You are on page 1of 6

Ada Apa dengan Bulan 

Sya’ban?
JUN 30

Ditulis oleh SALAFIYUNPAD™
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin[1]
Berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkaitan dengan bulan Sya’bân.

PERTAMA, TENTANG KEUTAMAAN PUASA BULAN SYA’BÂN


Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa
A’isyah radhiyallâhu’anha menceritakan,
“Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam puasa satu bulan penuh
kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat Beliau Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallampuasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa Beliau pada bulan
Sya’bân.”[2]
Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain,
“Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”[3]
Dalam riwayat lain Imam Muslim,
“Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”[4]
Imam Ahmad rahimahullâh dan Nasa’i rahimahullâh meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah
bin Zaid radhiyallâhu’anhu, beliau mengatakan,
“Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana
Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku
tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab
dan Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb,
maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang puasa.“[5]
KEDUA, TENTANG PUASA NISFU (PERTENGAHAN) SYA’BÂN
Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan dalam al- Lathâ’if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ’ Kutubil
Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari ‘Ali radhiyallâhu’anhu bahwa
Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda, Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di
malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Ta’ala turun pada saat matahari
tenggelam, lalu berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ?
adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? …”[6]
Saya mengatakan,
“Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau
rahimahullâh mengatakan (Majmu’ Fatawa beliau 5/622), ‘Yang benar, hadits itu maudhu’
(palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal
dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullâh dan Yahya bin
Ma’in rahimahullâhmengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadits’.”
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan
sunnah. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan
dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau
kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat
pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Hadits
Hasan Lighairi boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz
(nyeleneh).
KETIGA, TENTANG KEUTAMAAN MALAM NISFU SYA’BÂN
Ada beberapa riwayat yang dikomentari sendiri oleh Ibnu Rajab rahimahullâh setelah
membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para ulama
menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullâh menilai sebagiannya shahih dan beliau
membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân.
Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallâhu’anha,
“Sesungguhnya Allâh Ta’ala akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân lalu Allâh
Ta’ala memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu
kambing-kambing milik Bani Kalb.”
Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah.
Tirmidzi rahimahullâhmenyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullâh menilai hadits ini
lemah. Kemudian Ibnu Rajabrahimahullâh menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan
ini seraya mengatakan, “Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki
kelemahan. “
As-Syaukâni rahimahullâh menyebutkan bahwa dalam riwayat
‘Aisyah radhiyallâhu’anhatersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin
Bâz rahimahullâh menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan
pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya’bân.
KEEMPAT, TENTANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BÂN
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan,
Tingkatan pertama, shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar
malam nisfu Sya’bân. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam. Jika orang ini
melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu Sya’bân pada malam nisfu
Sya’bân tanpa memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam
ini memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia
tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Ta’ala
Tingkatan kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya’bân. Ini termasuk
bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam yang menyatakan
Beliaumemerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun
hadits Aliradhiyallâhu’anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullâh, “Jika malam
nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya.”, sudah
dijelaskan (di atas) bahwa Ibnu Rajab rahimahullâh menilainya lemah, sementara Rasyid Ridha
rahimahullâh menilainya palsu.
Hadits seperti ini tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar’i. Para Ulama
memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam masalah fadhâilul
a’mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya,
 Syarat pertama, kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara kelemahan hadits (tentang
shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena diantara perawinya ada orang yang pernah
memalsukan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh.
 Syarat kedua, hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada
ibadah yang ada dasarnya lalu ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara
kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan
motivasi untuk melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa
meyakininya sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya,
sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang
dijadikan landasan utama.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat
nisfu Sya’bân, syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi karena perintah ini tidak memiliki dalil
yang shahih dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Rajab rahimahullâh dan yang lainnya.
Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan,
“Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, tidak ada satu dalil sahih pun
dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam maupun dari shahabat.
Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh mengatakan,
“Allâh Ta’ala tidak mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam
nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam juga tidak melalui sunnah Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.”
Syaikh Bin Baz rahimahullâh mengatakan,
“Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya’bân adalah riwayat
palsu.”
Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in,
sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), “Malam nisfu Sya’bân
diagungkan oleh tabi’in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam
itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil.
Ada yang mengatakan, ‘Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya’bân itu
adalah riwayat-riwayat isra’iliyyat.’ Ketika kabar ini tersebar diseluruh negeri, manusia mulai
berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu
Sya’bân, sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, ‘Semua itu perbuatan
bid’ah.’
Tidak diragukan lagi, pendapat ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar karena Allâh
Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, 
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” 
(Qs al-Maidah/5:3)
Seandainya shalat malam nisfu Sya’bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Ta’ala jelaskan
dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam melalui ucapan
maupun perbuatan Beliau. Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan
bagian dari agama Allâh Ta’ala.
Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama Allâh Ta’ala adalah bid’ah, sementara ada dalil
shahih dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, bahwa Beliau bersabda, “Semua bid’ah itu
sesat.”
Tingkatan ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini
dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari
sunnah. Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits palsu.
As-Syaukâni rahimahullâh mengatakan (al-Fawâidul Majmû’ah, hlm. 15),
“Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat bathil dan palsu.”
KELIMA, TERSEBAR KABAR DI MASYARAKAT BAHWA PADA MALAM NISFU SYA’BÂN ITU
DITENTUKAN APA YANG AKAN TERJADI TAHUN ITU
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam
qadar lailatul Qadar).
Allâh Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Haa miim. Demi Kitab (al Qur’ân) yang menjelaskan.
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi
dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
(Qs ad-Dukhân/44:1-4).
Malam diturunkannya al-Qur’ân adalah lailatul qadar. Allâh Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan.”
(Qs al-Qadr/97:1)
yaitu pada bulan Ramadhân, karena Allâh Ta’ala menurunkan al-Qur’an pada bulan itu.
Allâh Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur’ân.” 
(Qs al-Baqarah/2:185)
Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya’bân merupakan waktu Allâh Ta’ala menentukan
apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur’an.
KEENAM, ADA SEBAGIAN ORANG MEMBUAT MAKANAN PADA HARI NISFU SYA’BÂN DAN
MEMBAGIKANNYA KEPADA FAKIR MISKIN
Ini yang mereka namakan ‘asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari
NabiShallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân
termasuk amalan bid’ah yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam dengan sabda Beliau, ”Semua bid’ah itu sesat.”
Ketahuilah, orang yang membuat kebid’ahan dalam agama Allâh Ta’ala ini berarti dia telah
terjerumus dalam beberapa larangan :
Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Ta’ala,
yang artinya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” 
(Qs al-Maidah/5:3)
Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak termasuk
agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan ini berarti agama
a. itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red)

Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan


b. rasulNya.
Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama
dengan Allâh Ta’ala dalam menghukumi manusia. Allâh berfirman, yang artinya,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh 
yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ?” 
c. (Qs as-Syuura/42:21)

Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan
kedua, Nabi tahu namun Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menyembunyikannya.
Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam karena
yang pertama menuduh Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak tahu syari’at dan
kedua menuduh Beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang Beliau
d. ketahui.

Kebid’ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari’at Allâh Ta’ala. Ini sangat
e. dilarang oleh Allâh Ta’ala.

Kebid’ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing membuat manhaj
sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa
yang dilarang Allâh Ta’ala  dalam firman-Nya, yang artinya,
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang 
yang bercerai-berai dan berselisih 
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. 
mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,”
(Qs Ali Imrân/3:105) 
dan dalam firman-Nya, yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka
dan mereka menjadi bergolong-golong, 
tidak ada sedikitpun tanggung-jawabmu kepada mereka. 
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, 
kemudian Allâh akan memberitahukan kepada mereka 
apa yang telah mereka perbuat.” 
f. (Qs al-An’âm/6:159)

Kebid’ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang


disyariatkan. Para pembuat bid’ah itu, tidaklah membuat suatu kebid’ahan kecuali
g. pada saat yang sama dia telah menghancurkan syariat yang sepadan dengannya.
Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup
bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman,
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian 
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada 
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah, “Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya,
hendaklah mereka bergembira dengannya. karunia Allâh 
dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. 
(Qs Yûnus/10:57-58)
Dalam ayat lain Allâh Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(Qs Thaha/20:123)
Akhirnya saya memohon kepada Allâh Ta’ala agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita
dan kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin menuju shirâtul mustaqîm dan saya memohon
kepada Allâh Ta’ala agar senantiasa menolong kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh
Maha Dermawan dan Maha Pemurah.

[1] Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu’ Fatawa beliau, 20/25-33

[2] HR Bukhâri, no. 1969 dan Muslim, no. 1156 dan 176

[3] HR Bukhâri, no. 1970


[4] HR Muslim, no. 1156 dan 176
[5] HR Ahmad, 5/201 dan Nasâ’i, 4/102
[6] HR Ibnu Mâjah, no. 1388

(Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV)


Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com

You might also like