Professional Documents
Culture Documents
Ti NJ Auan Pus T Aka
Ti NJ Auan Pus T Aka
n j
auanpust
aka
OmmyAgust
riadi,IdaBagusSutha
Bagian/SM F I
lmuPenyakitDal
am FK Unud/RSUP SanglahDenpasar
e-mail: ommy_agustriadi@yahoo.com.sg
ABSTRACT
whichf
o l
lowedoraccompaniedbycer
tai
nopport
u nist
ici
n f
ect
ionsandmal
ignanci
es.Per
h apst
h emostimport
antreasonf
o rt
h e
f
requentdevel
o pmentofdiver
sepulmonar
ycompli
cat
ionsi
nHI
V/AI
DSr
elat
est
othef
actt
h att
h el
u ngi
schronical
lyexposedt
o
bothi
n f
ect
iousornon-i
n f
ect
iousai
rborneagents(
exogenousl
y )andhemat
o genousl
yspreadagents(
endogenousl
y )t
h r
o ughan
expansi
v esurf
acear
eaconsi
sti
n gofmi
lli
o nsofunit
scal
ledal
v eoli
, t
h atinfect
edal
v eolarmacr
o phagesandl
y mphocytes.
Themechanismst
h atmayplayr
o l
eofdef
ect
edl
u ngdef
endmechanismswer
edir
ectef
fectofHI
Vthatinfect
edandkil
l
cel
lscausedamagedt
otheef
fect
o rcel
lsandshif
tedcel
lsf
u nct
ionf
rom i
mmunost
imulat
ivet
oimmunosupressi
v e,t
h eni
mpai
red
mi
g r
ati
o ncapaci
tyofl
y mphocytes,monocytesornet
rophil
stol
u ng.Int
u r
n ,theopport
u nist
ici
n f
ect
ionseasi
lydevel
o ped.
I
nal
most65% AI
DS pat
ientsal
soaccompanied wi
thoppport
u nist
ici
n f
e ct
ionsi
nthel
u ng.Pneumocyst
is carinii
pneumoniaewast
h emostoft
en,foll
o wedbyM .t
ub osis i
ercul n f
ect
ion,bact
eri
alandf
u ngalpneumoniaer
espect
ivel
y.Wher
eas,
vir
alpneumoniaewasr
are.
Keywords:opport
u nist
ici
n f
ect
ions,PCP,HI
V,AI
DS
2
PENDAHULUAN HI
V (
e ndogen) yang melemahkansi
stem i
mun.
Kompli
k asipulmonologis,t
e r
u t
a ma akibati
n f
e ksi
opor
tuni
sti
k merupakan penyebab mor
bidi
tas dan
Human Immunodeficiency Virus (
HIV)adal
ah
mort
ali
tasutamaser
tabisat
erj
adipadasemuast
adium
vi
ruspenyebabAI
DS(
Acquired Immunodeficiency Syn-
3,
4
denganber
b agaimanif
est
asi
.
drome)dimanapenyakiti
n idit
a ndaiolehi
n f
e ksi
Hi
n ggasaati
n iwal
aupun manaj
emeni
n f
e ksi
oport
uni
sti
kdanat
aubeber
apaj
eni
skeganasant
ert
ent
u
HI
V/AI
DS berkembang pesatnamun kompl
ikasi
yangdiakibat
k anolehkeadaanberkurangnyaf
u ngsi
pulmonologismasi
h menjadikompli
k asiyangutama
1
i
munpender
itaakibati
n f
eks V.Al
iHI asant
erpenti
n g
5
(
p enyebab30–40% masukr
u mahs
a ki
t).Hampi
r 65%
mengapas
e r
ingt
erj
adikompl
ikasipul
monol
ogi
spada
pender
itaAI
DS mengal
amikompli
k asipulmonologis
i
nfeksiHI
Vadal
ahkonsekuensianat
omi
spar
usehi
ngga
di
manapneumoni
akar
enaP carinii mer
u pakani
nfeksi
t
erpapars
e car
akroni
ster
h adapbahan-bahani
nfeksi
us
oport
u nist
ikt
erser
ing,dii
k utiolehi
n f
eksiM t
ubercul
o-
maupunnoninfeksi
u sdar
iluar(
eksogen),disi
sil
ain
sis,pneumoni
abakt
eri
aldanj
amur,s
e dangkanpneu-
j
ugat
erj
adipapar
ans
e car
ahemat
ogent
erhadapvi
rus 3,
6,7
moniavir
allebihj
arangt
erj
adi.
AspekPulmonologisI
n f
eksiOport
u nist
ikpadaI
n f
eksiHI
V/AI
DS
233
Ommy Agust
riadi,Ida Bagus Sut
h a
Berbagai infeksi oportunistik yang ditemukan Makrofag alveoler merupakan reservoir HIV yang
pada infeksi HIV/AIDS menunjukkan bahwa HIV utama. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV
melumpuhkan mekanisme pertahanan paru secara reverse transcriptase dari hasil Bronchoalveolar Lavage
signifikan. Walaupun banyak penelitian terfokus pada (BAL). Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan
efek sistemik infeksi HIV namun penelitian dan literatur makrofag alveoler dan ko-reseptor yang paling berperan
10
tentang mekanisme imun paru pada infeksi HIV masih adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4.
sedikit jumlahnya. Pada beberapa keadaan defek imun Infeksi oleh strain M-tropic dapat diblokir oleh CC
yang terjadi di perifer juga terjadi di paru dan pada situasi chemokines RANTES, macrophage inflammatory pro-
lainnya efek infeksi HIV di sel paru berbeda dengan tein-1 αdan β yang berperan sebagai ligand CCR5.
8,11
EFEK INFEKSI HIV PADA PARU runan yang cepat status imunologik penderita.
Makrofag dan limfosit alveoler yang terdapat di masuknya virus: dengan bantuan limfosit CD4 (T-hel-
permukaan epitel alveoli adalah sel defender utama per), maka limfosit CD8 yang merupakan efektor sistem
alveoler oleh HIV (paparan endogen) merupakan proses melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel
krusial pada patogenesis penyakit paru pada AIDS. limfosit sitotoksik CD8 ini akan aktif dan berproliferasi
Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan receptor sebagai respon terhadap adanya epitope virus HIV,
untuk masuknya HIV dan untuk masuknya virus ke sehingga menekan replikasi virus secara langsung (gam-
dalam sel diperlukan kerjasama dengan ko-reseptor bar 2). Walaupun telah ada mekanisme penekanan ini,
kemokin. CCR5 adalah ko-reseptor yang digunakan namun replikasi virus tetap berlangsung (mekanisme-
untuk menginfeksi makrofag oleh strain monoscyte- nya masih belum jelas) sehingga terjadi destruksi dan
tropic (M-tropic), namun tidak untuk menginfeksi penurunan jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya
limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk strain menyebabkan respon CTL CD8 menjadi suboptimal
dengan baik)
12
Gambar 1. Strain T-tropic menginfeksi sel T, melalui antigen-presenting cell
reseptor. Starin M-tropic menginfeksi makrofag alveoler Pada suatu studi, didapatkan terjadinya penurunan
dengan menggunakan CCR5 sebagai ko-reseptor, jumlah limfosit CD4 (dari hasil BAL) disertai dengan
17,18 19
perifer. Pada beberapa penderita menunjukkan simptom mortalitas berkisar antara 10 – 40%. Wolff et al.
pulmonologis sebagai akibat influks limfosit CD8 ke mendapatkan bahwa HAART (Highly Active Anti
sel paru (lymphoid interstitial pneumonitis), dimana hal Retroviral Therapy) merupakan suatu proteksi terhadap
ini berkorelasi dengan tingginya viral load. Namun pada PCP sehingga menurunkan risiko terjadinya PCP. Cara
tahap lanjut jumlah limfosit CD8 ini juga mengalami penularan/transmisi pada manusia diduga melalui rute
8,13
penurunan. respirasi, dan reservoirnya diduga bersumber dari
3
Pada studi lainnya, didapatkan bahwa lingkungan atau manusia lainnya. Setelah terpapar, P
abnormalitas sel B terjadi pada masa-masa awal infeksi carinii menempel pada sel epitel alveoler dan merupakan
(sebelum terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan tahap yang penting untuk terjadinya respon imun. Untuk
pembentukan antibodi sebagai respon terhadap mitogen maksimalisasi kemampuan makrofag alveoler dalam
dan gangguan inisiasi sistesis antibodi secara normal mendeteksi dan clearence patogen, maka diperlukan
sebagai respon terhadap antigen. Penurunan konsentrasi sitokin-sitokin tertentu, seperti: interferon gamma (IFN-
IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan γ), TNF- α dan granulocyte macrophagecolony stimu-
kemampuan makrofag alveoler dalam merangsang lating factor (GM-CSF). Pada infeksi HIV terjadi deplesi
14
sekresi IgG dari sel B. Mekanisme defensif lainnya sel efektor imun seperti limfosit T, sehingga mengurangi
adalah surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveoler jumlah sumber sitokin yang mengaktivasi makrofag
tipe II) yang secara fisiologis berguna untuk menurunkan alveoler tersebut. Hasil akhirnya, clearence P carinii
tegangan permukaan sehingga memudahkan reinflasi menjadi jauh menurun dan terjadi survival serta replikasi
pada setiap akhir ekspirasi. Surfaktan tersusun atas P carinii di ruang alveoler dan terjadilah pneumo-
15,20,21
kompleks fosfolipid dan protein spesifik, sel-sel nia.
bronkoalveoler juga terdapat didalamnya.Surfaktan Presentasi klinis PCP biasanya terjadi pada
menekan proses oksidatif dan produksi beberapa jenis penderita tanpa profilaksis kotrimoksazol sebelumnya,
sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF- α (sitokin-sitokin CD4 <200 sel/ µl atau persentase sel CD4 <14% (pada
yang merangsang replikasi virus HIV), menghambat sekitar 90% kasus) dengan onset sub akut berupa demam,
aktivasi limfosit sehingga menghambat replikasi virus batuk non produktif, rasa berat di dada dan sesak yang
2
HIV. Paparan terhadap infeksi mikroorganisme tertentu, progresif dalam beberapa hari sampai dengan
16,17
misalnya P carinii akan merangsang produksi TNF- α minggu. Pada kasus ringan pemeriksaan fisik
oleh makrofag alveoler, berikutnya TNF- α akan biasanya normal, namun dengan exercise didapatkan
mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus mengganggu early oxygen desaturation, sesak, hipoksia, takipnea,
sistesis protein surfaktan, dan akhirnya terjadi deplesi takikardi dan rales kering (cellophane) pada auskultasi
2,15 6,18
natural antiviral factor pada paru. paru. Karakter lain PCP pada infeksi HIV/AIDS
PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA netrofil yang lebih sedikit (dibandingkan tanpa infeksi
22
HIV/AIDS). Limper et al. mendapatkan bahwa umlah
Pneumocystis carinii diklasifikasikan sebagai sel radang yang lebih sedikit ini berhubungan dengan
jamur. PCP merupakan infeksi oportunistik tersering oksigenasi yang lebih baik, jika dibandingkan dengan
3,16
pada infeksi HIV/AIDS. Lebih dari separuh (70 – penderita PCP tanpa infeksi HIV/AIDS. Peningkatan
80%) penderita AIDS mendapatkan paling sedikit satu lactate dehydrogenase (LDH) menjadi >500 mg/dL
karena penyakit paru lain juga dapat mengakibatkan < 70 mmHg atau gradien arterial-alveoler > 35;DAN
peningkatan tersebut.
17
Pada pemeriksaan rontgenologis - Tidak terbukti adanya pneumonia bakterial.
dada pada kasus ringan kemungkinan menunjukkan hasil Manajemen PCP tergantung dari derajat berat –
yang normal, seiring memberatnya penyakit secara ringannya pneumonia yang terjadi. Pada pneumonia
tipikal didapatkan infiltrat interstisial yang simetris dan yang sedang – berat atau berat, penderita harus di MRS-
difus, yang bermula dari hilus dan membentuk gambaran kan karena mungkin memerlukan bantuan ventilator
18
seperti kupu-kupu. Namun presentasi atipikal berupa (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol
nodul, bleb, serta kista dapat pula dijumpai. Jika intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan
didapatkan gambaran pneumothorax dan efusi pleura selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan
yang merupakan komplikasi PCP, perlu dipikirkan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan
penyakit penyerta atau diagnosis banding lainnya (kira- antibiotika per oral untuk jika sudah memungkinkan.
kira 13 – 18% penderita PCP juga menderita penyakit Hipoksemia yang signifikan (PaO < 70 mmHg atau
2
lainnya, seperti: TBC paru, sarkoma Kaposi atau pneu- gradien arterial-alveoler > 35), memerlukan
monia bakterial).
6,18
Ketika hasil rontgenologis thorax kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam
normal, pemeriksaan dengan CT scan resolusi tinggi, 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko
16,18
dapat menunjukkan gambaran ground glass yang tipis komplikasi dan memperbaiki prognosis. Pada kasus-
Diagnosis definitif PCP dibuat berdasarkan bukti terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin
histopatologi, bronkoskopi dengan BAL atau induced intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin
sputum kemudian dilakukan analisis imunofluoresensi. (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat
Sedangkan diagnosis dengan Polymerase Chain Reac- diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus
16,18
et al.
24
mendapatkan bahwa dengan suatu algoritme orin (lampiran 1).
klinis, rontgenologis dan pengukuran kapasitas difusi Karena adanya efek toksisitas aditif atau
karbondioksida paru dapat mengetahui probabilitas di- sinergistik yang berhubungan dengan terapi PCP dan
agnosis PCP. Namun algoritme ini masih memerlukan antiretroviral (ARV), beberapa pusat kesehatan tertentu
penelitian lebih lanjut. Secara praktis untuk keperluan menunda ART sampai selesainya terapi PCP. Secara
terapi, dapat digunakan diagnosis presumptif sebelum klinis, kegagalan terapi adalah tidak terdapat perbaikan
didapatkan hasil untuk diagnosis pastinya. Diagnosis atau terjadinya perburukan fungsi paru (pemeriksaan
- Riwayat sesak p a d a e x e rc i s e atau batuk non anti-PCP, tanpa bukti adanya infeksi lain yang menyertai
produktif, dengan onset dalam 3 bulan terakhir ini; (concomitant infection). Sekitar 33% dari jumlah
- Rontgenologis thorax nampak infiltrat interstisial 10% karena kurangnya efikasi obat. Terapi tambahan
yang bilateral dan difus atau gallium scan tampak atau pengalihan ke terapi alternatif dapat dilakukan untuk
gambaran penyakit paru yang difus dan bilateral; manajemen toksisitas obat terkait terapi (therapy related
18
DAN toxicity).
dasikan pada penderita dengan CD4 < 200 sel/ µL atau memperburuk prognosis penderita.
26,27
menjadi > 200 sel/ µL dan limfosit > 14% selama mini- infeksi HIV yang berat sangat berbeda, dimana infiltrat
16
mal 3 bulan. Namun profilaksis dapat kembali
dapat terlihat di lobus tengah atau bawah paru, dapat
TUBERKULOSIS PARU
fungsi imun yang masih intact lebih mudah didapatkan
p e n y e b a b k e m a t i a n p a d a s e k i t a r 11 % p e n d e r i t a .
sputum semakin kecil dan secara histopatologi gambaran
pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita 25,29
terbentuk atau bahkan tidak terbentuk sama sekali.
memproduksi TNF- α, IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan semua penderita HIV/AIDS dengan infiltrat pada paru,
30 intensif:
rekomendasi yang ada (tabel 1). Namun pada beberapa
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, fase lanjutan tidak meng-
c
terutama rifampicin karena rangsangannya terhadap gunakan rifampisin
nucleosidase reverse trancriptase inhibitor (NNRTI), CD4 tidak Mulai terapi TBC Pertimbangan ARV
kan untuk
darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat
diperiksa
incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi
Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak Untuk TBC ekstraparu, ARV harus diberikan secepatnya setelah
efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan terapi TBC dapat ditoleransi, tanpa memandang CD4.
Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV atau ZDV/
meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian e. Kecuali HIV stadium IV, mulai ARV setelah terapi TBC selesai.
26,28 f. Bila tak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita
bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan.
terapi TBC dapat ditoleransi kasi untuk ibu hamil Pada sekitar 36% penderita tuberkulosis aktif yang
(antara 2 minggu – 2 bulan) atau perempuan usia
mendapatkan OAT dan ARV secara simultan, terjadi
Paduan yang mengandung subur tanpa kontrasepsi,
EFV
d
sehingga EFV dapat
reaksi paradoksal (kemungkinan akibat terjadinya im-
diganti
b
mune restitution) dengan tanda dan gejala seperti demam
paradoksal, etiologi lainnya harus disingkirkan terlebih Mikosis paru pada penderita infeksi HIV/AIDS
dahulu. Reaksi ini bersifat self limiting (umumnya 10 – kemungkinan merupakan suatu progresi infeksi primer
40 hari), namun pada reaksi yang berat dapat diberikan atau reaktivasi dari kondisi laten yang akhirnya
terapi prednison 1-2 mg/kg berat badan selama 1 – 2 bermanifestasi karena kondisi imun yang menurun. Saat
minggu, lalu dosis di tappering off. Isoniazid dan NRTI ini, di era penggunaan HAART, belum diketahui
sama-sama berefek samping neuropati p e r i f e r. pengaruhnya terhadap insiden mikosis paru, karena di-
Pemakaian simultan kedua obat tersebut meningkat agnosis mikosis paru masih merupakan problem
9
toksisitas isoniazid dan memperberat gejala neuropati tersendiri. Beberapa spesies jamur yang sering menjadi
perifer. Sehingga pada manajemen tuberkulosis pada etiologi mikosis paru pada penderita infeksi HIV/AIDS
infeksi HIV/AIDS prinsipnya adalah terapi adalah Cryptococcus neoformans, Apergillus fumigatus,
28,33,34
diprioritaskan pada tuberkulosisnya. Histoplasma capsulatum dan Nocardia asteroides.
Masalah lainnya pada terapi tuberkulosis pada Diantara spesies jamur tersebut, C neoformans yang
infeksi HIV/AIDS adalah sering terjadi monoresistensi paling sering menyebabkan pneumonia (sekitar 15%
5
terhadap rifampisin tapi masih susceptible terhadap episode) dibandingkan yang lainnya dan biasanya terjadi
37
isoniazid. Monoresistensi ini diduga terjadi karena pada fase lanjut infeksi HIV. Infeksi yang terjadi diduga
mutasi strain M tuberculosis yang drug-susceptible, setelah terhirup udara yang mengandung yeast yang tidak
bukan karena transmisi penularan oleh strain yang berkapsul, namun mekanisme sesungguhnya masih
35
memang resisten rifampisin. belum jelas.
Tindakan profilaksis terhadap infeksi patogen Tanda dan gejala pneumonia tidak spesifik,
lainnya menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita umumnya berupa demam, berkeringat, rasa lelah dan
tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS. WHO sakit kepala, 20 – 30% penderita mengeluh batuk dan
17,37
merekomendasikan profilaksis kotrimoksazol dengan sesak, 40% mengeluh nyeri dada. Gambaran
dosis harian 960 mg. Namun diperlukan studi lebih lanjut radiologis thoraks umumnya berupa pneumonia
untuk mengevaluasi keuntungan terapi, durasi, feasibility interstisial yang difus dengan infiltrat interstisial, namun
28
dan efektifitas regimen ini. Profilaksis terhadap gambaran lain seperti konsolidasi fokal atau keseluruhan
tuberkulosis diberikan jika telah terbukti tidak ada paru, bayangan ground-glass, nodul-nodul milier,
tuberkulosis aktif pada penderita dengan tes tuberkulin cavitas, efusi pleura dan limfadenopati hilus dapat pula
5
positif saat ini, atau pernah tes tuberkulin positif dan ditemukan. Karena gejala dan tanda serta gambaran
belum mendapat terapi profilaksis sebelumnya, atau radiologis thoraks yang tidak spesifik tersebut, diagno-
adanya riwayat kontak dekat (close contact) dengan sis infeksi kriptokokal pada paru sangat sulit dibuat. Di-
26
penderita tuberkulosis. Obat yang diberikan profilaksis agnosis pasti dibuat berdasarkan hasil biopsi, dan secara
adalah isoniazid selama 9 bulan dengan dosis harian atau mikroskopis ditemukan adanya kriptokokus pada
17,37
2 kali seminggu, atau salah satu dari pirazinamid, jaringan atau granuloma. Namun secara klinis dan
rifampisin atau rifabutin selama 2 bulan dengan dosis laboratoris, diagnosis dapat ditentukan dengan
36 17
harian. crytococcal antigen tes yang sensitif dan spesifik.
klinisnya stabil, kemudian diikuti pemberian flukonazol Pseudomonas aeruginosa dan Staphyloccocus aureus,
per oral 400 mg/hari. Setelah infeksi terkontrol, dimana dua patogen terakhir tersebut paling sering
dilanjutkan dengan terapi maintenance dengan menyebabkan pneumonia yang agresif-invasif serta sep-
flukonazol 200 mg/hari. Penghentian terapi maintenance sis pada stadium lanjut dari infeksi HIV. Manifestasi
ini dapat dipertimbangkan jika penderita tetap klinis pada umumnya hampir sama dengan penderita
asimptomatis, dengan CD4 >100 – 200 sel/ µL selama 6 pneumonia bakterial tanpa infeksi HIV, hanya saja terjadi
18
bulan. onset yang lebih akut dari demam (pada 96% penderita),
Walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa ronki dan tanda-tanda konsolidasi paru lainnya. Secara
PCP adalah infeksi oportunistik tersering pada paru, laboratoris dapat ditemukan adanya lekositosis dengan
38
namun Afesa et al. mendapatkan bahwa pneumonia shift to the left dan hipoksemia.
3,18
bakterial adalah yang tersering (34%). Insiden pneumo- Pemeriksaan radiologis thoraks didapatkan
nia bakterial adalah sekitar 100 kasus per 1000 penderita konsolidasi lobaris atau segmental, yang umumnya
infeksi HIV per tahun. Risiko untuk terjadinya pneu- digunakan sebagai prediktor pneumonia bakterial.
monia bakterial pada infeksi HIV adalah 7,8 kali lipat Namun presentasi yang tidak spesifik juga bisa
dibandingkan tanpa infeksi HIV. Mudahnya terjadi pneu- ditemukan, seperti infiltrat interstisial yang difus (sekitar
monia bakterial ini adalah akibat berbagai faktor 40% kasus), noduler, retikolunoduler atau multilobaris
termasuk defek kualitatif sel B sehingga mengurangi bahkan kavitas dan empiema.
3,5
kemampuan pembentukan antibodi yang pathogen-spe- Diagnosis pneumonia bakterial pada penderita
cific, mengganggu fungsi dan/atau jumlah netrofil serta HIV/AIDS sama dengan tanpa infeksi HIV dengan dasar
faktor non-HIV lainnya seperti Intravena Drug User klinis, laboratoris dan radiologis untuk terapi empiris.
(IVDU), merokok, alkoholisme dan penyakit penyerta Kultur sputum rutin dilakukan untuk mengetahui etiologi
lainnya. Prediktor infeksi yang paling konsisten adalah dan kepekaan kuman terhadap antibiotik. Pneumonia
18 39
jumlah CD4. Hirschtick et al. mendapatkan bahwa pneumokokal yang rekuren, baik dengan serotipe yang
kejadian pneumonia bakterial lebih tinggi pada penderita sama ataupun berbeda merupakan hal yang sering terjadi
infeksi HIV dibanding tanpa infeksi HIV, dan risiko pada pada penderita HIV/AIDS, dengan rate 8 – 25%
tertinggi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/ µ L. dalam 6 bulan.
18
Pneumonia yang rekuren dapat
5
Janoff et al. mendapatkan bahwa penyakit pneumokokal terdiagnosis secara presumptif sebagai berikut:
17
termasuk pneumonia, lebih besar 10 kali lipat dan - Rekuren (lebih dari 1 kali dalam 1 tahun),
perburukannya menjadi sepsis 100 kali lebih banyak - Pneumonia akut secara klinis dan radiologis (tanda
dibandingkan dengan populasi umum. dan gejala baru serta radiologis thorax menunjukkan
Secara klinis dan etiologis, pneumonia bakterial gambaran yang baru, yang berbeda dengan infeksi
infeksi HIV/AIDS, walaupun peran beberapa patogen Penatalaksanaan pada dasarnya membidik pada
9
atipikal belum banyak diteliti. Diantara patogen patogen yang tersering menjadi etiologi terutama S
tersebut, etiologi tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan H influenzae (lampiran 1). Respon klinis
tidak terjadi respon terhadap terapi atau terjadi radiologis thoraks bervariasi dan tidak spesifik berupa
perburukan maka diperlukan tindakan diagnostik lebih infiltrat noduler atau interstisial di perihiler dan dapat
lanjut dengan BAL atau biopsi transbronkial untuk meluas sampai basal paru (seperti gambaran PCP). Jika
mencari kausa infeksius (ataupun non-infeksius) lainnya didapatkan adanya CMV pada biopsi jaringan tanpa
dan spektrum antibiotik harus diperluas. Strategi adanya patogen lainnya disertai gejala klinis dan infiltart
pencegahan yang paling efektif adalah optimalisasi terapi interstisial yang difus pada pemeriksaan radiologis, maka
A RT, namun saat ini beberapa pusat kesehatan terapi dengan ganciclovir dapat segera diberikan.
merekomendasikan vaksin pneumokokal 23-valent Hipoksemia menunjukkan prognosis yang buruk dengan
polysaccharide (untuk CD4 ≥ 200 sel/ µL) dan vaksin mortalitas sekitar 40%. Sampai saat ini blm ada terapi
18
influenza (lampiran 1).
RINGKASAN
PNEUMONIA VIRAL
Selain cytomegalovirus (CMV), infeksi virus komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah
lainnya sangat jarang terdiagnosis. Infeksi CMV pada konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara
paru bervariasi dari hanya temuan yang tidak signifikan kronis terhadap bahan-bahan infeksius maupun
ataupun kebetulan sampai dengan pneumonia yang berat noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi
disertai inclusion bodies. Infeksi CMV tidak selalu dapat paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen)
terdiagnosis pre mortem karena adanya masa inkubasi yang melemahkan sistem imun. Beberapa mekanisme
yang panjang dan laten tanpa perubahan morfologi yang yang diduga menyebabkan gangguan pada mekanisme
khusus serta sulitnya mendapatkan sampel biopsi atau pertahanan paru tersebut adalah efek langsung HIV yang
sitologi yang tepat. Temuan CMV pada BAL atau spu- menginfeksi dan membunuh sel yang berfungsi melawan
tum tidak mengindikasikan adanya pneumonia saat patogen, menyebabkan defek pada sel e f e k t o r,
40,41 41
itu. Studi oleh Waxman et al. mendapatkan bahwa menyebabkan shift fungsi sel dari imunostimulatif
pada penderita HIV/AIDS dengan pneumonia karena menjadi imunosupresif dan yang t e r a k h i r,
CMV, level rerata CD4-nya adalah 29 sel/ µL. Studi mempengaruhi kapasitas migrasi limfosit, monosit atau
lainnya mendapatkan peningkatan prevalensi pneumo- netrofil di sirkulasi ke paru untuk melawan patogen.
nia karena CMV pada pemakaian kortikosteroid pada Sehingga hasil akhirnya adalah memudahkan terjadinya
penderita HIV/AIDS, survival yang lebih lama pada infeksi oportunistik pada penderita HIV/AIDS. Hampir
penderita dengan kondisi immunocompromised berat dan 65% penderita AIDS mengalami komplikasi
5
peningkatan pemakaian profilaksis PCP. Walaupun pulmonologis dimana pneumonia karena P carinii
CMV adalah virus tersering yang menyebabkan infeksi merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh
paru pada AIDS, tapi biasanya timbul bersama-sama infeksi M tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur,
dengan infeksi patogen lainnya ataupun dengan infeksi sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi
17
sebagai infeksi tunggal.
1. Suega K, Bakta IM. Aspek hematologik infeksi 12. Hogan CM, Hammer SM. Host determinants in
HIV-AIDS. Udayana Journal of Internal Medi- HIV infection and disease part 1: cellular and
ease. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, J Respir Crit Care Med 1999;59:1439-44.
editors. Current medical diagnosis & treatment. 14. Twig HL, et al. Impaired IgG production in the
39
th
ed. Connecticut: Prentice-Hall International; lungs of HIV-infected individuals. Cell Immunol
1996;170:127-33.
2006.p.414-23.
5. King LJ, Padley SPG. Imaging of the thorax in S, Hoy J, editors. HIV management in Australasia.
AIDS. Imaging 2002;14(1):60-76. New South Wales: Australasian Society for HIV
9. Beck J, Rosen MJ, Peavy HH. Pulmonary com- Available at: http://www.cdc.gov/hiv/topics/treat-
human immunodeficiency virus type-1env- 20. Martin WJ, Pasula R. Role of alveolar macroph-
pseudotypes into CCR5-, CCR3-, and CXCR-4 age in host defense against Pneumocystis carinii.
erentially mediated by the CCR5 coreceptor. Am 21 Wright TW. Immune-mediated inflammation di-
lung parasite number and inflammation in patients patients. Arch Intern Med 1997;157:227-32.
23. Gruden JF, et al. High-resolution CT in the evalu- antiretroviral therapy in patients with AIDS. Am
ation of clinically suspected Pneumocystis carini J Respir Crit Care Med 1998;158:157-61.
27. Soewandojo E. The management of HIV/AIDS tin J B, et al, editors. Harrison’s principles of in-
th
in pulmonary TB. In: Palilingan JF, Maranatha ternal medicine. Volume 1. 15 ed. New York:
31. Perriëns JH, et al. Pulmonary tuberculosis in HIV- pathogen in AIDS. Chest 1997;111:128-34.
infected patients in Zaire: a controlled trial of Lampiran 1. Terapi infeksi oportunistik paru
1995;332:779-84.