You are on page 1of 157

PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA

RINGKASAN DISERTASI
UJIAN TERBUKA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum
Pada Universitas Krisnadwipayana

Oleh :

SUGENG SUTRISNO
2101 741 056

PROGRAM DOKTORAL ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
JAKARTA
2022
LEMBAR PERSETUJUAN DISERTASI UJIAN TERBUKA

PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA


DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA

Oleh :

Nama : Sugeng Sutrisno


NIM : 2101 741 056
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Pidana

Disetujui Untuk Diajukan Dalam Rangka


Ujian Disertasi Terbuka
Jakarta, 20 Januari 2022

Promotor,

Prof. Dr. M. Iman Santoso, S.H., M.H., M.A.

Co-Promotor I, Co-Promotor II,

Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. Dr. Firman Wijaya, S.H., M.H.

Mengetahui,
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum,

Dr. Siswantari Pratiwi, S.H., M.M., M.H.


NIDN : 0309106201

i
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : SUGENG SUTRISNO
NIM : 2101 741 056
Judul Disertasi : PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA

Dengan ini saya menyatakan :


1. Karya tulis saya berupa Disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik Doktor, baik di Universitas Krisnadwipayana maupun
Perguruan Tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri
kecuali arahan dari Tim Promotor maupun Respresentasi para Guru Besar.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas pengarang dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, gelar yang
telah diperoleh karena tulisan ini serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
hukum yang berlaku di Perguruan Tinggi pada Universitas Krisnadwipayana.

Demikian surat pernyataan ini saya buat, apabila Disertasi ini terbukti karya
orang lain, saya bersedia untuk dinyatakan tidak lulus dan ijazah yang telah saya
peroleh tidak keberatan ditarik kembali.

Jakarta, 20 Januari 2022


Yang menyatakan,

SUGENG SUTRISNO

ii
ABSTRAK

Sugeng Sutrisno, 2101 741 056, PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN


PIDANA DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA, 350 halaman,
Program Pasca Sarjana Doktor Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana
dibawah bimbingan Promotor : Prof. Dr. M. Iman Santoso, S.H., M.H., M.A.
Co-Promotor I : Dr. Chairul Huda, S.H., M.H, Co-Promotor II : Dr. Firman
Wijaya, S.H., M.H.
Penegakan hukum pada sistem Peradilan Militer dalam penyelesaian
perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI dipandang belum sepenuhnya
memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak Tersangka, hal
ini disebabkan tidak adanya lembaga kontrol yang mengawasi tindakan
aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
seperti halnya dalam sistem Peradilan Umum. Kondisi tersebut tidak boleh
berlarut hingga waktu yang tidak ditentukan, karena akan berpengaruh
terhadap proses penegakan hukum dan merugikan Tersangka dalam upaya
memperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh keadilan yang berakibat
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (prajurit TNI).
Tujuan dari dibentuknya Lembaga Praperadilan adalah sebagaimana
tertuang dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP yang menyebutkan bahwa Pasal
ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui
sarana pengawasan horizontal.
Penyelesaian perkara pidana di Indonesia selain Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku bagi masyarakat sipil kita juga
mengenal adanya Hukum Acara Pidana Militer yang diatur dalam Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yaitu hukum yang
mengatur tentang tata cara penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh
seorang prajurit TNI.
Undang-undang Peradilan Militer tersebut pada intinya mencakup
ketentuan-ketentuan proses berperkara (Hukum Acara Pidana Militer) mulai
dari tahap penyidikan, penyerahan perkara, proses pemeriksaan di
persidangan hingga pelaksanaan putusan.
Beberapa kasus di Pengadilan Militer dimana seorang Tersangka ditahan
tanpa surat perintah penahanan, tindakan yang tidak menghargai kedudukan
Tersangka sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME, bahkan perbuatan tersebut telah
melanggar HAM.

Kata Kunci : Praperadilan, Sistem Pidana Militer, Indonesia.

iii
ABSTRACT

Sugeng Sutrisno, 2101 741 056, PRE-TRIAL IN THE MILITARY CRIMINAL


JUSTICE SYSTEM IN INDONESIA, 350 Pages, Postgraduate Doctoral
Program in Law, Krisnadwipayana University under the guidance of the
Promoter: Prof. Dr. Moch. Iman Budisantoso, S.H., M.H., Co-Promoter I : Dr.
Chairul Huda, S.H., M.H.Firman Wijaya, S.H., M.H., Co-Promoter II : Firman
Wijaya, S.H., M.H.
Law enforcement in the Military Court system in the settlement of
criminal cases committed by TNI soldiers is seen as not yet fully guaranteeing
legal protection for the rights of suspects, this is due to the absence of a
control agency that oversees the actions of law enforcement officers in
carrying out their duties and authorities as is the case in the system. General
Court. This condition should not drag on indefinitely, because it will affect the
law enforcement process and harm the suspect in an effort to fight for his
rights to obtain justice which results in human rights violations (TNI soldiers).
The purpose of the establishment of the Pretrial Institution is as stated
in the Elucidation of Article 80 of the Criminal Procedure Code which states
that this article intends to uphold law, justice and truth through horizontal
supervision.
Settlement of criminal cases in Indonesia in addition to the Code of
Criminal Procedure Code (KUHAP) which applies to civil society, we also
recognize the existence of the Military Criminal Procedure Code which is
regulated in Law Number 31 of 1997 concerning Military Courts, namely the
law that regulates the procedure for resolving criminal cases. a criminal case
committed by a TNI soldier. The Law on Military Courts basically includes
provisions for the litigation process (Military Criminal Procedure Code)
starting from the investigation stage, submission of cases, the examination
process at trial to the implementation of
decisions.
Several cases in the Military Court where a suspect was detained
without a warrant for detention, acts that did not respect the position of the
suspect as a creature created by God, even those actions violated human
rights.

Keywords : Pretrial, Military Criminal System, Indonesia.

iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk penyempurnaan penulisan penelitian
Disertasi dengan judul: PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA. Disertasi ini disusun untuk
memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum Pidana pada Universitas Krisnadwipayana di
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa Disertasi ini belum sempurna disebabkan
keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman penulis, dengan hati
terbuka penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca.
Serta perkenankan penulis dengan rasa hormat dan tulus menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Ayub Muktiono, M.SiP., CiQaR. selaku Rektor Universitas
Krisnadwipayana.
2. Dr. Drs. Burhan Dahlan, S.H., M.H. selaku Ketua Kamar Militer Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
3. Dr. Cita Citrawinda, S.H.,M.IP.. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Krisnadwipayana.
4. Dr. Siswantari Pratiwi, S.H.,M.M.,M.H. Ketua Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Krisnadwipayana.
5. Prof. Dr. M. Iman Santoso, S.H., M.H., M.A., selaku Promotor.
6. Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. sebagai Co-Promotor I.
7. Dr. Firman Wijaya, S.H., M.H. sebagai Co-Promotor II.
8. Prof. Dr. H.M. Syarifuddin, S.H.,M.H. sebagai Penguji.
9. Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H.,M.H. sebagai Penguji.
10. Prof. Dr. Agus Surono, S.H.,M.H. sebagai Penguji.
11. Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. sebagai Penguji.
12. Prof. Dr. Surya Jaya, S.H.,M.H. sebagai Penguji.
13. Dr. Hartanto, S.H.,M.H. sebagai Sekretaris Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Krisnadwipayana.
14. Para Dosen Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Krisnadwipayana
yang telah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selama perkuliahan
berlangsung.
15. Sri Ety Sudaryanti, S.E. (Istri tercinta), Galih Yoga Pratama, S.Kom (Anakku
laki-laki), dan Galu Dinda Laksmita, S.H. (Anakku perempuan) yang tidak
lelah-lelahnya selalu mensupport untuk menyelesaikan tulisan ini.
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kata pengantar
ini, penulis sangat menghargai kontribusinya dalam penulisan Disertasi ini.
Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menempuh pendidikan dan dalam
penyelesaian penelitian pembuatan Disertasi ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya. Semoga Disertasi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 20 Januari 2022


Penulis,

SUGENG SUTRISNO
v
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN DISERTASI UJIAN TERBUKA...................................................... i


LEMBAR PERNYATAAN......................................................................................................... ii
ABSTRAK................................................................................................................................ iii
ABSTRACT.............................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR................................................................................................................ v
DAFTAR ISI............................................................................................................................. vi
A. Latar Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................ 13
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian........................................................................................................ 14
1. Kegunaan/Manfaat Teoritis................................................................................ 14
2. Kegunaan/Manfaat Praktis................................................................................. 14
E. Orisinalitas ................................................................................................................. 15
F. Landasan Teoritis dan Kerangka Konseptual........................................................ 18
1. Landasan Teoritis............................................................................................... 18
2. Kerangka Konseptual......................................................................................... 26
G. Metode Penelitian......................................................................................................... 32
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan....................................................................... 32
2. Sumber Bahan Hukum....................................................................................... 34
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.................................................................. 35
4. Analisa Bahan Hukum........................................................................................ 35
H. Asumsi-asumsi............................................................................................................. 36
I. Analisis dan Pembahasan............................................................................................ 38
1. Hakekat Lembaga Praperadilan Pidana Sebagai Perlindungan Hak Asasi
Manusia.............................................................................................................. 38
a. Lembaga Pra Peradilan di Indonesia....................................................... 38
1) Kedudukan Praperadilan di Indonesia.......................................... 38
2) Wewenang Praperadilan............................................................... 39
3) Acara Praperadilan Dalam Sistem Peradilan di Indonesia............. 40
b. Urgensi Lembaga Praperadilan dari Sudut Pandang Teori Negara
Hukum...................................................................................................... 41
c. Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Tujuan Hukum..... 44
1) Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Tujuan
Hukum Untuk Kepastian Hukum.................................................... 44
2) Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Tujuan
Hukum Untuk Kemanfaatan........................................................... 47
3) Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Tujuan
Hukum Untuk Keadilan.................................................................. 49

vi
d. Hakekat Lembaga Praperadilan Dalam Perspektif Fungsi Hukum.......... 53
e. Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Prespektif Teori Perlindungan
Hukum dan Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia................................. 55
1) Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori
Perlindungan Hukum..................................................................... 55
2) Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori
Perlindungan Hak Azasi Manusia.................................................. 57
f.. Penyimpangan Proses Penegakan Hukum Pada Tahap Penyidikan
(Penahanan) di Lingkungan Peradilan Militer Yang Dapat Memicu
Pelanggaran HAM.................................................................................... 59
1) Penyidikan Pada Sistem Peradilan Pidana Militer......................... 59
2) Penyimpangan Proses Penegakan Hukum di Lingkungan
Peradilan Militer Terhadap Penahanan Tersangka....................... 62
2. Konsepsi Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Lingkungan Peradilan Militer di Indonesia dan Implikasi Terhadap Kehidupan
Prajurit................................................................................................................ 72
a. Mekanisme Kontrol Pada Sistem Peradilan Militer................................... 72
1) Mekanisme Kontrol Pada Tahap Penyidikan Perkara.................... 72
2) Mekanisme Kontrol Terhadap Kekuasaan Oditurat Militer............. 74
3) Mekanisme Kontrol Pada Tahap Penyerahan Perkara ................ 75
4) Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Militer di
Indonesia Dari Perspektif Teori Pembaharuan Hukum.................. 77
b. Konsepsi Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Lingkungan
Peradilan Militer di Indonesia................................................................... 90
1) Materi Praperadilan Dalam Konsep Praperadilan Pada Sistem
Peradilan Militer di Indonesia......................................................... 90
2) Hukum Acara Praperadilan Dalam Konsep Praperadilan Pada
Sistem Peradilan Militer di Indonesia............................................. 93
3) Substansi Konsep Praperadilan Dalam Sistem Peradilan
Militer............................................................................................. 97

vii
c. Hambatan-Hambatan Yang Mungkin Timbul Dalam Penegakan
Lembaga Praperadilan di Lingkungan Peradilan Militer......................... 99
1) Hambatan Struktural.................................................................... 99
2) Hambatan Kultural...................................................................... 100
3) Hambatan Instrumental............................................................... 100
4) Hambatan Komitmen.................................................................. 100
d. Implikasi Keberadaan Lembaga Praperadilan Militer Terhadap Sistem
Peradilan Militer di Indonesia................................................................ 101
1) Implikasi Keberadaan Lembaga Praperadilan Terhadap
Penegakkan Hukum di Lingkungan Peradilan Militer................ 101
2) Implikasi Keberadaan Lembaga Praperadilan Terhadap
Kedudukan Asas-Asas Peradilan Militer di Lingkungan
Peradilan Militer........................................................................... 123
3) Implikasi Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Lingkungan Peradilan Militer Terhadap Kedudukan Ankum dan
Papera......................................................................................... 128
J. Penutup...................................................................................................................... 131
1. Kesimpulan...................................................................................................... 131
2. Saran ............................................................................................................... 134

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 135


DAFTAR RIWAYAT HIDUP...................................................................................... 144

viii
PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Penegakan hukum1 pada sistem peradilan pidana di lingkungan Peradilan
Militer dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI dipandang
belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak
Tersangka, hal ini disebabkan tidak adanya lembaga kontrol yang mengawasi
tindakan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
seperti halnya dalam sistem peradilan pidana pada di lingkungan Peradilan Umum.
Kondisi tersebut tidak boleh berlarut hingga waktu yang tidak ditentukan, karena akan
berpengaruh terhadap proses penegakan hukum dan merugikan Tersangka dalam
upaya memperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh keadilan yang berakibat
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (prajurit TNI).
Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya memberikan jaminan
hukum kepada setiap warga negaranya dan setiap warga negara Indonesia dituntut
untuk mendukung terciptanya proses penegakan dan terselenggaranya hukum yang
adil, karena penegakan dan terselenggaranya hukum itu merupakan cita-cita dari
segenap bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea Keempat yang
menyatakan:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”2

Proses penegakan hukum harus sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang merupakan sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia. Salah satu prinsip penting yang harus dimiliki
suatu negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan lembaga
peradilan yang merdeka, bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra

1 Menurut Satjipto Raharjo Penegakan hukum adalah sebuah kegiatan yang memunculkan atau

terwujudnya keinginan hukum yang menjadi nyata. Dalam hal ini keinginan-keinginan dari pengertian
penegakan hukum menurut para ahli adalah sebuah hukum yang telah dirumuskan dan dibentuk sehingga
siap untuk dijadikan landasan kuat. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung,
1983, hal. 24.
2 Kaka Alvian Nasution, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen Plus Profil Presiden dan Wakil

Presiden 2014-2019, Cetakan Pertama, 2014, Palapa, hal. 8.

1
yudisial (di luar pengadilan/ kekuasaan kehakiman) untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum
yang mampu memberi- kan pengayoman dan rasa aman kepada masyarakat.3
Sistem peradilan pidana di Indonesia, sebagian besar diatur dalam Undang-
Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-
undang ini berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap
warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana dan bertugas untuk
melaksanakan hukum pidana materiil4 yang tertuang di dalam Undang-Undang RI
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).
Dengan berlakunya KUHAP, telah terjadi perubahan yang fundamental, baik
secara konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian
perkara pidana di Indonesia. Perubahan sistem peradilan ini mengakibatkan pula
adanya perubahan dalam cara berpikir, bersikap dan bertindak para aparat penegak
hukum secara keseluruhan.
Sebelum berlakunya KUHAP, pelaksanaan penegakan hukum pidana dilakukan
menurut HIR (Het Herziene Inlandsh Reglement) Staadblad Tahun 1941 Nomor 44,
dan RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) Staadblad Tahun 1927 Nomor
227. Kedua Undang-undang tersebut merupakan peninggalan Belanda yang tetap
berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945, namun demikian
karena ke-2 (dua) Undang-undang tersebut adalah dibuat pada masa kolonial,
sehingga belum memuat konsep perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia) bagi pihak
Tersangka/Terdakwa. HIR dan RBg tidak menentukan secara tegas tentang
pembatasan kewenangan pejabat yang melakukan pemeriksaan dalam melakukan
upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan untuk
kepentingan penyidikan atau penuntutan.5
Dalam prinsip negara hukum dituntut untuk memiliki sistem hukum acara pidana
yang mencerminkan kebijakan nasional Indonesia dengan memberikan pengaturan
tentang hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses penegakan
hukum pidana, baik untuk Tersangka maupun aparatur penegak hukum pada setiap
pemeriksaan sehingga pada tanggal 31 Desember 1981 dengan resmi diundangkan
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

3 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hal.1.
4 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan Dalam Hukum Pada Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003.
5 DY. Witanto, Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktek, Maji Cipta Karya, Jakarta,

2019, hal.1

2
Lembaga praperadilan lahir bersamaan dengan berlakunya KUHAP dengan
mengadopsi beberapa prinsip dalam habeas corpus act pada sistem peradilan yang
berlaku pada sistem peradilan di Negara Anglo Saxon. Habeas corpus act adalah
statuta yang dilakukan oleh Raja Charles pada tahun 1679. Dimana statuta tersebut
diamandemenkan dalam parlemen yang mengizinkan seseorang untuk
mempertahankan kedudukannya dan memberikan jaminan fundamental terhadap
hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Surat perintah habeas corpus act
ini dikeluarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa)
melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat digunakan
oleh siapapun.6
Habeas corpus act memberikan hak pada seseorang untuk menuntut pejabat
yang melakukan penahanan atas dirinya agar membuktikan bahwa penahanan
tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.7 Habeas corpus act
dibuat sebagai lembaga kontrol terhadap kewenangan dari pejabat penegak hukum
yang dilengkapi dengan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan
penahanan agar pejabat yang berwenang bersikap hati-hati dan tidak
menyalahgunakan kewenangannya untuk menangkap dan menahan seseorang
tanpa prosedur yang benar. Konsep tersebut kemudian mengilhami para pembetuk
KUHAP yang memasukkan sebuah lembaga kontrol horizontal terhadap
kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum dalam melaksanakan tugasnya.8
Anggapan bahwa praperadilan mengikuti jiwa yang terkandung dalam habeas corpus
act didasarkan pada alasan bahwa lembaga Praperadilan dalam KUHAP memiliki
kewenangan upaya paksa penangkapan dan penahanan.
Lembaga habeas corpus act merupakan suatu upaya hukum yang menentang
dilangsungkannya penahanan terhadap seseorang. Istilah habeas corpus act berasal
dari Bahasa Romawi yang artinya “ menguasai diri orang” dan di dalam Hukum Anglo
Saxon lembaga ini merupakan lembaga kontrol terhadap terjadinya suatu
penahanan. Jika terjadi suatu penahanan maka harus jelas apa yang menjadi alasan
dan tujuan penahanan tersebut, sedangkan upaya untuk mempertanyakan serta
meninjau keabsahan tersebut adalah dengan menggunakan sarana habeas corpus
act.9

6 Ibid., hal. 2.
7 Andi Anas Chaerul M., dalam : http;//andianaschaerul.blogspot.nl/2013/03/praperadilan-lahir-dari-
insperasi.html diakses tanggal 7 Agustus 2021.
8 DY. Witanto Op. Cit, hal. 2.
9 Loebbby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Gahlia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 55.

3
Konsep habeas corpus act sebenarnya tidak secara penuh diadopsi oleh
Lembaga Praperadilan dalam KUHAP karena dalam Lembaga Praperadilan di dalam
KUHAP lebih mengarah kepada model pengawasan administratif.10 Hal ini berbeda
pada saat belum berlakunya KUHAP dan masih berpedoman kepada Herziene
Inlands Reglement (HIR) dimana tidak diatur Lembaga Praperadilan. Perbedaan
tersebut dapat terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial
Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya
dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntung- kan pihak yang berkuasa, dalam
hal ini pihak penjajah.11
Tujuan dibentuknya Lembaga Praperadilan adalah sebagaimana dalam
Penjelasan Pasal 80 KUHAP yang menyebutkan bahwa Pasal ini bermaksud
menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui pengawasan horizontal.12
Lembaga Praperadilan berfungsi untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang
dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum terhadap Tersangka, supaya tindakan
itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Tujuan dan
maksud dibentuknya Lembaga Praperadilan adalah untuk meletakkan hak dan
kewajiban yang sama antara yang melakukan pemeriksaan dan yang diperiksa.
Menempatkan Tersangka/ Terdakwa bukan sebagai objek pemeriksaan dengan
menerapkan asas aqusatoir dalam Hukum Acara Pidana untuk menjamin
perlindungan hukum dan kepentingan hak asasi.13
Yahya Harahap mengemukakan “Pada prinsipnya tujuan utama Lembaga
Praperadilan dalam KUHAP bertujuan untuk melakukan “pengawasan horizontal”
atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap Tersangka selama ia berada
dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum dan undang-undang”.14
Pengawasan horizontal dimaksudkan agar dalam melaksanakan wewenang-
nya Penyidik dan Penuntut Umum tetap memperhatikan sikap kehati-hatian yang
tinggi karena kewenangan dalam penegakan hukum pidana akan beririsan dengan
hak dan kebebasan seseorang.15 Dengan demikian, hakikat proses penegakan
hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan HAM.

10 DY. Witanto Op. Cit, hal. 3


11 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Bandung
: Mandar Maju, 2003, hal. 8.
12 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Cetakan Ketujuhbelas, 2011, hal. 369.
13 Michibeby, Asas Akusatoir adalah asas dimana pemeriksaan dilakukan dengan memposisikan

Tersangka/Terdakwa sebagai subjek pemeriksaan bukan objek pemeriksaan. https://michibeby. wordpress


.com/ 2012/11/20/asas-asas-dalam-hukum-cara-pidana. diposkan 20 November 2012.
14 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, hal. 4.
15 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang : UMM, hal.251 disadur dari buku

Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori dan Praktek .D.Y. Witanto, hal. 7.

4
Dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang dipertegas dengan Pasal 77 KUHAP
dijelaskan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus
tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Ketentuan
tersebut diperlukan untuk pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar dalam
melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyelewengan atau penyalah-
gunaan wewenang.
Dalam penerapan upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana
dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan,
bahkan penetapan sebagai Tersangka, tidak merendahkan harkat dan martabat
manusia maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu
Lembaga Praperadilan. Jadi jelas sekali bahwa Lembaga Praperadilan dimaksudkan
untuk pengawasan terhadap upaya-upaya paksa oleh aparat penegak hukum
fungsional, dalam hal ini penyidik dan penuntut umum. Lembaga Praperadilan ini
dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa pokok
perkara.16 Mengapa demikian, karena setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan dan/atau dituntut ke muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap, sebagaimana esensi dari asas Presumption of Innocence.
Demikian pula terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat salah tangkap (eror in
persona), maka Tersangka, kuasa hukum atau keluarganya dapat mengajukan
permohonan ganti rugi dan rehabilitasi.
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan
hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-
undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara
pidana, karena perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan
penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan dalam penegakan
hukum in concreto.17
Dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia selain KUHAP yang berlaku
bagi masyarakat sipil juga mengenal adanya Hukum Acara Pidana Militer yang diatur
dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yaitu
hukum yang mengatur tentang tata cara penyelesaian perkara pidana yang dilakukan
oleh seorang prajurit TNI.
16 Luhut M.P. Pangaribuan, Pembaharuan Hukum Acara Pidana : Surat-surat Resmi di Pengadilan Oleh

Advokat, Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 21.


17 Dikutip dari Disertasi Dini Dewi Heniarti, Yurisdiksi Peradilan Militer Terhadap Anggota Tentara

Nasional Indonesia Yang Melakukan Tindak Pidana Umum Dalam Prespektif Pembaharuan Sistem Peradilan
Militer Sebagai Salah Satu Upaya Membangun Independensi Peradilan Militer Di Indonesia, Tahun 2016. hal.
39.

5
Undang-Undang Peradilan Militer tersebut pada intinya mencakup ketentuan-
ketentuan proses berperkara (Hukum Acara Pidana Militer) mulai dari tahap
penyidikan, penyerahan perkara, proses pemeriksaan di persidangan hingga
pelaksanaan putusan. Namun dalam perkembangannya Hukum Acara Pidana Militer
dirasakan belum lengkap karena masih terdapat hak-hak Tersangka/Terdakwa
prajurit atau militer yang belum terwadahi manakala dirinya dilakukan sewenang-
wenang oleh Aparat Penegak Hukum dalam pemeriksaannya. Hal ini berbeda
dengan KUHAP yang digunakan untuk masyarakat sipil dimana adanya perlindungan
hak asasi warga sipil (Tersangka) dalam tindakan semena-mena aparat penegak
hukumnya yaitu adanya Lembaga Praperadilan.
Keberadaan Lembaga Praperadilan dalam KUHAP sebagaimana telah
diuraikan di atas ternyata tidak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sehingga untuk menjamin
perlindungan Hak Asasi Manusia bagi Tersangka prajurit TNI dan jaminan agar
pejabat penegak hukum menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dalam sistem Peradilan Militer tidak ada. Hal yang demikian ini tentu saja
menimbulkan diskriminasi18 dan ketidakadilan bagi anggota militer atau prajurit TNI
yang juga sebagai Warga Negara Indonesia.
Kekosongan hukum sebagaimana yang terjadi di lingkungan peradilan militer
akan membawa implikasi yuridis dan sosiologis bagi Prajurit TNI, karena bagi militer
yang dirugikan akibat kelalaian pimpinan satuan tidak ada akses untuk memperoleh
hak-hak yang semestinya dapat diupayakan melalui jalur Praperadilan apabila ada
prajurit yang merasa dirugikan haknya.
Kekosongan dalam penegakan hukum pada tingkat paling rendah sebagai
akibat belum dibentuknya Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di
Lingkungan Peradilan Militer telah menimbulkan ketidakpastian dan keadilan bagi
pencari keadilan, khususnya prajurit TNI yang dirugikan akibat dilakukannya
penahanan yang tidak atau terlambat dalam memberikan surat penahanan dari
pejabat yang berwenang dalam hal ini Atasan Berhak Menghukum (Ankum)19 dan
Perwira Penyerah Perkara (Papera)20.

18 Diskriminasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembedaan perlakuan terhadap

sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama dan sebagainya).
Sedangkan menurut Kamus Hukum Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian
yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan Hak
Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Stiawan Widagdo, Kamus Hukum, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2012, hal.137.
19 Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Ankum ( Atasan

Yang Berhak Menghukum) adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman
disiplin menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan
berdasarkan undang-undang ini.
20 Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Papera

(Perwira Penyerah Perkara) adalah perwira yang oleh atau atas dasar undang-undang ini mempunyai

6
Suatu cerminan ketidakadilan atas dasar prinsip persamaan hak warga negara,
yang seharusnya negara berperan dan hadir di dalamnya untuk melindungi hak-hak
yang dimiliki oleh warga negaranya, karena hak-hak tersebut merupakan salah satu
bentuk Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi oleh apapun/siapapan/
kapanpun dan harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapapun termasuk negara.
Dalam asas persamaan hukum (equality before the law) segala tindakan
diskriminatif sangatlah dilarang, dengan demikian, maka baik pemerintah maupun
warga negara jika melakukan pelanggaran hukum harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya tersebut di hadapan hukum. Dalam hal ini adalah dituntut di muka
pengadilan. Asas persamaan di depan hukum (equality before the law) di dalam
negara hukum Pancasila, mempunyai arti bahwa memberlakukan semua warga
negara baik itu rakyat maupun pemerintah adalah sama. Dengan kata lain dipahami
bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh warga negara maupun oleh pemerintah
harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.21
Sistem peradilan pidana di lingkungan Peradilan Militer, kewenangan Ankum
selaku Komandan sebagai Penyidik mencakup antara lain melakukan pemeriksaan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan sesuai dengan Asas Kesatuan Komando.
Kewenangan penyidikan dan penyelidikan tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit
bawahannya merupakan wewenang yang melekat pada Komandan selaku Ankum
yang dalam pelaksanaanya dilimpahkan kepada Polisi Militer dan/atau Oditur Militer,
selain memiliki kewenangan tersebut Komandan juga bertanggung jawab penuh
terhadap kesatuan dan anak buahnya, hal ini yang membedakan dengan Lingkungan
Peradilan Umum bahwa kewenangan-kewenangan tersebut melekat pada penyidik
Polri atau Kejaksaan.
Untuk kepentingan penyidikan Ankum dengan surat keputusannya, berwenang
melakukan penahanan Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari dan dalam
tenggang waktu tersebut apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat
diperpanjang oleh Papera yang berwenang dengan keputusannya untuk setiap kali
30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.22
Bahwa terhadap kewenangan penahanan yang berada pada kewenangan
Ankum dan Pepera dalam hal penahanan tersebut di atas ternyata dalam praktek di
lapangan muncul beberapa permasalahan yang menimbulkan kerugian bagi
Tersangka, yaitu Tersangka ditahan tanpa surat penahanan atau surat penahanan
diberikan setelah beberapa hari Tersangka melaksanakan penahanan tersebut.

wewenang untuk menetukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia yang berada dibawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan diluar
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
21 Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, Nusa Media,

Bandung, 2014, hal. 105.


22 Vide Pasal 78 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

Militer.

7
Edward Omar Syarif Hiariej dalam keterangannya sebagai ahli di persidangan
di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya meyatakan bahwa penahanan terhadap
Terdakwa tanpa surat penahanan atau keterlambatan surat penahanan adalah suatu
kesalahan yang dapat merugikan dan melanggar hak asasi Terdakwa, namun
demikian Terdakwa tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada perlindungan
terhadap pelanggaran hak-hak Terdakwa tersebut, dan hal yang demikian adalah
merupakan kelemahan dari Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer yang tidak mengatur tentang Lembaga Praperadilan, sehingga hak-
hak Terdakwa tidak dapat terlindungi/dipenuhi karena tidak ada tempat atau aturan
yang bisa melindungi hak-hak Terdakwa tersebut. Peristiwa atau salah satu contoh
yang dialami Terdakwa pada sidang di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya seperti
tersebut diatas ternyata juga banyak dialami oleh para Tersangka/Terdakwa lain
dalam proses penegakan hukum di Lingkungan Peradilan Militer.
Perkembangan situasi dan kondisi kemiliteran yang begitu pesat sehingga
menuntut peran ekstra dari para Komandan untuk melakukan tugas-tugas
kedinasannya yang cukup padat, mengakibatkan peran Komandan lebih diutamakan
dari pada perannya sebagai penegak hukum, hal ini berakibat sering terjadi kesalahan
atau kekeliruan dalam proses hukum yang dilakukan. Para Komandan seolah tidak
peduli dengan nasib anggotanya yang berada dalam tahanan. Padahal urgensi
Ankum dalam Peradilan Militer berangkat dari prinsip ‘kesatuan komando’ (unity of
command) dan Komandan bertanggung jawab. Hal ini tentu saja sudah menyalahi
asas Satu Kesatuan Komando dan Komandan Bertanggungjawab yang menjadi
asas dibentuknya Peradilan Militer.
Pada sistem Peradilan pidana di lingkungan peradilan umum dikenal adanya
lembaga Praperadilan yang bertujuan untuk melalukan pengawasan (control)
terhadap praktik pemeriksaan pidana khususnya pada tingkat penyidikan dan
penuntutan, sehingga para Tersangka yang dirugikan hak-haknya dapat mengajukan
keberatan melalui lembaga tersebut. Sifat pengawasan dalam Praperadilan bersifat
eksternal, jika ada kesalahan aparat dalam melakukan tugas dan kewenangannya
tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan
Negeri sebelum proses perkara dilanjutkan. Dengan adanya sistem pengawasan
eksternal tersebut diharapkan masing-masing aparat penegak hukum dapat saling
mengontrol dan mengawasi sehingga memerlukan kehati-hatian yang tinggi karena
kewenangan dalam penegakan hukum pidana akan beririsan dengan hak dan
kebebasan seseorang yang muaranya pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

8
Lain halnya pengawasan pada sistem Peradilan Militer yang hanya bersifat
internal vertikal dan terhadap pengawasan kewenangan penahanan oleh Ankum dan
Papera dalam proses penyidikan perkara pidana belum diatur dalam undang-undang
Peradilan Militer. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
tidak mengatur mekanisme kontrol eksternal secara horisontal untuk menjamin
penegakan Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh anggota militer yang berstatus
sebagai Tersangka.
Tujuan hukum berdasarkan teori adalah untuk menjaga agar peraturan hukum
itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat maka
peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-
asas keadilan dari masyarakat. Demikian halnya dalam penegakkan hukum di
lingkungan Peradilan Militer maka peraturan hukum yang ada harus bisa menjamin
rasa keadilan bagi pencari keadilan. Aturan yang ada saat ini dalam sistem Peradilan
Militer dikaitkan dengan beberapa contoh kasus yang muncul, apakah sudah
memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan (dimana hak-haknya telah terabaikan).
Sementara itu tujuan hukum adalah sebuah alasan mengapa adanya hukum materiil
dan formil.
Sebagaimana pendapat Gustav Radbruch bahwa hukum adalah pengemban
nilai keadilan, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Bersifat
normatif karena kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Bersifat konstitutif
karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum, tanpa keadilan, sebuah
aturan tidak pantas menjadi hukum.23 Selanjutnya menurut Gustav Radbruch tujuan
hukum selain untuk mencapai keadilan, juga untuk memberikan kepastian hukum dan
manfaat bagi masyarakat.24
Selain itu, tujuan hukum untuk mencapai keadilan disini adalah keadilan yang
bermartabat, keadilan yang disesuaikan dengan falsafah atau filosofis bangsa
Indonesia yaitu Pancasila sebagai jiwa bangsa terdiri dari lima sila, terutama sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, begitu pula sila
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjadi sumber dari segala sumber
hukum, atau menjadi Kesepakatan Pertama.25 Menurut prespektif teori Keadilan
Bermartabat, tujuan hukum adalah keadilan yang memanusiakan manusia. Dalam
konsep keadilan yang memanusiakan manusia terdapat keadilan itu sendiri,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Tiga komponen dalam keadilan yang
memanusiakan mansuia tersebut selalu ada di dalam setiap kaidah maupun dalam
asas hukum maupun peraturan hukum konkrit dan penemuan hukum.

23 Bernard L Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta

Publising, Yogyakarta, 2013, hal. 117.


24 Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, Liberty, Surabaya,

2006 (dikutip dari Buku Gustav Radbruch).


25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum Pemikiran Menuju

Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Cetakan ke-1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.
367.

9
Jika dilihat dari Teori Keadilan Bermartabat, maka beberapa kasus yang muncul
di lingkungan Pengadilan Militer dimana seorang Tersangka ditahan tanpa surat
perintah penahanan, adalah suatu tindakan yang tidak menghargai kedudukan
Tersangka sebagai mahluk ciptaan Tuhan, bahkan perbuatan tersebut telah
melanggar HAM Tersangka. Keadilan bermartabat menghendaki bahwa meskipun
seseorang itu dinyatakan bersalah, ia tetap harus diperlakukan seperti manusia
dijamin hak-haknya.
Untuk mencapai tujuan hak asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana dibangun
sistem peradilan pidana dijalankan dengan berlandaskan asas the right due process
of law, yaitu bahwa setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai
dengan syarat-syarat konstitusi serta harus menaati hukum dalam arti harus ada
keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak-hak asasi seorang
yang diduga pelaku tindak pidana (Tersangka).26
Proses penyidikan sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana memiliki
wewenang dan kuasa untuk mengupayakan tercapainya keadilan, terkadang dalam
prakteknya Penyidik dalam hal ini Ankum tidak melaksanakan tugas sebagaimana
mestinya dan dapat menimbulkan pelanggaran atas hak-hak Tersangka. Hal ini
disebabkan karena besarnya kewenangan yang diberikan undang-undang kepada
Ankum dan Papera dalam sistem Peradilan Militer, sehingga dapat menimbulkan
interpretasi hukum dan benturan antara kewenangan Ankum selaku Penyidik dan hak
Tersangka selama proses penyidikan. Problem hukum yang timbul dalam penelitian
ini menjawab bahwa adanya keleluasaan kewenangan Ankum selaku penyidik dan
Papera selaku Perwira Penyerah Perkara menyebabkan ketidakpastian hukum yang
dijamin dalam Pasal 28D dan 28G UUD 1945 mengenai hak asasi manusia dengan
status Tersangka.
Kasus Penahanan yang tidak dilengkapi dengan surat perintah penahanan
sebagaimana contoh di atas, yang terjadi di lingkungan Peradilan Militer tersebut
menunjukan belum adanya perlindungan hukum atau protection of law bagi
Tersangka dalam menjalankan proses hukum. Menurut Philipus M. Hadjon
perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum
berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.27 Hak asasi manusia adalah hak
yang melekat sejak manusia itu lahir sehingga merupakan hak yang bersifat mutlak,
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.28
26 Suswantoro Slamet Suhartono Fajar Sugianto, Perlidungan Hukum Bagi Tersangka Dalam Batas

Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Menurut Hak Azasi Manusia, Jurnal Hukum Magnum Opus Volume
I, Nomor 1, Agustus 2018.
27Pengertian Perlindungan Hukum, http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum menurut-

para-ahli/, diakses tanggal 7 November 2014.


28 Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Lembaran Negara (LN) Tahun 1999 Nomor 165

10
Sistem Hak Asasi Manusia mencakup di dalamnya ranah administrasi Peradilan
yang memuat beberapa prinsip, yaitu peradilan yang adil (Fair Trial), Indepedensi
Pengadilan (Indepence Judiciary), dan pemulihan secara efektif (Effective Remedies).
Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya berlaku untuk peradilan pidana umum namun juga
peradilan Pidana Militer.29 Munculnya beberapa permasalahan dalam penegakan
hukum di lingkungan Peradilan Militer sebagaimana dijelaskan di atas terjadi karena
tidak adanya sistem pengawasan atau controlling terhadap kinerja aparat penegakan
hukum pada tingkat penyidikan secara eksternal. Oleh karena itu perlu adanya sistem
yang mengatur mengenai mekanisme pengawasan atau kontrol yang bersifat
eksternal horizontal atau yang dalam lingkungan Pengadilan Umum dikenal dengan
lembaga Praperadilan.
Pengaturan hukum yang tidak mengatur Lembaga Praperadilan di lingkungan
Pengadilan Militer telah dipikirkan dan diperhitungkan oleh para pendahulu dalam
lingkungan TNI dengan mendasasri 3 (tiga) asas dalam kehidupan militer yaitu asas
Kesatuan Komando, asas Komandan Bertanggung jawab dan asas Kepentingan
Militer yang masih berlaku hingga saat ini, namun ternyata pada perkembangannya
muncul banyak permasalahan sebagaimana telah dijelaskan di atas dan sampai saat
ini belum ada penyelesaian terhadap masalah-masalah tersebut karena belum ada
aturannya atau belum diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer, sehingga hukum yang berlaku di Lingkungan Pengadilan
Militer saat ini dipandang tidak lengkap dan belum memenuhi rasa keadilan, sehingga
dikatakan telah terjadi kekosongan hukum rechtsvacuum dalam sistem Peradilan
Militer.
Fakta tersebut menuntut adanya perbaikan aturan hukum pada sistem
Peradilan Militer untuk disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan kondisi
masyarakat militer saat ini, agar penegakkan hukum di lingkungan Pengadilan Militer
dapat terus ditegakkan dan berjalan sebagaimana yang dicita-citakan tanpa
mengabaikan hak-hak masing-masing pihak.
Perbaikan aturan hukum dengan cara melakukan pembaharuan hukum pidana
(law reform) pada hakikatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan
penataan kembali (reorientasi dan dekonstruksi) hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia.30

Tambahan Lembaran Negara (TLN) 3886 tentang Hak Asasi Manusia.


29 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kajian Hak Asasi Manusia Tentang Peradilan Militer Di

Indonesia, Komnas HAM, Jakarta, 2014, hal. 1-2.


30 Soegiarto, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, http://artonang.Blogspot.co.id/ 2016/04/

pembaharuan–hukum–pidana–di-indonesia.html, April 2016.

11
Pembaharuan hukum merupakan upaya melakukan evaluasi atau
pembentukan peraturan yang lebih baik dan berdaya guna serta berhasil guna.31
Pembaharuan hukum ini dilakukan dengan menata Hukum Acara Pidana Militer
melalui suatu konsep pemenuhan hak-hak bagi para pencari keadilan yang belum
terpenuhi sehingga Sistem Peradilan Militer di Indonesia perlu disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat militer.
Salah satu asas dibentuknya undang-undang adalah sebagai sarana untuk
semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material baik
masyarakat maupun individu melalui pembaharuan atau pelestarian (fungsi peraturan
perundang-undangan).32 Pembaharuan hukum tidak bisa lepas dari penegakkan
hukum dan efektifitas penegakkan hukum atau berhasil tidaknya penegakkan hukum
tersebut menurut Lawrence M. Friedman (dalam teori Sistem Hukum) bergantung
pada substansi hukum (legal substance), Struktur hukum/pranata hukum (legal
structure) dan Budaya hukum (legal culture).33 Oleh karenanya pembaharuan hukum
dalam sistem Peradilan Militer harus memperhatikan ketiga aspek tersebut.
Permasalahan penegakan hukum di lingkungan Peradilan Militer dalam
memberikan hak-hak bagi para pencari keadilan, khususnya Tersangka atau
Terdakwa dalam rangka mewujudkan persamaan hak bagi setiap warga negara di
muka hukum dan guna menjamin ketidaksewenangan para penegak hukum di
Lingkungan Peradilan Militer tersebut, menarik bagi Penulis untuk menelitinya. Untuk
itu, Penulis menganggap sangat perlu memberikan sumbangsih pikiran terhadap
perkembangan hukum di Indonesia khususnya dalam Lingkungan Peradilan Militer
melalui penelitian ini dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, sepanjang pengetahuan Penulis topik ini belum pernah diteliti baik di
kalangan militer maupun di kalangan sipil, bahkan dalam bentuk tulisan/karya ilmiah
pun, Penulis belum pernah menemukan tentang topik tersebut, sehingga topik ini
masih dianggap orisinil atau belum ada penelitian Disertasi yang mengangkat topik
tersebut.
Kedua, sampai saat ini anggota militer atau prajurit TNI yang menjadi
Tersangka sering kali dirugikan hak-haknya karena tidak dapat menempuh upaya
hukum untuk mengajukan keberatan atas penahanan yang dinilai menyalahi
prosedur hukum pidana yang berlaku.

31 Otto Yudianto, Kebijakan Formulatif Pidana Penjara Seumur Hidup Dalam Rangkaian Pembaharuan

Hukum Pidana Di Indonesia, Menuju Insan Cemerlang, Surabaya, 2015, hal. 61.
32 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007, hal. 56-57.


33 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System A Social Science

Perspective), Nusamedia, Bandung, 2009, hal. 32.

12
Ketiga, untuk menjawab adanya pro dan kontra tentang keberadaan
Praperadilan hanya mengemuka dalam opini-opini atau pendapat di Lingkungan
Militer, namun belum ada yang melakukan penulisan atau melakukan pengkajian
lebih mendalam. Pro kontra berkembang lagi pada kekhususan dan kekhasan/ciri
khas Peradilan Militer di mana dari sejak awal pembentukannya, bahwa militer
memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan warga sipil biasa karena Undang-
Undang Peradilan Militer berangkat dari Asas Kesatuan Komando, Asas Komandan
Bertanggung Jawab terhadap Bawahannya dan Asas Kepentingan Militer.
Keempat, untuk memberikan masukan dan konsep hukum baru terhadap
sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya Peradilan Militer agar sejajar dengan
peradilan lain di bawah Mahkamah Agung.
Berdasarkan uraian dan alasan tersebut di atas, oleh karenanya dalam
Disertasi ini penulis akan meneliti dan membahas tentang ”Praperadilan dalam
Sistem Peradilan Militer di Indonesia “.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dalam penelitian ini dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Mengapa Lembaga Praperadilan diperlukan dalam Sistem Peradilan Militer di
Indonesia?
2. Bagaimana Konsepsi Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di Lingkungan Peradilan Militer ?
3. Bagaimana Implikasi/Pengaruh Pembentukan Lembaga Praperadilan Dalam
Sistem Peradilan Pidana di Lingkungan TNI ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan dilakukan
penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis dan menemukan alasan perlunya Lembaga Praperadilan
Dalam Sistem Hukum Peradilan Militer di Indonesia.
2. Untuk menganalisis dan menemukan bagaimana Konsep Lembaga
Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Lingkungan Peradilan Militer.
3. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh pembentukan Lembaga Praperadilan
dalam Sistem Peradilan Pidana di Lingkungan TNI.

13
D. Manfaat Penelitian
Penelitian Disertasi dengan judul “PRAPERADILAN DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER DI INDONESIA”,
dengan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan tersebut di atas, diharapkan
penelitian ini dapat memberikan pedoman dan kepastian hukum, serta yang sangat
signifikan adalah adanya keadilan bagi setiap anggota militer yang menjadi Tersangka
memiliki hak yang sama di muka hukum, sehingga memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis bagi para pihak yang memerlukan, khususnya Aparat
Penegak Hukum di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) seperti Ankum/
Papera, Penyidik Polisi Militer, Oditur Militer dan Hakim Militer dalam menegakan
hukum tanpa melanggar Hak Asasi Manusia.
1. Kegunaan/Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam teori keilmuan hukum pidana khususnya tentang konsep
Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Lingkungan Peradilan
Militer di Indonesia.
b. Memberikan kerangka dasar teoritik bagi para penegak hukum dan pencari
keadilan, untuk dapatnya menjamin perlindungan hak asasi manusia
dalam hal ini hak-hak prajurit TNI atau militer yang diperiksa, bagaimana
mekanisme perlindungannya dan sekaligus dapat memberikan pedoman
bagi aparatur negara dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan sehingga mempunyai dampak/implikasi
yang positif bagi para pencari keadilan.
c. Memberikan kepastian hukum dan keadilan serta memberikan konsepsi
baru tentang Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Lingkungan
Peradilan Militer, sehingga dapat tercapai suatu keadilan yang
bermartabat.
2. Kegunaan/Manfaat Praktis
a. Memberikan perlindungan pada Komandan Satuan (Ankum/ Papera) dan
memberikan kepastian hukum serta masukan kepada para pencari
keadilan dan Aparat Penegak Hukum dalam penyelesaian tindak pidana di
lingkungan militer.
b. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan dampak/
implikasi yang positif serta bermanfaat bagi para pencari keadilan (pelaku
dan korban) khususnya para Tersangka yang diduga melakukan suatu
tindak pidana.

14
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pembuat undang-
undang atau pejabat terkait dalam merumuskan konsep baru Praperadilan
dalam Sistem Peradilan pidana di lingkungan Peradilan Militer yang dapat
menjadi dasar dan payung hukum bagi para aparat penegak hukum di
lingkungan TNI dan memberi keadilan sekaligus perlindungan hukum bagi
Prajurit TNI yang juga sebagai warga negara yang sama di muka hukum.

E. Orisinalitas
Permasalahan hukum dikaji dalam penelitian hukum ini adalah mengenai
“PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI LINGKUNGAN
PERADILAN MILITER DI INDONESIA”. Berdasarkan penelurusan kepustakaan
yang dilakukan dapat dikatakan bahwa tingkat keaslian dari penulisan ini dapat
dipertanggungjawabkan. Meskipun demikian, karena keterbatasan dalam melacak
hasil-hasil penelitian khususnya yang tidak dipublikasikan, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa pokok persoalan yang diteliti terkait dengan permasalahan yang
telah diteliti oleh peneliti sebelumnya karena disiplin ilmu yang sama tetapi dari sudut
pandang yang berbeda, namun demikian terdapat beberapa disertasi yang
membahas tentang Pengadilan Militer seperti di bawah ini:
Tiarsen Buaton, Disertasi, Peradilan Militer Dalam Kekuasaan Kehakiman Di
Indonesia Studi Tentang Kedudukannya dan Yurisdiksinya, Periode 1945-2008,
Program Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2008. Tiarsen Buaton
melakukan kajian terhadap Kedudukan dan Yurisdiksi Peradilan Militer di Indonesia
ditinjau dari persepektif sejarah, reformasi, yang sedang berjalan dan
perbandingannya dengan beberapa Negara. Masalah yang dikaji dalam disertasi
tersebut, yaitu: 1) Bagaimana Kedudukan dan Yurisdiksi Peradilan Militer di Indonesia
setelah ditetapkannya Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman; 2) Bagaimana kedudukan asas-asas militer yang merupakan bagian dari
asas-asas Peradilan Militer seperti Asas Kesatuan Komando, Asas Komandan
Bertanggung jawab Terhadap Anak Buahnya dan Asas Kepentingan Militer apabila
prajurit yang melanggar tindak pidana umum diadili pada peradilan umum.
Berdasarkan masalah-masalah tersebut, Tiarsen Buaton dalam penelitian
berkesimpulan bahwa, 1) Peradilan Militer semakin independen dan imparsial berada
di bawah Mahkamah Agung yang sebelumnya di bawah Markas Besar TNI. Secara
umum dapat dikatakan bahwa Pengadilan Umum tidak tepat untuk mengadili tindak
pidana yang dilakukan oleh prajurit, karena militer dianggap sebagai komunitas

15
khusus, yang mempunyai tugas pertahanan negara; 2) Asas-asas Peradilan Militer
merupakan asas yang harus ada dalam Sistem Peradilan Militer, namun dalam RUU
Peradilan Militer asas-asas tersebut tidak dimunculkan; 3) Sistem Peradilan Militer di
Indonesia seyogyanya sesuai dengan budaya militer dimana Peradilan Militer
merupakan sarana tegaknya disiplin dan moril yang prima guna menghadapi tugas
pokok mempertahankan kedaulatan.
Slamet Sarwo Edy, Disertasi, Independensi Sistem Peradilan Militer Di
Indonesia (Studi Tentang Struktur Peradilan Militer), Program Doktor Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, Tahun 2016. Slamet Sarwo Edy melakukan kajian terhadap
penegakan hukum pidana dalam sistem Peradilan Militer yang masih tampak ambigu,
disatu sisi menghendaki peradilan yang independen disisi lain menempatkan peran
Komandan Satuan (Ankum) sebagai penyidik maupun sebagai Perwira Penyerah
Perkara ke Pengadilan Militer, demikian juga pembinaan organisasi, administrasi dan
finansial Pengadilan Militer tidak terlepas dari pembinaan organisai militer. Berkaitan
dengan hal tersebut di atas permasalahan yang diteliti adalah 1) Mengapa secara
yuridis filosifis, yuridis normatif, terjadi ketidakmandirian dalam Sistem Peradilan
Militer; 2). Bagaimanakah konsep struktur Peradilan Militer ke depan agar menjamin
independen dalam Sistem Peradilan Militer. Berdasarkan masalah-masalah tersebut,
Slamet Sarwo Edy berkesimpulan bahwa filosofi terjadinya ketidakmandirian dalam
sistem Peradilan Militer karena faktor kepentingan militer (TNI) yaitu berkaitan dengan
tugas pokok TNI mempertahankan kedaulatan negara. Organisasi Peradilan Militer
sebagai bagian organisasi Tentara Nasional Indonesia harus mandiri baik secara
kelembagaan maupun secara fungsional, terbebas dari campur tangan lembaga lain
di luar kekuasaan yudikatif sebagai konsekuensi logis sistem negara hukum yang
demokratis.
Mulyono, Disertasi, Perlindungan Hukum Prajurit TNI Terhadap Keputusan
Pejabat Tata Usaha Militer Ditinjau dari Prinsip Persamaan Hak Untuk Dilindungi,
Program Doktor Universitas Jayabaya, Jakarta, tahun 2017. Mulyono melakukan
kajian terhadap ketidakadilan yang diakibatkan dikeluarkannya Keputusan Pejabat
Tata Usaha Militer kepada prajuritnya namun tidak ada ruang penyelesaian perkara
Tata Usaha Militer, meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer namun belum ada peraturan pelaksanaanya
sehingga tidak dapat dijalankan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas permasalahan
yang diteliti adalah 1) Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap prajurit
TNI sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Pejabat Tata Usaha Militer yang

16
merugikan kepentingan prajurit; 2) Bagaimana prospek pengaturan perlindungan
hukum terhadap prajurit TNI yang kepentingannya dirugikan akibat Keputusan
Pejabat Tata Usaha Militer. Berdasarkan masalah-masalah tersebut, Mulyono,
berkesimpulan pada intinya bahwa seorang Prajurit TNI mempunyai hak yang sama
dengan warga sipil dalam hal untuk dilindungi dari Keputusan Pejabat Tata Usaha
Negara Militer. Peradilan Tata Usaha Militer tetap berada pada lingkungan Peradilan
Militer. Pada masa mendatang, Peradilan Tata Usaha Militer harus benar-benar
mendapatkan perhatian untuk dapatnya dioperasionalkan dalam rangka penegakan
hukum, sekaligus perlindungan hukum bagi yang dirugikan, sehingga pemerintah
perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang memberlakukan Hukum Acara Tata
Usaha Militer dan sebagai dasar hukum untuk melindungi hak Prajurit TNI dari
tindakan sewenang-wenang dari Pejabat Tata Usaha Militer.
Dini Dewi Herniati, Disertasi tentang “Yurisdiksi Peradilan Militer Dalam
Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Sebagai Alternatif Membangun
Independensi Peradilan Militer”, Program Doktor Universitas Pajajaran Bandung,
Tahun 2016. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah 1)
Bagaimana proses dan prosedur penyelesaian tindak pidana umum yang dilakukan
oleh anggota TNI dalam sistem peradilan militer di Indonesia; 2) Bagaimana yurisdiksi
Peradilan Militer terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum dalam
perspektif pembaharuan Sistem Peradilan Militer di Indonesia. Kesimpulan hasil
penelitian tersebut adalah 1) Proses dan prosedur penyelesaian perkara tindak
pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI diselesaikan menurut yurisdiksi
peradilan militer; 2) Yurisdiksi peradilan militer terhadap anggota TNI yang melakukan
tindak pidana umum menggunakan pendekatan yurisdiksi personal yaitu
menitikberatkan kepada anggota militer (TNI) dan mereka yang dipersamakan
sebagai subyek hukum. Dalam perspektif pembaharuan hukum bertolak pada sistem
hukum nasional dan perkembangan global serta ius comparandum dengan tetap
memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan yurisdiksi seperti ratione
personae, loci dan tempore harus mempertimbang kan struktur, komposisi dan
kedudukan militer dalam struktur kenegaraan.
Dari 4 (empat) Disertasi tersebut di atas tidak satupun yang melakukan
penelitian tentang Praperadilan pidana dilingkungan Peradilan Militer sehingga
penulis berpendapat penelitian yang penulis lakukan adalah yang pertama guna
memberikan saran masukan terhadap kekosongan hukum pidana (khususnya
Hukum Acara Pidana Militer) di Indonesia.

17
F. Landasan Teoritis dan Kerangka Konseptual
1. Landasan Teoritis
Pada landasan teori tentang Praperadilan Militer, maka dapat dijelaskan
bahwa dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI,
secara sosiologis penerapan Lembaga Praperadilan dapat mempengaruhi
sistem interakasi sosial yang ada dalam kesatuan militer, sedangkan secara
yuridis memang belum pernah ada pengaturan mengenai Praperadilan militer
dalam undang-undang tentang peradilan pidana militer dan penerapan
Lembaga Praperadilan militer akan mempengaruhi asas-asas hidup yang ada
dalam dunia militer.
Namun demikian untuk menjaga agar masing-masing pihak tetap
terlindungi dan terpenuhi haknya maka pengaturan tentang Praperadilan militer
sebaiknya tetap diperlukan karena adanya potensi pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang dapat terjadi pada masyarakat militer khususnya prjurit yang
sedang menjadi Tersangka.
Untuk menganalisis masalah Praperadilan dalam sistem peradilan pidana
di lingkungan Peradilan Militer di Indonesia, maka diperlukan landasan teoritis
yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Adapun beberapa landasan
teori yang dipergunakan dalam penelitian disertasi ini, peneliti mempergunakan
Teori Negara Hukum sebagai “Grand Theory”. Untuk “Middle Range Theory”
adalah Teori Tujuan Hukum. Sedangkan “Applied Theory” adalah Teori
Pembaharuan Hukum.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Grand Theory, Middle Range
Theory dan Applied Theory dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sebagai Grand Theory adalah Teori Negara Hukum.

Peneliti menggunakan toeri negara hukum sebagai Grand Theory


untuk mengkaji permasalahan dalam Disertasi ini. Secara teoritis konsep
negara hukum awalnya dikenal di negara-negara Eropa Kontinental
dengan istilah Rechtstaat artinya negara berdasarkan hukum yang
upayanya untuk membatasi dan mengatur kekuasaan.34 Dalam sistem
konstitusi negara kita, cita negara hukum menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak
kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal pada UUD 1945 sebelum

34 Dikutip dari Disertasi Dini Dewi Heniarti, Yurisdiksi Peradilan Militer Terhadap Anggota Tentara
Nasional Indonesia Yang Melakukan Tindak Pidana Umum Dalam Prespektif Pembaharuan Sistem Peradilan
Militer Sebagai Salah Satu Upaya Membangun Independensi Peradilan Militer Di Indonesia, Tahun 2016,
hal. 21.

18
diadakan amandemen/perubahan dan ide negara hukum ini tidak
dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan UUD 1945 dengan
jelas ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide rechtsstaat bukan
machtsstaat.
Pada konsep negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya sendiri
yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang
mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak ada hukum atau tidak ada
kekuasaan lain apapun, kecuali hukum semata. Banyak rumusan yang
diberikan terhadap pengertian negara hukum tetapi sulit untuk mencari
rumusan yang sama, baik itu disebabkan karena perbedaan asas negara
hukum yang dianut maupun karena kondisi masyarakat dan zaman saat
perumusan negara hukum dicetuskan.35
Konsep negara hukum berdasarkan wilayah tradisi hukumnya dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu, konsep negara hukum rechtsstaat
dan konsepsi Negara hukum the rule of law yang telah mendapat dorongan
dari pada renaissance dan reformasi keduanya merupkan abad XIX dan di
pengaruhi paham liberalisme dan indivisualisme.36
Bagi konsepsi Negara hukum rechtsstaat penegakan hukum berarti
penegakan hukum yang ditulis dalam undang-undang sesuai dengan
paham legisme bahwa hukum identik dengan undang-undang sehingga
ada “kepastian hukum”. Bagi konsepsi negara hukum the rule of law,
penegakan hukum bukan berarti penegakan hukum tertulis, tetapi yang
terpenting adalah penegakan keadilan hukum, sehingga penegakan
hukum tidak berarti penegakan hukum yang ditulis dalam undang-undang
semata, bahkan hukum tertulis tersebut lebih di terima untuk disimpangi
oleh hakim jika memang dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan hukum.
Hukum menjadi salah satu unsur penting dalam kehidupan
bernegara dikemukakan oleh Sri Soemantri Martosoewignyo, bahwa
negara yang dikategorikan sebagai negara hukum harus mempunyai
unsur sebagai berikut:37
1) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtter lijke
control).

35 Mailian, 2001, Gagasan Perlunya Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, hal. 36-37.
36 Fadjar, 1993, Tipe Negara Hukum, Malang: Banyumedia Publishing, hal. 16.
37 R. Sri Soemantri Martosoewignyo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung,

Alumni.1992, hal. 29.

19
Sementara itu hukum menurut Friedrich Julius dalam bukunya
Padmo Wahyono yang berjudul “Pembaharuan Hukum di Indonesia” harus
memenuhi unsur-unsur utama negara hukum, yaitu:38
1) Mengakui dan melindungi Hak Asasi Manusia.
2) Penyelenggaraan negara harus berdasarkan trias poloitica.
3) Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah harus berdasarkan
undang-undang.
4) Adanya Peradilan Administrasi Negara.
Ada beberapa tokoh asing yang mengambangkan unsur Negara
hukum diantaranya yaitu Friedrick Julius Stahl dan Albert Venn Dicey.
Unsur-unsur Negara hukum rechtsstaat ada 4 (empat) unsur yang penting
dalam sebuah negara yang taat terhadap hukum antara lain :
1) Hak-hak Asasi Manusia.
2) Pemisahan/Pembagian Kekuasaan.
3) Setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang telah ada.
4) Adanya Peradilan Administrasi yang berdiri sendiri.
Lebih lanjut unsur negara hukum menurut Alberth Venn Dicey
mewakili dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon, memberikan 3 (tiga) ciri
utama sebagai unsur-unsur Negara hukum the rule of law yaitu:
1) Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-
wenangan, sehingga seseorang akan dihukum jika melanggar
hukum.
2) Bahwa setiap orang sama di depan hukum, baik selaku pribadi
maupun dalam kualifikasi pejabat Negara.
3) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-
keputusan pengadilan.39
Menurut pendapat Mahfud MD, bahwa tipe utama negara hukum
kesejahteraan adalah adanya kewajiban pemerintah untuk melakukan
bestuuruzorg atau service publik yakni penyelenggaraan kepentingan
umum. Pemerintah diberi kewenangan yang luas untuk melepaskan diri
dari hukum formal yang kaku, sehingga dapat melakukan aktivitasnya
dengan leluasa. Pemberian kewenangan yang luas dan kemudian dikenal
dengan ajaran freis ermessen atau pouvoir dicretionare, yang secara
sederhana dapat dirumuskan sebagai “kemerdekaan pemerintah untuk
dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan-

38 Padmo Wayono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta, In Hill Co, 1989, hal. 151.
39 Mahfud MD, 2000, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, hal.28.

20
persoalan sosial”. Ajaran freis ermessen dapat pula dirumuskan sebagai
kewenangan yang sah bagi pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan
sosial guna melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat.40
Ajaran freis ermessen mempunyai konsekuensi di bidang perundang-
undangan yakni adanya penyerahan kekuasaan legislasi kepada
pemerintah, sebagai implikasinya, pemerintah memiliki 3 (tiga) macam
hak, pertama, hak inisiatif yakni membuat peraturan yang sederajat
dengan undang-undang tanpa persetujuan terlebih dahulu dari parlemen.
Kedua, hak delegasi yaitu membuat peraturan yang sederajat di bawah
undang-undang. Ketiga, hak droit function yaitu menafsirkan sendiri aturan-
aturan yang masih bersifat enumsiatif. Ajaran freis ermessen dalam negara
kesejahteraan memberikan peran kepada Negara yang sedemikian luas
jauh melampaui batas-batas yang pernah diatur dalam demokrasi
konstitusional.
b. Sebagai Middle Range Theory adalah Teori Tujuan Hukum.
Peneliti menggunakan Teori Tujuan Hukum Gustav Radbrugh
sebagai Middle Range Theory didukung dengan teori perlindungan hukum
untuk mengkaji permasalahan dalam Disertasi ini.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa ada tiga (3) nilai-nilai dasar
yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, dimana orientasinya adalah
untuk menciptakan harmonisasi pelaksanaan hukum. Sebagaimana yang
menjadi tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif
maupun secara pasif.
Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan
perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan
hukum. Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum
sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan
begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada
saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas
prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan
dengan urutan yaitu sebagai berikut :41
1) Keadilan Hukum.
2) Kemanfaatan Hukum.
3) Kepastian Hukum.

40 Mahfud MD, 2009, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Yogyakarta: Kanisius, hal. 46
41 Muhammad Erwin, 2012, Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, hal. 123.

21
Dengan urutan prioritas sebagaimana dikemukakan tersebut di atas,
maka sistem hukum dapat terhindar dari konflik internal. Secara historis,
pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati
peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah
melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah
kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperi-
kemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum
yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu,
Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan
menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain.42
Bagi Gustav Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-
ubah. Satu waktu bisa menonjolkan keadilan dan mendesak kegunaan
dan kepastian hukum ke wilayah tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan
kepastian atau kemanfaatan. Hubungan yang sifatnya relatif dan berubah-
ubah.
Suatu sistem hukum nasional menyerap atau menganut asas-asas,
nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup bangsa yang memiliki
tata hukum itu dan merasakannya sebagai tata hukum yang serasi dengan
perasaan keadilannya (rechtgevoel) dan pandangan mereka mengenai
keadilan (Sense of justice).43 Para sosiolog juga berpendapat bahwa tidak
ada satu masyarakat yang tidak berubah.44 Oleh karena itu dalam
memecahkan masalah permasalahan yang dihadapi dalam aspek-aspek
hukum perlu dicari model yang sesuai, karena sebuah model haruslah
mencakup sifat-sifat esensial serta relevan dari sistem yang dipelajari.45
c. Sebagai Applied Theory Adalah Teori Pembaharuan Hukum, yang didukung
dengan Teori Penegakan Hukum agar konsep praperadilan pidana dalam sitem
peradilan di lingkuan peradilan militer dapat terwujud sesuai harapan masyarakat
khususnya masyarakat militer.
Istilah Pembaharuan Hukum dan istilah pengembangan kurang lebih sama yaitu
menambah atau mengurangi atau mengadakan hukum yang baru, karena hukum
undang-undang yang lama sudah tidak dapat mengikuti perkembangan zaman
(peradaban manusia). 46

42 Ahmad Zaenal Fanani, Berpikir Filsafat Dalam Putusan Hakim, Artikel ini pernah dimuat di Varia

Peradilan No. 304, Maret 2011, hal. 3.


43 Dini Dewi Heniarti, Op. Cit. hal. 32.
44 Ibid.
45 Ibid.
46Otto Yudianto, Loc. Cit.

22
Menurut Barda Nawawi Arif, Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum
pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan
sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan
criminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah
dikatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh
dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan
sekaligus pendekatanyang berorientasi pada nilai(value oriented approach).47
Pembaharuan hukum pidana, dari sudut pandang pendekatan kebijakan
merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi
hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum,
memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat,
mengatasi masalah kemanusiaan dalam rangka tujuan nasional yaitu social welfare
dan social defence48.
Pembaharuan hukum pidana dari sudut pandang pendekatan nilai, pada
hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali
nilai-nilai socio politic, socio filosofis dan socio cultural yang melandasi dan memberi
isi terhadap muatan normatif dan subtantif hukum pidana yang dicita-citakan49.
Dengan demikian Perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara
Republik Indonesia harus berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta menghormati dan menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia, agar tercipta perubahan hukum yang adil sesuai dengan
kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, politik hukum,
keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa
Indonesia.50
Oleh karenanya teori pembaharuan hukum Barda tersebut akan digunakan
sebagai pisau analisis dalam menjawab permasalahan mengenai konsep
pembentukan lembaga Praperadilan dalam lingkungan peradilan militer agar sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural
masyarakat Indonesia sehingga penambahan pasal/aturan Praperadilan dalam
undang undang peradilan militer dapat diterima dan diterapkan serta diaplikasikan
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.

47Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana

Media Group, Jakarta, 2008, hal. 29.


48Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 3.


49Barda Nawawi, Op. Cit, hal. 30.
50Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana

Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009. hal. 28.

23
Pembaharuan hukum dalam sistim Peradilan Militer tidak bisa lepas dari proses
penegakkan hukumnya, untuk itu guna melengkapi teori Pembaharuan Hukum, maka
Penulis juga menggunakan teori Penegakan Hukum, agar pembaharuan hukum
yang telah dilaksanakan dapat ditegakkan sesuai dengan cita-cita dari pembaharuan
hukum tersebut.
Marjono Reksodipuro mengatakan bahwa penegakan hukum sendiri harus
diartikan dalam kerangka konsep yaitu:51
1) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)
yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum
tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.
2) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara
dan sebaginya demi perlindungan kepentingan individual.
3) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang
muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana
prasarana, kualitas sumber daya manusia, kualitas perundang-undangan
nya dan kurangnya partisipasi masyarakat.
Penegakan Hukum menurut Lawrance M. Friedman yang dikenal dengan Teori
Sistem Hukum, menyatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem, hukum mempunyai
tiga komponen, yaitu Struktur hukum (legal structure), Substansi hukum (legal
substance), dan Budaya hukum (legal culture). Pertama, Struktur hukum (legal
structure), struktur hukum menyangkut mengenai lembaga-lembaga yang
berwenang untuk membuat dan melaksanakan undang-undang yang diciptakan oleh
sistem hukum, seperti lembaga pengadilan, lembaga legislator; Kedua, substansi
hukum (legal substance). Substansi hukum yaitu berupa materi atau bentuk dari
peraturan perundang-undangan. Ketiga, budaya hukum (legal culture), budaya
hukum yaitu sikap orang terhadap hukum dan sistem hukum, yaitu menyangkut
kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide dan harapan mereka.52 Tentang struktur
hukum Friedman menjelaskan.53
“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of
this kind: the number and size of courts; their jurisdiction. Strukture also means how the
legislature is organized …what procedures the police department follow, and so on.
Strukture, in way, is a kind of cross section of the legal system…a kind of still photograph,
with freezes the action.”

51 Mardjono Reksodipuro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Kedua,

Pusat Pelayanan Keadilan dan Penegakan Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta. 1997.
hal.65
52 Lawrence M.Friedman, dalam buku Teguh Prasetyo Hukum dan Sistem-Sistem Hukum Berdasarkan

Pancasila, Cet.Pertama. Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, hal. 43.


53Dikutip dari Disertasi Tiarsen Buaton dalam judul Peradilan Militer Dalam Kekuasaan Kehakiman Di

Indonesia: Studi Tentang Kedudukan Dan Yuridiksinya Peridoe 1945-2008, hal. 37.

24
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan,
yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan tata cara naik
banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan
legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada
yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari
lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang
ada.

Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk di


dalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan
dengan hakimnya, dan seterusnya.54
Peran penegakan hukum (yang dalam teori sistem hukum masuk pada struktur
hukum) sebagai faktor dalam penegakan hukum menjadi sangat penting, dalam
pemikiran hukum progresif hal tersebut diperlukan oleh penegak hukum agar mampu
melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya
sinkronisasi Criminal Justice System di lingkungan Peradilan Militer dalam hal ini Polisi
Militer, Ankum, Papera, Oditur Militer, dan Hakim. Selain itu perlu adanya perubahan
terhadap Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997, yang merupakan materi
Substansi Hukum pada teori Sistem Hukum. Untuk itu perubahan yang diharapkan
dalam menata ulang (dekontruksi) Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer perlu keikutsertaan DPR dalam pelaksanaannya.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Substansi adalah
keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum dan norma hukum) baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.55 Substansi hukum
menurut Friedman adalah: 56
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules,
norm, and behavioral patterns of people inside the system …the stress here is on living
law, not just rules in law books”.
Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan
perundang-undangan yang berlaku memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi
pedoman bagi Aparat Penegak Hukum.

Selain struktur dan substansi maka terdapat unsur yang ketiga dan vital dari
sistem hukum. Unsur tersebut adalah tuntutan dan kebutuhan dan apa yang
menciptakan tuntutan dan kebutuhan adalah suatu faktor yang disebut “Kultur
hukum”, istilah ini dapat diartikan sebagai ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-
kepercayaan, harapan-harapan, dan opini-opini tentang hukum.57Sedangkan
mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat: 58

54 Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori Keadilan (Judicial Prodence), Kencana

Prenada Media Grup, Jakarta 2009, hal. 225.


55 Ibid, hal. 226.
56 Disertasi Tiarsen Buaton, Op. Cit, hal. 38.
57 Ali Ahmad, Op. Cit, hal. 226.
58 Disertasi Tiarsen Buaton, Op. Cit, hal. 38.

25
“The third component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes
toward law and legal system their belief …in other word, is the climinate of social thought
and social force wicch determines how law is used, avoided, or abused”.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk
budaya hukum Aparat Penegak Hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.

Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang
ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung
budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, maka
penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
2. Kerangka Konseptual
Praperadilan dalam sistem peradilan militer belum diatur secara tegas
dalam sistem peradilannya di Indonesia, sehingga praperadilan dalam sistem
militer menurut peneliti perlu untuk diatur untuk perlindungan hak asasi manusia
di lembaga kemiliteran di Indonesia, perlindungan tersebut ditujukan untuk para
komandan satuan (pimpinan kesatuan) agar terhindar dari pelanggaran HAM
dan juga perlindungan diberikan pada para prajurit TNI agar tidak dilakukan
sewenang-wenang saat berhadapan dengan hukum.
Konsep dalam penelitian ini pada dasarnya terkait dengan istilah yang
digunakan sekaligus pada asumsi yang disampaikan dalam disertasi, sehingga
melalui definisi yang diuraikan dalam penelitian ini diharapkan diperoleh
gambaran yang menunjukan variabel penting dalam penelitian ini. Di samping
itu juga akan berguna untuk memudahkan pembahasan pada satu konsep yang
sama mengenai beragam definisi yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Pemahaman mengenai Praperadilan, Praperadilan menurut pasal 1 butir
10 KUHP:59
Dalam istilah hukum Indonesia, adalah wewenang Pengadilan Negeri
untuk memeriksa dan memutus tentang:
1) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau
permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa
Tersangka;
2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.

59 Andi Hamzah, Lok.Cit, hal. 230.

26
Hal yang ditegaskan Pasal 1 butir 10 KUHAP yang dapat di Pra
peradilankan diatur lebih rinci pada Pasal 77 KUHAP yang menegaskan
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang- undang ini tentang:60
Pengadilan Negeri berwenang untuk memerikasa dan memutus
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, mengenai:
1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian,
penyidikan atau penghentian penuntutan.
2) Ganti kerugian atau rehabilitasi terhadap seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dengan demikian Lembaga Praperadilan adalah media untuk
menguji mengenai sah tidaknya tindakan aparatur negara bidang
penegakan hukum terutama Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) apabila melakukan tindakan hukum yang berupa
penangkapan,penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan. Yang perlu diperhatikan dalam gugatan Praperadilan ini
adalah tentang sah tidaknya tindakan sebagaimana dipersyaratkan dalam
Pasal 77 KUHAP tersebut dilakukan Aparat Penegak Hukum. Pengertian
sah tidaknya itu berkaitan dengan apakah tindakan yang dilakukan itu
resmi apa tidak, jika resmi harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen
yang berupa surat tugas yang jelas menyangkut tugas penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau apakah petugas-petugas yang
melakukan tugas sebagaimana tersebut di atas itu telah dilengkapi dengan
surat perintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum. Pengertian
Praperadilan61 adalah proses persidangan sebelum pokok perkaranya
disidangkan.
Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam
Praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara
penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Adapun
yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut,
misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi.62

60 Andi Hamzah, Lok.Cit, hal. 262.


61 Praperadilan adalah proses sebelum peradilan, praperadilan terdiri dari dua suku kata yaitu kata pra
dan kata peradilan, kata pra dalam ilmu bahasa dikenal dengan pemahaman sebelum, sedangkan peradilan
adalah proses persidangan untuk mencari keadilan.
62 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana (Melalui Pendekatan Hukum Progresif), Penerbit

Sinar Grafika : Jakarta, 2010, hal. 72.

27
Dengan demikian Lembaga Praperadilan memberikan batasan-
batasan kewenangan terhadap Aparatur Penegak Hukum sebagai sarana
kontrol/pengawasan untuk memberikan keseimbangan antara per-
lindungan kepentingan hak asasi Tersangka dan penegakan ketertiban
hukum, akan tetapi Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam
KUHAP ini belum diatur dalam Sistem Peradilan Militer di Indonesia.
b. Hak Asasi Manusia, adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma63 yang
menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia dan dilindungi
secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan
internasional. Indonesia adalah Negara hukum, sebagai negara yang
berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua
orang sama di hadapan hukum. A. Hamid S. Attamimi mengartikan negara
hukum sebagai negara yang menempatkan hukum sebagai dasar
kekuasaan negara dan penyelenggara negara tersebut dalam segala
bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.
Saudargo Gautama mengartikan negara hukum dengan; Suatu
Negara dimana perseorangan mempunyai hak terhadap Negara, HAM
diakui oleh undang-undang, dimana untuk merealisasikan perlindungan
hak-hak ini kekuasaan negara dipisah-pisahkan hingga badan
penyelenggara negara, badan pembuat undang-undang dan badan
peradilan berada pada pelbagai tangan, peradilan yang bebas
kedudukannya untuk dapat memberikan perlindungan semestinya kepada
setiap orang yang hak-haknya dirugikan walaupun hal ini terjadi oleh alat
negara sendiri.
Perkembangan negara hukum modern yang melahirkan prinsip-
prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum, terdapat 9 (sembilan)
prinsip pokok sebagai pilar utama penyangga negara hukum yaitu
Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum
(Equality Before The Law), Asas Legalitas, Pembatasan Kekuasaan,
Peradilan Bebas dan Tidak memihak, Peradilan Tata Usaha Negara,
Perlindungan Hak Asasi Manusia, Sebagai sarana Mewujudkan Tujuan
Negara dan Transparansi.64 Prinsip-prinsip inilah yang dijunjung dalam
konsepsi Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.

63 James Nickel, With Assistance From Thomas Pogge, M.B.E. Smith, and Leif Wenar, December 13,
2013, Stanford Encyclopedia of Philosophy, Human Rights, Retrieved August 14, 2014.
64 Akhmad Kholil Irfan,S.Ag, SH, Negara Hukum dan Prinsip Equality Before The Law,

http://www.boyyendratamin. com/2015/07/negara-hukum-dan-prinsip-equality.html, ddi akses 26 Juli 2021.

28
c. Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak
sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia. Hal ini sejalan dengan Philipus M. Hadjon,
yang berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan
harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum
dari kesewenangan, yang bersumber pada Pancasila dan konsep negara
hukum.65
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada Hak
Asasi Manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-
hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum
adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak
hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.66
Tujuan diadakan Lembaga Praperadilan dalam dunia penegakan
hukum dalam sistem Peradilan Militer di Indonesia adalah untuk
memantapkan pengawasan (control) terhadap praktik pemeriksaan pidana
khususnya pada tingkat penyidikan atau penyerahan perkara, lebih jauh
lagi yakni dalam rangka menghargai hak asasi dari seseorang yang telah
disangka melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan hukum.
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting
sekali. Sebagian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana
menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak-hak asasi manusia
seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan
penghukuman yang pada hakekatnya adalah pembatasan hak-hak asasi
manusia.67
Sebagai seorang yang belum dinyatakan bersalah, maka wajar bila
Tersangka atau Terdakwa mendapat jaminan perlindungan hak yang

65Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 25.
66Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 53.
67 Purnomo, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia Dalam Undang-Undang RI Nomor 8

Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 34.

29
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, seperti hak
untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam taraf penyidikan, hak
segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat putusan
yang seadil-adilnya, hak pemberitahuan tentang tindak pidana yang
disangkakan atau dituduhkan kepadanya, hak menyiapkan pembelaan,
hak bantuan hukum maupun hak mendapat kunjungan. Hak Tersangka
atau Terdakwa sesuai dengan tujuan KUHAP yang memberikan
perlindungan kepada hak-hak asasi dalam keseimbangan dengan
kepentingan umum.68
Dalam konsep perubahan/dekontruksi dalam sistem Peradilan Militer
di Indonesia adanya Lembaga Praperadilan diharapkan dapat membantu
dan memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi militer/
prajurit TNI yang menjadi Tersangka dari tindakan kesewenangan
penahanan oleh Ankum atau Papera seperti tidak adanya atau
keterlambatan Surat Perintah Penahanan. Untuk itu terhadap militer/
prajurit TNI yang menjadi tersangka tersebut manakala menghadapi
persoalan tersebut, maka militer/prajurit TNI tersebut atau keluarganya
atau pihak lain yang mendapat kuasa dapat meminta pemeriksaan dan
putusan oleh hakim tentang tidak sahnya penahanan atas dirinya tersebut.
Dengan demikian Praperadilan yang akan dibangun berfungsi sebagai alat
kontrol bagi Ankum/Papera dalam menjalankan kewenangan penahanan.
d. Peradilan Militer merupakan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di
lingkungan Angkatan Bersenjata yang meliputi Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer
Pertempuran.69 Sistem dan penyelenggaraan peradilan dalam lingkungan
Peradilan Militer diatur dalam Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997
tentang Perubahan Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Militer. Proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan
anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilaksanakan oleh Peradilan
Militer, dimulai dengan tahap penyidikan, penyerahan perkara,
pemeriksaan sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan. Wewenang
Peradilan Militer yaitu:

68 Loebby Luqman, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 18.
69 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pasal 1 Angka (1).

30
1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan
Bersenjata, termasuk anggota suatu golongan atau jawatan atau
badan yang dipersamakan dengan militer;
2) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata atas permintaan dari pihak yang dirugikan
akibat dari tindak pidana yang dilakukan. Asas yang terkandung
dalam Hukum Acara Peradilan Militer ini tidak terlepas dari tata
kehidupan militer yaitu Asas Kesatuan Komando, Asas Komandan
Bertanggung jawab terhadap Anak buahnya dan Asas Kepentingan
Militer.
e. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah kekuatan bersenjata yang
merupakan alat negara yang dibentuk khusus dengan tujuan untuk
menjaga pertahanan dan keamanan Negara Indonesia. Oleh karena itu
anggotanya dididik dengan keras dan disiplin untuk keperluan
pertempuran. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dituntut untuk
dapat bertindak sesempurna mungkin dan tidak mentolerir adanya
tindakan indisipliner bahkan tindak pidana, mengingat tugasnya yang
sangat penting dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Oleh
karena itu sanksi terhadap tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer bersifat diperberat, supaya anggota militer
selalu berhati-hati dalam bertindak dan pada akhirnya tidak mengganggu
kepentingan militer dalam melaksanakan tugas pokoknya.
Adanya pengaturan yang bersifat khusus (hukum militer) terhadap
anggota militer bertujuan agar apabila terdapat anggota militer yang
melakukan kejahatan, maka proses penyelesaian perkara pidananya tidak
akan mengganggu tugas pokok Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam
menjaga pertahanan dan keamanan Negara. Anggota Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dituntut siap siaga dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam,
meskipun sedang tidak berdinas. Hal tersebut merupakan bentuk
antisipasi, apabila sewaktu-waktu terdapat kepentingan Negara yang
bersifat darurat, maka anggota militer selalu dalam keadaan siap siaga,
sehingga kepentingan yang lebih besar dan utama dalam melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia tetap
dapat dilaksanakan.

31
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Metode penelitian dalam penulisan ini, Penulis menggunakan jenis
penelitian Yuridis Normatif, menurut Soetandyo Wignjosoebroto penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum yang menitikberatkan pada telaah atau
kajian terhadap perundang-undangan dalam suatu tata hukum yang koheren.70
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengkajian dan penelaahan tentang
apakah diperlukan lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Militer di
Indonesia, yang belum diatur dalam Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer, yang merupakan Hukum Acara Peradilan Militer.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan empat pendekatan (approach),
yaitu: pendekatan Perundang-undangan (statute approach), pendekatan
filosofis (philosophy approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),
pendekatan kebijakan (policy approach) hukum pidana dan Pendekatan
futuristik.
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Penulisan ini termasuk jenis penelitian normatif, maka Penulis
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, karena yang
akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang fokus sekaligus tema
sentral suatu penelitian.71 Pendekatan peraturan perundang-undangan
digunakan oleh penulis untuk meneliti dan menganalisis peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Lembaga Praperadilan.
Dalam hal ini, pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti
dan menganalisis perlunya Lembaga Praperadilan dalam Sistem
Peradilan Militer di Indonesia, yang belum diatur dalam Undang-undang RI
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang merupakan Hukum
Acara Peradilan Militer.
b. Pendekatan Filosofis (Philosophy Approach)
Pendekatan filsafati dilakukan untuk mencari atau menemukan ratio
logis serta dasar ontologis dari lahirnya suatu undang-undang, sehingga
dapat ditangkap kandungan filosofi yang melatarbelakangi dari pembuatan
suatu undang-undang. Pendekatan ini dilakukan dalam kerangka untuk
memahami filosofi aturan hukum dari waktu ke waktu, serta memahami
perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum
tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang
dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.

70 Soetandyo Wignjosoebroto, Sebuah Pengantar ke Arah Perbincangan tentang Pembinaan Penelitian

Hukum Dalam PJP II, Makalah, Disampaikan dalam seminar akbar 50 Tahun Kemerdekaan, BPHN,
Departemen Kehakiman, Jakarta, 1995, hal. 5.
71 Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,

2010, hal. 302

32
Dalam hal ini Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, apa yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang
tersebut lahir dan mengapa dalam undang-undang tersebut tidak
mengatur mengenai Lembaga Praperadilan.
c. Pendekatan yuridis sosiologis atau empiris, digunakan untuk mengkaji
fakta di lapangan, baik fakta yuridis maupun non yuridis dalam upaya untuk
mencari alasan keberadaan Praperadilan dalam Sistem Peradilan Militer di
Indonesia.
d. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi
penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun
argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi.
Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan
pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang
relevan dengan permasalahan.
Pendekatan konseptual digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti
dan menganalisis apa yang dimaksud dengan Lembaga Praperadilan
serta hubungan hak azasi manusia dengan Lembaga Praperadilan dalam
sistem Peradilan Militer di Indonesia.
e. Pendekatan Kebijakan Hukum Pidana (Policy Approach)
Kebijakan atau politik hukum pidana ialah garis kebijakan untuk
menentukan seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku
perlu diubah atau diperbarui, artinya menyangkut urgensi pembaruan
hukum pidana, kemudian untuk menentukan apa yang dapat diperbuat
untuk mencegah terjadinya tindak pidana, artinya menyangkut upaya
pencegahan tindak pidana, serta untuk menentukan cara bagaimana
penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan, artinya berkaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan
melalui sistem peradilan pidana.
f. Pendekatan Futuristik, digunakan untuk menganalisis perlu tidaknya
keberadaan Lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer di
Indonesia ke depan dengan prinsip persamaan dan bagaimanakah
konsepsi yang akan dibangun sehingga dapat seimbang dan mencapai
keadilan, kemanfaatan dan kepastian dalam masyarakat militer.

33
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum ini bahan yang digunakan adalah bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat
dan terdiri dari norma dasar atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945, peraturan dasar, peraturan perundang-
undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi dan
traktat.72 Bahan hukum primer dalam penulisan ini yakni Pasal 27 Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pengaturan perlindungan hak asasi dalam
wilayah/konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945 “setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan
yang sama di hadapan hukum.”
Demikian juga secara jelas ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “setiap
orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau
dibuang secara sewenang-wenang”. Selanjutnya bahan hukum primer
lainnya meliputi Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer sebagai Hukum Acara Peradilan Militer, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Lampiran Keputusan-
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01.PW. 07. 03 Tahun 1982
tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang
menegaskan antara lain mengenai sah tidaknya penangkapan, penahan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap
penyimpangan perkara untuk kepentingan umum dan Jaksa Agung).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang,
hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, pendapat para
sarjana hukum.73 Dalam penelitian mengenai penegakan hukum ini, bahan

72 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu TinjauanSingkat), Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hal.13.
73 Ibid.

34
hukum sekunder yang diperolah dari buku-buku teks yang membahas
mengenai penegakan hukum, konsep suatu hukum, tujuan hukum, sistem
Peradilan di Indonesia maupun buku-buku yang berkaitan dengan
Praperadilan, serta pendapat para sarjana (para hakim militer, oditur militer,
pejabat hukum militer dan Para Narapidana Militer) mengenai Hak Asasi
Manusia untuk memenuhi rasa keadilan prajutit TNI yang menjadi
Tersangka.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya
kamus, ensiklopedia, website dan lain-lain.74
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik Pengumpulan data yang dilakukan Penulis adalah studi
kepustakaan dan studi dokumen (setelah studi pustakaan selesai dilaksanakan
kemudian dilanjutkan dengan studi dokumen tetapi studi dokumen hanya
dilakukan apabila studi dokumen tidak lengkap, belum lengkap atau melakukan
pendalaman). Studi dokumen dilakukan di berbagai instansi seperti Direktorat
Hukum Angkatan Darat, Badan Pembinaan Hukum TNI, Polisi Militer, Oditurat
Militer dan instansi lain terkait dengan mengajukan surat permohonan kesediaan
untuk dikunjungi dan digunakan sebagai tempat penelitian.
Dalam hal hasil studi pustaka dan atau studi dokumen juga kurang
lengkap, maka konfirmasi perlu dilakukan agar penelitian ini dapat diterima
secara luas, yang akan dilakukan terhadap beberapa pakar hukum pidana
selaku akademisi disatu pihak atau pratisi dipihak lain.
4. Analisa Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum baik berupa primer, sekunder, tersier yang telah
diperoleh dan dihimpun melalui studi pustaka dan atau studi dokumen dan atau
studi indentifikasi atau klarifikasi tersebut diolah kembali. Pengolahan bahan
hukum dilakukan dengan cara 1) Kategori atau klasifikasi, 2) Sistematisasi, 3)
Analisis secara deskriptif dan kritis.
Pengkategorian atau pengklasifikasian dilakukan terhadap bahan-bahan
hukum yang telah diperoleh atau dihimpun melalui studi pustaka atau studi
dokumen atau studi konfirmasi atau klarifikasi dengan berdasarkan rumusan
masalah yang hendak dibahas dalam penelitian ini.

74 Ibid.

35
Setelah itu hasil pengkaterogian atau pengklasifikasian tersebut dilakukan
pengsistematisasian sedemikian rupa berdasarkan atas pemositifikasian hukum
dan keberlakuan hukum. Akhirnya bahan-bahan hukum yang telah dilakukan
pengsistematisasian itu dianalisis secara deskriptif dan kritis. Penganalisasian
secara deskriptif berarti bahwa bahan-bahan hukum yang telah dilakukan
pengsistematisan tersebut digambarkan dan diuraikan sedemikian rupa
sehingga jelas dan terang.
Penganalisasian secara kritis berarti bahwa bahan-bahan hukum yang
dideskriptiskan tadi dikaikan dengan dan diuji melalui doktrin-doktrin yang
berkembang dalam hukum pidana pada umumnya dan hukum militer pada
khususnya.

H. Asumsi-asumsi
Berdasarkan latar belakang masalah dilanjutkan dengan perumusan masalah,
maka dapat disusun asumsi atau sejumlah jawaban sementara atas permasalahan
didapatkan berdasarkan pengamatan Penulis dan nantinya akan dikaji lebih lanjut
dalam disertasi ini. Adapun jumlah asumsi dalam disertasi ini akan disesuaikan
dengan jumlah permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya sebagai berikut:
1. Kekhususan/ciri khas penyelesaian perkara pidana di lingkungan Peradilan
Militer tidak harus menghalangi tujuan hukum itu sendiri sehingga keberadaan
Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana Militer sudah saatnya untuk
dibangun dan dimasukan dalam pasal-pasal pada hukum acara tersebut, hal ini
untuk memberikan perlindungan pada Komandan Satuan atau Dansat
(Ankum/Papera) agar tidak melakukan pelanggaran HAM yang diakibatkan
ketidakprofesionalan bawahan (staf/anak buah) atau Aparat Penegak Hukum
dalam melengkapi administrasi dalam penyelesaian perkara pidana di
lingkungan TNI. Lain dari pada itu untuk menunjukkan pada masyarakat umum
bahwa Peradilan Militer juga memberikan keadilan bagi para pencari keadilan
yang sama dengan di lingkungan Peradilan Umum, hal ini dapat memberikan
kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat khususnya msyarakat militer.
2. Konsep Lembaga Praperadilan di lingkungan Peradilan Militer pada prinsipnya
sebagai lembaga kontrol kepada aparat penegak hukum di lingkungan
Peradilan Milter dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit
TNI atau militer dengan memperkuat Asas Kesatuan Komando dan Asas
Komandan Bertanggung Jawab Terhadap Bawahannya agar wibawa Ankum
dan Papera tetap terjaga dimata anak buahnya.
36
Menambah pasal yang berkaitan dengan Praperadilan dalam Undang-
Undang Peradilan Militer (KUHAPMil) dengan tujuan Lembaga Praperadilan
sebagai pelaksana wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan
tentang sah atau tidak sahnya penahanan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa
kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan terbuka dengan
wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak
berbeda dengan proses pidana biasa.
3. Keberadaan Lembaga Praperadilan dapat digunakan sebagai fungsi kontrol
secara eksternal terhadap para Komandan Satuan atau Dansat
(Ankum/Papera) dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan
penyelesaian perkara pidana di lingkungan TNI agar setiap langkah diikuti
dengan administrasi, hal tersebut untuk menghindari adanya pelanggaran HAM
karena tidak memberikan hak-hak yang ada pada diri Tersangka.
Selain kepentingan komando juga untuk menjamin adanya perlindungan
terhadap hak Tersangka pada tahapan pemeriksaan pendahuluan adalah
sebagai perwujudan dari fungsi hukum acara pidana yaitu menyelenggarakan
peradilan yang adil (fair trial) dalam rangka untuk menemukan kebenaran
materiil atau kebenaran yang hakiki. Terselenggaranya peradilan yang adil
menjadi kewajiban penyelenggara negara dan menjadi hak dasar bagi
Tersangka yang harus dipenuhi oleh Negara. Pemenuhan hak dasar bagi
Tersangka tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam
penyelenggaraan hukum pidana, baik dalam hukum pidana materiil maupun
hukum pidana formil, yaitu asas legalitas.
Oleh karena itu dengan penelitian ini akan terjawab apakah lembaga
Praperadilan dibutuhkan dalam sistem peradilan pidana dalam lingkungan
peradilan militer demi kepastian hukum dan keadilan dengan tidak
meninggalkan ciri khas yang merupakan asas-asas dalam kehidupan militer,
asas manfaat bagi para penegak hukum dan para pencari keadilan khususnya
di lingkungan TNI.

37
I. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Hakekat Lembaga Praperadilan Pidana Sebagai Perlindungan Hak Asasi
Manusia
a. Lembaga Praperadilan Di Indonesia.
1) Kedudukan Praperadilan di Indonesia
Menurut etimologinya, praperadilan terdiri dari 2 (dua) suku kata,
yaitu pra dan peradilan. Kata “pra” itu sendiri diartikan sebelum,
sedangkan kata “peradilan” diartikan sebagai suatu proses
pemeriksaan atas tersangka, saksi-saksi dan barang bukti oleh
pengadilan dalam rangka mencari kebenaran materiil.75 Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa praperadilan diartikan sebagai
proses pemeriksaan voluntair yang dilakukan sebelum pemeriksaan
terhadap pokok perkara berlangsung di pengadilan. Adapun yang
dimaksud dengan pokok perkara dalam hal ini adalah suatu dakwaan
tentang telah terjadinya suatu tindak pidana, yang sedang dalam
tahap penyidikan atau penuntutan.76
Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan
Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang
diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah penegak hukum. Menurut
Pasal 1 butir (10) KUHAP menyatakan:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,
tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Praperadilan
tidak diatur di dalam ketentuan Herziene Inlands Reglement (HIR).77

Hal ini dapat dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat


terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial
Belanda, yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-
perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa sehingga
menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini pihak penjajah.78

75 Wahyu Januar, Studi Komparatif Hukum Wewenang Dan Fungsi Praperadilan Menurut Hukum Acara
Pidana Indonesia Dengan Sistem Habeas Corpus Di Amerika Serikat, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta. 2011, hal. 33.
76 Beatrik Dwi Septiana dkk., Upaya Hukum Atas Putusan Praperadilan Yang Melampaui Kewenangan

Lembaga Praperadilan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 38/Pid.Prap/
2012/PN.Jkt. Sel., Atas Nama Bachtiar Abdul Fatah), FH. Universitas Indonesia, Jakarta, 2013, hal. 5.
77 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar

Maju, Bandung, 2003, hal. 6.


78 Ibid, hal. 8.

38
Lembaga Praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari
adanya hak Habeas Corpus Act dalam sistem peradilan Anglo Saxon,
yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia
khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak
pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan
menuntut (menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas
dirinya (polisi ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan
tersebut adalah tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-
benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Keadaan
ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan
kemerdekaan terhadap seorang Tersangka atau Terdakwa itu benar-
benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Surat perintah habeas
corpus act ini dikeluarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang
menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana
langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun.
Bunyi surat perintah habeas corpus act (the writ of habeas corpus)
adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalam penguasaan
Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan
serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Prinsip dasar habeas corpus ini memberikan inspirasi untuk
menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan
kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau
dibatasi kemerdekaannya untuk mengadukan nasibnya sekaligus
menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan kekuasaan berupa
penggunaan upaya paksa (dwang middelen), baik penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-
surat yang dilakukan oleh pihak kepolisian ataupun kejaksaan atau
pula kekuasaan lainnya.79
2) Wewenang Praperadilan
Berdasarkan dari segi struktur dan susunan peradilan,
praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan
pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang
memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana.
Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya,
yaitu:

79 Yanto, Hakim Komisaris Dalam Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Pertama Kepel Pres,Yogyakarta,
2013,hal. 21.

39
a) Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada
Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan.
b) Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun
sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan
divisi dari Pengadilan Negeri, administratif yustisial, personil,
peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan
berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan
Ketua Pengadilan Negeri.
c) Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi
yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.80
KUHAP tidak bertitik tolak pada orientasi kekuasaan. Fungsi
wewenang, dan kekuasaan yang diberikan KUHAP kepada masing-
masing jajaran aparat penegak hukum, diseimbangkan dengan
pemberian hak yang sah dan legal kepada setiap tersangka atau
terdakwa. Ini harus benar-benar diresapi oleh semua jajaran aparat
penegak hukum. Bahwa dominannya asas keseimbangan sebagai
titik sentral dalam KUHAP, merupakan keinginan dan tujuan pembuat
undang-undang untuk membatasi penumpukan kekuasaan.81
Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan yang
berhak mengajukan praperadilan, yaitu:
a) Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya.
b) Penyidik atau penuntut umum.
c) Pihak ketiga yang berkepentingan.82
3) Acara Praperadilan Dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana atau yang lebih dikenal dengan sebutan KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana) khususnya Pasal 1 angka 10,
Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83,
Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), serta Pasal 124.
Ada 3 hal yang diatur dalam hukum acara praperadilan, yaitu a.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

80 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 1.


81 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan,
Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 8.
82 Tri Andrisman, Hukum Acara Pidana, Bandar Lampung: Buku Ajar, 2010, hal. 48.

40
tersangka (Pasal 79 KUHAP); b. Sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan (Pasal 80 KUHAP); c. Permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.

b. Urgensi Lembaga Praperadilan Dari Sudut Pandang Teori Negara


Hukum
Muhammad Yamin menggunakan kata negara hukum sama dengan
rechtsstaat atau government of law, sebagaimana kutipan pendapat berikut ini83:
“Polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah
dan keadilan, bukanlah pula negara Republik Indonesia ialah negara
hukum (rechtsstaat, government of law) tempat keadilan yang tertulis
berlaku, bukanlah negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata
dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.”
Menurut pendapat Hadjon,84 kedua terminologi yakni rechtsstaat dan the
rule of law tersebut ditopang oleh latar belakang sistem hukum yang berbeda.
Istilah Rechtsstaat merupakan buah pemikiran untuk menentang absolutisme,
yang sifatnya revolusioner dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang
disebut civil law. Sebaliknya, the rule of law berkembang secara evolusioner,
yang bertumpu atas sistem hukum common law. Walaupun demikian
perbedaan keduanya sekarang tidak dipermasalahkan lagi, karena mengarah
pada sasaran yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Istilah “negara hukum” atau dalam istilah Penjelasan UUD 1945 disebut
dengan “negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”, tidak terlepas dari
pengaruh kedua paham tersebut. Keberadaan the rule of law adalah mencegah
penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah juga dilarang menggunakan
privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum biasa. Paham negara
hukum (rechtsstaat atau the rule of law), yang mengandung asas legalitas, asas
pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang
merdeka tersebut, kesemuanya bertujuan untuk mengendalikan negara atau
pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenang-wenang, tirani, atau
penyalah gunaan kekuasaan. Cita Negara Hukum di Indonesia menjadi bagian

83 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonseia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
hal. 72.
84 Philipus M.Hadjon, Lok. Cit, hal. 72.

41
yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak
kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide
Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan
ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide “recht sstaat‟, bukan “machtstaat‟.85
Guna menjamin tertib hukum, penegakan hukum, dan tujuan hukum,
fungsi kekuasaan kehakiman atau lembaga peradilan berperan penting,
terutama fungsi penegakan hukum dan fungsi pengawasan. Dalam penegakan
hukum atau pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum atau
pembentukan hukum86. Ada 12 (dua-belas) prinsip pokok Negara Hukum
(Rechtsstaat), kedua-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama
yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut
sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya. Prinsip-prinsip dimaksud adalah sebagai beriku:87
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law);
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law);
3. Asas Legalitas (Due Process of Law);
4. Pembatasan Kekuasaan;
5. Organ-Organ Eksekutif Independen;
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak;
7. Peradilan Tata Usaha Negara;
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat);
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara
(WelfareRechtsstaat);
12. Transparansi dan Kontrol Sosial.

Berdasarkan uraian diatas berarti konsekwensi Indonesia sebagai negara


hukum adalah adanya perlindungan hukum bagi rakyat atas tindakan
pemerintah dilandasi oleh dua prinsip, yaitu prinsip hak asasi manusia (HAM)
dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara
hukum88. Jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia yang dalam
bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka, belum sepenuhnya

85 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta,1970, hal. 27.
86 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 4.
87 Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Papper. Disampaikan dalam Wisuda

Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004 Dalam Simbul Cahaya No.
25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614.
88 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987,
hal. 71.

42
dilaksanakan, tidak terkecuali dalam bidang penegakan hukum itu sendiri. Harus
disadari bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian
proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai instansi/pejabat
negara. Penegakan hukum di bidang hukum pidana akan melibatkan aparat
penyidik, aparat penuntut umum, aparat pengadilan dan aparat pelaksana
pidana 89.
Asas praduga tak bersalah merupakan prinsip yang terkandung dalam
pembentukkan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), yang dijiwai prinsip perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia. Hal tersebut pada prinsipnya juga sesuai dengan
tujuan KUHAP yaitu untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam
keseimbangan dengan kepentingan umum. Salah satu bentuk perlindungan
terhadap hak asasi dapat dilihat dengan adanya peraturan yang mengatur
tentang Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal
83 KUHAP. Praperadilan merupakan suatu tambahan wewenang yang dimiliki
oleh Pengadilan Negeri, yang berfungsi untuk memeriksa keabsahan dari suatu
proses penanganan perkara.
Hal tersebut tidak diatur dalam sistim Peradilan Militer, karena dalam sistim
penegakan hukum di Peradilan Militer mengikut sertakan peran komandan
sebagai salah satu law enforcement agency, dimana seorang komandan
bertanggungjawab penuh terhadap anak buahnya sehingga komandan
mempunyai kewenangan untuk menyerahkan perkara dan penahanan pro
yustisia terhadap anak buahnya. Berkembangnya kehidupan masyarakat militer
dan banyaknya tugas serta tanggung jawab seorang Komandan dalam
kedinasan tidak menutup kemungkinan adanya kelalaian dalam pelaksanaan
tugas-tugasnya selaku Ankum dan atau Papera. Tidak ada konsekwensi bagi
para komandan yang melakukan kelalain dalam melaksanakan tugas-tugasnya
selaku Ankum dan Papera namun dampaknya sangat dirasakan oleh para
prajurit yang berperkara, mereka ditahan tanpa surat penahanan, penahanan
yang telah dijalani tidak diperhitungkan dalam pelaksanaan pidana yang
dijatuhkan oleh Pengadilan, karena tidak ada mekanisme untuk mengajukan
keberatan tersebut. Tanpa disadari para komandan (Ankum dan atau Papera)
telah melakukan pelanggaran HAM para prajurit yang berperkara.

89Muladi dan Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2001, hal. 4.

43
Indonesia sebagai negara hukum yang menghormati HAM, serta
menjamin kesetaraan warga negaranya di depan hukum dan pemerintahan,
seharusnya hukum acara pada sistim Peradilan Militer, mencerminkan kebijakan
nasional Indonesia yang mengatur tentang hak dan kewajiban bagi pihak-pihak
yang terlibat dalam proses penegakan hukum pidana, baik untuk Tersangka
maupun pejabat di setiap tingkatan pemeriksaan pada proses penegakkan
hukum di lingkungan Peradilan Militer.

c. Hakekat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Tujuan Hukum


1) Hakikat Lembaga Praperadilan dari Perspektif Teori Tujuan Hukum
Untuk Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan tuntunan utama terhadap hukum
ialah, supaya hukum menjadi positif, dalam artian berlaku dengan
pasti. Hukum harus ditaati, dengan demikian hukum sungguh-
sungguh positif. Hukum dituntut untuk memiliki kepastian dengan
maksud bahwa hukum tidak boleh berubah-ubah. Sebuah undang-
undang yang telah diberlakukan akan mengikat bagi setiap orang dan
sifatnya tetap sampai undang-undang tersebut ditarik kembali.
Permasalahan yang sering terjadi akibat kekeliruan memahami
makna dari kepastian hukum adalah, sering kali bunyi bahkan sifat
redaksional dari sebuah pasal dalam undang-undang dipertahankan
secara mutlak, sehingga yang terjadi sebagaimana ada ungkapan:
lex dura sed tamen scripta, yang artinya undang-undang adalah
keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya.90
Pendapat Gustav Radbruch, membagi pengertian kepastian
hukum menjadi 2 yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian
hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin
banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang
berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas
hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap
berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai
apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-
undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-
ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu

90 O. Notohamidjojo, Ibid, hal. 34.

44
sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan
rechstwekelijkheid (keadaan hukum yang sebenarnya) dan dalam
undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat
ditafsirkan secara berlain-lainan.91
Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang
diberikan tugas untuk itu harus menjamin “kepastian hukum” demi
tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Ketidak pastian hukum akan menimbul kan kekacauan dalam
kehidupan masyarakat dan akan saling berbuat sesuka hati serta
bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan
kehidupan berada dalam suasana “social disorganization atau
kekacauan sosial”.92
Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan
jaminan bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik. Sudah
tentu kepastian hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Karena
kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum.
Kepastian hukum ini menjadi keteraturan masyarakat berkaitan erat
dengan kepastian itu sendiri karena esensi dari keteraturan akan
menyebabkan seseorag hidup secara berkepastian dalam
melakukan kegiatan yang diperlukan dalam melakukan aktivitas
kehidupan masyarakat itu sendiri.93
Namun hukum tetaplah untuk memberikan keadilan.
Sebagaimana dikatakan oleh Sudikno bahwa:94
Bukan penerapan naskah undang-undang secara membudak yang
memberikan kepastian hukum, tetapi kehendak untuk memberi
kepada pencari keadilan yang dituntut mereka berdasarkan kepatutan.
Oleh karena itu kita boleh berkata bahwa kepastian yang semu dulu,
yang didasarkan atas naskah yang selalu sedikit banyak kebetulan,
digantikan oleh kepastian dalam tingkat yang lebih tinggi, kepastian
yang ditimbulkan dengan mengusahakan kepatutan. Kepastian yang
dulu diberikan oleh kata-kata telah digantikan oleh kepastian yang
diberikan oleh keadilan.

91 Academia Edu, http://www.academia.edu/10691642/, diunduh 23 Juni 2015.; Esmi Warassih,

Implementasi Kebijaksanaan Pemerintah Melalui Peraturan Perundang-Undangan Dalam Perspektif


Sosiologis, Surabaya: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1991, hal. 85.
92 Ibid, hal. 85.
93 Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 21.
94 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Op.Cit., hal. 57.

45
Jadi Kepastian hukum seharusnya ditujukan untuk melindungi
kepentingan setiap individu agar mereka mengetahui perbuatan apa
saja yang dibolehkan dan sebalik- nya perbuatan mana yang dilarang
sehingga mereka dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan
pemerintah.95 Individu-individu inilah yang disebut para pencari
keadilan yang memang memerlukan kepastian akan tetapi kepastian
yang sesungguh- nya tidak ditujukan pada bentuk atau formal belaka.
Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan dan
penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa
yang melakukan. Adanya kepastian hukum setiap orang dapat
memperkirakan apa yang akan terjadi jika melakukan tindakan
hukum itu, kepastian sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan.
Kepastian salah satu ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian
akan kehilangan makna karena tidak dapat di gunakan sebagai
pedoman perilaku bagi setiap orang.96
Tindakan upaya paksa (penahanan) yang dikenakan instansi
penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan
kemerdekaan dan hak asasi Tersangka, tindakan itu harus dilakukan
secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-
undang yang berlaku (due process of law). Prinsip yang terkandung
pada praperadilan bermaksud dan tujuan guna melakukan tindakan
pengawasan horizontal untuk mencegah tindakan hukum upaya
paksa yang berlawanan dengan undang-undang.97
Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga Praperadilan ini
adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocent) sehingga tiap orang yang
diajukan sebagai Tersangka telah melalui proses awal yang wajar dan
mendapat perlindungan harkat manusianya dan merupakan suatu
lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan
upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama ia berada
dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar
tindakan itu tidak bertentangan dengan undang-undang.98

95 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 139.


96 Cst. Kansil, Kamus Istilah Hukum, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2009, hal. 270.
97 R. Soeparmono, Op.Cit, hal. 16.
98 S. Tanusubroto, Op.Cit, hal. 3.

46
Mekanisme kontrol/pengawasan pada sistem Peradilan Militer
kecuali pada tahap persidangan di Pengadilan Militer bersifat internal
dan belum memadai. Oleh karenanya perlu adanya lembaga yang
dapat mengontrol, mengawasi dan melindungi para aparat penegak
hukum (Ankum dan Papera) agar tidak terjerumus pada pelanggaran
Hak Azasi Manusia dan tidak mengakibatkan terjadinya perkosaan
hak asasi tersangka atau terdakwa. Selain itu perlu adanya suatu
lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji apakah
tindakan upaya paksa yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan
hukum atau tidak, sebagaimana amanat dari dibentuknya lembaga
Praperadilan. Lembaga Praperadilan dapat meminimalisir segala
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses
penegakan hukum.99
Mendasari teori Tujuan Hukum (kepastian hukum), hakekat
lembaga Praperadilan pada sistem Peradilan Militer di Indonesia,
berfungsi untuk menjembatani pada usaha pencegahan tindakan
upaya paksa sebelum seorang diputus oleh pengadilan, pencegahan
tindakan yang merampas hak kemerdekaan setiap warga negara,
pencegahan atas tindakan yang melanggar hak-hak asasi
tersangka/terdakwa (prajurit TNI), agar segala sesuatunya berjalan
atau berlangsung sesuai dengan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.
2) Hakikat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Tujuan Hukum
Untuk Kemanfaatan
Menurut Gustav, selain hukum bertujuan untuk memberikan
kepastian, hukum juga berorientasi pada 3 (tiga) hal, yaitu daya guna
(doelmatigheid).100
Terkait kemanfaatan hukum ini menurut teori utilistis, ingin
menjamin kebahagian yang terkesan bagi manusia dalam jumlah
yang sebanyak-banyaknya. Pada hakikatnya menurut teori ini tujuan
hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau
kebahagian yang terbesar bagi jumlah orang yang banyak.
Pengamat teori ini adalah Jeremy Bentham, teori berat sebelah
sehingga Utrecht dalam menanggapi teori ini mengemukakan 3 (tiga)
hal yaitu:101

99 Muntaha, Pengaturan Pra Peradilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Mimbar Hukum
Vol. 29, Nomor 3, Oktober 2017, hal. 468.
100
O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, hal. 33.
101 Said Sampara, Ibid, hal. 45-46.

47
a) Tidak memberikan tempat untuk mempertimbangkan seadil-
adilnya hal-hal yang kongkret.
b) Hanya memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan karena itu
isinya bersifat umum.
c) Sangat individualistis dan tidak memberi pada perasaan hukum
seorang.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam Sudikno Merto
kosumo tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban,
kebutuhan, akan ketertiban ini merupakan syarat pokok (funda-
mental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Tujuan
lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi
dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Menurut Schuit
telah merinci ciri-ciri keadaan tertib sebagai berikut dapat diperkira-
kan, kerjasama, pengendalian kekerasan, kesesuaian, langgeng,
mantap, berjenjang, ketaatan, tanpa perselisihan keseragaman,
kebersamaan, suruhan, keberurutan, corak lahir dan tersusun.102
Tujuan hukum untuk kemanfaatan hukum perlu diperhatikan
karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam
pelaksanaan penegakan hukum. Jangan sampai penegakan hukum
justru menimbulkan keresahan masyarakat. Karena berbicara
tentang hukum akan cenderung hanya melihat pada peraturan
perundang-undangan, yang terkadang aturan itu tidak sempurna
adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan masyarakat.
Sebagaimana pendapat Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan
bahwa keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap
disamping yang lain-lain, seperti kemanfaatan (utility, doelmatig
heid). Oleh sebab itu didalam penegakan hukum, perbandingan
antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.103
Lembaga Praperadilan yang menjadi bagian wewenang
Pengadilan tersebut, akan mengkaji ulang, apakah tindakan/
peristiwa yang telah dilakukan pejabat penegak hukum itu telah
sesuai dan proporsional, dalam kaitan tindakan yang telah ditempuh
oleh penyidik, penuntut umum, hakim telah sesuai dengan
perundang-undangan ataukah tidak.104

102 Said Sampara, Op Cit., Hal. 46. Dikutip dari buku Sudikno Mertukusomo, Pengantar Ilmu Hukum,

Liberty, Yogyakarta, Permadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1978, Perihal Kaidah Hukum, Alumni,
Bandung.
103 Rasjudin, Op.Cit.
104 S. Tanusubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung,

1983, hal.73.

48
3) Hakikat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Tujuan Hukum
Untuk Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling
banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Hal
yang paling fundamental ketika membicarakan hukum tidak terlepas
dengan keadilan, dewi keadilan dari Yunani. Dari zaman Yunani
hingga zaman modern para pakar memiliki disparitas konsep
keadilan, hal ini disebabkan pada kondisi saat itu. Pada konteks ini
sebagaimana telah dijelaskan pada pendahuluan, bahwa tidak
secara holistik memberikan definisi keadilan dari setiap pakar di
zamannya akan tetapi akan disampaikan parsial sesuai penulisan
yang dilakukan.105
Dalam bukunya Nichomacen Ethics, Aristoteles sebagaimana
dikutip Shidarta telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan.
Ia menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia. Kata adil mengandung lebih dari satu arti.
Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu
yang semestinya. Di sini ditunjukan, bahwa seseorang dikatakan
berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang
semestinya.106
Menurut pendapat Radbruch, bahwa keadilan sudah cukup
apabila kasus-kasus yang sama diperlakukan secara sama.107 Ini
berarti tujuan hukum yang pokok menurut Gustav adalah keadilan.
Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli, salah satunya adalah
Geny. Geny adalah salah satu ahli yang juga mendukung bahwa
hukum bertujuan merealisir atau mewujud- kan keadilan. Ia
berpendapat sebagaimana dikutip oleh Van Apeldoorn demikian:
Bahwa tujuan hukum ialah semata-mata keadilan, akan tetapi
merasa terpaksa juga memasukkan kepentingan daya guna dan
kemanfaatan sebagai sesuatu unsur dari pengertian keadilan: le juste
contient dans ses flancs l’utile.108

105 Dardji Darmohardjo, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum

Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. hal.155.


106 Ibid, hal. 156.
107 O. Notohamidjojo, Op.Cit. hal. 34.
108 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32), Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 16.

49
Tujuan hukum satu-satunya adalah tidak lain daripada
mewujudkan keadilan. Bahwa pendapat yang secara panjang lebar
menguraikan bahwa hukum bertujuan untuk tiga tujuan yaitu
keadilan kepastian dan kemanfaatan, rasionalisasi yang tepat
bahwa kalau keadilan yang dikejar, maka kepastian dan
kemanfaatan secara otomatis akan terwujud, karena baik
kemanfaatan dan kepastian adalah bagian dari keadilan itu sendiri.
Jadi pada hakikatnya kepastian dan kemanfaatan tidak diposisikan
sejajar dengan keadilan sebagai tujuan hukum akan tetapi sebagai
sarana untuk mencapai keadilan itu sendiri. Maka dari itu tujuan
hukum pastilah keadilan.109
Bahkan Gustav Radbruch yang merupakan pencetus tiga
tujuan hukum yang kemudian dijadikan rujukan utama para ahli-ahli
hukum setelahnya dalammemperbincangkan tujuan hukum yaitu
kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Radbruch pada akhirnya
mengoreksi pandangannya sendiri, ia menyatakan bahwa cita
hukum tidak lain daripada keadilan. Selanjutnya ia juga menyatakan,
“Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam
jus.” Yang artinya: Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti
lahir kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum
adanya hukum.110
Dalam mewujudkan keadilan sebagai tujuan dari hukum,
hukum mewujudkannya dengan cara melindungi kepentingan-
kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan,
jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap hal-hal yang
merugikannya.111 Untuk itu hukum harus menjaga keseimbangan
dalam melindungi kepentingan manusia sebagai individu dengan
kepentingan manusia sebagai sebuah kesatuan masyarakat.
Karena selain melindungi individu hukum juga harus ditujukan untuk
mengabdi kehidupan bersama.112
Pengaturan lembaga Praperadilan dalam sistem hukum di
Indonesia ada pada hukum acara pidana. Adapun tujuan dari
Hukum acara pidana berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:113

109 K. Ginto, Essensi Hukum, http://repository. Uksw.edu/ bitstream/ 123456789/ 11652


/3/T2_322014001_BAB III. pdf, 2016.
110 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), Dikutip dari Kurt Wilk, The Legal

Philosophies of Lask, Radbruch, and Dobin, Cambridge, Harvard University Press, 1950, hal. 73.
111 L.J. Van Apeldoorn, Op.Cit, hal. 11.
112 Sudikno Mertokusumo dan Plato A, Op.Cit, hal. 65.
113 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal.9.

50
Mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiel, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa
itu dapat dipersalahkan.

Untuk mencapai keadilan hukum harus dapat menjaga


keseimbangan dalam melindungi kepentingan manusia sebagai
individu dengan kepentingan manusia sebagai sebuah kesatuan
masyarakat, sebagaimana dalam azas hukum pidana equality before
the law, yang termasuk dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan
bahwa: Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.114 Asas equality
before the law ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara
hukum (rechtsstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi
setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).115
Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna
perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the law) dan
mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum.
Keadilan pada hakikatnya didasarkan pada dua hal,
yaitu: Pertama, asas kesamarataan, dimana setiap orang mendapat
bagian yang sama; Kedua, didasarkan pada kebutuhan, sehingga
menghasilkan kesebandingan halaman biasanya diterapkan di
bidang hukum. Peraturan hukum tidak identik dengan keadilan.
Kerenannya, peraturan hukum yang bersifat umum dan mengikat
setiap orang, penerapannya harus mempertimbangkan berbagai
fakta dan keadaan yang terdapat dalam setiap kasus. Penegak
hukum di Indonesia, harus berarti penegak hukum yang
mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.116
Keadilan menurut teori keadilan bermartabat dari Teguh
Prasetyo, sesuai dengan ciri filosofis yang dimilikinya yaitu Pancasila

114 Yasir Arafat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya, Permata Press.
hal. 26.
115 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hal. 20.
116 Teguh Prasetyo, Op. Cit. hal. 82.

51
berusaha menggali nilai-nilai atau pondasi lama di bawah permukaan
pondasi sistem hukum yang baru yang tampak saat ini, serta
mendobrak dari bawah landasan kolonial. Pondasi yang sudah lama
ada dalam jiwa bangsa Indonesia di pandang sebagai bottom-line
dari suatu sistem hukum yang diletakkan dan berfungsi mengejar
tujuannya yaitu keadilan. Pancasila sebagai falsafah bangsa dalam
perspektif hukum yaitu bahwa Pancasila sebagai landasan untuk
menilai suatu keadilan, karena pada prinsipnya dalam filsafat hukum
adalah untuk menilai suatu keadilan. Keadilan hukum dalam
perspektif Pancasila adalah keadilan yang dilandasi sila kedua yang
adil dan beradab.117
Dengan dilandasi oleh sila Kemanusiaan yang adil dan beradab,
maka dapat disimpulkan bahwa keadilan hukum yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia adalah keadilan yang memanusiakan manusia.
Keadilan berdasarkan sila kedua Pancasila itu dapat disebut sebagai
keadilan bermartabat. Keadilan yang bermartabat berprinsip bahwa
meskipun seseorang bersalah secara hukum namun tetap harus
diperlakukan sebagai manusia. Keadilan bermartabat adalah
keadilan yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Keadilan
yang bukan saja secara material melainkan juga secara spiritual,
selanjutnya materiil mengikutinya secara otomatis. Keadilan
bermartabat menempatkan manusia sebagai mahluk ciptaaan Tuhan
yang dijamin hak-haknya.118
Sistem Peradilan Militer tidak mengenal adanya lembaga
Praperadilan, karena Peradilan Militer mengenal adanya azas Satu
Kesatuan Komando dan Komandan Bertanggung jawab, namun
dalam perkembangannya dari beberapa kasus ditemukan
pelanggaran-pelanggaran para Komandan selaku Ankum yang tidak
segera menanggapi laporan dari Penyidik yang berkaitan dengan
keadaan anak buahnya, salah satu contohnya adalah perihal
lambatnya surat penahanan bahkan tidak diturunkannya surat
penahanan. Hal ini tentu saja sangat merugikan Tersangka, namun
Tersangka tidak bisa melakukan pembelaan atas keadaan tersebut
karena belum ada wadahnya.

117 Ibid., hal. 43.


118 Teguh Prasetyo, Op. Cit, hal. 109.

52
Keadaan di atas jika dikaitkan dengan teori Keadilan Bermartabat
adalah sangat bertentangan dan dipandang tidak adil karena untuk
mewujudkan keadilan yang sejalan dengan sila kedua dari Pancasila
yaitu Keadilan Yang Beradab, hukum harus dapat memberikan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan manusia yang
tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan terhadap
hal-hal yang merugikannya.
Dalam hal ini hak-hak Tersangka untuk mendapatkan kepastian
mengenai penahanan yang dialaminya. Keadilan Bermartabat
menghendaki bahwa meskipun seseorang bersalah secara hukum
namun tetap harus diperlakukan sebagai manusia, memberikan apa
yang menjadi hak-haknya sehingga menempatkan manusia dalam
hal ini Tersangka sebagai mahluk ciptaaan Tuhan yang dijamin hak-
haknya.
Untuk itu guna menjamin hak Tersangka, maka perlu adanya
lembaga kontrol yang mengawasi tugas dan tanggung jawab aparat
penegak hukum pada sistem Peradilan Militer, yaitu Lembaga
Praperadilan.
Dengan demikian pada hakekatnya perlunya lembaga
Praperadilan dalam sistem Perdilan Militer adalah sama dengan
hakekat Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana yaitu
selain untuk memberikan kepastian hukum juga sebagai upaya untuk
mengontrol tindakan para penegak hukum agar memperlakukan
Tersangka secara adil dan bermartabat.

d. Hakikat Lembaga Praperadilan Dalam Perspektif Fungsi Hukum


Fungsi adanya pemberlakuan hukum adalah sebagai sarana untuk
mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, secara teknis hukum
dapat memberikan hal-hal sebagai berikut:119
1) Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan
memberikan predikbilitas di dalam kehidupan masyarakat;
2) Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menetapkan sanksi;
3) Hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk
melindungi melawan kritik;
4) Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan
sumber-sumber daya.

119Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan
Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Press. Jakarta. 1996. hal. 20.

53
Hukum dalam fungsinya yang bersifat mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat dilakukan dengan jalan
mengatur, hukum tidak hanya memperhatikan hubungan tersebut dari
aspek ketertibannya saja, akan tetapi juga hukum harus mampu
menentukan ukuran-ukuran atau parameter-parameter tertentu yang
sering dalam ilmu hukum disebut dengan nilai keadilan, bahkan ada orang
yang berpandangan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dan harus
digabungkan dengan dengan keadilan supaya hukum sungguh-sungguh
mempunyai makna sebagai hukum.120
Hukum sebagai sarana pembangunan dapat mengabdi dalam 3
(tiga) sektor, yaitu:121
1) Hukum sebagai alat penertib (ordering) yang berarti hukum
menciptakan suatu kerangka bagi pengambilan keputusan politik dan
pemecahan perselisihan yang mungkin timbul melalui suatu hukum
acara yang baik;
2) Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing) yang berarti
hukum berfungsi untuk menjaga keseimbangan dan harmonisasi
antara kepentingan umum dan kepentingan individu;
3) Hukum sebagai katalisator yang berarti hukum berfungsi untuk
memudahkan terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan
hukum dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum.
Setiap sistem hukum menunjukkan 4 (empat) unsur dasar, yaitu:
pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian
keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini
pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada
beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari
keempat unsur dasar sistem hukum tersebut, menyangkut perangkat
peraturan, penerapan peraturan, pengadilan dan penegakan hukum serta
pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur
dasar tersebut.122
Lembaga Praperadilan, tidak dikenal dalam sistem Peradilan Militer
karena sistem Peradilan Militer mengenal asas Kesatuan Komando,
sehingga dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya
Praperadilan dan Prapenuntutan. Namun dalam Hukum Acara Pidana
Militer dan Hukum Acara Tata Usaha Militer dikenal adanya lembaga ganti
rugi dan rehabilitasi.

120 Theo Huijbers. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 64.
121 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan
Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal. 76.
122 Ibid, hal. 79.

54
Asas satu kesatuan komando yang menjadi dasar dari tidak adanya
lembaga Praperadilan pada sistem Peradilan Militer, tidak berfungsi
sebagai kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan para penegak hukum
pada tingkat penyidikan dan penuntutan melainkan sebagai salah satu
bentuk tanggung jawab seorang komandan terhadap anak buahnya. Hal
ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara keadaan-keadaan,
hubungan-hubungan serta peristiwa-peristiwa dalam masyarakat militer
yang diatur oleh hukum formal tersebut, sehingga tuntutan atau kebutuhan
terhadap terjadinya perubahan hukum perlu segera dilaksanakan.
Lembaga Praperadilan dikaitkan dengan fungsi hukum sejalan
dengan maksud dan tujuan dari lembaga Praperadilan, yaitu untuk
menegakkan dan melindungi hukum serta untuk melindungi hak asasi
Tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan, karena
lembaga Praperadilan berperan untuk mengontrol kekuasaan para
penegak hukum.

e. Hakikat Lembaga Praperadilan dari Prespektif Teori Perlindungan


Hukum dan Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia.
1) Hakikat Lembaga Praperadilan Dari Perspektif Teori Perlindungan
Hukum
Hukum pidana sebagai hukum yang dibuat untuk mengatur
ketertiban dalam masyarakat pada dasarnya memiliki dua bentuk
perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum preventif dan
perlindungan hukum represif. Kedua bentuk perlindungan hukum
tersebut dalam persfektif hukum pidana pada dasarnya merupakan
bagian dari kebijakan kriminal. Adanya keterkaitan antara bentuk
perlindungan hukum dengan kebijakan kriminal. Untuk menegakkan
hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari peran negara sebagai
institusi yang kewenangannya dapat mengaktifkan penegakan
hukum pidana dalam masyarakat.123
Pendapat Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum
dari Salmond sebagai berikut:
Bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasi kan
berbagai kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,
sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan

123 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy), Penataran Nasional Hukum Pidana
dan Kriminologi, Fakuitas Hukum Universitas Dipanegoro, Semarang,1998, hal.73

55
kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari
suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan
oleh masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan
masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan
pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.124

Perlindungan hukum berarti memberikan pengayoman


terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.125 Phillipus M. Hadjon,
menyatakan perlindungan hukum bagi rakyat adalah:
Perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang
bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan
tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan
berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa, termasuk penanganannya di lembaga
peradilan.126

Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk


melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh
penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk
mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan
manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.127 Hal ini
sejalan dengan Philipus M. Hadjon, yang berpendapat bahwa
Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat
manusia serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang
dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan, yang bersumber pada Pancasila dan konsep negara
hukum.128
Dengan adanya lembaga praperadilan maka sangat diharapkan
dapat membantu dan memberikan perlindungan hukum terhadap
hak-hak asasi Tersangka sebagai upaya untuk melindungi diri dari
upaya paksa oleh penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum.
Dengan demikian secara otomatis hak-hak Tersangka/Terdakwa
dapat dilindungi pula.

124 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 53.
125 Satjipto Raharjo, Ibid, hal. 69.
126 Philipus M Hadjon, ibid, hal. 27.
127 Setiono, Rule Of Law (supremasi hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret, Surakarta, 2004, hal. 3.


128 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal. 25.

56
Seseorang yang dikenakan penangkapan, penahanan, dan
atau tindakan lain yang dilakukan secara tidak sah, yaitu tidak
memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang, maka
Tersangka, atau Terdakwa, atau keluarganya atau pihak lain yang
mendapat kuasa (Penasihat Hukum) dapat meminta pemeriksaan
dan putusan oleh hakim tentang tidak sahnya penangkapan atau
penahanan serta tindakan-tindakan lain atas dirinya tersebut melalui
Praperadilan. Disamping itu, Praperadilan sebagai lembaga baru
berfungsi sebagai alat kontrol dari penyidik terhadap penyalahgunaan
wewenang yang diberikan kepadanya.129
Dalam sistem Peradilan Militer Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur tentang
mekanisme hukum dalam proses perkara bagi anggota militer yang
melakukan tindak pidana, seharusnya juga memberikan
perlindungan yang maksimal terhadap Hak Asasi Manusia terutama
perlindungan bagi anggota militer yang berstatus sebagai Tersangka,
meskipun sistem Peradilan Militer mempunyai ciri tersendiri yang
berbeda dengan sistim Peradilan Umum namun perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia dalam peraturan hukum acara pidana
mempunyai arti yang sangat penting, karena sebagian besar dalam
rangkaian proses dari hukum acara pidana menjurus kepada
pembatasan-pembatasan hak-hak asasi manusia.
Oleh karenanya guna menjamin agar setiap lembaga yang
terkait dalam sistem Peradilan Militer menjalankan fungsinya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka
diperlukan adanya pengawasan atas pelaksanaan tugas dari
lembaga-lembaga tersebut. Pengawasan merupakan salah satu alat
kontrol atas kinerja aparat penegak hukum, khususnya dalam sistem
peradilan pidana. Mekanisme kontrol tersebut dapat berupa
mekanisme kontrol internal maupun mekanisme kontrol eksternal.
2) Hakikat Lembaga Praperadilan dari Perspektif Teori Perlindungan
Hak Azasi Manusia
Prinsip Indonesia sebagai negara hukum, yaitu :130 1) Negara
harus tunduk kepada hukum; 2) Kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan tidak boleh dicederai dengan bentuk-bentuk
penyiksaan yang terjadi dalam proses penegakan hukumnya; 3)
Terbukanya jalan bagi korban atau Tersangka/Terdakwa untuk
memperoleh keadilan apabila dia mendapat perlakukan yang

129 S.Tanusubroto, Peranan Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana, Alumni. Bandung, 1983, hal. 30
130 Ibid.

57
melanggar HAM pada saat menjalani proses hukum; 4) Hukum itu
harus ditegakkan secara adil, atas dasar asas persamaan di
depan hukum, dan secara pasti. Apabila salah satu prinsip tersebut
tidak tidak ditaati, maka tidak ada supremasi hukum dalam negara.
Hak-hak asasi manusia tidak hanya mencakup hak-hak politik
dan sipil seperti kebebasan berbicara dan kebebasan dari
penyiksaan hak-hak tertentu meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan
budaya seperti hak-hak untuk mendapatkan pendidikan dan
kesehatan tetapi juga hak pembangunan (the right to development).
Beberapa hak juga berlaku untuk individual (perorangan) seperti hak
untuk mendapatkan pengadilan yang adil. Aspek kemanusiaan yang
sangat mendasar dilihat dari sudut hukum pidana ialah bahwa:
a) Seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang berkekuatan tetap mengenai
kesalahannya, dan
b) Seorang tidak dapat dipidana tanpa kesalahan.
c) Yang pertama dikenal dengan asas “presumption of
innocense” dan yang kedua dikenal dengan asas culpabilitas
(“nulla peona sine culva” atau “no punishment without guilt/
fault”).
Jiwa kedua asas tersebut terdapat dalam Pasal 8 dan 6
Undang- Undang RI Nomor 4 Tahun 2004. Penentuan kesalahan
juga tidak boleh sewenang-wenang. Oleh karena itu untuk
seseorang dinyatakan bersalah oleh badan pengadilan, maka setiap
orang berhak untuk:131
a) Memperoleh peradilan yang bebas, jujur dan tidak berpihak
(independent judiciary and fair trial), dan
b) Memperoleh bantuan dari profesi hukum yang bebas
(independent legal profession).
Untuk menjamin agar proses peradilan tidak bertindak
sewenang-wenang di dalam menentukan kesalahan seseorang,
maka jalannya pemeriksaan harus terbuka untuk umum. Asas
”keterbukaan” untuk umum atau asas “publicitas” ini merupakan
asas yang sangat mendasar untuk menjamin atau mengontrol
adanya “fair trial”. Jadi pada dasarnya setiap orang, dan bahkan
masyarakat sendiri, berhak untuk memperoleh peradilan yang
bersifat terbuka. Dalam hal-hal tertentu demi perlindungan
kepentingan hukum tertentu berdasarkan undang-undang, dapat
saja diadakan penyimpangan terhadap asas publisitas ini.

131 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 70.

58
Peranan Lembaga Praperadilan diperlukan pada sistem
Peradilan di Indonesia adalah untuk menjembatani usaha
pencegahan tindakan upaya paksa sebelum seorang diputus oleh
pengadilan, pencegahan tindakan yang merampas hak
kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atas tindakan yang
melanggar hak-hak asasi Tersangka/Terdakwa, agar segala
sesuatunya berjalan atau berlangsung sesuai dengan hukum dan
perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan diadakan lembaga Praperadilan dalam dunia
penegakan hukum di negara kita adalah untuk memantapkan
pengawasan terhadap pemeriksaan pendahuluan perkara pidana,
khususnya pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Dengan adanya Praperadilan ini diharapkan pemeriksaan
perkara pidana akan berjalan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku. Penangkapan, Penahanan,
Penggeledahan, Penyitaan, Penyidikan, Penuntutan, Penghentian
Penyidikan dan Penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan
dengan semena-mena. Kesemuanya ini untuk mewujudkan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia agar jangan sampai
diperkosa.132

f. Penyimpangan Proses Penegakan Hukum Pada Tahap Penyidikan


(Penahanan) di Lingkungan Peradilan Militer Yang Dapat Memicu
Pelanggaran HAM
1) Penyidikan Pada Sistem Peradilan Pidana Militer
Tugas penyidikan terhadap Prajurit Tentara Nasional Indonesia
(TNI) yang diduga melakukan tindak pidana, secara umum dilakukan
oleh Penyidik dari Polisi Militer. Namun demikian berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer mengatur bahwa Penyidik adalah:
a) Atasan yang berhak menghukum (Ankum);
b) Polisi Militer, dan
c) Oditur Militer.

132 Riduan Syahrani, Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983, hal. 74.

59
Ankum mempunyai kewenangan selaku penyidik adalah sesuai
dengan asas Kesatuan Komando, Komandan Bertanggung jawab
penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya, kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh
bawahan yang berada di bawah wewenang komandonya merupakan
wewenang yang melekat pada atasan yang berhak menghukum
(Ankum), untuk dapat menyelesaikan tindak pidana, yang
pelaksanaannya dilimpahkan kepada Penyidik Polisi Militer dan/atau
Oditur.133
Sedangkan Penyidik Polisi Militer dalam hal ini Polisi Militer
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (POM AD), Polisi Militer
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (POM AL) maupun
Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (POM AU),
adalah salah seorang pejabat yang mendapat pelimpahan
wewenang dari Panglima selaku Atasan yang berhak menghukum
tertinggi untuk melakukan penyidikan prajurit yang melakukan tindak
pidana.134
Kewenangan Ankum berikutnya adalah kewenangan untuk
menahan Tersangka sebagaimana dalam Pasal 74 huruf d juncto
Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Militer. Untuk menjaga
dan menjamin proses penyidikan yang lebih efektif dan efisien,
kewenangan melakukan penahanan sementara seharusnya sudah
diserahkan penuh kepada penyidik Polisi Militer. Namun guna tetap
menjamin terlaksananya kondisi kehidupan prajurit sesuai dengan
asas kesatuan komando, asas komandan bertanggung jawab
terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer maka
kewenangan penahanan oleh Ankum dijamin oleh undang-
undang.135
Dengan demikian penyidik Polisi Militer tidak mempunyai
kewenangan untuk menahan Tersangka selama proses
pemeriksaan, kewenangan menahan ada pada Atasan Yang Berhak
Menghukum (Ankum) selama 20 (dua puluh) tahun dan Perwira
Penyerah Perkara (Papera) selama 180 (seratus delapan puluh) hari,
karena dengan mendasari azas Kesatuan Komando dan Komandan

133
Penjelasan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
134 Ibid.
135 Wawancara dengan Kolonel CHK Hendro Nurwantoko, S.H, M.H. Kepala Oditurat Militer Tinggi III

Surabaya, 15 Nopember 2018.

60
Bertanggung jawab maka Ankum dan Papera ini yang dianggap
mengerti keadaan bawahannya pakah Tersangka layak untuk ditahan
selama pemeriksaan penyidikan, itulah sebabnya maka Penyidik
Polisi Militer tidak mempunyai kewenangan untuk mendiskresi, yang
mempunyai kewenangan untuk itu adalah Ankum dan Papera.136
Padahal urgensi Ankum dalam Peradilan Militer berangkat dari
prinsip ‘kesatuan komando’ (unity of command). Peran komandan
prajurit dalam menangani suatu tindak pidana militer tidak bisa
dikesampingkan. Sebab, menurut S.R. Sianturi adakalanya peran
komandan lebih diutamakan ketimbang perannya sebagai petugas
penegak hukum seperti Polisi Militer, Oditur, dan Hakim Militer137 atau
sebagai salah satu law enforcement agency pada sistem Peradilan
Militer di Indonesia.
Apabila dalam proses penyidikan ternyata ada kekeliruan maka
tidak ada pranata yang berfungsi sebagai kontrol yang dapat
memeriksa dan memutusnya sebagaimana ada dalam proses
penyidikan menururt KUHAP. Dengan tidak adanya pranata tersebut
dapat mendorong lemahnya pengawasan terhadap tindakan para
penyidik sekaligus dapat menjadi koreksi (check and balance system)
atas tindakan penyidik selama ini yang dilakukan dengan mengatas
namakan untuk kepentingan penegakan hukum. Dengan demikian
dapat dipastikan tindakan abuse of power atau penyalagunaan
kewenangan yang kadang kala dilakukan penyidik dalam
menetapkan seseorang menjadi Tersangka dan tidakan lain dalam
penyidikan tidak bisa dihindari karena tidak adanya mekanisme
kontrol. Oleh karenanya kedepan penegak hukum di lingkungan
Peradilan Militer (salah satunya Ankum dan Papera) dituntut untuk
lebih profesional melaksanakan tugas-tugasnya.
Lemahnya sistem pengawasan atau kontrol dalam proses
penegakkan hukum di tingkat penyidikan dikarenakan tidak adanya
suatu lembaga kontrol yang berdiri sendiri, sehingga mengakibatkan
terjadinya pelanggaran di tingkat penyidikan tidak dapat ditindak
lanjuti. Padahal lembaga kontrol diperlukan sebagai fungsi koreksi
bagi aparat penegakan hukum, pengawasan intern yang ada selama
ini ada, tidak berjalan maksimal.

136 Ibid.
137
Sianturi, Op. Cit., hal. 54

61
2) Penyimpangan Proses Penegakan Hukum di Lingkungan Peradilan
Militer Terhadap Penahanan Tersangka
Dalam penelitian yang penulis lakukan pada tahun 2017 di
wilayah hukum Pengadilan Militer Tiggi III Surabaya dilakukan
terhadap beberapa narapidana (Napi) militer yang sedang
melaksanakan hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Militer
Surabaya di Sidoarjo, beberapa Hakim Militer pada Pengadilan Militer
III-12 Surabaya dan Oditur Militer di wilayah Surabaya. Dan penelitian
dilakukan kembali pada tahun 2020 di wilayah hukum Pengadilan
Militer II Jakarta khususnya terhadap para narapidana (Napi) militer
yang sedang melaksanakan hukumannya di Lembaga Pemasya-
rakatan Militer Bandung di Cimahi, beberapa Hakim Militer pada
Pengadilan Militer II-09 Bandung dan Oditur Militer II-09 Bandung
serta beberapa Penyidik pada Detasemen Polisi Militer 5/III Siliwangi
Bandung.
Dari hasil penelitian tersebut ditemukan beberapa penyimpangan
dalam pelaksanaan penahanan sementara yang dapat dirasakan
pada berbagai kasus berikut ini:
a) Kapten Cba Ari Kurniawan dalam perkara Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), telah diputus berdasarkan Putusan
Pengadilan Militer I-07/Balikpapan Nomor 57-K/PM.I-07/AD/
IX/2016 tanggal 18 Nopember 2016, waktu diperiksa ditahan
selama 116 hari, selama 20 hari oleh Ankum dan sisanya
perpanjangan penahanan oleh Papera, namun Surat
Perpanjangan Penahanan dari Papera terlambat 6 hari
sehingga Terpidana dirugikan penahanannya selama 6 hari
karena yang diakui oleh Masmil adalah penahanan yang
dikeluarkan oleh Papera. Adapun alasan keterlambatan
panahanan adalah sedang dalam proses penandatanganan
dari Papera.
b) Serda Mar Frandy Yoga Sadewa dalam perkara desersi, telah
diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Militer III/ Suarabaya
Nomor 145-K/PM.III-12/AL/VIII/2017 tanggal 18 September
2016, dimana selama pemeriksaan ditahan oleh Ankum, namun
Surat Perintah Penahanannya terlambat lebih dari 2 minggu.

62
c) Koptu Iwan wahyudi dalam perkara pemalsuan uang, telah
diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Militer III-13/Madiun
Nomor 18- K/PM.III-13/AD/VII/2017 tanggal 30 Agustus 2017,
dimana selama pemeriksaan ditahan oleh Ankum 20 hari dan
perpanjangan oleh Papera selama 60 hari, namun Surat
Perintah Penahanannya dari Ankum terlambat selama 1
minggu.
d) Kopda Jacky Yonathan Letelay dalam perkara Penganiayaan,
telah diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Militer I-
07/Balikpapan Nomor 31-K/PM.I-07/AD/III/2017 tanggal 18 Mei
2017, dimana selama pemeriksaan ditahan oleh Ankum 20 hari
dan perpanjangan penahanan oleh Papera selama 30 hari,
namun Surat Perintah Penahanan dari Ankum terlambat selama
1 minggu dengan alasan menunggu perintah dari Satuan.
e) Peltu Suherman Bambang Kurniawan dalam perkara desersi,
telah diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Militer III-
14/Denpasar Nomor 37-K/PM.III-14/AU/VIII/2017 tanggal 2
Oktober 2017, dimana selama pemeriksaan ditahan oleh oleh
Ankum namun Surat Perintah Penahanan oleh Ankum
terlambat 1 minggu.
f) Prada Mar Afin Indriyanto dalam perkara pembunuhan, telah
diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Militer II-10/
Semarang Nomor 42-K/PM.II-10/AL/VIII/2016 tanggal 19
Oktober 2016 dimana selama pemeriksaan ditahan oleh Ankum
dan Perpanjangan penahanan oleh Papera, namun Surat
Perintah Penahanan dari Ankum terlambat 2 hari.
g) Praka Heri Yulianto dalam perkara desersi, telah diputus
berdasarkan Putusan Pengadilan Militer III-12/Surabaya Nomor
77-K/PM.III-12/AD/I/2017 tanggal 24 Mei 2017 dmana selama
pemeriksaan ditahan oleh Ankum namun Surat Perintah
Penahanan dari Ankum terlambat 1 minggu.
h) Koptu Budi Santoso dalam perkara desersi, telah diputus
berdasarkan Putusan Pengadilan Militer III-12/Surabaya Nomor
127-K/PM.III-12/AL/VII/2017 tanggal 4 September 2017,
dimana selama pemeriksaan ditahan oleh Ankum namun Surat
Perintah Penahanan dari Ankum terlambat lebih dari 1 minggu
(di bawah 2 minggu).

63
i) Praka Agung Ilmanto dalam perkara senjata api, telah diputus
berdasarkan Putusan Pengadilan Militer III-12/Surabaya Nomor
141-K/PM.III-12/AD/VIII/2017 tanggal 4 Oktober 2017, dimana
selama pemeriksaan ditahan oleh Ankum namun Surat Perintah
Penahaan dari Ankum terlambat lebih dari 2 Minggu dengan
alasan belum turun suratnya dari Ankum.
Setelah mempelajari, mencermati dan meneliti kasus-kasus di
atas, diperoleh adanya fakta bahwa pelaksanaan penahanan di
wilayah Pengadilan Militer Surabaya, terhadap perkara di atas
dilakukan dengan surat perintah penahanan yang baru diterbitkan
setelah 1 (satu) atau 2 (dua) minggu penahanan dilaksanakan oleh
Tersangka.
Untuk lebih meyakinkan peneliti dalam penyusunan Disertasi
peneliti melakukan penelitian kembali pada tahun 2020 di tempat/
wilayah hukum yang berbeda dan dengan terhadap para napi yang
berbeda dengan hasil sebagai berikut:
a) Praka Andi Saputro dalam perkara asusila, telah diputus
berdasarkan Putusan Pengadilan Militer II-09 Bandung Nomor
158-K/PM.II-09/AD/X/2019 tanggal 18 Desember 2019, dimana
selama pemeriksaan ditahan oleh Ankum namun Surat Perintah
Penahanan dari Ankum terlambat lebih dari 10 hari.
b) Pratu Benny H.M. Matruty dalam perkara desersi, telah diputus
berdasarkan Putusan Pengadilan Militer II-09 Bandung Nomor
59-K/PM.II-09/AD/IV/2020 tanggal 14 Mei 2020, dimana pernah
ditahan di satuan kurang lebih 3 bulan dari bulan Oktober
sampai dengan Desember 2019 namun Surat Perintah
Penahanan baru dikeluarkan pada bulan Juni 2020 (terlambat 9
bulan).
c) Serda Tomi Oktavianto dalam perkara desersi, telah diputus
berdasarkan Putusan Pengadilan Militer II-09 Bandung Nomor
78-K/PM.II-09/AU/IV/2020 tanggal 23 Juni 2020, dimana pernah
ditahan di satuan kurang lebih 3 bulan dari bulan Oktober
sampai dengan Desember 2018 tanpa disertai surat
penahanan, kemudian pernah ditahan pula dalam perkara yang
sama (desersi) pada bulan Juni 2020 namun Surat Perintah
Penahanan terlambat 3 hari.

64
d) Kopda Heri Susanto dalam perkara Pemalsuan Surat, dimana
pernah ditahan di satuan tanggal 26 Juni 2020 namun Surat
Perintah Penahanan terlambat 3 hari.
e) Sertu Fransiskus Yoki dalam perkara pencurian, dimana pernah
ditahan di satuan sejak tanggal 14 Desember 2019 namun di
Surat Perintah Penahanan dihitung mulai tanggal 16 Desember
2019. Telambat 2 hari.
f) Pratu Efendi Enikus Rupilu dalam perkara Desersi dimana
pernah di tahan di satuan pada tanggal 13 Januari 2020 namun
Surat Perintah Penahanan terlambat 10 hari.
g) Pratu Ferky Yandres Tanabeth dalam perkara asusila dimana
pernah ditahan pada 16-28 Desember 2020 tanpa adanya Surat
Perintah Penahanan.
h) Praka Aris Munandar dalam perkara pemalsuan surat dimana
pernah ditahan selama 93 hari tanpa Surat Perintah
Penahanan.
Setelah mempelajari, mencermati dan meneliti kasus-kasus
diatas, diperoleh adanya fakta bahwa pelaksanaan penahanan di
wilayah Pengadilan Militer Bandung, terhadap perkara di atas
dilakukan dengan surat perintah penahanan yang baru diterbitkan
setelah 1 (satu) atau 2 (dua) minggu penahanan dilaksanakan oleh
Tersangka bahkan hingga diadakan penelitian belum mendapatkan
surat penahanan. Fakta-fakta penyimpangan tersebut jika dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer mempunyai makna bahwa setelah
paling lama 1 (satu) hari penangkapan, Penyidik wajib segera
melaporkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) yang
bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar para Ankum segera
memberikan perintah apakah Tersangka akan ditahan atau tidak
dengan mengeluarkan surat perintah Penahanan, sehingga
penahanan yang dijalani oleh Tersangka didasari oleh surat perintah
penahanan yang sah. Berdasarkan surat perintah penahanan
tersebut, Oditur Militer selaku eksekutor akan memperhitungkannya
pada saat Terdakwa menjalani pidana.

65
Namun ternyata praktek di lapangan ada beberapa kasus
penahanan yang dilengkapi dengan surat penahanan namun surat
penahanan tersebut terlambat dikeluarkan bahkan ada yang tidak/
belum mendapatkan surat penahanan hingga persidangan dibuka,
sehingga waktu penahanan terhitung mulai tanggal dikeluarkannya
surat penahanan. Penyimpangan pelaksanaan penahanan ini
mengakibatkan penahanan yang telah dijalani tidak diperhitungkan
untuk mengurangkan pidana yang akan dijatuhkan oleh Pengadilan
Militer karena tidak ada bukti formal penahanan yang telah dijalani
oleh Tersangka tersebut.
Konsekuensi masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan (vide Pasal 22 (4) KUHAP). Mendasari Pasal
21 ayat (2) KUHAP, menyatakan bahwa:
a) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik
atau penuntut umum terhadap Tersangka atau Terdakwa
dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan
hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau Terdakwa
dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat
perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta
tempat ia ditahan.
b) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan
atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus diberikan kepada keluarganya.
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa baik penangkapan
maupun penahanan harus dilakukan dengan surat perintah
penangkapan atau surat perintah penahanan, sehingga surat
perintah yang baru diberikan 1 (satu) hari setelah penangkapan dan
penahanan tersebut dilakukan bertentangan dengan ketentuan
undang-undang. Terhadap hal ini, Tersangka atau Terdakwa dapat
mengajukan Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan.138
Untuk menilai bahwa penangkapan dan penahanan yang
dilakukan penyidik atau aparat penegak hukum yang lain sesuai atau
bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia, parameter yang
digunakan 3 (tiga) prinsip penegakan hukum di atas, yaitu:

138 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 168-169.

66
a) Prinsip Legalitas
Penangkapan dan penahanan terhadap seorang Tersangka
atau Terdakwa hanya sah dan tidak melanggar hak asasi
apabila dilakukan oleh pejabat yang diberikan kewenangan
untuk itu.
b) Prinsip Nesesitas
Harus diakui bahwa prinsip ini jarang digunakan oleh aparat
penegak hukum untuk menilai apakah tindakan-tindakan
mereka itu sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia.
c) Prinsip Proporsionalitas
Inti dari prinsip ini adalah adanya keseimbangan antara
pembatasan terhadap kebebasan atau kemerdekaan
Tersangka atau Terdakwa dengan tujuan yang hendak dicapai
dari penangkapan dan penahanan, yaitu mengumpulkan alat
bukti dan mempermudah proses pemeriksaan peradilan.
Beberapa kasus diatas yaitu penahanan yang tidak dilengkapi
dengan surat perintah penahanan jelas melanggar prinsip nesesitas
dalam penegakkan hukum dan Hak Azasi Manusia.
Selain beberapa kasus penyimpangan sebagaimana
disebutkan di atas, pada Tahun 2016 Peneliti (saat itu sebagai Hakim
Militer Tinggi pada Pengdilan Militer Tinggi III Surabaya) juga
menemukan kasus yang sama di Pengadilan Militer Tinggi III
Surabaya dimana seorang Terdakwa dalam perkara pidana
Penyalahgunaan Narkotika Gol. I, yang telah ditangkap dan ditahan
tanpa menggunakan surat Penahanan, hingga berjalan 18 (delapan
belas) hari dan setelah hari ke-19 baru mendapatkan surat
penahanan sementara dari Ankum selaku pejabat Atasan yang
berhak menghukum Terdakwa.
Dalam pemeriksaan di persidangan Terdakwa bertanya kepada
Ahli hukum pidana yang hadir di persidangan tentang bagaimana
hak-hak Terdakwa atas perampasan kemerdekaan tersebut. Apakah
ini dibenarkan oleh undang-undang. Prof. Edward Omar Hiariej, S.H.,
M.Hum. (Prof Eddy), Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas
Gajah Mada, dalam kesaksiannya menyatakan bahwa hal tersebut
merupakan kelemahan dari Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer, yang tidak mengatur tentang lembaga
Praperadilan, sehingga hak-hak Terdakwa atau Tersangka tidak
dapat terlindungi/dipenuhi karena tidak ada tempat atau aturan yang
bisa melindungi hak-hak Terdakwa atau Tersangka tersebut.139

139 Kesaksian Prof. Edward Omar Syarif Hiariej (Prof. Eddy), sebagai Ahli dalam Persidangan Perkara

67
Dengan demikian kasus-kasus diatas menunjukkan bahwa
selain terjadi pelanggaran prinsip nesesitas juga terabaikannya
penerapan asas aqusatoir (kesamaaan kedudukan antara pemeriksa
dan yang diperiksa) dalam Hukum Acara Pidana Militer, yang
menjamin perlindungan hukum dan kepentingan asasi Tersangka.
Dengan belum adanya perlindungan terhadap hak-hak
Tersangka dari kesewenang-wenangan penahanan maka
sebenarnya telah terjadi perlakuan yang diskriminatif terhadap
perlindungan hukum bagi Prajurit TNI, apabila dibandingkan
perlindungan hukum bagi warga negara sipil yang telah mendapatkan
hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil dengan hak serta pengakuan yang sama di hadapan
hukum dan bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang diskriminatif itu.
Dalam undang-undang Peradilan Militer sebenarnya mengatur
pula ketentuan agar penyidik dalam melaksanakan tugasnya tetap
menjunjung penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Ketentuan
ini dapat dilihat pada penjelasan Pasal 71 Undang Undang RI Nomor
31 Tahun 1997 dimana dijelaskan pada Pasal 71 huruf (i) Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
kewenangan Penyidik berupa "tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab". Dalam penjelasannya “tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung jawab” adalah tindakan Penyidik untuk
kepentingan Penyidikan yang salah satu syaratnya adalah
menghormati Hak Asasi Manusia dan dalam pelaksanaan
kewenangan tersebut di atas Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum
yang berlaku.140 Namun ternyata hal tersebut belum dilaksanakan
dengan sepenuhnya sehingga muncul beberapa kasus tentang
penahanan yang tidak dilengkapi dengan surat penahanan dan
terhadap hal ini tidak dapat diajukan keberatan.

Pidana Penyalah Gunaan Narkotika di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, tanggal 9 November 20016.
Dalam Putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Nomor : 14-K/PMT.III/AD/VIII/2016.
140 Dalam penjelasannya Pasal 71 huruf (i) Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan

Militer dijelaskan mengenai “tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab” adalah tindakan Penyidik
untuk kepentingan Penyidikan dengan syarat :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan.
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk di lingkungan jabatannya.
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.

68
Menanggapi hal tersebut, Brigjen TNI DR. Wahyu Wibowo, S.H.,
M.H. menyatakan bahwa Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer, memiliki kelemahan yaitu tidak adanya
lembaga kontrol kepada aparat penegak hukum (Ankum atau
Papera) dalam melakukan penahanan kepada prajurit bawahannya
yang diperiksa (Tersangka), sehingga Undang-undang RI Nomor 31
Tahun 1997 perlu direvisi dengan memasukkan pasal/ketentuan
tentang Praperadilan guna perlindungan hak asasi prajurit TNI atau
Militer. Namun menurut Wahyu esensinya tidak sama seperti di
KUHAP yaitu memasukkan semua syarat Praperadilan seperti tidak
sahnya penangkapan, penahanan, penggeladahan, penghentian
penyidikan atau penuntutan ke dalam Sistem Peradilan Militer. Beliau
berpendapat cukup memasukkan persoalan penahanan saja yang
memang sering terjadi dalam sistem penegakan hukum dalam
lingkungan Peradilan Militer.141
Pendapat Wahyu menambahkan bahwa, secara teoritis, secara
keselururhan penerapan suatu hukum harus memperhatikan tiga
aspek, yaitu: yuridis, filosofis dan sosiologis. Dalam Hukum Militer ini
ada salah satu yang cukup menonjol dan berbeda dengan
masyarakat umum (tujuannya cukup keadilan), sedangkan di Militer
tujuannya adalah bagian dari pembinaan satuan dan personel
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
1997 sendiri dimana ada kewenangan Ankum dan Papera. Seorang
Atasan (Ankum atau Papera) akan mempertimbangkan antara
kepentingan militer dengan kepentingan hukum sehingga
kewenangan hukum diberikan kepada seorang Atasan. Inilah yang
membedakan antara tujuan hukum di Peradilan Umum dengan
Peradilan Militer. Contoh kepentingan militer yang klasik, seorang ahli
detonasi, dia sudah diputus Pengadilan yang Berkekuatan Hukum
Tetap (BHT) tetapi dia tidak boleh dieksekusi terlebih dahulu karena
menunggu tugas operasinya selesai dulu. Hal ini disebabkan karena
tenaganya dibutuhkan untuk kepentingan militer, sehingga kepada
Aparat Penegak Hukum agar memperhatikan apa itu kepentingan-
kepentingan militer itu sendiri.142

141 Hasil wawancara dengan Brigjen TNI DR. Wahyu Wibowo, S.H., M.H. Direktur Hukum Angkatan
Darat tanggal 6 Agustus Tahun 2016, yang saat ini sudah menjabat sebagai Kepala Pembinaan Hukum TNI.
142 Wawancara Wahyu.

69
Sejalan dengan pendapat Wahyu beberapa praktisi dalam hal
ini Dr. Kurniawati Syarif, S.H., M.H. Hakim Militer pada Pengadilan
Militer III-12 Surabaya, berpendapat ada beberapa kasus dimana
Terdakwa ditahan dengan tidak dilengkapi surat penahanan, hal ini
baru diketahui dalam pemeriksaan di persidangan. Untuk mengetahui
kebenaran keterangan Terdakwa tersebut Hakim Ketua memerintah-
kan Oditur Militer untuk melakukan pengecekan lebih lanjut. Jika ada
bukti formal penahanan maka dapat dijadikan alasan untuk
pengurangan terhadap pidana yang dijatuhkan namun jika tidak ada
bukti formal, Hakim akan mempertimbangkannya secara in mind saja
atau dituangkan dalam pertimbangan putusannya. Hal tersebut perlu
diperhatikan karena penahanan yang tidak dilengkapi dengan surat
penahanan, bertentangan dengan undang-undang dan melanggar
Hak Asasi Terdakwa. Seharusnya masalah ini sudah dapat
diselesaikan pada tingkat penyidikan jika sebelumnya ada lembaga
tempat para Tersangka mengajukan keberatannya selama proses
penyidikan. Seperti lembaga Praperadilan yang ada di lingkungan
Peradilan Umum sehingga diharapkan proses penuntutan
merupakan tindakan yang benar-benar tidak bertentangan dengan
undang-undang dan tidak melanggar HAM.143
Keterlambatan terbitnya surat perintah penahanan dari Ankum
dan Papera menurut Oditur Militer II-09 Bandung, Letkol Chk Yudho
Wibowo, A.Md, S.H. antara lain dikarenakan letak wilayah satuan
yang luas/jauh, atau masalah administrasi (surat penahanan) yang
terlambat dikarenakan kesibukan Ankum dan Papera. Dalam hal ini
selaku Oditur Militer, Yudho sudah sering mengingatkan Penyidik
namun keadaan ini masih saja terjadi, padahal keterlambatan surat
penahanan sangat merugikan Tersangka dan Tersangka tidak dapat
menuntut hak-haknya tersebut.144
Demikian juga Lettu Cpm Yasin selaku Penyidik pada
Detasemen Polisi Militer III/5 Bandung pada Polisi Militer Daerah III
Siliwangi di Bandung, berpendapat bahwa proses penahanan
terhadap Tersangka dilakukan dengan mengajukan permohonan
kepada kesatuan Tersangka (dalam hal ini Ankum/Papera) agar
143Wawancara dengan Letkol Laut (KH/W) Dr.Kurniawaty Sjarif, S.H, MH. Hakim Militer pada
Pengadilan Militer III-12 Surabaya, tanggal 12 Juni 2016.
144 Wawancara dengan Letkol Chk Yudho Wibowo, A.Md, S.H. Oditur Militer pada Oditurat Militer II-09

Bandung, tanggal 2 September 2020.

70
dibuat surat penahanan sementara karena Penyidik Polisi Militer
dalam sistem Peradilan Militer tidak mempunyai kewenangan untuk
menahan Tersangka. Bahwa penyebab adanya keterlambatan surat
penahanan yang dikeluarkan oleh Ankum/Papera biasanya
dikarenakan kesibukan Ankum/Papera melaksanakan tugas dinas
dalam kesehariannya.145
Selanjutnya Yasin menyarankan agar proses penahanan
sementara terhadap Tersangka tidak terlambat atau tidak terlalu lama
maka saran setelah mendapatkan pengajuan permohonan
penahanan sementara sebaiknya Ankum mempelajari langsung
perkara Tersangka sehingga dapat diteruskan apakah dilaksanakan
penahanan atau tidak terhadap Tersangka.146
Berdasarkan perkembangan keadaan pada sistem Peradilan
Militer tersebut di atas, maka perlu dicarikan solusi dalam
memberikan keseimbangan antara perlindungan ketertiban
masyarakat khususnya masyarakat militer dengan perlindungan Hak
Asasi Prajurit TNI yang sedang diperiksa. Oleh karenanya perlu ada
pengaturan hukum seperti Praperadilan dalam sistem peradilan
militer di Indonesia sebagaimana berlaku dalam KUHAP agar
disesuaikan dengan perkembangan.
Untuk itu, berdasarkan teori Tujuan Hukum dan Teori
Perlindungan Hukum dikaitkan dengan hasil penelitian maka tujuan
diadakannya lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer
adalah:
a) Agar Asas Kesatuan Komando dan Asas Komandan
Bertanggung jawab terhadap Anak Buahnya dapat terus
dijalankan dengan baik dan benar karena Komandan harus
mengetahui/peduli apakah anak buahnya ditahan atau tidak dan
kapan ditahan atau sampai kapan, ditahan dimana atau artinya
Komandan peduli dan bertanggung jawab terhadap anak
buahnya yang sedang menjalani proses hukum. Lembaga
Praperadilan yang akan dibangun dalam Sistem Peradilan
Militer di Indonesia tidak menurunkan loyalitas prajurit TNI dan
Kewibawaan Komandan.

145 Wawancara dengan Lettu Cpm Yasin, Penyidik pada Denpom III/5 Pomdam III/Slw, tanggal 10
September Tahun 2020.
146 Ibid , Wawancara Yasin.

71
b) Lembaga Praperadilan memberikan perlindungan kepada
Komandan (Ankum/Papera) agar tidak melanggar Hak Asasi
Manusia dan melindungi kepentingan hak asasi prajurit TNI
yang sedang diperiksa dalam proses hukum.
c) Lembaga Praperadilan mencerminkan bahwa prajurit TNI juga
merupakan warga Negara Indonesia yang harus dilindungi hak
asasinya mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum.
(Equality Before The Law).
d) Lembaga Praperadilan merupakan sarana kontrol secara
eksternal bersifat horizontal bagi Aparat Penegak Hukum di
lingkungan Peradilan Militer agar menegakkan hukum dengan
jujur, benar dan adil.

2. Konsepsi Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di


Lingkungan Peradilan Militer Di Indonesia dan Implikasi Terhadap
Kehidupan Prajurit TNI.
a. Mekanisme Kontrol Pada Sistem Peradilan Militer.
1) Mekanisme Kontrol Pada Tahap Penyidikan Perkara
Penyidikan di lingkungan peradilan militer berbeda dengan
penyidikan di lingkungan peradilan umum. Dasar hukum penyidikan
di lingkungan Peradilan Militer adalah Undang-Undang Peradilan
Militer khususnya pada Bab IV yang mengatur tentang Hukum Acara
Pidana Militer. Penyidikan perkara pidana di lingkungan peradilan
umum mengacu pada ketentuan dalam KUHAP.
Pasal 1 butir 1 yang dipertegas dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP,
menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan. Penyidik pembantu adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas
penyidikan yang diatur dalam undang-undang. Berbeda dengan
pengaturan dalam KUHAP, di dalam Undang-Undang Peradilan
Militer dalam Pasal 1 butir 11 dikatakan bahwa penyidik Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia adalah Ankum, pejabat Polisi Militer
tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan.

72
Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 12 dikatakan bahwa penyidik
pembantu adalah pejabat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
tertentu yang berada dan diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan. Dipertegas lagi dalam Pasal 69 ayat (2)
Undang-Undang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa penyidik
pembantu adalah Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat, Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Provos
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara.
Menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Peradilan Militer,
Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan berwenang.
Pengawasan terhadap kewenangan Ankum sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 25 tahun
2014 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, dilaksanakan oleh Ankum Atasan yang salah satu
kewenangannya adalah melakukan pengawasan dan pengendalian
Ankum di bawahnya. Fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh
Ankum Atasan termasuk dalam bentuk pengawasan internal yang
dilakukan dalam organisasi Tentara Nasional Indonesia. Penyidik
Polisi Militer dan Oditur Militer, melaksanakan Penyidikan atas
perintah dari Ankum. Kewajiban untuk melaporkan hasil Penyidikan
kepada Ankum merupakan fungsi pengawasan atau kontrol secara
internal yang dilakukan oleh Ankum terhadap Penyidik Polisi Militer
dan Oditur.147
Penyidik Polisi Militer dan Oditur Militer tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penahanan. Bahkan sesudah
melakukan penangkapan terhadap seorang Tersangka, Polisi Militer
wajib segera melaporkan kepada Ankum yang bersangkutan (pasal
77 ayat (4) Undang-Undang Peradilan Militer). Dalam proses
penyidikan perkara pidana di lingkungan Peradilan Militer, Ankum
untuk kepentingan penyidikan berwenang melakukan penahanan
terhadap Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. Lamanya
penahanan yang dilakukan oleh Ankum, apabila diperlukan untuk
kepentingan pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Papera dengan
keputusannya setiap kali 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari.

147 Pasal 71 Jo Pasal 74 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

73
Atas permintaan Tersangka, Ankum atau Papera sesuai dengan
kewenangannya masing-masing berdasarkan saran Polisi Militer
atau Oditur Militer dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan persyaratan yang ditentukan. Karena jabatannya Ankum atau
Papera, sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan
dalam hal Tersangka melanggar persyaratan penangguhan
penahanan. Kewenangan perpanjangan penahanan yang dimiliki
oleh Papera adalah merupakan pengkhususan dalam proses
penyidikan perkara pidana dilingkungan Peradilan Militer, karena
Papera bukan merupakan penyidik namun diberi kewenangan untuk
melakukan perpanjangan penahanan.
Pengawasan terhadap kewenangan penahanan oleh Ankum
dan Papera dalam proses penyidikan perkara pidana belum diatur
dalam Undang-Undang Peradilan Militer, sehingga tidak ada
pengawasan atau kontrol eksternal secara horisontal untuk menjamin
penegakan Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh anggota militer yang
berstatus sebagai Tersangka.
2) Mekanisme Kontrol Terhadap Kekuasaan Oditurat Militer
Mekanisme kontrol terhadap susunan dan kekuasaan Oditurat
diatur di dalam Bab III Pasal 47 sampai dengan Pasal 68 Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
menyatakan bahwa Oditurat melaksanakan kekuasaan
pemerintahan negara dibidang penuntutan dan Penyidikan di
lingkungan angkatan bersenjata sebagaimana diatur dalam undang-
undang.
Diatur pula bahwa pembinaan teknis yustisial dan pengawasan
bagi Oditurat dilakukan oleh Oditur Jenderal. Oditurat di lingkungan
militer adalah satu dan tidak terpisah-pisah. Secara organisatoris dan
administratif Oditurat berada di bawah Panglima. Oditur di lingkungan
Peradilan Militer berwenang melakukan Penyidikan terhadap perkara
tertentu atas perintah Oditur Jenderal, melengkapi berkas perkara
dengan melakukan pemeriksaan tambahan sebelum perkara
diserahkan kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
dan untuk mengadakan pengawasan dan pengendalian dalam
bidang Penyidikan, penyerahan perkara, penuntutan dan
pelaksanaan putusan dalam lingkungan peradilan umum.

74
Selanjutnya fungsi pengawasan Oditurat Militer dalam sistem
Peradilan Militer diserahkan kepada Oditurat Jenderal. Pengawasan
atau kontrol yang dilakukan oleh Oditurat Jenderal adalah fungsi
pengawasan atau kontrol yang bersifat internal.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa
pengawasan atau mekanisme kontrol pada kekuasaan Oditurat
dalam lingkungan Peradilan Militer hanya dilakukan secara internal
yang dilaksanakan oleh Oditurat Jenderal selaku pimpinan dan
penanggung jawab tertinggi Oditurat sebagaimana diatur dalam pasal
67 Undang-Undang Peradilan Militer. Selain daripada itu tidak ada
lembaga yang menaungi fungsi kontrol tersebut.
3) Mekanisme Kontrol Pada Tahap Penyerahan Perkara
Papera adalah perwira yang oleh atau atas dasar undang-
undang mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara
pidana yang dilakukan oleh prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia yang berada di bawah wewenang komandonya
diserahkan kepada atau diselesaikan di luar pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum. Penyerahan perkara adalah tindakan Papera untuk
menyerahkan perkara pidana kepada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
yang berwenang, dengan menuntut supaya diperiksa dan diadili
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Papera diberi wewenang untuk menutup perkara demi
kepentingan hukum/umum/militer. Penutupan perkara adalah tindakan
Papera untuk tidak menyerahkan perkara pidana kepada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, berdasarkan pertimbangan demi kepentingan hukum
atau kepentingan militer dan/atau kepentingan umum. Kewenangan
lainnya yang dimiliki oleh Papera adalah kewenangan untuk
melakukan penghentian penuntutan. Penghentian penuntutan adalah
tindakan Papera untuk tidak menyerahkan perkara pidana ke
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang berwenang karena tidak terdapat
cukup bukti atau perbuatannya ternyata bukan merupakan tindak
pidana dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang.

75
Selain kewenangan untuk menutup perkara demi kepentingan
umum/militer dan kewenangan untuk menghentikan penuntutan,
dalam pasal 101 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Militer juga
mengatur bahwa Papera dapat menghentikan Penyidikan dengan
surat keputusan berdasarkan pendapat hukum dari Oditur. Dalam
penjelasan pasal 101 ayat (2) dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan “penghentian Penyidikan” adalah suatu tindakan untuk
menghentikan Penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
bukan merupakan tindak pidana atau karena demi kepentingan
hukum.
Dalam Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Peradilan Militer
diatur bahwa Panglima selaku Papera tertinggi melakukan
melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang
penyerahan perkara oleh Papera lainnya. Pengawasan dan
pengendalian yang dilakukan oleh Panglima sebagaimana diatur
dalam pasal 123 ayat (3) ini, termasuk dalam bentuk pengawasan
internal yang dilakukan dalam organisasi Tentara Nasional Indonesia.
Selain pengawasan secara internal tersebut di atas, Pasal 127
Undang-Undang Peradilan Militer mengatur fungsi kontrol untuk
menyelesaikan perbedaan pendapat antara Papera dan Oditur militer
dalam menentukan apakah perkara tersebut perlu diserahkan dan
layak disidangkan atau tidak dalam persidangan di pengadilan militer
atau pengadilan umum.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk mekanisme
pengawasan/kontrol yang ada di lingkungan Peradilan Militer, namun
pengawasan-pengawasan tersebut hanya bersifat internal dan
mekanisme kontrol secara internal yang dilakukan terhadap
kewenangan Ankum dan Papera belum maksimal dan hanya
membatasi tentang penyerahan perkara, sehingga dapat membuka
peluang terjadinya kesewenang-wenangan dari Ankum maupun
Papera terhadap prajurit yang berada di bawah wewenang
komandonya, sebagai contoh adanya penahanan yang dikeluarkan
oleh Ankum namun tidak sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku. Surat penahanan baru dikeluarkan oleh Ankum setelah 2
(dua) hari Tersangka ditahan oleh Polisi Militer.148

148Wawancara Kolonel CHK Hendro Nurwantoko, S.H, M.H. Kepala Oditurat Militer Tinggi III,
Surabaya, 15 Nopember 2018

76
Wahyu Wibowo, menyampaikan bahwa lemahnya sistem
pengawasan atau kontrol dalam proses penegakkan hukum di tingkat
penyidikan dikarenakan tidak adanya suatu lembaga kontrol yang
berdiri sendiri, sehingga terjadinya pelanggaran di tingkat penyidikan
tidak dapat ditindak lanjuti. Lembaga kontrol diperlukan sebagai
fungsi koreksi bagi penyidik, pengawasan intern yang ada selama ini
(pengawasan intern dalam instansi perangkat aparat hukum itu
sendiri) tidaklah cukup, namun juga dibutuhkan pengawasan silang
antara sesama aparat penegak hukum.149
4) Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Militer di Indonesia
Dari Perspektif Teori Pembaharuan Hukum
Perkembangan hukum pada masa ini terbukti dengan mulai
direvisi dan diperbaharuinya beberapa peraturan perundang-
undangan yang dipandang sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat saat ini. Tertib
masyarakat dapat tercapai apabila hukum bersifat dinamis dan
mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Peraturan
perundang-undangan yang merupakan produk hukum harus mampu
mengatur hal-hal yang saat ini memang dibutuhkan oleh masyarakat,
karena hukum dibentuk untuk menjamin terciptanya ketertiban dalam
masyarakat sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmadja
bahwa tujuan pokok dan pertama hukum yaitu ketertiban.150 Oleh
karenanya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan
segera direvisi dan diperbaharui agar sejalan dengan perkembangan
masyarakat dan kebutuhan masyarakat saat ini. Dikemukakan
Mochtar Kusumaatmadja bahwa pembaharuan hukum itu tidak saja
merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi
pula lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah itu dalam kenyataan.151
Barda Nawawi Arief dalam bukunya Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana mengatakan bahwa, Pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya mengandung makna, sebagai suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
149 Wahyu, ibid.
150 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 56.
151 Mochtar Kusumaatmadja; Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan-Fungsi dan Perkembangan

Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Alumni Bandung, 2002, hal. 6-7.

77
dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sisoal, kebijakan
kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia, dengan kata
lain pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian
dari upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai
sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang melandasi dan
memberi isi terhadap muatan normatif & substantif hukum pidana
yang dicita-citakan.152Lebih jelasnya, makna dan hakikat dari
pembaharuan hukum pidana dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara
pendekatan, sebagai berikut:153
a) Dilihat Dari Sudut Pendekatan Kebijakan
(1) Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari
upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam
rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejah-
teraan masyarakat).
Kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan
hukum, yang selengkapnya disebut kebijakan penegakan
hukum. Dalam lingkup kebijakan penegakan hukum ini,
hukum administrasi dan hukum keperdataan menempati
kedudukan yang sama dengan hukum pidana sebagai
sarana penanggulangan kejahatan. Ini berarti, kebijakan
perundang-undangan serta penegakan hukum
merupakan bagian dari kebijakan sosial. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
kebijakan atau politik kriminal adalah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejah teraan
masyarakat.154
(2) Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari
upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan).
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan
kriminal (politik kriminal), yaitu: Dalam arti sempit politik
152 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Madia Group, Jakarta,2010,
hal. 29-30
153 Ibid.
154 Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 24

78
kriminal itu digambarkan sebagai keseluruhan asas dan
metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti lebih
luas ialah merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur
penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari
pengadilan dan polisi. Sedang dalam arti paling luas ialah
merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui
perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat. Kesempatan lain Sudarto juga mengemuka
kan definisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan
suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan, yang mencakup kegiatan
pembentukan undang-undang pidana, aktivitas dari
kepolisian, kejaksaan, dan aparat eksekusi, disamping
usaha-usaha yang tidak menggunakan (hukum) pidana.
Mengenai hubungan kata politik dengan kebijakan Sudarto
menerangkan bahwa makna lain dari politik ialah kebijakan
yang merupakan sinonim dari kata policy.155
(3) Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum,
pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum
dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
b) Dilihat dari sudut pendekatan nilai;
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya
merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali
nilai-nilai sosio politik, sosio filosofis dan sosio kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan
subtantif hukum pidana yang dicita-citakan. Jadi bukanlah
pembaharuan hukum pidana (Reformasi) apabila oreantasi nilai
dari hukum pidana yang dicita-citakan (KUHP baru) sama
dengan oreantasi nilai dari hukum pidana lama yang merupakan
wajah penjajah (KUHP lama atau WvS).156

155Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 113.
156Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Dan Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998, hal. 31-32.

79
Seiring dengan perkembangan masyarakat, akan banyak
masalah yang timbul akibat hubungan timbal balik dari suatu
hubungan antar individu, atau individu dengan kelompok. Sengketa
atau konflik merupakan suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh
setiap orang. Akan tetapi pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat
akan menemukan suatu perbedaan kepentingan pada setiap
individu. Perbedaan kepentingan itulah yang menjadi dasar timbulnya
perselisihan. Untuk menyelesaikan perselisihan atau pesengketaan
tersebut maka diperlukan suatu kaedah hukum, salah satu fungsi
kaedah tersebut yaitu sabagai sarana penyelesaian sengketa,
sehingga terciptanya suatu kepastian bagi mereka yang bersengketa,
sementara hukum yang ada sudah up to date (tertinggal oleh
perkembangan masyarakat tersebut.157
Menurut Sudarto, sedikitnya ada 3 (tiga) alasan mengapa perlu
segera dilakukan suatu pembaharuan hukum pidana Indonesia, yaitu :158
a) Alasan Politis
Indonesia yang memperoleh kemerdekaan sejak tahun
1945 sudah wajar mempunyai KUHP ciptaan bangsa sendiri.
KUHP dapat dipandang juga sebagai lambang dan kebanggan
suatu negara yang telah merdeka dan melepaskan diri dari
kungkungan penjajahan politik bangsa asing. Apabila KUHP
suatu negara yang dipaksakan untuk diberlakukan di negara
lain, maka dapat dipandang dengan jelas sebagai lambang atau
simbol dari penjajahan oleh negara yang membuat KUHP itu.
b) Alasan Sosiologis
Pengaturan dalam hukum pidana merupakan
pencerminan ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu
berkembang. Ini berarti nilai sosial dan budaya bangsa itu dapat
tempat dalam pengaturan hukum pidana. Ukuran
mengkriminalisasikan suatu perbuatan, tergantung dari nilai dan
pandangan kolektif yang terdapat di dalam masyarakat tentang
norma kesusilaan dan agama sangat berpengaruh di dalam
kerangka pembentukan hukum, khususnya hukum pidana.

157 Ibid.
158 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Madia Group, Jakarta,2010,
hal. 7-8.

80
c) Alasan Praktik
Sehari-hari untuk pembaharuan hukum pidana adalah
karena teks resmi KUHP adalah teks yang ditulis dalam bahasa
Belanda. Teks yang tercantum selama ini dalam KUHP disusun
oleh Moeljatno, R. Soesilo, R. Trisna, dan lain-lain merupakan
terjemahan belaka. Terjemahan “partikelir” dan bukan pula
terjemahan resmi yang disahkan oleh suatu undang-undang.
Apabila kita hendak menerapkan KUHP itu secara tepat orang
atau rakyat Indonesia harus mengerti bahasa belanda. Kiranya
hal ini tidak mungkin untuk diharapkan lagi dari bangsa yang
sudah merdeka dan mempunyai bahasa nasionalnya sendiri.
Dari sudut ini, KUHP yang ada sekarang, jelas harus diganti
dengan KUHP Nasional.
Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, terlebih
dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam hukum
pidana. Hal tersebut demikian penting, karena hukum pidana yang
berlaku secara nasional, maka harus memperhatikan alasan-alasan
sebagaimana pendapat Sudarto tersebut diatas, selain itu
pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga merupakan cerminan
suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar
masyarakat itu. Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum pidana juga
haruslah berubah.159
Keberadaan Peradilan Militer sebagai satu kesatuan hukum
dalam sistem peradilan pidana militer merupakan bagian dan salah
satu sistem dari hukum nasional Indonesia. Hukum militer di
Indonesia dibentuk dengan berpangkal tolak dari tugas militer
Indonesia (TNI). Hukum acara pidana yang digunakan pada
peradilan ketentaraan pada mulanya berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1946 maupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950
berlaku sebagai pedoman adalah “Het Herzeiene Inlandsch
Reglement” (HIR) dan menurut ketentuan ini Jaksa yang memimpin
pengusutan, pemeriksaan pendahuluan dan menyerahkan perkara
ke pengadilan militer. Hal tersebut sebagai perwujudan dari adanya
asas Satu Kesatuan Komando dan Komandan bertanggungjawab
yang berlaku pada sistem Peradilan Militer di Indonesia.

159
A.Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, tanpa tahun, hal. 3.

81
Untuk merealisasi asas bahwa komandan-komandan
mempunyai hak penyerahan perkara maka Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1950 diubah dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1958, yang kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961 menjadi Undang-Undang dengan sebutan Undang-
Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1958. Adapun bab yang diubah dari
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 oleh Undang-Undang Nomor
1 Darurat Tahun 1958 adalah Bab II tentang Pemeriksaan
Permulaan.
Adanya asas satu Kesatuan Komando dan Komandan
Bertanggungjawab yang berlaku pada sistem Peradilan Militer di
Indonesia, maka pada sistem Peradilan Militer, Ankum dan Papera
mempunyai kewenangan dalam proses hukum anggotanya, selain
mempunyai kewenangan untuk menyerahkan anggotanya yang
bersalah untuk di proses hukum, para Komandan juga mempunyai
kewenangan untuk “menahan”, namun pelaksanaan penahanannya
dilaksanakan di rumah tahanan militer atau tempat lain yang
ditentukan oleh Panglima.
Dalam struktur organisasi militer, seorang komandan
mempunyai kedudukan sentral dan bertanggungjawab penuh
terhadap kesatuan dan anak buahnya serta bertanggung jawab
dalam pembinaan dan penegakan Hukum. Oleh karena itu, seorang
komandan diberikan kewenangan sebagai salah satu penegak
hukum (law enforcement) dalam system Peradilan Militer. Akar dari
doktrin ini dapat juga ditelusuri melalui sejarah kemiliteran dimana
syarat untuk menempatkan tanggung jawab yang paling besar ada di
tangan komandan militer.
Seiring dengan perkembangan masyarakat militer dan
bertambahnya tugas-tugas aparat penegak hukum (Ankum/ Papera)
pada sistem Peradilan Militer, luasnya kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang kepada Ankum/Papera, memberikan peluang
terjadinya kesalahan atau kekeliruan dalam proses hukum yang
dilakukan. Hal ini terjadi dikarenakan mekanisme kontrol/
pengawasan pada sistem Peradilan Militer hanya bersifat internal dan
pengawasan pada tingkat penyidikan terutama masalah penahanan

82
belum ada, sehingga mengakibatkan terjadinya perkosaan hak azasi
tersangka atau terdakwa oleh penyidik. Fungsi asas satu kesatuan
komando dan asas komandan bertanggung jawab tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Berbeda dengan sistem Peradilan Umum dikenal adanya
lembaga Praperadilan yang bertujuan untuk melalukan pengawasan
(control) terhadap praktik pemeriksaan pidana khususnya pada
tingkat penyidikan dan penuntutan. Lebih jauh lagi yakni dalam
rangka menghargai hak asasi dari seseorang yang telah disangka
melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan hukum, demi tegaknya
hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak asasi tersangka,
sebab menurut sistem KUHAP setiap tindakan upaya paksa haruslah
diturut sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHAP dan setiap
tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan,
penyitaan, penahanan, penuntutan dan sebagainya yang dilakukan
bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan.
Berdasarkan keadaan-keadaan diatas maka pada tingkat
penyidikan dalam sistem Peradilan Militer perlu adanya suatu
lembaga atau mekanisme yang dapat menilai dan menguji apakah
tindakan upaya paksa (penahanan) yang dilakukan telah sesuai
dengan ketentuan hukum atau tidak, karena tindakan upaya paksa
yang dikenakan oleh instansi penegak hukum, sejatinya merupakan
pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi
Tersangka, maka dari itu tindakan ini harus dilakukan secara
bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang
yang berlaku (due process of law) lebih khusus lagi dalam proses
penyidikan dan proses penyerahan perkara, sebagai upaya untuk
menjamin hak azasi anggota militer yang terkait dengan proses
hukum. Pembaharuan sistem hukum militer perlu dilakukan agar
tujuan hukum dalam sistem Peradilan Militer dapat tercapai.
Mendasari fakta diatas maka pembaharuan hukum pidana
militer sudah menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diadakan
perubahan mendasar dalam rangka mencapai tujuan dari pidana
yang lebih baik dan manusiawi. Kebutuhan tersebut sejalan dengan
keinginan kuat untuk dapat mewujudkan suatu penegakan hukum

83
(law enforcement) di lingkungan Peradilan Militer, yang lebih adil
terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum pidana di era reformasi
ini. Suatu era yang sangat membutuhkan adanya keterbukaan,
demokrasi, perlindungan HAM, penegakan hukum dan keadilan/
kebenaran pada segenap aspek dari kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Pembaharuan hukum pidana militer menjadi keharusan untuk
disesuaikan dengan budaya masyarakat militer saat ini dan berbagai
peraturan perundang-undangan.
Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 menyebut
kan, Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus
didasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, yang meliputi :
a) Kejelasan tujuan.
b) Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
c) Dapat dilaksanakan.
d) Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
e) Kejelasan rumusan.
Pasal 6 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 ayat (1)
menyebutkan, Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan asas :
a) Pengayom.
b) Kemanusiaan.
c) Kebangsaan.
d) Kekeluargaan.
e) Kenusantaraan;
f) Bhineka tunggal ika.
g) Keadilan.
h) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
i) Ketertiban dan kepastian hukum.
Sementara itu dalam ayat (2) disebutkan, selain mencerminkan
asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat beriswi asas lain dengan bidang hukum
Peraturan Perundangan-undangn yang bersangkutan.

84
Dengan melihat kedua (ke-2) pasal tersebut dapat dilihat
apakah Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer sudah memenuhi asas-asas tersebut ? tentu jawabanya sudah
namun belum sempurna atau maksimal karena masih terdapat
beberapa aspek yang perlu menjadikan perhatian terkhusus aspek
Hak Asasi Manusia.
Secara filosofis pembaharuan hukum pidana militer harus
mempertimbangkan cita-cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
tugas pokok TNI dan prajurit TNI yang mengawakili organisasi
sehingga hukum militer tidak semata-mata untuk menjatuhkan pidana
atau hanya bersifat pembalasan akan tetapi harus mengandung unsur
pembinaan karier prajurit. Pembaharuan hukum pidana militer juga
harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan dalam pembinaan
organisasi, pembinaan personel, pembinaan dan peningkatan disiplin
Prajurit TNI, serta keadilan dan kemanfaatan. Selain itu, Pembaharuan
hukum pidana militer berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan
kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi Prajurit TNI serta
mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan
atasan.160
Memahami teori diatas, maka makna pembaharuan hukum
pidana militer bagi kepentingan masyarakat militer di Indonesia
mengacu pada 2 (dua) fungsi dalam hukum pidana, yang pertama
fungsi primer atau utama dari hukum pidana yaitu untuk
menanggulangi kejahatan di lingkungan prajurit, sedangkan fungsi
sekunder yaitu menjaga agar para penegak hukum di lingkungan
Peradilan Militer dalam menanggulangi kejahatan betul-betul
melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah digariskan
oleh hukum pidana.
Di dalam fungsinya untuk menanggulangi kejahatan, hukum
pidana merupakan bagian dari politik kriminal. Pembaharuan hukum
pidana militer terkait pula pada masalah substansi dari Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang
bersifat dogmatis. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer yang merupakan hukum acara dalam proses

160
Mayjen TNI Joko Purnomo, S.H., M.H, Pembaharuan Hukum Pidana Militer (Masih Perlukah Pasal
24 KUHPM di Pertahankan), Jakarta, www.sthmahmpthm.ac.id Jurnal Hukum Militer Vol. 4 NO. 1 2019.

85
peradilan di Pengadilan Militer, dalam prakteknya dirasakan belum
memperhati-kan hak-hak Tersangka/Terdakwa terutama mengenai
tindakan upaya paksa (penahanan) yang dilakukan instansi penegak
hukum, dimana sejatinya tindakan upaya paksa (penahanan)
tersebut merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan
dan hak azasi Tersangka.
Sebagaimana uraian diatas untuk mengetahui bagaimana
eksistensi Praperadilan dalam pembaharuan hukum pidana pada
sistem hukum Peradilan Militer, dapat dilihat dari sudut pandang
pendekatan kebijakan dan nilai :
a) Dari Perspektif Pendekatan Kebijakan dibagi menjadi Kebijakan
Sosial, Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Penegakan Hukum.
(1) Pembaharuan Hukum Pidana Militer Dilihat Dari Sudut
Pandang Kebijakan Sosial dan Kriminal
Politik kriminal hakekatnya juga merupakan bagian
integral dari politik sosial yang dilakukan dengan
menggunakan kebijakan hukum pidana (penal policy),
namun haruslah memperhatikan dan mengarah pada
tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu dengan
menunjang tujuan (goal) ”social welfare” dan ”social
defence”. Dengan kata lain Tujuan akhir dari politik kriminal
atau kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat
dalam hal ini masyarakat militer untuk mencapai tujuan
utama yang sering disebut dengan berbagai istilah, seperti
kebahagian warga masyarakat/ penduduk/masyarakat
militer (happiness of the citizen); kehidupan kultural yang
sehat dan menyegarkan (a wholesome and cultural living),
kesejahteraan masyarakat (social welfare) atau untuk
mencapai keseimbangan (equality). Secara sederhana
tujuan kebijakan kriminal itu sendiri adalah untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat.161
Dilihat dari sudut pandang kebijakan sosial dan
kriminal, eksistensi Praperadilan dalam pembaharuan
hukum pidana militer, pada hakekatnya merupakan upaya
untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam hal ini

161 Barda Nawawi, Op.Cit, hal. 74.

86
adalah masalah perlindungan hukum, keadilan dan
kepastian hukum terhadap Tersangka yang dilakukan
upaya paksa berupa tindakan penahanan oleh pejabat
yang berwenang, yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (tidak dilengkapi dengan surat
penahanan).
Dari hasil penelitian di beberapa Pengadilan Militer di
Indonesia, ditemukan beberapa kasus penahanan para
Tersangka yang tidak dilengkapi dengan surat penahanan.
Hal ini dikarenakan kelalaian para pejabat yang berwenang
untuk mengeluarkan surat perintah penahanan dalam hal ini
Ankum dan/Papera. Lemahnya kontrol atau pengawasan
terhadap kewenangan tersebut mengakibat kan timbulnya
pelanggaran hak azasi Tersangka oleh para pejabat
tersebut. Hal ini berarti pula lemahnya perlindungan hukum
bagi prajurit militer yang sedang menjalani proses hukum.
Lembaga Praperadilan menjadi salah satu bentuk
kebijakan kriminal (criminal policy) dan kebijakan sosial
(social policy) guna menyelesaikan masalah-masalah
tersebut karena diharapkan dapat menjadi kontrol yang baik
bagi para penegak hukum di lingkungan Peradilan Militer
untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari aparat
penegak hukum (Ankum/Papera), sehingga terhindar dari
pelanggaran HAM atau tercipta adanya perlindungan
terhadap HAM bagi Tersangka yang sedang menjalani
proses hukum dalam hal ini Penahanan karena Penahanan
merupakan salah satu bentuk tindakan penghentian
kemerdekaan seseorang, yang dalam penerapannya
sering kali berbenturan dengan hak asasi manusia.
Pelaksanaan mekanisme lembaga Praperadilan tersebut
disesuaikan dengan memperhatikan pemenuhan
kebutuhan dalam pembinaan organisasi, pembinaan
personel, serta keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat
militer dan organisasi. Dengan memperhatikan hal-hal
tersebut pembaharuan hukum pidana pada sistem hukum
Peradilan Militer dapat tercapai.

87
(2) Pembaharuan Hukum Pidana Militer Dilihat Dari Sudut
Pandang Kebijakan Penegakkan Hukum
Dilihat dari kebijakan penegakkan hukum, pembaharuan
hukum pada sistem Peradilan Militer dipandang perlu untuk
melakukan upaya pembaharuan pada subtansi hukumnya
(legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakkan hukum, yaitu dengan menambahkan regulasi
tentang Praperadilan pada hukum acara peradilan militer,
yang berfungsi sebagai lembaga kontrol dalam
pelaksanaan penegakkan hukum di lingkungan Peradilan
Militer. Regulasi tentang Praperadilan tersebut dapat
menjadi payung hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan
akibat dari kelalaian atau keteledoran aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Pihak-pihak yang dirugikan dapat mengajukan keberatan
atau menuntut ganti kerugian terhadap perlakuan aparat
yang melanggar undang-udang, sehingga ekspektasinya
Pengadilan Militer sebagai pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di lingkungan Pengadilan Militer dapat berjalan
sesuai dengan hukum yang berlaku dan terhindar dari
pelanggaran HAM.
b) Dari Perspektif Pendekatan Nilai

Pembaharuan hukum militer pada hakekatnya merupakan


upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai
sosio politik, sosio filosofis dan sosio kultural yang melandasi
dan memberi isi terhadap muatan normatif dan subtantif hukum
pidana yang dicita-citakan. Jadi bukanlah pembaharuan hukum
pidana (Reformasi) apabila oreantasi nilai dari hukum acara
pidana yg dicita-citakan (Hukum Acara Peradilan Militer yang
baru) sama dengan orieantasi nilai dari hukum acara pidana
militer yang lama. Teori tersebut jika dikaitkan dengan kasus
yang terjadi pada praktek peradilan di lingkungan Peradilan
Militer yaitu penahanan yang tidak disertai dengan surat
penahanan dari pejabat yang berwenang, dimana Penahanan
merupakan salah satu bentuk tindakan penghentian
kemerdekaan seseorang, yang dalam penerapannya seringkali
88
berbenturan dengan Hak Asasi Manusia bila tidak dilakukan
sesuai dengan prosedur hukum, antara lain penahanan yang
tidak dilengkapi dengan surat penahanan. Keadaan tersebut
telah melenceng atau bertentangan dengan nilai sosio politik
(socio politic) dari diberlakukannya hukum, karena perlindungan
HAM Tersangka dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang
yang berlaku di Indonesia.
Jadi lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer
dipandang dari nilai sosial politik (socio politic) diberlakukannya
hukum bertujuan untuk mengontrol atau mengawasi tindakan
pemeriksaan tindak pidana khususnya dalam penyidikan dan
penuntutan, serta untuk menjamin perlindungan Hak Asasi
Manusia dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak
hukum.
Ditinjau dari sosio filosofis (socio filosofis), terbentuknya
lembaga Praperadilan menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP
disebutkan: mengingat demi kepentingan pemeriksaan perkara
diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak
asasi Tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu
berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka
untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak
asasi, Tersangka/Terdakwa diadakan suatu lembaga Pra
peradilan.162
Praperadilan secara tidak langsung melakukan
pengawasan atas kegiatan yang dilakukan penyidik dalam
rangka penyidikan maupun penuntutan, mengingat tindakan
penyidik pada dasarnya melekat pada instansi yang
bersangkutan.163 Sudah saatnya sistem peradilan militer
membangun budaya saling kontrol di dalam era supremasi
hukum, antara semua komponen penegak hukum agar
kepastian hukum benar-benar dapat diberikan bagi mereka para
pencari keadilan dan meminimalisir terjadinya pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh para penegak hukum di lingkungan
Peradilan Militer.

162 Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 16.
163 http://digilib.unila.ac.id/21111/90/BAB%20I.pdf.

89
Dari perspektif sosio kultural (socio cultural), orieantasi
pembentukan Praperadilan diarahkan pada kebutuhan
masyarakat militer yang modern, yaitu menempatkan
kepentingan militer sejalan dengan kepentingan hukum dengan
tetap memperhatikan HAM. Pembaharuan Hukum Pidana
Militer diharapkan dapat bersifat komprehensif dan menyeluruh,
yang meliputi, Pembaharuan Substansi Hukum Pidana,
Pembaharuan Struktur Hukum Pidana dan Pembaharuan
Hukum Pidana.
Dengan demikian berdasarkan permasalahan yang ada
dalam lingkungan Peradilan Militer maka menurut teori
Pembaharuan Hukum sebagaimana diuraikan diatas maka
urgensi lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer,
adalah sebagai berikut :
(1) Eksistensi lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan
Militer sesuai dengan kebutuhan dalam pembinaan
organisasi, pembinaan personel, serta keadilan dan
kemanfaatan bagi masyarakat militer dan organisasi.
(2) Eksistensi lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan
Militer senafas dan seirama dengan nilai sosial politik
(socio politic), sosio filosofis (socio filosofis) dan sosio
kultural masyarakat militer, yang menempatkan
kepentingan militer sejalan dengan kepentingan hukum
yaitu terwujudnya perlindungan HAM.

b. Konsepsi Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di


Lingkungan Peradilan Militer di Indonesia
1) Materi Praperadilan Dalam Konsep Praperadilan Pada Sistem
Peradilan Militer di Indonesia
Dalam rangka mengikuti perkembangan hukum nasional yang
mampu menjawab persoalan perlindungan HAM Tersangka dari
penahanan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang sah maka perlu pengaturan Lembaga Praperadilan
sebagai lembaga kontrol dalam sistem Peradilan Militer di Indonesia.
Untuk itu perlu disusun konsep Lembaga Praperadilan dalam sistem
Peradilan di Indonesia dengan melakukan pembaharuan Hukum
Acara Pidana Militer yang ada di dalam Undang-undang RI Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

90
Pada prinsipnya filosofi lembaga Praperadilan yang akan
dibangun dalam sistim Peradilan Militer tidak berbeda dengan
lembaga Praperadilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu dalam
rangka memberikan perlindungan HAM untuk Tersangka atau
Terdakwa sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat dengan tidak
melihat jenis tindak pidana yang dilanggar apakah tindak pidana
umum ataupun tindak pidana militer, dan memberikan batas-batas
bagi Aparat Penegak Hukum dalam melaksanakan tugasnya.
Lembaga Praperadilan harus mencerminkan bahwa prajurit TNI
juga merupakan warga Negara Indonesia yang harus dilindungi hak
asasinya dan mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum
(Equality Before The Law).
Sebagaimana yang telah dibahas dalam bab sebelumnya,
pengaturan Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP,
membahas hal-hal sebagai-berikut:164
a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghetian penuntutan.
b) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Konsep Praperadilan dalam sistim Peradilan Militer yang akan
disusun dalam bab ini adalah tentang sah atau tidaknya penahanan
terhadap Tersangka oleh Ankum/Papera ditingkat Penyidikan,
sedangkan materi Praperadilan lainnya sebagaimana dalam
KUHAP tidak menjadi perhatian bagi Peneliti, dengan pertimbangan
sebagai-berikut :
(1) Sah atau tidak sahnya Penangkapan.
Praktek penegakkan hukum terhadap penangkapan
dalam sitem Peradilan Militer secara umum tidak ada
persoalan di lapangan, kecuali dalam hal tertangkap
tangan dapat dilakukan penangkapan oleh siapapun tanpa
surat perintah, namun setelah itu harus segera diserahkan
ke Penyidik setempat atau Penyidik POM setempat,
selanjutnya Penyidik POM tersebut segera melaporkan ke
Ankum yang berangkutan.

164
Pasal 77 KUHAP.

91
(2) Sah atau tidak sahnya Penahanan.
Penahanan dalam sistem Peradilan Militer merupakan
kewenangan penuh para Ankum dan Papera dari prajurit
TNI yang diduga melakukan tindak pidana, dalam praktek
dilapangan hal ini sering menimbulkan kendala dan
persoalan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya sebelumnya, namun hingga saat ini
persoalan keterlambatan terbitnya surat perintah
penahanan dari Ankum dan Papera tersebut tidak bisa
diselesaikan secara hukum, sehingga kasus ini makin
bertambah. Padahal persoalan tersebut bukan persoalan
biasa namun persoalan besar yang dapat menyeret para
Ankum dan Papera pada perbuatan pelanggaran HAM
prajurit yang ditahan, oleh karenanya persoalan
penahanan menjadi pokok bahasan dalam menyusun
konsep Praperadilan dalam Sistem Peradilan Militer di
Indonesia.
(3) Sah atau tidaknya penghentian Penyidikan atau
Penuntutan.
Materi Praperadilan tentang penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan tidak dikenal dalam Undang-
undang Peradilan Militer, namun dalam Sistem Peradilan
Militer dikenal istilah penutupan perkara demi kepentingan
hukum atau penutupan perkara demi kepentingan umum
atau penutupan perkara demi kepentingan militer..
(4) Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
Syarat ganti kerugian dan rehabilitasi ini merupakan tindak
lanjut dari tidak dipenuhinya syarat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan ataupun tidak dipenuhinya
sahnya penangkapan ataupun penahanan, sehingga
materi tersebut tidak termasuk dalam konsepsi
Praperadilan yang akan disusun maka materi ganti
kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.

92
Dengan mengacu penjelasan tersebut diatas maka peneliti
berpendapat bahwa materi yang diperlukan dalam Praperadilan
Dalam Sistem Peradilan Pidana di Lingkungan Peradilan Militer
adalah “Sah atau tidaknya Penahanan” baik yang dilakukan oleh
Ankum atau Papera.
2) Hukum Acara Praperadilan Dalam Konsep Praperadilan Pada
Sistem Peradilan Militer di Indonesia
Konsep Hukum Acara Praperadilan yang akan dibangun hampir
sama dengan yang diatur dalam KUHAP. Sidang Praperadilan
diadakan atas permohonan Tersangka ataupun keluarganya ataupun
atas kuasa hukumnya, Persidangan Praperadilan merupakan suatu
forum terbuka, yang dilaksanakan oleh Hakim Tunggal guna
memeriksa Ankum atau Papera yang telah melakukan Penahanan
terhadap Tersangka tanpa memenuhi ketentuan undang-undang
sehingga harus mempertanggung jawabkan tindakannya dimuka
forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan
berlandaskan hukum.
Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, diharapkan
Tersangka dapat memperolah jaminan perlindungan hak asasinya
berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau
pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-
wenang oleh Ankum atau Papera.
Ketentuan dalam hukum Acara Praperadilan ditentukan
beberapa hal berikut :
a) 3 (tiga) hari setelah diterimanya permohonan Praperadilan,
Hakim Militer Tinggi yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
b) Memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
Penahanan, Hakim Militer Tinggi mendengar keterangan baik
Tersangka atau Pemohon maupun dari Pejabat yang
berwenang (Ankum atau Papera).
c) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari Hakim Militer Tinggi harus sudah
menjatuhkan putusannya.
d) Perkara yang sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Militer,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada
Praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut dianggap
gugur karena proses peradilannya sudah berjalan.

93
e) Putusan Hakim Militer dalam acara pemeriksaan Praperadilan
harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
f) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana tersebut
diatas (huruf e), juga memuat hal sebagai-berikut:
(1) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu
Penahanan yang dijalani, tidak sah maka Ankum atau
Papera harus segera membebaskan Tersangka;
(2) Dalam hal putusan menetapkan bahwa Penahanan yang
dijalani, tidak sah maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya;
(3) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu Penahan
yang telah dijalani, sah maka selanjutkan akan
diperhitungkan pemotongan tahanan dalam putusan akhir.
Wewenang dalam memeriksa dan memutus perkara dalam
sistim Peradilan Militer memiliki kekhususan atau kekhasan sendiri
karena dalam sistem Peradilan Militer dikenal sistem kepangkatan.
Para Hakim yang menyidangkan suatu perkara, kepangkatnya tidak
boleh lebih rendah dari Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal
16 Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1997.165 Hal ini berbeda
dengan Praperadilan di Peradilan Umum, yang pengajuannya
melalui Pengadilan Negeri (tingkat I). Yustisiabel Pengadilan Militer
pada sistem Peradilan Militer adalah mengadili Terdakwa yang
berpangkat Kapten ke bawah sedangkan Pengadilan Militer Tinggi
mengadili Terdakwa berpangkat Mayor keatas. Pengadilan Militer
Tinggi juga mempunyai kewenangan sebagai pengadilan tangkat
Banding untuk perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Militer
dibawah wilayah kewenangannya.166

165 Ketentuan Pasal 16 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjelaskan

tentang susunan kepangkatan Hakim ditiap tingkatan Pengadilan sebagai-berikut :


(1) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Mayor, sedang
Hakim Anggota dan Oditur Militer paling rendah berpangkat Kapten.
(2) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat Kolonel,
sedangkan Hakim Anggota dan Oditur Militer Tinggi paling rendah berpangkat Letnan Kolonel.
(3) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Brigadir
Jenderal/Laksamana Pertama/Marsekal Pertama, sedangkan Hakim Anggota paling rendah
berpangkat Kolonel.
166 Pasal 41 (1) Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama: a. memeriksa dan memutus perkara

pidana yang Terdakwanya adalah: 1) Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas; 2) mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya atau salah satu
Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke atas; dan 3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka

94
Oleh karena lebih tepat jika pemerikasaan permohonan
Praperadilan dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Tinggi yang
meliputi daerah hukum tempat penahanan tersebut dilakukan,
dengan pertimbangan Ankum atau Papera yang mengeluarkan Surat
Perintah Penahanan adalah minimal berpangkat Perwira Menengah
(Mayor) ke atas,167 sehingga setidaknya Hakim yang memeriksa dan
menyidangkan adalah berpangkat sama dengan pangkat yang
disidangkan. Dalam hal adanya pengajuan Praperadilan terhadap
tidak sahnya Penahanan, maka Ankum atau Papera harus
membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat hukum yang
diperlukan, baik berupa syarat- syarat formal maupun materiil, seperti
misalnya Surat Perintah Penahanan dan dalam hal penahanan 20
(dua pulih) hari, adanya alasan yang nyata dan konkrit bahwa si
pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau
mengulangi kejahatannya.168 Praperadilan juga harus mengatur
siapa saja yang berhak mengajukan Praperadilan. Dalam hal sah
atau tidak sahnya penahanan maka yang berhak mengajukan
Praperadilan.

1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi; b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Angkatan Bersenjata. (2) Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding
perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
(3) Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
167 Dalam hal ini, untuk Ankum adalah Ankum berwenang penuh yang notabene berpangkat Mayor

keatas maka Pengadilan yang berwenang untuk memutus gugatan yang diajukan oleh Tersangka adalah
Pengadilan Militer Tinggi. Dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2014 tentang
Hukum Disiplin Militer dijelaskan bahwa Ankum di lingkungan TNI berdasarkan kewenangannya adalah
sebagai berikut :
a. Ankum berwenang penuh.
Ankum berwenang penuh mempunyai wewenang untuk menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin
kepada militer yang berada di bawah wewenang komandonya.
b. Ankum berwenang terbatas.
Ankum berwenang terbatas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin
kepada militer yang berada di bawah wewenang komandonya, kecuali penahanan berat terhadap
Perwira.
c. Ankum berwenang sangat terbatas.
Ankum berwenang sangat terbatas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin teguran
dan penahanan ringan kepada setiap Bintara dan Tamtama yang berada di bawah wewenang
komandonya.
168 http://jodisantoso.blogspot.com, diakses pada tanggal 27 Agustus 2020, pukul 11.10.

95
Konsep Pemikiran Lembaga Praperadilan
Dalam Sistem Peradilan Militer

Ankum selaku Tersangka ditahan


Dilaksanakan oleh
Penyidik : tidak ada / terlambat
Melakukan Polisi Militer Surat Perintah
Penahanan Penahanan

Pengadilan Militer Tersangka


Tinggi Pra Peradilan dirugikan

Gugatan: Penahanan yang telah


dijalani tidak
1. Jika Penahanan sah, maka diperhitungkan
Penahanan yang telah dijalani
tanpa surat diperhitungkan
atau pidana yang telah dijalani
dikurangkan dari dipidana
yang akan dijatuhkan
Pelanggaran HAM oleh
2. Jika Penahanan tidak sah, Ankum dan /Papera
maka Tersangka harus
dibebaskan dari tahanan.

3. Membayar ganti rugi.

Konsep Prosedur Pengajuan Praperadilan


di Peradilan Militer

Permohonan Tap Sid 3 (tiga) hari Sidang- I


didaftarkan J
setelah Pendaftaran Permohonan A
W
A
B
A
N

Putusan
7 (tujuh) hari Kesimpulan Pembuktian

96
a) Permohonan Ditujukan Kepada Kepala Militer Tinggi. Semua
permohonan dibuat secara tertulis, kemudian diajukan untuk
diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada Kepala
Pengadilan Militer Tinggi pada Pengadilan Militer Tinggi yang
meliputi daerah hukum tempat dimana penahanan itu dilakukan.
b) Permohonan Diregister dalam Perkara Praperadilan. Setelah
Panitera menerima permohonan, diregister dalam perkara
Praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke
Praperadilan, dipisahkan registrasinya dari perkara pidana
biasa. Administrasi yustisial Praperadilan dibuat tersendiri
terpisah dari administrasi perkara biasa.
c) Pada penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan
pihak pemohon dan termohon Praperadilan. 3 (tiga) hari
sesudah diterima permohonan, hakim yang ditunjuk oleh Kepala
Pengadilan, menetapkan hari sidang. Penghitungan penetapan
hari sidang, bukan dari tanggal penunjukan hakim oleh Kepala
Pengadilan Militer Tinggi. Akan tetapi dihitung 3 (tiga) hari dari
tanggal penerimaan atau 3 (tiga) hari dari tanggal registrasi di
kepaniteraan.
d) Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan Praperadilan
diperiksa, permohonan tersebut harus diputus.
e) Pemohon dapat mencabut permohonannya sebelum
Pengadilan Militer Tinggi menjatuhkan putusan apabila disetujui
oleh termohon. Kalau termohon menyetujui usul pencabutan
permohonan tersebut, Pengadilan Militer Tinggi membuat
penetapan tentang pencabutan tersebut.
f) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan
sedangkan pemeriksaan Praperadilan belum selesai maka
permohonan tersebut gugur. Hal tersebut dituangkan dalam
bentuk penetapan.
3) Substansi Konsep Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Militer
Dalam rangka penegakan hukum Praperadilan dalam sistem
Peradilan Militer yaitu untuk memberikan jaminan kepastian hukum
pelaksanaan Praperadilan maka perlu penormaan tersendiri tentang
Praperadilan didalam Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997
(KUHAPMIL), yang antara lain sebagai berikut :

97
a) Pengertian
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Militer Tinggi untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang sah atau tidaknya penahanan atas
permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasa Tersangka.
b) Praperadilan
Pengadilan Militer Tinggi berwenang untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini tentang sah atau tidaknya penahanan oleh Ankum
atau Papera.
c) Sub Pasal tentang Wewenang Pengadilan Militer Tinggi Dengan
Hakim Tunggal
(1) Yang melaksanakan wewenang Pengadilan Militer Tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 16 Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1997, adalah Praperadilan.
(2) Praperadilan dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk
oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi dan dibantu oleh
seorang Panitera.
d) Sub Pasal yang berhak mengajukan permintaan Praperadilan
Permintaan pemeriksaan tentang sah atas tidaknya suatu
penahanan oleh Ankum atau Papera diajukan oleh Tersangka,
keluarga atau kuasanya kepada Kepala Pengadilan Militer
Tinggi dengan menyebutkan alasannya.
e) Sub Pasal Ketentuan Hukum Acara
Acara pemeriksaan Praperadilan untuk hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal tersebut diatas ditentukan sebagai
berikut:
(1) 3 (tiga) hari setelah diterimanya permintaan, Hakim Militer
Tinggi yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
(2) Memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penahanan, Hakim Militer Tinggi mendengar keterangan
baik Tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang
berwenang.
(3) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan
selambat-lambatnya tujuh hari Hakim Militer Tinggi harus
sudah menjatuhkan putusannya.

98
(4) Perkara yang sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan
Militer Tinggi, sedangkan pemeriksaan mengenai
permintaan kepada Praperadilan belum selesai maka
permintaan tersebut gugur.
(5) Putusan Hakim Militer Tinggi dalam acara pemeriksaan
Praperadilan harus memuat dengan jelas dasar dan
alasannya.
(6) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana
tersebut diatas, juga memuat dalam hal putusan
menetapkan bahwa sesuatu penahanan tidak sah, maka
Ankum atau Papera harus segera membebaskan
Tersangka;
f) Sub Pasal Praperadilan Tidak Dapat Dimintakan Banding
terhadap putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal tersebut diatas tidak dapat dimintakan
banding.

c. Hambatan-Hambatan Yang Mungkin Timbul Dalam Penegakkan


Lembaga Praperadilan Di Lingkungan Peradilan Militer.
1) Hambatan Struktural.
Yaitu hambatan yang bersumber dari para penegak hukum di
lingkungan Pengadilan Militer dalam hal ini para Penyidik Polisi Militer
dan Komandan satuan yang sekaligus sebagai Ankum dan/atau
Papera yang membuat pelaksanaan Praperadilan tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya:
a) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman para Komandan
selaku Ankum dan/atau Papera tentang urgensi penghormatan
terhadap Hak Azasi Manusia;
b) Sikap egoisme para Komandan selaku Ankum dan/atau Papera
yang tabu untuk digugat oleh anggotanya;
c) Tidak adanya fungsi pengawasan secara efektif;
d) Lemahnya koordinasi dan sulitnya birokrasi antara aparat
penegak hukum (antara Penyidik Polisi Militer dengan para
Ankum dan/atau Papera).

99
2) Hambatan Kultural
yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan yang berkembang di
masyarakat militer.
Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya:
a) Doktrinasi terhadap prajurit yang melahirkan doktrin superioritas
atasan terhadap bawahan;
b) Karakteristik kehidupan prajurit TNI yang bersifat satu arah, rigid,
dan statis sehingga bawahan dianggap sebagai alat yang hanya
melaksanakan perintah (siap laksanakan) dan tidak boleh
menilai apa yang diperintahkan oleh atasan (atasan tidak
pernah salah);
c) Masih adanya pemahaman tentang ”sikap loyal” yang salah
pada diri anggota kepada Komandannya selaku Ankum
dan/atau Papera sehingga apapun yang diperbuat oleh
Komandan, bawahan tidak berani mengajukan keberatan,
meskipun dalam kehidupan masyarakat militer memang dituntut
adanya hirarki dan loyalitas namun tetap ada perlindungan
hukum bagi Militer guna mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang Ankum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
RI Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Prajurit TNI.
3) Hambatan Instrumental
Yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen
pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal
ini instrument yang mengatur tentang Lembaga kontrol yang bersifat
eksternal horizontal. Lembaga kontrol yang ada pada sistem
Peradilan Militer sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya
adalah bersifat internal dan vertikal dari atas kebawah sehingga
membuat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tingkat
penyidikan tidak dapat di lakukan upaya hukum sebagaimana
mestinya.
4. Hambatan Komitmen
Yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak
diterapkannya asas-asas yang mendasari dibangunnya sistim
Peradilan Militer (Asas Kesatuan Komando, Komandan Bertanggung
Jawab dan Kepentingan Militer), para Komandan satuan selaku

100
Ankum dan/atau Papera lebih mengutamakan tugas-tugas
kedinasannya dibanding tugasnya selaku Ankum dan/atau Papera
sehingga membuat penegakan hukum pada tingkat penyidikan tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya:
a) Lemahnya koordinasi baik di antara aparat penegak hukum dan
birokrasi yang buruk;
b) Lemahnya pengawasan eksternal terhadap aparat penegak
hukum;
c) Tidak adanya dukungan sistem dan prosedur pengawasan
dalam tingkat penyidikan secara horisontal.
Menjawab hambatan-hambatan tersebut maka untuk menegakkan
Lembaga Praperadilan dalam sistim Peradilan Militer, Peneliti akan
menggunakan Teori Sistem Hukum dari Lawrence M Friedman, yang akan
dibahas pada sub bab selanjutnya.

d. Implikasi Keberadaan Lembaga Praperadilan Militer Terhadap Sistem


Peradilan Militer di Indonesia

1) Implikasi Keberadaan Lembaga Praperadilan Terhadap Penegakkan


Hukum Di Lingkungan Peradilan Militer
Pembahasan mengenai pembaharuan hukum tidak bisa lepas dari
pembahasan mengenai penegakan hukum. Masalah penegakan
hukum pada dasarnya merupakan kesenjangan antara hukum
secara normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis (das sein)
atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang
seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang senyatanya.
Roscoe pound menyebutnya sebagai perbedaan antara "law in the
book dan law in action”. Perbedaan ini mencakup persoalan-
persoalan antara lain :
a) Apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah
diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang
ada waktu itu.
b) Apakah yang dikatakan pengadilan itu sama dengan apa yang
dilakukannya.
c) Apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu
peraturan itu dalam kenyataan. Secara konsepsional, inti dan
arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

101
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.169
Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia, untuk melindungi kepentingan manusia maka
hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal dan damai tetapi dapat terjadi juga karena
pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar harus
ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi
kenyataan, dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang
diperhatikan, yaitu :170
a) Kepastian Hukum (Rechtssicherheit)
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi
peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus
berlaku, pada dasarnya tidak boleh menyimpang, sebagaimana
adagium fiat justicia et pereat mundus (meskipun dunia akan
runtuh, hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh
kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiable terhadap tidakan sewenang-wenang, yang berarti
seorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu.
Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan
globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi
kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan
dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-
nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses
kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat
dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk
melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan
pidana.171

169 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983,
hal. 2.
170
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Liberty Yogyakarta. 1999. hal. 145.
171
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal. 35.

102
b) Manfaat (Zweckmassigkeit)
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi
manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di
samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun
demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap
berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga
sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosofis), belum
tentu berguna bagi masyarakat, masyarakat hanya mengingin-
kan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu
peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa
menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Dalam
pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan,
namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu
bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamarata-
kan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri.172 Sebaliknya keadilan
bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.173
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka
pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi
manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru
karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul
keresahan di dalam masyarakat.174
c) Keadilan (Gerechtigkeit)
Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan
atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan
dan penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan
keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Barang siapa yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya, keadilan
bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.

172 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan

Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran, http://jimly.com/pemikiran /makalah, di akses Kamis 14 Agustus


2014.
173 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993,

hal. 2.
174 Sudikno, Loc.Cit.

103
Menurut Muladi, penegakan hukum merupakan usaha untuk
menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-
nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya
memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari
peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai
dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-
undangan (law making process).175
Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law
enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law).
Penegakkan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang
berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan
keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk
digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain.
Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan
hukum.176
Selanjutnya Satjipto menjelaskan, penegakkan hukum adalah
kegiatan menyerasikan hubungan nila-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup artinya penegakkan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan, dan keinginan hukum adalah pikiran-
pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan hukum. Peraturan hukum adalah perumusan pemikiran
pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.177
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum di
Indonesia:178
(1) Faktor Hukum
Yang dimaksud dengan hukum adalah segala sesuatu yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang
bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mendapatkan
sanksi yang tegas dan nyata.179

175 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan Kedua, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hal. 69.
176 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Cetakan Kedua. Kompas, Jakarta, 2006,

hal. 169.
177 Satjipto Raharjo. Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing. Yogyakarta.

2009, hal. 25.


178 Soerjono Soekamto, Lock. Cit, hal. 15.
179 Yulies Tina Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 13.

104
Sumber lain menyebutkan bahwa hukum adalah seperangkat
norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku
manusia dengan tujuan untuk ketentraman masyarakat.180
Hukum mempunyai jangkauan universal karena dengan hukum
bisa menemukan beberapa teori yang berbeda dari setiap
individu.181
Contohnya ketika beberapa hakim mendengar tentang kasus
pembunuhan, dari sekian banyak hakim pasti memiliki
pemikiran yang berbeda-beda (ditikam, dibakar, dibuang
kesungai, dll) sebelum melihat berkas tentang kasus
pembunuhan tersebut. Artinya, hukum memiliki jangkauan yang
sangat luas untuk masing-masing orang, tergantung cara
seseorang menyikapi hukum yang dihadapinya.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
hukum adalah suatu peraturan tertulis yang dibuat oleh yang
berwenang yang bersifat memaksa guna dapat mengatur
kehidupan yang damai ditengah masyarakat.
(2) Faktor Masyarakat
Secara bentuk masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
tingkat kedalaman yang berbeda. Pertama, masyarakat yang
langsung dan spontan, kedua adalah masyarakat yang
terorganisir dan direfleksikan. Masyarakat dengan pola yang
spontan dinilai lebih kreatif baik secara pemikiran maupun pola
tingkah laku sedangkan masyarakat yang terorganisir memiliki
pola pikir yang baku dan banyak perencanaan yang
disengaja.182 Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat.
Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat
dapat mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Masyarakat
Indonesia pada khususnya mempunyai pendapat-pendapat
tertentu mengenai hukum.

180 Ibid. hal. 13.


181 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum. Alumni, Bandung, 1986, hal. 8
182 Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 194.

105
(3) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi
masyarakat dan manusia. Masyarakat memiliki kebutuhan
dalam bidang materiil dan spiritual. Untuk memenuhi
kebutuhannya sebagian besar dipenuhi kebudayaan yang
bersumber pada masyarakat itu sendiri. Tapi kemampuan
manusia sangat terbatas, dengan demikian kemampuan
kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas
dalam memenuhi segala kebutuhan.183
Sekalipun masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda
antara satu dengan lainnya, namun setiap kebudayaan memiliki
sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan
dimana pun juga. Sifat hakikat kebudayaan itu sebagai
berikut:184
(a) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku
manusia.
(b) Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya
suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan
habisnya usia generasi yang bersangkutan.
(c) Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan
tingkah lakunya.
(4) Faktor Sarana dan Fasilitas
Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana
atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia
yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan
seterusnya. Kalau hal- hal itu tidak tepenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya.185
Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka 3
(tiga) konsep, yaitu :186
(1) Konsep penegakkan hukum yang bersifat total (total
enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang
ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa
terkecuali.

183 Soerjono Soekanto, Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar, Rajawali Persada, Jakarta, 1990. hal. 178.
184 Ibid., hal. 182.
185 Soerjono Soekamto, Op. Cit., hal. 37.
186 Barda Nawawi Arief. Ibid., hal. 37.

106
(2) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full
enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu
dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi
perlindungan kepentingan individual;
(3) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept)
yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan
hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan
dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya,
kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi
masyarakat.
Lawrence M. Friedman dalam teorinya yaitu teori Sistem
Hukum, mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya
penegakkan hukum tergantung 3 (tiga) unsur sistem hukum.187
Sistem adalah sekumpulan elemen di antara mana terdapat
adanya hubungan-hubungan. Kerapkali dalam litteratur dapat
diketemukan kata-kata tambahan ... Elemen-elemen mana
ditujukan kearah pencapaian sasaran-sasaran umum tertentu
(een verzameling van elementen waartussen relaties bestaan.
Vaak treft men bovendien in de literatuur nog de volgende
toevoeging...elementen gericht op de verwezenlijking van
bepaalde gemeenschappelijke doeleiden).188
Ke-3 (tiga) unsur dalam sistem hukum tersebut yakni
struktur hukum (Legal Structure), substansi hukum (Legal
Substance) dan kultur hukum (Legal Culture). Friedman
mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik, dimana “struktur
hukum” adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa yang
dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu dan “kultur hukum”
adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan. Ketiga komponen ini
menggambarkan bagaimana sistem hukum ditata secara
substantif, apa yang dijalankan oleh sistem hukum itu,

187Lawrence M. Friedman, The Legal System, Asocial Secience Perspective, Russel Sage Foundation,
New York, 1975.
188 Winardi, Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisa Sistem, Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 2.

107
bagaimana sistem hukum itu menjalankannya, dan pada
gilirannya akan melihat tingkat kesadaran terhadap hukum.
Pemikiran dan kekuatan di luar hukum membuat sistem hukum
itu berhenti dan bergerak. Ketiga unsur ini lanjut Lawrence Milton
Friedman dapat digunakan untuk menguraikan apapun yang
dijalankan oleh sistem hukum.189
Dalam 3 (tiga) unsur sistem hukum menurut Friedmann,
yaitu struktur hukum (Legal Structure), substansi hukum (Legal
Substance) dan kultur hukum (Legal Culture), dijelaskan
sebagai berikut :
(1) Substansi Hukum
Substansi hukum menurut Friedman adalah “Another
aspect of the legal system is its substance. By this is meant
the actual rules, norm, and behavioral patterns of people
inside the system …the stress here is on living law, not just
rules in law books”.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya.
Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma,
dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam
sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang memiliki
kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi
aparat penegak hukum.190
Substansi hukum merupakan keseluruhan asas
hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan
dalam hal substansi hukum pidana di Indonesia, maka
induk perundang-undangan pidana materil kita adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
sedangkan induk perundang-undangan pidana formil
(hukum acaranya) adalah Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).191

189 Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,
Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 9.
190 Fredman, Lock. Cit.
191 Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, CV. Rajawali,

108
Dalam rangka perbaikan dan pembenahan sistem
hukum berkaitan dengan substansi hukum pada intinya
melakukan penataan kembali peraturan perundang-
undangan dengan tetap memperhatikan kearifan lokal dan
hukum adat sebagai upaya pembaharuan materi hukum
nasional di samping isu-isu korupsi, terorisme, per-
dagangan perempuan dan anak, obat-obat terlarang,
perlindungan anak yang memerlukan penanganan serius
tidak saja dalam penegakan hukum tetapi juga materi-
materi hukum yang diatur, sehingga akan terciptanya
sistem hukum nasional yang adil, konsekwen, dan tidak
diskriminatif.192
Sebagaimana dinyatakan oleh Nonet dan Selzick
(1978:169), dalam rangka pencapaian tujuan hukum yang
penting adalah substansi serta tanggung jawab yang
efektif. Jadi hukum harus senantiasa melakukan
penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang hendak dicapai
oleh masyarakat. Dengan demikian hukum mempunyai
dinamika, salah satu faktor terjadinya dinamika itu ialah
adanya politik hukum, karena ia diarahkan kepada “iure
constituendo”, hukum yang seharusnya berlaku.193
(2) Struktur Hukum,
“To begin with, the legal sytem has the structure of a
legal system consist of elements of this kind: the number
and size of courts; their jurisdiction …Strukture also means
how the legislature is organized …what procedures the
police department follow, and so on. Strukture, in way, is a
kind of crosss section of the legal system…a kind of still
photograph, with freezes the action.”
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut
ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya

Jakarta, 1986, hal. 27.


192 Perbaikan Sistem Hukum Dalam Pembangunan Di Indonesia, https://media. neliti.com/media

/publications/9119-ID-perbaikan-sistem-hukum-dalam-pembangunan-hukum-di- indonesia.pdf.
193 Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria; Unifikasi Ataukah Pluralisme Hukum, Dalam Arena Hukum,

Nomor. 8, Fak. Hukum Unibraw, Malang, 1999, hal. 75.

109
(termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa),
dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan
lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif
ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan
sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari
lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalan-
kan perangkat hukum yang ada.194 Struktur adalah pola
yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan
menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini
menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum
dan badan serta proses hukum itu berjalan dan
dijalankan.195
Secara sederhana berkaitan dengan lembaga-
lembaga atau institusi-institusi pelaksana hukum atau
dapat dikatakan sebagai aparat penegakan hukum. Dalam
hal hukum pidana, maka lembaga yang bertugas
melaksanakannya terwujud dalam suatu sistem peradilan
pidana (criminal justice system), yang pada hakikatnya
merupakan sistem kekuasaan menegakkan hukum
pidana yang terdiri atas kekuasaan penyidikan, kekuasaan
penuntutan, kekuasaan mengadili dan men- jatuhkan
putusan serta kekuasaan pelaksanaan putusan/ pidana
oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi.196
Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang
struktur sistem hukum Indonesia, maka termasuk di
dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum
seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.197 Dalam
proses penegakan hukum pidana, unsur-unsur tersebut
terwujud dalam lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan.

194 Freedman, Op. Cit.


195 Marzuki, Op. Cit, hal. 24.
196 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 28.


197 Achmad Ali, Op.Cit, hal. 8.

110
Kurangnya pengawasan dalam kelembagaan hukum
dan tidak adanya sinkronisasi antar lembaga-lembaga
penegak hukum, membawa akibat besar dalam sistem
hukum karena permasalahan sinkronisasi bukan hanya
terbatas pada kedaksesuaian antar peraturan perundang-
undangan semata, namun terkait dengan keseluruhan
sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Berbicara
mengenai legal policy dalam kaitannya dengan kerangka
pembaruan hukum, maka perlu dilihat dari keseluruhan
sistem hukum yang terkait.198 Sistem hukum nasional
sebagai suatu himpunan bagian hukum atau subsistem
hukum yang saling berkaitan yang membentuk satu
keseluruhan yang rumit atau kompleks tetapi merupakan
satu kesatuan.199 Menurut Achmad Ali sebagaimana
mengutip pendapat Friedmann, sistem hukum terdiri atas
struktur hukum (legal structure), substansi/materi hukum
(legal substance), dan budaya hukum (legal culture).200
Kesewangan para aparat penegak hukum dalam
mengaplikasikan hukum telah mengakibatkan terjadinya
pelanggaran HAM, akumulasi terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam melaksanakan proses hukum akan
berdampak terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat
kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian
hukum.201
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maka
perlunya fungsi kontrol yang diartikan sebagai pengawas
terhadap jalannya proses hukum oleh apparat penegak
hukum. Dengan demikian kontrol atau pengawasan
bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas,
dengan perubahan dalam masyarakat. Dari sudut sifatnya
lembaga kontrol bersifat preventif atau represif. Lembaga
kontrol bersifat preventif merupakan usaha pencegahan
terhadap terjadinya gangguan kepastian dan keadilan.
Sedang Lembaga kontrol bersifat represif bertujuan untuk
mengembalian keserasian hukum dengan masyarakat.

198 Varia Peradilan No. 122 Tahun 1999, hal. 146.


199 Achmad Sodiki, Op. Cit.
200 Mardjono Reksodiputro,Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan

Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal. 81.
201 Fredman, Op. Cit.

111
Dengan demikian pembenahan struktur hukum dapat
melalui penguatan kelembagaan dengan meningkatkan
sistim kontrol dan profesionalisme aparat penegak hukum
serta melakukan sinkronisasi antar lembaga penegak
hukum dengan selalu memperhatikan kemajemukan
budaya masyarakat Indonesia.
(3) Budaya Hukum
Mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat:
“The third component of legal system, of legal culture. By
this we mean people’s attitudes toward law and legal
system their belief …in other word, is the climinate of social
thought and social force wicch determines how law is used,
avoided, or abused”.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang
merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum
aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk
menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik
apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat
dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum
tidak akan berjalan secara efektif.202
Komponen budaya hukum, di mana komponen ini
sangat menentukan sekali dalam upaya penegakan
hukum (law enforcement). Ada kalanya penegakan hukum
pada suatu komunitas masyarakat sangat baik, karena
didukung oleh kultur yang baik melalui partisipasi
masyarakat (public participation). Pada masyarakat seperti
ini, meskipun komponen struktur dan substansinya tidak
begitu baik hukumnya akan tetap jalan dengan baik.
Begitu pula sebaliknya, jika tidak ada dukungan dari
masyarakat, sebaik apapun struktur dan substansi aturan
tersebut, hasilnya tetap tidak akan baik dalam penegakan
hukum. Ross menyatakan bahwa hukum tidak lebih dan
tidak kurang hanyalah salah satu saja dari sekian banyak
sarana kontrol sosial dengan sifat yang paling
terspesialisasi dan tergarap.203

202 Fredman, Op. Cit.


203 Ibid, hal. 256.

112
Budaya hukum (komponen kultural) suatu sistem
hukum mencakup sikap dan nilai-nilai yang menentukan
bekerjanya sistem hukum itu. Budaya hukum berfungsi
sebagai jiwa atau motor yang menggerakkan suatu
peraturan agar dapat bekerja dalam masyarakat. Secara
antropologi hukum, sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat menjadi dua, yaitu hukum Negara (state law),
seperti hukum perundang-undangan dan hukum
kebiasaan (non state law) seperti hukum adat. Dalam
kehidupan sehari-hari kedua sistem hukum itu saling
berinteraksi yang tampak pada perilaku seseorang
maupun kelompok.204
Budaya hukum (Legal Culture) meliputi pandangan,
kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai
pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum
yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu
adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana
hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan
menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang
ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam
tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-
praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan
kemauan dan tidak kemauannya untuk mengajukan
perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam
menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar
praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan
lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum
mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-
perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak
sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.205
Budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap
dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan
lembaganya, baik secara positif maupun negatif. Jika
masyarakat mempunyai nilai-nilai yang positif, maka
hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif,
masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan
bahkan menganggap hukum tidak ada. Membentuk

204 Lawence M Friedman, The Legal System : A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation,
New York, 1975.
205 Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan

Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994, hal. 81.

113
undang-undang memang merupakan budaya hukum,
tetapi mengandalkan undang-undang untuk membangun
budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat
pada norma hukum adalah jalan pikiran yang setengah
sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum
secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar
hukum.206
Berdasarkan teori sistem hukum oleh Lawrence Fredman,
penegakkan konsep lembaga Praperadilan dalam pembaharuan
hukum sistem Peradilan Militer, dapat dilakukan dengan
memperhatikan :
(1) Pembaharuan Substansi Hukum (Legal Substance)
Pidana Pembaharuan substansi hukum (Legal Substance)
pidana meliputi hukum pidana materiil, formal, dan hukum
pelaksanaanpidana. Pembaharuan sistem substansial ini
bermula dari hukum pidana materiil, hukum formil, serta
pelaksanaannya dimana terkandung nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, termasuk diantaranya pembaharuan
KUHP (sektor perundang-undangan).Dasar pembaharuan
sistem substansial hukum di Indonesia adalah UUD
Negara RI tahun 1945 (konstitusi), UUD Negara RI tahun
1945 menjadi prinsip atau parameter dalam pembentukan
undang-undang baru, sekaligus menjadi parameter dalam
menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 dan 74 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
disimpulkan bahwa Penyidik Polisi Militer dan Oditur Militer,
melaksanakan Penyidikan atas perintah dari Atasan yang
berhak menghukum (Ankum). Kewajiban untuk
melaporkan hasil Penyidikan kepada Ankum merupakan
fungsi pengawasan atau kontrol secara internal yang
dilakukan oleh Ankum terhadap Penyidik.
Pengawasan terhadap kewenangan penahanan oleh
Ankum dan Papera dalam proses penyidikan perkara
pidana belum diatur dalam Undang-Undang Peradilan
Militer, sehingga tidak ada pengawasan atau kontrol baik
internal maupun eksternal secara horisontal untuk
menjamin penegakkan hak azasi manusia yang dimiliki
oleh anggota militer yang berstatus sebagai Tersangka.

206 Ibid, hal. 82.

114
Hak Azasi Manusia diatur dalam konstitusi. Hal ini jelas
tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal
28 D ayat (1). Pengakuan akan prinsip dasar tersebut,
setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asasi
manusia. Kesadaran akan adanya hak asasi manusia
tumbuh dari pengakuan manusia sendiri bahwa mereka
adalah sama dan sederajat.207
Lembaga praperadilan bertujuan untuk memantap-
kan pengawasan terhadap pemeriksaan tindak pidana
khususnya pada tahap penyidikan dan penuntutan, serta
untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dari
tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.
Terbentuknya lembaga praperadilan menurut Pedoman
Pelaksanaan KUHAP disebutkan : mengingat demi
kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya
pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi Tersangka,
namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar
ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka untuk
kepentingan pengawasan terhadap hak asasi, Tersangka/
Terdakwa diadakan suatu lembaga pra peradilan.208
Sistem Peradilan Militer memberikan kewenangan
kepada para Ankum dan Papera untuk ikut bertanggung
jawab menegakkan keadilan di lingkungan Peradilan Militer
namun dalam prakteknya telah terjadi pelanggaran dan
kesalahan oleh para Ankum dan Papera dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai bagian
dari law enforcement agency hingga terjadi pelanggaran
terhadap hak-hak azasi dari pelaku tindak pidana
(Tersangka) dalam melakukan upaya paksa / penahanan.
Terkait dengan teori penegakan hukum dan dalam
rangka pembaharuan subtansi sistem hukum di lingkungan
Peradilan Militer, maka Subtansi Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Militer (KUHAPMIL) juga dilakukan
pembaharuan yaitu memberikan jaminan terlindunginya

207Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hal. 129.


208Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan dalam Teori dan Praktek,
Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 16.

115
hak-hak pelaku tindak pidana (Tersangka) sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI
tahun 1945, yaitu dengan adanya peraturan/regulasi
mengenai pengawasan atau kontrol (semacam lembaga
Praperadilan) secara tersendiri, baik internal maupun
eksternal secara horisontal untuk menjamin penegakan hak
azasi manusia yang dimiliki oleh anggota militer yang
berstatus sebagai Tersangka. Dalam hal ini perlu
menambahkan pasal yang mengatur tentang Lembaga
Praperadilan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1997, dengan tujuan adanya payung hukum untuk
menegakkan hukum dan melindungi hak asasi Tersangka/
Terdakwa dalam proses penyidikan dan penuntutan atau
dengan kata lain payung hukum tersebut merupakan dasar
legalitas bagi para penegak hukum.
Dengan demikian para Tersangka mendapat jaminan
perlindungan hak asasinya ketika menjalani proses hukum
dan para penegak hukum tidak ada keraguan ketika
melakukan upaya penyelesaian permasalahan keter-
lambatan surat penahanan bagi diri Tersangka.
Pelaksanaan konsep Praperadilan dalam sistem
Peradilan Militer dilakukan dengan tujuan untuk menegak-
kan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana
pengawasan horizontal sehingga Prajurit terhindar dari
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan
menghindarkan para penegak hukum dalam sistem
Peradilan Militer dari pelanggaran HAM dengan tetap
menjunjung tinggi azas Komando dan Komandan Ber-
tanggungjawab.
Tujuan dan maksud dari praperadilan adalah
meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang
memeriksa dan yang diperiksa. Menempatkan Tersangka
bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas
aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin
perlindungan hukum dan kepentingan asasi.

116
Selain pertimbangan diatas lembaga Praperadilan
dalam sistem Peradilan Militer diperlukan untuk mengontrol,
mengawasi dan melindungi para aparat penegak hukum
(Ankum dan Papera) agar tidak terjerumus pada
pelanggaran Hak Azasi Manusia dan agar hakekat
dibentuknya Peradilan Militer yang didasarkan pada azas
Kesatuan Komando dan Komandan bertanggungjawab
dapat terus ditegakkan. Ankum dan Papera selaku
Komandan sekaligus sebagai bagian dari Law enforcement
agency di lingkungan Peradilan Militer dapat menjalankan
perannya sesuai dengan undang-undang.
(2) Pembaharuan Struktur Hukum (Legal Structure) Pidana.
Pembaharuan Struktur Hukum (Legal Structure) pidana
meliputi sistem kelembagaan, administrasi dan manajemen
dari institusi penegakan hukum berhubungan koordinasi
diantara penegak hukum baik secara nasional, regional,
maupun internasional.209
Pengertian penegakkan hukum dapat diartikan
penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum
dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai
dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan
hukum yang berlaku. Penegakan hukum pidana
merupakan satu kesatuan proses diawali dengan
penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan Terdakwa
dan diakhiri dengan pemasyarakatan Terpidana.210
Dalam hal ini Undang-undang harus memberikan
jaminan kewenangan kepada lembaga penegak hukum,
sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan pengaruh-pengaruh lain, agar hukum dapat berjalan
atau tegak diperlukan aparat penegak hukum yang
kredibilitas, kompeten dan independen serta adanya
sinergitas para penegak hukum dalam menerapkan
lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer.

209Ngurah Oka, Konsep Pembaharuan Pemidanaan Dalam Rancngan KHUP, https://media.neliti.com/


media/publications/44212-ID-konsep-pembaharuan-pemidanaan-dalam-rancangan-kuhp.pdf.
210 Harun M.Husen, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990,

hal. 58.

117
Terdapat Adagium yang menyatakan “Fiat justicia et
pereat mundus”, meskipun dunia runtuh hukum harus di
tegakan. Hukum tidak dapat berjalan baik atau tegak
apabila tidak ada aparat hukum yang kredibilitas,
kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu
peraturan perundang-undangan namun bila tidak
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka
keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas
aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga
dapat dipertegas bahwa faktor penegakkan hukum
memainkan peranan penting dalam memfungsikan
hukum. Jika peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak
hukum rendah maka akan ada masalah, demikian juga
apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak
hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih
terbuka.211
Struktur hukum (Legal Structure) pada sistem hukum
pidana militer terdiri dari Polisi Militer, Ankum, Oditur Militer,
Papera dan Hakim Militer. Peran penegak hukum (struktur
hukum) sebagai faktor dalam penegakkan hukum menjadi
sangat penting. Dalam pembahuruan hukum pidana militer
dibutuhkan keberanian dan kerjasama penegak hukum
untuk saling mengawasi atau mengontrol meskipun
memang dalam konteks asas hukum pidana militer tidak
mengenal Praperadilan. Namun dalam pemikiran hukum
progresif diperlukan penegak hukum yang mampu
melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat, apabila
lembaga praperadilan dapat diterima oleh para pihak,
maka hal itu lebih baik agar dapat menjamin hak azasi
Tersangka dan menghindarkan para penegak hukum dari
pelanggaran HAM.

211 Ahmad Bahiej, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Telaah atas Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syari'ah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 29 Desember 2003.

118
Keberadaan lembaga Praperadilan dalam Sistem
Peradilan Militer merupakan konsep yang diadopsi dari
KUHAP untuk memberikan keseimbangan hak yang sah
dan legal kepada Tersangka yang diperiksanya dengan
jajaran Aparat Penegak Hukum.
Dengan adanya keseimbangan fungsi hukum
tersebut dalam sistem Peradilan Militer di Indonesia maka
secara tidak langsung fungsi hukum tersebut (dalam hal ini
lembaga kontrol) telah memberikan penguatan fungsi
struktur hukum dalam sistem Peradilan Militer di Indonesia
dalam hal ini peran Ankum dan Papera. Penguatan
tersebut adalah mengembalikan peran Ankum dan Papera
sebagai Komandan yang bertanggungjawab terhadap
anak buahnya. Sebagaimana diketahui bersama Ankum/
Papera mempunyai peranan besar dan sentral dalam
melakukan pembinaan kepada prajuritnya termasuk
menyerahkan perkara pidana prajuritnya kepada penyidik
POM untuk diproses hukum sekaligus melakukan
penahanan, sehingga dengan adanya penguatan fungsi
Ankum/ Papera maka pola pembinaan personel oleh
Ankum/ Papera selaku Komandan satuan lebih terukur.
Adanya sistem hukum yang baik dengan
mengembalikan fungsi kontrol terhadap Ankum/Papera
maka terjadi keseimbangan hukum antara atasan dan
bawahan dimana satu sisi atasan melakukan pembinaan
terhadap bawahannya secara terukur dan disisi lain
bawahan mendapatkan perlindungan hukum dari adanya
lembaga kontrol terhadap atasannya tersebut. Prinsip
perlindungan hukum ini di Indonesia bertumpu dan
bersumber terhadap adanya pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, adanya
Lembaga Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer di
Indonsia telah sesuai dengan yang di cita-citakan dalam
sistem Negara Hukum yaitu adanya perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia bagi setiap warga

119
negaranya. Perlindungan Hak Asasi Manusia ini terlihat
adanya perlindungan hak asasi terhadap militer/prajurit TNI
yang menjadi tersangka dalam menjalankan proses
hukum dan adanya perlindungan hukum kepada
Ankum/Papera agar tidak melakukan pelanggaran hak
asasi manusia sehingga terjadinya keseimbangan dan
keserasian fungsi hukum.
Sebagaimana diketahui bersama baik dari
pembahasan sebelumnya dan hasil penelitian diketahui ada
persoalan dalam proses penegakan hukum dalam sistem
Peradilan Militer di Indonesia berupa ditemukannya tidak
adanya atau terlambatnya Surat Perintah Penahanan
dari Ankum/Papera. Dari hasil penelitian di wilayah hukum
Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya terhadap beberapa
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Militer Surabaya
dan diperkuat kembali dengan penelitian pada wilayah
hukum Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta terhadap
beberapa narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Militer
di Bandung, ternyata persoalan tidak adanya surat
penahanan atau terlambatnya Surat Perintah Penahanan
dari Ankum dan/atau Papera masih ditemukan. Meskipun
masalah penahanan atau pelaksanaan penahanan dapat
saja dilakukan dengan upaya paksa yang dilakukan oleh
Penyidik atas perintah Ankum, namun karena penahanan
merupakan wujud dari perampasan kemerdekaan
seseorang maka erat kaitannya dengan Hak Azasi
Manusia.
Adanya persoalan Penahanan tersebut menunjukkan
tidak adanya sinergitas diantara para penegak hukum di
lingkungan Peradilan Militer yaitu Ankum, Papera, POM,
Oditur Militer, dan Hakim Militer karena kewenangan
penahanan oleh Ankum dan/atau Papera tersebut tidak
lepas dari saran pendapat Penyidik POM atau Oditur
Militer, namun pengawasan penahanan tersebut tidak ada.

120
Dengan adanya Lembaga Praperadilan dalam sistem
Peradilan Militer di Indonesia diharapkan persoalan tidak
adanya atau teralambatnya Surat Perintah Penahanan
tidak ditemukan lagi karena sudah ada keserasian atau
sinergitas diantara Aparatur Penegak Hukum sehingga
tercipta iklim penegakan hukum yang harmonis
sebagaimana yang dicita-citakan bersama dalam
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan
kepastian hukum.
(3) Pembaharuan Budaya Hukum (Legal Culture) Pidana
Pembaharuan budaya hukum pidana ini menekan-
kan pada perubahan kultur, moralitas, dan perilaku
(perilaku taat hukum dan kesadaran mentaati hukum),
serta pendidikan hukum serta ilmu hukum yang mengiringi
pelaksanaan hukum tersebut.
Penempatan lembaga Praperadilan dalam sistem
Peradilan Militer, diharapkan dapat memenuhi aspirasi
masyarakat militer dalam hal ini Tersangka/Terdakwa
akan mendapat jaminan perlindungan hak azasi manusia
ketika ia harus berhadapan dengan hukum terutama
mengenai perampasan kemerdekaan (penahanan) dan
bagi aparat penegak hukum yaitu Ankum/Papera dapat
terhindar dari pelanggaran HAM, sehingga nantinya akan
mengubah budaya masyarakat militer dalam mengaplikasi
kan hukum acara peradilan militer karena telah adanya
lembaga Praperadilan.
Lembaga Peradilan adalah wujud konkret dari sistem
hukum, karena di dalam lembaga peradilan komponen-
komponen dari sistem hukum baik struktur, substansi dan
kultur tidak akan mungkin terpisah atau dengan kata lain
adalah satu kesatuan. Jika terdapat pelanggaran norma
atau peraturan yang kita namakan substansi hukum,
sebagai akibat dari dampak hukum karena kultur/
kesadaran masyarakat yang rendah atas hukum, maka
struktur hukum akan menerapkan sanksi atas pelanggaran
norma tersebut dalam proses peradilan yang menghasil-
kan suatu putusan pengadilan.212

212Jimmy Yansen, Penerapan Norma Hukum Di Lembaga Peradilan, https://www. academia.

121
Demikian halnya dengan pembenahan struktur
dalam sistem Peradilan Militer dapat dilakukan melalui
penguatan kelembagaan dengan meningkatkan sistem
kontrol dan profesionalisme aparat penegak hukum serta
perlu adanya sinergitas para aparat penegak hukum
dalam mentaatinya dengan tetap memperhatikan budaya
militer.
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat
atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide
yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk menjamin
tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat
kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan
ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan,
melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah
hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan
kata lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (Law
Enforcement) yang baik.213 Jadi bekerjanya hukum bukan
hanya merupakan fungsi perundang-undangannya
belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya.214
Dengan adanya konsep Praperadilan dalam sistem
Peradilan Militer maka akan muncul perubahan budaya
hukum baru, yang mana selama ini pelanggaran yang
dilakukan oleh para penegak hukum dalam hal ini
keterlambatan dalam menerbitkan surat penahanan,
sehingga penahanan yang telah dijalani oleh para
Tersangka tidak diperhitungkan dalam pengurangan
hukuman karena tidak ada bukti formilnya, tidak pernah
ada teguran atau sanksi karena tidak ada sistem kontrol
atau pengawasan maka pihak yang dirugikan (Tersangka)
tidak dapat melaporkan keadaan tersebut, padahal
pelanggaran yang dilakukan oleh para penegak hukum
tersebut identik dengan pelanggaran HAM Tersangka.

edu/37265637/Teori_ sistem_hukum,
213 Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2003,

hal. 40.
214 Achmad Ali, Op. Cit, hal. 97.

122
Keberadaan lembaga Praperadilan sebagai kontrol/
pengawasan secara eksternal horizontal maka budaya
tersebut akan berubah demi tercapai fungsi hukum
sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik,
hukum bukan hanya dalam arti kaidah atau peraturan,
melainkan juga adanya jaminan dalam praktek hukum,
atau dengan kata lain, penegakan hukum (Law Enfor-
cement) dapat berjalan dengan baik.
2) Implikasi keberadaan lembaga Praperadilan terhadap kedudukan
Asas-asas Peradilan Militer di lingkungan Peradilan Militer
Hukum Acara pada Peradilan Militer yang diatur dalam Undang-
undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer disusun
berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai
konsepsi Hukum Acara Pidana Nasional yang antara lain tertuang
dalam Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 dan konsepsi Hukum
Acara Tata Usaha Negara yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 dengan berbagai kekhususan acara yang
bersumber dari asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata.
Kekhususan yang bersumber dari asas dan ciri-ciri tata
kehidupan Angkatan Bersenjata yang mempengaruhi terbentuknya
Peradilan Militer meliputi Asas Kesatuan Komando, Asas Komandan
bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan Asas Kepentingan
Militer. Asas ini muncul dilatarbelakangi adanya suatu keadaan
dimana seorang Komandan yang sedang melaksanakan tugas
operasi tidak mengetahui anak buahnya ditahan oleh Polisi Militer
karena diduga melakukan suatu tindak pidana. Oleh karenanya,
mengingat Komandan memerlukan anak buahnya untuk
melaksanakan tugas operasi, maka diperlukan asas Kesatuan
Komando, asas Komandan bertanggungjawab terhadap anak
buahnya, dan asas Kepentingan Militer.215
Ketentuan Praperadilan tidak diatur dalam Undang-undang RI
Nomor 31 Tahun 1997, hal ini patut dipahami bahwa ada suatu
anggapan bahwa gugatan Praperadilan merupakan sikap koreksi

215
Penjelasan Umum Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Sekretariat
Umum Mabers TNI, Jakarta, 1999, hal. 290.

123
dan tidak percaya kepada atasan atau Komandan baik selaku Ankum
atau Papera, sehingga apabila hal tersebut dianut dalam Hukum
Acara Militer akan membawa konsekuensi bawahan berhadapan
dengan atasan yang dapat menggoyahkan loyalitas, hierarki dan
disiplin militer serta wibawa komandan.216 Dalam kehidupan
masyarakat militer saat ini perdebatan, sikap pro-kontra dikalangan
militer sendiri bukannya tidak ada. Secara umum pandangan yang
kontra atau yang tidak setuju terhadap keberadaan Praperadilan
melihat pada aspek hirarki kemiliteran dan kepentingan rantai
Komando (Chain of Command) dan Kesatuan Komando (Unity of
Command), sehingga adanya Praperadilan berarti memungkinkan
seorang bawahan menilai, menganalisis dan bahkan mengoreksi hal
ini dipandang sebagai pengingkaran terhadap asas kesatuan dan
rantai komando yang berlaku dalam hirarki kemiliteran. Pihak yang
setuju, adanya Praperadilan akan melihat pada aspek perlindungan
terhadap hak-hak militer/prajurit TNI yang muaranya adalah pada
aspek keadilan dan Hak Asasi Manusia. Bahwa sekalipun dalam
kehidupan masyarakat militer diperlukan adanya kepatuhan dan
ketaatan yang sungguh-sungguh seorang bawahan terhadap
atasan/komandannya dalam menerima atau menjalankan perintah
atau keputusan, tetapi hak-hak seseorang harus tetap mendapat
perlindungan Hak Asasi Manusia.
Dalam perkembangan masyarakat militer saat ini justru asas
Kesatuan Komando yang selama ini diterapkan dalam kehidupan
militer sering disalahartikan dan dibuat Strict atau kaku seolah-olah
anak buahnya harus patuh dan taat pada pimpinan, sehingga apapun
perlakuan yang diterapkan oleh Ankum/Papera terhadap anak
buahnya tidak boleh dibantah termasuk kesewenang-wenangan
dalam penahanan. Hal ini sesuai dengan doktrin pada Sapta Marga
kelima yaitu :
“Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia memegang teguh
disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi
sikap dan kehormatan Prajurit”.

216Jawaban Pemerintah Terhadap Pandangan Umum Fraksi-Fraksi ABRI dalam Pembahasan


Rancangan Undang-undang Peradilan Militer dan Keodituratan Militer tanggal 4 Maret 1997.

124
Selanjutnya Sumpah Prajurit ketiga yaitu :
“Bahwa saya taat kepada atasan dengan tidak membantah
perintah atau putusan”.
Sapta Marga dan Sumpah Prajurit merupakan sebuah sistem nilai
kehidupan prajurit TNI. Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai
sistem nilai dalam kehidupan prajurit TNI cenderung digunakan
sebagai suatu bentuk indoktrinasi terhadap prajurit yang melahirkan
doktrin superioritas atasan terhadap bawahan sehingga membentuk
suatu karakteristik kehidupan prajurit TNI yang bersifat satu arah,
rigid, dan statis sehingga bawahan dianggap sebagai alat yang hanya
melaksanakan perintah (siap laksanakan) dan tidak boleh menilai apa
yang diperintahkan oleh atasan (atasan tidak pernah salah). Hal
tersebut di atas diakibatkan oleh kurangnya pemahaman terhadap
esensi dari Sapta Marga dan Sumpah Prajurit itu sendiri.
Pemahaman akan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sering kali
hanya diambil bagian per-bagian saja yang justru menyebabkan
sistem nilai keprajuritan yang terkandung dalam pedoman hidup
prajurit tersebut menjadi terpisah-pisah.217
Dampak yang ditimbulkan dari indoktrinasi dan kurangnya
pemahaman tersebut, maka praktek yang terjadi dalam masyarakat
militer sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa
kesewenangan Atasan dalam melakukan penahanan dilakukan
tanpa adanya atau keterlambatan Surat Perintah sehingga
Tersangka yang ditahan tersebut merasa dirampas hak-haknya dan
tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan pada saat bawahannya
ditahanpun, Ankum dan Papera kadang tidak tahu menahu ditahan
di mana, kapan dan sampai kapan ditahan karena kesibukannya.
Undang-undang mengatur bahwa Komandan (Ankum/Papera)
memiliki kewenangan melakukan penahanan kepada anak buahnya
yang diduga melakukan tindak pidana, namun pelaksanaanya
konsep penahanan itu berdasarkan pengusulan dari penyidik POM
atau Oditur Militer berdasarkan hasil penyidikannya dan harus
mendapatkan persetujuan dari Komandan melalui surat perintah
penahanan. Dengan demikian Komandan sebenarnya tidak
mengetahui secara pasti apakah anak buahnya perlu ditahan atau

217Dikutip dari Disertasi Mulyono, berjudul Perlindungan Hukum Prajurit TNI Terhadap Keputusan
Pejabat Tata Usaha Militer Ditinjau Dari Prinsip Persamaan Hak Untuk Dilindungi, Program Doktor Universitas
Jayabaya, Jakarta, hal. 308.

125
tidak, terkadang Komandanpun menjadi tidak peduli kepada anak
buahnya manakala anak buahnya diduga melakukan tindak pidana
sehingga menyerahkannya begitu saja kepada penyidik POM untuk
diproses hukum lebih lanjut. Persoalan lain yang muncul, Ankum/
Papera lebih mengutamakan peran Komandannya ketimbang
perannya sebagai salah satu law enforcement agency pada sistem
Peradilan Militer di Indonesia.
Bahwa perlu adanya koridor dan tempat yang tepat bagi
seorang Atasan menggunakan fungsi komandonya kepada anak
buahnya termasuk dalam hal penahanan, mengingat prajurit TNI
yang sudah terdidik menjadi seorang militer sudah terdoktrin untuk
taat dan patuh pada Atasan. Penulis juga memaknai bahwa asas-
asas Kesatuan Komando, Asas Komandan bertanggungjawab
terhadap anak buahnya dan Asas Kepentingan Militer harus
didasarkan pada prosedur dan ketentuan yang telah diatur dalam
peraturan-peraturan yang berlaku. Sehubungan tanggung jawab
Komandan terhadap anak buahnya tersebut justru Komandan harus
mengetahui di mana, kapan dan sampai kapan ditahan anak
buahnya tersebut serta tidak melakukan kesewenangan dalam
melakukan penahanan kepada anak buahnya tersebut.
Mulyono, dalam disertainya berpendapat bahwa budaya hukum
dari pimpinan haruslah dapat dinamis sebagai wujud kepedulian
terhadap hukum sehingga pimpinan TNI (Pejabat Tata Usaha Militer)
dapat lebih bijak dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Militer
tanpa mengesampingkan kepentingan pertahanan dan tidak
menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap prajurit bawahan.
Selain itu, pemahaman mengenai doktrin dan asas-asas dalam tata
kehidupan militer yang telah membentuk suatu indoktrinasi bahwa
atasan tidak pernah salah, pada hakikatnya usaha Militer dihadapkan
dengan tata kehidupan militer di bawah adalah merupakan hal yang
salah kaprah.218
Filosofi pembentukkan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun
1997 mengapa Penahanan terhadap prajurit TNI yang diduga telah
melakukan tindak pidana berada pada kewenangan Atasan atau
Komandan prajurit yang bersangkutan (Ankum dan Papera), hal ini
merupakan konsekwensi dari Asas Kesatuan Komando, Asas
Komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan Asas

218 Moelyono, Op. Cit., hal. 312.

126
Kepentingan Militer. Asas-asas tersebut menghendaki bahwa demi
kepentingan militer setiap Atasan atau Komandan (Ankum dan
Papera) wajib mengetahui keberadaan dan keadaan anak buahnya.
Dengan demikian karenya jika anak buahnya melakukan kejahatan
maka Atasan atau Komandan tersebut bertanggungjawab untuk
memperbaikinya, apakah akan ditahan atau tidak. Polisi Militer yang
melakukan penangkapan seorang prajurit TNI yang diduga
melakukan kejahatan wajib segera melaporkannya kepada Atasan
atau Komandan prajurit yang bersangkutan.
Oleh karenanya dalam sistem Peradilan Militer sebagaimana
telah diuraikan di atas fungsi Ankum juga selaku Penyidik (meskipun
dalam pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh Polisi Militer), hal ini
adalah agar Ankum dapat mengetahui anggota bawahannya
melakukan kesalahan apa, ditahan di mana, kapan dan sampai
kapan, atau dengan kata lain pengendalian penyidikan berada di
Ankum/Papera dari prajurit yang bersangkutan.
Mendasari Asas-asas tersebut berarti begitu besar tanggung
jawab seorang Atasan atau Komandan terhadap anak buahnya maka
sudah seharusnya para Atasan atau Komandan serius dan
bersunguh-sungguh dalam menjalankannya tanggungjawabnya
tersebut, salah satunya dalam pemberian Surat Perintah Penahanan
yang sering diabaikan karena kesibukan tugas-tugas dinasnya yang
lain. Seolah-olah para Atasan atau Komandan tidak peduli
bagaimana dan di mana keberadaan anak buahnya, yang tanpa
disadari akibat dari kelalaian para Atasan atau Komandan teserbut,
membuat penahanan yang telah dijalani oleh anak buahnya menjadi
tidak sah menurut hukum bahkan telah melanggar HAM anak
buahnya (Tersangka).
Perkembangan masyarakat militer untuk melindungi hak-hak
prajurit yang sedang diperiksa dan menghindari penahanan yang
sewenang-wenang atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-
undang dari Aparat Penegak Hukum, maka Penulis berpendapat
bahwa lembaga kontrol terhadap Aparat Penegak Hukum seperti
lembaga Praperadilan menjadi sangat penting dalam Sistem
Peradilan Militer di Indonesia.
Dengan adanya pengaturan Praperadilan sebagai kontrol
terhadap Aparat Penegak Hukum maka kedudukan Asas Kesatuan
Komando, Asas Komandan bertanggungjawab terhadap Anak

127
Buahnya dan Asas Kepentingan Militer dapat dijalankan dengan lebih
baik dan benar dengan mengetahui dan peduli keberadaan anak
buahnya, ditahan atau tidak, kapan dan sampai kapan ditahan, atau
di mana tahan sehingga pelaksanaan tugas dapat dilaksanakan
secara tepat. Komandan yang bertanggungjwab terhadap anak
buahnya maka Komandan tersebut terhindar dari kesewenang-
wenangan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia sehingga Asas
Pengadilan Militer mampu mengontrol para Komandan dalam
menjalankan fungsinya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kedudukan asas-asas Peradilan Militer yaitu asas Kesatuan
Komando, asas Komandan bertanggungjawab terhadap anak
buahnya, dan asas Kepentingan Militer setelah diaturnya lembaga
Praperadilan dalam Sistem Peradilan di Indonesia tetap ada dan
justru sejalan dengan pembaharuan hukum yang akan dibangun
karena Komandan akan menjalankan tugas dan tanggungjawabnya
dengan benar. Dengan demikian asas-asas Peradilan Militer ini akan
sejalan pula dengan cita-cita yang ingin diwujudkan untuk
menegakan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum
karena dapat memberikan perlindungan hukum terhadap warga
negaranya termasuk militer/prajurit TNI yang sama-sama kedudukan-
nya sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai hak yang
sama di depan hukum.
3) Implikasi Praperadilan dalam sistem Peradilan Pidana Dilingkungan
Peradilan Militer Terhadap Kedudukan Ankum dan Papera.
Kedudukan Ankum dan Papera dalam konsep lembaga
Praperadilan yang akan dibangun dalam Sistem Peradilan Militer di
Indonesia adalah perlu menjadi perhatian, karena keberadaan
lembaga keankuman dan lembaga kepaperaan adalah merupakan
ciri khas atau kekhususan dari Peradilan Militer.
Ankum dan Papera merupakan pejabat yang ditunjuk oleh
undang-undang untuk melaksanakan kewenangannya. Ankum
mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin yang
dilakukan oleh prajurit TNI yang berada di bawah wewenang
Komandonya,219 sedangkan Papera berwenang menentukan suatu
perbuatan pidana yang dilakukan prajurit di bawah Komandonya

219Dalam Buku Petunjuk Teknis Nomor Kep/428/V/2016 tanggal 23 Mei 2016 tentang Kewenangan
Papera dan Ankum Di lingkungan TNI AD.

128
apakah harus diserahkan kepada Pengadilan yang berwenang,
menutup perkara demi kepentingan hukum atau umum/militer atau
menyelesaikan melalui hukuman disiplin, sehingga memberikan
konsekuensi juga kepada Papera berwenang memerintahkan
Penyidik untuk melakukan penyidikan, menerima laporan tentang
pelaksanaan penyidikan bahkan memerintahkan dilakukannya upaya
paksa.
Pada Pasal 78 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997,
Ankum dan Papera diberikan kewenangan penahanan terhadap
Tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang
Komandonya, kewenangan mana untuk paling lama 20 (dua puluh)
hari, dan apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat
diperpanjang oleh Papera yang berwenang dengan keputusannya
untuk setiap kali 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180 (seratus
delapan puluh) hari.
Berdasarkan uraian fungsi dan wewenang Ankum dan Papera
tersebut, maka jelas peran Ankum dan Papera memiliki kedudukan
yang sentral dalam pembinaan prajurit di Satuannya dimana Polisi
Militer dan Oditur Militer tidak berwenang melakukan penahanan
terhadap Tersangka, penahanan hanya dilakukan oleh Komandan
satuan Tersangka dan dapat diperpanjang oleh Atasan Komandan
selaku Papera. Dalam prakteknya penahanan oleh Ankum dan
perpanjangan penahanan oleh Papera terhadap anggota bawahan-
nya muncul permasalahan yang dapat menimbulkan pelanggaran
HAM.
Dalam Buku Petunjuk Teknis Penyidikan di lingkungan TNI,
pertimbangan penahanan terhadap Tersangka dilakukan dengan
pertimbangan sebagai-berikut :220
a) Berdasarkan hasil pemeriksaan, Tersangka diduga keras telah
melakukan/percobaan melakukan/membantu melakukan tindak
pidanan dengan bukti permulaan yang cukup.
b) Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, bahwa
Tersangka :
(1) Akan melarikan diri
(2) Merusak atau menghilangkan barang bukti.

220Buku Petunjuk Teknis Penyidikan Perkara Pidana di Lingkungan TNI, Kep. Panglima TNI Nomor
Kep/1015/ XII/2016 tanggal 5 Desember 2016.

129
(3) Akan mengulangi tindak pidana.
(4) Akan mempersulit jalannya pemeriksaan.
c) Tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 79 ayat (2) Undang-
undang RI Nomor 31 Tahun 1997, yaitu :
(1) Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 3
(tiga) bulan, atau lebih.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 283
ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1),
Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379, Pasal
453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan
Pasal 486 KUHP.
Adanya konsepsi lembaga kontrol atau lembaga Praperadilan
dalam sistem Peradilan Militer di Indonesia diharapkan dapat
memberikan perlindungan HAM Tersangka yang ditahan (dalam hal
ini Tersangka militer/prajurit TNI yang diduga melakukan tindak
pidana), kelalaian penerbitan surat perintah penahanan akan segera
tertanggulangi sehingga penahanan tidak berlarut-larut dijalani tanpa
surat penahanan. Diharapkan tidak ada perlakuan atau tindakan
sewenang-wenangan dari Ankum atau Papera dalam proses
penegakan hukum di lingkungan TNI. Praperadilan dalam sistem
Peradilan Militer dapat membatasi kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum terutama Ankum dan Papera namun konsep
Praperadilan yang akan dibangun dalam sistem Peradilan Militer di
Indonesia tidak mengurangi atau menghapuskan azas-azas yang
telah melekat dan menjadi ciri khas kehidupan militer yaitu azas
Kesatuan Komando, azas Komandan bertanggungjawab terhadap
anak buahnya dan azas Kepentingan Militer sehingga loyalitas dan
disiplin prajurit serta kewibawaan Atasan atau Komandan tetap
terjaga dan terpelihara.
Berdasarkan uraian tersebut maka kedudukan Ankum dan
Papera dalam konsepsi lembaga Praperadilan dapat disimpulkan
sebagai-berikut :
a) Asas Kesatuan Komando, asas Komandan bertanggungjawab
terhadap Anak Buahnya dan asas Kepentingan Militer tetap
melekat dalam konsep lembaga Praperadilan.

130
b) Kedudukan Ankum/Papera tidak tergoyahkan yang memiliki
fungsi sentral dalam pembinaan dan pengawasan terhadap
anak buahnya bahkan kedudukan Ankum dan Papera semakin
terkontrol dalam melaksanakan kewenangan penahanan
sementara terhadap militer/prajurit TNI yang menjadi
Tersangka.
c) Kewibawaan Ankum/Papera sebagai Komandan satuan tetap
terjaga karena tidak kehilangan kewenangannya dalam
melakukan penahanan terhadap militer/prajurit TNI yang
menjadi Tersangka.
Kedudukan Ankum dan Papera dalam konsep lembaga
Praperadilan yang akan dibangun dalam Sistem Peradilan
Militer di Indonesia adalah perlu menjadi perhatian karena
keberadaan lembaga keankuman dan lembaga kepaperaan
adalah merupakan ciri khas atau kekhususan dari Peradilan
Militer.
J. Penutup
1. Kesimpulan
a. Lembaga Praperadilan perlu mendapatkan tempat dalam sistem Peradilan
Pidana di Lingkungan Peradilan Militer di Indonesia untuk memutuskan
sah atau tidak sahnya penahanan yang dilakukan Ankum/Papera dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
1) Menyelaraskan dengan tujuan hukum yang dicita-citakan yaitu
Keadilan (Gerechtigkeit), Kepastian Hukum (Rechssicsherheit) dan
Kemanfaatan (Zweckmabigkeit) bagi Tersangka prajurit TNI dalam
pembelaanya mempertahankan hak asasinya sebagai warga negara
sehingga Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer dapat mengikuti perkembangan masyarakat militer
terhadap persoalan penahanan tersebut oleh Komandannya.
2) Asas Kesatuan Komando dan Asas Komandan bertanggung jawab
terhadap anak buahnya harus dijalankan dengan baik dan benar
sehingga Komandan mengetahui apakah anak buahnya ditahan atau
tidak, kapan ditahan atau sampai kapan, dan dimana ditahan, atau
Komandan peduli dan bertanggung jawab terhadap anak buahnya
yang sedang menjalani proses hukum. Prinsipnya adalah lembaga

131
Praperadilan yang akan dibangun dalam sistem Peradilan di
Indonesia tidak mengurangi loyalitas dan disiplin prajurit TNI serta
kewibawaan Komandan.
3) Lembaga Praperadilan akan memberikan perlindungan kepada
Komandan (Ankum/Papera) agar tidak melanggar Hak Asasi
Manusia dan melindungi kepentingan hak asasi prajurit TNI yang
sedang melaksanakan proses hukum.
4) Lembaga Praperadilan mencerminkan bahwa prajurit TNI juga
merupakan warga Negara Indonesia yang harus dilindungi hak
asasinya mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum
(Equality Before The Law).
5) Lembaga Praperadilan merupakan terobosan pembaharuan Hukum
Acara Pidana Militer sebagai suatu upaya melakukan peninjauan dan
penataan kembali (reorientasi dan dekonstruksi) Hukum Acara
Pidana Militer yang sesuai perkembangan masyarakat militer sebagai
bagian dari pembangunan hukum nasional sehingga Undang-
undang Peradilan Militer sesuai dengan semangatnya dalam
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum.
b. Konsepsi Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer di Indonesia secara
umum sama dengan lembaga Praperadilan yang diatur oleh KUHAP
adalah :
1) Membangun struktur, substansi, dan kultur Praperadilan dimana
Tersangka dapat mengajukan tuntutan terhadap kesalahan prosedur
dan atau tidak adanya atau keterlambatan Surat Perintah
Penahanan. Struktur, substansi, dan budaya hukum ini diharapkan
akan memenuhi hak-hak Tersangka dalam hal ini militer/prajurit TNI,
untuk mendapatkan keadilan sebagaimana hak dan martabatnya
sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di depan
hukum.
2) Syarat Praperadilan yang dikonsepkan dalam sistem Peradilan Militer
di Indonesia tidak sama seperti di KUHAP dengan memasukkan
semua syarat Praperadilan seperti sah atau tidak sahnya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan,
serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

132
Hal ini disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat
Militer, dimana konsepsi Praperadilan dalam sistem Peradilan Militer
hanya mensyaratkan tentang sah atau tidak sahnya penahanan,
karena permasalahan penahanan sering dijumpai pada praktek
penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Militer di Indonesia
dimana Ankum atau Papera sering melakukan penahanan kepada
Tersangka secara sewenang-wenangan seperti menahan tanpa ada
atau keterlambatan Surat Perintah yang merupakan sebagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
3) Pelaksanaan Praperadilan dilaksanakan oleh Pengadilan Militer
Tinggi di wilayah hukum penahanan dilakukan dan mengingat Ankum
atau Papera yang mengeluarkan Surat Perintah Penahanan adalah
berpangkat Perwira Menengah (Mayor ke atas), sehingga setidaknya
Hakim yang memeriksa dan menyidangkan adalah berpangkat sama
dengan pangkat yang disidangkan. Sidang dipimpin dengan Hakim
Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Militer Tinggi dan
dibantu oleh seorang Panitera Pengganti.
4) Orang yang berhak mengajukan Praperadilan (dalam hal sah atau
tidak sahnya penahanan) adalah Tersangka, keluarga atau kuasa
hukumnya.
5) Pembaharuan hukum mengatur lembaga Praperadilan dalam
Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia dilaksanakan dengan
menata ulang (reorientasi dan dekonstruksi) Hukum Acara Peradilan
Militer ke dalam suatu konsep dengan cara menambah Pasal
Pengertian tentang Praperadilan dalam Bab I Ketentuan Umum dan
menambah BAB khusus tentang Praperadilan meliputi syarat
Praperadilan, wewenang Pengadilan Militer Tinggi dengan Hakim
tunggal, yang berhak mengajukan permintaan Praperadilan,
ketentuan hukum acaranya, dan Praperadilan tidak dapat dimintakan
Banding.
c. Adanya Praperadilan dalam Sistem Peradilan Militer akan berdampak dan
berimplikasi kepada :
1) Terwujudnya penguatan struktur hukum (Ankum dan Papera) karena
kembalinya fungsi kontrol dalam penegakan hukum sehingga Ankum
dan Papera terhindar dari pelanggaran Hak Asasi Manusia.

133
2) Terwujudnya aspek perlindungan hukum terhadap militer/prajurit TNI
yang menjadi Tersangka karena sudah ada kontrol terhadap
kesewenangan atau diskriminasi Ankum/Papera dalam penahanan
terhadap dirinya.
3) Terwujudnya pembinaan personel secara baik dan lebih terukur oleh
Ankum dan Papera selaku Komandan satuan.
4) Terciptanya iklim atau budaya baru (culture) terhadap pelaksanaan
sistem penegakan hukum di lingkungan Peradilan Militer yang lebih
harmonis dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia sebagai ciri
dari sebuah Negara hukum.
2. Saran
a. Untuk menjamin penegakan hukum dalam lingkungan TNI dan agar dapat
segera diberlakukan Praperadilan dalam sistem peradilan pidana di
lingkungan Perdilan Militer maka Pemerintah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera melakukan perubahan atau revisi
terhadap Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer guna memasukan BAB atau Pasal-pasal yang mengatur tentang
Praperadilan, sehingga Praperadilan di lingkungan Peradilan Militer akan
memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan menjadi pedoman bagi
aparat penegak hukum di lingkungan Peradilan Militer dan para pencari
keadilan.
b. Sambil menunggu perubahan atau revisi Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Mahkamah Agung sebagai Badan
Peradilan tertinggi di Indonesia perlu mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) tentang Praperadilan dalam sistem peradilan pidana di
Lingkungan Peradilan Militer agar dapat dijadikan sebagai dasar atau
payung hukum bagi para penegak hukum di Lingkungan Peradilan Militer
di Indonesia dan para pencari keadilan.
c. Diadakannya sosialisasi tentang Praperadilan dalam sistem peradilan
pidana di Lingkungan Peradilan Militer terhadap masyarakat Indonesia
khususnya keluarga besar TNI dan diperlukan segera melakukan
sinkronisasi dan sinergitas implementasi Praperadilan dalam Sistem
Peradilan Pidana di Lingkungan Peradilan Militer oleh para Penegak
hukum di Lingkungan Peradilan Militer.

134
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Edisi Kedua. Jakarta, 2015.

Anang Priyanto, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2012. Ansorie
Sabuan, Hukum Acara Pidana. Bandung, Angkasa, 2004.

Anthon Freddy Susanto, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang


Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refiika
Aditama, Bandung, 2004.

Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theori) dan Teori Keadilan (Judicial Prodence),
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta 2009.

Arif Fakrulloh, Zudan, Metoda Penelitian Hukum. Handout, 2007.

Arief Budiman, Teori Negara : Negara Kekuasaan, dan Ideologi, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2006.

Bagir Manan, Sistem Peradilan Beribawa (Suatu Pencarian), FH UII Press, Yogyakarta,
2005.

Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007.

,Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Edisi


Revisi), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Bernard L. Tanya, Penegakkan Hukum : Dalam Terang Etika, Genta Publising,


Yogyakarta, 2011.

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Hukum : Sebuah Penelitian tentang
Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Bintan Saragih Kusnardi, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945,
Gramedia, Jakarta, 1978.

Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh West Group, St. Paul, Minn.

Bismar Siregar, Kata Hatiku Tentangmu, Diandra Press, Jakarta, 2008.

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, 2004.

Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, PT. Rafika Aditama,
Bandung, 2005.

135
Charles A. Shanor & L. Lynn Hogue, National Security and Military Law. St. Paul :
Thomson West, 2003.

Damang Averoes Al Khawarizmi, Hukum Pidana Formil dalam Hak Asasi Manusia,
November, 2011.

Darwint Prints, Hukum Acara Pidana; Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, 1989. Esmi
Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama,
Semarang, 2004.

Faal. M. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Deskresi Kepolisian), PT. Pradnya
Paramita, Jakarta, 1991.

Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Perdilan
Pidana Idonesia.

Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Mandar Maju, Bandung,
2001,

Harun M. Husen, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta,
1990.

, KUHP & KUHAP edisi revisi, Reneka Cipta, cetakan ke tujuh belas, Jakarta, 2011.

Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana (Melalui Pendekatan Hukum


Progresif), Sinar Grafika, Jakarta, 2010,

Henry P. Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta,


Sinar Harapan, 2001.

Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

John Rawls, Teori Keadilan : Dasar-Dasar Filsafat Politik Hukum Mewujudkan


Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Terjemahan : Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Loebby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Kaka Alvian
Nasution, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen Plus Profil Presiden dan
Wakil Presiden 2014-2019, cetakan pertama, Palapa, 2014.

Kurnianto Soetoprawiro, Pemerintah & Peradilan Di Indonesia (Asal-Usul dan


Perkembangan), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Lili Rasdji dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001.

Luhut M.P. Pangaribuan, Pembaharuan Hukum Acara Pidana : Surat-surat Resmi di


Pengadilan oleh Advokat. Djambatan, Jakarta, 2008.

136
Lamintang, P.A.F, KUHP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan
Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru, 1984.

Mahendra Kurniawan dkk, Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif, Kreasi Total
Media. Jogjakarta, 2007.

Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, Citra Aditya Bakti, 2007.

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sitem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995.

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan-Undangan, Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,


Jakarta, S.N. Jakarta, 1992.

Mashudi, Hak Mogok Dalam Hubungan Industrial Pancasila, Bandung, Utomo, 2011.

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Peradilan Pidana Indonesia, Alumni,
Bandung, 2003.

Mohammad Taufik Makaro, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002.

Moeljatno, Hukum Acara Pidana, UGM Press, Yogyakarta, 1981.

Moh. Nazir, Metode Penelitian, Cetakan Keempat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1999.
Mukthie Fadjar., A, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publishing, Malang, 2005.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penganggulangan Kejahatan, Kencana Prenadamedia Group,
Jakarta, 2001.

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985. Otje
Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali, Rafika Aditama, Bandung, 2004.

Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta,
1982.

Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali


Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Rafika Aditama, Bandung, 2009.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
1987.

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana “Perspektif Eksistensialisme dan Abolisi


onisme, Binacipta, Bandung, 1996.

137
,Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung 2005.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Keempat,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung,1983.

,Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta,


2009.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Alumni, Bandung, 1997.

Shidarta, Putusan Hakim Antara Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan, dari
buku Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Komisi Yudisial, Jakarta,
2010.

Shiddiq Armia, Moh, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya
Paramita, 2002.

Sianturi, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, 1985, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.

Soejono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Armico,


Bandung, 1984.

Soeparmono, R. Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam


KUHAP, Mandar Maju , Bandung 2003.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. UI Press,


Jakarta, 1983.

Soetandyo Wignjasoebroto, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja


Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Soeroso., R, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, 1992.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999.

Sugiri, 1976, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer Di Indonesia. Tanusubroto,


Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1993.

Teguh Prasetyo Hukum dan Sistem-Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila,


Cet.Pertama. Media Perkasa, Yogyakarta, 2013.

138
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barathullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum, Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat.

Tambunan, A.S.S. Hukum Militer Indonesia Suatu Pengantar, Pusat Studi Hukum Militer
STHM, Jakarta, 2005.

Teguh Prasetyo, Prof. SH, M.Si, Keadilan Bermartabat Perspetif Teori Hukum, Nusa
Media, Bandung 2015.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Landasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,


2005.Utrech E dan Moh.Saleh Djindang, Pengantar Ilmu hukum Indonesia, PT.
Ichktiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta, 1989.

Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh
enam, Jakarta.

Wolfgang Friedman, Teori dan Filsafat Hukum:Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum
(Susunan I), cet. Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, 2003.

Wisnubroto, A.L. dan G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005.

Yahya Harahap, M. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan


Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua,
Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

,Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan


Penuntutan. Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika, 2015.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua


Atas Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, LN RI Tahun 2009 Nomor 160.

,Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun


1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, LN RI Tahun 2004 Nomor 35.

,Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

,Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886).

139
,Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997, tentang Hukum Disiplin Prajurit.

,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, LN


Tahun 1986 Nomor 77.

,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum


Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).

,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang- undang Hukum


Pidana.

,Undang-Undang Dasar 1945.

Rancangan Peraturan Perundang-undangan

Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Militer dan Keodituratan Militer, Jakarta,


16 Januari, 1997.

Keputusan Presiden

Keppres No. 56 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer dari Markas Besar Tentara Nasional
Indonesia Ke Mahkamah Agung.

Keputusan Mahkamah Agung.

Keputusan Mahkamah Agung Nomor KMA/065a/SKB/IX/2004 dan Skep/421/X/2004


tentang Penggunaan dan Perawatan Asset dan Barang Inventaris Mabes TNI.

Keputusan atau Peraturan Panglima TNI/Kepala Staf Angkatan.

Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1015/XII/2016 tanggal 5 Desember 2016 tentang


Buku Petunjuk Teknis Penyidikan Perkara Pidana di Lingkungan TNI.

Keputusan Kasad Nomor Kep/428/V/2016 tanggal 23 Mei 2016 tentang Buku Petunjuk
Teknis Kewenangan Papera dan Ankum di Lingkungan TNI AD.

Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/980/XII/2014 tentang Buku Petunjuk Administrasi


Oditurat dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Lingkungan TNI.

Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/980/XII/2014 tentang Petunjuk Administrasi


Oditurat dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Lingkungan TNI.

Keputusan Panglima ABRI Nomor : Kep/04/P/II/1984 tanggal 4 Februari 1984 tentang


Penyelenggaraan Fungsi Kepolisian Militer di Lingkungan ABRI.
Keputusan Panglima TNI Nomor : Kep/1/III/2004 tanggal 26 Maret 2004 tentang
Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Kepolisian Militer di Lingkungan TNI.
Keputusan Panglima TNI Nomor : 200/III/2017 tanggal 16 Maret 2017 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kepolisian Militer di Lingkungan Tentara Nasional
Indonesia.

140
Disertasi

Tiarsen Buaton, Peradilan Militer Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia:Studi


Tentang Kedudukan Dan Yuridiksinya Periode 1945-2008. Disertasi untuk
memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Indonesia.

Mulyono, Perlindungan Hukum Prajurit TNI Terhadap Keputusan Pejabat Tata Usaha
Militer Ditinjau Dari Prinsip Persamaan Hak Untuk Dilindungi. Disertasi untuk
memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya.

Slamet Sarwo Edy, Independensi Sistem Peradilan Militer Di Indonesia (Studi Tentang
Struktur Peradilan Militer), Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum di
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Dini Dewi Herniati, Yurisdiksi Peradilan Militer Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana Sebagai Alternatif Membangun Independensi Peradilan Militer”, Disertasi
untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Pajajaran Bandung,

Internet

https://dosenpsikologi.com/jenis-pendekatan-dalam-psikologi-hukum,yang diunggah pada


tanggal 26 Juni 2019.

https://www.kompasiana.com/hambalimk/5943a36f66afbd5f37b2d854/rekonstruksi-obyek
-pra-peradilan 16 Juni 2017 16:22 Diperbarui: 16 Juni
2017 16:28 444 0 0.

http://lsmkebenarankeadilan.blogspot.co.id/2015/08/kebenarankeadilanbermartabat.htm
l, diakses tanggal 13/01/2016, pukul 10:27.

Wikipedia, https//id.wikipedia.org/wiki/adil,diposkan tanggal 14 Desember 2015.

http://jodisantoso.blogspot.com, diakses pada tanggal 27 Agustus 2015, pukul 11.10.

Puspen TNI, Pembinaan Hukum Sebagai Fungsi Komando Guna Mendukung Tugas
Pokok TNI, http://tni.mil.id/view-61921-pembinaan-hukum-sebagai-fungsi-komando
-guna-mendukung-tugas-pokok-tni.html, diposkan 28 Mei 2014.

Panmuhammad Fais, http:/ /ipenhi. blogspot.co.id/2013/01/ teori-keadilan-john- rawls-


dan-relevansi .htmlTeori keadilan jhon Rawls dan Relevansi Konstitusi Indonesia,
diposkan oleh Panmuhammad Fais. 2013.

Michibeby, Asas Akusatoir adalah asas dimana pemeriksaan dilakukan dengan


memposisikan Tersangka/Terdakwa sebagai subjek pemeriksaan bukan objek
pemeriksaan. https:// michibeby. wordpress.com/2012/11/20/asas- asas-dalam-
hukum-acara-pidana. diposkan 20 Nopember 2012.
http://ugun-guntari.blogspot.co.id/2011/12/teori-keadilan-dalam-perspektif-hukum.html,
diposkan oleh Syakirguns, Senin 26 Desember 2011.
Sektie K Guntoro, Hakim Komisaris, Praperadilan Yang Berubah Nama, https://
sektiekaguntoro.wordpress.com/2013/07/11/hakim-komisaris-pra-peradilan-yang-
berubah-nama/ Posted: July 11, 2011.

141
Akhmad Kholil Irfan,S.Ag, SH, Negara Hukum dan prinsip Equality Before The
Law,http://www.boyyendratamin.com/2015/07/negara-hukum-dan-prinsip-equality
.html, diposkan 26 Juli 2015.

One Bloger LikeThis,Sejarah Peradilan Militer Di Indonesia, Error Hyperlink reference not
valid. Indonesia.

Sumber-Sumber Hukum Tata Negara/dalam dinding kelasku, dinklik kelas.blogspot.co.id.

Muhamamad Aunurohim, Keadilan. Kepastian dan Kemanfaatan,http://www. academia.


edu/10691642/_Keadilan_Kepastian_dan_Kemanfaatan_Hukum_di_Indonesia.

https//:ngobrollihukum.wordpress.com.

https://iqbalhasanuddin.wordpress.com/2014/06/27/teori-keadilan-telaahatas-pemikiran-
john-rawls/

James Nickel, with assistance from Thomas Pogge, M.B.E. Smith, and Leif Wenar,
December 13, 2013, Stanford Encyclopedia of Philosophy, Human Rights, Retrieved
August 14, 2014.

Kamaludin Khan http://www.twocircles.net/book/export/html/135429).


46http://politik.kompasiana.com/2010/04/28/drama-anomali-prinsip-quality- before-the-
law/

http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm.

One Bloger Like This,Sejarah Peradilan Militer Di Indonesia,https://wonkdermayu.


word pres.com/artikel/sejarah-peradilan-militer-di- indonesia

Makalah/Slide Ilmiah

Barda Nawawi Arif, “Penegakan Hukum Pidana Dalam Konteks Sistem Hukum Dan
Pembangunan” Dikutip dari buah pemikiran yang disampaikan dalam Studium
Generale, Fakultas Hukum Universitas Islam (UII) Yogyakarta, 15 Mei 2007 dan
termuat dalam handout kuliah pada PMIH Untan.

Fernando M. Manullang., E, Menggapai Hukum Berkeadilan, Kompas, Jakarta, 2007.

Siti Nurdjanah, DR., SH.MH, Persamaan Hak dan Derajat Dalam Proses Pemeriksaan
Di Depan Persidangan Pengadilan (Kekuasaan Kehakiman), Cakimmil, 2018-2019.

Surat Kabar/Jurnal

Fernando M. Manulang, F., Menggapai Hukum Berkeadilan (tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai), Kompas, Jakarta, 2007.

Mahrus Ali, Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Penangkapan dan Penahanan Dalam
Hukum Acara Pidana, Jurnal Pusham UII, Yogyakarta, 2015.

142
Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di
Indonesia Masa Kini dan di Masa Akan Datang, Majalah Pro Justitia Tahun XV No.
2 April., 1997.

Rahman Nitibaskara, Tb. Ronny, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas, Jakarta,
2007.

Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008.

Stiawan Widagdo, Kamus Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta 2012.

Putusan

Putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya Nomor : 14-K/PMT.III/ AD/VIII/2016.

Putusan Pengadilan Militer II-08 Jakarta Nomor : 133-K/PM II-08/ AD/V/2019.

Lain-lain

Risalah Rapat Pembicaraan Tingkat III RUU tentang Peradilan Militer dan Keodituratan
Militer, Rapat Kerja Pansus dengan Menteri Pertahanan Keamanan RI,
Sekretarian Jenderal DPR RI, 13 Juni 1997.

Pemandangan umum Fraksi ABRI atas RUU Peradilan Militer dan Keodituran Militer, hal
4 tanggal 24 Februari 1997.

143
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
Nama : Brigjen TNI (Purn) Sugeng Sutrisno, S.H.,M.H.
Tempat Tanggal Lahir : Kebumen, 20 Desember 1965
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Kemang Pratama, Kemang Pratama Golf
DD 26.
Pekerjaan : Hakim Agung MARI

B. Keluarga
1. Istri : Sri Ety Sudaryanti, S.E.
2. Anak/Menantu :
a. Galih Yoga Pratama, S.Kom.
b. Galuh Dinda Laksmita, S.H.
c. Rizky Septiani, S.Kom.(Menantu)
3. Cucu :
- Raden Syarief Muhammad Manaf

C. Riwayat Pendidikan
1. Umum 2. Militer
a. SD - SLTA a. Sepa Milwa
b. S-1 Hukum b. Susjurpalahkara
c. S-2 Hukum c. Sekalihpa
d. Susjurpaminmildata
e. Selapakum
f. Susgadik
g. Susjabormil
h. Dikcakim

D. Riwayat Jabatan:
1. Kapokmin Subditbincab Ditkumad 11. Katera Dilmilti III Surabaya
2. Paur Ang Bagurdal Setditkumad 12. Angpokimmil Gol V Dilmil II-08 Jakarta
3. Kaprimkopad Ditkumad 13. Waka Dilmil III-14 Denpasar
4. Kaurriksa Kummum Subditkara 14. Ps. Kadilmil III-14 Denpasar
5. Angpok BHLK Gol VII Kum Kostrad 15. Ps. Kadilmil II-09 Bandung
6. Pakumrem 121/Abw Dam VI/Tpr 16. Kadilmil II-09 Bandung
7. Kasi Kara Subditkara Ditkumad 17. Angpok Kimmilti Dilmilti III Surabaya
8. Kasi Opsjar Opsbangjar Pusdikkum 18. Waka Dilmilti III Surabaya
9. Kasi Sistoda Baglitbang Subditbincab 19. Kadilmilti I Medan
10. Pamen Mabes TNI (Pamen MARI) 20. Angpok Kimmiltama Dilmiltama
21. Hakim Agung MARI s.d. sekarang

144

You might also like