You are on page 1of 12

Ti

n j
auanpust
aka

ASPEK PULMONOLOGIS INFEKSI OPORTUNISTIK

PADA INFEKSI HIV/


AIDS

OmmyAgust
riadi,IdaBagusSutha

Bagian/SM F I
lmuPenyakitDal
am FK Unud/RSUP SanglahDenpasar

e-mail: ommy_agustriadi@yahoo.com.sg

ABSTRACT

PULM ONOLOGY ASPECT OF OPPORTUNI


STI
CINFECTI
ON ON HI
V HI
V/AI
DS PATI
ENT

Human Immunodeficiency Virus (


HIV)known aset
iologicagentf
o rAI
DS (
Acquired Immunodeficiency S ,i
yndrome) n

whichf
o l
lowedoraccompaniedbycer
tai
nopport
u nist
ici
n f
ect
ionsandmal
ignanci
es.Per
h apst
h emostimport
antreasonf
o rt
h e

f
requentdevel
o pmentofdiver
sepulmonar
ycompli
cat
ionsi
nHI
V/AI
DSr
elat
est
othef
actt
h att
h el
u ngi
schronical
lyexposedt
o

bothi
n f
ect
iousornon-i
n f
ect
iousai
rborneagents(
exogenousl
y )andhemat
o genousl
yspreadagents(
endogenousl
y )t
h r
o ughan

expansi
v esurf
acear
eaconsi
sti
n gofmi
lli
o nsofunit
scal
ledal
v eoli
, t
h atinfect
edal
v eolarmacr
o phagesandl
y mphocytes.

Themechanismst
h atmayplayr
o l
eofdef
ect
edl
u ngdef
endmechanismswer
edir
ectef
fectofHI
Vthatinfect
edandkil
l

cel
lscausedamagedt
otheef
fect
o rcel
lsandshif
tedcel
lsf
u nct
ionf
rom i
mmunost
imulat
ivet
oimmunosupressi
v e,t
h eni
mpai
red

mi
g r
ati
o ncapaci
tyofl
y mphocytes,monocytesornet
rophil
stol
u ng.Int
u r
n ,theopport
u nist
ici
n f
ect
ionseasi
lydevel
o ped.

I
nal
most65% AI
DS pat
ientsal
soaccompanied wi
thoppport
u nist
ici
n f
e ct
ionsi
nthel
u ng.Pneumocyst
is carinii

pneumoniaewast
h emostoft
en,foll
o wedbyM .t
ub osis i
ercul n f
ect
ion,bact
eri
alandf
u ngalpneumoniaer
espect
ivel
y.Wher
eas,

vir
alpneumoniaewasr
are.

Keywords:opport
u nist
ici
n f
ect
ions,PCP,HI
V,AI
DS

2
PENDAHULUAN HI
V (
e ndogen) yang melemahkansi
stem i
mun.

Kompli
k asipulmonologis,t
e r
u t
a ma akibati
n f
e ksi

opor
tuni
sti
k merupakan penyebab mor
bidi
tas dan
Human Immunodeficiency Virus (
HIV)adal
ah

mort
ali
tasutamaser
tabisat
erj
adipadasemuast
adium
vi
ruspenyebabAI
DS(
Acquired Immunodeficiency Syn-
3,
4
denganber
b agaimanif
est
asi
.
drome)dimanapenyakiti
n idit
a ndaiolehi
n f
e ksi
Hi
n ggasaati
n iwal
aupun manaj
emeni
n f
e ksi
oport
uni
sti
kdanat
aubeber
apaj
eni
skeganasant
ert
ent
u
HI
V/AI
DS berkembang pesatnamun kompl
ikasi
yangdiakibat
k anolehkeadaanberkurangnyaf
u ngsi
pulmonologismasi
h menjadikompli
k asiyangutama
1
i
munpender
itaakibati
n f
eks V.Al
iHI asant
erpenti
n g
5
(
p enyebab30–40% masukr
u mahs
a ki
t).Hampi
r 65%
mengapas
e r
ingt
erj
adikompl
ikasipul
monol
ogi
spada
pender
itaAI
DS mengal
amikompli
k asipulmonologis
i
nfeksiHI
Vadal
ahkonsekuensianat
omi
spar
usehi
ngga
di
manapneumoni
akar
enaP carinii mer
u pakani
nfeksi
t
erpapars
e car
akroni
ster
h adapbahan-bahani
nfeksi
us
oport
u nist
ikt
erser
ing,dii
k utiolehi
n f
eksiM t
ubercul
o-

maupunnoninfeksi
u sdar
iluar(
eksogen),disi
sil
ain
sis,pneumoni
abakt
eri
aldanj
amur,s
e dangkanpneu-

j
ugat
erj
adipapar
ans
e car
ahemat
ogent
erhadapvi
rus 3,
6,7
moniavir
allebihj
arangt
erj
adi.

AspekPulmonologisI
n f
eksiOport
u nist
ikpadaI
n f
eksiHI
V/AI
DS
233
Ommy Agust
riadi,Ida Bagus Sut
h a
Berbagai infeksi oportunistik yang ditemukan Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV yang

pada infeksi HIV/AIDS menunjukkan bahwa HIV utama. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV

melumpuhkan mekanisme pertahanan paru secara reverse transcriptase dari hasil Bronchoalveolar Lavage

signifikan. Walaupun banyak penelitian terfokus pada (BAL). Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan

efek sistemik infeksi HIV namun penelitian dan literatur makrofag alveoler dan ko-reseptor yang paling berperan

10
tentang mekanisme imun paru pada infeksi HIV masih adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.

sedikit jumlahnya. Pada beberapa keadaan defek imun Infeksi oleh strain M-tropic dapat diblokir oleh CC

yang terjadi di perifer juga terjadi di paru dan pada situasi chemokines RANTES, macrophage inflammatory pro-

lainnya efek infeksi HIV di sel paru berbeda dengan tein-1 αdan β yang berperan sebagai ligand CCR5.

Seiring dengan perkembangan infeksi HIV, maka peran


8,9
perifer.

strain M-tropic digantikan oleh T-tropic, disertai penu-

8,11
EFEK INFEKSI HIV PADA PARU runan yang cepat status imunologik penderita.

Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap

Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di masuknya virus: dengan bantuan limfosit CD4 (T-hel-

permukaan epitel alveoli adalah sel defender utama per), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor sistem

imunitas seluler, membunuh sel yang terinfeksi HIV


2
parenkim paru. Terinfeksinya makrofag dan limfosit

alveoler oleh HIV (paparan endogen) merupakan proses melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel

krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS. limfosit sitotoksik CD8 ini akan aktif dan berproliferasi

Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor sebagai respon terhadap adanya epitope virus HIV,

untuk masuknya HIV dan untuk masuknya virus ke sehingga menekan replikasi virus secara langsung (gam-

dalam sel diperlukan kerjasama dengan ko-reseptor bar 2). Walaupun telah ada mekanisme penekanan ini,

kemokin. CCR5 adalah ko-reseptor yang digunakan namun replikasi virus tetap berlangsung (mekanisme-

untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscyte- nya masih belum jelas) sehingga terjadi destruksi dan

tropic (M-tropic), namun tidak untuk menginfeksi penurunan jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya

limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk strain menyebabkan respon CTL CD8 menjadi suboptimal

(secara in vitro, tidak dapat melakukan lisis sel target


2,8,9
lymphocyte-tropic (L-tropic) (gambar 1).

dengan baik)

Gambar 2. Interaksi diantara CTL CD8, sel T-helper dan

12
Gambar 1. Strain T-tropic menginfeksi sel T, melalui antigen-presenting cell

CD4 sebagai reseptor utama dan CXCR4 sebagai ko-

reseptor. Starin M-tropic menginfeksi makrofag alveoler Pada suatu studi, didapatkan terjadinya penurunan

dengan menggunakan CCR5 sebagai ko-reseptor, jumlah limfosit CD4 (dari hasil BAL) disertai dengan

peningkatan limfosit CD8 pada paru, sehingga rasio


8
walaupun mengekspresikan pula CXCR4

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 3 September 2008


234
CD4/CD8 pada paru lebih kecil dibandingkan darah episode PCP pada perjalanan klinis penyakitnya, dengan

17,18 19
perifer. Pada beberapa penderita menunjukkan simptom mortalitas berkisar antara 10 – 40%. Wolff et al.

pulmonologis sebagai akibat influks limfosit CD8 ke mendapatkan bahwa HAART (Highly Active Anti

sel paru (lymphoid interstitial pneumonitis), dimana hal Retroviral Therapy) merupakan suatu proteksi terhadap

ini berkorelasi dengan tingginya viral load. Namun pada PCP sehingga menurunkan risiko terjadinya PCP. Cara

tahap lanjut jumlah limfosit CD8 ini juga mengalami penularan/transmisi pada manusia diduga melalui rute

8,13
penurunan. respirasi, dan reservoirnya diduga bersumber dari

3
Pada studi lainnya, didapatkan bahwa lingkungan atau manusia lainnya. Setelah terpapar, P

abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal infeksi carinii menempel pada sel epitel alveoler dan merupakan

(sebelum terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan tahap yang penting untuk terjadinya respon imun. Untuk

pembentukan antibodi sebagai respon terhadap mitogen maksimalisasi kemampuan makrofag alveoler dalam

dan gangguan inisiasi sistesis antibodi secara normal mendeteksi dan clearence patogen, maka diperlukan

sebagai respon terhadap antigen. Penurunan konsentrasi sitokin-sitokin tertentu, seperti: interferon gamma (IFN-

IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan γ), TNF- α dan granulocyte macrophagecolony stimu-

kemampuan makrofag alveoler dalam merangsang lating factor (GM-CSF). Pada infeksi HIV terjadi deplesi

14
sekresi IgG dari sel B. Mekanisme defensif lainnya sel efektor imun seperti limfosit T, sehingga mengurangi

adalah surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveoler jumlah sumber sitokin yang mengaktivasi makrofag

tipe II) yang secara fisiologis berguna untuk menurunkan alveoler tersebut. Hasil akhirnya, clearence P carinii

tegangan permukaan sehingga memudahkan reinflasi menjadi jauh menurun dan terjadi survival serta replikasi

pada setiap akhir ekspirasi. Surfaktan tersusun atas P carinii di ruang alveoler dan terjadilah pneumo-

15,20,21
kompleks fosfolipid dan protein spesifik, sel-sel nia.

bronkoalveoler juga terdapat didalamnya.Surfaktan Presentasi klinis PCP biasanya terjadi pada

menekan proses oksidatif dan produksi beberapa jenis penderita tanpa profilaksis kotrimoksazol sebelumnya,

sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF- α (sitokin-sitokin CD4 <200 sel/ µl atau persentase sel CD4 <14% (pada
yang merangsang replikasi virus HIV), menghambat sekitar 90% kasus) dengan onset sub akut berupa demam,

aktivasi limfosit sehingga menghambat replikasi virus batuk non produktif, rasa berat di dada dan sesak yang

2
HIV. Paparan terhadap infeksi mikroorganisme tertentu, progresif dalam beberapa hari sampai dengan

16,17
misalnya P carinii akan merangsang produksi TNF- α minggu. Pada kasus ringan pemeriksaan fisik

oleh makrofag alveoler, berikutnya TNF- α akan biasanya normal, namun dengan exercise didapatkan

mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus mengganggu early oxygen desaturation, sesak, hipoksia, takipnea,

sistesis protein surfaktan, dan akhirnya terjadi deplesi takikardi dan rales kering (cellophane) pada auskultasi

2,15 6,18
natural antiviral factor pada paru. paru. Karakter lain PCP pada infeksi HIV/AIDS

adalah banyaknya jumlah patogen di paru dengan jumlah

PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA netrofil yang lebih sedikit (dibandingkan tanpa infeksi

22
HIV/AIDS). Limper et al. mendapatkan bahwa umlah

Pneumocystis carinii diklasifikasikan sebagai sel radang yang lebih sedikit ini berhubungan dengan

jamur. PCP merupakan infeksi oportunistik tersering oksigenasi yang lebih baik, jika dibandingkan dengan

3,16
pada infeksi HIV/AIDS. Lebih dari separuh (70 – penderita PCP tanpa infeksi HIV/AIDS. Peningkatan

80%) penderita AIDS mendapatkan paling sedikit satu lactate dehydrogenase (LDH) menjadi >500 mg/dL

Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS


235
Ommy Agustriadi, Ida Bagus Sutha
cukup sensitif untuk diagnosis PCP, namun tidak spesifik - Analisis gas darah menunjukkan hipoksia dengan pO
2

karena penyakit paru lain juga dapat mengakibatkan < 70 mmHg atau gradien arterial-alveoler > 35;DAN

peningkatan tersebut.
17
Pada pemeriksaan rontgenologis - Tidak terbukti adanya pneumonia bakterial.

dada pada kasus ringan kemungkinan menunjukkan hasil Manajemen PCP tergantung dari derajat berat –

yang normal, seiring memberatnya penyakit secara ringannya pneumonia yang terjadi. Pada pneumonia

tipikal didapatkan infiltrat interstisial yang simetris dan yang sedang – berat atau berat, penderita harus di MRS-

difus, yang bermula dari hilus dan membentuk gambaran kan karena mungkin memerlukan bantuan ventilator

18
seperti kupu-kupu. Namun presentasi atipikal berupa (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol

nodul, bleb, serta kista dapat pula dijumpai. Jika intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan

didapatkan gambaran pneumothorax dan efusi pleura selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan

yang merupakan komplikasi PCP, perlu dipikirkan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan

penyakit penyerta atau diagnosis banding lainnya (kira- antibiotika per oral untuk jika sudah memungkinkan.

kira 13 – 18% penderita PCP juga menderita penyakit Hipoksemia yang signifikan (PaO < 70 mmHg atau
2

lainnya, seperti: TBC paru, sarkoma Kaposi atau pneu- gradien arterial-alveoler > 35), memerlukan

monia bakterial).
6,18
Ketika hasil rontgenologis thorax kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam

normal, pemeriksaan dengan CT scan resolusi tinggi, 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko

16,18
dapat menunjukkan gambaran ground glass yang tipis komplikasi dan memperbaiki prognosis. Pada kasus-

atau suatu lesi kistik


23
atau pada gallium scan tampak kasus ringan – sedang dapat diberikan kotrimoksazol

gambaran penyakit paru yang difus dan bilateral.


5
oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif

Diagnosis definitif PCP dibuat berdasarkan bukti terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin

histopatologi, bronkoskopi dengan BAL atau induced intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin

sputum kemudian dilakukan analisis imunofluoresensi. (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat

Sedangkan diagnosis dengan Polymerase Chain Reac- diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus

tion (PCR) masih dalam penelitian.


18
Studi oleh Huang primakuin, atovaquone atau trimetrexate plus leucov-

16,18
et al.
24
mendapatkan bahwa dengan suatu algoritme orin (lampiran 1).

klinis, rontgenologis dan pengukuran kapasitas difusi Karena adanya efek toksisitas aditif atau

karbondioksida paru dapat mengetahui probabilitas di- sinergistik yang berhubungan dengan terapi PCP dan

agnosis PCP. Namun algoritme ini masih memerlukan antiretroviral (ARV), beberapa pusat kesehatan tertentu

penelitian lebih lanjut. Secara praktis untuk keperluan menunda ART sampai selesainya terapi PCP. Secara

terapi, dapat digunakan diagnosis presumptif sebelum klinis, kegagalan terapi adalah tidak terdapat perbaikan

didapatkan hasil untuk diagnosis pastinya. Diagnosis atau terjadinya perburukan fungsi paru (pemeriksaan

presumtif dengan guideline sebagai berikut:


16,17
AGD) setelah minimal 4 – 8 hari sejak dimulainya terapi

- Riwayat sesak p a d a e x e rc i s e atau batuk non anti-PCP, tanpa bukti adanya infeksi lain yang menyertai

produktif, dengan onset dalam 3 bulan terakhir ini; (concomitant infection). Sekitar 33% dari jumlah

DAN kegagalan ini disebabkan oleh toksisitas obat dan sekitar

- Rontgenologis thorax nampak infiltrat interstisial 10% karena kurangnya efikasi obat. Terapi tambahan

yang bilateral dan difus atau gallium scan tampak atau pengalihan ke terapi alternatif dapat dilakukan untuk

gambaran penyakit paru yang difus dan bilateral; manajemen toksisitas obat terkait terapi (therapy related

18
DAN toxicity).

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 3 September 2008


236
Profilaksis primer terhadap PCP direkomen-
( b i d i re c t i o n a l pathogenic interactions) yang

dasikan pada penderita dengan CD4 < 200 sel/ µL atau memperburuk prognosis penderita.
26,27

limfosit < 14%, adanya candidiasis oral atau demam


Pada umumnya presentasi klinis dan radiologis

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya selama >14 hari.


TB paru pada penderita infeksi HIV dengan CD4 > 350

Obat pilihannya adalah kotrimoksazol dengan alternatif


sel/ µL sama dengan penderita tanpa infeksi HIV, dimana
dapson, pentamidin atau atovaquone . Profilaksis
tuberkulosis terbatas pada paru saja dan gambaran radio-

sekunder dilakukan pada penderita dengan riwayat PCP


logis umumnya menunjukkan adanya fibroinfiltrat pada

sebelumnya. Profilaksis primer dan sekunder ini dapat


lobus atas paru dengan atau tanpa kavitas. Penurunan

dihentikan jika terjadi immune reconstitution dengan


CD4 < 50 sel/ µL sering disertai tuberkulosis

pemberian HAART, dimana terjadi peningkatan CD4


ekstrapulmoner. Gambaran radiologis pada kondisi

menjadi > 200 sel/ µL dan limfosit > 14% selama mini- infeksi HIV yang berat sangat berbeda, dimana infiltrat
16
mal 3 bulan. Namun profilaksis dapat kembali
dapat terlihat di lobus tengah atau bawah paru, dapat

dilakukan jika terjadi perburukan, ditandai dengan


berupa infiltrat milier (TB milier), namun kavitas lebih

µL atau PCP timbul


menurunnya kembali CD4 < 200 sel/
jarang didapatkan.
5,25,28
Derajat imunodefisiensi ini juga
18

kembali walaupun CD4 > 200 sel/µL.


berpengaruh pada gambaran laboratoris (BTA pada

sputum) dan histopatologis. Pada penderita dengan

TUBERKULOSIS PARU
fungsi imun yang masih intact lebih mudah didapatkan

adanya BTA pada sputum dan gambaran granulomatus

Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan


secara histopatologi. Seiring dengan menurunnya sistem

problem penting pada infeksi HIV/AIDS dan menjadi


imun maka kemungkinan untuk didapatkan BTA pada

p e n y e b a b k e m a t i a n p a d a s e k i t a r 11 % p e n d e r i t a .
sputum semakin kecil dan secara histopatologi gambaran

Berdasarkan data World Health Organiz


ation (WHO),
granuloma juga sulit ditemukan karena semakin sulit

pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita 25,29
terbentuk atau bahkan tidak terbentuk sama sekali.

infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M


Pendekatan diagnosis TB paru pada penderita

tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar


dengan infeksi HIV menggunakan kriteria yang sama

2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring


dengan tanpa infeksi HIV. Namun pada sekitar 10%
18,25
dengan derajat beratnya imunosupresi yang terjadi.
penderita infeksi HIV dengan tuberkulosis menunjukkan

Suseptibilitas terhadap tuberkulosis, baik untuk


gambaran radiologis dan mikroskopis yang normal,

terjadinya tuberkulosis primer, reaktivasi ataupun


sehingga diperlukan pemeriksaan lain non-rutin untuk

reinfeksi berhubungan dengan pola sitokin yang


menentukan diagnosis misalnya dengan pemeriksaan

diproduksi oleh limfosit T, dalam hal ini limfosit T1


BACTEC® (metode radiometrik dengan mengukur

melalui produksi interferon- γ yang berperan defensif


kadar karbondioksida yang dihasilkan dari metabolisme

terhadap mikobakterium. Pada infeksi HIV, deplesi


asam lemak oleh M tuberculosis) dan polymerase chain

limfosit inilah yang menyebabkan suseptibilitas terhadap 26,30


rection (PCR). Pada daerah endemis tuberkulosis atau

tuberkulosis meningkat. Di lain pihak, infeksi M


adanya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis

t u b e rc u l o s i s itu sendiri merangsang makrofag


maka kultur dan pengecatan BTA rutin dikerjakan pada

memproduksi TNF- α, IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan semua penderita HIV/AIDS dengan infiltrat pada paru,

peningkatan replikasi virus HIV. Jadi antara infeksi HIV 18


untuk keperluan klinis dan kontrol infeksi.

dan tuberkulosis terjadi interaksi patogenik 2 arah


Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV

Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS


237
Ommy Agustriadi, Ida Bagus Sutha
28,30 200 – 350 Mulai terapi TBC Pertimbangan ARV:
pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV. Saat

Mulai salah satu paduan di


pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus

bawah ini setelah fase


memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan

30 intensif:
rekomendasi yang ada (tabel 1). Namun pada beberapa

studi mendapatkan tingginya angka kekambuhan pada


• Paduan yang mengandung
d
EFV
penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
• Paduan yang mengandung
31,32
selama 6 bulan dibandingkan dengan 9 – 12 bulan.
NVP jika paduan TBC

Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, fase lanjutan tidak meng-

c
terutama rifampicin karena rangsangannya terhadap gunakan rifampisin

aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang


> 350 Mulai terapi TBC Tunda ARV
memetabolisme protease inhibitor (PI) dan non-

nucleosidase reverse trancriptase inhibitor (NNRTI), CD4 tidak Mulai terapi TBC Pertimbangan ARV

sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam memungkin-

kan untuk
darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat
diperiksa
incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi

obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula


Keterangan:
mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan
a. Saat mengawali ARV harus didasarkan atas pertimbangan klinis

berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.


sehubungan dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi.

Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak Untuk TBC ekstraparu, ARV harus diberikan secepatnya setelah

efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan terapi TBC dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4.

b. Sebagai alternatif EFV adalah SQV/r (400/400 mg 2x sehari atau


NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang

soft gel 1600/200 1x sehari), LPV/r (400/400 mg 2x sehari) atau


berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
ABC 300 mg 2x sehari.
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti 200 mg 2x sehari).
mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan
Regimen yang mengandung NVP adalah d4T/3TC/NVP atau

berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.


ZDV/3TC/NVP.

Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV atau ZDV/

efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta 3TC/EFV.

meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian e. Kecuali HIV stadium IV, mulai ARV setelah terapi TBC selesai.

26,28 f. Bila tak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita
bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan.

menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi TBC, ARV


30
Tabel 1. Pengobatan koinfeksi TBC-HIV
diberikan setelah terapi TBC diselesaikan.

Jumlah sel Regimen yang dianjurkan Keterangan Singkatan :

CD4 EFV: Efavirenz, SQV: Squinavir, R: Ritonavir, LPV: Lopinavir,


3
(per mm )
ABC: Abacavir, NVP: Nevirapine, d4T: Stavudin,

3TC: Lamivudin, ZDV: Zidovudin


< 200 Mulai terapi TBC Dianjurkan ARV:

Mulai ARV segera setelah EFV adalah kontraindi-

terapi TBC dapat ditoleransi kasi untuk ibu hamil Pada sekitar 36% penderita tuberkulosis aktif yang
(antara 2 minggu – 2 bulan) atau perempuan usia
mendapatkan OAT dan ARV secara simultan, terjadi
Paduan yang mengandung subur tanpa kontrasepsi,

EFV
d
sehingga EFV dapat
reaksi paradoksal (kemungkinan akibat terjadinya im-

diganti
b
mune restitution) dengan tanda dan gejala seperti demam

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 3 September 2008


238
tinggi, limfadenopati dan memburuknya gambaran MIKOSIS PARU

radiologis thoraks. Untuk mendiagnosis suatu reaksi

paradoksal, etiologi lainnya harus disingkirkan terlebih Mikosis paru pada penderita infeksi HIV/AIDS

dahulu. Reaksi ini bersifat self limiting (umumnya 10 – kemungkinan merupakan suatu progresi infeksi primer

40 hari), namun pada reaksi yang berat dapat diberikan atau reaktivasi dari kondisi laten yang akhirnya

terapi prednison 1-2 mg/kg berat badan selama 1 – 2 bermanifestasi karena kondisi imun yang menurun. Saat

minggu, lalu dosis di tappering off. Isoniazid dan NRTI ini, di era penggunaan HAART, belum diketahui

sama-sama berefek samping neuropati p e r i f e r. pengaruhnya terhadap insiden mikosis paru, karena di-

Pemakaian simultan kedua obat tersebut meningkat agnosis mikosis paru masih merupakan problem

9
toksisitas isoniazid dan memperberat gejala neuropati tersendiri. Beberapa spesies jamur yang sering menjadi

perifer. Sehingga pada manajemen tuberkulosis pada etiologi mikosis paru pada penderita infeksi HIV/AIDS

infeksi HIV/AIDS prinsipnya adalah terapi adalah Cryptococcus neoformans, Apergillus fumigatus,

28,33,34
diprioritaskan pada tuberkulosisnya. Histoplasma capsulatum dan Nocardia asteroides.

Masalah lainnya pada terapi tuberkulosis pada Diantara spesies jamur tersebut, C neoformans yang

infeksi HIV/AIDS adalah sering terjadi monoresistensi paling sering menyebabkan pneumonia (sekitar 15%

5
terhadap rifampisin tapi masih susceptible terhadap episode) dibandingkan yang lainnya dan biasanya terjadi

37
isoniazid. Monoresistensi ini diduga terjadi karena pada fase lanjut infeksi HIV. Infeksi yang terjadi diduga

mutasi strain M tuberculosis yang drug-susceptible, setelah terhirup udara yang mengandung yeast yang tidak

bukan karena transmisi penularan oleh strain yang berkapsul, namun mekanisme sesungguhnya masih

35
memang resisten rifampisin. belum jelas.

Tindakan profilaksis terhadap infeksi patogen Tanda dan gejala pneumonia tidak spesifik,

lainnya menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita umumnya berupa demam, berkeringat, rasa lelah dan

tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS. WHO sakit kepala, 20 – 30% penderita mengeluh batuk dan

17,37
merekomendasikan profilaksis kotrimoksazol dengan sesak, 40% mengeluh nyeri dada. Gambaran

dosis harian 960 mg. Namun diperlukan studi lebih lanjut radiologis thoraks umumnya berupa pneumonia

untuk mengevaluasi keuntungan terapi, durasi, feasibility interstisial yang difus dengan infiltrat interstisial, namun

28
dan efektifitas regimen ini. Profilaksis terhadap gambaran lain seperti konsolidasi fokal atau keseluruhan

tuberkulosis diberikan jika telah terbukti tidak ada paru, bayangan ground-glass, nodul-nodul milier,

tuberkulosis aktif pada penderita dengan tes tuberkulin cavitas, efusi pleura dan limfadenopati hilus dapat pula

5
positif saat ini, atau pernah tes tuberkulin positif dan ditemukan. Karena gejala dan tanda serta gambaran

belum mendapat terapi profilaksis sebelumnya, atau radiologis thoraks yang tidak spesifik tersebut, diagno-

adanya riwayat kontak dekat (close contact) dengan sis infeksi kriptokokal pada paru sangat sulit dibuat. Di-

26
penderita tuberkulosis. Obat yang diberikan profilaksis agnosis pasti dibuat berdasarkan hasil biopsi, dan secara

adalah isoniazid selama 9 bulan dengan dosis harian atau mikroskopis ditemukan adanya kriptokokus pada

17,37
2 kali seminggu, atau salah satu dari pirazinamid, jaringan atau granuloma. Namun secara klinis dan

rifampisin atau rifabutin selama 2 bulan dengan dosis laboratoris, diagnosis dapat ditentukan dengan

36 17
harian. crytococcal antigen tes yang sensitif dan spesifik.

Terapi antijamur pada infeksi HIV/AIDS dengan

kriptokokis adalah amfoterisin B intravena dengan dosis

Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS


239
Ommy Agustriadi, Ida Bagus Sutha
0,7 mg/kgBB/hari selama minimal 2 minggu dan kondisi pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae,

klinisnya stabil, kemudian diikuti pemberian flukonazol Pseudomonas aeruginosa dan Staphyloccocus aureus,

per oral 400 mg/hari. Setelah infeksi terkontrol, dimana dua patogen terakhir tersebut paling sering

dilanjutkan dengan terapi maintenance dengan menyebabkan pneumonia yang agresif-invasif serta sep-

flukonazol 200 mg/hari. Penghentian terapi maintenance sis pada stadium lanjut dari infeksi HIV. Manifestasi

ini dapat dipertimbangkan jika penderita tetap klinis pada umumnya hampir sama dengan penderita

asimptomatis, dengan CD4 >100 – 200 sel/ µL selama 6 pneumonia bakterial tanpa infeksi HIV, hanya saja terjadi

18
bulan. onset yang lebih akut dari demam (pada 96% penderita),

batuk (pada 90% penderita) dan sesaknya (pada 72%

PNEUMONIA BAKTERIAL penderita). Durasi simptom biasanya < 1 minggu. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan febris, takipnea, takikardi,

Walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa ronki dan tanda-tanda konsolidasi paru lainnya. Secara

PCP adalah infeksi oportunistik tersering pada paru, laboratoris dapat ditemukan adanya lekositosis dengan

38
namun Afesa et al. mendapatkan bahwa pneumonia shift to the left dan hipoksemia.
3,18

bakterial adalah yang tersering (34%). Insiden pneumo- Pemeriksaan radiologis thoraks didapatkan

nia bakterial adalah sekitar 100 kasus per 1000 penderita konsolidasi lobaris atau segmental, yang umumnya

infeksi HIV per tahun. Risiko untuk terjadinya pneu- digunakan sebagai prediktor pneumonia bakterial.

monia bakterial pada infeksi HIV adalah 7,8 kali lipat Namun presentasi yang tidak spesifik juga bisa

dibandingkan tanpa infeksi HIV. Mudahnya terjadi pneu- ditemukan, seperti infiltrat interstisial yang difus (sekitar

monia bakterial ini adalah akibat berbagai faktor 40% kasus), noduler, retikolunoduler atau multilobaris

termasuk defek kualitatif sel B sehingga mengurangi bahkan kavitas dan empiema.
3,5

kemampuan pembentukan antibodi yang pathogen-spe- Diagnosis pneumonia bakterial pada penderita

cific, mengganggu fungsi dan/atau jumlah netrofil serta HIV/AIDS sama dengan tanpa infeksi HIV dengan dasar

faktor non-HIV lainnya seperti Intravena Drug User klinis, laboratoris dan radiologis untuk terapi empiris.

(IVDU), merokok, alkoholisme dan penyakit penyerta Kultur sputum rutin dilakukan untuk mengetahui etiologi

lainnya. Prediktor infeksi yang paling konsisten adalah dan kepekaan kuman terhadap antibiotik. Pneumonia

18 39
jumlah CD4. Hirschtick et al. mendapatkan bahwa pneumokokal yang rekuren, baik dengan serotipe yang

kejadian pneumonia bakterial lebih tinggi pada penderita sama ataupun berbeda merupakan hal yang sering terjadi

infeksi HIV dibanding tanpa infeksi HIV, dan risiko pada pada penderita HIV/AIDS, dengan rate 8 – 25%

tertinggi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/ µ L. dalam 6 bulan.
18
Pneumonia yang rekuren dapat

5
Janoff et al. mendapatkan bahwa penyakit pneumokokal terdiagnosis secara presumptif sebagai berikut:
17

termasuk pneumonia, lebih besar 10 kali lipat dan - Rekuren (lebih dari 1 kali dalam 1 tahun),

perburukannya menjadi sepsis 100 kali lebih banyak - Pneumonia akut secara klinis dan radiologis (tanda

dibandingkan dengan populasi umum. dan gejala baru serta radiologis thorax menunjukkan

Secara klinis dan etiologis, pneumonia bakterial gambaran yang baru, yang berbeda dengan infeksi

pada penderita HIV/AIDS hampir sama dengan tanpa sebelumnya).

infeksi HIV/AIDS, walaupun peran beberapa patogen Penatalaksanaan pada dasarnya membidik pada

9
atipikal belum banyak diteliti. Diantara patogen patogen yang tersering menjadi etiologi terutama S

tersebut, etiologi tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan H influenzae (lampiran 1). Respon klinis

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 3 September 2008


240
biasanya terjadi dalam 48 – 72 jam dari awal terapi. Bila sesak dan batuk yang non produktif. Gambaran

tidak terjadi respon terhadap terapi atau terjadi radiologis thoraks bervariasi dan tidak spesifik berupa

perburukan maka diperlukan tindakan diagnostik lebih infiltrat noduler atau interstisial di perihiler dan dapat

lanjut dengan BAL atau biopsi transbronkial untuk meluas sampai basal paru (seperti gambaran PCP). Jika

mencari kausa infeksius (ataupun non-infeksius) lainnya didapatkan adanya CMV pada biopsi jaringan tanpa

dan spektrum antibiotik harus diperluas. Strategi adanya patogen lainnya disertai gejala klinis dan infiltart

pencegahan yang paling efektif adalah optimalisasi terapi interstisial yang difus pada pemeriksaan radiologis, maka

A RT, namun saat ini beberapa pusat kesehatan terapi dengan ganciclovir dapat segera diberikan.

merekomendasikan vaksin pneumokokal 23-valent Hipoksemia menunjukkan prognosis yang buruk dengan

polysaccharide (untuk CD4 ≥ 200 sel/ µL) dan vaksin mortalitas sekitar 40%. Sampai saat ini blm ada terapi

influenza untuk pencegahan superinfeksi pneumokokal


17,18
maintenance yang direkomendasikan.

18
influenza (lampiran 1).

RINGKASAN

PNEUMONIA VIRAL

Alasan terpenting mengapa sering terjadi

Selain cytomegalovirus (CMV), infeksi virus komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah

lainnya sangat jarang terdiagnosis. Infeksi CMV pada konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara

paru bervariasi dari hanya temuan yang tidak signifikan kronis terhadap bahan-bahan infeksius maupun

ataupun kebetulan sampai dengan pneumonia yang berat noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi

disertai inclusion bodies. Infeksi CMV tidak selalu dapat paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen)

terdiagnosis pre mortem karena adanya masa inkubasi yang melemahkan sistem imun. Beberapa mekanisme

yang panjang dan laten tanpa perubahan morfologi yang yang diduga menyebabkan gangguan pada mekanisme

khusus serta sulitnya mendapatkan sampel biopsi atau pertahanan paru tersebut adalah efek langsung HIV yang

sitologi yang tepat. Temuan CMV pada BAL atau spu- menginfeksi dan membunuh sel yang berfungsi melawan

tum tidak mengindikasikan adanya pneumonia saat patogen, menyebabkan defek pada sel e f e k t o r,

40,41 41
itu. Studi oleh Waxman et al. mendapatkan bahwa menyebabkan shift fungsi sel dari imunostimulatif

pada penderita HIV/AIDS dengan pneumonia karena menjadi imunosupresif dan yang t e r a k h i r,

CMV, level rerata CD4-nya adalah 29 sel/ µL. Studi mempengaruhi kapasitas migrasi limfosit, monosit atau

lainnya mendapatkan peningkatan prevalensi pneumo- netrofil di sirkulasi ke paru untuk melawan patogen.

nia karena CMV pada pemakaian kortikosteroid pada Sehingga hasil akhirnya adalah memudahkan terjadinya

penderita HIV/AIDS, survival yang lebih lama pada infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS. Hampir

penderita dengan kondisi immunocompromised berat dan 65% penderita AIDS mengalami komplikasi

5
peningkatan pemakaian profilaksis PCP. Walaupun pulmonologis dimana pneumonia karena P carinii

CMV adalah virus tersering yang menyebabkan infeksi merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh

paru pada AIDS, tapi biasanya timbul bersama-sama infeksi M tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur,

dengan infeksi patogen lainnya ataupun dengan infeksi sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi

CMV di tempat lain (pada 50% kasus) dan sangat jarang

17
sebagai infeksi tunggal.

Gejala klinis yang sering timbul adalah panas,

Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS


241
Ommy Agustriadi, Ida Bagus Sutha
DAFTAR RUJUKAN and implications for antiretroviral theurapeutics.

Ann Intern Med 2001;134:978-96.

1. Suega K, Bakta IM. Aspek hematologik infeksi 12. Hogan CM, Hammer SM. Host determinants in

HIV-AIDS. Udayana Journal of Internal Medi- HIV infection and disease part 1: cellular and

humoral immune response. Ann Intern Med


cine 2000;1(3):149-59.
2001;134:761-76.
2. Rich EA. Activation-inactivation of HIV-1 in the
13. Tw i g HL, et al. Ly m p h o c y t i c alveolitis,
lung. J Biomed Sci 1998;5:1-10.
bronchoalveolar lavage viral load, and outcome

3. Segreti J. Pulmonary complications of HIV dis- in human immunodeficiency virus infection. Am

ease. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, J Respir Crit Care Med 1999;59:1439-44.

editors. Current medical diagnosis & treatment. 14. Twig HL, et al. Impaired IgG production in the

39
th
ed. Connecticut: Prentice-Hall International; lungs of HIV-infected individuals. Cell Immunol

1996;170:127-33.
2006.p.414-23.

15. Benfield TL, et al. Alveolar damage in AIDS-re-


4. O’
neil KM. The changing landscape of HIV-re-
lated Pneumocystis carinii pneumonia. Chest
lated lung disease in the era of highly active
1997;111:1193-99.
antiretroviral therapy. Chest 2002;122:768-71.
16. Post JJ. Key opportunistic infections. In: Lewin

5. King LJ, Padley SPG. Imaging of the thorax in S, Hoy J, editors. HIV management in Australasia.

AIDS. Imaging 2002;14(1):60-76. New South Wales: Australasian Society for HIV

Medicine Inc; 2004.p.131-6.


6. Thomas CF, Limper AH. Pneumocystis pneumo-

17. Klatt EC. Respiratory tract pathology in AIDS.


nia. N Engl J Med 2004;350:2487-98.
th
In: Klatt EC, editor. Pathology of AIDS. 14 ver-
7. Taylor IK, et al. Pulmonary complications of HIV
sion. Florida: Florida State University College of

disease: 10 years retrospective evaluation of yields Medicine; 2004.p.101-14.

from bronchoalveolar lavage, 1983-93. Thorax


18. Benson CA, et al. Treating opportunistic infec-

1995;50:1240-5. tions among HIV-infected adults and adolescents

recommendations from CDC, the National Insti-


8. Beck J. The immunocompromised host. Proc Am
tutes of Health, and the HIV Medicine Associa-
Thorax Soc 2005;2:423-7.
tion/Infectious Diseases Society of America.

9. Beck J, Rosen MJ, Peavy HH. Pulmonary com- Available at: http://www.cdc.gov/hiv/topics/treat-

plications of HIV infection: report of the fourth ment/index.htm.

NHLBI workshop. Am J Respir Crit Care Med


19. Wolff AJ, O’
Donnell AE. Pulmonary manifesta-

2001;164:2120-6. tions of HIV infection in the era of highly active

antiretroviral therapy. Chest 2001;120:1888-93.


10. Park IW, et al. CD4 receptor-dependent entry of

human immunodeficiency virus type-1env- 20. Martin WJ, Pasula R. Role of alveolar macroph-

pseudotypes into CCR5-, CCR3-, and CXCR-4 age in host defense against Pneumocystis carinii.

Am J Respir Cell Mol Biol 2000;23:434-5.


expressing human alveolar macrophage is pref-

erentially mediated by the CCR5 coreceptor. Am 21 Wright TW. Immune-mediated inflammation di-

rectly impairs pulmonary function, contributing


J Respir Cell Mol Biol 1999;20:864-71.

to the pathogenesis of Pneumocystis carinii pneu-


11. Hogan CM, Hammer SM. Host determinants in
monia. J Clin Invest 1999;104:1307-17.
HIV infection and disease part 2: genetic factors

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 3 September 2008


242
22 Limper AH, Offord KP, Smith TF, MartinWJ II. 32. Pulido F, et al. Relapse of tuberculosis after treat-

Pneumocystis carinii pneumonia: differences in ment in human immunodeficiency virus-infected

lung parasite number and inflammation in patients patients. Arch Intern Med 1997;157:227-32.

with and without AIDS. Am Rev Respir Dis


33. Narita M, Ashkin D, Hollender ES, Pitchenik AE.
1989;140:1204-9.
Paradoxical worsening of tuberculosis following

23. Gruden JF, et al. High-resolution CT in the evalu- antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am

ation of clinically suspected Pneumocystis carini J Respir Crit Care Med 1998;158:157-61.

pneumonia in AIDS patients with normal, equivo-


34. Colebunders R, Lambert ML. Mangement of co-
cal, or nonspecific radiographic findings. AJR
infection with HIV and TB. BMJ 2002;324:802-3.
1997;169:967-75.
35. Lutfey M, et al. Independent origin of
24. Huang L, et al. Performance of an algorithm to
monorifampin-resistant Mycobacterium tubercu-
detect Pneumocystis carinii pneumonia in symp-
losis in patients with AIDS. Am J Respir Crit Care
tomatic H I V- i n f e c t e d persons. Chest
Med 1996;153:837-40.
1999;115:1025-32.
36. Anonim. Prevention and treatment of tuberculo-
25. Harries A, Maher D, Graham S. TB/HIV: a clini-
sis among patients infected with human immu-
nd
cal manual. 2 ed. Geneva: World Health Orga-
nodeficiency virus: principles of therapy and re-
nization; 2004.
vised recommendations. MMWR Morb Mortal

26 Havlir MD, Barnes PF. Tuberculosis in patints Wkly Rep 1998;47(RR-20):1-58.

with human immunodeficiency virus infection. N


37. Bennett JE. Cryptoccocis. In: Fauci A S,
Eng J Med 1999;340(5):367-73.
Braunwald E, Isselbacher K J, Wilson J D, Mar-

27. Soewandojo E. The management of HIV/AIDS tin J B, et al, editors. Harrison’s principles of in-
th
in pulmonary TB. In: Palilingan JF, Maranatha ternal medicine. Volume 1. 15 ed. New York:

D, Winariani, editors. TB update 2002 Global McGraw-Hill; 2001.p.604-8.

management of tuberculosis to reach an


38. Affesa B, Green W, Chiao J, Frederick W. Pul-
indonesian health for all in the year of 2010.
monary complications of HIV infection: autopsy
Surabaya: 2002.p.74-89.
findings. Chest 2004;113:1225-29.

28. Anonim. Treatment of tuberculosis: guidelines for


39. Hirschtick RE, et al. Bacterial pneumonia in per-
rd
national programmes. 3 ed. Geneva: World
son infected with the human immunodeficiency
Health Organization; 2003.
virus. N Eng J Med 1995;333:845-51.

29. Jones BE, Young SM, Antoniskis D, Davidson


40. Uberti-Foppa C, Lillo F, Terreni MR, Puglisi A,
PT, Kramer F, Barnes PF. Relationship of the
Guffanti M, Gianotti N, Lazzarin A. Cytomega-
manifestations of tuberculosis to CD4 cell counts
lovirus pneumonia in AIDS patients: value
in patients with human immunodeficiency virus
ofcytomegalovirus culture from BAL fluid and
infection. Am Rev Respir Dis 1993;148:1292-7.
correlation with lung disease. Chest

30. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan 1998;113:919-23.

tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan


41. Waxman AB, Goldie SJ, Brett-Smith H, Matthay
Dokter Paru Indonesia; 2006.
RA. Cytomegalovirus as a primary pulmonary

31. Perriëns JH, et al. Pulmonary tuberculosis in HIV- pathogen in AIDS. Chest 1997;111:128-34.

infected patients in Zaire: a controlled trial of Lampiran 1. Terapi infeksi oportunistik paru

pada penderita H IV / A ID S dew asa.


18
treatment for either 6 or 12 months. N Engl J Med

1995;332:779-84.

Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS


243
Ommy Agustriadi, Ida Bagus Sutha
18
Lampiran 1. Terapi infeksi oportunistik paru pada penderita HIV/AIDS dewasa

J Peny Dalam, Volume 9 Nomor 3 September 2008


244

You might also like