Budaya Kubur Prasejarah
di Desa Hu’u, Dompu, NTB
Purusa M.
L Pendahuluan
Dilatar belakangi temuan arkeologis di situs Nangasia pada bulan Juni
2003, maka dilanjutkan dengan pengamatan lingkungan yang lebih luas,
terhadap temuan-temuan lain di Desa Hu’u ini. Desa Hu’u adalah salah
satu desa yang banyak menyimpan tinggalan-tinggalan arkeologis baik
berupa artefak maupun budaya tingkah laku sehari-hari yang diwarisi dari
suatu tradisi sebelumnya, Suatu tradisi yang berkelanjutan yang diyakini
oleh mereka dapat membawa keselamatan untuk individu maupun desa.
Desa Hu’ u dapat dicapai dengan kendaraan roda empat kira-kira berjarak
44 Km ke arah selatan dari Kota Kabupaten Dompu. Dari beberapa situs
yang diamati pada kesempatan ini, dicoba untuk membicarakan salah satu
dari temuan tersebut. Temuan arkeologis berupa kubur prasejarah yang
berlokasi di Desa Hu’u Lama. Kubur prasejarah ini secara umum dikenal
dengan sebutan “kubur duduk”, Penamaan ini mungkin diartikan bahwa
orang yang dikubur di dalam sebuah susunan batu andesit yang melingkar
dan pada bagian atas ditutup dengan batu besar ditempatkan dengan posisi
duduk atau hal-hal lain yang memberikan tanda-tanda yang lebih mendekati,
Lokasi situs ini oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Desa Hu’u Lama,
yang oleh masyarakat dianggap sebagai desa yang pertama, sebelum Desa
Hu yang sekarang dan sekaligus dianggap sebagai cikal bakal lelubur
mereka. Situs ini dianggap keramat dan tradisi kubur ini sudah tidakberlanjut lagi. Lokasi situs ini tepatnya terletak di Jereng Gunung “Doro
Manto”, Situs ini disebut “Oi Busi” yang artinya “air dingin”, mungkin
nama ini diberikan sehubungan dengan adanya sumber mata air yang
mengalir sangat dingin. Pengamatan dilapangan yang sempat kami lakukan
walaupun dalam waktu yang relatif singkat, kami coba mengklasifikasi
menjadi beberapa kelompok. Cara ini kami lakukan tiada lain untuk
mempermudah di dalam memberikan klasifikasi dalam penterapan metode
lapangan. Keadaan situs secara umum dalam keadaan rusak, mungkin
sengaja dirusak oleh orang-orang yang ingin tahu isi kuburan tersebut atau
mempunyai maksud lain untuk mencari harta karun. Keadaan lingkungan
penuh dengan semak belukar schingga untuk melihat situs ini harus
menebang semak-semak dan tampaknya situs ini terlantar. Hal seperti ini
terjadi mungkin disebabkan tempat ini tidak. berfungsi lagi sebagai tempat
penguburan karena jauh dari aktivitas kampung, atau tradisi ini sudah tidak
ada lagi. Beberapa kubur kelihatan sudah dirusak orang. Secara fisik kalau
kita melihat kubur di situs “Oi Busi” ini diperkirakan berasal dari masa
prasejarah dari tradisi yang cukup tua. Berdasarkan peninggalan arkeologis
dapat diduga bahwa di tempat ini pernah terjadi aktivitas manusia yang
berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Dari artefak kubur yang
didapatkan tenta muncul pertanyaan, di mana pemukiman pendukung
kebudayaan ini? Di dalam pengamatan tethadap kubur selalu akan muncul
pertanyaan yang sama dan sulit untuk mendapatkan jawaban yang memadai.
Situs “Oi Busi” merupakan suatu objek arkeologis yang sangat penting
dan merupakan untaian budaya-budaya yang pernah ada di Nusantara ini.
Situs kubur semacam ini pernah ditemukan di Daerah Donggo (Bima, NIB).
(Bintarti, 1982), dan dilaporkan oleh peneliti arkeologi tahun 1982.
Di dalam kehidupan manusia, masalah kematian mendapat tempat yang
sangat penting di lubuk hati kehidupan umat manusia yang mengandung
unsur-unsur sedih dan kewajiban-kewajiban yang dilakukan sebaik-baiknya
terhadap orang yang meninggalkan terlebih dabulu, apalagi orang yang
meninggal itu adalah orang penting dan mempunyai kedudukan yang
penting pula di dalam kehidupan masyarakat. Kejadian ini membawa kepada
2perilaku-perilaku yang dihasilkan dengan mempergunakan/menghasilkan
artefak budaya yang istimewa pula. Suatu contoh penggunaan sarkofagus
pada sarana kematian, mempunyai arti tersendiri di tengah-tengah
kehidupan masyarakat pada waktu itu. Suatu perilaku yang sangat istimewa
pada waktu itu, disebabkan karena orang yang telah meninggal mempunyai
peranan yang penting menjadi penghulu, pemuka masyarakat (kepala suku
dan sebagainya), di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Artefak
budaya yang dihasilkan oleh pendukung budaya ini merupakan simbol
kekerabatan/golongan tertentu untuk dapat mempergunakan sarkofagus
sebagai tempat penguburan. Umpamanya pada waktu ia masih hidup
dianggap sebagai kepala suku atau orang yang sangat berkuasa di tengah-
tengah kehidupan masyarakat, sehingga pada waktu matinya pun mendapat
perlakuan yang khusus pula (Soejono, 1977).
Budaya-budaya seperti ini dilahirkan oleh suatu budaya yang berakar
dari masa megalitik. Penggunaan sarkofagus sebagai wadah kubur
mengingatkan kita pada budaya-budaya yang berasal dari daerah seberang
yang kemudian sampai ke Indonesia. Tampaknya pada suatu periodesasi
budaya di masa lampau adanya penyebaran budaya dari Asia daratan ke
Asia Tenggara sampai ke daerah-daerah Pasifik. Budaya megalitik ini
ditampakkan oleh suatu masa di mana manusia sudah benar-benar hidup
menetap. Pada perkembangan belakangan dikenal dengan sebutan budaya
asli, artinya belum mendapat pengaruh Hindu-Budha. Konsep-konsep yang
melandasi kepercayaan ini, tidak lain adanya anggapan bahwa alam semesta
didiami oleh makhluk-makhluk halus atau roh-roh. Kepercayaan semacam
ini melahirkan anggapan bahwa alam dengan segala isinya dianggap
mempunyai kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan manusia yang
dikenal dengan istilah “Adi Kodrat’” (Koentjaraningrat, 1958 : 1962). Pada
‘masa ini pemujaan leluhur sangat diperhatikan dan mendapat posisi yang
cukup penting. Pemujaan roh leluhur dilatarbelakangi oleh kepercayaan
bahwa selain berhubungan dengan manusia yang ada di dunia ini, roh juga
berhubungan dengan roh-roh yang lain. Gagasan kepercayaan semacam
ini terutama ada pada kebudayaan masyarakat yang menganggap roh selalupergi dan berada di alam roh (Koentjaraningrat, 1977 : 236). Apa yang
kami utarakan ini sesuai dengan maksud dan tujuan pembuatan wadah kubur
sarkofagus yang bertujuan ingin memulyakan/berbuat sebaik-baiknya
terhadap leluhur.
Di dalam budaya kubur melahirkan berbagai tata cara dan berbagai artefak
kubur yang sampai kepada kita sekarang, tentu sesuai pula dengan
periodesasi budaya yang dilahirkan oleh setiap pendukungnya. Salah satu
budaya kubur kita temukan di Desa Hu’u ini dengan istilah sementara
“kubur duduk” apa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi sehingga
menghasilkan kubur-kubur yang disebutkan di atas.
Pengamatan lebih jauh untuk memudahkan pendataan “kubur dudul ,
ini, kami coba untuk membagi ke dalam dua kelompok kubur. Kelompok
kubur I terletak di Desa Hu’u Lama, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu.
Situs ini terletak di pinggir timur sungai Hu’u. Sungai Huu yang besar ini
tampaknya menyimpan alat-alat batu, hasil dari suatu peradaban manusia
yang lebih tua dari budaya kubur yang sedang kami paparkan ini.
Permasalahan alat-alat batu hasil manusia masa lampau tersebut akan
dibicarakan pada kesempatan yang lain dan secara khusus.
“Kubur duduk” pada kelompok I terletak di bawah pohon kelapa dan
sudah banyak yang terganggu, tampaknya bukan karena kejadian alam,
namun perkiraan kami dirusak oleh orang-orang yang ingin tahu atau or-
ang-orang yang mencari harta karun. Salah satu “kubur duduk” yang
dirusak, sempat kami amati berada di tengah semak-semak dalam keadaan
batu tutupnya sudah tergeser, lubang kubur dalam keadaan kosong yang
tertinggal hanya susunan batu andesit berbentuk silinder masih tersusun
rapi. Di hari kemudian diharapkan para peneliti menemukan kubur yang
dalam keadaan utuh, tentu akan dipilih kubur-kubur yang tampaknya belum
terganggu, temuan ini sangat penting. Dari “kubur duduk” kelompok I
menuju arah timur melalui selokan kecil berair dingin, sampailah pada
tanah milik Pak Bustan yang dikatakan luasnya 5.600 M2. Di kelompok II
ini, kami coba menghitungnya secara kasar sementara berada pada jumlah
hitungan 8 (delapan). “Kubur duduk” di kelompok 1 dan II mempunyai
4bentuk dan bahan yang dipakainya sama. Tentu di tengah-tengah kesamaan
itu ada perbedaan yaitu ukuran masing-masing kubur baik itu menyangkut
tutup dan besar ukurannya. Pada pengamatan pertama ini dicoba untuk
menggali satu kubur yang menurut si empunya tanah belum terganggu,
hasilnya cukup memuaskan. “Kubur duduk” II berada di tengah semak-
semak seperti tidak pernah ada suatu aktivitas. Misteri “kubur duduk” yang
menjadi salah satu kegiatan penelitian arkeologi di situs Dompu ini sangat
perlu diadakan lagi dengan perhitungan waktu yang lebih panjang lagi.
Tujuan utama penelitian ini tiada lain untuk memberikan wawasan yang
lebih luas lagi tentang sistem-sistem kubur pada suatu periodesasi budaya
masa lampau. Dalam hal ini khususnya ingin dibuktikan apakah penamaan
“kubur duduk” oleh masyarakat sudah tepat, bahwa mayat diletakkan di
liang lahat dengan posisi duduk. Masih banyak lagi yang harus diketahui
pada budaya kubur ini, seperti bekal kubur yang disertakan, maupun berapa
individu yang disertakan diletakkan pada liang lahat itu.
Mudah-mudahan penulisan awal ini akan memberikan data yang cukup
penting dan berguna untuk kepentingan arkeologi dan menjadi suatu
kebanggaan bagi masyarakat setempat, bahwa mereka memiliki budaya
lama yang selama ini mereka belum banyak mengetahuinya. Semoga kerja
sama penelitian ini akan membuahkan hasil yang diharapkan.
II. Pembahasan
Di dalam pembahasan tulisan ini sementara masih mempergunakan
“kubur duduk”, sampai ditemukannya data-data baru mengenai
“Kubur duduk” yang kami kelompokkan di atas, sebenarnya
merupakan satu kesatuan budaya yang sama. Seperti yang telah kami
utarakan di atas, pengelompokkan tersebut sifatnya sementara untuk
memudahkan pencatatan temuan ataukah benar-benar merupakan
pengelompokkan berdasarkan data yang diperoleh di situs tersebut. Suatu
contoh kelompok II terletak pada tanah yang lebih tinggi, apakah ada
maksud-maksud tertentu untuk mendekatkan diri dengan leluhur yangbersemayam di puncak gunung. Situasi seperti ini dapat memberi nuansa
yang berbeda dengan kubur yang berada di tanah yang lebih rendab/datar.
Pada budaya ini tentu saja ada anggapan bahwa puncak-puncak gunung
adalah tempat bersemayamnya roh suci lelubur (Geldern, 1934 : 5-40).
Kepercayaan akan adanya kehidupan di alam arwah sudah ada sejak masa
prasejarah sampai saat ini. Ada anggapan bahwa kehidupan di alam sana
ikut mempengaruhi kehidupan di alam ini. Kepercayaan ini memunculkan
suatu tradisi penempatan bangunan suci di puncak gunung atau di lereng
gunung untuk mendekatkan diri dengan para leluhur untuk lebih cepat
menerima restu/wahyu dari nenek moyang.
Prinsip dasar dari suatu tata cara penguburan adalah dibuatnya lubang
langsung di tanah ataukah dibuat semacam wadah kubur untuk meletakkan
mayat. Di atas lubur kubur dibuatlah tutup untuk menghindari segala
kemungkinan baik itu menyangkut fisik lingkungan mungkin juga
dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan. “Kubur duduk” yang berhasil
diamati di situs Desa Hu’u ini merupakan kubur yang sengaja liang lahatnya
dibuat langsung di tanah dengan susunan batu andesit yang tersusun rapi
membentuk silinder seperti sumur dengan kedalaman 1.5m/150cm. Tradisi
budaya semacam ini sangat dekat dengan tradisi penguburan yang dilakukan
oleh masyarakat Sumba Merapu sekarang. Masyarakat Sumba Merapu
membuat bak batu monolit untuk menempatkan si mati. Sikap si mati pada
posisi duduk dan beberapa bekal kubur ditaruh di sampingnya seperti
“mamuli”, “maraga”, dan sebagainya (Purusa, 2003), di atas bak batu
kubur/kabang dibuat dari batu datar utuh satu dengan ukuran bervariasi.
Konsep-konsep “kubur duduk” semacam ini tampaknya sangat dekat
dengan tradisi yang ada di Sumba Barat, namun di tempat ini masih
ditentukan oleh status sosial si mati pada waktu masih hidup, sehingga
muncul istilah “kabang” berkaki, dan sebagainya. Budaya-budaya kubur
semacam ini berkembang berkisar antara 2000-2500 tahun yang lampau.
Pada waktu itu diperkirakan adanya migrasi budaya dari Asia daratan ke
Indonesia. Menurut perkiraan, bahwa “kabang” mempunyai bentuk yang
sama dengan perahu, hal ini mengingatkan kita bahwa budaya ini datangdengan mempergunakan perahu, contoh lain penggunaan sarkofagus
sebagai wadah kubur di Bali (Soejono, 1977).
“Kubur duduk” yang dapat diamati di situs Hu’u Lama dapat
dikelompokkan, dan telah dicoba untuk mengadakan ekskavasi sistematis
untuk mendapatkan temuan-temuan serta, yang mungkin berfungsi sebagai
bekal kubur, dan di samping itu untuk mengetahui bentuk utuh dari dinding
wadah kubur tersebut. Pada penelitian tahap I ini, belum dilakukan ekskavasi
di kelompok I, sedangkan ekskavasi hanya dilakukan pada “Kubur duduk”
yang berada di sebelah timur rumah panggung tersebut berjumlah delapan
buah dengan ukuran sebagai berikut :
Kubur duduk No. 1 panjang : 180 cm
Lebar : 70cm
Tinggi : 20cm
Kubur duduk No. 2 panjang : 110 cm
Lebar :78cm
Tinggi :20cm
Kubur duduk No. 3 panjang : 130 cm
Lebar 198m
Tinggi :19cm
Kubur duduk No. 4 panjang : 76cm.
Lebar 74cm
Tinggi : 26cm
Kubur duduk No. 5 panjang :121cm
Lebar : 10cm
Tinggi :30cm
Kubur duduk No. 6 panjang : 146 cm
Lebar : 86cm
Tinggi :19cm
Kubur duduk No. 7 panjang : 108 cm
Lebar : 104. cm
Tinggi : 20cm
Kubur duduk No. 8 panjang 7135 cmLebar
Tinggi
Dari semua “Kubur duduk” yang kami catat salah satu di antaranya kami
gali (ekskavasi) secara sistematis dengan waktu yang sangat singkat. “Kubur
duduk” yang kami gali adalah “kubur duduk” No. 8 dengan berbagai
pertimbangan yang ada. Hasil ekskavasi/penggalian ini berhasil
dikumpulkan antara lain beberapa gerabah (pecahan periuk) yang terdiri
atas tepian dan badan polos (spit 3). Pada kedalaman 65-95 cm tampak
susunan batu andesit yang merupakan bagian dalam dari sumuran (kubur
duduk), dan temuan dapat dikumpulkan antara lain keramik fragmen gi,
manusia satu buah, fragmen tulang. Ekskavasi ini diakhiri sampai
kedalaman 1,5 meter, mengingat waktu yang sangat singkat dan perlu
dilanjutkan sampai pada bagian dasar liang lahat (kubur).
Dari seluruh kegiatan yang dilakukan pada tingkat awal di situs “Kubur
duduk”, berhasil dikumpulkan temuan antara lain : data dari usaha
percobaan penggalian sistematis terhadap “kubur duduk” sebanyak tiga
buah dari keseluruhan jumlah 8 (delapan) buah (Purusa, 2003).
Kubur duduk I: - Manik-manik 3 (tiga) buah manik-manik
- Kereweng/gerabah hias 15 buah
- Fragmen gigi manusia 14 buah
Kubur duduk I: - temuan manik-manik 4 (empat) buah
- Kereweng/gerabah 14 buah
Kubur duduk III: - temuan kereweng 7 (tujuh) buah
- Batu kwarsa 1 kantong plastik kecil.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di situs tersebut, belum
mencapai hasil maksimal, karena ekskavasi di “Kubur duduk” No. 8 belum
nampak secara keseluruhan atau belum dapat diketahui bentuk asli
keseluruhan wadah “kubur duduk” tersebut. Dalam penelitian ini, belum
menemukan sistem (pola) penguburan di situs “kubur duduk”. Meskipun
demikian, bahwa artefak-artefak yang ditemukan di situs itu dapatdikatagorikan sebagai tempat penguburan, dan oleh masyarakat setempat
disebut “Kubur duduk”. Hal ini masih perlu dibuktikan tinggalan-tinggalan
budaya dan tradisi yang berlangsung di tempat itu, sudah tentu dibarengi
dengan pengamatan daerah-daerah di sekitar situs itu.
Selain itu, di puncak “Doro Manto” ditemukan sistem kubur yang
memanfaatkan batu gunung sebagai liang lahat, apakah hal ini mempunyai
kaitan bahwa ada dua budaya yang berbeda pada sebuah situs, tentu hal ini
sangat perlu pengamatan yang lebih cermat dan mendalam. Secara sepintas
muncul dua hal yang berbeda yaitu di satu sisi mereka membuat wadah
kubur (kubur duduk) sedangkan di puncak Doro Manto, mereka
memanfaatkan batu gunung langsung sebagai liang lahat kubur, bukankah
yang lebih sederhana dikatakan mempunyai umur yang lebih tua, karena
pola berpikir mereka masih terbatas, dan mengenai situs “Kopancoi” akan
kami bicarakan secara khusus di lain kesempatan tulisan.
Suatu budaya seperti “kubur duduk” yang ditemukan dan berada di Desa
Hu’u Lama ini sudah menjadi tinggalan arkeologis yang tidak
berkesinambungan pada tradisi masyarakat yang ada sekarang. Mereka
mengenal bahwa tinggalan ini merupakan tinggalan nenek moyang yang
sangat dikeramatkan. Suatu budaya tentu ada masyarakat pendukungnya,
dalam hal ini muncul pertanyaan yaitu di mana dan ke mana pendukung
kebudayaan ini? Pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab, namun sangat
perlu untuk diketahui dan dicari bekas-bekasnya. Mungkin budaya ini dapat
dibandingkan dengan suatu tradisi budaya masyarakat Sumba Merapu di
Sumba yang bertempat tinggal di berdekatan dengan tempat-tempat kubur
tersebut dan pola penempatan pemukiman ini mempunyai aturan seperti
yang terjadi di Bali. Hal ini sangat penting untuk diamati dan dikaji lebih
mendalam guna mengetahui lebih jauh mengenai perkembangan suatu
budaya.
Dalam kesempatan lain, penelitian yang lebih sistematis perlu dilakukan,
mengingat masih banyak hal-hal yang perlu mendapat perhatian secara
khusus. Penanganan ini memerlukan kemauan, ketekunan dan ketelitian,
di samping itu perhatian serta bantuan dari pihak-pihak yang berkompeten.II. Kesimpulan
Situs “kubur duduk” yang ditinjau secara sepintas oleh para arkeolog
menghasilkan hal-hal yang sangat penting dari sisi perkembangan
Kebudayaan masa lampau. Situs “kubur duduk” merupakan istilah yang
dipinjam dari masyarakat Desa Hu’u Lama sekarang, dan hal ini perlu
dibuktikan keberadaannya. Maka dari itu muncul pertanyaan apakah
penamaan kubur ini didasari oleh temuan masyarakat yang menggali tempat
ini, untuk mencari harta karun menemukan kerangka manusia dalam posisi
duduk, ataukah mungkin asosiasi masyarakat bahwa manusia yang
dimasukkan ke dalam kubur yang diameternya relatif kecil dimanfaatkan
dengan posisi duduk, suatu kejadian budaya yang masih perlu dibuktikan.
Bahan batu kubur disusun secara rapi berbentuk silinder (sumur kecil) untuk
tempat mayat. Kalau dilihat dari cara membuatnya menunjukkan suatu
tingkah laku budaya yang cukup tinggi. Pembuatan “kubur duduk” dengan
materi bangunan dibuat dari batu andesit yang disusun sangat beraturan
tentu dikerjakan oleh golongan masyarakat yang mempunyai suatu keahlian
yang khusus pada waktu itu. Pada masa itu berkembang di dalam masyarakat
kelompok-kelompok masyarakat seperti para undagi yaitu ada undagi kayu
(membuat rumah), undagi batu mungkin yang menghasilkan peti batu
sarkofagus atau di situs ini dikenal dengan “kubur duduk,” dan masih
banyak lagi undagi-undagi yang ada pada waktu itu (Goris, 1954). Di In-
donesia kubur seperti ini satu-satunya ditemukan di Desa Hu’u Lama
(Dompu) apakah hal ini tersebar ke seluruh kepulauan Indonesia tentu
masih perlu dicari. Menurut informasi pakar arkeologi yaitu Dr. Haris
Sukendar, bahwa kubur seperti ini terdapat juga di Jepang dan Korea.
Apakah hal ini mempunyai pengaruh sampai Kepulauan Nusantara, perlu
dilakukan penelitian yang lebih mendalam dan sistematis.
Masih banyak lagi hal-hal atau data-data arkeologis yang lain harus
diamati terutama yang menyangkut perkembangan (dinamika) budaya ini.
Aspek lain yang sangat perlu diketahui adalah tempat bermukim mereka
10yang sudah tentu dibarengi dengan data-data (artefaktual) arkeologis. Dar
segi bentuk dan pemanfaatan kubur sangat perlu dilakukan studi yang lebit
mendalam untuk mencari ukuran dari masing-masing kubur yang nantinyz
akan menjadi dasar dalam pengelompokkan kubur tersebut, Dari
pengelompokkan itu akan mendapatkan penggunaan atau fungsi yang sama.
Masih banyak data yang diharapkan untuk suatu pengungkapan satu
peristiwa budaya. Besar harapan kami, kegiatan-kegiatan atau penelitian
di bidang arkeologis khususnya untuk Kabupaten Dompu yang kaya dengan
tinggalan arkeologis dapat diteruskan dengan menjalin kerja sama demi
peningkatan serta kecintaan akan warisan budaya masa lampau. Di sampin, ig
itu masih banyak situs-situs arkeologis yang perlu ditinjau dengan tujuan
Pemda Dompu untuk merintis pariwisata budaya. Semoga harapan ini dapat
terwujud dalam waktu yang tidak begitu lama.
Tulisan pada kesempatan ini tak lain adalah hanya merupakan pemuka
jalan ke arah yang lebih luas. Misteri “Kubur duduk” diharapkan akan
segera terungkap sejalan dengan data arkeologis yang menunjangnya.
Pengamatan yang lebih mendalam sangat diperlukan untuk mengetahui
apa yang sesungguhnya melatarbelakangi budaya ini, sehingga
meninggalkan artefak budaya seperti yang kita lihat sekarang ini. Suatu
peristiwa budaya yang masih menyimpan misteri yang harus dicari.
11DAFTAR PUSTAKA
Goris, R. 1954. Prasasti Bali I dan II, Bandung, Masa Baru.
Heine Geldern, R.von, 1934: Vorgechtkuche Grudlagen der
Kolomalindischen Kunt, Weiner Beitragezur Kunsten
Kulturgeschictwe Aseins VIII.
Koentjaraningrat, 1958. Metoda-metoda Antropologi dalam Penyelidikan-
Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta.
—_——,, 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta.
Purusa M, 2000. “Budaya Pemujaan Leluhur Cermin Kesatuan dan
Persatuan”, Seminar Prasejarah II & Kongres API II, Yogyakarta.
———., 2003. Laporan Hasil Penelitian di situs Nangasia, Maret dan
Juli, Balai Arkeologi Denpasar.
., 2003. “Upacara Ritual Masyarakat Sumba Merapu,” Berita
Penelitian Arkeologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
ISSN 1410-6477, Balai Arkeologi Denpasar.
Soejono, R.P., 1977. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa
Prasejarah di Bali, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.sos Blas Ooo
SKETSA PETALOKAS! PENELITIAN
OLDESA RUU et",
- 5
4 Sebaion
ote ravvpatee
= iskosi Pereitonhaf
Kubur duduk dari susunan batu andesit.
14