You are on page 1of 14
Budaya Kubur Prasejarah di Desa Hu’u, Dompu, NTB Purusa M. L Pendahuluan Dilatar belakangi temuan arkeologis di situs Nangasia pada bulan Juni 2003, maka dilanjutkan dengan pengamatan lingkungan yang lebih luas, terhadap temuan-temuan lain di Desa Hu’u ini. Desa Hu’u adalah salah satu desa yang banyak menyimpan tinggalan-tinggalan arkeologis baik berupa artefak maupun budaya tingkah laku sehari-hari yang diwarisi dari suatu tradisi sebelumnya, Suatu tradisi yang berkelanjutan yang diyakini oleh mereka dapat membawa keselamatan untuk individu maupun desa. Desa Hu’ u dapat dicapai dengan kendaraan roda empat kira-kira berjarak 44 Km ke arah selatan dari Kota Kabupaten Dompu. Dari beberapa situs yang diamati pada kesempatan ini, dicoba untuk membicarakan salah satu dari temuan tersebut. Temuan arkeologis berupa kubur prasejarah yang berlokasi di Desa Hu’u Lama. Kubur prasejarah ini secara umum dikenal dengan sebutan “kubur duduk”, Penamaan ini mungkin diartikan bahwa orang yang dikubur di dalam sebuah susunan batu andesit yang melingkar dan pada bagian atas ditutup dengan batu besar ditempatkan dengan posisi duduk atau hal-hal lain yang memberikan tanda-tanda yang lebih mendekati, Lokasi situs ini oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Desa Hu’u Lama, yang oleh masyarakat dianggap sebagai desa yang pertama, sebelum Desa Hu yang sekarang dan sekaligus dianggap sebagai cikal bakal lelubur mereka. Situs ini dianggap keramat dan tradisi kubur ini sudah tidak berlanjut lagi. Lokasi situs ini tepatnya terletak di Jereng Gunung “Doro Manto”, Situs ini disebut “Oi Busi” yang artinya “air dingin”, mungkin nama ini diberikan sehubungan dengan adanya sumber mata air yang mengalir sangat dingin. Pengamatan dilapangan yang sempat kami lakukan walaupun dalam waktu yang relatif singkat, kami coba mengklasifikasi menjadi beberapa kelompok. Cara ini kami lakukan tiada lain untuk mempermudah di dalam memberikan klasifikasi dalam penterapan metode lapangan. Keadaan situs secara umum dalam keadaan rusak, mungkin sengaja dirusak oleh orang-orang yang ingin tahu isi kuburan tersebut atau mempunyai maksud lain untuk mencari harta karun. Keadaan lingkungan penuh dengan semak belukar schingga untuk melihat situs ini harus menebang semak-semak dan tampaknya situs ini terlantar. Hal seperti ini terjadi mungkin disebabkan tempat ini tidak. berfungsi lagi sebagai tempat penguburan karena jauh dari aktivitas kampung, atau tradisi ini sudah tidak ada lagi. Beberapa kubur kelihatan sudah dirusak orang. Secara fisik kalau kita melihat kubur di situs “Oi Busi” ini diperkirakan berasal dari masa prasejarah dari tradisi yang cukup tua. Berdasarkan peninggalan arkeologis dapat diduga bahwa di tempat ini pernah terjadi aktivitas manusia yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Dari artefak kubur yang didapatkan tenta muncul pertanyaan, di mana pemukiman pendukung kebudayaan ini? Di dalam pengamatan tethadap kubur selalu akan muncul pertanyaan yang sama dan sulit untuk mendapatkan jawaban yang memadai. Situs “Oi Busi” merupakan suatu objek arkeologis yang sangat penting dan merupakan untaian budaya-budaya yang pernah ada di Nusantara ini. Situs kubur semacam ini pernah ditemukan di Daerah Donggo (Bima, NIB). (Bintarti, 1982), dan dilaporkan oleh peneliti arkeologi tahun 1982. Di dalam kehidupan manusia, masalah kematian mendapat tempat yang sangat penting di lubuk hati kehidupan umat manusia yang mengandung unsur-unsur sedih dan kewajiban-kewajiban yang dilakukan sebaik-baiknya terhadap orang yang meninggalkan terlebih dabulu, apalagi orang yang meninggal itu adalah orang penting dan mempunyai kedudukan yang penting pula di dalam kehidupan masyarakat. Kejadian ini membawa kepada 2 perilaku-perilaku yang dihasilkan dengan mempergunakan/menghasilkan artefak budaya yang istimewa pula. Suatu contoh penggunaan sarkofagus pada sarana kematian, mempunyai arti tersendiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat pada waktu itu. Suatu perilaku yang sangat istimewa pada waktu itu, disebabkan karena orang yang telah meninggal mempunyai peranan yang penting menjadi penghulu, pemuka masyarakat (kepala suku dan sebagainya), di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Artefak budaya yang dihasilkan oleh pendukung budaya ini merupakan simbol kekerabatan/golongan tertentu untuk dapat mempergunakan sarkofagus sebagai tempat penguburan. Umpamanya pada waktu ia masih hidup dianggap sebagai kepala suku atau orang yang sangat berkuasa di tengah- tengah kehidupan masyarakat, sehingga pada waktu matinya pun mendapat perlakuan yang khusus pula (Soejono, 1977). Budaya-budaya seperti ini dilahirkan oleh suatu budaya yang berakar dari masa megalitik. Penggunaan sarkofagus sebagai wadah kubur mengingatkan kita pada budaya-budaya yang berasal dari daerah seberang yang kemudian sampai ke Indonesia. Tampaknya pada suatu periodesasi budaya di masa lampau adanya penyebaran budaya dari Asia daratan ke Asia Tenggara sampai ke daerah-daerah Pasifik. Budaya megalitik ini ditampakkan oleh suatu masa di mana manusia sudah benar-benar hidup menetap. Pada perkembangan belakangan dikenal dengan sebutan budaya asli, artinya belum mendapat pengaruh Hindu-Budha. Konsep-konsep yang melandasi kepercayaan ini, tidak lain adanya anggapan bahwa alam semesta didiami oleh makhluk-makhluk halus atau roh-roh. Kepercayaan semacam ini melahirkan anggapan bahwa alam dengan segala isinya dianggap mempunyai kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan manusia yang dikenal dengan istilah “Adi Kodrat’” (Koentjaraningrat, 1958 : 1962). Pada ‘masa ini pemujaan leluhur sangat diperhatikan dan mendapat posisi yang cukup penting. Pemujaan roh leluhur dilatarbelakangi oleh kepercayaan bahwa selain berhubungan dengan manusia yang ada di dunia ini, roh juga berhubungan dengan roh-roh yang lain. Gagasan kepercayaan semacam ini terutama ada pada kebudayaan masyarakat yang menganggap roh selalu pergi dan berada di alam roh (Koentjaraningrat, 1977 : 236). Apa yang kami utarakan ini sesuai dengan maksud dan tujuan pembuatan wadah kubur sarkofagus yang bertujuan ingin memulyakan/berbuat sebaik-baiknya terhadap leluhur. Di dalam budaya kubur melahirkan berbagai tata cara dan berbagai artefak kubur yang sampai kepada kita sekarang, tentu sesuai pula dengan periodesasi budaya yang dilahirkan oleh setiap pendukungnya. Salah satu budaya kubur kita temukan di Desa Hu’u ini dengan istilah sementara “kubur duduk” apa dan bagaimana peristiwa tersebut terjadi sehingga menghasilkan kubur-kubur yang disebutkan di atas. Pengamatan lebih jauh untuk memudahkan pendataan “kubur dudul , ini, kami coba untuk membagi ke dalam dua kelompok kubur. Kelompok kubur I terletak di Desa Hu’u Lama, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu. Situs ini terletak di pinggir timur sungai Hu’u. Sungai Huu yang besar ini tampaknya menyimpan alat-alat batu, hasil dari suatu peradaban manusia yang lebih tua dari budaya kubur yang sedang kami paparkan ini. Permasalahan alat-alat batu hasil manusia masa lampau tersebut akan dibicarakan pada kesempatan yang lain dan secara khusus. “Kubur duduk” pada kelompok I terletak di bawah pohon kelapa dan sudah banyak yang terganggu, tampaknya bukan karena kejadian alam, namun perkiraan kami dirusak oleh orang-orang yang ingin tahu atau or- ang-orang yang mencari harta karun. Salah satu “kubur duduk” yang dirusak, sempat kami amati berada di tengah semak-semak dalam keadaan batu tutupnya sudah tergeser, lubang kubur dalam keadaan kosong yang tertinggal hanya susunan batu andesit berbentuk silinder masih tersusun rapi. Di hari kemudian diharapkan para peneliti menemukan kubur yang dalam keadaan utuh, tentu akan dipilih kubur-kubur yang tampaknya belum terganggu, temuan ini sangat penting. Dari “kubur duduk” kelompok I menuju arah timur melalui selokan kecil berair dingin, sampailah pada tanah milik Pak Bustan yang dikatakan luasnya 5.600 M2. Di kelompok II ini, kami coba menghitungnya secara kasar sementara berada pada jumlah hitungan 8 (delapan). “Kubur duduk” di kelompok 1 dan II mempunyai 4 bentuk dan bahan yang dipakainya sama. Tentu di tengah-tengah kesamaan itu ada perbedaan yaitu ukuran masing-masing kubur baik itu menyangkut tutup dan besar ukurannya. Pada pengamatan pertama ini dicoba untuk menggali satu kubur yang menurut si empunya tanah belum terganggu, hasilnya cukup memuaskan. “Kubur duduk” II berada di tengah semak- semak seperti tidak pernah ada suatu aktivitas. Misteri “kubur duduk” yang menjadi salah satu kegiatan penelitian arkeologi di situs Dompu ini sangat perlu diadakan lagi dengan perhitungan waktu yang lebih panjang lagi. Tujuan utama penelitian ini tiada lain untuk memberikan wawasan yang lebih luas lagi tentang sistem-sistem kubur pada suatu periodesasi budaya masa lampau. Dalam hal ini khususnya ingin dibuktikan apakah penamaan “kubur duduk” oleh masyarakat sudah tepat, bahwa mayat diletakkan di liang lahat dengan posisi duduk. Masih banyak lagi yang harus diketahui pada budaya kubur ini, seperti bekal kubur yang disertakan, maupun berapa individu yang disertakan diletakkan pada liang lahat itu. Mudah-mudahan penulisan awal ini akan memberikan data yang cukup penting dan berguna untuk kepentingan arkeologi dan menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat setempat, bahwa mereka memiliki budaya lama yang selama ini mereka belum banyak mengetahuinya. Semoga kerja sama penelitian ini akan membuahkan hasil yang diharapkan. II. Pembahasan Di dalam pembahasan tulisan ini sementara masih mempergunakan “kubur duduk”, sampai ditemukannya data-data baru mengenai “Kubur duduk” yang kami kelompokkan di atas, sebenarnya merupakan satu kesatuan budaya yang sama. Seperti yang telah kami utarakan di atas, pengelompokkan tersebut sifatnya sementara untuk memudahkan pencatatan temuan ataukah benar-benar merupakan pengelompokkan berdasarkan data yang diperoleh di situs tersebut. Suatu contoh kelompok II terletak pada tanah yang lebih tinggi, apakah ada maksud-maksud tertentu untuk mendekatkan diri dengan leluhur yang bersemayam di puncak gunung. Situasi seperti ini dapat memberi nuansa yang berbeda dengan kubur yang berada di tanah yang lebih rendab/datar. Pada budaya ini tentu saja ada anggapan bahwa puncak-puncak gunung adalah tempat bersemayamnya roh suci lelubur (Geldern, 1934 : 5-40). Kepercayaan akan adanya kehidupan di alam arwah sudah ada sejak masa prasejarah sampai saat ini. Ada anggapan bahwa kehidupan di alam sana ikut mempengaruhi kehidupan di alam ini. Kepercayaan ini memunculkan suatu tradisi penempatan bangunan suci di puncak gunung atau di lereng gunung untuk mendekatkan diri dengan para leluhur untuk lebih cepat menerima restu/wahyu dari nenek moyang. Prinsip dasar dari suatu tata cara penguburan adalah dibuatnya lubang langsung di tanah ataukah dibuat semacam wadah kubur untuk meletakkan mayat. Di atas lubur kubur dibuatlah tutup untuk menghindari segala kemungkinan baik itu menyangkut fisik lingkungan mungkin juga dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan. “Kubur duduk” yang berhasil diamati di situs Desa Hu’u ini merupakan kubur yang sengaja liang lahatnya dibuat langsung di tanah dengan susunan batu andesit yang tersusun rapi membentuk silinder seperti sumur dengan kedalaman 1.5m/150cm. Tradisi budaya semacam ini sangat dekat dengan tradisi penguburan yang dilakukan oleh masyarakat Sumba Merapu sekarang. Masyarakat Sumba Merapu membuat bak batu monolit untuk menempatkan si mati. Sikap si mati pada posisi duduk dan beberapa bekal kubur ditaruh di sampingnya seperti “mamuli”, “maraga”, dan sebagainya (Purusa, 2003), di atas bak batu kubur/kabang dibuat dari batu datar utuh satu dengan ukuran bervariasi. Konsep-konsep “kubur duduk” semacam ini tampaknya sangat dekat dengan tradisi yang ada di Sumba Barat, namun di tempat ini masih ditentukan oleh status sosial si mati pada waktu masih hidup, sehingga muncul istilah “kabang” berkaki, dan sebagainya. Budaya-budaya kubur semacam ini berkembang berkisar antara 2000-2500 tahun yang lampau. Pada waktu itu diperkirakan adanya migrasi budaya dari Asia daratan ke Indonesia. Menurut perkiraan, bahwa “kabang” mempunyai bentuk yang sama dengan perahu, hal ini mengingatkan kita bahwa budaya ini datang dengan mempergunakan perahu, contoh lain penggunaan sarkofagus sebagai wadah kubur di Bali (Soejono, 1977). “Kubur duduk” yang dapat diamati di situs Hu’u Lama dapat dikelompokkan, dan telah dicoba untuk mengadakan ekskavasi sistematis untuk mendapatkan temuan-temuan serta, yang mungkin berfungsi sebagai bekal kubur, dan di samping itu untuk mengetahui bentuk utuh dari dinding wadah kubur tersebut. Pada penelitian tahap I ini, belum dilakukan ekskavasi di kelompok I, sedangkan ekskavasi hanya dilakukan pada “Kubur duduk” yang berada di sebelah timur rumah panggung tersebut berjumlah delapan buah dengan ukuran sebagai berikut : Kubur duduk No. 1 panjang : 180 cm Lebar : 70cm Tinggi : 20cm Kubur duduk No. 2 panjang : 110 cm Lebar :78cm Tinggi :20cm Kubur duduk No. 3 panjang : 130 cm Lebar 198m Tinggi :19cm Kubur duduk No. 4 panjang : 76cm. Lebar 74cm Tinggi : 26cm Kubur duduk No. 5 panjang :121cm Lebar : 10cm Tinggi :30cm Kubur duduk No. 6 panjang : 146 cm Lebar : 86cm Tinggi :19cm Kubur duduk No. 7 panjang : 108 cm Lebar : 104. cm Tinggi : 20cm Kubur duduk No. 8 panjang 7135 cm Lebar Tinggi Dari semua “Kubur duduk” yang kami catat salah satu di antaranya kami gali (ekskavasi) secara sistematis dengan waktu yang sangat singkat. “Kubur duduk” yang kami gali adalah “kubur duduk” No. 8 dengan berbagai pertimbangan yang ada. Hasil ekskavasi/penggalian ini berhasil dikumpulkan antara lain beberapa gerabah (pecahan periuk) yang terdiri atas tepian dan badan polos (spit 3). Pada kedalaman 65-95 cm tampak susunan batu andesit yang merupakan bagian dalam dari sumuran (kubur duduk), dan temuan dapat dikumpulkan antara lain keramik fragmen gi, manusia satu buah, fragmen tulang. Ekskavasi ini diakhiri sampai kedalaman 1,5 meter, mengingat waktu yang sangat singkat dan perlu dilanjutkan sampai pada bagian dasar liang lahat (kubur). Dari seluruh kegiatan yang dilakukan pada tingkat awal di situs “Kubur duduk”, berhasil dikumpulkan temuan antara lain : data dari usaha percobaan penggalian sistematis terhadap “kubur duduk” sebanyak tiga buah dari keseluruhan jumlah 8 (delapan) buah (Purusa, 2003). Kubur duduk I: - Manik-manik 3 (tiga) buah manik-manik - Kereweng/gerabah hias 15 buah - Fragmen gigi manusia 14 buah Kubur duduk I: - temuan manik-manik 4 (empat) buah - Kereweng/gerabah 14 buah Kubur duduk III: - temuan kereweng 7 (tujuh) buah - Batu kwarsa 1 kantong plastik kecil. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di situs tersebut, belum mencapai hasil maksimal, karena ekskavasi di “Kubur duduk” No. 8 belum nampak secara keseluruhan atau belum dapat diketahui bentuk asli keseluruhan wadah “kubur duduk” tersebut. Dalam penelitian ini, belum menemukan sistem (pola) penguburan di situs “kubur duduk”. Meskipun demikian, bahwa artefak-artefak yang ditemukan di situs itu dapat dikatagorikan sebagai tempat penguburan, dan oleh masyarakat setempat disebut “Kubur duduk”. Hal ini masih perlu dibuktikan tinggalan-tinggalan budaya dan tradisi yang berlangsung di tempat itu, sudah tentu dibarengi dengan pengamatan daerah-daerah di sekitar situs itu. Selain itu, di puncak “Doro Manto” ditemukan sistem kubur yang memanfaatkan batu gunung sebagai liang lahat, apakah hal ini mempunyai kaitan bahwa ada dua budaya yang berbeda pada sebuah situs, tentu hal ini sangat perlu pengamatan yang lebih cermat dan mendalam. Secara sepintas muncul dua hal yang berbeda yaitu di satu sisi mereka membuat wadah kubur (kubur duduk) sedangkan di puncak Doro Manto, mereka memanfaatkan batu gunung langsung sebagai liang lahat kubur, bukankah yang lebih sederhana dikatakan mempunyai umur yang lebih tua, karena pola berpikir mereka masih terbatas, dan mengenai situs “Kopancoi” akan kami bicarakan secara khusus di lain kesempatan tulisan. Suatu budaya seperti “kubur duduk” yang ditemukan dan berada di Desa Hu’u Lama ini sudah menjadi tinggalan arkeologis yang tidak berkesinambungan pada tradisi masyarakat yang ada sekarang. Mereka mengenal bahwa tinggalan ini merupakan tinggalan nenek moyang yang sangat dikeramatkan. Suatu budaya tentu ada masyarakat pendukungnya, dalam hal ini muncul pertanyaan yaitu di mana dan ke mana pendukung kebudayaan ini? Pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab, namun sangat perlu untuk diketahui dan dicari bekas-bekasnya. Mungkin budaya ini dapat dibandingkan dengan suatu tradisi budaya masyarakat Sumba Merapu di Sumba yang bertempat tinggal di berdekatan dengan tempat-tempat kubur tersebut dan pola penempatan pemukiman ini mempunyai aturan seperti yang terjadi di Bali. Hal ini sangat penting untuk diamati dan dikaji lebih mendalam guna mengetahui lebih jauh mengenai perkembangan suatu budaya. Dalam kesempatan lain, penelitian yang lebih sistematis perlu dilakukan, mengingat masih banyak hal-hal yang perlu mendapat perhatian secara khusus. Penanganan ini memerlukan kemauan, ketekunan dan ketelitian, di samping itu perhatian serta bantuan dari pihak-pihak yang berkompeten. II. Kesimpulan Situs “kubur duduk” yang ditinjau secara sepintas oleh para arkeolog menghasilkan hal-hal yang sangat penting dari sisi perkembangan Kebudayaan masa lampau. Situs “kubur duduk” merupakan istilah yang dipinjam dari masyarakat Desa Hu’u Lama sekarang, dan hal ini perlu dibuktikan keberadaannya. Maka dari itu muncul pertanyaan apakah penamaan kubur ini didasari oleh temuan masyarakat yang menggali tempat ini, untuk mencari harta karun menemukan kerangka manusia dalam posisi duduk, ataukah mungkin asosiasi masyarakat bahwa manusia yang dimasukkan ke dalam kubur yang diameternya relatif kecil dimanfaatkan dengan posisi duduk, suatu kejadian budaya yang masih perlu dibuktikan. Bahan batu kubur disusun secara rapi berbentuk silinder (sumur kecil) untuk tempat mayat. Kalau dilihat dari cara membuatnya menunjukkan suatu tingkah laku budaya yang cukup tinggi. Pembuatan “kubur duduk” dengan materi bangunan dibuat dari batu andesit yang disusun sangat beraturan tentu dikerjakan oleh golongan masyarakat yang mempunyai suatu keahlian yang khusus pada waktu itu. Pada masa itu berkembang di dalam masyarakat kelompok-kelompok masyarakat seperti para undagi yaitu ada undagi kayu (membuat rumah), undagi batu mungkin yang menghasilkan peti batu sarkofagus atau di situs ini dikenal dengan “kubur duduk,” dan masih banyak lagi undagi-undagi yang ada pada waktu itu (Goris, 1954). Di In- donesia kubur seperti ini satu-satunya ditemukan di Desa Hu’u Lama (Dompu) apakah hal ini tersebar ke seluruh kepulauan Indonesia tentu masih perlu dicari. Menurut informasi pakar arkeologi yaitu Dr. Haris Sukendar, bahwa kubur seperti ini terdapat juga di Jepang dan Korea. Apakah hal ini mempunyai pengaruh sampai Kepulauan Nusantara, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dan sistematis. Masih banyak lagi hal-hal atau data-data arkeologis yang lain harus diamati terutama yang menyangkut perkembangan (dinamika) budaya ini. Aspek lain yang sangat perlu diketahui adalah tempat bermukim mereka 10 yang sudah tentu dibarengi dengan data-data (artefaktual) arkeologis. Dar segi bentuk dan pemanfaatan kubur sangat perlu dilakukan studi yang lebit mendalam untuk mencari ukuran dari masing-masing kubur yang nantinyz akan menjadi dasar dalam pengelompokkan kubur tersebut, Dari pengelompokkan itu akan mendapatkan penggunaan atau fungsi yang sama. Masih banyak data yang diharapkan untuk suatu pengungkapan satu peristiwa budaya. Besar harapan kami, kegiatan-kegiatan atau penelitian di bidang arkeologis khususnya untuk Kabupaten Dompu yang kaya dengan tinggalan arkeologis dapat diteruskan dengan menjalin kerja sama demi peningkatan serta kecintaan akan warisan budaya masa lampau. Di sampin, ig itu masih banyak situs-situs arkeologis yang perlu ditinjau dengan tujuan Pemda Dompu untuk merintis pariwisata budaya. Semoga harapan ini dapat terwujud dalam waktu yang tidak begitu lama. Tulisan pada kesempatan ini tak lain adalah hanya merupakan pemuka jalan ke arah yang lebih luas. Misteri “Kubur duduk” diharapkan akan segera terungkap sejalan dengan data arkeologis yang menunjangnya. Pengamatan yang lebih mendalam sangat diperlukan untuk mengetahui apa yang sesungguhnya melatarbelakangi budaya ini, sehingga meninggalkan artefak budaya seperti yang kita lihat sekarang ini. Suatu peristiwa budaya yang masih menyimpan misteri yang harus dicari. 11 DAFTAR PUSTAKA Goris, R. 1954. Prasasti Bali I dan II, Bandung, Masa Baru. Heine Geldern, R.von, 1934: Vorgechtkuche Grudlagen der Kolomalindischen Kunt, Weiner Beitragezur Kunsten Kulturgeschictwe Aseins VIII. Koentjaraningrat, 1958. Metoda-metoda Antropologi dalam Penyelidikan- Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta. —_——,, 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta. Purusa M, 2000. “Budaya Pemujaan Leluhur Cermin Kesatuan dan Persatuan”, Seminar Prasejarah II & Kongres API II, Yogyakarta. ———., 2003. Laporan Hasil Penelitian di situs Nangasia, Maret dan Juli, Balai Arkeologi Denpasar. ., 2003. “Upacara Ritual Masyarakat Sumba Merapu,” Berita Penelitian Arkeologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, ISSN 1410-6477, Balai Arkeologi Denpasar. Soejono, R.P., 1977. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta. sos Blas Ooo SKETSA PETALOKAS! PENELITIAN OLDESA RUU et", - 5 4 Sebaion ote ravvpatee = iskosi Pereiton haf Kubur duduk dari susunan batu andesit. 14

You might also like