You are on page 1of 22

TUGAS KELOMPOK 7

PELAYANAN KEBIDANAN PADA BAYI BARU LAHIR NORMAL


DAN DETEKSI DINI KOMPLIKASI DENGAN
PENDEKATAN RISET TERKINI

Dosen Pengampu:
Dr. Melyana Nurul Widyawati, S.Si.T., M. Kes

Disusun oleh:

Kirana Aulia P. NIM. P1337424721002 Dwi Oktadiarini NIM. P1337424721034


Elisda Fitriyani NIM. P1337424721009 Risa Yuliatri NIM. P1337424721038
Siska Cahya W. NIM. P1337424721012 Sitti Hadijah NIM. P1337424721042
Siti Zulhijjah NIM. P1337424721019 Diah Widyatun NIM. P1337424721047
Hana Nurul K. NIM. P1337424721022 Angelina Dorcy N. NIM. P1337424721053
Katrin Dwi P. NIM. P1337424721028 Mar’atu Mutiah NIM. P1337424721057
Claudia N. NIM. P1337424721029

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM MAGISTER TERAPAN


PROGRAM PASCASARJANA POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan mengenai “Pelayanan
Kebidanan pada Bayi Baru Lahir Normal dan Deteksi Dini Komplikasi dengan Pendekatan
Riset Terkini”. Penulisan ini merupakan salah satu tugas kelompok yang diberikan dalam
mata kuliah Praktik Berdasarkan Bukti dalam Pelayanan Kehamilan, Persalinan, dan Nifas
(Evidence Based in Pregnancy, Birth, and Postnatal Midwifery Care) di Poltekkes Kemenkes
Semarang Program Pascasarjana Program Studi Kebidanan Magister Terapan.

Dalam penyusunan penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan ini, khususnya kepada Dosen
Pengampu yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas ini.

Dalam penulisan ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada sistematika
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini.

Semarang, Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................i

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir Normal................................................7


B. Deteksi Dini Komplikasi dengan Pendekatan Riset Terkini......................................9
C. Contoh Deteksi Dini Komplikasi dengan Pendekatan Riset Terkini.........................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................................19
B. Saran...........................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................21

iiiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan merupakan upaya penjaringan yang
dilaksanakan secara komprehensif untuk mengetahui adanya penyimpangan tumbuh
kembang bayi dan anak balita, serta untuk mengoreksi adanya faktor risiko. Dengan
ditemukan secara dini adanya penyimpangan atau masalah tumbuh kembang anak, maka
tenaga kesehatan mempunyai waktu dalam membuat rencana tindakan/ intervensi yang
tepat terutama ketika harus melibatkan ibu/keluarga. Deteksi dini dapat dilakukan oleh
siapa saja yang telah terampil dan mampu melakukan seperti tenaga professional (dokter,
perawat, bidan, psikolog), kader, bahkan orang tua atau anggota keluarganya dapat
diajarkan cara melakukan deteksi tumbuh kembang. Upaya deteksi ini dapat dilakukan di
tempat pelayanan kesehatan, posyandu, sekolah, atau lingkungan rumah tangga. Deteksi
dinipertumbuhan dan perkembangan anak adalah kegiatan atau pemeriksaan untuk
menemukan secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak
pra sekolah
Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk angka kematian
neonatal tahun 2024 adalah 10 per 1.000 kelahiran hidup. Penyumbang utama kematian
BBLR adalah prematuritas, infeksi, asfiksia lahir, hipotermia dan pemberian ASI yang
kurang adekuat. Penyebab kematian neonatal terbanyak adalah komplikasi kejadian
intrapartum (28,3%), gangguan respiratori dan kardiovaskuler (21,3%), BBLR dan
prematur (19%), kelainan kongenital (14,8%), dan infeksi (7,3%).6
Hasil penelitian di Rumah Sakit Soetomo tahun 2017 menghasilkan bahwa dari
807 kelahiran neonatus didapatkan 101 (12,5%) kematian neonatus terdiri dari 63 (7,8%)
kematian neonatus dini dan 38 (4,7%) kematian neonatus lanjut. Kematian neonatus dini
dan lanjut ditemukan paling banyak pada neonatus BBL ≥2500 g (34,9% dan 50%), laki-
laki (61,9% dan 71,1%), tunggal (95,2% dan 199%) dan sesuai masa kehamilan (79,4%
dan 84,2%) serta usia ibu 20-25 tahun (82,5% dan 71,1%). Sesak (95,2% dan 86,8%) dan
sepsis (66,7% dan 63,2%) merupakan keadaaan klinis neonatus pada usia ≤7 hari
sementara keadaan klinis kematian neonatus lanjut sampai usia 28 hari terutama sesak
(100%), sepsis (84,2%), dan pneumonia (52,6%). Disimpulkan dari hasil penelitian

4
tersebut bahwa profil kematian neonatus yang sering ditemukan adalah sepsis, prematur,
asfiksia, dan kelainan bawaan. 7
Komplikasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh multifaktor. Masa antenatal salah
satunya dipengaruhi oleh faktor kesehatan ibu selama hamil. Ibu dengan masalah medis
seperti hipertensi, obesitas, penyakit kardiovaskuler, DM, dan penyakit lainnya
berpengaruh kepada morbiditas dan mortalitas bayi baru lahir. Masalah medis ibu yang
paling sering ditemukan adalah hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus (DM),
obesitas, dan hepatitis B yang rata-rata dapat menyebabkan komplikasi pada janin.
Berdasarkan teori bahwa ibu dengan penyakit mikrovaskular lanjut seperti hipertensi,
retinopati, dan nefropati berisiko 25% melahirkan prematur karena memburuknya
kondisi ibu atau preeklampsi.
Penyulit pada masa intrapartum seperti BBLR, asfiksia, kelainan kongenital,
infeksi dan sebagianya juga menyumbang angka yang cukup besar untuk terjadinya
komplikasi pada bayi baru lahir. Ketuban pecah prematur, PEB, eklampsi, dan sindrom
HELLP merupakan masalah obstetri dan komplikasi persalinan yang sering ditemukan
pada ibu yang terutama menyebabkan kematian neonatus dini. Morbiditas janin lainnya
termasuk juga intrauterine growth retardation (IUGR), asidemia janin, dan komplikasi
dari prematuritas.8 Faktor penolong persalinan, faktor lingkungan, dan masih banyak
faktor lainnya yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir.
Deteksi/skrining awal baik pada masa kehamilan, persalinan atau masa neonatus
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih serius dan memberikan
terapi yang tepat sesuai dengan kondisi neonatus saat dilahirkan. Skrining pada bayi baru
lahir, bertujuan untuk deteksi dan intervensi dini agar tumbuh kembang bayi dapat
optimal. Skrining pada bayi baru lahir ada yang rutin, ada pula yang hanya dilakukan
pada keadaan khusus. Kualitas anak masa kini merupakan penentu kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) dimasa yang akan datang. Pembangunan manusia masa depan dimulai
dengan pembinaan anak masa datang. Masa depan manusia perlu dipersiapkan, agar anak
bisa tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini, yaitu:
1. Bagaimanakah pelayanan kebidanan pada bayi baru lahir normal?

5
2. Apa sajakah contoh deteksi dini komplikasi dikaitkan dengan pendekatan riset
terkini

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka didapatkan tujuan penulisan sebagai
berikut:
1. Menjelaskan mengenai pelayanan kebidanan pada bayi baru lahir normal
2. Memberikan contoh deteksi dini komplikasi dengan pendekatan riset terkini

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir Normal


1. Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir adalah individu yang baru saja mengalami proses kelahiran dan
harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterine ke kehidupan ektrauterin. Selain
itu bayi baru lahir adalah individu yang sedang bertumbuh. 1 Neonatus disebut juga
bayi baru lahir. Neonatus adalah bayi yang berusia 4 minggu atau lebih muda. 2
Menurut WHO yang dikatakan bayi baru lahir atau neonatus adalah anak di bawah
usia 28 hari.
Masa neonatus adalah 4 minggu pertama kehidupan seorang anak. Ini adalah
waktu ketika terjadi perubahan yang sangat cepat. Banyak peristiwa kritis dapat
terjadi pada periode ini: pola makan ditetapkan, ikatan antara orang tua dan bayi
dimulai, risiko infeksi yang mungkin menjadi lebih serius lebih tinggi dan banyak
cacat lahir atau kongenital yang pertama kali dicatat pada masa ini.2
2. Komponen Asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir
Untuk memastikan setiap anak bertahan dan berkembang sehingga mencapai
potensi penuh mereka, kita harus fokus pada peningkatan perawatan sekitar waktu
kelahiran dan minggu pertama kehidupan. Memberikan pertolongan dengan segera,
aman dan bersih adalah bagian essensial dari asuhan bayi baru lahir.
Mempromosikan kelangsungan hidup bayi baru lahir membutuhkan
pembangunan layanan kesehatan yang kuat, memastikan bahwa setiap kelahiran
dibantu oleh personel yang terampil dan menyediakan perawatan rumah sakit untuk
keadaan darurat. Sangat penting bahwa perawatan bayi baru lahir esensial sejak dini
diberikan, termasuk kontak kulit dengan kulit yang segera dan berkepanjangan serta
menyusui dini dan eksklusif, untuk meningkatkan peluang bertahan hidup dan untuk
meletakkan dasar bagi kehidupan yang sehat.3
Berdasarkan PMK No 53 Tahun 2014, pelayanan kesehatan neonatal esensial
bertujuan untuk mengetahuisedini mungkin kelainan pada bayi, terutama dalam 24 jam
pertama kehidupan. Pelayanan kesehatan neonatal esensial dilakukan terhadap bayi
baru lahir yang meliputi tatalaksana pada bayi baru lahir pada saat lahir 0 sampai 6 jam

7
dan 6 jam setelah lahir sampai 28 hari. Pelayanan neonatal esensial dilakukan paling
sedikit 3 (tiga) kali kunjungan, yang meliputi:
a. 1 kali pada umur 6-48 jam
b. 1 kali pada umur 3-7 hari
c. 1 kali pada umur 8-28 hari
Pelayanan neonatal esensial 0 sampai 6 jam meliputi:
- Menjaga Bayi tetap hangat
- Inisiasi menyusu dini
- Pemotongan dan perawatan tali pusat
- Pemberian suntikan vitamin K1
- Pemberian salep mata antibiotik
- Pemberian imunisasi hepatitis B0
- Pemeriksaan fisik Bayi Baru Lahir
- Pemantauan tanda bahaya
- Penanganan asfiksia Bayi Baru Lahir
- Pemberian tanda identitas diri
- Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil,tepat waktu ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu
Pelayanan neonatal esensial 6 jam sampai 28 hari meliputi:
- Menjaga Bayi tetap hangat
- Perawatan tali pusat
- Pemeriksaan Bayi Baru Lahir
- Perawatan dengan metode kanguru pada Bayi berat lahir rendah
- Pemeriksaan status vitamin K1 profilaksis dan imunisasi
- Penanganan Bayi Baru Lahir sakit dan kelainan bawaan
- Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil,tepat waktu ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.4
Tujuan melakukan pemeriksaan fisik pada BBL adalah:
1. Menilai gangguan adaptasi bayi baru lahir dari kehidupan dalam uterus ke luar
uterus
yang memerlukan resusitasi.
2. Untuk menemukan kelainan seperti cacat bawaan yang perlu tindakan segera.
3. Menentukan apakah bayi baru lahir dapat dirawat bersama ibu (rawat gabung)
atau tempat perawatan khusus.
8
Waktu pemeriksaan BBL adalah:
1. Saat bayi berada di klinik (dalam 24 jam)
2. Pada usia 1-3 hari (kunjungan bayi baru lahir 1 – KN 1)
3. Pada usia 4-7 hari (kunjungan bayi baru lahir 2 – KN 2)
2. Pada usia 8-28 hari (kunjungan bayi baru lahir 3 – KN 3)5

B. Deteksi Dini Komplikasi dengan Pendekatan Riset Terkini

Deteksi/skrining awal baik pada masa kehamilan, persalinan atau masa neonatus
bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih serius dan memberikan terapi
yang tepat sesuai dengan kondisi neonatus saat itu. Beberapa contoh skrining yang telah
dilakukan di beberapa negara di dunia pada masa prenatal dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.9

9
Apabila bayi sudah dilahirkan, tujuan penilaian awal bayi baru lahir adalah untuk
mengetahui kondisi baru baru lahir sebagai dasar pengambilan keputusan. Mengacu pada
Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal (Depkes RI, 2014). Dasar dari penilaian
selintas/awal ini adalah:
1. Apakah bayi cukup bulan? Diketahui dari riwayat usia kehamilan dan besar/berat janin.
2. Apakah air ketuban jernih, tidak bercampur mekonium? Diketahui saat ketuban pecah
spontan atau saat dilakukan amniotomi.
3. Apakah bayi menangis atau bernapas? Diketahui saat setelah bayi dilahirkan secara
penuh mulai kepala sampai kaki.
4. Apakah tonus otot bayi baik? Diketahui melalui gerakan dari bayi setelah dilahirkan.

C. Contoh Deteksi Dini Komplikasi dengan Pendekatan Riset Terkini


1. Dinamic Light scattering (DLS) Sebuah Teknologi Non-invasif Baru untuk
Pemantauan Detak Jantung Neonatus
Penelitian ini dilakukan oleh Norani H. Gangaram-Pandays, Tanja van Essen,
Tom G. Goosa, Rogier CJ de JongeCIrwin KM Reiss, Willem van Weteringena,
dengan judul Dynamic Light Scattering: A New Noninvasive Technology for
Neonatal Heart Rate Monitoring. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Anak
Sophia, Rotterdam, Belanda.
Dynamic Light Scattering adalah inovasi miniature sensor yang telah
dikembangkan, dan berguna dalam pemantauan parameter hemodinamik non-
invasif. Mekanisme kerja Dynamic Light Scattering, yaitu dapat mendeteksi gerakan
hemoglobindalam tubuh dengan dioda laser yang memancarkan sinar cahaya sempit.
Cahaya menghamburkan hemoglobin yang bergerak, menciptakan pola bintik yang
berubah-ubah waktu. Pola bintik dianalisis secara real time dan memberikan
informasi tentang, misalnya, kecepatan dan ukuran partikel hemoglobin, dan
menerjemahkannya ke bentuk gelombang aliran pulsatil. Hal ini memungkinkan
teknik DLS untuk mengukur beberapa parameter hemodinamik seperti HR dan
aliran darah.
Teknologi DLS memiliki beberapa keunggulan potensial dibandingkan
pemantauan HR neonatal saat ini. Sensor dengan teknologi ini bisa lebih kecil dari
sensor HR saat ini, dan juga berpotensi untuk mengukur parameter hemodinamik
lainnya seperti aliran darah. Alat yang biasa digunakan dalam melakukan
pengukuran HR yaitu Elektrokardiografi (EKG) dan oximetry nadi banyak
10
digunakan untuk pemantauan HR noninvasif di unit perawatan intensif neonatal
(NICU). Namun, kedua teknologi ini memiliki keterbatasan seperti gerakan jantung
bayi yang sering tidak terdeteksi, gangguan listrik, menimbulkan lesi pada kulit, dan
belum dapat mengukur parameter hemodinamik lainnya seperti aliran darah.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai potensi DLS untuk deteksi HR pada bayi,
dengan mengevaluasi kualitas sinyal pengukuran DLS dan menentukan kesesuaian
dengan EKG.
Karakteristik bayi yang dapat menggunakan DLS yaitu tidak terdapat sepsis,
demam, desaturasi parah, apnea parah, atau insiden parah selama menyusui. DLS
ditempelkan dibagian dahi, dada dan perut bayi tetapi tidak menyentuh permukaan
kulit dengan jarak beberapa milimeter dari kulit.
Dari hasil pengukuran yang ditempelkan dibagian dahi memiliki tingkat
sensitivitas yang baik yaitu 87 dan 90%, sedangkan untuk bagian dada dan perut
memiliki AUC terendah. Hal ini disebabkan karena adanya gerakan pernapasan yang
dapat menciptakan bentuk gelombang sehinga terdeteksi sebagai detak jantung.
Penelitian ini adalah yang pertama mengevaluasi kinerja sensor DLS mini
untuk pemantauan HR. Teknologi DLS memiliki beberapa keunggulan potensial
dibandingkan pemantauan HR neonatal saat ini. Sensor dengan teknologi ini bisa
lebih kecil dari sensor HR saat ini, dan juga berpotensi untuk mengukur parameter
hemodinamik lainnya seperti aliran darah.
Keterbatasan dari teknologi DLS ini membutuhkan kekuatan sinyal yang
sangat baik. Jika sinyal DLS buruk akan mengakibatkan pencatatan frekuensi yang
salah, amplitudo, dan fluktuasi yang disebabkan oleh pernapasan (pengembaraan
dasar), serta salah mendeteksi bentuk gelombang pernapasan sebagai detak jantung.
DLS juga masih sulit mendeteksi pergerakan ekstremitas yang tiba-tiba yang
berlangsung singkat sehingga mengakibatkan hilangnya deteksi HR.
Meskipun keterbatasan utama dari penelitian ini, ukuran kecil dari mDLSTM
sensor dan non-invasifnya menunjukkan kegunaan yang sangat baik. Dengan
perbaikan yang diperlukan, teknologi DLS akan dapat memberikan keuntungan
khusus dibandingkan teknik yang digunakan saat ini seperti EKG dan oksimetri
nadi, karena kemungkinan pengukuran HR, aliran darah, dan curah jantung dengan
satu sensor, dan bahkan bebas kontak hingga jarak beberapa milimeter dari kulit.
Kesimpulan dalam penelitian ini Dynamic Light Scattering adalah inovasi
miniature sensor yang telah dikembangkan, dan berguna dalam pemantauan
11
parameter hemodinamik non-invasif. Teknologi DLS memiliki beberapa keunggulan
potensial dibandingkan pemantauan HR neonatal saat ini. Sensor dengan teknologi
ini bisa lebih kecil dari sensor HR saat ini, dan juga berpotensi untuk mengukur
parameter hemodinamik lainnya seperti aliran darah. Keterbatasan dari teknologi
DLS ini membutuhkan kekuatan sinyal yang sangat baik. Jika sinyal DLS buruk
akan mempengaruhi kinerja DLS.
2. Computer Vision untuk Deteksi Penyakit Kuning pada Neonatus Menggunakan
Graphic User Interface
Penelitian ini dilakukan oleh Warqaa Hashim, Ali Al-Naji, Izzat A. Al-Rayahi,
dan Munir Oudah yang berjudul “Computer Vision untuk Deteksi Penyakit Kuning
pada Neonatus Menggunakan Graphic User Interface”.
Data digunakan dalam percobaan ini dikumpulkan selama dua hari di rumah
sakit pendidikan pusat pediatrik di Baghdad, Irak. Dua bayi dilibatkan dalam
penelitian ini (dua laki-laki, satu dengan penyakit kuning dan satu lagi tanpa
penyakit kuning) dengan usia kehamilan kurang dari 30 minggu. Sebuah kamera
digital (Nikon D5300) ditempatkan pada jarak kira-kira 1-2 m dari bayi, dan banyak
gambar diambil pada waktu yang berbeda dalam sehari. Data gambar ditangkap
dalam pencahayaan sekitar menggunakan lensa 18-50 mm dengan resolusi
6000x4000 dan disimpan dalam format file JPEG di komputer. Juga, banyak foto
bayi online digunakan untuk menguji sistem deteksi penyakit kuning yang
diusulkan. Pengumpulan data kedua bayi tersebut ditunjukkan pada gambar dibawah

ini:
data di bawah pencahayaan ambient untuk (a) bayi sehat tanpa ikterus, dan (b) bayi
dengan ikterus.

12
Gambar Diagram skema dari sistem deteksi penyakit kuning yang diusulkan.
Pada hasil eksperimen dapat dijelaskan bagaimana sistem deteksi penyakit kuning
yang diusulkan dapat digunakan untuk menentukan apakah bayi memerlukan terapi
UV atau tidak berdasarkan analisis warna kulit. Rentang yang dipilih untuk kulit
ikterus dan non-ikterus digunakan oleh lingkungan MATLAB 2020a (MathWorks,
NSW, Australia) dan menentukan status kulit dan mengirimkan output digital (1 atau
0) ke sirkuit mikrokontroler yang mengontrol sirkuit LED biru. Panel GUI
MATLAB yang diusulkan dijalankan di bawah sistem operasi Microsoft Windows
10 dengan CPU Intel® Core™ i7-6700HQ 2,6 GHz, RAM 16 GB. Ini
memungkinkan pengguna (dokter atau perawat) untuk memuat sampel gambar bayi,
memilih ROI secara manual dan menjalankan algoritme untuk menentukan keadaan
kulit dan apakah memerlukan terapi UV atau tidak. GUI yang diusulkan
menyediakan alat yang mudah untuk melihat histogram RGB dan nilai
kecerahannya, status kulit (kulit kuning atau tidak kuning) dan kontrol LED biru.

13
Panel utama GUI dari sistem deteksi ikterus yang diusulkan untuk bayi normal tanpa
ikterus di unit perawatan intensif.

Dari gambar diatas terlihat bahwa bayi normal tidak memerlukan terapi UV
karena kulitnya normal tanpa kekuningan (dalam kisaran normal biru yang dipilih
>105), dan LED UV dalam kasus ini OFF. Sedangkan Jelas dari Gambar dibawah
bahwa panel GUI eksperimental dapat menentukan kebutuhan terapi UV karena
kulit bayi mengalami ikterus (dalam kisaran biru yang dipilih <104), dan LED UV
menyala dalam kasus ini. Panel GUI eksperimental juga diuji pada banyak foto bayi
dari internet dengan tingkat deteksi yang sangat tinggi untuk keadaan kulit.

Dari gambar tabel diatas dari 10 bayi yang dilakukan pengujian dilihat
bahwa kinerja sistem deteksi penyakit kuning yang diusulkan pada 10 foto untuk
bayi dengan dan tanpa penyakit kuning. Terlihat jelas bahwa bayi dengan kondisi
menderita icterus makan panel UV LED pada alat tersebut akan ON.
Penyakit kuning atau ikterus mengacu pada perubahan warna kekuningan
pada kulit atau bagian putih mata. Kondisi ini sangat umum terjadi pada bayi baru
lahir karena ketidakefisienan hati mereka yang belum matang dalam memetabolisme
bilirubin. Bilirubin terjadi ketika sel darah merah tua dipecah. Faktanya, tubuh
manusia terus menerus memproduksi sel darah merah baru dan memecah yang lama.
Sel darah merah pada orang dewasa bertahan selama sekitar 120 hari, tetapi pada
bayi yang baru lahir, mereka bertahan untuk waktu yang jauh lebih singkat. Dengan

14
demikian, bayi baru lahir memiliki jumlah sel darah merah di atas normal, tingkat
bilirubin yang tinggi karena lebih banyak sel darah merah yang dipecah. Biasanya,
hati memetabolisme sel darah yang rusak untuk ekskresi, yang menghasilkan
bilirubin. Kemudian, bilirubin diekskresikan dalam empedu dan urin. Kadar
bilirubin dan empedu yang tinggi menyebabkan warna kulit menjadi kekuningan dan
dapat mengindikasikan penyakit tertentu seperti penyakit kuning. Telah ditunjukkan
oleh statistik bahwa hingga 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi prematur
ditemukan mengalami ikterus neonatorum pada minggu pertama kehidupan mereka,
dan 10% bayi baru lahir yang disusui.

Ada berbagai metode untuk mendiagnosis penyakit kuning, tetapi secara


umum dikategorikan sebagai: metode invasif atau non-invasif. Metode yang
optimum untuk menentukan kadar hiperbilirubinemia adalah pengukuran Total
Serum Bilirubin (TSB), yang dilakukan dengan pengambilan sampel darah . Namun,
pengukuran TSB hanya dapat dilakukan oleh perawat medis, dan ini merupakan
prosedur yang invasif dan membuat stres [6]. Juga, ada tes medis lain untuk
mendiagnosis penyakit kuning yang memerlukan pengumpulan sampel darah; tetapi
secara umum, semua metode invasif menyakitkan bagi bayi baru lahir,
meningkatkan risiko infeksi di tempat pengambilan sampel, dan menyebabkan
kecemasan bagi orang tua. Salah satu contoh metode noninvasif adalah estimasi
bilirubin serum berdasarkan penampakannya. Secara umum, bayi yang ikterusnya
terbatas pada wajah dan bagian tubuh di atas umbilikus memiliki kadar bilirubin di
bawah (205 mol/L) (tingkat yang kurang berbahaya). Di sisi lain, bayi dengan
telapak tangan dan telapak kaki kekuningan memiliki kadar bilirubin di atas (256,5
mol/L) (tingkat yang lebih berbahaya). Telah dibuktikan oleh penelitian bahwa
penilaian dokter terlatih menunjukkan persetujuan moderat dengan TSB.

Kadar bilirubin yang sangat tinggi dapat menyebabkan kernikterus, suatu


kondisi yang jarang namun serius yang menyebabkan gejala sisa neurologis
ireversibel yang ditandai dengan kelainan visual, spastisitas athetoid, dan gangguan
pendengaran sensorineural di antara penderitanya. Penggunaan transfusi tukar
adalah yang pertama, dan penemuan fototerapi adalah yang kedua. Penggunaan
fototerapi adalah untuk menghindari penggunaan transfusi tukar. Fototerapi saat ini
merupakan metode pengobatan utama karena transfusi tukar menjadi semakin
langka. Fototerapi kontemporer ditemukan di Inggris ketika diketahui bahwa kulit

15
bayi yang terpapar sinar matahari setiap hari lebih sedikit ikterusnya dibandingkan
yang tidak terpapar sinar matahari. Sejak saat itu, fototerapi telah digunakan secara
luas dalam mengobati penyakit kuning.

Tujuan terapi adalah untuk mengurangi konsentrasi bilirubin yang


bersirkulasi atau menghentikannya agar tidak meningkat. Hal ini dapat dicapai
dengan menggunakan energi cahaya untuk mengubah struktur dan bentuk bilirubin,
mengubahnya menjadi molekul yang dapat diekskresikan bahkan ketika konjugasi
normal tidak mencukupi. Penyerapan cahaya oleh bilirubin dermal dan subkutan
merangsang fraksi pigmen untuk mengalami beberapa reaksi fotokimia yang terjadi
pada tingkat yang sangat berbeda. Penyerapan cahaya oleh bilirubin terjadi paling
kuat di wilayah spektrum biru (dekat 460 nm), seperti yang dijelaskan pada Gambar
1. Di wilayah ini, penetrasi cahaya melalui jaringan meningkat secara signifikan
dengan peningkatan panjang gelombang. Secara khusus, intensitas dan panjang
gelombang cahaya yang digunakan sangat mengontrol laju pembentukan fotoproduk
bilirubin hanya panjang gelombang yang diserap oleh bilirubin dan menembus
jaringan memiliki efek fototerapi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini,
lampu yang paling efektif untuk mengobati hiperbilirubinemia adalah lampu yang
memiliki keluaran di wilayah spektrum biru 460 hingga 490 nm.

Fototerapi rumah sakit menggunakan lampu LED biru mungkin lebih efektif
dalam mengurangi waktu yang dihabiskan di bawah fototerapi dibandingkan dengan
fototerapi konvensional pada bayi cukup bulan dan prematur. Karena paparan kulit
maksimum diperlukan, bayi harus telanjang dan ditempatkan di inkubator untuk
menghindari stres dingin. Suhu tubuh harus dipantau secara teratur karena efek
langsung energi radiasi pada suhu kulit dan juga karena panas dapat ditransmisikan
dari unit fototerapi ke inkubator.

3. Metode Penilaian Keparahan Asfiksia Perinatal dan Alat Prognostik Dini pada
Neonatus dengan Ensefalopati Hypoxi-Ischemic yang Diobati dengan Terapi
Hipotermia
Beberapa kemajuan terbaru dalam perawatan perinatal terhadap hypoxia
neonotus-ensefalopati iskemik merupakan yang salah satu paling umum dari
kejadian defisit neurologis yang parah terjadi pada anak-anak dengan jumlah sebesar
15 dari 10,000 kelahiran hidup. Terapi hipotermi merupakan suatu metode

16
pengobatan yang sudah terbukti efektih untuk melindungi otak dari efek iskemia /
hipoksia pada neonatus pasca aspeksia yang dianjurkan untuk bayi baru lahir
dengancukup bulan atau dekat dengan kriteria kualifikasi dan kontraindikasi
terhadap terapi hipotermia di sesuaikan pada kemajuan pengetahuan serta dimasukan
kedalam rekomendasi standar untuk perawatan bayi baru lahir. Pada metode terapi
hipotermia (TH) memiliki dua metode tersedia yaitu hipotermia kepala selektif dan
hipotermia seluruh tubuh (Walas et al., 2020).
Tujuan penelitian untuk dapat menyajikan metode terapii hiportemia yang
digunakan untuk meperkirakan keparahan akibat aspeksian perintal serta alat
prognostic untuk nenonatus dengan hipoksia neonatus ensefalipati iskemik (HIE).
Terapi metode hiportemia (TH) merupakan metode pengobatan yang sudah terbukti
lebih efektif dalam melindungi atak akibat efek iskemia / hipoksia pada neanatus.
Penilaian klinis status nerologis dilakukan secara rutin selama perawatan di bangsal
neonatus. Penilaian status nerologis bayi baru lahir setelah askpesia prenatal sangat
sulit kerena banyak kebutuhan obat-obatan dalam mempengaruhi otak. Penilaian
melalui skala APGAR score, Skala Sarnat, Skala Thomson dilakukan guna untuk
mengetahui kriteria seperti apa keadaan bayi baru lahir tersebut.
Beberapa tes labolatorium digunakan untuk melihat keseimbangan asam basa
karena ada asidosis metabolic yang dimana menjadi kriteria prakualifikasi dalam
terapi hipotermia. Dengan tes labolatrium juga dapat melihan consensus tingkatan
keparahan academia laktat untuk menjadi bayangan tingkat hipoksia janin iskemia.
Dengan pengukuran system laktat tunggal tidak dapat memberi informasi yang pasti
durasi asfiksia. Bebrapa publikasi atas dasar asumsi tes labolatorium dapat meilihat
keparahan HIE serta memprediksi prognosis. Dengan meilihat protein ringan
neurofilamen plasma, interferon, sacrcetoneurin, osteopontin, protein kemotaktik
monosit-1, protein inflamasi makrofag 1a, faktor pertumbuhan endontel vaskuler
(VEGF), leptin, andiponektin serta eritropoitin.
Tes elektrofosis salah satu faktor penting untuk melihat kualifikasi terhadap
pengobatan terapi hipotermia. Karena tujuan terapi ini untuk memantau pengobatan.
Pada tes elektrofisologis juga menjadi salah satu pedeteksi kejang subklinis,
kegunaan pada pronogsis bayi baru lahir sudah memiliki bukti setalh bayi
mengalami asfiksia prenatal. Pencitraan saraf neuroimaging memiliki peran dalam
menentukan prognosis bayi baru lahir dengan HIE. Computed tomographjy (CT)
dapat mendiagnosis HIE serta memprediksi prognosis telah berkurang karena
17
adanya MRI. Terdapat kekurang dalam pemeriksaan CT diman tingkat sensitive dan
kurang spesifik di bandingkan dengan MRI dalam mendiagnosa HIE neonatus
dengan resolusi jaringan yang jauh lebih rendah, selain itu yang menjadi kelemahan
adalah paparan radiasi. Spektroskopi resonasi magentik (MRS) berguna untuk
memprediksi hasil motorik, kognitif serta bahasa dalam dua tahun ensefalopari
neonatal setelah dilakuan terapi hipotermia, disfusi tensor imaging juga dapat
digunakan dalam memprediksi perkembangan bayi baru lahir dengan HIE.
Beberaapa peneliti sudah mengusulkan tenatang model skala estimasi MRI untuk
melihat objektifikasi hasil.
Para ahli seperi Jain, mietzsch, Kayton artikel menunjukan metode yang
penting seperti spektroskopi infra merah dekat dalam pronogsis terhadap bayi baru
lahir dengan HIE. Dimulai ditemukan peningkatan saturasi oksigen, dari indeks
score memiliki hunungan terhadap karakteristik denyut jantung dan keparahan
cedara yang megakibatkan keusakan opada otak sehingga terjadi disfungsi pusat
termoregulasi, prognosis estiminasi non-invasif. Pengaruh suhu kasur juga dapat
menjadi korelasi yang dikendalikan terhadap perawatan dari tingkat kerusakan otak
pada bayi baru lahir dengan asfiksia neonatorum setalah dilakaukan terapi
hypothermia.
Kesimpulanya dalam memberikan prediksi atau prognosis diperlukan
komunikasi konseling pada orang tua mengenai efek samping atau gejala yang akan
masih ada di jangka panjang kedepan. Perkembangan teknologi yang luas dan
signifikan dari berbagai metode diagnosa untuk menilaia tingkat kerusakan atau
keparahan diotak serta memberi prognosis pada bayi baru lahir dengan HIE
terhadap pengobatan terapi hopotermia (HT) masih memiliki tantangan dikarenakan
banyak alat diagnostic masih memiliki keterbatasan, contohnya tidak semua alat
sensitive serta sepesifik, bebrapa tidak bisa dilakukan dirumah sakit, unit perawat
yang membutuhkan biaya mahal untuk hasil yang didapat hanya pada tahapan
penilaian sesuai dengan klinis.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bayi baru lahir adalah
individu yang baru saja mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri dari
kehidupan intrauterine ke kehidupan ektrauterin. Memberikan pertolongan dengan
segera, aman dan bersih adalah bagian essensial dari asuhan bayi baru lahir.
Berdasarkan PMK No 53 Tahun 2014, pelayanan kesehatan neonatal esensial
bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin kelainan pada bayi, terutama dalam 24
jam pertama kehidupan.
Berbagai penelitian menghasilkan bahwa dari kelahiran neonatus didapatkan
kematian neonatus yang terdiri dari kematian neonatus dini dan lanjut dengan paling
banyak ditemukan adalah sepsis, prematur, asfiksia, dan kelainan bawaan.
Deteksi dini pada masa neonatus bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih serius dan memberikan terapi yang tepat sesuai dengan kondisi
neonatus saat itu. Beberapa contoh deteksini dini komplikasi dengan pendekatan riset
terkini adalah Dynamic Light Scattering, Computer Vision untuk deteksi penyakit
kuning pada neonatus menggunakan Graphic User Interface, dan metode terapi
hipotermia (TH).
Dynamic Light Scattering adalah inovasi miniature sensor dalam pemantauan
parameter hemodinamik non-invasif bekerja mendeteksi gerakan hemoglobin dalam
tubuh dengan dioda laser yang memancarkan sinar cahaya sempit seperti HR dan
aliran darah.
Computer Vision untuk deteksi penyakit kuning pada neonatus menggunakan
Graphic User Interface bertujuan untuk menentukan apakah bayi memerlukan terapi
UV atau tidak berdasarkan analisis warna kulit. GUI yang diusulkan menyediakan alat
yang mudah untuk melihat histogram RGB dan nilai kecerahannya, status kulit (kulit
kuning atau tidak kuning) dan kontrol LED biru. Panel utama GUI dari sistem deteksi
ikterus yang diusulkan untuk bayi normal tanpa ikterus di unit perawatan intensif.
Terapi metode hiportemia (TH) merupakan metode pengobatan yang sudah terbukti
lebih efektif dalam melindungi atak akibat efek iskemia / hipoksia pada neanatus.
Metode ini digunakan untuk meperkirakan keparahan akibat aspeksian perintal serta
alat prognostic untuk nenonatus dengan hipoksia neonatus ensefalipati iskemik (HIE).

19
B. Saran
1. Bagi Petugas Pelayanan Kesehatan
Diharapkan agar petugas pelayanan kesehatan dapat memberikan asuhan
kebidanan khususnya pada bayi baru lahir dengan menggunakan pendekatan riset
terkini sesuai dengan evidance based agar dapat mendeteksi dini komplikasi pada
bayi baru lahir sehingga dapat menurunkan angka kematian bayi. menggunakan
terapi musik sebagai salah satu terapi non farmakologis untuk memperbaiki,
memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi pasien khususnya
yang berhubungan dengan pelayanan kebidanan.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan agar masyarakat dapat mengenali faktor-faktor risiko dan tanda
bahaya secara dini sehingga mendapatkan akses pertolongan kegawatdaruratan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Sembiring, J. B. Buku ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah - Julina Br
Sembiring - Google Books. 500 https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=ZAyfDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR5&dq=neonatus&ots=4sYa9LpTjo
&sig=Q22DGOTfggGRsyrGo4kekDtJPac&redir_esc=y#v=onepage&q=neonatus&f=f
alse (2019).
2. Neonate: MedlinePlus Medical Encyclopedia.
https://medlineplus.gov/ency/article/002271.htm.
3. WHO. Newborn health. https://www.who.int/westernpacific/health-topics/newborn-
health.
4. Sholih, M. PMK No. 53 ttg Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial.
5. siti patimah, D. PRAKTIK KLINIK KEBIDANAN III. (kementerian kesehatan republik
indonesia, 2016).
6. Kesehatan, D., Direktorat, K., Kesehatan, J. & Kementerian Kesehatan, M.
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA RENCANA AKSI
KEGIATAN. (2020).
7. Djajakusli, S. et al. Profil Kematian Neonatus di RSUD dr. Soetomo. Sari Pediatr. 18,
474–80 (2017).
8. Anggraini, A., Sumadiono, S. & Wandita, S. Faktor Risiko Kematian Neonatus dengan
Penyakit Membran Hialin. Sari Pediatr. 15, 75 (2016).
9. Awhonn, E. H. S. Core Curriculum for Neonatal Intensive Care Nursing E-Book. 800
https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=aD_YDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=neonatus+care&ots=Y-
SoBania3&sig=q56jvSLnODuu6Qk0AbLYrq9YwSM&redir_esc=y#v=onepage&q=n
eonatus care&f=false (2020).
10. Agustin L. (2019). Gambaran Kejadian Asfiksia Neonatorum Di Rumah Sakit Di Kediri.
Jurnal Kebidanan, 7(2), 126–130.
https://doi.org/https://doi.org/10.35890/jkdh.v7i2.105
11. Walas, W. et al. (2020) ‘Methods for assessing the severity of perinatal asphyxia and
early prognostic tools in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy treated with
therapeutic hypothermia’, Advances in Clinical and Experimental Medicine, 29(8), pp.
1011–1016. doi: 10.17219/acem/124437.

21
12. Hashim W, Al-Naji A, Al-Rayahi IA, Oudah M. Computer Vision for Jaundice Detection
in Neonates Using Graphic User Interface. IOP Conf Ser Mater Sci Eng.
2021;1105(1):012076. doi:10.1088/1757-899x/1105/1/012076
13. Gangaram-Panday NH, Van Essen T, Goos TG, De Jonge RCJ, Reiss IKM, Van
Weteringen W. Dynamic Light Scattering: A New Noninvasive Technology for
Neonatal Heart Rate Monitoring. Neonatology. 2020;117(3):279-286.
doi:10.1159/000506771

22

You might also like