You are on page 1of 27
NEGARA, UNIVERSITAS DAN BANALITAS INTELEKTUAL: SEBUAH REFLEKSI KRITIS DARI DALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Itmu Politik Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Drs. Heru Nugroho, S.U., Ph.D. NEGARA, UNIVERSITAS DAN BANALITAS INTELEKTUAL: SEBUAH REFLEKSI KRITIS DARI DALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 14 Februari 2012 di Yogyakarta Oleh: Prof. Drs. Heru Nugroho, S.U., Ph.D. Para Guru besar dan hadirin yang saya hormati, Assalamu’alaikum Wr.Wb. dan Salam sejahtera bagi kita semua Saya sangat merasa terhormat bisa berdiri di forum pengukuhan guru besar ini dan saya menyadari bahwa peristiwa ini dapat terjadi hanya karena campur tangan kekuatan Adi Kodrati Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Ijinkanlah saya menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Sosiologi pada Fisipol UGM dengan judul: NEGARA, UNIVERSITAS, DAN BANALITAS INTELEKTUAL: SEBUAH REFLEKSI KRITIS DARI DALAM Para hadirin yang saya hormati, Ketika saya akan memilih tema pidato ini, saya mencoba merenung dan menghitung waktu mundur, berapa lama saya sudah bekerja dan apa yang telah saya sumbangkan untuk UGM. Dua puluh empat tahun sudah saya bekerja sebagai dosen dan peneliti di lembaga ini, yaitu di sebuah universitas terbesar di tanah air dan sebuah perguruan tinggi yang menjadi salah satu barometer perkembangan akademik di bumi Pertiwi. Tokoh-tokoh akademik sejati telah lahir di UGM seperti Prof. Dr. Sardjito, Prof. Dr. Johanes, Prof. Dr. T. Jacob, Prof. Dr. Notonagoro, Prof. Dr. Koesnadi Hardjasumantri, Prof. Dr. Mubyarto, Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Prof. Dr. Umar Kayam, Prof. Dr. Loekman Sutrisno, dll. dengan karya akademiknya dari bidang Kedokteran, Fisika, Filsafat, Hukum, Sosiologi, dll. Kalau kita mau jujur nama besar yang disandang oleh UGM ini hanya ditopang oleh beberapa gelintir akademisi dan tidak berarti semua akademisi yang bekerja di dalamnya memberi kontribusi yang sama bagi kebesaran nama itu. Sungguh saya sebagai dosen yang belum memiliki karya apa-apa merasa sangat beruntung bisa mengabdi di lembaga ini. Saya berkeinginan juga memberikan sumbangan kepada almamater tercinta, meskipun hanya setitik upaya akademik tanpa arti. Tema dan kaiian kritic vane akan cava kemukakan adalah hanalitas 2 intelektual yang sclama ini menggejala di perguruan linggi ini, Saya sengaja menggunakan UGM sebagai subject matter karena cinta saya kepada almamater. Banalitas intelektual sebetulnya merupakan fenomena yang terjadi di hampir seluruh perguruan tinggi di tanah air, Pilihan UGM sebagai fokus kajian dikarenakan lembaga ini merupakan representasi dari perguruan-perguruan tinggi yang ada. Sekaligus saya ingin melakukan refleksi kr karena saya ada di dalam permasalahannya dan sekaligus saya men jadi bagian dari persoalan tersebut. Pada umumnya civitas akademika dan khususnya ilmuwan sosial, politik, atau budaya biasanya mengarahkan alat-alat kerjanya untuk menganalisis, mengkritisi dan mencari solus problem- problem yang ada di luar diri mereka, Namun, refleksi diri yang saya lakukan berupaya membalik cara itu, karena alat-alat kerja akademik yang ada di dalam disiplin Sosiologi (and beyond) diarahkan untuk melihat perilaku “banalitas intelektual” yang sedang berlangsung di perguruan tinggi sendiri. Tujuannya jelas, untuk membuang stereotype ilmuwan sosial bahwa “gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat jelas”. Refleksi kritis dari dalam atau self-reflection (Habermas, 1971: 228) berupaya membalik anggapan negatif tersebut dengan cara kontemplasi subjektif/transendental dan historis/empiris untuk membongkar borok yang ada di dalam diri sendiri kemudian dikritisi, bertindak emansipatoris untuk mencari_ solusi agar pendidikan tinggi kita menjadi lebih berkualitas. Atas dasar kesadaran subjektif, saya berusaha bangun dari candu banalitas intelektual yang me-ninabobo-kan dunia pendidikan tinggi dan mencoba menyadari, kalau hal ini dibiarkan terus, dunia pendidikan tinggi kita cenderung involutif (mengalami perumitan-perumitan yang tampak sibuk tetapi sebetulnya stagnan) sehingga tinggal menungeu waktu berdentangnya lonceng kematian universitas, Karena rasa cinta saya terhadap UGM sebagai tempat saya berkarya dan mengabdi maka saya ingin berbuat sesuatu yang positif untuk lembaga ini. Para hadirin yang saya muliakan, Setelah berkecimpung di bidang sosiologi hampir seperempat 3 sebagai sosiolog. Kadang saya merasa optimis dengan perkembangan school of thought yang ada, namun sering saya jatuh dalam fase pesimis, skeptis bahkan nihilis karena lingkaran setan perdebatan yang tak berkesudahan. Skeptisme saya menguat ketika sosiologi akan saya gunakan untuk membongkar fenomena banalitas intelektual di perguruan tinggi sendiri, dimana fenomena ini dilingkupi relasi-relasi kuasa antar intelektual kampus dan praktek-praktek kekuasaan rezim akademik dimana saya menjadi bagiannya. Ditambah lagi perdebatan tak berkesudahan dari para penganut Klasisisme, modernisme, kritisme dan postmodernisme/post- strukturalisme yang saling tidak pernah mencapai titik temu. Justru yang saya tangkap dan pahami bahwa Sosiologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan dan sekaligus sebagai pendekatan yang digunakan untuk menganalisis, menafsir, dan mengkritisi fenomena-fenomena sosial, semakin hari cenderung semakin dijumpai _limitasi-limitasinya, meskipun bantahan-bantahan akan hal itu juga muncul. Anehnya, saya tidak pernah lari dari disiplin ini. Saya tetap setia dan tekun mengikuti bahkan kadang merasa mengalami “ekstasi” dengan terlibat dalam perdebatan-perdebatan itu dan sekaligus terdorong untuk tetap melakukan riset-riset akademik. Hal ini mungkin karena menyangkut soal “periuk” dan kapling ekonomi politik. Sosiologi dapat diibaratkan sebagai “rumah sakit jiwa” di mana para sosiolognya saling terlibat perdebatan dan terkesan mereka saling meyakinkan bahwa mereka masih tinggal di rumah sakit jiwa tersebut (Berger & Kellner, 1981 dan Berger, 2011) Sebagai contoh, kritik keras dan olok-olok telah dilontarkan dari para sosiolog aliran kritis dan skeptis yang mendegradasikan status keilmuan Sosiologi menjadi sekedar pseudo-science (Islam, 2008) untuk menegaskan bahwa Sosiologi mengalami limitasi akademik. Sosiologi yang didirikan oleh filsuf Perancis aliran positivisme, Auguste Comte, yang memiliki spirit dan logika sebagai the queen of social sciences telah mengalami academic distrust karena kegagalan demi kegagalannya dalam menjelaskan, menafsir atau memecahkan berbagai persoalan sosial sehingga status pengetahuannya tidak ubahnya seperti kepercayaan (belief). Kondisi seperti ini oleh Thomas Kuhn (1996) disebut sebagai fase anomalie dalam setiap revolusi ilmu 4 istilah dunia yang mrucut (Runaway World) karena konsep, teori dan metode yang ada dalam Sosiologi cenderung selalu tertinggal dengan fenomena yang akan dijelaskan yang selalu mengalami perubahan terus-menerus. Dalam tradisi klasik, kondisi seperti itu melahirkan pandangan static vs dynamic (Coser, 1977) atau Weber menegaskan dengan dikotomi konsep charisma vs routinization dalam melihat proses kebudayaan (Schroeder, 1992). Kegalauan saya semakin menjadi ketika sindiran kaum kiri menyatakan Sosiologi telah mengalami pemiskinan (the poverty of Sociology) sebagai ilmu karena cenderung asyik terjebak dalam ambiguitas logika Neo-Kantian (Weber, 1990), sehingga sudah cukup puas dengan sekedar menjelaskan (Erklaeren) dan memahami/ menafsir (Verstehen). Sosiologi secara ideologis tidak berbuat apapun terhadap subject matter yang diteliti kecuali harus menjaga sikap “objektivitas ilmiah” yang dingin dan kaku. Misalnya, fenomena kemiskinan, penindasan, dan marginalitas hanya sekedar cukup dideskripsikan, dianalisis, dan ditafsir tanpa ada komitmen apapun terhadap perubahan atas fenomena itu kecuali menjaga objektivitas ilmiah. Kemiskinan Sosiologi ini mendapat inspirasi dari keprihatinan Marx atas kemandegan filsafat pada waktu itu —disebut dengan kemiskinan filsafat (The Poverty of Philosophy) — di mana bidang filsafat hanya berkutat dengan pertanyaan apa/mengapa (ontologi) dan bagaimana (epistemologi) tanpa berbuat apapun terhadap subjek yang diteliti (Marx, 2001). Sosiologi harus memberanikan diri menegaskan bukan sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang hanya sekedar menjelaskan dan menafsir tetapi harus melakukan Kkritik untuk mengubah keadaan dengan cara memihak sehingga terjadi pembebasan. Konsekuensinya teori tidak bisa dipisahkan dengan praktik, berteori adalah sekaligus praxis, maka dengan sendirinya menolak stereotype akademisi yang berumah di angin (Hartoko, 1980). Saya semakin tidak yakin dengan Sosiologi konvensional apabila digunakan untuk menjelaskan dan membongkar fenomena banalitas intelektual di perguruan tinggi sendiri yang akan saya ungkapkan ini. Fenomena ini bersifat multifacet dan sangat kompleks karena melibatkan kekuasaan akademisi, eksistensi, kapling ekonomi- 5 yang ada di dalamnya di mana saya sebagai akademisi sekaligus terlibat. Salah satu kiat yang bisa ditawarkan adalah beyond sociology, yaitu dengan cara pergi melintasi disiplin Sosiologi yang selama ini saya imani sebagai pisau yang mujarab, untuk kemudian meminjam alat-alat kerja ilmu-ilmu sosial atau humaniora yang lainnya agar masalah banalitas di kampus bisa terbongkar secara kritis agar terwujud perubahan radikal yang emansipatoris. Maka, tidak ada cara lain kecuali menyerahkan diri pada ideologi kritik yang menjelma ke dalam teori-teori kritik sosial. Maksudnya adalah teori-teori sosial yang ditujukan untuk melakukan kritik dan perubahan sosial, di mana hal ini berbeda secara diametral dengan teori tradisional yang diarahkan hanya untuk menjelaskan dan memahami fenomena sosial (Horkheimer, 1992). Konsekuensinya, pembagian kerja pengetahuan dengan metodologinya yang selama ini diyakini oleh kaum Neo- Kantian —yaitu ilmu sosial dan humaniora— tidak cukup lagi atau dengan menggunakan istilah Giddens akan mrucut apabila digunakan untuk membahas tema ini. Habermas (1971) dengan jitu mengelaborasi bahwa pengetahuan kritis memiliki kepentingan emansipatoris, yaitu mengkritisi untuk merubah keadaan, sementara pengetahuan empiris-analitis (science) hanya memiliki kepentingan teknis dan historis-hermeneutik (humanities) sekedar berkepentingan praktis (memahami). Rumitnya, teori kritik sosial tidak berperspektif tunggal. Faham kritis dari modernisme merasa puas dengan teori kritik yang cukup membongkar dan melakukan perubahan emansipatoris, sementara postmodernisme melihat kepentingan dan hasrat kuasa akademisi dalam setiap produksi pengetahuan (riset) —termasuk membongkar fenomena banalitas —_intelektual— _—potensial = menghasilkan ketidakstabilan makna dan krisis representasi karena menolak adanya objektivitas (logosentrisme). Jadi, pembongkaran banalitas intelektual di perguruan tinggi dengan dalih emansipatoris bisa juga dicurigai sebagai ekspresi hasrat kuasa dan politisasi akademik untuk menjaga kapling pikiran kritis dalam upaya meneguhkan realitas homo academicus (Bourdieu, 1990). Maka adalah wajar mencurigai makna dan kepentingan kuasa di balik tema pidato ini, atau paling tidak, saling mencurigai di antara sudut pandang tersebut adalah positif karena akan berakhir dengan itikat baik open ended. Para hadirin yang saya cintai, Setelah empat belas tahun kejatuhan rezim otoriter Orde Baru, dunia pendidikan tinggi berbenah namun masih terlilit oleh sejumlah persoalan. Masalah-masalah itu meliputi membengkaknya biaya pendidikan tinggi, cengkeraman kuasa pemerintah atas sumber- sumber daya pendidikan dan penelitian, kualitas pendidikan yang kurang memenuhi kualitas, mutu dan karya penelitian masih minim, ketiadaan budaya dan rendahnya etos kerja akademik, dil. Meskipun saya tidak terlalu yakin dengan publikasi QS World University Ranking 2010, dimana posisi UGM pada ranking 321, namun bisa jadi posisi itu sebagai akibat dari persoalan-persoalan yang belum terpecahkan tersebut. Maka persoalan itu menjadi tersangka sebagai kausalitas munculnya fenomena banalitas intelektual di kampus. Secara sederhana banalitas intelektual di universitas ditandai dengan pendangkalan yang tidak disadari (Arendt, 1992) disestai menurunnya kualitas akademik dan sekaligus merosotnya komitmen terhadap bidang ilmu yang digeluti oleh para akademisi. Kualitas akademik merujuk pada tingkat penguasaan ilmu yang menyediakan peralatan-peralatan kerja akademik, sedang kualitas intelektual merujuk pada komitmen akademisi terhadap ilmu sebagai bidang pengabdian (Kleden, 1987: 112). Dengan demikian, fenomena banalitas intelektual tersebut telah mengingkari fungsi normatif perguruan tinggi yang ada dalam semboyan universitas magistrorum et scholarium. Artinya, universitas bukan semata-mata merujuk pada gedung-gedung yang megah yang berdiri di atas tanah berhektar- hektar, yang memiliki sistem administrasi dan birokrasi canggih dan didukung oleh peralatan teknologi komunikasi canggih tetapi juga merujuk pada organisasi manusia yang memiliki aktivitas akademik. Universitas merupakan tempat bertemunya para sarjana dalam rangka mencari kebenaran akademik melalui berbagai bentuk riset dan sekaligus sebagai tempat untuk mengembangkan kapasitas diri melalui disiplin yang diyakini oleh masing-masing insan akademik. Unirsis juga sebagai lembaga di mana para sarjana berkewajiban mengajar para mahasiswa, saling bertukar ide melalui debat, diskusi, seminar, polemik, dan publikasi sebagai konsekuensi dari hasil penelitian yang dilakukan. Pengertian tempat bukan hanya merujuk 7 pada arti kata benda, tetapi lebih merupakan institusi di mana lembaga universitas menjadi meeting of minds para akademisi. Jadi, universitas bukan hanya merujuk pada tempat dalam arti fisik yang terikat oleh dimensi ruang dan waktu, namun tempat bertemunya perbedaan maupun persamaan ide dalam upaya mencari kebenaran ilmiah. Tronisnya, banalitas intelektual merupakan fenomena yang merebak dan mengingkari dunia pendidikan tinggi kita saat ini. Karena luasnya pengertian intelektual (Nikita, 2010) maka dalam konteks ini dibatasi pada lingkup intelektual kampus yang aktivitasnya di perguruan tinggi. Beberapa indikator maraknya banalitas intelektual dapat diungkap. Pertama, adalah apa yang dikenal sebagai gejala menguatnya pengkhianatan intelektual (Benda, 2007) di kampus yang menjelma dalam bentuk pengkhianatan akademik. Para akademisi lebih mementingkan nilai pragmatis daripada nilai-nilai_ ilmu pengetahuan. Aktivitas pengajaran dan penelitian yang orientasinya meningkatkan pendapatan, atau yang populer dikenal sebagai “proyek”, terasa lebih menonjol daripada kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan. Tugas utama akademisi yang seharusnya melakukan refleksi kritis dan mempertahankan nilai-nilai abstrak pada setiap jamannya seperti kebenaran, keadilan, dan rasio, justru terasa semakin memudar karena lebih mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis. Maka tidak mengherankan jika muncul istilah “dosen asongan’”, yaitu dosen yang kerja di luar kampus dan menjadikan kerja kampus justru sebagai sambilan. Misalnya, seorang dosen memiliki pekerjaan lain di luar kota sehingga tidak punya cukup waktu lagi beraktivitas di kampus. Macam-macam atribut dan profesi yang disandang oleh akademisi tipe “asongan” ini misalnya menjadi staf ahli, staf khusus, konsultan, direktur, deputi, konsultan lembaga donor internasional, dll. Tugas utama mereka bukan menjadi intelektual kampus tetapi menggunakan alat-alat akademik untuk kepentingan-kepentingan ekonomi politik mereka. Intelektual tipe ini cenderung bukan memberikan eksplanasi kritis- reflektif tetapi justru membela mati-matian secara defensif pihak yang memberinya posisi. Contohnya, saya pernah menjadi konsultan pembangunan baik di pemerintahan, lembaga donor internasional maupun konsultan CSR untuk sebuah perusahaan maupun dalam membuat rekomendasi yang saya formulasikan terutama bila dikaitkan dengan persoalan yang sedang dialami rakyat. Saya menjadi tidak bisa membela penuh kepentingan rakyat. Kedua, dalam waktu sepuluh tahun terakhir, mengikuti maraknya industri media televisi, timbul gejala intelektual kampus yang sering muncul di TV, saya istilahkan sebagai intelektual pamer (intellectual of the spectacle). Para intelektual ini umumnya diundang oleh televisi sebagai narasumber untuk acara talk show, wawancara langsung, atau sekadar obrolan ringan persoalan sosial, politik, budaya atau ekonomi yang sedang populer. Mereka dengan instant diberi atribut sebagai ‘pakar’ oleh televisi, bukan karena prestasi_ hasil penelitian yang berbobot, tetapi semata-mata karena faktor penampilan dan pencitraan lewat pamer pengetahuan di TV secara rutin. Inilah fenomena yang oleh DeBord (1995) dikatakan sebagai kualitas kehidupan yang dimiskinkan oleh lack of authenticity, dan pemikiran kritis dihalangi karena semua telah terbius oleh masyarakat pameran (spectacular society). Itu bisa terjadi karena terbenamnya keberadaan (being) ke dalam kepemilikan (having) dan kepemilikan ke dalam penampilan (appearing). Celakanya, akademisi ikut terbius oleh hasrat untuk tampil, naik panggung, unjuk diri bahkan kehendak narsistik di televisi yang memang gemar mengeksploitasi apa saja menjadi sekedar komoditas tontonan sebagai realisasi hasrat ekonomi politik. Maka, lahirlah intelektual instant dengan sebutan ahli atau pakar yang merupakan produk dari dunia ci-luk-ba (Peek-a-Boo World) bikinan televisi (Postman, 1986). Artinya, kemampuan televisi dalam mengkonstruksikan atribut atau citra kepakaran seorang akademisi secara instan didukung oleh kemajuan teknologi informasi yang mementingkan kecepatan dengan menenggelamkan ruang dan jarak, kemudian menghasilkan ruang kecepatan (dromospheric space). Akibatnya, seolah-olah ruang menyatu dengan dimensi transmisi (Virilio, 1986). Ruang dan waktu melebur schingga peristiwa yang terjadi di belahan bumi manapun dapat ditayangkan kapan pun dan dapat segera diketahui oleh pemirsa di manapun. Contohnya, dahulu ketika saya punya job sebagai konsultan di sebuah departemen di Jakarta, yang memaksa saya sering tinggal di sana, saya sering diwawancarai oleh televisi nasional sanntar macalah masolah casia fi tite enlls daw ftteuanalon soon

You might also like