You are on page 1of 5

1.

Apakah pejabat birokrat di era otonomi benar-benar memiliki


kewenangan diskresi yang besar (dapat keputusan atas inisiatif
sendiri tanpa takut dibatasi oleh peraturan perundang-undangan)?
Perkembangan PEMDA setelah reformasi ini, kedudukan sistem birokrasi
PEMDA terhadap kepemimpinan pejabat politik yang memimpinnya menjadi
sangat mengkhawatirkan. Banyak ditemui adanya hubungan yang tidak serasi
antara pemerintah daerah dengan rakyat yang notabene telah memilihnya
sendiri. Seperti kasus Bupati Banyuwangi yang kebijakannya ditolak masyarakat,
yang lalu diikuti dengan pemecatan pejabat birokrasinya akibat adanya
penyimpangan yang dilakukan. Serta kasus Pemda Temanggung,Jawa Tengah,
dimana Bupatinya didemo oleh pejabat birokrasi daerahnya sendiri. Yang
kemudian berakhir dengan pemecatan Bupati tersebut, lalu dimasukkan ke
penjara karena terbukti korupsi.
Ketidakserasian hubungan ini juga tergambar jelas saat Pemilihan
langsung Kepala Daerah ataupun Presiden. Dapat dilihat apabila salah satu
calon Kepala Daerah tersebut adalah Bupati/Walikota yang menjabat maka
pejabat-pejabat birokrasi lainnya seakan tidak memiliki diskresinya untuk tidak
memihak calon tersebut. Begitu juga halnya pada saat Pilpres. Pemerintah
maupun Parpol (DPRD) terkesan kurang peka dengan situasi seperti ini,
seringkali kejadian-kejadian seperti ini hanya dianggap sebagai hal yang biasa
sebagai dinamika demokrasi. Diskresi pejabat birokrasi dalam melaksanakan
kebijakan pemerintah menjadi terkendali oleh aspirasi pejabat politik yang
memimpinnya sebagai kepala daerah. Belum lagi intervensi kekuatan politik dari
parpol yang berada di luar DPRD. Intervensi inilah yang kemudian mengurangi
diskresi pejabat birokrasi daerah. Seringkali ada hal-hal yang memang
bertentangan dengan peraturan namun harus segera dilakukan demi
kepentingan masyarakat. Birokrasi pejabat mempunyai keleluasan dalam batas
nominal (nominal boundaries) yang melekat pada jabatan atau sistem yang ada.
Misalnya seorang Sekda (Sekretaris Daerah) di dalam menjalankan dan
melaksanakan kebijakan dan peraturan pemerintah/daerah harus berani menolak
campur tangan kepala daerah apabila hanya mementingkan kepentingan
golongan atau partai tertentu.
Singkat kata, suatu kebijakan pemerintah dilaksanakan tidak hanya hitam
putih saja, tetapi dapat lebih berseni dan berwarna apabila diwarnai dengan

1
diskresi pejabat yang bertanggung jawab. Pejabat yang memiliki keluasan ruang
gerak Diskresi diharapkan adalah pejabat yang memahami seluk beluk urusan
kewenangannya sepanjang tidak menyalahi peraturan yang berlaku, bertujuan
bagi kepentingan masyarakat dan berdasar kepada azas pemerintahan yang
bersih. Diskresi yang menyimpang dari ketentuan2 tersebut berarti diskresi yang
telah menjadi korupsi.
Pada era Reformasi dapat dikatakan kedudukan birokrasi pemerintahan
secara organisatoris berada di bawah kekuasaan kepala daerah yang adalah
kepala daerah yang berasal dari partai politik pemenang pemilihan yang
notabene memperoleh mandat dari rakyatnya (konstituen pemilih dari parpol
tertentu). Keterikatan kepala daerah dengan partai politiknya mustahil dapat
dielakkan, seringkali berujung dengan komitmen kepala daerah untuk membantu
pendanaan kepada partai politiknya. Sebagaimana kita ketahui ada dana taktis
yang disediakan untuk kegiatan kepala daerah. Disinilah diskresi dimungkinkan
untuk beralih kepada korupsi yaitu disaat komitmen kepala daerah terhadap
parpolnya tersebut memaksanya untuk menyalahgunakan dana taktis tersebut.
Hal ini merupakan salah satu contoh intervensi politik yang berujung kepada
penyempitan wilayah diskresi pejabat yang bersangkutan. Intervensi lain yang
tak kalah menjadi momok yang menakutkan bagi pejabat untuk berimprovisasi
dalam wilayah diskresinya adalah pemberantasan korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Terutam bila ada kasus terjadinya tunjuk
langsung pada rekanan tanpa melalui sistem tender. Adakalanya dalam
menjalankan diskresinya pada saat yang mendesak, waktu yang sempit dan
kepentingan serta keamanan/keselamatan masyarakat dipertaruhkan, seorang
pejabat harus menggunakan hak diskresinya akan tetapi kemudian diusut KPK
lalu beralih menjadi dugaan korupsi.
Robert Klitgaard (dalam bukunya Corrupt Cities:A Practical To Cure &
Prevention, Robert.Klitgaard 2000) memandang Diskresi Birokrasi sebagai
penyebab terluas terjadinya Korupsi apabila tidak diimbangi dengan Akuntabilitas
Publik yang baik. Maka untuk pada saat penyembuhan sekarang ini adalah lebih
baik untuk mengurangi kekuasaan dan diskresi tersebut terlebih dahulu dan
menggiatkan akuntabilitas publik. Pemahaman mengenai bahaya korupsi dan
diskresi yang bertanggung jawab dapat terus dibina mulai dari masyarakat itu
sendiri. Diskresi dan Korupsi merupakan 2 sisi mata uang yang tidak dapat

2
dipisahkan. Di satu sisi Diskresi yang dijalankan dengan tujuan yang benar dan
bersih merupakan seni tersendiri dari kreatifitas pejabat daerah dalam
menjalankan fungsinya. Dan di sisi lain dapat bergeser nilai menjadi korupsi
apabila menyimpang dari kebenaran.

2. Apakah partai politik sudah dapat berperan sebagai sarana


demokrasi yang baik?
Kita semua menyadari bahwa instrumen kelembagaan yang paling
strategis dalam mengembangkan pemberdayaan politik masyarakat menuju
kedewasaan politik adalah partai politik (parpol), hal ini bisa dipahami karena
partai politik merupakan jembatan antara masyarakat dengan pemerintah.
Dengan demikian menjadi sangat penting untuk mengembangkan sistem
kepartaian yang mampu menghasilkan partai politik yang profesional yang dapat
menjalankan peran dan fungsinya secara baik dan bertanggung jawab, dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat pada partai.
Adanya partai politik yang baik diharapkan dapat berpengaruh terhadap
kokohnya integrasi nasional, tingginya partisipasi, besarnya legitimasi, maupun
efektifnya penyelesaian konflik. Namun patut disayangkan, kondisi riil kepartaian
yang sekarang tidak dibangunan demi kemaslahatan dan pembangunan bangsa
kedepan, sebab partai-partai yang ada hanya berpikir bagaimana bisa meraih
suara sebanyak-banyaknya dan bisa berkuasa selama-lamanya. Sudah bukan
rahasia apabila partai-partai sekarang mendasarkan diri pada basis massa
pemilih tradisional yang mudah dimobilisasi, dan hal ini tidak disadari telah
mempengaruhi tingkat kohesivitas dan harmoni sosial dalam masyarakat di
tingkat grassroot. Sebagai contoh bagaimana kerasnya persaingan dalam
memperebutkan massa pemilih warga nahdiliyin yang merupakan komunitas
Islam terbesar. Celakanya, masing-masing parpol berupaya keras untuk dapat
mengamankan basis massanya dengan berbagai cara, sementara upaya untuk
melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik bagi massa tidak pernah
dilakukan, dan pada akhirnya tidak jarang berujung pada konflik massa di tingkat
grassroot tersebut.
Hal ini tidak pernah disadari atau bahkan terpikirkan oleh para elit partai
politik bahwa upaya mengeksploitasi pemilih dengan cara demikian tidak
kondusif bagi keutuhan serta keharmonisan bangsa. Akibat pola kepartaian yang

3
demikian, maka dapat diprediksikan pemimpin-pemimpin yang muncul hasil
pemilu tidak akan mempunyai sikap kenegarawanan, lemah visi nasionalitasnya,
sempit wawasannya bahkan tidak mengerti apa arti dari masa depan bangsanya.
Hanya satu tujuannya, bagaimana agar terus berkuasa. Akhirnya demi
kekuasaan segala cara pun dihalalkan. Dan realitas yang terjadi, di era
kepartaian kita sekarang ini banyak partai yang terjebak dan harus berperan
sebagai eksekutif, ini “salah kaprah”.Karena fungsi partai adalah
mengagregasikan kepentingan masyarakat dan memperjuangkannya agar
menjadi keputusan politik. Dengan demikian kepentingan, kebutuhan dan
harapan masyarakat bukan harus dipenuhi oleh partai politik, tapi oleh
pemerintah sebagai pelaksana (eksekutif) yang menjalankan keputusan politik.
Karena pola yang terbalik ini telah menyebabkan partai politik termasuk kader-
kadernya terpogram untuk berlomba mencari income dari proses politik agar
dapat memenuhi kepentingan, keinginan dan harapan konstituennya tersebut.
Akibat dari keadaan ini para kader, anggota dewan, sampai pengurus partai
politik yang tertanam dalam benaknya adalah bagaimana memperbanyak “giji”
politik. Keadaan ini berpengaruh buruk pada perkembangan politik di negara kita,
karena proses politik menjadi disederhanakan, politik identik dengan uang
sebagai contoh money politics dalam proses pemilu. Kalau dalam pemilu sudah
berhambur uang, maka para wakilyang terpilih bukan berpikir untuk rakyatnya
melainkan bagaimana menarik uang yang telah dikeluarkannya, dan pada
akhirnya para anggota dewan lebih mencintai “uang rakyat” dari pada “rakyat
yang punya uang”. Dan apabila para anggota dewan sudah mencintai uang
rakyat, maka penyakit kronis bangsa yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap
menggerogoti atau bahkan semakin parah. Logika demikian bukan tanpa dasar
sebab seperti yang diungkapkan oleh James E. Alt dan K. Alic Chrystal bahwa
“the love of money is the root of evil” (Political Economics, 1983). Dan sudah
menjadi rahasia umum bahwa elit politik kita sering mem-(barter) idealisme
politiknya dengan “setumpuk uang”, sementara disisi lain ada sebahagian rakyat
yang mau menukarkan hak politik dengan “selembar uang”. Alhasil demokrasi
yang seharusnya diartikan sebagai “kedaulatan rakyat” berubah menjadi
“kedaulatan uang”.

4
3. Apakah partai politik sudah menjalankan fungsi kontrol terhadap
kinerja birokrasi pemerintahan secara efektif?
Partai politik di Indonesia saat ini sudah menjalankan fungsi kontrol
dengan lumayan baik. Apalagi oleh sebagian partai yang berfunsi sebagai partai
oposisi. Contohnya PDI-Perjuangan yang menetapkan diri sebagai partai oposisi.
Oposisi senantiasa memberi kontrol politik terhadap kinerja partai politik yang
berkuasa di birokrasi. PDI Perjuangan senantiasa mengkritik dan memberi
masukan serta saran terhadap kinerja pemerintahan SBY yang dianggap tidak
sesuai dengan kemauan rakyat. Oposisi juga mencari-cari celah untuk
menjatuhkan atau menurunkan pamor pemerintah dengan harapan pada
pemilihan umum berikutnya mereka dapat menarik banyak suara yang
mendukung mereka untuk menggantikan partai berkuasa. Namun seringkali
yang ada malah Megawati selaku pimpinan PDIP seakan anti pemerintahan dan
seolah menanggapi negatif semua olangkah yang diambil pemerintah
Partai oposisi seringkali mengambil untung dari permasalahan apalagi
yang menimbulkan protes dari masyarakat. Contohnya apabila pemerintah
mengambil kebijakan yang dirasa tidak pro rakyat. Namun hal ini banyak sisi
positifnya guna memacu pemerintah atau birokrasi ntuk melaksanakan
pemerintahan secara efektif dan efisien. Oleh sebab itu di setiap negar, partai
oposisi sangat diperlukan untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja
birokrasi pemerintahan secara efektif
Meskipun demikian, partai politik yang terlibat koalisi dengan partai
berkuasa, seringkali terkesan melindungi kebobrokan partai berkuasa dan selalu
mengikuti kemauan partai penguasa. Karena partai koalisi berkomitmen untuk
selalu satu suara dengan partai penguasa. Bahkan seringkali mereka
mengiyakan kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Hanya karena mereka
mempunyai kepentingan yang sama dan telah diberikan posisi-posisi yang
strategis oleh partai berkuasa. Partai berkuasa tidak segan memecat dan
memutuskan hubungan dengan partai koalisi yang dianggap terlalu vokal
mengkritik pemerintah atau partai berkuasa. Jadi dalam hal ini partai koalisi
harus selalu mengikuti dan membenarkan tindakan dari pemerintah. Berbanding
terbalik dengan partai oposisi yang selalu memberikan kritik terhadap
pemerintah.

You might also like