You are on page 1of 12
AIT ISP Ee a foley] NV ISOTONOW1Nd Yvrv Nuna ( znying Fe = le UCT Cas Faisal Yunus rT) CT Mutya Pa EST} BUKU AJAR PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI Led Scmntig pustakoun Nasional RE Data Katalog dalam Terbtan (KDT) ajar pulmonologi dan Kedokteran respirasi/ ‘lilo, Menald Rasmin.. et]. Jakarta: UI Publishing, 2018, ny 489 him 1926 em, ISN 978-979-456-690-9 (no ji lengkap) ISHN 976-979-456-691-6 (iid 1) ISIN 978-979-456.692-8 Gilid2) ISIN 979-979-456.693-0 Gj J, Pemapasan ~ Penyakit 1. Menai Rasin 616.12 1 penerbitdiindungl Undang-Undang ‘Cotahan Pert, 2017 © Mak porparang Fiditor: Menaldi Rasmin, a. ‘leh; Ul Publishing Penrbit: Ut Publishing Hehexjasna dengan’ Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Palo Salen 4, Jkt 10430, Telp, 31938878, Fax. 31930172 ‘ennai wpublishing@ ui ae id fo: www nipublishing acid Tim Editor Menaldi Rasmin Anwar Jusuf Muhammad Amin Mohamad Arifin Nawas Ida Bagus Ngurah Rai Faisal Yunus ‘Tjandra Yoga Aditama Suradi Tamsil Syafiuddin Malyadi ‘Agus Dwi Susanto ‘Vim Penyusun Buku Ajar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Agus Dwi Susanto Susanthy Djajalaksana Nurfanida Librianty Frlang Samoedro Herry Priyanto ‘Amira Permatasari Tarigan Oca Khairsyaf Boedi Swidarmoko Mukhtar Tkhsan Prasenohadi Tim Kompitasi Naskah ‘Agus Dwi Susanto ‘Nurfanida Libtianty Annis Dian Harlivasari Shaogi Syam a Fathana ia Imani Fanny Pachrueha Nurfalitiatul Zannah Sita Laksmi Andatini Erlina Burhan Reviono Laksmi Wulandari Tri Wahju Astuti Isnin Anang Marhana Trawaty Djaharuddin TNengah Artika Ali Assagat DAFTAR ISI ATA PENGANTAR .. EATA SAMBUTAN KETUA KOLEGIUM PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASL....... KATA SAMBUTAN KETUA PERHIMPUNAN DOKTER PARU INDONESIA (PDP1) DAFTAR KONTRIBUTOR .. BAB VII. ONKOLOGI 1, Biologi sel kanker paru. Jamal Zaini, Achmad Hudoyo 2. Kanker paru karsinoma bukan sel keeil Jamal Zaini, Elisna Syahruddin, Sita Laksmi Andarini 3. Kanker paru karsinoma sel kecil.. Faldy Soeratman, Achmad Mulawarman Jayusman, Arif Riswahyudi Hanafi, M. Alfin Hanif 4, ‘Tumor mediastinum .. Laksmi Wulandart 5. Mesotelioma pleura (Keganasan pleura) .. dvr. I <2 50) Ana Rima Setijajdi, Noni Novisari Soeroso 23 35 6. Efusi pleura ganas 65 Eddy Soeratman, Achmad Mulawarman Jayusman, Arif Riswahyudi Hanafi, M. Alfin Hanif 7. ‘Tumor dinding dada .. | Laksmi Wulandari, "| 8, Metastasis tumor di par... 9 ‘Nunuk Sri Muktat, Suryanti Dwi Prati, Dewa Putu Ardana 9. Evaluasi: RECIST, 122 Sabrina Ermayanti, Sri Melati Munir BAB VIII. PENYAKIT PAARU KERJA DAN LINGKUNGAN 1. Prinsip-prinsip diagnosis penyakit paru kerja... 129 Mukhtar Ikhsan 2. Klasifikasi internasional radiografi ILO untuk pneumokoniosis ......_ 139 Mukhtar Ikhsan 3. Pheumokoniosis, 152 Ida Bagus Ngurah Rai Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 4, Silikosis.. Ida Bagus Ngurah Rai 5. Pneumokoniosis batu bara Maimunah, Nurrahmah Yusuf 6. Penyakit paru terkait asbes Maimunah, Nurrahmah Yusuf 7. Asma kerja Be Faisal Yunus, Yusuf Kolewara, Agus Dwi Susanto 8. Bisinosis : nnn Surya Hajar 9. Pneumonitis hipersensitif. Feni Fitriani, Achmad Faik Falais Sri Wening Pamungkasningsih Putu Ayu Diah, Riyadi Soetarto, 10. Farmer's Lung Disease... Triwahyu Astuti 11, Polusi udara dan kesehatan para Erlang Samoedro 12, Sick Building Syndrome ‘Mukhtar Ikhsan 13. Inhalasi zat toksik .. Erlang Samoedro, Slamet Hariadi 14, Penyakit paru pada ketinggian Fachrial Harahap 15. Penyakit paru pada penyelam: Winariani Koesoemoprodjo, Ariani Permatasari 16. Kanker paru akibat kerja Ida Bagus Ngurah Rai 17. Perubahan iklim dan keschatan paru ee Mukhtar Ikhsan 18, Pencegahan pada penyakit paru akibat kerja... ‘Agus Dwi Susanto, Dewiyana Andari Kusmana BAB IX. GAWAT DARURAT NAPAS xiv 1. Hemoptisis .. Yusup Subagio Sutanto, Indra Yofi 2. Pneumomediastinum . Yusrizal Chan, Oca Khairsyaf 3. Tenggelam (near drowning). Ngakan Putu Parsama Putra 4. Sindroma vena kava superior. Buku Ajar- Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 157 165 172 184 193 203 212 218 225 233 239 252 274 280 284 297 330 338 346 JUDUL. Sick Building Syndrome NAMA PENULIS Mukhtar Ikhsan DEFINISI Sick Building Syndrome (SBS) adalah suatu istilah untuk menggambarkan gejala kesehatan akut berupa iritasi pada kulit, membran mukosa dan gejala lain yang dialami oleh pekerja/penghuni gedung modern tetapi tidak merupakan_ penyakit spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.'” Keluhan ini dapat terjadi lokal di ruangan khusus suatu gedung atau dapat tersebar di seluruh lokasi gedung.”*° EPIDEMIOLOGI Pada tahun 1984, WHO menyatakan bahwa hampir 30 persen gedung bar yang tersebar di dunia memberikan keluhan kepada penghuninya yang dihubungkan dengan [AQ (Indoor Air Quality). Kondisi ini sering bersifat sementara tetapi dapat juga berlangsung dalam waktu lama aakibat pengoperasian dan pemeliharaan gedung yang tidak Konsisten sesuai desain awal atau prosedur yang telah ditentukan, dapat juga akibat desain gedung yang kurang baik. Penelitian terhadap 446 gedung di Amerika oleh Occupational Safety and Health Act (OSHA) melaporkan bahwa 52% penyebab polusi dalam gedung karena ventilasi tidak adekuat, pencemaran dari alat ataupun bahan yang ada di dalam gedung 17%, polusi dari luar gedung 11%, pencemaran mikroba 5%, pencemaran dari bahan bangunan atau alat kantor 3% dan tidak diketahui sumber pencemaran 12%! ETIOLOGI/KAUSA/FAKTOR PENCETUS, ‘Tidak ada penyebab spesifik yang dapat menimbulkan gejala SBS tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya SBS yaitu: 1, Ventilasi yang tidak adekuat, kelembaban dan suhu ruangan. Konsep SBS mulai diperkenalkan pada pertengahan tahun 1970 ketika terjadi pengurangan produksi minyak dunia dan krisis energi, sehingga terjadi perubahan rancangan gedung menjadi lebih kedap udara dengan sedikit ventilasi udara dari Iuar gedung dan penggunaan udara yang disirkulasi ulang dari sistem HVAC (Heating, ventilation and air-conditioning system) meningkat secara bermakna untuk menghemat pemakaian energi. Keadaan ini menyebabkan menurunnya laju ventilasi dalam gedung yang sebelumnya 15 ms/menit/orang (sesuai standar saat itu) menjadi hanya 5 mv/menit/orang, ditambah dengan sistem HVAC yang rusak dan jarang dibersihkan akan meningkatkan polusi dalam gedung sehingga menyebabkan timbulnya masalah kesehatan dan kenyamanan pada pegawai gedung.”* American Society of Heating, Refrigeration and Air-Conditioning Engineers (ASHRAE) menganjurkan laju. ventilasi standar dalam gedung 20 my/menitorang, di sekolah 15 ms/menit/orang dan pada lingkungan perokok 25-125 ms/menit/orang.”"” Selain itu penting untuk mengatur lokasi ventilasi udara masuk agar tidak berdekatan dengan Jokasi ventilasi udara keluar agar polusi dalam ruangan gedung dapat larut dan keluar dati gedung serta pengaturan sumber udara masuk agar berjauhan dari sumber polusi (area parkir, jalan raya) sehingga kualitas udara dalam gedung dapat terjaga dengan baik."” 2. Kelembaban dan suhu ruangan, The Property Council of Australia menyatakan bahwa ventilasi di dalam gedung harus dapat mempertahankan kelembaban udara 40 sampai 60%. Kelembabkan terlalu rendah akan membuat udara menjadi kering, kadar debu dan serat dalam udara meningkat sehingga permukaan kulit, mata dan saluran napas menjadi kering dan teriritasi. Kelembaban udara diatas 70% akan menyebabkan lumut dan mikroorganisme lainnya berkembang biak, perubahan warna, pengelupasan permukaan material, noda basah dan bau jamur sebagai penanda kelembaban yang tinggi. Mikroorganisme akan mengeluarkan spora, fragmen, sel dan senyawa yang mudah menguap di dalam dara gedung. Selain itu suhu udara dalam gedung yang dapat memberikan kenyamanan pada pegawainya adalah 20-24°C saat musim panas dan 23-26°C saat musim dingin."° 3. Bahan kontaminan kim Sumber kontaminan dari luar gedung seperti asap kendaraan bermotor dan asap buangan gedung dapat masuk kembali melalui jendela yang terbuka, Lokasi ventilasi udara masuk yang berdekatan dengan saluran pembuangan. Sumber kontaminan dari dalam gedung terutama VOC yang berasal dari lem, pembersih rumah tangga, karpet, mesin fotokopi, perabot yang terbuat dari kayu, pestisida, pewangi ruangan, asap rokok dan lain-lain.” 4, Bahan kontaminan biologis. Bahan kontaminan biologis terdiri dari serbuk sari, bakteri, virus, jamur, lumut, kotoran serangga dan binatang. Kontaminan ini dapat berkembangbiak pada tempat yang terkumpul genangan air. Kontaminasi dengan bahanbiologis ini dapat menimbulkan gejala demam, mengigil, batuk, sesak napas, nyeri otot dan reaksi alergi.’ 5. Radiasi elektromagnetik Penggunaan alat elektronik seperti microwave, televisi dan komputer akan mengeluarkan radiasi elektromagnetik yang akan mengubah komposisi ion di udara."" 6, Faktor psikologis. Stres, beban kerja tinggi, rasa tidak puas terhadap pekerjaan, komunikasi dan hubungan antar ma pegawai yang kurang baik juga berhubungan dengan timbulnya gejala SBS.'' 7. Pencahayaan yang buruk dan kebisingan. Manusia memberikan respons terhadap cahaya (cahaya dari lampu ataupun dari sinar matahari) melalui 4 cara, yaitu : (a) respons visual melalui sel batang dan kerucut di retina, (b) respons Klinis non visual berupa sintesis vitamin D pada tubuh yang berperan untuk proses penyembuhan penyakit (helioterapi), (c) respons sirkadian. Respons fisis, psikologis, biokimia pada tubuh manusia akan mengikuti pola lamanya waktu siang dan malam, (b) respon hormonal. Sinar warna kebiruan yang terang akan menyebabkan sekresihormon kortisol (hormon stres) sehingga seseorang akan berada dalam kondisi “alert” (bangun/waspada) sedangkan lingkungan dengan pencahayaan temaram akan menyebabkan sekresi melatonin (hormon tidur) yang menyebabkan seseorang mengantuk.!? Beberapa masalah pencahayaan yang sering ditemukan antara lain peletakan sumber cahaya yang tidak tepat sehingga terbentuk area yang gelap, lampu berkedip, warna lampu dan intensitas cahaya yang tidak sesuai.'* Penelitian yang dilakukan oleh Passareli melaporkan bahwa berkurangnya pencahayaan alami (dari sinar matahari), lampu berkedip, intensitas cahaya yang terlalu terang atau terlalu gelap saat bekerja dapat mempengaruhi terjadinya gejala SBS."* Bekerja di lingkungan bising dengan bunyi telepon berdering, suara orang berbicara dan bunyi dari berbagai macam alat lainnya akan menyebabkan keadaan sulit berkonsentrasi, gangguan ingatan jangka pendek, sakit kepala bahkan frustasi.» Penelitian yang dilakukan oleh Niven ‘dkk. melaporkan bahwa bising frekuensi rendah dapat menyebabkan timbulnya SBS." Gejala SBS lebih sering ditemukan pada pegawai dengan pekerjaan juru tulis dari pada ‘manager. Gejala lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan pada laki-laki karena lebih banyak perempuan yang bekerja sebagai sekretaris, lebih perhatian dengan kondisi kesehatannya dan lebih sensitif (hanya diperlukan sedikit polutan untuk dapat menimbulkan keluhan). Gejala SBS lebih sering ditemukan pada gedung yang menggunakan ventalisa mekanis daripada gedung dengan ventilasi alami.!! Gomzi dkk. menyatakan bahwa faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya prevalensi SBS dibagi menjadi faktor gedung, faktor lingkungan dan polutan spesifik dan faktor personal seperti terlihat pada tabel 1.!° Tabel 1. Faktor i SBS Faktor gedung ‘Faktor lingkungan dan Faktor personal furan > Gedung yang + VOC: formaldehid, _* Jenis kelamin ‘menggunakan AC balan pelarut ‘perempuan + Lagu ventilasi udara* Karbondioksida : + Riwayat alergi bersih = 10 Kompor, pemanas sebehumnya liter‘detilvorang ruangan, perapian + Kepuasan terhadap + Temperaturdalam + Debu dan serat pekenaan ruangam>23°C pada asbestosis, serat kaca, gedung yang debo menggunakan AC + Bioaerosol : bakten.. + Pencahayaaa tidak jammer. virus, serbuke adefeuat sari, faaty, buta dan + Kebersihan dan koforan binatang pecan gedungyang + Poluan at rungan asap kendaraan + Retembaban 0% bermotor atau asap Dikutip dari (16) PATOFISIOLOGI & PATOGENESIS Mekanisme patofisiologi terjadinya gejala SBS masih belum jelas. Saat ini terdapat 3 hipotesis yang menjelaskan gejala SBS antara lain hipotesis kimia, hipotesis bioaerosol, dan faktor pejamu.” Hipotesis kimia menyatakan bahwa volatile organic compounds (VOC) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbonmonooksida atau formaldehid yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat menginduksi respons tethadap reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi pada saluran napas menyebabkan asma dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas.'7 Hipotesis kedua adalah hipotesis bioaerosol yang ditunjukkan pada sebuah penelitian potong lintang bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOC konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ketiga ialah faktor pejamu yaitu kerentanan individu akan mempengarubi timbulnya gejala."” Menurut Aditama,!® bahan pencemar yang mengganggu kualitas udara dalam gedung menimbulkan masalah kesehatan dengan cara mengganggu sistem kekebalan tubuh (imunologik), menyebabkan terjadinya infeksi, bersifat racun (toksik) serta dengan cara mengiritasi. DIAGNOSIS Anamnesis Pegawai yang bekerja di “gedung yang sakit” akan mengalami gejala nonspesifik. Gejala tersebut dibagi menjadi 5 kategori utama yaitu: (1) iritasi membran mukosa pada pada mata, hidung dan tenggorokan. Keluhan berupa hidung tersumbat, bersin, hidung berair, mata kering, batuk kering, (2) gangguan neuropsikiatri seperti kelelahan, sakit kepala, bingung dan pusing, (3) kelainan pada kulit berupa gatal, kering dan kemerahan, (4) gejala mirip asma seperti dada terasa berat dan sesak napas, (5) sensasi bau tidak sedap. Emisi yang dikeluarkan oleh barang yang berada dalam ruangan tertutup dapat menyebabkan mual pada pegawai.'+ Gejala Klinis Pemeriksaan dimulai dengan anamnesis dan penilaian gejala dengan menggunakan kuesioner Cornell Office Environtment Survey (gambar 1) yang diisi sendiri oleh pegawai. Kuesioner terdiri dari 7 pertanyaan mengenai kondisi lingkungan dalam ruangan dan 7 pertanyaan mengenai gejala SBS. Pertanyaan kuesioner untuk menilai keadaan selama satu bulan terakhit dengan penilaian skala tidak pernah (1-3 kali/bulan) dan hampir setiap hari atau setiap hari (1- 3 kali/minggu). Pada penilaian gejala SBS juga harus ditanyakan apakah keluhan berkurang saat tidak bekerja (sore hari, akhir pekan). Kuesioner juga mencatat 13 informasi mengenai pekerjaan dan informasi personal (jenis kelamin, usia, status merokok, alergi).” Gambar 1. Anamnesis dan penilaian gejala dengan menggunakan kuesioner Comelll Office Environtment Survey. Geoung# OO Lama ewarlemerv area OO Kasur oe Jawabish peranyaandibawahini mengena ond! Ingkungan dan goa kesehetan yang brasakan saat ‘raga o karastan mnggu wait 4. dons kelzin? erempuan CD Laeiati 2 ——_ABakan anda mongalmi keunan separ lbawan fada 4 minggu tran? ond yan asakan mma sts kab ‘ip mings sala & mang tab a ‘ax Tempera wri ang Q o '». Temporaturtoraiu nangat a B Seok porgrakan udara eS B ra era korn 5 5 «Bau dak menyenangtan 5 5 4, Usara trai fomean 9 Bb 9 Usara beret o o ‘3. _Abakan anda mengaiami gata soport lnawan mim sat a sotama 4 ming trai? ‘pakan oaala memoak aa Yak beads dl dam podung sore, ski pokan? (Gejaa orasakan mal satu at tap minggu = ® tas, mata perih Oo o $e 8 5 : ones 8 3 ‘oe 8 8 ° aw 8 a {Sax kepaia: oa Q '@ Kolelanan 5 a Dikutip dari (19) Pemeriksaan Fisis dan Pemeriksaan Penunjang Sctelah itu dilakukan pemeriksaan fisis dan penunjang. Terdapat beberapa metode pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai gejala SBS seperti tercantum pada tabel 2.'* Pemeriksaan kestabilan lapisan film pada mata dilakukan dengan cara memberikan bahan pewarna pada mata kemudian diukur lamanya waktu yang diperlukan sampai terjadi robekan pada lapisan film tersebut, Pada pegawai yang mengalami SBS lapisan film tersebut sangat rapuh. Pegawai yang mengalami keluhan mengi dan dada terasa berat memerlukan pemeriksaan lebih Janjut dengan pengukuran arus puncak ekspirasi atau spirometri sebelum, saat dan setelah bekerja untuk mengetahui apakah ada perubahan struktur saluran napas. Saat dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil tidak ada kelainan maka tidak ada penyakit yang diderita.”” ‘Tabel 2. Metode pemeriksaan SBS Efek Metode pemeriksaan Gejala Wawaneara Kuesioner Iritasi mata Tear film break-up time Conjunctival photography Pewarnaan hijau lissamine Iritasi hidung Rinometri akustik Rinomanometri anterior dan posterior Nasal lavage Hipereaktivitas bronkus Arus puncak ekspirasi Spirometti Uji metakolin Kulit Skin prick test Sistem saraf pusat Tes neurofisiologis Pemeriksaan vestibuler Respons imunologi Pengukuran IgE Dikutip dari (18) Penegakan diagnosis SBS juga perlu dilakukan dengan cara: I. Inspeksi langsung terhadap para pegawai, sistem HVAC dan kemungkinan sumber kontaminasi 2. Evaluasi kualitas udara dalam gedung dan identifikasi bahan kontaminan yang ada di udara dengan mengambil sampel udara 3. Mencari adakah hubungan sebab akibat pada kualitas udara dengan gejala yang ada 4, Mencari informasi mengenai sejarah gedung dan kemungkinan kejadian SBS sudah pernah terjadi sebelumnya, Tindakan pengambilan sampel udara untuk pengukuran kadar kontaminan yang terdapat di dalamnya jarang memberikan informasi karena kadar kontaminan masih berada dalam batas normal walaupun pegawai melaporkan berbagai gejala SBS.? DIAGNOSIS BANDING Building Related Htness (BRI) suatu termiologi yang digunakan ketika gejala yang dialami dapat didiagnosis sebagai suatu penyakit dan berhubungan langsung dengan kontaminasi udara di dalam gedung, serta keluhan masih dapat terus berlangsung walaupun telah meninggalkan gedung.! TATA LAKSANA. Penatalaksanaan pada individu harus didasarkan pada penghindaran dan pengurangan pajanan lingkungan penyebab gejala dan memodifikasi faktor-faktor sosial dan psikologi yang relevan Pengobatan simptomatik diberikan sesuai dengan gejala dan gangguan klinis. Individu dengan riwayat penyakit atopi lebih sensitif pada pajanan lingkungan sehingga memerlukan kontrol lebih ketat untuk menghindari pajanan.2? Beberapa cara untuk mengatasi dan mencegah SBS yaitu: 1, Menghilangkan atau memodifikasi sumber polusi Cara ini paling efektif untuk mengatasi permasalahan kualitas udara dalam ruangan ketika sumber polusi diketahui dan dapat di kontrol. Contohnya adalah dengan perawatan sistem HVAC secara teratur dengan cara membersihkan atau mengganti penyaring secara berkala, membersihkan bekas kebocoran air yang terdapat di langit-langit dan karpet, memberlakukan Jarangan merokok dalam gedung, mengarahkan pembuangan emisi kontaminan ke luar gedung, ‘menyimpan cat sisa pakai, lem, pelarut dan pestisida di ruangan dengan ventilasi yang cukup. Pada ruangan yang baru mengalami renovasi harus diberikan waktu agar bahan polutan yang dikeluarkan oleh bahan-bahan material gedung yang baru untuk hilang sebelum ruangan dapat digunakan? 2. Meningkatkan laju ventilasi dan distribusi udara. Sistem HVAC harus dirancang agar dapat memenuhi standar ventilasi dalam gedung. Sistem HVAC harus dioperasikan dengan standar ASHRAE dan mendapat perawatan yang teratur untuk dapat memastikan laju ventilasi yang sesuai, Pemakaian exhaust ventilation diperlukan pada tempat tertentu seperti di toilet, ruang fotokopi dan percetakan untuk membuang polutan keluar gedung.? 3. Perencanaan gedung. Penentuan lokasi gedung yang jauh dari pusat industri, penggunaan bahan bagunan ya Jingkungan, pemeliharaan gedung yang teratur, ventilasi dan pencahayaan yang cukup. mah 4, Edukasi dan komunikasi. Komunikasi yang baik antara pegawai kantor, manajemen dan pegawai bagian perawatan gedung dan pemahaman akan masalah yang dapat ditimbulkan oleh kualitas udara dalam ruangan yang buruk akan menyebabkan mereka bekerja secara efektif untuk mencegah dan mengatasi SBS. DAFTAR PUSTAKA. 1. Menzies D, Bourbeau J. Building related illnesses. N Engl J Med 1997; 337: 1524-31, 2. U.S Environmental Protection Agency. Indoor air facts no. 4 (revised): sick building syndrome (SBS). Available at: hup:/'vww.epa.gov/csi-bin/epaprintonly.cgi. Accessed on May 10, 2005. 3. Finnegan MJ, Pickering CAC, Burge PS. The sick building syndrome: prevalence studies. Br Med J 1984; 289: 1573-5. 4, Jaakkola JJK. The office environment model: a conceptual analysis of sick building syndrome. Indoor Air 1998; 8:7-16 5. Ooi PL, Goh KT. Sick building syndrome: an emerging stress-related disorder? Int J Epidemiol 1997; 26: 1243-9. 6. Environmental Health Center, Sick building syndrome, Available at: hitp://www.nse.org/chc/indoor/sbs.htm. Accessed on May 10", 2005. 7. Heimlich JE. Sick building syndrome. hitp://www.2res.com/2resrem/sick-building-syndrome. him Accessed on May 10", 2005. 8, Iseaeli E, Pardo A. The sick building syndrome as a part of the autoimmune (auto- inflamatory) syndrome induced by adjuvants. Mod Rheumatol. 2011;21:235-9. 9. Indoor air quality : a guide to understanding ASHRAE standard 62-2001. Diunduh dari hitps://www.trane,com/commercial/Uploads/PDF/520/ISSAPG001 -EN. pdf pada tanggal 20 Mei 2016. 10. Jansz. J. Sick building syndrome identification and risk control measurements, In: Abdul- Wahab SA, editor. Sick building syndrome: in public buildings and workplace. Ised. Heidelberg: Springer; 201 1.p.493-508. 11. Joshi SM. The sick building syndrome. Indian J Occup Environ Med. 2008;12(2):61-4. 12. Das S. Lighting and healthy of building occupants: a case of Indian information technology office. Curr sci, 2015;109(9):1573-80. 13. Jansz. J. Theories and knowledge about sick building syndrome. In : Abdul-Wahab SA, editor. Sick building syndrome: in public buildings and workplace. Ised. Heidelberg: Springer; 201 1 p.25-S8. 14, Passarelli GR. Sick building syndrome: an overview to raise awareness. J Build Appraisal. 2009;5(1):55-66. 15, Niven R, Fletcher A, Pickering C, Faragher E, Potter I, Booth W, et al. Building sickness syndrome in healthy and unhealthy buildings: An epidemiological and environmental assessment with cluster analysis. Occup Environ Med. 2000;57:627-34. 16. Gomzi M, Bobic J. Sick building syndrome : do we live and work in unhealthy environment?. Period Biol. 2009;111(1):79-84. 17. Yulianti D, Ikhsan M, Wiyono WH. Sick building syndrome. Cermin Dunia Kedokteran, 2012;39(1):189-94, 18. Aditama TY. Sick building syndrome. In : Aditama TY, Hastuti T, editors. 1 ed. Jakarta Penerbit Universitas Indonesia; 2010.p.90-9. 19. Hedge A, Erickson WA. A study of indoor environment and sick building syndrome compalints in ait-conditionerd office: benchmark for facility performance. FM. 1997; 1(4):185-92 20. Stenberg B. Sick building syndrome from a medical perspective, symptoms and sign, In : Abdul-Wahab SA, editor. Sick building syndrome: in public buildings and workplace. 1" ed. Heidelberg: Springer; 201 1.p.453-62. 21, Abdel-hamid MA, Hakim SA, Elokda EE, Mostafa NS. Prevalence and risk factor of sick building syndrome among office workers. J Egypt Public Health Assoc. 2013;88:109-14. 22, Jaakkola JIK, Jaakkola MS. Sick building syndrome. In: Hendrick DJ, Burge PS, Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of the lung: recognition, management and prevention. London: WB Saunders; 2002. p: 241-55.

You might also like