasan seksual mengambil perempuan sudah semestinya mendapat suatu
bentuk: perkosaan (1.033 kasus), pencabulan penanganan khusus, sebagaimana korban anak
(834), pelecehan seksual (184), melarikan dalam hukum formil terkait perlindungan anak
anak perempuan (46), percobaan perkosaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
(12), dan kekerasan seksual lain mencapai (74 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
kasus).8 Anak. Korban kekerasan seksual semestinya
Data-data tersebut sebenarnya sudah cukup juga berhak mendapatkan perlindungan khusus
mengindikasikan bahwa tingkat kekerasan dalam proses penegakan hukumnya.
terhadap perempuan, khususnya dalam hal Arah politik hukum pemerintah saat
kekerasan seksual sangatlah tinggi. Semakin ini sebenarnya sudah menunjukkan adanya
maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi keinginan untuk membenahi perlindungan
akhir-akhir ini membuktikan bahwa masih hukum bagi perempuan dari tindakan kekerasan
lemahnya perlindungan hukum dalam kasus- seksual, meskipun dalam kenyataannya hal
kasus kekerasan seksual di Indonesia. tersebut belum muncul dalam Program Legislasi
Dari sisi hukum positif Indonesia, Nasional (Prolegnas) tahun 2015 dan juga
pengaturan hukum terkait kekerasan seksual dalam Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019.
memang sudah ada, namun demikian dari segi Keseriusan pemerintah untuk menanggulangi
substansi hukum masih sangat terbatas dan persoalan ini terlihat ketika Menteri Sosial
diatur dalam beberapa peraturan yang terpisah. (Mensos) Khofifah Indar Parawansa baru-
Hukum materil terkait kekerasan seksual secara baru ini mewacanakan untuk menerapkan
umum diatur dalam Bab XIV Kitab Undang- tindakan mematikan saraf libido bagi pelaku
Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait kejahatan seksual. Dalam pernyataannya,
kejahatan terhadap kesusilaan. Selain itu sudah norma tersebut akan dimasukkan ke dalam
ada pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun Prolegnas 2016 melalui payung hukum
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekerasan
Rumah Tangga (UU PKDRT), yang didalamnya Seksual. Menurutnya, hukuman tersebut telah
diterapkan ancaman sanksi pidana yang cukup diberlakukan di negara-negara lain seperti
berat terhadap pelaku kekerasan seksual dalam Denmark, Inggris, Korea Selatan, Polandia
lingkup rumah tangga. dan Swedia. Beliau juga menyatakan telah
Khusus kekerasan seksual terhadap anak juga berkonsultasi dengan beberapa dokter untuk
sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun penerapannya.10
2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana Semakin meningkat dan beragamnya
yang telah diubah dengan Undang-Undang masalah seputar kekerasan seksual baik secara
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan kualitatif maupun kuantitatif sehingga tentunya
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 membutuhkan upaya untuk ditanggulangi.
tentang Perlindungan Anak. Perlindungan Penanggulangan kekerasan seksual tersebut
anak dari kejahatan seksual dalam Undang- dapat dilakukan diantaranya melalui suatu
Undang tersebut bahkan sampai menjangkau kebijakan kriminal yang tepat oleh pemerintah.
satuan lingkungan pendidikan.9 Kajian ini akan membahas bagaimana kebijakan
Sementara itu secara hukum formil (acara), kriminal yang dapat dilakukan oleh pemerintah
saat ini belum ada kekhususan dalam penanganan dalam upaya penanggulangan kekerasan seksual
di Indonesia.
8
Ibid.
9
Anastasia Hana Sitompul, ejournal: Kajian Hukum Tentang
10
“Mensos Usulkan Potong Saraf Libido Bagi Penjahat Kelamin”,
Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Indonesia, Lex http://bidik.co/mensos-usulkan-potong-saraf-libido-bagi-
Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, hal. 49. penjahat-kelamin/, diakses tanggal 18 Maret 2015.

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 3


B. Perumusan Masalah a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas
Upaya atau kebijakan untuk melakukan dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
pencegahan dan penanggulangan kejahatan terhadap pelanggaran hukum yang berupa
termasuk bidang kajian kebijakan kriminal. pidana;
Kebijakan kriminal juga tidak terlepas dari b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi
kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial dari aparatur penegak hukum, termasuk di
yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk dalamnya cara kerja dari pengadilan dan
kesejahteraan sosial dan kebijakan/upaya-upaya polisi;
untuk perlindungan masyarakat. c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil
Dalam kajian ini penulis bermaksud untuk dari Jorgen Jespen), ialah keseluruhan
mengkaji persoalan penanggulangan kekerasan kebijakan, yang dilakukan melalui
seksual dari prespektif kebijakan kriminal. perundang-undangan dan badan-badan
Pembahasan akan fokus terhadap persoalan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
bagaimana seharusnya pemerintah sebagai norma-norma sentral dari masyarakat.
penyelenggara negara mengambil langkah- Dalam kesempatan lain, beliau
langkah kebijakan dalam menanggulangi mengemukakan definisi singkat, bahwa
kekerasan seksual di Indonesia. politik kriminal merupakan “suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
C. Tujuan Penulisan kejahatan”. Definisi ini diambil dari definisi
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the
bagaimana kebijakan kriminal dalam rational organization of the control of crime by
penanggulangan kejahatan kekerasan seksual society”. Definisi lain dikemukakan G. Peter
di Indonesia. Tulisan ini juga bermaksud untuk Hoefnagels ialah:12
menganalisis kebijakan pemerintah yang sudah a. Criminal policy is the science of responses.
ada saat ini terkait penanggulangan kekerasan b. Criminal policy is the science of crime
seksual, dan melihat langkah-langkah prevention.
selanjutnya yang perlu dilakukan pemerintah c. Criminal policy is a policy of designating
untuk meyelesaikan persoalan tersebut. Selain human behavior as crime.
itu, penulisan kajian ini memiliki kegunaan di d. Criminal policy is a rational total of the
antaranya yakni untuk menambah wawasan responses to crime.
dan pengetahuan pembaca di bidang kebijakan
kriminal, khususnya terkait masalah kekerasan Kebijakan atau upaya penanggulangan
seksual. Kajian ini juga diharapkan dapat kejahatan pada hakikatnya merupakan
berguna bagi para pengambil kebijakan untuk bagian integral dari upaya perlindungan
menjadi bahan masukan terkait kebijakan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
penanggulangan kekerasan seksual di Indonesia, kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh
khususnya DPR RI dan Pemerintah agar dapat karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir
memprioritaskan pembahasan Rancangan atau tujuan utama dari politik kriminal ialah
Undang-Undang Kekerasan Seksual. “perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat”.
II. KERANGKA PEMIKIRAN Mengenai kebijakan hukum pidana (Penal
A. Kebijakan Kriminal Policy), Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa
Prof. Sudarto, S.H., pernah mengemukakan “penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni
tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:11 yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum
11
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni,
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
1983, hal. 161. Lihat pula: Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana, 2010,
hal. 3.
12
Barda Nawawi Arief, Ibid., hal. 3-4.

4 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 1, Juni 2015


memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan waktu dan masa-masa yang akan datang.16
yang menerapkan undang-undang dan juga Sementara itu mengenai upaya non-penal
kepada para penyelenggara atau pelaksana dalam kebijakan penanggulangan kejahatan,
putusan pengadilan.13 dapat diperhatikan pandangan dari G.Peter
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah Hoefnagels. Beliau mengatakan bahwa upaya
“policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). penanggulangan kejahatan dapat ditempuh
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka dengan:17
istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula a. Penerapan hukum pidana (criminal law
disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. application);
Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum b. Pencegahan tanpa pidana (prevention
pidana” ini sering dikenal dengan berbagai without punishment); dan
istilah antara lain “penal policy”, “criminal law c. Memengaruhi pandangan masyarakat
policy”, atau “strafrechts politiek”.14 mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat
Pengertian kebijakan atau politik hukum mass media.
pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun Dari pandangan G.P. Hoefnagels tersebut,
dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, maka dipahami bahwa upaya penanggulangan
“Politik Hukum” adalah:15 kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan- yaitu lewat jalur “penal” dan lewat jalur “non-
peraturan yang baik sesuai dengan keadaan penal”. Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di
dan situasi pada suatu saat; atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b)
b. Kebijakan dari negara melalui badan- dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok
badan yang berwenang untuk menetapkan upaya non-penal.18
peraturan-peraturan yang dikehendaki Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya
yang diperkirakan bisa digunakan untuk penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal”
mengekspresikan apa yang terkandung lebih menitikberatkan pada sifat “repressive”
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa (penindasan/pemberantasan/penumpasan)
yang dicita-citakan. sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-
Bertolak dari pengertian demikian Prof penal lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”
Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa (pencegahan/penangkalan/pengendalian)
melaksanakan “politik hukum pidana” berarti sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan secara kasar,
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil karena tindakan represif pada hakikatnya juga
perundang-undangan pidana yang paling baik dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan arti luas.19
daya guna. Dalam kesempatan lain beliau Mengingat upaya non-penal lebih bersifat
menyatakan bahwa melaksanakan “politik tindakan pencegahan untuk terjadinya
hukum pidana” berarti “usaha mewujudkan kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
peraturan perundangan-undangan pidana yang menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif
13
Marc Ancel, Social Defence A Modern Approach to Criminal
Problems, London: Routledge &Kegan Paul, 1965, hal. itu antara lain berpusat pada masalah-masalah
4-5. Lihat pula dalam: Barda Nawawi Arief, Ibid., hal. 23. atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
14
Barda Nawawi Arief, Ibid., hal. 26. Lihat pula: Syaiful atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Prespektif Pembaruan
menumbuhsuburkan kejahatan.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: TotalMedia,
2010, hal. 13.
15
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, hal. 159. Lihat juga: 16
Barda Nawawi Arief, Ibid., hal. 26.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, 17
Ibid., hal. 41.
Bandung: Sinar Baru, 1983, hal. 20. Lihat juga: Barda 18
Ibid., hal. 42.
Nawawi Arief, Ibid., hal. 26. 19
Ibid., hal. 42.

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 5


Upaya non-penal dapat meliputi bentuk dari penyerangan, seperti pemaksaan
penyantunan dan pendidikan sosial dalam sentuhan antara mulut dan penis, kemaluan
rangka mengembangkan tanggung jawab wanita atau anus.22
sosial masyarakat, penggarapan kesehatan Definisi lebih luas dari kekerasan seksual
jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, mengindikasikan bahwa kekerasan seksual
agama, dan sebagainya, peningkatan usaha- bukan hanya terbatas pada tindak pemerkosaan
usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan juga ditemukan dalam hukum intenasional.
pengawasan secara terus menerus oleh polisi, Dalam Statuta Roma Pengadilan Pidana
aparat keamanan, dan sebagainya.20 Internasional (International Criminal Court),
Artikel 7 ayat (1) huruf (g)23 ditentukan bahwa
B. Kekerasan Seksual “rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced
Dalam Deklarasi PBB tentang penghapusan pregnancy, enforced sterilization, or any other form
kekerasan terhadap perempuan (Declaration of sexual violence of comparable gravity, constitutes
on the Elimination of Violence against Women), a crime against humanity.” Kekerasan seksual
kekerasan seksual termasuk bagian dari tindakan selanjutnya dijelaskan dalam unsur-unsur
kekerasan terhadap perempuan. Artikel 1 kejahatan (The Element of Crimes ICC), yang
menegaskan bahwa “the term violence against digunakan pengadilan pidana internasional
women means any act of gender-based violence dalam penafsirannya dan aplikasinya dari
that results in, or is likely to result in, physical, Artikel 7. The Element of Crimes ICC
sexual or psychological harm or suffering to women, menetapkan bahwa kekerasan seksual adalah:
including threats of such acts, coercion or arbitrary “an act of sexual nature against one or more
deprivation of liberty, whether occurring in public persons or caused such person or persons to engage
or in private life.”21 in an act of sexual nature by force, or by threat of
Belum ada definisi yang sudah diterima force or coercion, such as that caused by fear of
secara umum mengenai kekerasan seksual, violence, duress, detention, psychological oppression
namun demikian, pada umumnya dipakai or abuse of power, against such person or persons or
definisi dari WHO sebagaimana yang tercantum another person, or by taking advantage of a coercive
dalam World Report on Violence and Health environment or such person’s or persons’ incapacity
2002. Dalam laporan ini, kekerasan seksual to give genuine consent.”
didefinisikan sebagai “any sexual act, attempt to Lingkup tindakan kekerasan seksual
obtain a sexual act, unwanted sexual comments or sangatlah luas dan dapat terjadi pada waktu
advances, or acts to traffic, or otherwise directed, damai ataupun saat masa konflik (perang).
against a person’s sexuality using coercion, by any Kekerasan seksual terjadi secara meluas dan
person regardless of their relationship to the victim, kini dipandang sebagai salah satu perbuatan
in any setting, including but not limited to home yang paling menimbulkan efek traumatik, serta
and work.” Definisi kekerasan seksual menurut merupakan pelanggaran hak asasi manusia.24
WHO ini termasuk namun tidak terbatas pada Kekerasan seksual dalam pandangan Mark
tindak pemerkosaan, yang dianggap sebagai Yantzi adalah suatu bentuk kekerasan yang terjadi
paksaan secara fisik atau selain itu penetrasi karena persoalan seksualitas. Menurutnya,
paksa terhadap kemaluan wanita atau anus, pandangan perempuan dijadikan sebagai objek
menggunakan penis, atau bagian tubuh lainnya 22
World Health Organization, World Report on Violence and
atau suatu benda. Tindakan lain yang temasuk Health, Geneva Switzerland: World Health Organization,
dalam kekerasan seksual yakni bermacam 2002, hal.17-18.
23

Statuta Roma tentang Peradilan Pidana Internasional
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan (Rome Statute Of The International Criminal Court, 2187
Pidana, Bandung: Alumni, 1998, hal. 159. U.N.T.S. 90), entered into force July 1, 2002.
21
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 48/104 (Resolution 24
Lindsey Charlotte, Women Facing War, Geneva:
adopted by the General Assembly 48/104), Declaration on the International Committee of the Red Cross (ICRC), 2001,
Elimination of Violence against Women, 20 December 1993. hal. 57–61.

6 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 1, Juni 2015


seksualitas terkait erat hubungannya antara tentang dirinya yang menjadi korban kekerasan
seks dan kekerasan. Dimana terdapat seks, seksual. Dalam hal ini, cara pandang masyarakat
maka kekerasan hampir selalu dilahirkan. terkait maskulinitas pria memainkan peranan.
Berbagai tindakan seperti perkosaan, pelecehan Maskulinitas dan viktimisasi dianggap tidak
seksual (penghinaan dan perendahan terhadap kompatibel, khususnya dalam masyarakat yang
lawan jenis), penjualan anak perempuan menganggap maskulinitas disamakan dengan
untuk prostitusi, dan kekerasan oleh pasangan kemampuan untuk menggunakan kekuatan,
merupakan bentuk dari kekerasan seksual yang menjadikan masalah tersebut tidak dilaporkan.28
kerap menimpa kaum perempuan.25 Kekerasan seksual juga terjadi pada
Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Meliputi tindakan kekerasan dan
anak-anak perempuan dapat berupa macam- pemerkosaan, demikian pula penggunaan
macam bentuk dan dilakukan dalam situasi dan anak-anak untuk prostitusi dan pornografi.
konteks yang berbeda-beda. The WHO Wolrd Kekerasan seksual merupakan pelanggaran
Report on Violence and Health telah memberikan hukum serius terhadap hak-hak anak, dan dapat
daftar beberapa bentuk kekerasan seksual mengakibatkan trauma fisik dan psikologis
yang dapat dialami perempuan, diantaranya yang signifikan terhadap korban anak. Studi
pemerkosaan dalam masa perkawinan atau masa WHO tahun 2002 memperkirakan 223 juta
pacaran, serangan seks yang tidak diinginkan, anak menjadi korban kekerasan seksual dan
termasuk meminta aktivitas seks sebagai suatu melibatkan kontak fisik. Namun, berhubung
timbal balik jasa, termasuk pula perkawinan demikian sensitifnya masalah ini dan adanya
paksa, kumpul kebo, serta perkawinan anak- semacam tendensi untuk menutup-nutupi
anak.26 kejahatan ini, korban sepertinya jauh lebih
Sebagaimana kekerasan seksual terhadap banyak daripada itu. Anak-anak perempuan
perempuan, kekerasan seksual terhadap laki- lebih sering menjadi target kekerasan seksual
laki juga dapat terjadi dalam berbagai bentuk, daripada anak laki-laki. Studi WHO juga
dan terjadi dalam konteks yang berbeda-beda, menemukan bahwa 150 juta anak-anak
termasuk di rumah atau di tempat kerja, di perempuan menjadi korban dibandingkan 73
penjara dan ditempat penahanan polisi, selama juta anak laki-laki.29
masa perang dan di kemiliteran.27
Kekerasan seksual terhadap pria lebih III. ANALISIS
signifikan dari yang diperkirakan sebelumnya. Pemerintah sebagai penyelenggara negara
Jangkauan kejahatan tersebut terus berlanjut, sudah semestinya bertanggung jawab penuh
namun demikian tidak diketahui secara luas dalam memberikan perlindungan bagi setiap
disebabkan kurangnya dokumentasi. Kekerasan warga negaranya, termasuk dalam hal ini yakni
seksual terhadap pria yang tidak dilaporkan perlindungan terhadap kekerasan seksual. Oleh
sering terjadi karena takut, bingung, merasa karena itu, pemerintah haruslah melakukan
bersalah, malu dan stigma, atau gabungan dari segala upaya, termasuk mengambil langkah-
hal-hal tersebut. Lebih jauh lagi, pria sungkan langkah kebijakan yang diperlukan untuk
untuk membicarakan atau memberitahukan menanggulangi persoalan kekerasan seksual
tersebut.
25
Rina Astuti, Hubungan Kesadaran Akan Kerentanan Diri
Dan Mekanisme Coping Pada Perempuan Pekerja Malam
Di Tempat Hiburan Karaoke Wilayah Jakarta Barat, Jurnal 28
Stanko et all, Assault on Men: Masculinity and Male
Kriminologi Indonesia Vol. 7 No. II Oktober 2011, hal.
Victimization, British Journal of Criminology No. 33(3),
193–211.
1993, hal. 400-415.
26
World Health Organization, World Report on Violence and 29
Pinheiro, Rights of the Child: Report of the Independent Expert
Health, hal. 147-181.
for the United Nations Study on Violence Against Children,
27
Sivakumaran Sandesh, Sexual Violence Against Men in
Office of the United Nations High Commissioner for
Armed Conflict, European Journal of International Law,
Human Rights, 2006, hal. 11, 13-14, 17.
Vol. 18 No. 2, 2007, hal. 253-276.

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 7


Meskipun selama ini sudah ada upaya yang dogmatik. Di samping pendekatan yuridis
dilakukan, namun dalam kenyataannya belum nomatif, kebijakan kriminal juga memerlukan
cukup efektif, terbukti dengan masih maraknya pendekatan yuidis faktual yang dapat berupa
kasus-kasus kekerasan seksual di masyarakat. pendekatan sosiologis, psikologis, historis,
Kebijakan kriminalisasi yang dilakukan terhadap dan komparatif, bahkan memerlukan pula
beberapa bentuk kekerasan seksual misalnya, pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan
memang telah dilakukan, namun sebenarnya pembangunan nasional pada umumnya.30
hal itu hanyalah salah satu bagian dari upaya Harus diakui, bahwa aspek-aspek sosial
penanggulangan yang dapat dilakukan. Dalam dari pembangunan memang merupakan faktor
kebijakan kriminal, pada hakikatnya dikenal penting kalau tidak dikatakan yang terpenting
berbagai cara dalam menanggulangi kejahatan dalam mencapai tujuan strategi penanggulangan
pada umumnya dan kejahatan kekerasan kejahatan. Tujuan pembangunan dan
seksual pada khususnya. Reaksi terhadap suatu pertumbuhan ekonomi nasional sudah semestinya
kejahatan dapat dilakukan dengan beberapa ditujukan untuk menjamin hak-hak asasi manusia
sarana, baik sarana hukum pidana (penal), dan untuk suatu kehidupan yang bebas dari kelaparan,
sarana non-hukum pidana (non-penal). kemiskinan, kebutahurufan, kebodohan, penyakit
dan ketakutan akan perang serta memberi
A. Upaya Penal dalam Penanggulangan kemungkinan bagi manusia untuk hidup
Kekerasan Seksual dalam lingkungan yang sehat. Hal-hal tersebut
Sebagaimana dipahami, bahwa merupakan faktor-faktor kondusif penyebab
melaksanakan politik hukum pidana (penal terjadinya kejahatan pada umumnya, termasuk
policy) berarti mengadakan pemilihan untuk dalam hal ini kejahatan kekerasan seksual, dan
mencapai hasil perundang-undangan pidana oleh karenanya harus menjadi perhatian utama
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat pemerintah untuk ditanggulangi.
keadilan dan daya guna. Melaksanakan “politik Dalam rangka memberikan perlindungan
hukum pidana” berarti pula “usaha mewujudkan kepada masyarakat dari tindakan kekerasan
peraturan perundang-undangan pidana yang seksual melalui hukum pidana (penal), maka
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu perlu diperjelas mengenai garis-garis kebijakan
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang”. hukum pidana terkait kekerasan seksual secara
Di samping itu, usaha penanggulangan lebih komprehensif. “Garis kebijakan hukum
kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana dalam hal ini untuk menentukan”:31
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian a. Ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku
integral dari usaha kesejahteraan masyarakat yang perlu dirubah atau diperbaharui.
(social welfare). Oleh karena itu, wajar pula b. Langkah pencegahan terjadinya tindak
apabila dikatakan bahwa politik kriminal juga pidana.
merupakan bagian integral dari kebijakan c. Bagaimana, cara penyidikan, penuntutan,
sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat peradilan, dan pelaksanaan pidana harus
diartikan sebagai usaha yang rasional untuk dilaksanakan.
mencapai kesejahteraan masyarakat dan Lebih jauh lagi, dalam peraturan perundangan
sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. pidana terkait kekerasan seksual yang dimaksud,
Jadi, di dalam pengertian social policy, sekaligus
di dalamnya tercakup social welfare policy, dan 30 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
social defence policy. Dilihat dari sudut yang luas
Kencana, Jakarta, 2007, hal. 77. Lihat pula: Nyoman Serikat
ini, dapat ditegaskan bahwa masalah kebijakan Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum
kriminal pada hakikatnya bukanlah semata-mata Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 189.
pekerjaan teknik perundang-undangan yang bisa 31
Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal dalam Perspektif
Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta:
dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik
Totalmedia, 2010, hal. 15.

8 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 1, Juni 2015


perlu dibuat secara jelas dan rinci terkait tiga 2. Pasal 286 tentang persetubuhan dengan
persoalan pokok dalam hukum pidana. “Tiga wanita di luar perkawinan, dalam keadaan
persoalan pokok dalam hukum pidana meliputi”:32 pingsan atau tidak berdaya.
a. Perumusan tindak pidana (criminal act); 3. Pasal 287 tentang persetubuhan dengan
b. Pertanggungjawaban pidana (criminal wanita di luar perkawinan, yang umurnya
responsibility); belum lima belas tahun, atau belum
c. Sanksi (sanction), baik yang berupa pidana waktunya untuk dikawin.
(punishment) maupun tindakan tata tertib 4. Pasal 288 tentang persetubuhan dengan
(maatregel atau treatment). wanita dalam perkawinan, namun belum
Upaya untuk menanggulangi tindak pidana waktunya untuk dikawin.
kejahatan seksual sebenarnya sudah diusahakan 5. Pasal 289, Pasal 290, Pasal 292, Pasal
pemerintah, salah satunya dengan diundangkannya 294, Pasal 295, Pasal 296 terkait tindakan
UU PKDRT. Dalam Pasal 46, 47, dan 48 diatur pencabulan.
sanksi pidana berat terhadap pelaku kekerasan 6. Pasal 297 tentang perdagangan wanita dan
seksual dalam lingkup rumah tangga. perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa
UU PKDRT menetapkan dua bentuk (Pasal ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
kekerasan seksual dan sanksi pemberatannya. lagi oleh Pasal 65 Undang-Undang Nomor 21
Pertama, kekerasan seksual dengan unsur tindak Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
pidana berupa “pemaksaan hubungan seksual yang Pidana Perdagangan Orang).
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam Khusus kekerasan seksual terhadap anak juga
lingkup rumah tangga”.33 Kedua, kekerasan seksual sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
dengan unsur tindak pidana berupa “pemaksaan 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam yang telah diubah dengan Undang-Undang
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu”.34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Sementara itu sanksi pemberatan diancamkan Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak).
kepada setiap orang yang melakukan perbuatan- Dalam Pasal 81 dan Pasal 82 telah diatur tentang
perbuatan tersebut sehingga menimbulkan akibat sanksi pidana berat bagi mereka yang melakukan
tertentu, dalam hal ini yakni “mengakibatkan tindakan kekerasan seksual terhadap anak.
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan Undang-Undang Perlindungan Anak
akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan menetapkan dua bentuk kekerasan seksual
daya pikir atau kejiwaan”.35 terhadap anak. Pertama, kekerasan seksual
Selain dua bentuk kekerasan seksual yang dengan unsur pidana berupa “melakukan
diatur dalam UU PKDRT tersebut, secara kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
umum bentuk tindak pidana kekerasan seksual anak melakukan persetubuhan dengannya atau
lainnya telah diakomodir dalam BAB XIV dengan orang lain”.36 Kedua, kekerasan seksual
KUHP yang mengatur tentang kejahatan dengan unsur pidana “melakukan kekerasan atau
terhadap kesusilaan, di antaranya: ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
1. Pasal 285 tentang perkosaan terhadap muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
wanita. atau membujuk anak untuk melakukan atau
32
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah
membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.37
Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2008, hal. 190.
33
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
36
Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
34
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
37
Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
35
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. tentang Perlindungan Anak.

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 9


Dengan memperhatikan berbagai 10. Pemaksaan aborsi.
pengaturan hukum positif terkait kekerasan 11. Pemaksaan perkawinan.
seksual yang ada kini sebagaimana dijabarkan 12. Kontrol seksual seperti pemaksaan busana
di atas, secara umum dapatlah dikatakan bahwa dan diskriminasi perempuan lewat aturan.
pengaturan hukum terkait kekerasan seksual 13. Penghukuman tidak manusiawi dan
di Indonesia masih sangat terbatas. Dari sisi bernuansa seksual.
kriminalisasi misalnya, tindak pidana kekerasan 14. Praktek tradisi bernuansa seksual yang
seksual yang ada saat ini belum mencakup membahayakan perempuan.
beberapa perbuatan yang seharusnya juga 15. Pemaksaan sterilisasi/kontrasepsi.
tergolong tindak pidana kekerasan seksual. Sebagai pembanding 15 (lima belas)
Dalam RUU KUHP yang kini masih bentuk kekerasan seksual yang ada dalam
dibahas di DPR RI, norma larangan kekerasan Rancangan Undang-Undang Kekerasan
seksual sebenarnya diatur secara khusus dalam Seksual, berikut ini dapat diperhatikan 11
BAB XXIII paragraph 3 tentang kekerasan (sebelas) bentuk kekerasan seksual yang dapat
seksual, namun substansi normanya masih sama dialami perempuan menurut The WHO Wolrd
dengan apa yang diatur dalam UU PKDRT.38 Report on Violence and Health:40
Namun demikian selain RUU KUHP, kini telah 1. Pemerkosaan tersistematis selama konflik
pula diwacanakan untuk dibentuk Rancangan bersenjata.
Undang-Undang Kekerasan Seksual yang 2. Pemerkosaan dalam masa perkawinan atau
direncakan dapat masuk dalam Prolegnas 2016. masa pacaran.
Draft Rancangan Undang-Undang 3. Pemerkosaan oleh orang asing.
Kekerasan Seksual telah lama diperjuangkan 4. Serangan seks yang tidak diinginkan,
oleh Komnas Perempuan, bahkan bukan hanya termasuk meminta aktivitas seks sebagai
Komnas Perempuan, DPR dan Pemerintah juga suatu timbal balik jasa.
terlibat dalam penyusunan Rancangan Undang- 5. Pelecehan seksual secara mental maupun
Undang. Masukan dari korban, pendamping fisik terhadap penyandang disabilitas.
korban, pemerhati hak perempuan, aparat 6. Pelecehan seksual terhadap anak-anak.
penegak hukum serta akademisi, turut berperan 7. Perkawinan paksa, kohabitasi (kumpul
dalam perancangannya. Dari 15 (lima belas) kebo), serta perkawinan anak-anak.
bentuk kekerasan seksual yang terdapat dalam 8. Penolakan hak untuk menggunakan alat
Rancangan Undang-Undang tersebut, ternyata kontrasepsi atau menggunakan cara-cara
ada 3 (tiga) yang sebenarnya sudah diatur lain untuk melindungi diri dari penyakit
dalam undang-undang. Berikut daftar bentuk menular seksual.
kekerasan seksual yang dimaksud:39 9. Aborsi secara paksa.
1. Perkosaaan (sudah diatur). 10. Tindak kekerasan terhadap integritas
2. Eksploitasi seksual (sudah diatur). seksual dari perempuan, termasuk
3. Perdagangan perempuan untuk tujuan mutilasi kelamin wanita (sunat) dan tes
seksual (sudah diatur). keperawanan.
4. Pelecehan seksual. 11. Prostitusi paksa dan perbudakan orang
5. Penyiksaan seksual. untuk tujuan eksploitasi seks.
6. Perbudakan seksual.
7. Intimidasi, ancaman, dan percobaan Dari pembandingan di atas dapat diulas
pemerkosaan. beberapa hal, diantaranya bahwa pada dasarnya
8. Prostitusi paksa. konsep kriminalisasi dalam Rancangan Undang-
9. Pemaksaan kehamilan. Undang Kekerasan Seksual sudah cukup meliputi
38
Pasal 597, Pasal 598, Pasal 599 RUU KUHP, hal. 156. 40
World Health Organization, World Report on Violence and
39
Dampak Global Penguatan Dolar, Majalah Gatra 12-18 Health, hal. 147-181.
Maret 2015, hal. 19.

10 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 1, Juni 2015


dari perbuatan-perbuatan yang disebut dalam dasar dan/atau terapis, reintegerasi
11 bentuk kekerasan seksual menurut WHO. sosial dan budaya, ketahanan ekonomi,
Norma perbudakan orang untuk tujuan seksual penghindaran/pencegahan reviktimisasi, dan
dan pelecehan seksual terhadap anak-anak juga penghindaran/pencegahan keberulangan
sudah diatur dalam undang-undang tersendiri. peristiwa serupa, baik terhadap diri korban
Pemberatan sanksi pidana mungkin dapat saja maupun masyarakat.
dilakukan dengan dimasukkannya norma terkait Jika kita cermati kasus-kasus kekerasan
pelecehan seksual yang dilakukan terhadap seksual dewasa ini, pembentukan Rancangan
penyandang disabilitas. Demikian pula tindakan Undang-Undang Kekerasan Seksual juga
tes keperawanan, dapat saja dikriminalisasi semestinya mempertimbangkan cakupan korban
dengan pertimbangan melanggar hak asasi kekerasan seksual, sebab kekerasan seksual
manusia (HAM). Sedangkan perbuatan mutilasi kini terjadi bukan hanya pada perempuan dan
kelamin wanita (sunat), menurut penulis tidak anak-anak saja, laki-laki juga tak luput menjadi
perlu dikriminalisasi, karena pertimbangan korban. Minimnya catatan laporan kasus
bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dengan korban laki-laki disebabkan oleh banyak
dari nilai-nilai agama Islam yang dianut oleh faktor, termasuk karena malu dan paradigma
mayoritas penduduk Indonesia. maskulinitas pria di masyarakat.42
Selain mengenai kebijakan kriminalisasi, Sebagaimana kekerasan seksual terhadap
diketahui pula bahwa terdapat beberapa perempuan, kekerasan seksual terhadap laki-
pokok materi yang diusulkan untuk dibahas laki juga dapat terjadi dalam berbagai bentuk,
dalam Rancangan Undang-Undang Kekerasan dan terjadi dalam konteks yang berbeda-beda,
Seksual tersebut. Pokok-pokok materi termasuk di rumah atau di tempat kerja, di
dalam Rancangan Undang-Undang tersebut penjara dan ditempat penahanan polisi, selama
sesungguhnya menggambarkan konsep masa perang dan di kemiliteran. Bermacam
perlindungan masyarakat terhadap kekerasan bentuk kekerasan seksual dilakukan terhadap
seksual secara lebih luas, termasuk adanya pria, termasuk pemerkosaan, pemandulan
paradigma perlindungan terhadap korban paksa, kebugilan paksa, masturbasi paksa,
kekerasan seksual. Berikut ini pokok-pokok kekerasan terhadap alat kelamin, dan
materi yang dimaksud:41 pemerkosaan di bawah paksaan. Kekerasan
1. Ruang lingkup: pencegahan kekerasan seksual terhadap pria termasuk pula tindakan
seksual, penindakan pelaku kekerasan emaskulasi, yang dapat terjadi melalui
seksual, perlindungan, dan pemulihan bagi suatu “feminization” atau “homosexualization”
korban kekerasan seksual. terhadap korban, dan pencegahan terhadap
2. Pemidanaan kekerasan seksual: lima kategori keadaan untuk menghasilkan keturunan.43
kekerasan seksual (perkosaan, pelecehan
seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan
42
Kekerasan seksual terhadap pria yang tidak dilaporkan
seksual, dan praktek tradisi yang menyasar
sering terjadi karena takut, bingung, merasa bersalah,
seksualitas) yang dikategorisasi dari 15 (lima malu dan stigma, atau gabungan dari hal-hal tersebut.
belas) bentuk kekerasan seksual sesuai Lebih jauh lagi, pria sungkan untuk membicarakan
dengan kedekatan unsur deliknya. atau memberitahukan tentang dirinya yang menjadi
korban kekerasan seksual. Dalam hal ini, cara pandang
3. Rehabilitasi pelaku sebagai pidana tambahan
masyarakat terkait maskulinitas pria memainkan peranan.
dan upaya mencegah keberulangan; termasuk Maskulinitas dan viktimisasi dianggap tidak kompatibel,
tindakan medis khusus untuk pelaku. khususnya dalam masyarakat yang menganggap
4. Pemulihan dalam makna luas bagi korban maskulinitas disamakan dengan kemampuan untuk
menggunakan kekuatan, menjadikan masalah tersebut
dan keluarganya yang meliputi kesehatan
tidak dilaporkan. Sivakumaran Sandesh, Sexual Violence
fisik, kesehatan/kesejahteraan psikologis Against Men in Armed Conflict, European Journal of
International Law, Vol. 18 No.2, 2007, hal. 253-276.
41
Ibid. 43
Ibid.

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 11


Penanggulangan kekerasan seksual juga Membantu korban untuk jangan sampai
meliputi persoalan perlindungan korbannya. menjadi korban lagi dan melindunginya serta
Kebijakan perlindungan korban kekerasan membinanya, jangan sampai sakit hati/tidak
seksual secara yuridis dalam Rancangan puas akan imbalan yang telah diusahakan
Undang-Undang Kekerasan Seksual sangatlah dan lalu menjadi seorang pembuat korban
penting. Proses acara pidananya diharapkan sendiri. Untuk ini, pertemuan satu sama lain,
dapat lebih memperhatikan hak-hak korban si penuntut-korban dan si korban adalah sangat
kekerasan seksual. Termasuk diantaranya penting, baik pada waktu diadili dan penentuan
sarana prasarana yang mendukung efektifnya tentang beratnya pembuatan korban. Ini dapat
proses penegakan hukum, serta kemampuan berguna khususnya dalam pembinaan para
khusus penegak hukum atau ahli untuk pelanggar seksual dengan menghadapkan
membantu pemulihan korban dan keluarganya si pembuat korban dan si korbannya, atau
yang meliputi kesehatan fisik dan psikologis, mungkin juga suaminya atau istrinya, atau dalam
termasuk pula rehabilitasi si pelaku. hal korban-korban muda dengan orang tuanya.
Mengenai hak korban kejahatan, Arif Para pelanggar seksual biasanya adalah orang-
Gosita dalam bukunya “Masalah Korban orang yang kesepian dan dengan demikian
Kejahatan” menjabarkan bentuk-bentuk hak pertemuan tersebut mungkin dapat menolong
korban kejahatan.44 Terkait kekerasan seksual mereka keluar dari rasa kesepian mereka.45
ini, hak si korban yang dapat diupayakan
diantaranya: berhak mendapatkan kompensasi B. Upaya Non-Penal dalam Penanggulangan
atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan Kekerasan Seksual
memberi kompensasi si pembuat korban dan Selain dengan upaya hukum pidana
taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban (penal), penanggulangan kekerasan seksual
dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi dan secara komprehensif juga memerlukan upaya-
penyimpangan tersebut; berhak mendapat upaya non-hukum pidana (non-penal). Dalam
pembinaan dan rehabilitasi; dan berhak menolak prespektif politik kriminal, kegiatan preventif
menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan non-penal memiliki kedudukan yang sangat
dirinya. strategis dan justru merupakan kunci yang
Masih menurut Arif Gosita, bahwa badan- harus diidentifikasi dan diefektifkan.
badan penegak hukum tidak boleh lalai Upaya non-penal lebih bersifat tindakan
memperjuangkan hak-hak si korban. Apabila preventif, oleh sebab itu sasaran utamanya
hal ini tidak dilakukan, maka ini berarti salah adalah menanggulangi faktor-faktor kondusif
karena membuat korban, dengan mungkin penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-
menimbulkan berbagai macam konsekuensi. faktor kondusif itu antara lain berpusat pada
Hakim dan Polisi harus waspada terhadap masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial
kecerdikan orang. Persoalan sosio-ekonomis yang secara langsung atau tidak langsung
kompensasi dan kerusakan-kerusakan dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
mempunyai hubungan yang erat dengannya. kejahatan. Hal ini ditegaskan dalam berbagai
Yang terpenting dari pengamalan kriminologis Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime
adalah antara lain membantu si pembuat and the Treatment of Offenders”. Salah satunya
korban, tetapi juga tidak boleh melupakan si pada Kongres PBB ke-6 Tahun 1980 di Caracas,
korban. Mereka juga memerlukan pembinaan Venezuela, yang dalam resolusinya dinyatakan
dan bantuan kedua-duanya adalah pencari “mengimbau semua anggota PBB untuk
keadilan. Perlunya pula memberikan bantuan mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka
psikologis atau psikiatris kepada korban. untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan
yang menurunkan martabat kemanusiaan dan
44
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan Kumpulan
Karangan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983, hal. 52. 45
Ibid., hal. 54-55.

12 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 1, Juni 2015


menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah dan dengan menggali berbagai potensi yang
pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, ada di dalam masyarakat itu sendiri, dapat pula
diskriminasi rasial dan nasional serta bermacam- upaya non-penal itu digali dari berbagai sumber
macam bentuk dari ketimpangan sosial. lainnya yang juga mempunyai potensi efek-
Upaya non-penal tersebut oleh preventif. Sumber lain misalnya, media pers/
karenanya dapat meliputi kegiatan seperti media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi
penyantunan dan pendidikan sosial dalam (techno prevention) dan pemanfaatan potensi
rangka mengembangkan tanggung jawab efek-prefentif dari aparat penegak hukum.48
sosial masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa Kegiatan patroli polisi secara kontinyu di
masyarakat melalui pendidikan moral, agama, tempat-tempat rawan kejahatan seksual juga
dan sebagainya. Termasuk pula kegiatan dalam penting. Misalnya razia dan operasi di tempat-
rangka peningkatan usaha-usaha kesejahteraan tempat tertentu yang berpotensi menjadi tempat
anak dan remaja, kegiatan pengawasan secara terjadinya kejahatan seksual seperti pabrik dan
terus menerus oleh Polisi, aparat keamanan, tempat kerja buruh/karyawan. Demikian pula
dan sebagainya. kunjungan rutin ke sekolahan juga dapat berguna
Hal-hal inilah (upaya non-penal) yang untuk membangun rasa aman anak sekolahan.
menurut penulis masih belum banyak bisa Hal-hal tersebut tentu akan membuka peluang
dilakukan oleh pemerintah. Persoalan terungkapnya kasus-kasus dan memberi efek
pengangguran dan kemiskinan masih terus preventif terhadap para penjahat seksual.
menjadi persoalan besar bangsa ini.46 Program
pengentasan kemiskinan dan penurunan IV. PENUTUP
tingkat pengangguran mutlak harus terus Pemerintah dalam hal ini memang
menjadi prioritas pemerintah. telah melakukan berbagai upaya dalam
Usaha-usaha pencegahan pembuatan menanggulangi kekerasan seksual, baik secara
korban harus ditingkatkan dengan mengadakan penal maupun non penal. Namun dalam
antara lain: penciptaan suasana iklim yang kenyataannya masih belum efektif. Oleh
dapat mencegah dan mengurangi orang sebab itu ke depannya diperlukan peningkatan
membuat korban dan menjadi korban dengan terhadap langkah-langkah kebijakan yang harus
penyebarluasan informasi tentang cara diambil oleh pemerintah.
mencegah terjadinya korban, penunjukan daerah Pertama, pemerintah perlu melakukan
korban/daerah kejahatan, mengembangkan rasa kebijakan kriminalisasi terhadap bentuk-
kewaspadaan dan tanggung jawab, pengadaan bentuk baru kekerasan seksual baik melalui
peraturan undang-undang yang mengatur dan RUU KUHP yang baru atau dalam Rancangan
menjamin hak dan kewajiban si korban.47 Undang-Undang Kekerasan Seksual. Dari
Upaya non-penal dapat ditempuh dengan pembahasan juga diketahui bahwa pokok-pokok
menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial materi dalam Rancangan Undang-Undang
Kekerasan Seksual telah menggambarkan
46
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun ini
(Februari 2014-Februari 2015) jumlah pengangguran konsep perlindungan masyarakat terhadap
di Indonesia meningkat 300 ribu orang, sehingga total kekerasan seksual secara lebih luas, termasuk
mencapai 7,45 juta orang. Lihat: http://ekbis.sindonews. adanya paradigma perlindungan terhadap
com/read/997601/34/jumlah-pengangguran-bertambah-
korban kekerasan seksual.
jadi-7-45-juta-orang-1430816593, diakses tanggal 8 Juni
2015. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat angka Kedua, pemerintah perlu meningkatkan
kemiskinan per bulan September 2014 lalu adalah 27,73 upaya non-penal melalui kegiatan seperti
juta jiwa yang berarti sekitar 10,96 persen penduduk penyantunan dan pendidikan sosial dalam
Indonesia secara keseluruhan. Lihat: http://www.iberita.
rangka mengembangkan tanggung jawab
com/62130/bps-angka-kemiskinan-bisa-lebih-tinggi-di-
2015-akibat-kenaikan-bbm, diakses tanggal 8 Juni 2015. 48
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
47
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, hal. 51-52.
Pidana, Ibid., hal. 49.

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 13


sosial masyarakat, penggarapan kesehatan Jaya, Nyoman Serikat Putra. Beberapa Pemikiran
jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana.
agama. Termasuk pula kegiatan dalam rangka Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan
dan remaja, kegiatan pengawasan secara terus Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1998.
menerus oleh polisi dan aparat keamanan di
tempat-tempat yang rawan kejahatan seksual Pinheiro. Rights of the Child: Report of the
seperti dipabrik dan sekolahan. Independent Expert for the United Nations
Study on Violence Against Children. Office of
the United Nations High Commissioner for
Human Rights, 2006.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung:
DAFTAR PUSTAKA Alumni,1983.
__________. Hukum Pidana dan Perkembangan
Masyarakat. Bandung: Sinar Baru, 1983.
World Health Organization. Global and Regional
Buku Estimates of Violence Againts Woman:
Ancel, Marc. Social Defence A Modern Approach Prevalence and Health Effectsof Intimate
to Criminal Problems. London: Routledge Partner Violenceand Non-partner Sexual
&Kegan Paul, 1965. Violence. Geneva Switzerland: Departement
of Reproductive Health and Research,
Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum
2010.
Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
_____________________, Masalah Penegakan
Jurnal/majalah
Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Astuti, Rina. Hubungan Kesadaran Akan
dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta:
Kerentanan Diri Dan Mekanisme Coping
Kencana, 2007.
Pada Perempuan Pekerja Malam Di Tempat
___________________, Bunga Rampai Hiburan Karaoke Wilayah Jakarta Barat.
Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No. II
2010. Oktober 2011.
Bakhri, Syaiful. Kebijakan Kriminal Dalam Dampak Global Penguatan Dolar, Majalah Gatra
Prespektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana 12-18 Maret 2015.
Indonesia. Yogyakarta: TotalMedia, 2010.
Sandesh, Sivakumaran. Sexual Violence Against
Charlotte, Lindsey. Women facing war. Geneva: Men in Armed Conflict. European Journal of
International Committee of the Red Cross International Law, Vol. 18 No.2, 2007.
(ICRC), 2001.
Sitompul, Anastasia Hana. Kajian Hukum
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan Tentang Tindak Kekerasan Seksual Terhadap
Kumpulan Karangan. Jakarta: Akademika Anak Di Indonesia. ejournal: Lex Crimen
Pressindo, 1983. Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015.
Hamzah, Andi. Terminologi Hukum Pidana. Stanko et all. Assault on Men: Masculinity
Jakarta: Sinar Grafika, 2008. and Male Victimization. British Journal of
Criminology No. 33(3), 1993.

14 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 1, Juni 2015


Website Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan
Komnas Perempuan, “Lembar Fakta Catatan Anak. Undang-Undang Nomor 23 LN
Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Nomor 109 Tahun 2002. TLN. Nomor
Tahun 2014: Kekerasan Terhadap 4235.
Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan
Pelaku”. http://www.komnasperempuan. Atas Undang-Undang Nomor 23, Tahun
or.id/wp-content/uploads/2015/03/Lembar- 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-
Fakta- Catatan-Tahunan- CATAHU- Undang Nomor 35, LN Nomor 297 tahun
Komnas-Perempuan-Tahun-2014.pdf, 2014. TLN. Nomor 5606.
diakses tanggal 18 Maret 2015.
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 48/104
“Mensos Usulkan Potong Saraf Libido Bagi (Resolution adopted by the General Assembly
Penjahat Kelamin”. http://bidik.co, diakses 48/104), Declaration on the Elimination of
tanggal 18 Maret 2015. Violence against Women, 20 December 1993.
Statuta Roma tentang Peradilan Pidana
Peraturan Perundang-undangan Internasional (Rome Statute Of The
Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum International Criminal Court, 2187 U.N.T.S.
Pidana. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 90), entered into force July 1, 2002.
1946 (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana KUHP).
Indonesia. Undang-Undang tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-
Undang Nomor 23, LN Nomor 95 tahun
2004. TLN. Nomor 4419.

PRIANTER JAYA HAIRI: Problem Kekerasan Seksual... 15

You might also like