You are on page 1of 24

Makalah

“Thypus”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kesehatan Anak

Dosen Pengampu : Desy Dwi Cahyani, SST, M.Keb

Disusun oleh :

1. Seconda Ayuning Fitria (P17311181001)


2. Risa Maulidia Safitri (P17311183043)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN DAN PROFESI BIDAN
MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
“Thypus” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman dan seluruh pihak yang terlibat dalam membantu
terselesaikannya makalah ini.

Makalah yang berjudul “Thypus” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Kesehatan Anak. Selain itu juga dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
dan pengetahuan mengenai bagaimana patofisiologi dan penanganan pada anak-anak
yang menderita thypus.

Dalam makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
segala saran dan kritik guna perbaikan sangat kami harapkan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya.

Malang, 3 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................................1

BAB 2 : PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Thypus..............................................................................................2
2.2 Prevalensi Thypus...............................................................................................2
2.3 Etiologi Thypus...................................................................................................2
2.4 Faktor Resiko Thypus.........................................................................................3
2.5 Patofisiologi Thypus...........................................................................................3
2.6 Gambaran Klinis Thypus....................................................................................3
2.7 Penatalaksanaan..................................................................................................4

BAB 3 : PENUTUP
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................6
3.2 Saran...................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................7

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid atau yang sering disebut masyarakat penyakit tifuss merupaka
suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh salmonella typhi yang
terdapat di daerah tropis dan subtropics. Demam tifoid bersifat akut, ditandai
dengan demam berkepanjangan, bakteremeia tanpa perubahan system endotel
atau endocardial, invasi dan multiplikasi bakteri dalam sel pagosit mononuclear
pada hati, limpa, lymphnode dan plaque peyer. Demam tifoid disebabkan oleh
salmonella serotipe typhi, salmonella serotipe paratyphi A, B dan C.
Demam tifoid lebih sering ditemukan pada kelompok usia sekolah dan dewasa
muda. Dejala demam tifoid bervariasi, seperti flu ringan, panas lebih dari 7 hari,
gastrointestinal, dan gejala saraf sentra. Gejala yang tidak khas lain berupa, tubuh
menggigil, kehilangan nafsu makan, sakit perut, konstipasi, bahkan penyebaran
vlek merah muda,ditegakkan bahwa pasien mengidap demem tifoid bila
ditemukan bakteri salmonella typhi dalam darah, urin, feses. Bakteri ini akan
lebih mudah ditemukan dalam darah pasien. Penyakit ini berhubungan dengan
lingkungan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit demam
tifoid ini yaitu, polusi udara, kualitas air, kepadatan penduduk, kemiskinan,
kurang pengetahuan akan kebersihan dan lain lain.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa yang dimaksud dengan thypus?
2) Bagaimana prevalensi thypus?
3) Bagaimana etiologi thypus?
4) Bagaimana faktor resiko thypus?
5) Bagaimana patofisiologi thypus?
6) Bagaimana gambaran klinis thypus?
7) Bagaimana penatalaksanaan pada bayi dan anak balita yang menderita
thypus?

1.3 Tujuan
1) Agar mahasiswa memahami mengenai penyakit thypus.
2) Agar mahasiswa memahami prevalensi, patofisiologi, etiologi, faktor resiko
dan gambaran klinis pada thypus.

1
3) Agar mahasiswa memahami penatalaksanaan pada bayi dan anak balita yang
menderita thypus

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thypus


Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan
dapat menurunkan tingkat kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella
typhi. Gejala klinis dari demam tifoid yaitu demam berkepanjangan, bakterimia,
serta invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear
dari hati, limpa, kelenjar limfe, usus dan peyer’s patch.

2.2 Prevalensi Thypus


Menurut Anggit (2018) dalam Higeia Journal Of Public Health Research
And Development dengan topik Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap
Kejadian Demam Tifoid, penyakit Thypus mencapai tingkat prevalensi 358-
810/100.000 penduduk di Indonesia. Kasus demam tifoid ditemukan di Jakarta
sekitar 182,5 kasus setiap hari. Di antaranya, sebanyak 64% infeksi demam tifoid
terjadi pada penderita berusia 3-19 tahun. Namun, rawat inap lebih sering terjadi
pada orang dewasa (32% dibanding anak 10%) dan lebih parah. Kematian akibat
infeksi demam tifoid di antara pasien rawat inap bervariasi antara 3,1-10,4%
(sekitar 5-19 kematian sehari) (Typhoid Fever: Indonesia’s Favorite Disease,
2016).

2.3 Etiologi Thypus


Penyakit tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang merupakan
bakteri gram negatif berbentuk basil yang bersifat aerob dan tidak membentuk
spora, serta bersifat patogen pada manusia. Salmonella typhi hanya dapat hidup
pada tubuh manusia. Penyakit ini mudah menular ke orang lain yang kurang
menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Penularan thypus secara langsung dapat
terjadi jika bakteri ini terdapat pada feses, urine, atau muntahan penderita dan
secara tidak langsung melalui makanan atau minuman. Salmonella typhi berperan
dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat bakteri tersebut berkembang
biak, kemudian merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada
jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Jumlah bakteri yang banyak
dalam darah (bakteremia) menyebabkan demam makin tinggi.

3
2.4 Faktor Resiko Thypus
Penyakit typhoid ini mempunyai hubungan erat dengan lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit typoid yaitu polusi udara, sanitasi
umum, kualitas air, temperatur, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain.
Beberapa penelitian di seluruh dunia menemukan bahwa laki-laki lebih sering
terkena demam tifoid, karena laki-laki lebih sering bekerja dan makan di luar
rumah yang tidak terjamin kebersihannya. Tetapi berdasarkan dari daya tahan
tubuh, wanita lebih berpeluang untuk terkena dampak yang lebih berat atau
mendapat komplikasi dari demam tifoid. Salah satu teori yang menunjukkan hal
tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk ke dalam sel-sel hati, maka
hormon estrogen pada wanita akan bekerja lebih berat.

2.5 Patofisiologi Thypus


Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1.
Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan
antara produksi dan pelepasan panas.
Demam merupakan bagian dari respon fase akut terhadap berbagai
rangsangan infeksi, luka atau trauma, sama dengan berkurangnya nafsu makan
dan minum yang dapat menyebabkan dehidrasi, sulit tidur, hipozinkemia, sintesis
protein fase akut, dan lain-lain. Berbagai laporan penelitian memperlihatkan
bahwa peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin
pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, terutama infeksi.
Dari suatu penelitian didapatkan bahwa jumlah organisme yang dapat
menimbulkan gejala penyakit adalah sebanyak 105-106 organisme, jumlah yang
diperlukan untuk menimbulkan gejala klinis pada bayi dan anak mungkin lebih
kecil. Semakin besar dosis Salmonella typhi yang tertelan semakin banyak pula
gejala klinis yang muncul, semakin pendek masa inkubasi tidak merubah
sindrom klinik yang timbul.

2.6 Gambaran Klinis Thypus


Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Manifestasi klinis thypus bervariasi, dari
ringan berupa demam, lemas, serta batuk yang ringan, sampai dengan gejala
berat seperti gangguan gastrointestinal hingga gejala komplikasi. Beberapa faktor
dapat mempengaruhi manifestasi klinis seperti strain Salmonella thypi, jumlah

4
mikroorganisme yang tertelan, antibiotika yang digunakan, keadaan umum,
status nutrisi, status imunologik serta faktor genetik.
Masa inkubasi Salmonella thypi berkisar antara 7-14 hari, dengan rentang
3-30 hari, tergantung jumlah bakteri yang masuk. Gejala yang muncul tergantung
usia penderita. Pada usia bayi dan anak dibawah 5 tahun demam tifoid relatif
jarang. Walaupun gejala sepsis dapat terjadi, gejala penyakit biasanya ringan,
sehingga menyulitkan untuk diagnosis. Diare sering terjadi, kemudian
didiagnosis sebagai gastroenteritis. Diare bisa bersifat profuse dan cair,
menandakan adanya gangguan pada usus halus. Diare juga bisa muncul dengan
jumlah sedikit disertai dengan lendir atau leukosit, yang menandakan adanya
gangguan pada usus besar. Diare berdarah dapat terjadi pada 25% kasus.
Disamping dapat menyebabkan abortus dan kelahiran prematur, infeksi
demam tifoid pada akhir kehamilan dapat terjadi secara vertikal dan menular
pada janin. Gejala mulai muncul pada neonatus pada 3 hari setelah persalinan.
Muntah, diare dan distensi abdomen sering terjadi. Suhu tubuh bervariasi, dapat
mencapai 40,5°C

2.7 Penatalaksanaan pada Bayi dan Anak Balita yang Menderita Thypus
Penatalaksanaan demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian,
yaitu tatalaksana umum dan tatalaksana khusus.
1. Tatalaksana umum
Tatalaksana umum (suportif) merupakan hal yang sangat penting
dalam menangani demam tifoid selain pemberian antibiotik. Pemberian
rehidrasi, baik oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian
nutrisi yang adekuat, serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan
tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup anak yang menderita
demam tifoid.
Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa,
karena itu 90% pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu
dirawat di rumah sakit. Pengobatan oral serta istirahat baring (bed rest) di
rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat.
2. Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada
anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan, dan
biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat
pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara
berkembang. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya

5
resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan
dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug
Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol, yang
pertama kali timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten
terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimethoprim-sulfametoksazol dan
resisten terhadap fluorokuinolon.

6
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan
dapat menurunkan tingkat kesadaran. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella
typhi. Salmonella typhi hanya dapat hidup pada tubuh manusia. Penyakit Thypus
mencapai tingkat prevalensi 358-810/100.000 penduduk di Indonesia. Penyakit
ini mudah menular ke orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan
lingkungan. Penularan thypus secara langsung dapat terjadi jika bakteri ini
terdapat pada feses, urine, atau muntahan penderita dan secara tidak langsung
melalui makanan atau minuman.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit typoid yaitu polusi udara,
sanitasi umum, kualitas air, temperatur, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan
lain-lain. Beberapa penelitian di seluruh dunia menemukan bahwa laki-laki lebih
sering terkena demam tifoid, karena laki-laki lebih sering bekerja dan makan di
luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya. Tetapi berdasarkan dari daya
tahan tubuh, wanita lebih berpeluang untuk terkena dampak yang lebih berat atau
mendapat komplikasi dari demam tifoid.
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Manifestasi klinis thypus bervariasi, dari
ringan berupa demam, lemas, serta batuk yang ringan, sampai dengan gejala
berat seperti gangguan gastrointestinal hingga gejala komplikasi.
Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa,
karena itu 90% pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat
di rumah sakit. Pengobatan oral serta istirahat baring (bed rest) di rumah sudah
cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat.

3.2 Saran

7
DAFTAR PUSTAKA

Ardiaria, Martha. 2019. Epidemiologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan


Demam Tifoid. JNH (Journal of Nutrition and Health). 7 (2): 32-38. diakses dari
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/actanutrica/article/view/23206 pada 3 April
2020

Indah, Ilfa Istya. 2015. Asuhan Kebidanan pada Balita Sakit dengan Demam Tifoid di
RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto. Laporan Penelitian. diakses dari
http://103.38.103.27/repository/index.php/PUB-KEB/article/view/396 pada 4 April
2020

Prehamukti, Anggit Aprindrian. (2018). Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap


Kejadian Demam Tifoid. HIGEIA 2 (4): 587-598. diakses dari
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia pada 4 April 2020

Rohana, Yushi. 2016. Perbedaan Pengetahuan dan Pencegahan Primer Demam Tifoid
Balita Antara Orang Tua di Pedesaan dan Perkotaan. Jurnal Berkala Epidemiologi. 4
(3): 384–395. diakses dari http://e-journal.unair.ac.id/JBE/article/view/1624 pada 4
April 2020

Sucipta, A. A. Made. 2015. Baku Emas Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid


pada Anak. Jurnal Skala Husada. 12(1): 22-26 diakses dari http://poltekkes-
denpasar.ac.id/files/JSH/V12N1/A.A%20Made%20Sucipta.pdf pada 3 April 2020

8
Lampiran :

Jurnal 1

ASUHAN KEBIDANAN PADA BALITA SAKIT DENGAN DEMAM TIFOID


DI RSU Dr. WAHIDIN SUDIRO HUSODO
KOTA MOJOKERTO

ILFA ISTYA INDAH


1211010112

Subject : Balita, Demam Tifoid


DESCRIPTION

Demam tifoid merupakan penyakit pada saluran pencernaan yang sering


menyerang anak-anak bahkan juga orang dewasa serta merupakan penyakitendemik
(penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka
kejadian yang kecil).Insiden tertinggi demam tifoid terjadi di negara berkembang
karena salah satu penyebab utama morbiditas mortalitas di daerah padat penduduk,
sanitasi buruk dan angka urbanisasi yang tinggi. Tujuan penelitian ini untuk
melaksanakan asuhan kebidanan pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan dengan demam
tifoiddi RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo.
Metode penelitian yang digunakan adalah teknik 5 langkah dengan
manajemen kebidanan yaitu pengkajian data, penentuan diagnosa, perencanaan dan
pelaksanaan asuhan kebidanan, mengevaluasi, dan didokumentasikan dalam bentuk
SOAP.
Hasil pengkajian pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan dengan demam tifoid,
ibu mengatakan anaknya panas naik turun terutama malam hari, batuk selama satu
minggu. Hasil pemeriksaan keadaan umum lemah, suhu 38,3 ºC, warna lidah putih
kotor sementara ujung dan tepinya berwarna kemerahan. Asuhan kebidanan yang
dilakukan yaitu mengobservasi tanda-tanda vital, mengobservasi intake output cairan
setiap 6 jam, memberikan makanan rendah serat tinggi protein tidak menimbulkan
gas, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi: infuse D5 ½ NS 1100
cc/24 jam, Seftriakson 2x500 mg, Antrain 150 mg jika suhu 37,5 ºC – 38,5 ºC,
Parasetamol 3x150 mg jika suhu 38,5 ºC – 40 ºC.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat ketidaksesuaian antara protab dan teori
terhadap pemberian kompres.Saran untuk tenaga kesehatan diharapkan bidan dapat
segera mengidentifikasi tanda dan gejala demam tifoid sehingga dapat melakukan
antisipasi atau tindakan segera, mereancanakaan asuhan kebidanan pada balita sakit
dengan demam tifoid agar tidak terjadi hepatitis.

9
ABSTRACT

Typhoid fever is a disease of the digestive tract that often affects children and
even adults as well as an endemic disease (a disease that is always there in the
community all the time despite the small number of cases). The highest incidence of
typhoid fever occur in developing countries as one the major causes of morbidity
mortality in densely populated areas, poor sanitation and high urbanization numbers.
This study aimed to carry out midwifery care in child "Y" age of 3 years and 7
months with typhoid fever in RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo.
Method used was a 5-steps technique with midwifery management, namely
the assessment of data, determination of diagnosis, planning and implementation of
midwifery care, evaluated, and documented in the form of SOAP.
Assessment of the results of the child "Y" age of 3 years and 7 months with
typhoid fever, mother said her son’s temperature was heat up down, especially at
night cough for one week. Exmination results: weak general state, the temperature
was 38,5 ºC, dirty white colour of tongue rednes of the tongue tip edges. Midwifery
care the implemented were observing vital sings, observation of fluid intake output
every 6 hours, giving alow-fiber diet high in protein diet did not course gas, coll
aboration with medical team in therapy: Intra venous flurd D5 ½ NS 1100 cc/24
hours, Ceftriaxon 2x500 mg, Antrain 150 mg if the temperature 37,5 ºC – 38,5 ºC,
Paracetamol 3x150 mg if the temperature 38,5 ºC – 40 ºC.
The results showed there was a compahility between procedure and theory
about compress administration. Suggestions for health workers that expected that
midwives can immediately identify the signs and symptoms of typhoid fever that can
be anticipated or immediate action, plan the midwifery care in infants with typhoid
fever in order to avoid hepatitis.

Key word : toddlers, typhoid fever

CONTRIBUTOR : Ika Yuni Susanti, S.SiT., S.KM., M.PH


: Erfiani Mail, S.ST., S.KM
Date : 18 Juni 2015
Type : Laporan Penelitian
Identifier : -
Right : Open Document
Summary : -

LATAR BELAKANG
Demam tifoid merupakan penyakit pada saluran pencernaan yang sering
menyerang anak-anak bahkan juga orang dewasa serta merupakan penyakit endemik
(penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka
kejadian yang kecil) (Bunga, dkk, 2012).Insiden tertinggi demam tifoid terjadi di
negara berkembang karena salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
daerah padat penduduk, sanitasi buruk dan angka urbanisasi yang tinggi (Wardana,
dkk, 2011).

10
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta penderita, dengan 500.000 hingga
600.000 kematin tiap tahunnya. Negara yang paling tinggi terkena demam tifoid
adalah negara di kawasan Asia Tengah (Pakistan, Bangladesh, India) dan Asia
Tenggara (Indonesia dan Vietnam).Menurut Sarwono (2010) Setiap tahunnya sekitar
50.000 orang meninggal dari jumlah penderita tifoid antara 350-810 orang per
100.000 populasi penduduk Indonesia. Rata-rata terdapat 900.000 kasus, 91 % pada
umur 3-19 tahun dengan 20.000 kematian setiap tahun (Bunga, dkk, 2012).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 demam tifoid juga menempati
urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010
yaitu sebanyak 41.081 kasus, dengan jumlah orang yang meninggal sebesar 274
orang dan Case Fatality Rate sebesar 0,67% (Pramitsari, 2013). Berdasarkan data
Dinas Kesehatan Kota Mojokerto Selama tahun 2010 dilaporkan terjadi 1.896
kelahiran hidup. Dari sekian banyak kelahiran, tercatat 13 kasus lahir mati (0,68 %),
22 kasus kematian bayi, dan 1 kasus kematian balita dengan AKABA terlaporkan 0,5
per 1.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Kota Mojokerto, 2010).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSU Wahidin Sudiro
Husodo, jumlah balita sakit dari bulan Januari sampai Desember 2014 yang
diperoleh dari catatan Rekam Medik (RM) didapatkan 250 kasus balita sakit, yang
dikategorikan balita sakit dengan demam tifoid 10 anak (4%), sakit diare 149 anak
(59,6), sakit DHF sebanyak 12 anak (4,8%) dan sakit radang tenggorokan sebanyak 9
anak (3,6%). Jumlah balita sakit bulan Januari sampai Maret 2015 yang diperoleh
dari catatan Rekam Medik (RM) didapatkan 100 kasus balita sakit, yang
dikategorikan balita sakit dengan demam tifoid 16 anak (16%), sakit diare 50 anak
(50%), sakit DHF sebanyak 11 anak (11%) dan sakit radang tenggorokan 5 anak
(5%).
Demam tifoid merupakan infeksi terjadi pada saluran pencernaan.Basil
diserap di usus halus melalui pembuluh limfe masuk kedalam peredaran darah
sampai di organ-organ terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan
berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar
disertai nyeri pada perabaan. Basil masuk kembali kedalam peredaran darah
(bakteremia) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus
halus menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak peyeri.Tukak
tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.Gejala demam
disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelainan pada usus (Ngastiyah, 2005).
Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan, memelihara
kebersihan lingkungan serta minum air putih yang dimasak sampai mendidih. Anak
dibiasakan buang air besar di toilet dan disetiap keluarga hendaknya mempunyai
toilet sendiri-sendiri, toilet yang baik adalah toilet yang disiram serta ditutup
sehingga tidak ada lalat.Anak yang sudah sekolah dinasehat agar tidak membeli
makanan yang tidak ditutup atau yang tidak bersih (Nursalam, 2005). Upaya
pengobatan dapat dilakukan dengan mempertahankan suhu tubuh dalam batas
normal dengan cara pemberian kompres, pemberian nutrisi yang cukup dalam bentuk
lunak, rendah serat, dan tidak mengandung gas, perawatan diri dan membantu
mobilisasi secara bertahap sesuai dengan keadaan pasien sertapenatalaksanaan medis
dalam pemberian antibiotik, seperti kloramfenikol, amoksilin atau juga
kotrimoksazol (Hidayat, 2009).

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah teknik 5 langkah manajemen
kebidanan yaitu pengkajian data, penentuan diagnosa, perencanaan asuhan

11
kebidanan dan pelaksanaan asuhan kebidanan, mengevaluasi, dan didokumentasikan
dalam bentuk SOAP.Penelitian ini dilakukan di RSU Dr.Wahidin Sudiro Husodo.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengkajian pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan dengan demam tifoid ibu
mengatakan Ibu mengatakan anaknya panas naik turun sudah satu minggu terutama
malam hari, batuk sudah satu minggu dan nafsu makan menurun. Data objektif
keadaan umum lemah, suhu 38,3 ºC, Mukosa bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kotor, warna lidah putih dan kotor sementara ujung dan tepinya berwarna
kemerahan, terdapat nyeri tekan pada perut bagian kanan atas, Hypertimpani.
Asuhan kebidanan yang dilakukan yaitu, memberikan asuhan kebidanan dan
kolaborasi dengan tim medis.
Teori tanda dan gejala dari demam tifoid adalah tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang (Ngastiyah, 2005).
Gejala lain ditemukan nyeri otot, batuk, mual, muntah, obstipasi, diare (Mansjoer,
dkk, 2008). Tidak terdapat kesenjangan antara fakta dan teori tanda dan gejala
demam tifoid yang dikemukakan oleh Ngastiyah dan Mansjoer yaitu tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang, nyeri
otot, batuk, mual, muntah, obstipasi, diare.
Diperoleh diagnosa An “Y”umur 3 tahun 7 bulandengandemamtifoid.
Penatalaksanaan observasitanda-tanda vital (nadi, suhu, dan pernafasan), berikan
kompres hangat, anjurkan memakai pakaian yang tipis dan menyerap keringat,
observasi intake dan output cairan, berikan makanan yang mengandung cukup
cairan, rendah serat, tinggi protein, dan tidak menimbulkan gas (nasi tim, sayur, lauk,
susu), ajurkan pasien untuk banyak minum (sirup, teh manis, atau apa yang disukai
anak), anjurkan anak untuk istirahat tirah baring absolute sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari, kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian terapi yaitu Infus D5 ½ NS 1100 cc/24 jam, Seftriakson 2x500 mg,
Antrain 150 mg jika suhu > 38 ºC, Paracetamol 3x150 mg jika suhu >37,5 ºC.
SIMPULAN
Setelah melaksanakan asuhan kebidanan pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan
dengan demam tifoid, maka penulis dapat mengambil kesimpulan yang dapat
meningkatkan mutu pelayanan asuhan kebidanan khususnya pada balita sakit dengan
demam tifoid dengan menerapkan manajemen lima langkah:
Pada pengkajian data berdasarkan data subyektif ibu mengatakan anaknya
panas naik turun sudah satu minggu terutama malam hari dan nafsu makan menurun,
makan 3 kali (nasi, sayur, lauk pauk) porsi sedikit hanya ¼ porsi, minum air putih 3-
4 gelas dan 2 gelas susu per hari, anak tampak lemas dan sering rewel. Data obyektif
didapatkan keadaan umum: lemah, kesadaran: apatis, tanda-tanda vital: Nadi:
100x/menit, Suhu: 37,8 ºC, Pernafasan: 20x/menit, Mukosa bibir kering, lidah kotor,
warna lidah putih sementara ujung dan tepinya berwarna kemerahan, Terdapat nyeri
tekan pada perut sebelah kanan atas, Hypertimpani.
Pada langkah diagnosis dan masalah kebidanan diperoleh diagnosa kebidanan
yaitu asuhan kebidanan pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan dengan demam tifoid.
Masalah yang muncul pada anak dengan demam tifoid yaitu kebutuhan nutrisi dan
cairan elektrolit, gangguan suhu tubuh. Diagnosa potensial pada An “Y” umur 3
tahun 7 bulan dengan demam tifoid adalah hepatitis tetapi tidak terjadi, karena
antisipasi serta tindakan cepat dan tepat dari tenaga kesehatan.
Perencanaan yang diberikan pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan dengan
demam tifoid yaitu: bina hubungan saling percaya, observasi tanda-tanda vital (nadi
suhu dan pernafasan),berikan kompres dingin, anjurkan memakai pakaian yang tipis

12
dan menyerap keringat, observasi intake dan output cairan, berikan makanan yang
mengandung cukup cairan, rendah serat, tinggi protein, dan tidak menimbulkan gas,
anjurkan pasien untuk banyak minum (sirup, teh manis, atau apa yang disukai anak),
Anjurkan anak untuk istirahat tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas deam
atau kurang lebih selama 14 hari, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
terapi yaitu Infus D5 ½ NS 1100 cc/24 jam, Seftriakson 2x500 mg, Antrain 150 mg
jika suhu >38 ºC, Paracetamol 3x150 mg jika suhu > 37,5 ºC.
Pelaksanaan asuhan pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan dengan demam tifoid
sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sehingga diperoleh hasil yang
maksimal.
Asuhan kebidanan selama 1x7 hari ditemukan hasil keadaan umum baik,
kesadaran: Composmentis, tanda-tanda vital: nadi: 88x/menit, suhu: 36,6ºC,
pernafasan: 20x/menit, mata: kelopak mata tidak cekung, konjungtiva: Merah muda,
mulut: mukosa bibir lembab, lidah bersih, abdomen: tidak terdapat nyeri tekan pada
perut sebelah kanan atas, timpani, ekstremitas: akral hangat.
Hasil dari asuhan kebidanan pada An “Y” umur 3 tahun 7 bulan dengan
demam tifoid tidak terdapat kesenjangan antara perencanaan dan protab di rumah
sakit.

REKOMENDASI
Diharapkan ibu balita dapat mengetahui lebih awal tanda-tanda tifoid dengan
datang ke tenaga kesehatan untuk mendapatkan penanganan lebih sehingga dapat
dilakukan antisipasi untuk mencegah terjadinya komplikasi yang berlanjut.
Bidan atau tenaga kesehatan dapat segera mengidentifikasi tanda dan gejala
penyakit demam tifoid sehingga dapat melakukan antisipasi atau tindakan segera,
mereancanakaan asuhan kebidanan pada balita sakit dengan demam tifoid agar tidak
terjadi hepatitis.
Rumah sakit untuk lebih ditingkatkan mutu pelayananya dalam memberikan
asuhan kebidanan pada balita sakit dengan demam tifoid secara optimal melalui
penanganan cepat dan tepat.
Hendaklah laporan tugas akhir ini digunakan sebagai sumber bacaan atau
refrensi untuk menambah wawasan khususnya tentang balita sakit dengan demam
tifoid.

13
ALAMAT CORRESPONDENSI:
Nama : Ilfa Istya Indah
No. HP : 085746380193
Email : Ilfa.istya23@gmail.com
Alamat : Dusun Pontang Tengah, RT:033 RW: 009, Ambulu- Jember

14
Jurnal 2

EPIDEMIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN PENATALAKSANAAN


DEMAM TIFOID

Martha Ardiaria

Staf Pengajar Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

A. DEFINISI

Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan
dapat menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi
sistemik yang bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh Salmonella typhi.
Gejala klinis dari demam tifoid yaitu demam berkepanjangan, bakterimia, serta
invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari
hati, limpa, kelenjar limfe, usus dan peyer’s patch.1

B. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid dan paratifoid adalah infeksi enterik yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica serovar Typhi (S. Typhi) dan Paratyphi A, B, dan C
(S. Paratyphi A, B, dan C), masing-masing, secara kolektif disebut sebagai
Salmonella tifoid, dan penyebab demam enterik. Manusia adalah satu-satunya
reservoir untuk Salmonella Typhi dengan penularan penyakit yang terjadi
melalui rute fecal-oral, biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang
terkontaminasi oleh kotoran manusia. Diperkirakan 17 juta kasus penyakit
demam tifoid dan paratifoid terjadi secara global pada tahun 2015 terutama di
Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika sub-Sahara, dengan beban dan insiden
terbesar yang terjadi di Asia Selatan. Tanpa diobati, baik demam tifoid maupun
paratifoid mungkin fatal dengan 178.000 kematian diperkirakan di seluruh dunia
pada tahun 2015.2

Insiden demam tifoid bervariasi berdasarkan usia. Di negara-negara endemik,


insiden tertinggi terjadi pada anak-anak yang lebih muda, sedangkan kejadian
serupa di semua kelompok usia di pengaturan beban rendah. Sebuah studi dari
tahun 2004 menggunakan data dari penelitian yang diterbitkan untuk
mengekstrapolasikan tingkat kejadian berdasarkan kelompok usia dan

15
melaporkan insiden tertinggi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun dalam
pengaturan insiden tinggi. Perkiraan model dari 2015 Global Burden of Disease
study (GBD 2015) menunjukkan tifus tingkat insiden demam menurun seiring
pertambahan usia. Selanjutnya, hasil dari studi DOMI yang dilakukan di lima
negara endemik menunjukkan heterogenitas substansial pada insiden demam
tifoid di seluruh kelompok usia. Heterogenitas di seluruh kelompok usia diamati
di semua situs studi DOMI dan situs dari Program Pengamatan Demam Tifoid di
Afrika.2

Gambar 1. Peta kematian yang disebabkan tifoid.

C. ETIOLOGI

Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram
negatif berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini mudah
berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan
lingkungannya yaitu penularan secara langsung jika bakteri ini terdapat pada
feses, urine atau muntahan penderita dapat menularkan kepada orang lain dan
secara tidak langsung melalui makanan atau minuman. Salmonella typhi
berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat bakteri berkembang
biak dan merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada
jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Jumlah bakteri yang banyak
dalam darah (bakteremia) menyebabkan demam makin tinggi. Penyakit typoid
ini mempunyai hubungan erat dengan lingkungan terutama pada lingkungan yang
penyediaan air minumnya tidak memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang
buruk pada lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit typoid

16
tersebar yaitu polusi udara, sanitasi umum, kualitas air temperatur, kepadatan
penduduk, kemiskinan dan lain-lain. beberapa penelitian di seluruh dunia
menemukan bahwa laki-laki lebih sering terkena demam tifoid, karena laki-laki
lebih sering bekerja dan makan di luar rumah yang tidak terjamin kebersihannya.
Tetapi berdasarkan dari daya tahan tubuh, wanita lebih berpeluang untuk terkena
dampak yang lebih berat atau mendapat komplikasi dari demam tifoid. Salah satu
teori yang menunjukkan hal tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk ke
dalam sel-sel hati, maka hormon estrogen pada wanita akan bekerja lebih berat.3

D. PATOFISIOLOGI

Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1.
Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan
antara produksi dan pelepasan panas.4

Demam merupakan bagian dari respon fase akut terhadap berbagai


rangsangan infeksi, luka atau trauma, seperti halnya letargi, berkurangnya nafsu
makan dan minum yang dapat menyebabkan dehidrasi, sulit tidur, hipozinkemia,
sintesis protein fase akut dan lain-lain.Berbagai laporan penelitian
memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan
tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang,
terutama infeksi. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat
dua jenis yaitu pirogen eksogen dan endogen.4

Demam dikenal sebagai mekanisme yang boros energi (setiap kenaikan


suhu 10°C akan meningkatkan laju metabolisme sekitar 10%). Pirogen adalah
suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis yaitu pirogen eksogen
dan endogen. Pada anak dan balita, demam tinggi dapat menyebabkan kejang.5

Dari suatu penelitian didapatkan bahwa jumlah organisme yang dapat


menimbulkan gejala penyakit adalah sebanyak 105-106 organisme, walaupun
jumlah yang diperlukan untuk menimbulkan gejala klinis pada bayi dan anak
mungkin lebih kecil. Semakin besar dosis Salmonella Typhi yang tertelan
semakin banyak pula orang yang menunjukkan gejala klinis, semakin pendek
masa inkubasi tidak merubah sindrom klinik yang timbul.6

E. PATOGENESIS

Salmonella typhi merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam tubuh


manusia.Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi dapat

17
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka
waktu yang bervariasi. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari
penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s
patch, bertahan hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.Bakteri Salmonella
typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.Pada
saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang mati.Bakteri
yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian
menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M,
sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan
multiplikasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus
menimbulkan tukak pada mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan
dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika
bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo
Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa.Setelah periode inkubasi,
Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke
sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan
Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi
ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang
makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk
melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal
ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam
tifoid. Penularan Salmonella typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses. Dapat juga terjadi
transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada keadaan
bakterimia kepada bayinya.7

F. MANIFESTASI KLINIS

Penyakit Typhoid Fever (TF) atau masyarakat awam mengenalnya dengan


tifus ialah penyakit demam karena adanya infeksi bakteri Salmonella typhi yang
menyebar ke seluruh tubuh. Salmonella typhi (S. typhi) merupakan kuman
pathogen penyebab demam tifoid, yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan
gambaran demam yang berlangsung lama, adanya bacteremia disertai inflamasi
yang dapat merusak usus dan organ-organ hati. Gejala penyakit ini berkembang
selama satu sampai dua minggu setelah seorang pasien terinfeksi oleh bakteri

18
tersebut. Gejala umum yang terjadi pada penyakit tifoid adalah Demam naik
secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau
remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari, sakit kepala,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare. Demam merupakan
keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam
tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau
Pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,di sisi lain S. Typhi juga dapat
menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau
koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap
lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.8

G. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar,
yaitu tatalaksana umum yang bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa
pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga
bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut,
namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi, pencegahan
pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari
daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.9

1. Tatalaksana umum

Tatalaksana umum (suportif) merupakan hal yang sangat penting dalam


menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih
ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak
tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan
oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi
anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.9

2. Tatalaksana antibiotik

19
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak
di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan
pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.
Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah
pilihan terapi antibiotik untuk demam tifoid golongan fluorokuinolon, seperti
ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan
pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap
beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam
tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi
yang resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun
1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin,
trimethoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon9.

H. PENCEGAHAN

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan


dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih
sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus
resistensi. Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid.10

DAFTAR PUTAKA

1. Soedarmo, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Badan Penerbit IDAI:
Jakarta 2008.
2. Nadya. Hubungan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Insiden Penyakit Demam
Tifoid di Kelurahan Samata Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa 2013.
Jurnal Kesehatan. 2014; 7(1).
3. Sherwood L. Energy Balance and Temperature Regulation. Dalam: Sherwood L,
Editor Human Physiology. From Cells To Systems. Edisi Keempat. Australia:
Brooks/Cole; 2001. 613-4.
4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/Sk/V/2006. 2006.

20
5. Sherwood L. Energy Balance And Temperature Regulation. Dalam: Sherwood L,
Editor Human Physiology. From Cells To Systems. Edisi Keempat. Australia:
Brooks/Cole; 2001. 613-4.
6. Dougan, G., & Baker, S. Salmonella Entericaserovar Typhi And The
Pathogenesis Of Typhoid Fever. Annual Review Of Microbiology. 2014; 68(1):
317–336.
7. Cita, Yatnita Parama. Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 2011, Vol. 6, No.L.
8. Pramita G Dwipoerwantoro. Tata Laksana Diare Persisten pada Anak.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012.
9. Rhh Nelwan. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta. 2012; 39(4).
10. Sudoyo Aw, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid Ii Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

21

You might also like