You are on page 1of 30

PENGARUH EVOLUSI TERHADAP PERUBAHAN BIOLOGIS,

PERILAKU, DAN DEMOGRAFI


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosial Biologi

Disusun Oleh :

Ferani Delta Agustin (071811733034)


Alfi Muntho Haroh (071811733035)
Nabilla Rachmah (071811733036)
Yassar Rizky Putra U. (071811733037)
Anna Yohanna (071811733038)
Aulia Nurhaliza Putri (071811733039)
Rachmaudina Salsabilla I. (071811733040)

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tahun Akademik 2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang saat ini masih memberikan limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Sosial Biologi
dengan judul “Pengaruh Evolusi Terhadap Perubahan Biologis, Perilaku, Dan Demografi”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sumenep, 11 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul..................................................................................................................i
Kata Pengantar....................................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................3
1.3 Fokus Masalah..........................................................................................................3
1.4 Metode Kajian...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Evolusi....................................................................................................4
2.2 Dampak Proses Evolusi Terhadap Perubahan Biologis Manusia.............................9
2.3 Keterkaitan Perubahan Biologis pada Perilaku Manusia..........................................19

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan...................................................................................................................24
3.2 Saran.........................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Secara umum, devinisi Evolusi dalam KBBI adalah proses perubahan secara berangsur-
angsur (bertingkat) dimana sesuatu berubah menjadi bentuk lain (yang biasanya) menjadi
lebih kompleks atau rumit ataupun berubah menjadi bentuk yang lebih baik. Lantas, Apa itu
Evolusi biologi? Evolusi biologi adalah perubahan dari waktu ke waktu pada satu atau lebih
sifat terwariskan yang dijumpai pada populasi organisme. Evolusi hanya bisa terjadi bila ada
variasi sifat yang diwariskan dalam populasi. Sumber utama variasi adalah mutasi,
rekombinasi genetik, dan aliran gen (gene flow). Evolusi telah membentuk keanekaragaman
makhluk hidup dari nenek moyang yang sama.

Mengapa terjadi Evolusi? Evolusi makhluk hidup merupakan teori yang dipelajari sejak
zaman Romawi dan Yunani kuno. Secara garis besar teori evolusi menyatakan bahwa
makhluk hidup yang ada di dunia sampai dengan saat ini merupakan hasil perkembangan dari
makhluk hidup yang telah ada sebelumnya baik berkaitan dengan struktur maupun fungsi,
secara turun temurun dari generasi ke generasi atau dengan kata lain berlangsung dalam
waktu yang amat panjang seiring evolusi alam semesta.

Terdapat berbagai macam versi mengenai teori evolusi yang berkembang di masyarakat
ilmuan, seperti halnya teori Lamarck (1744-1829), Charles Darwin (1809-1882), Darwin-
Weismann (1834-1914), Darwin-Wallace (1823-1913), De Vries (1848-1935), dan
Ariestoteles (384 SM- 322 SM). Namun, yang paling terkenal adalah Teori Evolusi Darwin.
Kita dapat mendefinisikan evolusi sebagai keturunan dengan modifikasi, istilah yang
digunakan Darwin dalam menjelaskan bahwa dari kejadian yang terjadi dibumi ini, banyak
spesies keturunan dari spesies leluhur yang dulu berbeda dari spesies masa kini. Evolusi juga
bisa didefinisikan sebagai perubahan komposisi genetik suatu populasi turun-temurun
(Campbell, 2017). Makhluk hidup dalam populasi menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan yang terjadi secara fluktuatif. Antar makhluk hidup satu dengan lainnya dalam
suatu populasi mau tidak mau melakukan kompetisi merebutkan makanan agar tetap mampu
bertahan hidup dan menghasilkan keturunan baru dengan pewarisan sifat unggul yang mereka
miliki. Individu yang kuat dan mampu beradaptasi akan terus hidup, sedangkan invidu yang
lemah akan terseleksi dan punah. Ketahanan diperoleh melalui organisme yang memiliki
kualitas paling sesuai dengan lingkungannya, kemudian variasi-variasi tersebut akan

1
diturunkan kepada keturunannya hal tersebut disebut juga dengan Survival of the Fittes dalam
pokok konsep teori evolusi Darwin (Henuhili et al, 2012).

Evolusi diajukan sebagai faktor kebudayaan pada sekitar abad ke-19 dan dengan segera
pula menjadi kategori budaya yang sangat popular. Mereka yang menerapkan gagasan
evolusi pada pertumbuhan kebudayaan tidak begitu melukiskan proses yang sungguh-
sungguh terjadi, melainkan hanya menyusun sebuah artificial selection diantara ratusan
peristiwa dan kejadian yang lalu diurut-urutkan menurut skema evolusi. Menurut J. W. M.
Baker S. J, mereka tidak sampai menerangkan jalan kebudayaan dengan teori evolusi, tetapi
mencoba membuktikan evolusi dengan data budaya yang ada. Menurut Spencer, evolusi
menjadi prinsip umum semua realitas: alam dan sosial. Adanya sifat umum (generality) ini
adalah karena realitas pada dasarnya adalah material, terdiri dari zat, energi, dan gerakan.
Evolusi didefinisikan sebagai perubahan dari homogenitas tak berurutan ke heterogenitas
yang logis, yang diikuti kehilangan gerak dan integrasi zat. Model proses ini disediakan oleh
pertumbuhan organik. (Fina, et al. 2018).

Singkatnya, evolusi berlangsung melalui diferensiasi struktural dan fungsional sebagai


berikut: (1) dari yang sederhana menuju yang kompleks; (2) dari tanpa bentuk yang dapat
dilihat ke keterkaitan bagian-bagian; (3) dari keseragaman, homogenitas ke spesialisasi,
heterogenitas; dan (4) dari ketidakstabilan ke kestabilan. Evolusi dimasa kini berkembang
dari ilmu tentang asal mula kehidupan manusia menjadi hal yang baru mengarah kepada kata
perubahan, tidak hanya mengenai asal usul makhluk hidup, pada bidang ilmu yang lainnya
kata evolusi juga digunakan. Tidak banyak pertentangan mengarah kepada evolusi sebagai
perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam waktu yang lama.

Pada masa evolusi modern seperti saat ini telah banyak sarana serta konsep-konsep
yang menunjang kemajuan teori evolusi. Kemajuan di bidang genetika, biokimia dan
molekuler turut menyumbangkan konsep-konsep yang mendorong pada perkembangan teori
evolusi khususnya dalam, memetakan materi genetik dari fosil-fosil yang ditemukan di
lapisan bumi tertentu, pewarisan sifat serta kekerabatan antar organisme ditinjau dari
persentase persamaan materi genetiknya. Semakin besar persentase persamaan matergi
genetiknya maka kekerabatan organisme yang diperbandingkan tersebut dapat disimpulkan
semakin dekat. Perkembangan teknologi komputer dan informatika berhasil menuntun sains
untuk melacak bukti-bukti empiris tentang kehidupan masa lampau sehingga terjadinya
evolusi tidak diragukan lagi pertanggungjawabannya secara ilmiah. Dengan semakin

2
banyaknya bukti-bukti baru yang ditemukan, semakin besar pencerahan yang kita dapatkan
dalam menyibak misteri evolusi makhluk hidup. Kini, kita tidak bisa lagi mengingkari ketika
sains sampai pada kesimpulan bahwa bumi dan kehidupan di atasnya merupakan produk dari
evolusi, termasuk manusia sebagai sang khalifah di muka bumi. (Taufik 2019).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu evolusi?
1.2.2 Bagaimana proses evolusi manusia terhadap perubahan biologisnya?
1.2.3 Bagaimana keterkaitan perubahan biologis dan perilaku dalam proses evolusi manusia?

1.3 Fokus Makalah


1.3.1 Membahas mengenai teori evolusi menurut tokoh-tokoh evolusi dan budaya.
1.3.2 Membahas mengenai proses evolusi manusia terhadap perubahan biologis.
1.3.3 Membahas mengenai keterkaitan antara perubahan biologis dan perilaku dalam proses
evolusi manusia.

1.4 Metode Kajian


Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode studi literatur yang dilakukan
dengan pengkajian dari berbagai sumber berupa artikel dan jurnal. Teknik pengumpulan data
diperoleh dari berbagai sumber dan referensi yang dijadikan satu menjadi bahan bacaan.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Evolusi

Definisi evolusi secara umum telah dijelaskan dalam beberapa literatur yang ada di
Indonesia. Misalnya, (Campbell, Jane, & Lawrence, 2003) mendefinisikan evolusi sebagai
suatu proses yang telah mengubah struktur kehidupan di atas bumi sejak bentuknya yang
paling awal sampai membentuk keanekaragaman yang sangat luas seperti apa yang
ditemukan sekarang ini. Dalam periodisasi waktu yang berbeda, (Waluyo, 2005) mengartikan
kata evolusi sebagai perubahan, pertumbuhan, atau perkembangan secara berangsur – angsur
yang terjadi akibat pengaruh alam atau rekayasa manusia. Definisi yang telah diungkapkan
oleh tokoh – tokoh yang berbeda tersebut menyiratkan bahwasanya evolusi adalah perubahan
sesuatu dari bentuk yang sederhana/ simpleks menjadi sesuatu yang beragam/ kompleks.
Evolusi dalam implementasinya tidak hanya dialami oleh makhluk hidup, melainkan pula hal
– hal yang lain. (Waluyo, 2005) menyatakan bahwa umumnya ketika masyarakat memahami
evolusi dalam arti sempit sebatas teori yang dicetuskan oleh Darwin dan Lamarck tentang
seleksi alam, adaptasi, asal usul kehidupan. Padahal bila dipelajari lebih lanjut, evolusi
mempelajari hal-hal yang lebih luas dan tidak hanya tentang makhluk hidup dan asal usulnya
namun juga evolusi bidang-bidang lain. Paparan tersebut mengimplikasikan bahwa evolusi
merupakan suatu perubahan yang terjadi pada hal – hal yang bersifat statis atau mati.

Dalam wacana mengenai pengertian evolusi tersebut kemudian muncullah teori – teori
yang berfokus pada satu kajian empiris mengenai evolusi. Fokus yang dimaksudkan adalah
pada aspek fisik, sosial dan budaya manusia. Kehidupan manusia memang tidak bisa
dilepaskan dari aspek tersebut. Aspek fisik (biologi) membahas tentang struktur tubuh
manusia, asal usul manusia, dan perubahan fisik yang terjadi. Sementara aspek sosial budaya
(spesifik budaya) menjangkau sisi ide, perilaku, serta hasil karya yang dilakukan oleh
manusia (Koentjaraningrat, 1974), juga pada segi hubungan manusia dengan manusia lain
dalam upaya memenuhi kebutuhan sebagai manusia sosial. Kajian mengenai teori evolusi
biologi dan budaya diungkapkan oleh tokoh – tokoh yang berbeda dan memiliki perspektif
tersendiri dalam memandang sebuah proses evolusi.

4
2.1.1 Teori Evolusi Biologi
Teori Evolusi Lamarck

Lamarck (Jean – Baptiste de Lamarck) adalah biologiwan Perancis yang dikenal karena
pendapatnya dalam teori tentang evolusi kehidupan. Dalam periodisasi kemajuan ilmu
tentang evolusi, Lamarck merupakan salah satu orang pertama yang mengemukakan teori
tentang evolusi. Dia menyatakan bahwa perbedaan- antar individu terjadi karena kebiasaan
atau latihan-latihan yang dilakukan individu tersebut. Hal yang diperoleh melalui latihan
dapat diturunkan kepada anaknya. Salah satu contoh fenomenal yang dikemukakan oleh
Lamarck adalah mengenai leher jerapah. Hewan ini memiliki leher yang panjang karena
mulut di kepala selalu digunakan untuk meraih daun-daun pakannya yang semakin tinggi.
Jerapah dalam perspektif Lamarck memiliki leher yang normal kemudian perlahan melalui
adaptasinya untuk mendapatkan makanan, leher jerapah mulai memanjang (Henuhili,
Mariyam, Sudjoko, & Rahayu, 2012). Gagasan yang dikemukakan oleh Lamarck ini
kemudian menjadi cikal bakal pandangan mengenai bagaimana setiap makhluk hidup itu
memiliki caranya tersendiri dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. Makhluk hidup
tersebut dituntut untuk bisa mempertahankan eksistensinya guna terus melestarikan
spesiesnya dari kepunahan.

Teori Evolusi Charles Darwin

Charles Darwin, mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai spesies makhluk hidup


yang menjelaskan bahwa spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan
tetapi diciptakan berdasarkan dari nenek moyang yang sama dan menjadi berbeda satu sama
lain akibat seleksi alam (Sholichah, 2020). Pandangan dasar Darwin adalah mengenai variasi
jenis pada spesies makhluk hidup tertentu, kemudian dari berbagai macam jenis/ karakteristik
itu terjadilah semacam proses seleksi alam sehingga yang paling kuat dialah yang bertahan.
Teori ini juga kerap kali disebut sebagai “Survival of the Fittest” yang mendeskripsikan
bahwa ketahanan didapat dari organisme yang memiliki kualitas paling sesuai dengan
lingkungan. Individu-individu yang dapat hidup akan mewariskan variasi-variasi tersebut
kepada generasi berikutnya (Henuhili, Mariyam, Sudjoko, & Rahayu, 2012). Salah satu
penelitiannya yang cukup dikenal yakni observasi tentang asal-usul burung di kepulauan
Galapagos. Sasaran pengamatannya adalah burung finch. Darwin menemukan fakta bahwa
berbagai spesies finch, berdasarkan pada tempat hidup (habitat khusus) dan jenis
makanannya, terdapat variasi pada struktur paruh mereka. Selain itu ia juga melihat adanya

5
variasi cangkang dari kura – kura Galapagos. Pada habitat basah (perairan), Darwin
menemukan adanya kura-kura berukuran besar dengan bentuk cangkang yang menarik dan
berbentuk seperti kubah. Namun di habitat kering, kura – kuranya berukuran kecil dengan
bentuk cangkang menyerupai pelana. Dengan penelitian tersebut, Darwin menemukan fakta
bahwa individu pada habitat yang dapat beradaptasi dengan baik menghasilkan sifat yang
unggul untuk generasi selanjutnya, hal tersebutlah yang membuat makhluk hidup berevolusi
yang berbeda namun lebih maksimal. Konsep Darwin tentang spesiasi ini ditulisnya sebagai
buku yang berjudul: The Origin of Species by Means Natural Selection and Preservation of
The Fits in Struggle for Life, pada tahun 1844. Menurut Darwin evolusi terjadi karena adanya
seleksi alam (faktor alam yang mampu menyeleksi makhluk hidup). Adaptasi merupakan
penyebab terjadinya seleksi alam. Dilain sisi, Ia juga mengoreksi pendapat Lamarck tentang
jerapah. Jerapah yang berleher panjang berasal dari yang berleher panjang pula, sedangkan
yang berleher pendek musnah. Faktor yang menyebabkan evolusi (mekanisme evolusi adalah
seleksi alam).

2.1.2 Teori Evolusi Budaya

Teori Evolusi Herbert Spencer

Herbert Spencer atau kerap disebut Spencer merupakan seorang filsuf Inggris yang
dikenal dengan teori evolusi universalnya. Dalam hukum evolusi universal, Spencer melihat
perkembangan masyarakat dan kebudayaan tiap bangsa di dunia telah atau akan melalui
tingkatan-tingkatan evolusi yang sama, namun ada tiap bagian masyarakat atau sub-sub
kebudayaan dapat mengalami proses evolusi melalui tingkatan yang berbeda (Sidemen,
2017). Spencer mengkonsepsikan bahwa seluruh alam itu, baik yang berwujud nonorganis,
organis, maupun superorganis (kebudayaan), berevolusi karena didorong oleh kekuatan
mutlak yang disebutnya evolusi universal. Perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari
tiap bangsa di dunia itu telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama; namun ia
tidak mengabaikan fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub
kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang berbeda-beda
(Suarsana, 2016). Spencer memandang bahwa sumber religi tertua adalah bentuk
personifikasi dari jiwa – jiwa orang yang telah meninggal termasuk didalamnya nenek
moyang. Dalam bentuknya, keyakinan tersebut kemudian menjelma menjadi sebuah wujud
pengkultusan pada raja/ pemimpin yang dianggap sebagai keturunan dewa. Akan tetapi
sejalan dengan adanya evolusi sosial, timbul masyarakat industri, dimana manusia menjadi

6
bersifat lebih individualis, dan dimana kekuasaan raja dan keyakinan terhadap raja keramat
berkurang. Timbullah suatu sistem hukum baru yang kembali berdasarkan azas saling
membutuhkan antara warga masyarakat. Prosedur terjadinya undang-undang adalah dengan
perundingan antara wakil-wakil warga masyarakat dalam badan-badan legislatif (Suarsana,
2016).

Teori Evolusi J J Bachofen

JJ Bachofen merupakan seorang antropolog berkebangsaan Swiss. Pribadinya dikenal


berkat salah satu teori yang diusungnya yakni mengenai evolusi keluarga. Dalam buku Das
Mutterrecht (1861), beliau berpendapat bahwa di seluruh dunia keluarga manusia
berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah jauh lampau dalam
masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, di mana manusia hidup serupa sekawan
binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan
keturunan tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada
waktu itu. Keadaan ini dianggap sebagai tingkat pertama dalam proses perkembangan
masyarakat manusia. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-
anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat, karena anak-anak hanya
mengenal ibunya tanpa mengenal ayahnya.

Menurut Bachofen tahapan sejarah tentang bentuk keluarga terbagi menjadi empat
yakni tahap promiskuitas hubungan laki – laki dan perempuan dilakukan secara bebas tanpa
ikatan sehingga belum ada bentuk keluarga inti pada saat itu; selanjutnya beralih kepada
matriarchate dimana peran dan eksistensi seorang ibu menjadi diperhitungkan. Ibu dianggap
sebagai kepala keluarga karena sang anak tidak mengenal ayahnya, sehingga garis keturunan
diambil dari garis ibu; masuk ke tahapan berikutnya yakni patriarchate dimana keberadaan
ayah menggantikan ibu dan dianggap sebagai pemimpin keluarga. Tahapan ini terjadi kerana
laki – laki tidak merasa puas jika perempuan dijadikan sebagai kepala keluarga. Oleh
karenanya, mereka mengambil calon istri mereka untuk dibawa menuju golongan/ kelompok
mereka sendiri sehingga keturunannya pun lahir disana; tahapan yang terakhir yakni parental,
hal yang menyebabkan adanya tahapan ini adalah karena perkawinan tidak selalu dilakukan
secara eksogami melainkan endogami sehingga anak – anak mulai mengenali ayah dan ibu
mereka.

Teori Evolusi L.H. Morgan

7
L. H Morgan merupakan seorang etnolog berkebangsaan Amerika Serikat. L.H.
Morgan percaya kepada konsep evolusi masyarakat. Karya pokoknya yang berjudul Ancient
Society (1877) mencoba melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia
melalui delapan tingkat evolusi yang universal. Menurut Morgan, masyarakat dari semua
bangsa di dunia sudah atau masih akan menyelesaikan proses evolusinya melalui kedelapan
tingkat evolusi sebagai Zaman liar tua yakni zaman sejak adanya manusia sampai ia
menemukan api; Zaman liar madya yaitu zaman sejak manusia menemukan api sampai ia
menemukan senjata busur-panah; Zaman liar muda yaitu zaman sejak manusia menemukan
senjata busur-panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-barang tembikar;
Zaman barbar tua yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar
sampai ia mulai berternak atau bercocok tanam; Zaman barbar madya yaitu zaman sejak
manusia berternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-
benda dari logam; Zaman barbar muda yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian
membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan; Zaman peradaban purba
dimana manusia sudah mengenal tulisan; dan Zaman peradaban masa kini saat manusia hidup
dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suarsana, 2016).

Teori Evolusi E.B. Tylor

E. B Tylor merupakan seorang antropolog yang berasal dari Inggris. Salah tau teorinya
yang cukup terkenal adalah tentang evolusi religi. Seperti yang diterangkan dalam bahasan
teori Spencer sebelumnya, pada tingkat tertua dalam evolusi religinya, manusia percaya
bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya.
Mahluk-mahluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia itu, yang bertubuh halus
sehingga tidak dapat tertangkap oleh panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal
yang tak dapat diperbuat manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahannya, yang disertai
berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban. Religi serupa itulah yang oleh Tylor disebut
animisme (Suarsana, 2016). Kepercayaan terhadap adanya dewa – dewa yang diserupakan
dengan tingkatan dalam bernegara, maka masyarakat menganggap bahwasanya tingkatan itu
juga terdapat dalam dewa – dewa sehingga muncul politheisme. Pemikiran semacam itu
kemudian berevolusi dan masyarakat mulai memandang bahawa hanya ada satu dewa yaitu
yang memiliki tingkatan paling tinggi dan kuat. Hal inilah yang mendasari timbulnya
monotheisme.

8
2.2 Dampak Proses Evolusi Terhadap Perubahan Biologis Manusia
2.2.1 Perkembangan Otak

Spesies fosil Lucy yang terkenal, Australopithecus afarensis, memiliki tengkorak


dengan volume internal antara 400 dan 550 mililiter, sedangkan tengkorak simpanse memiliki
sekitar 400 ml, dan gorila antara 500 dan 700 ml. Selama masa ini, otak Australopithecine
mulai menunjukkan perubahan halus dalam struktur dan bentuk dibandingkan dengan kera.
Sebagai contoh, neokorteks telah mulai berkembang, mengatur kembali fungsinya dari
pemrosesan visual ke daerah otak lainnya.

Dalam sebuah studi penelitian mengenai endocast dari Australopithecus Afarensis yang
dipublikasikan di Science Advances, ditemukan bahwa Australopithecus A. memiliki otak
yang lebih mirip strukturnya dengan simpanse ketimbang dengan manusia tim ilmuwan
menggunakan teknik pemindaian tomografi komputer (CT scan) melakukan virtual
recontruction pada 8 individu yang ditemukan pada kedua situs di Ethiopia yakni Dikika dan
Hadar, dua diantaranya kira-kira masih bayi 6 sisanya sudah berumur dewasa. Kemudian,
dari sini dapat diketahui mengenai volume otak dan jejak otak di bagian dalam tengkorak dari
fosil delapan spesimen A. afarensis. Dengan begitu, mereka dapat mengungkapkan struktur

9
otak yang hilang. Para peneliti memberikan perhatian khusus pada daerah otak yang disebut
lobus oksipital, yang berada di bagian belakang otak dan membentuk bagian dari korteks
visual. Setelah bagian dalam tengkorak dari Australopitecus A. dikomparasi dengan simpanse
dan manusia modern, ditemukan fakta bahwa struktur yang disebut lunate sulcus, yang
berada di lobus oksipital, posisinya ditemukan cenderung lebih maju ke depan pada kera.
Telah dikemukakan bahwa ada kecenderungan evolusi tulang temporal dalam A. afarensis
menuju ukuran tengkorak yang lebih besar. Rata-rata EV dewasa A. afarensis adalah 420 ml
(SD, 49 ml; kisaran, 365 hingga 492 ml). Dari situ kemudian diperoleh bahwa ukuran
tengkorak kecil dari spesimen muda menunjukkan bahwa otak A. afarensis membutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk mencapai ukuran penuh. Ini suatu sifat yang terlihat pada
manusia. Perkembangan otak manusia yang lambat berarti bahwa kita cenderung sepenuhnya
bergantung pada pengasuh kita selama bertahun-tahun, sementara kita mengembangkan
infrastruktur saraf yang menopang kognisi dan perilaku sosial kita. Penemuan perkembangan
yang serupa pada kerabat Lucy ini menunjukkan bahwa mereka juga mungkin mengandalkan
orang tua mereka untuk bertahan hidup sepanjang masa kanak-kanak yang berlangsung
cukup lama.

Kemudian dari genus Homo ada Homo habilis, yang pertama dari genus Homo yang
muncul 1,9 juta tahun yang lalu, melihat lompatan kecil dalam ukuran otak, termasuk
perluasan bagian yang terhubung dengan bahasa pada lobus frontal yang disebut daerah
Broca. Tengkorak fosil pertama Homo erectus, 1,8 juta tahun yang lalu, memiliki otak rata-
rata sedikit lebih besar dari 600 ml. Menurut bentuk endocastnya dapat diduga bahwa
neocortex dari Homo Erectus asal Indonesia ini sudah agak luas. Namun Homo Erectus,
khususnya yang berasal dari masa geologis agak tua (Homo Modjokertensis, 1,8 juta tahun
yang lalu) memiliki dahi agak miring, karena itu daerah Broca belum berkembang secara
sempurna yang menyebabkan daerah ini masih sangat kecil. Dalam proses evolusi sampai ke
Homo Soloensis yang ditentukan sebagai berasal dari masa geologis paling muda (sekitar 200
ribu tahun yl.) volume otak bertambah besar dan bagian dahinya makin vertikal, sehingga
kemungkinan besar daerah Broca telah lebih berkembang.

Pada Homo Erectus yang hidup sekitar 1,8 juta tahun yang lalu, ukuran otaknya mulai
berkembang lebih besar secara lambat, mencapai lebih dari 1.000 ml pada 500.000 tahun
yang lalu. Homo Sapiens awal memiliki otak dalam kisaran orang saat ini, rata-rata 1.200 ml
atau lebih. Peningkatan ukuran otak yang signifikan ini seharusnya merupakan adaptasi
fungsional, atau mereka akan dipilih, karena secara metabolik mahal untuk mempertahankan

10
otak besar. Satu unit jaringan otak dikatakan membutuhkan 22 kali jumlah energi
metabolisme yang dibutuhkan untuk unit jaringan otot yang sama (Aiello, 1997). Salah satu
manfaat lain dari otak yang lebih besar adalah bagaimana hal itu dapat menyebabkan lebih
banyak area kortikal yang berbeda di otak (Kaas, 2013). Akibatnya, area spesifik neokorteks,
yang merupakan struktur otak yang terlibat dalam fungsi kognitif yang lebih tinggi seperti
bahasa, menjadi kurang terhubung satu sama lain, yang memungkinkan area tersebut untuk
melakukan tugas secara independen satu sama lain. Ini membawa lokalisasi fungsional, yang
mungkin telah berkontribusi pada pengembangan area bahasa pada manusia (Schoenemann,
2009).

2.2.1.1 Evolusi pada Cerebral Cortex dan Cortical Folding

Cerebral cortex merupakan lembaran pembungkus otak yang halus dan tipis yang
terdiri dari neuron yang berkembang di permukaan ventrikel dan bergerak keluar sepanjang
serat glial radial. Cerebral cortex tersusun dari tonjolan berlipat dan berkerut yang disebut
gyri dan celah yang disebut sulci. Cerebral Cortex dilapisi oleh selaput meninges yang
tersusun dari ratusan hingga ribuan sel saraf yang saling berhimpitan. Korteks otak sering
juga disebut sebagai materi abu-abu. Berdasarkan filogeni dan ontogeni, cerebral cortex
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama neocortex, yang merupakan bagian terbesar
cerebral cortex manusia, kedua ada paleocortex dan yang ketiga adalah archicortex. Luas
permukaan cortex pada manusia adalah sekitar 2000 cm2, ukuran ini empat kali lebih besar
dari pada ukuran yang dapat diprediksi. Perbedaan ukuran pada cortex ini menunjukan bahwa
pada mamalia, otak akan mengubah bentuknya menjadi terlipat saat mereka bertambah besar
(Hofman, 2014). Proses pelipatan yang terjadi pada cortical didukung oleh faktor ekstrinsik
dan tekanan yang terjadi di sepanjang axon yang berada dalam zat putih (Essen,1997;
Hofman, 2014). Tekanan yang terjadi ini ikut memberikan pengaruh pada tingkat kepadatan
neural circuitry di sepanjang cortex. Pelipatan cortical memberikan keuntungan pada evolusi,
yaitu dimana otak dimungkinkan untuk menjadi semakin padat dan cepat dalam memperbesar
ukuran (Harrison et al., 2002; Karbowski, 2003; Hofman, 2014)

2.2.2 Bipedalisme

Bipedalisme adalah cara bergerak yang dilakukan organisme untuk bermanuver di


lingkungan mereka dengan dua kaki, dan termasuk tindakan seperti berlari, melompat, dan
berjalan. Bipedalisme merupakan bagian dari evolusi manusia yang paling penting, karena

11
dengan bipedal hominin dapat berekspansi ke berbagai wilayah sehingga memungkinkan
mereka tetap bertahan hidup. Selain itu, bipedal juga memberikan peluang bagian lain dari
tubuh hominin untuk berevolusi, salah satunya adalah perkembangan otak hominin. Otak
hominin yang hanya memiliki kapasitas kecil dibandingkan dengan otak manusia modern
berkembang lebih besar karena bagian frontal cranium berkembang lebih luas akibat evolusi
bipedal, sehingga dengan adanya ruang pada cranium yang lebih luas, memungkinkan otak
dapat berkembang lebih besar. Sebenarnya masih banyak lagi keuntungan bipedal yang
memungkinkan bagian lain dari tubuh hominin berevolusi secara bertahap, sehingga dapat
mencapai tubuh yang proporsional seperti manusia modern saat ini. Karena hal-hal yang telah
dijelaskan diatas, bipedal merupakan aspek yang sangat penting bagi hominin untuk naik ke
level evolusi yang lebih tinggi.

Beberapa teori disusun untuk menjawab berbagai pertanyaan seputar evolusi bipedal.
Di antara beberapa teori yang diajukan, terdapat dua teori yang cukup terkenal di antaranya
adalah savanna based theory dan postural feeding. Di antara teori yang diajukan Kwang
(2015) beragumen bahwa teori postural feeding yang digagas oleh Kevin Hunt dapat
menjelaskan aspek pertama. Hunt menyatakan bahwa bipedalisme pada awalnya berevolusi
lebih dalam rangka upaya mencari dan memberi makanan dengan postur yang mendukung
(Postural feeding). Beberapa studi menunjukkan bahwa simpanse berdiri ketika makan dan
akan berdiri berupaya meraih buah dan bergelatungan di pohon. Teori kedua adalah
savannah based theory yang mengemukakan bahwa evolusi bipedal terjadi karena
lingkungan hominin pada saat itu berbasis pada sabana atau padang rumput yang luas dengan
intensitas pohon yang relatif sedikit. Teori ini juga mampu untuk memberikan penjelasan
mengenai bagaimana dan mengapa evolusi bipedal terjadi. Teori savannah menjelaskan
bahwa perilaku bipedal memberikan keuntungan pada hominin, karena itu aspek bipedal
dipertahankan dan berangsur-angsur mengalami evolusi yang lebih proporsional.

Menurut Klein (2009) bipedalisme memiliki beberapa manfaat potensial, seperti 1)


Kemampuan membawa daging, buah, atau bahan makanan lain ke pohon dan/atau tempat
perlindungan lain; 2) Peningkatan kemampuan untuk memetik buah-buahan berdiameter
kecil dari pohon yang pendek; 3) Permukaan kulit yang terkena sinar matahari langsung pada
siang hari, sehingga mengurangi bahaya stres panas; 4) Membebaskan tangan untuk
menggunakan alat atau untuk membawa anak mereka dalam jarak yang jauh; 5) Penurunan
energi yang dibutuhkan untuk berjalan dalam kecepatan normal (rendah); 6) Kemampuan
melihat lebih jelas atau lebih jauh selama perjalanan dari satu tempat ke tempat lain; 7)

12
Memiliki tampilan yang mengintimidasi sehingga dapat mengurangi konflik kekerasan atas
sumber daya yang langka.

2.2.2.1 Evolusi Bipedalisme : Konteks Ekologis

Bipedalisme diperkirakan muncul sekitar 8 sampai 5 juta tahun yang lalu, dimana iklim
global saat itu lebih sejuk dan kering, sehingga lingkungan alam saat itu menjadi lebih
terbuka dengan rerumputan dan pepohonan yang jaraknya tidak terlalu dekat (Cerling et al,
1994). Perubahan iklim yang diikuti perubahan cuaca inilah yang menyebabkan perubahan
lingkungan, dimana ekosistem padang rumput dengan intensitas pohon yang cukup sedikit.
Hal ini dibuktikan dengan penemuan isotop karbon yang stabil pada gigi ungulata dari
berbagai benua yang menandai perubahan ekosistem (Cerling, et al 1997). Selain itu, hal ini
juga dibuktikan dengan fosil, sedimen, dan sisa-sisa hewan yang secara khusus menunjukkan
bahwa hominin paling awal, yakni australopithecus dan homo habilis yang hidup antara 4,5
dan 1,6 juta tahun yang lalu, menghuni berbagai padang rumput berhutan atau padang rumput
yang menunjukkan kesesuaian dengan hipotesis sabana (Reed, 1997). Dari tiga fosil hominin
yang ditemukan dengan usia antara 7 dan 5 juta tahun yang lalu, dua diantaranya adalah
Sahelanthropus Tchadensis dan Ororrin Turgenensis ditemukan dengan fosil hewan lain yang
menunjukkan kondisi seperti sabana di dekatnya (Klein, 2009).

2.2.2.2 Transisi dalam Evolusi Bipedalisme pada Hominin

Beberapa fosil hominin yang ditemukan diketahui bahwa mereka telah memilik fitur
bipedal tetapi, cara mereka bediri dan berjalan sangat berbeda dengan manusia. Berikut ini
merupakan transisi dari beberapa Hominin yang cukup baik dalam bipedalis dengan postur
tubuh yang cukup mendukung untuk melakukan bipedal.

Australopithecine

Australophits hidup di Afrika sekitar 4 hingga 1 juta tahun yang lalu. Beberapa spesies
dari genus Australophitecus diantaranya adalah Australophitecus afarensis yang hidup di
Afrika Timur sekitar 3.9 sampai 3.0 juta tahun yang lalu; Australophitecus africanus yang
hidup di Afrika Selatan sekitar 3 sampai 2 juta tahun yang lalu; dan Australophitecus sediba
yang hidup di Afrika Selatan sekitar 1.8 hingga 2 juta tahun yang lalu.

Spesies-spesies dalam genus Australophitecus memelihara adaptasi dari kera besar dan
juga hominin awal. Di satu sisi, spesies dalam genus ini memiliki fitur untuk memanjat pohon

13
yang terdapat pada kera besar seperti kaki yang pendek, lengan yang panjang, dan pedal
phalanges yang bergelombang. Di sisi lain, ia memiliki fitur yang lebih modern seperti hallux
yang teradduksi dan memiliki partial longitudinal arch. Mereka juga memiliki bagian lumbar
yang panjang, Panggul yang lebar, posisi lutut medial, dan juga pelebaran sendi ekstrimitas
bawah untuk menahan tekanan. Namun, terdapat pula beberapa variasi dalam genus ini
terutama pada kaki dan pergelangan kaki. Australophitecus afarensis memiliki tulang tumit
(calcaneus) yang lebar dan secara inferior datar seperti pada manusia modern yang berfungsi
untuk menstabilisasi kaki selama cidera tumit. Pada Australophitecus sediba tulang tumit
lebih berbentuk segitga pada bentuk penampang. Selain itu, Australophitecus sediba memiliki
thorax yang lebih sempit dan sendi bahu yang berorientasi ke atas yang sangat
menguntungkan untuk memanjat. Secara general, Australophits memiliki fitur untuk berjalan
dan juga memanjat tetapi, khusus Australophitecus sediba lebih mengembangkan fitur untuk
kehidupan arboreal. Kenyataannya terdapat banyak sekali variasi dalam australophits.
Bahkan, ada pula pembagian robust, australophits dan, gracile, australophits yang kurang
lebih menunjukkan diet pada kelompok-kelompok tersebut akibat perubahan ekologis.

14
Gambar 2 komparasi fitur lokomosi utama pada simpanse, australophits, dan manusia. Fitur
yang penting untuk digarisbawahi adalah fitur kono untuk kehidupan arboreal pada
simpanse, fitur turunan untuk berjalan pada Australophitecus, dan fitur turunan untuk
berlari pada Homo

Homo Erectus

Secara general, Homo erectus memiliki lengan yang relative panjang, sendi pada
ekstrimitas bawah dan sendi pada tulang belakang yang relative lebar, pelvis yang berbentuk
seperti baskom dengan otot gluteal yang relative lebar, dan pinggang yang cenderung sempit.
Selain itu, jejak kaki dari Homo erectus dinilai sudah sangat modern yang mengindikasikan
lengkungan penuh (full arch) dengan jari kaki yang pendek langkah berjalan yang panjang.
Pada Homo erectus pula, fitur hasil adaptasi arboreal yang hadir pada autralophits sudah tidak
ada. Walaupun, memang, postcrania dari Homo erectus berbeda dengan manusia modern
tetapi, cukup untuk mengatakan bahwa anatomi lokomotor dari Homo erects sudah
menunjukkan bahwa mereka dapat berjalan dan berlari seperti manusia yang hidup saat ini.

Homo erectus tampakanya mengadaptasi berbagai fitur yang sangat bermanfaat untuk
stabilisasi selama berlari. Fitur-fitur tersebut di antaranya adalah kanal semicircular anterior
dan posterior yang lebih besar daripada pada kera dan asutralophits yang membantu kepala
merasakan dan menyesuaikan diri; kekuatan pelemparan yang cepat yang dihasilkan ketika
berlari; pinggang yang sempit dan bahu yang luas yang dipisahkan dari kepala yang
memungkinkan torso untuk memutar secara independen dari pelvis dan kepala; juga adanya
nuchal ligament yang membantu menstabilisasi kepala selama berlari.

Homo Sapiens

15
Sedangkan, pada modern homo sapiens, foramen magnum — lubang di tengkorak di
mana sumsum tulang belakang meninggalkan kepala — diposisikan lebih langsung di bawah
tengkorak dibandingkan dengan hewan berkaki empat, memungkinkan biped untuk menahan
kepala mereka tegak ketika berjalan tegak. Dada manusia lebih datar (punggung ke ventral)
daripada tubuh hewan berkaki empat. Hal ini membuat sebagian besar berat dada dekat
tulang belakang dan di atas pusat gravitasi seseorang, secara efektif membantu meningkatkan
keseimbangan dan menjaga kita tidak jatuh ke depan.

Tulang belakang modern homo sapiens memiliki kelengkungan berbentuk S yang khas.
Kurva cekung S memposisikan dada tepat di atas tempat tulang belakang dan panggul
bertemu, dan meletakkan beban dada, sekali lagi, di pusat gravitasi. Selain menawarkan
keseimbangan yang lebih baik, tulang belakang berbentuk S juga bagus untuk menyerap
kejutan mekanis yang datang saat berjalan. Pelvis manusia lebar dan pendek. Bentuk jongkok
ini memberikan peningkatan stabilitas untuk menahan batang tubuh yang tegak dan untuk
mentransfer banyak tekanan mekanik dari beban berat ke dua tungkai bawah.

Modern homo sapiens memiliki kaki lebih panjang daripada lengan mereka, sementara
hewan berkaki empat memiliki lengan lebih panjang daripada kaki mereka. Tulang paha
manusia lebih panjang, lebih lurus, dan lebih tipis daripada tulang belakang mereka. Tulang
yang lebih panjang memungkinkan langkah yang lebih besar. Bentuk tegak memastikan
bahwa berat didistribusikan secara merata di sepanjang tulang. Selain itu, ketipisan femur
biped membuat struktur lebih ringan.

Pada modern homo sapiens, tulang paha mengarah ke dalam untuk menyatukan lutut,
memberikan dukungan di pusat gravitasi ketika berjalan tegak. Kaki mereka dikhususkan
untuk berjalan saja. Kaki mereka melengkung dan kehilangan kemampuan untuk menangkap
objek. Lengkungan berfungsi seperti pegas yang menyerap kejutan, dan memungkinkan berat
tubuh dipindahkan dari tumit ke bola kaki saat kita melangkah. Jari-jari kaki diposisikan
untuk memberikan gerakan menusuk ke tanah untuk mendorong tubuh ke depan.

2.2.3 Brakhiasi: Penyempurnaan Lengan


Jika ditarik pada masa sebelum adanya kehidupan genus Homo, lingkungan yang
dihuni pada zaman purba berupa pepohonan dimana lokomasi gerak anatar tulang lengan atas
dan lengan bawah saling berdampingan karena digunakan untuk menjalani kehidupannya di
pohon atau disebut juga arboreal. Waktu demi waktu berlalu, adaptasi adalah poin utama
yang diperlukan untuk dapat bertahan hidup dimana terdapat dinamika kehidupan, salah

16
satunya terdapat perubahan lingkungan yang ekstrim dan hal tersebut membuat banyak
pepohonan tumbang, artinya perubahan lingkungan yang dulunya adalah hutan hujan yang
memiliki banyak pepohonan kemudian menjadi seperti padang savanna, hal tersebut
berpengaruh secara gradual terhadap ciri biologis atau morfologi dari suatu spesies yang
memacu agar spesies tersebut dapat bertahan hidup dan melanjutkan keturunan, hal tersebut
berpengaruh dalam pola lingkungan yang awalnya mereka hidup secara arboreal yaitu
kehidupan diatas pepohonan menjadi terrestrial yang pola hidupnya secara dominan
dilakukan diatas tanah seperti halnya ukuran lengan atas (Humerus, radius, dan ulna) yang
semakin memendek seiring berjalannya waktu, yang mana pada zaman sebelum itu ukuran
panjang lengan atasnya masih melampaui bagian panggul (pelvis) bagian bawah (inferior).
Poin ini dinamakan Brakhiasi yang artinya penyempurnaan pada tangan. Mengapa bisa
seperti itu? karena lengan secara berangsur-angsur dibebaskan dari fungsi tumpuan, dan
lengan kemudian digunakan sebagai alat penangkap maupun sebagai pemegang yang
mengakibatkan tulang mengalami grasilisasi kearah yang lebih sederhana. Pada saat tulang
lengan atas yang ukurannya memendek dari sebelumnya, mengakibatkan kecekatan dimana
hal tersebut juga didukung oleh perubahan bentuk quadrupedal menuju bipedal. Dalam
contoh konkritnya, dapat dicontohkan dengan pola pada saat mencari makan, yang dulunya
melibatkan lengan atas untuk bergelantungan diatas pohon entah itu bagian pohon yang
paling tinggi ataupun tidak dan menggunakan tulang rahang atas maupun bawah untuk
membawa makanannya yang kemudian seiring berjalnnya waktu spesies tersebut mencari
makan didaerah savanna dengan cara menggunakan kedua alat lokomasi bawah untuk
berjalan dan alat lokomosi atas yaitu lengan atas untuk membawa makanannya, maka dari itu
seiring berjalannya waktu menjadikan ukuran lengan atas menjadi lebih pendek dari
sebelumnya. Gambar dibawah ini mengilustrasikan proporsi pada tulang lengan atas
(humerus, radius, ulna) pada garis berwarna merah.

2.2.4 Receeding: Mandible and Maxilla (rahang atas dan rahang bawah)

17
Terdapat kriteria penting dalam menilai dan mengkontruksikan jalannya evolusi, salah
satunya adalah akibat dari brakhiasi yaitu berkurangnya tingkat prognatism atau ketonggosan
karena adanya perubahan fungsi yang mana pada awalnya mulut dan gigi berfungsi sebagai
pemegang makanan pada saat berjalan (quadrupedal) yang kemudian secara perlahan menuju
perubahan kearah penyempurnaan lengan (brakhiasi) dan berjalan tegak (bipedal) dimana hal
tersebut berpengaruh terhadap fungsi mulut dan gigi yang hanya digunakan sebagai alat
untuk mengunyah dan berkomunikasi saja. Perubahan memang ada dalam hal robustisitas
(kekohon dan kemenonjolan) rahang pun Nampak dengan jelas telah mengalami perubahan.
Bisa dilihat bagimana pyoyeksi wajah orang-orang dimasa lampau dimana mereka memiliki
bentuk rahang atas (maxilla) dan rahang bawah (mandibular) dan berukuran besar yang
menjorok ke depan tapi seiring berjalnnya waktu, sekarang hanya sebagian dan bahkan
semakin sedikit yang memiliki bentuk rahang seperti itu, dimana hal tersebut dapat diamati.
Disitulah perubahan terjadi, terdapat perbedaan manusia yang hidup pada zaman dahulu dan
manusia yang hidup saat ini. Dari sisi kemenonjolan rahang, perubahan itu juga berangsur-
angsur terjadi, lambat laun menjadi kurang menonjol. Lambat laun frekuensi rahang
menonjol itu berkurang dari generasi ke generasi.

Ketika nenek moyang kita berevolusi, rahang dan gigi mereka berubah dalam banyak
cara. Beberapa perubahan gigi tampak jelas lima juta tahun yang lalu dan perubahan
tambahan telah terjadi sejak itu. Sekitar tujuh juta tahun yang lalu, nenek moyang awal kita
memiliki rahang panjang yang menghasilkan proyeksi profil wajah. Mereka juga memiliki
gigi taring yang panjang dan runcing dan gigi paralel. Pada 5,5 juta tahun yang lalu, gigi
taring leluhur kita mulai menjadi lebih kecil. Sekitar 3,5 juta tahun yang lalu, gigi nenek
moyang kita diatur dalam barisan yang sedikit lebih lebar di bagian belakang daripada di

18
bagian depan. Pada 1,8 juta tahun yang lalu, gigi taring leluhur kita menjadi pendek dan
relatif tumpul seperti taring kita. Rahang mereka juga menjadi lebih pendek. Ini membuat
wajah lebih vertikal dan memaksa deretan gigi samping menekuk menjadi bentuk busur
bundar. Sekitar 250.000 tahun yang lalu, nenek moyang kita memiliki rahang yang sangat
pendek dan telah mengembangkan dagu yang runcing untuk menambah kekuatan. Untuk
masuk ke dalam rahang kecil, gigi-gigi itu sekarang lebih kecil dan tersusun dalam lengkung
parabola yang rapat. Wajah sekarang lebih vertikal daripada proyeksi.

2.2.4.1 Mengembangkan rahang yang lebih pendek dengan gigi yang lebih kecil

Dulu Sekarang

Baris gigi: gigi diatur di rahang dalam Baris gigi: gigi diatur dalam bentuk
bentuk persegi panjang atau U-bentuk busur parabola atau bulat di dalam
rahang.
Rahang: rahang panjang yang Rahang: rahang berukuran pendek
menghasilkan profil wajah (tidak menonjol) sehingga hampir tidak
memproyeksikan ada proyeksi wajah.
Gigi: gigi seri (empat gigi depan di atas Gigi: gigi seri relatif kecil. Gigi taring
dan bawah) relatif besar. Gigi taring pendek (hampir sejajar dengan gigi
sangat panjang, runcing dan jauh lebih lainnya), relatif tumpul dan ukurannya
besar pada pria daripada wanita. hampir sama pada pria dan wanita

Lapisan enamel: gigi ditutupi oleh Lapisan enamel: gigi ditutupi oleh
lapisan tipis enamel lapisan enamel yang tebal

Analisis sefalometrik adalah cara yang paling akurat untuk menentukan semua jenis
prognathisme, karena mencakup penilaian dasar kerangka, angulasi bidang oklusal, tinggi
wajah, penilaian jaringan lunak dan angulasi gigi anterior. Berbagai perhitungan dan
penilaian informasi dalam radiografi sefalometrik memungkinkan dokter untuk secara
objektif menentukan hubungan gigi dan kerangka dan menentukan rencana perawatan.

2.3 Keterkaitan Perubahan Biologis pada Perilaku Manusia


2.3.1 Keterkaitan Bipedalisme Terhadap Perilaku Pembagian Kerja dan Pengasuhan
Anak

Engels yakin bahwa pembagian kerja muncul bersamaan dengan gaya hidup bipedal
dan penggunaan perkakas. Paleoantropolog Boyd dan Silk (2003:254) menjelaskan bahwa
gaya hidup bipedal muncul disebabkan oleh diferensiasi dari kehidupan arboreal (pepohonan)
menuju kehidupan terestrial (padang rumput). Ekologi pada zaman meiosen suhu bumi mulai
turun. Pendinginan global ini menyebabkan dua perubahan penting di dalam iklim wilayah

19
tropis Afrika. Pertama jumlah keseluruhan curah hujan yang jatuh per tahun menurun. Kedua,
curah hujan menjadi semakin musiman sehingga ada beberapa bulan setiap tahun, hujan tidak
turun. Seiring dengan makin keringnya wilayah tropis Afrika menyebabkan hutan lebih
kering dan padang rumput meluas.

Susutnya belantara memaksa hominid awal harus makin sering meninggalkan


pepohonan. Leluhur hominid kita dipaksa untuk hidup dan mencari makan di permukaan
tanah. Fungsi kaki untuk memanjat mulai menyusut dan muncul fungsi kaki yang baru untuk
berjalan di permukaan tanah. Semakin biasanya mereka hidup di permukaan tanah, susunan
tubuh berubah mengikutinya. Hidup berjalan dengan dua kaki mendorong perubahan pada
struktur panggul, jemari kaki, dan telapak kaki. Panggul disesuaikan untuk mampu menopang
tubuh sekaligus penyeimbang bagi penggunaan kaki sebagai landasan kegiatan berjalannya.

Adaptasi bipedalisme memungkinkan tangan menjadi lebih bebas dari kewajiban


menopang tubuh. Gaya hidup bipedal-terestrial memungkinkan hominid mencapai kelenturan
dan keterampilan tangan lebih lanjut yang menjadi jalan kearah pembuatan dan penggunaan
perkakas. Penggunaan perkakas memungkinkan munculnya pembagian kerja sosial tertentu
dalam hal berburu dan mengumpulkan makanan (Mulyanto, 2011).

Kerja sama dan pembagian kerja di dalam kelompok hominid berbasiskan penggunaan
perkakas juga ditunjukkan oleh anatomi mereka. Sejak munculnya genus Homo, tulang
panggul hominid berkembang. Perkembangan panggul terkait dengan adaptasi terhadap
pembesaran otak bayi relative terhadap tubuh yang harus dikandung dan dilahirkan.
Pembesaran ukuran organ otak relative terhadap ukuran tubuh memunculkan masalah dalam
melahirkan anak. Secara fisiologis, masalah ini dapat diselesaikan dengan menunda
perkembangan otak anak hingga setelah kelahiran. Otak bayi hominid tidak utuh. Unsur-
unsurnya tidak lebih lengkap ketika lahir dibandingkan dengan primate-primata lain. artinya,
dibandingkan primate lainnya, bayi hominid memiliki masa lebih lama untuk mencapai
penyempurnaan otak pasca kelahiran. Lamanya masa penyempurnaan otak berarti bayi
hominid memerlukan masa perlindungan dan pengasuhan lebih lama untuk bisa mandiri.
Selain itu, kehamilan dan penyusuan anak sendiri merupakan “kegiatan yang menyita waktu
dan mahal energy bagi betina primate” (Boyd dan Silk 2003: 178). Lamanya masa
penyempurnaan otak anak setelah melahirkan dan mahalnya energi untuk mengandung dan
melahirkan tidak mungkin dibayangkan tanpa adanya mekanisme sosial yang menyediakan
perlindungan dan pengasuhan. Masa pengasuhan panjang dan organisasi sosial yang

20
menyokongnya juga merupakan satu-satunya cara untuk memberi waktu bagi anak-anak
hominid menyerap semua tradisi, terutama dalam memperkenalkan sumber-sumber makanan
dan keterampilan kerja.

2.3.2 Keterkaitan Brakhiasi terhadap Perilaku Perkakas dan Pencarian Sumber


Makanan

Pada hominid-hominid tua yang masih memiliki kesamaan ciri dengan kera, mereka
masih berjalan secara quatripedal atau menggunakan empat kaki dan gaya hidupnya yang
kebanyakan masih menghabiskan waktu di dahan pepohonan (aboreal), karena ukuran
tubuhnya yang masih cenderung kecil, memudahkan untuk berayun di pepohonan. Dengan
berevolusinya waktu dan dengan didukungnya perubahan lingkungan selama jutaan tahun,
fungsi tubuh berubah, gaya hidup banyak dihabiskan di tanah (terrestrial). Dari sini,
morfologi anatomi tubuh mulai berubah karena kebiasaan yang dilakukan terus menerus,
yaitu berubahnya pencarian makan yang mulai dilakukan di tanah. Berevolusi menjadi
bipedal yaitu berjalan tegak menggunakan dua kaki. Bipedalism ini membuat kaki belakang
menjadi lebih panjang karena perlunya kebutuhan untuk berjalan, yang secara tidak langsung
membuat semua kegiatan bertumpu pada tungkai bawah, yang mengakibatkan ukuran kaki
menjadi lebih panjang, lokomosi tungkai atas tidak terlalu menjadi tumpuan (Wicaksono &
Kusumaningtyas, 2015). Tangan telah menjadi bebas dan memungkinkan untuk bisa lebih
lanjut mencapai keterampilan yang lebih maju lagi. (Engels, 1962). Semenjak menghabiskan
banyak waktu dominan di permukaan tanah, fungsi tangan dikembangkan untuk memungut
dan menggali dari tanah, dan memetik makanan dari pepohonan yang pendek. Fungsi tangan
yang tadinya memanjat selama jutaan tahun, memicu perkembangan struktur tangan dan jari
diantaranya menggengam, memungut, dan membawa hominid kepada kemampuan
menggunakan perkakas. (Mulyanto, 2011). Kaitan bipedalisme dengan perubahan ekologi
memungkinkan tangan dan lengan yang bebas yang memunculkan perubahan pencarian
sumber makanan bisa di bawa dengan mudah (Hewes, 1961). Kebiasaan mengangkut
makanan menggunakan tangan ini yang memungkinkan spesialisasi tangan meningkat dalam
kehidupan Hominid dalam membuat perkakas (Engels, 1962).

2.3.3 Keterkaitan Otak dengan Perkembangan Budaya Manusia

Menurut Wilson (1975) dalam (Bernis, 2000) otak adalah dasar dari perilaku, otak
manusia muncul oleh seleksi alam dan aktivitas otak juga demikian. Berkembangnya
penggunaan tangan yang berfungsi dominan mencari sumber makanan dan mengangkutnya,

21
merangsang perubahan organ otak yang mengendalikan gerak motoric. Engels berpendapat
bahwa penggunaan perkakas mendahului perkembangan otak. Menurut Engels, dalam
(Mulyanto, 2011), perilaku penggunaan perkakas untuk memproduksi makanan memiliki
kaitan dengan perkembangan otak dan bahasa, yaitu kerja menyebabkan tekanan selektif baru
yang mendorong berkembangnya kemampuan mental dan kerja memerlukan sistem
komunikasi yang lebih lanjut, efektif, dan kompleks yang tidak hanya mempengaruhi
perbesaran otak relatif terhadap tubuh, tetapi juga mengubah susunan dan komposisi otak.

Perkembangan otak manusia yang pesat selama evolusi otak menjadikan manusia
berbeda dengan spesiesnya. Fungsi dan struktur otaknya meembuat manusia bertingkah laku
berbeda dengan yang lain. Kompleksitas otak inilah yang mendasari keyakinan bahwa
manusia mengalami evolusi serupa tetapi tak sama dengan spesies lain, yang menyebabkan
hanya pada manusialah evolusi budaya dapat ditemui. Sehingga manusia dikenal sebagai
makhluk berbudaya (Karwur & Ranimpi, 2010). Salah satu budaya yang paling kompleks
adalah bahasa. Perkembangan volume otak menyebabkan berkembangnya pusat bicara pada
otak. Maka terjadilah perkembangan bahasa ke bahasa yang lebih kompleks (Mithen, 2007).
Proses budaya itu sendiri dipengaruhi oleh bahasa, karena bahasa merupakan sarana untuk
menyalurkan informasi. Berkembangnya bahasa menyebabkan interaksi antarsesamanya
meningkat, yang kemudian mulai terbentuk kelompok-kelompok sosial. Kelompok sosial
yang semula berdasarkan kebutuhan untuk reproduksi menjadi semakin kompleks. Dengan
demikian, kebudayaan menjadi lebih luas lagi (Suriyanto, 2004).

Otak manusia berevolusi untuk memproses informasi dengan cara yang cenderung
meningkatkan keberhasilan reproduksi nenek moyang kita yang jauh. Lebih tepatnya, otak
adalah sistem modul yang saling berhubungan untuk memproses informasi dari berbagai
jenis, beberapa berasal dari isyarat sensorik langsung, dan beberapa diambil dari catatan
pengalaman sebelumnya. Dari banyaknya sinyal yang kita terima, otak kita membangun
gambaran mental tentang hasil perilaku alternatif. Kita bisa membuat rencana sebelum
bertindak. Tetapi pilihan rasional memiliki aliansi yang tidak nyaman dengan sirkuit
kelangsungan hidup yang tertanam dalam yang terkait dengan emosi. Pilihan rasional selalu
diwarnai oleh emosi, dan terkadang kewalahan (Goldsmith & Jones, 1999).

2.3.4 Keterkaitan Ukuran Rahang dan Gigi Terhadap Pola Diet Manusia

Evolusi Homo Sapiens umumnya disertai penciutan rahang, keadaan ini berhubungan
dengan perubahan diet dan kebiasaan hidup. Dimensi ukuran rahang dan gigi geligi dari

22
zaman neolitik sampai zaman modern adalah akibat dari adanya proses evolusi terkait dengan
diet (pola makan).

Di masa lampau lebih banyak tersedia makanan-makanan yang dapat meningkatkan


fungsionalisme dari tulang rahang karena jenis makanan yang keras dan membutuhkan
kekuatan kunyah lebih besar atau lebih kuat, sedangkan di masa sekarang yang sudah
mengalami modernisasi lebih banyak tersedia makanan makanan yang sudah diolah dan lebih
lunak yang tidak membutuhkan kekuatan kunyah yang sama besarnya atau sama kuatnya
seperti pada makanan di masa lampau (Ningsih, 2019).

Archer menyebutkan bahwa bahan makanan manusia yang semakin lunak


mengakibatkan kurang atau tidak merangsang pertumbuhan tulang rahang yang kemudian
berpengaruh terhadap ukuran tulang rahang (Archer, dalam Aditya, 2010). Ketika beban
mengunyah semakin berkurang terjadi atrofi mandibula dan otot rahang. Ketika beban
mengunyah meningkat, otot menguat dan rahang ikut berkembang.

Seiring berjalannya waktu gigi manusia mengalami perubahan, ditinjau dari segi
penampilan dan fungsinya. Gigi molar ketiga menunjukkan evolusi manusia dari waktu ke
waktu. Perbedaan yang sangat jelas dari gigi manusia saat ini yaitu dimensi yang lebih kecil
termasuk juga rahang yang lebih kecil. Otot rahang yang besar memungkinkan adanya ruang
untuk gigi molar ketiga tumbuh yang kemudian juga dapat menentukan gigi tersebut dapat
bererupsi dengan normal atau terjadi masalah dalam proses erupsinya.

Permasalahan erupsi gigi molar tiga pada manusia modern saat ini disebabkan oleh
sistem mastikasi yang kurang sehingga dengan berjalannya waktu, rahang mengalami
penciutan dan ruang yang dibutuhkan oleh gigi molar tiga untuk erupsi juga ikut
berkurang(Sukma & Medawati, 2012).

23
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Darwin menyatakan dua hal penting dalam buku The Origin of Species. Pertama,
berdasarkan bukti arkeologi ataupun benda lainnya mengemukakan bahwa spesies tidak
diciptakan dalam bentuknya yang sekarang, tetapi berevolusi dan berubah dari spesies nenek
moyang yang terdahulu. Kedua, suatu mekanisme untuk evolusi, yang disebut seleksi alam.
Perkembangan yang terjadi pada manusia dan kebudayaan tiap bangsa di dunia telah atau
akan melalui tingkatan-tingkatan evolusi yang sama, namun ada bagian maupun sub-sub
kebudayaan dapat mengalami proses evolusi melalui tingkatan yang berbeda.
Dampak yang terjadi dari adanya evolusi tentunya berpengaruh pada kebudayaan yang
sekarang maupun biologisnya. Seperti, perkembangan otak manusia dimana volume otak
yang membuatnya dapat jauh berpikir lebih luas dan melakukan atau menciptakan
kebudayaan melalui penyesuaian geografi maupun dengan individu di masyarakat. Adanya
perubahan morfologi manusia yaitu bipedal (berjalan tegak) yang dilakukan menggunakan
dua kaki di lingkungan masing-masing. Perubahan pada bentuk rahang dan gigi dimasa
lampau lebih banyak tersedia makanan yang dapat meningkatkan fungsionalisme dari tulang
rahang karena jenis makanan yang tersedia cenderung lebih keras dan membutuhkan
kekuatan kunyah lebih besar atau lebih kuat. Perilaku menggunakan perkakas yang
digunakan untuk memproduksi makanan memiliki kaitan dengan perkembangan otak dan
bahasa, yaitu kerja menyebabkan berkembangnya kemampuan mental dan kerja memerlukan
sistem komunikasi yang lebih efektif serta kompleks yang tidak hanya mempengaruhi
pembesaran otak relatif terhadap tubuh, tetapi juga mengubah susunan dan komposisi otak.
3.2 Saran
Evolusi manusia yang terjadi di dunia meninggalkan tanda yang dapat diamati oleh
semua orang, yang merupakan bukti pengaruhnya pada masa lalu dan sekarang. Bukti-bukti
ini dapat dilihat dan dipelajari melalui dari bukti paleontologi, bukti taksonomi, bukti anatomi
maupun bukti dari fisiologi manusia. Dengan semakin banyaknya bukti baru yang ditemukan,
semakin besar pencerahan yang dapatkan dalam menyingkap misteri evolusi manusia.

24
DAFTAR PUSTAKA

Alaninda, Saputra. (2017). Persepsi Mahasiswa Calon Guru Biologi Tentang Pembelajaran
Materi Evolusi di SMA, Dalam Jurnal Bioeducation. Vol. 1, No. 1.

Bernis, C. (2000). The evolution of human biosocial behaviour. Human Evolution, 15(1–2),
129–138. https://doi.org/10.1007/BF02436241.

Campbell, N., Jane, B. R., & Lawrence, G. (2003). Biologi. Jakarta: Erlangga.

Campbell, N.A., Reece, J. B., Urry, L.A. (2017). Biology (Eleventh Edition). New York:
Pearson.

Engels, F. (1962). The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man. Moscow:
Foreign Languange Publishing House.

Fina, et al. (2018). TEORI EVOLUSI DAN REKAYASA REPRODUKSI DALAM


PERSPEKTIF BARAT SEKULER (IAIN Madura).

Glinka, J. (1987). Sekitar terjadinya manusia. Flores, NTT: nusa indah.

Goldsmith, T. H., & Jones, O. D. (1999). Evolutionary Biology and Behavior: a Brief
Overview and Some Important Evolutionary Biology and Behavior: a Brief Overview
and Some Important Concepts. Source: Jurimetrics, 39(2), 131–135. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/29762594%0Ahttp://about.jstor.org/terms.

Henuhili, V., Mariyam, S., Sudjoko, & Rahayu, T. (2012). Evolusi. Diktat Kuliah, 1-14.

Henuhili, et al. (2012). Evolusi, Diktat Kuliah. Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta

Hewes, G. W. (1961). Food Transport and the Origin of Hominid Bipedalism. American
Antrhopologist.

Jurmain, R., Kilgore, L., & Trevathan, W. (2012). Essential Of Physical Anthropology.

Karwur, F., & Ranimpi, Y. (2010). Evolusi Otak dan Kemampuan Mental Manusia
Cakrawala Pemikiran Evolusi Dewasa Ini. In Cakrawala Pemikiran Evolusi Dewasa
Ini. Yogyakarta: Universitas Kristen Satya Wacana.

Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

25
Mithen, S. (2007). The Network of Brain, Body, Language and Culture. Handbook of
Paleoanthropology. New York: Springer Berlin Heidelberg.

Mulyanto, D. (2011). Engels tentang Evolusi Manusia: Catatan Pendahuluan atas Gagasan
Friedrich Engels (1820-1895) tentang Alur Evolusi Manusia dan Peran Kerja di
Dalamnya. Antropologi Indonesia, 32(1).

Myrtati Dyah Artaria, F. N. (Ed.). (n.d.). Bunga Rampai Antropologi Ragawi. Surabaya:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Suratman, dkk. (2015). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Malang: Intimedia), 110.

Suriyanto, R. (2004). Etnografi untuk Arkeologi: Suatu Upaya Membangun Model Penelitian
Cara Pemenuhan Diet Prasejarah (Paleonutrisi). Humaniora, 16(2).

Taufik, Leo Muhammad. 2019. TEORI EVOLUSI DARWIN: DULU, KINI DAN NANTI.
Dalam Jurnal Filsafat Indonesia. Vol. 2, No. 3.

Wicaksono, A., & Kusumaningtyas, S. (2015). Perbandingan Tulang dan Lokomosi pada
Quadrupedal dan Bipedal. Jurnal Kesehatan Khatulistiwa, 1(April).

Mulyanto, D. (2011). ANTROPOLOGI INDONESIA. Indonesian Journal of Social and


Cultural Anthropology, 32(1), 50–64.

Ningsih, A. R. (2019). HUBUNGAN ANTARA UKURAN PALATUM DENGAN FREKUENSI


KEMUNCULAN GIGI MOLAR KETIGA PADA MAHASISWA UNIVERSITAS
AIRLANGGA. Universitas Airlangga. Retrieved from
http://repository.unair.ac.id/id/eprint/91317

Rui Diogo, J. L.-A. (2018). First anatomical network analysis of fore- and hindlimb
musculoskeletal modularity in bonobos, common chimpanzees, and humans. Scientific
Reports.

Sholichah, A. S. (2020). Teori Evolusi Manusia Dalam Perspektif Al- Qur'an. Jurnal Kajian
Ilmu dan Budaya Islam, 110-132.

Sidemen, I. W. (2017). Paradigma Dalam Studi Kebudayaan. Jurnal Sejarah Fakuktas Ilmu
Budaya Universitas Udayana, 1-22.

26
Suarsana, I. (2016). Teori Evolusi dan Difusi Kebudayaan. Bahan Ajar Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana, 1-19.

Sukma, N., & Medawati, A. (2012). Hubungan Antara Status Gizi Dengan Status Erupsi Gigi
Molar Tiga. IDJ, 1(1).

SVD, D. (1987). Sekitar Terjadinya Manusia. Flores: nusa indah.

Waluyo, L. (2005). Evolusi Organik. Malang: UMM Press.

27

You might also like