You are on page 1of 6

Nama : Toni Julsandi

Nim : 20611021
Kelas : Pai A
Tugas : Merangkum
Judul Buku : Ilmu Ushul Fiqih
Penulis : Dr.Moh.Bahrudin,M.Ag

Bab 1
Pengertian dan objek kajian usul fiqih
1. Pengertian Ushul Fiqih
Ushul fiqih merupakan gabungan dari dua kata, yakni ushul yang berarti pokok, dasar,
pondasi, dan kata fiqih secara literal berarti paham atau mengerti tentang sesuatu, kemudian
mendapat tambahan ya’ nisbah yang berfungsi menngkategorikan atau penjenisan.

2. Objek Kajian Ushul Fiqih


Berdasarkan berbagai pemaparan di atas, terutama berbagai defenisi yang dikemuakan oleh
parah ahli ilmu ushul fiqih dapat diketahui bahwa ruang lingkup kajian (maudhu’) dari ilmu
ushul fiqih secara global, diantarany:
1) Sumber dan ahli dalil hokum dengan berbagai permasalahannya.
2) Bagaimana mamanfaatkan sumber dan dalil hokum tersebut.
3) Metode atau cara panggilan hokum dari sumber dan dalilnya.
4) Syarat-syarat orang yang berwenang melakuakan istinbat (mujtahid) dengan berbagai
permasalahannya.
3. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqih
Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqih adalah untuk
mengaplikasikan kaidah-kaidah dan teori-teori ushul fiqih tehadap dalil-dalil yang spesifik
untuk menghasilkan hokum syarak yang dihendaki oleh dalil tersebut.

Menurut al-khudhari beik dalam kitab usul fikihnya, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqih
adalah sebagai berikut:
1. Mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar mampu
menggali hokum syarak secara tepat.
2. Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hokum syarak melalui metode
yang dikembangkan oleh para mujtahid,sehigga dapat memecahkan berbagai
persoalan baru yang muncul.
3. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber dan dalil hukum.
Ushul fiqih menjadi tolak ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.
4. Mengetahui kekuatan dan kelemahan para mujtihad, dilihat dari dalil yang mereka
gunakan.
5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad, sehingga para pemerhati hukum islam dapat melakukan
seleksi salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan pendapatnya.

4. Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fiqih adalah ilmu yang membahas tentang
hukum-hukum praktis yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam
terhadap dalil-dalil syarak yang terperinci (tafshili). Sedangkan ushul fiqh adalah ilmu
tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk
menemukan hukum-hukum syarak mengenai suatu perbuatan dari dalil-dalilnya yang
spesifik. Dengan demikian maka dapat diketahui perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu
ushul fiqh. Ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari aspek perbuatan, sedangkan ilmu ushul
fiqh berbicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum.

Bab 2
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih

1. Latar Belakang Dan HistorisUshul Fiqih


Kemunculan ilmu ushul fiqh tidak terlepas dari dinamika pemikiran hukum Islam abad ke-2
H, khususnya berkenaan dengan diskursus metode istinbath hukum Islam. Sebagian ulama
mengkhawatirkan terabaikannya ruh at-tasyri‘,atau maqashid al-syari‘ah, sementara
kelompok ulama yang lain mengandalkan pemahaman literal dalam memahami nas Al-
Qur’an dan Sunah. Ada kekhawatiran ijtihad akan berkembang dengan tingkat kebebasan
berpikir yang tak terkontrol.

2. Aliran Ahl Al-Hadist dan Ahl Al-Ra’yi


Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ilmu ushul fiqh mulai terkodifikasi dan
tersusun sistematis pada era imam mazhab, yakni pada awal-pertengahan abad ke-2
Hijriyah.27 Latar belakang kemunculan ilmu ushul fiqh adalah lantaran dinamika ijtihad yang
berkembang saat itu menimbulkan kegalauan lantaran kebebasan berijtihad nyaris tanpa
kendali, mengiringi pesatnya perkembangan zaman dan penyebaran Islam ke wilayah-
wilayah di luar Hijaz (Mekah dan Madinah).

Keragaman pola pendekatan dalam berijtihad selanjutnya mengerucut pada dua aliran yang
dikenal dengan kelompok ahl al-hadis di Hijaz dan kelompok ahl al-ra’yi di Irak. Di antara
kedua aliran tersebut kemudian saling mencela dan saling menyalahkan. Ahl al-ra’yi mencela
ahl al-hadits sebagai tidak menggunakan akal-logika secara memadai dalam berijtihad,
demikian pula sebaliknya ahl al-hadits mencela dan menyalahkan ahl arlra’yi sebagai terlalu
mendewa-dewakan logika dan penalaran dalam beragama, terlalu banyak berkhayal dan
berasumsi dalam berijtihad. Situasinya kemudian diperkeruh oleh para murid atau pengikut
masing-masing aliran yang secara fanatik membela tokoh dan aliran yang dianutnya sehingga
suasana menjadi semakin kacau.
Mencermati situasi dan kondisi yang demikian mengkhawatirkan, yakni aktivitas ijtihad yang
tak beraturan dan timbulnya eskalasi friksi-friksi yang “tidak bersahabat”, maka Abd al-
Rahman bin Mahdi (w. 198 H), seorang ulama ahli hadis di Hijaz, merasa prihatin. Abd al-
Rahman kemudian berkirim “risalah” meminta kesediaan Imam asl-Syafi’i untuk “turun
tangan” menertibkan aktivitas ijtihad yang cenderung tak berpematang.

3. Aliran Mutakllimin Dan Ahnaf


Pesatnya dinamika ijtihad dan ilmu ushul fiqh menyebabkan lahirnya dua corak dalam proses
penyusunan dan pembakuan teori ilmu ushul fiqh, yakni aliran mutakallimin dan aliran ahnaf.
Corak pemikiran ushul fiqh mutakallimin didasarkan pada metode istinbath hukum yang
dilakukan oleh kebanyakan ulama ushul fiqh. Di samping al-Syafi’i sendiri sebagai pendiri
ilmu ushul fiqh, ikut tergabung di dalam aliran ini adalah para ulama dari Mazhab Maliki,
Hanbali, Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah, dan Abadiyah.

Dengan menggunakan kerangka berpikir induktif, aliran mutakallimin membangun metode


berpikir rasional-sistematik sebagai parameter dalil, Adapun corak pemikiran ushul fiqh
ahnaf meletakkan dasar-dasar hukum operasional dalam dataran cabang (furu‘) sebagai
landasan operasional ushul fiqhnya. Pola istinbath hukum seperti ini banyak digunakan oleh
ulama-ulama Hanafiyah, sebagaimana tercermin dalam penisbatan dan penanaman ahnaf bagi
aliran pemikiran ini.

4. Ulama-ulama Ushul Fiqih


Ilmu ushul fiqh mengalami transmisi keilmuan secara berkesinambungan dan
perkembangannya yang lebih mapan terjadi pada rentang abad ke-5 sampai ke-6 Hijriyah,
ditandai dengan lahirnya ulama-ulama ushul fiqh seperti Abu al-Husain al-Basri (w. 463 H),
Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 487 H), Imam al-Gazali (w. 505 H), Fakhr al-Din ar-Razi
(w. 606 H), dan Saif al-Din al-Amidi (w. 631 H). Mereka ini adalah kelompok ulama ushul
dari kalangan Syafi’iyyah. Muncul pula tokoh-tokoh dari kalangan Hanafiyah seperti al-
Karkhi (w. 260 H), al-Jashshash (w. 370 H), al-Bazdawi (w. 483 H), dan al-Sarakhsi (w. 490
H) Sumber literatur lain menyebutkan bahwa di kalangan Mazhab Hanafi, Abu Yusuf al-
Hanafi dan Muhammad bin Hasan dikabarkan telah menyusun buku tentang kaidah ushul
fiqh. Namun, sangat disayangkan jejak sejarah karyanya tersebut tidak ditemukan.

Di kalangan Mazhab Syi’ah, ilmu ushul fiqh muncul melalui Muhammad al-Baqir, Ali bin
Zain al-Abidin, dan Ja’far ash-Shadiq.38 Fase berikutnya adalah kegiatan penulisan syarah
atau mukhtashar.39 Contoh paling fenomenal yang berhasil menghimpun berbagai pendapat
dalam satu karya adalah Jam‘al-Jawami‘ yang ditulis oleh Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab ibn
‘Ali al-Subki al-Syafi’i (w. 771 H) yang konon merupakan kompilasi “seratus” karya di
bidang ilmu ushul fiqh. Pada periode ini pula muncul sebuah terobosan baru dalam ushul
fiqh, yang secara serius mengupas masalah maqashid al-syari‘ah yang ditulis oleh Abu Ishaq
al-Syathibi (w. 790 H) dalam kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam.40 Setelah periode
tersebut, kegiatan penulisan di bidang ilmu ushul fiqh mengalami kemunduran. Kecuali
Muhibb al-Din ibn ‘Abd al-Syakur (w. 1119 H), penulis Musallam al-Tsubut, dan
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani (w. 1250 H), penulis Irsyad al-Fuhul ila al-
Haqq min ‘Ilm al-Ushul. Masa-masa berikutnya tidak lagi ditemukan karya-karya bidang
ushul fiqh yang berpengaruh luas, kecuali hanya sekadar mengulas dan memperjelas.
Fakta historis tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwasanya selalu terjadi perubahan
demi perubahan dalam ilmu ushul, baik dari segi metode penulisan maupun dari segi materi
pembahasannya. Oleh karena itu, langkah terpenting yang harus dilakukan apabila hendak
melakukan pembaruan hukum Islam, di antaranya adalah dengan me-review keberadaan
aspek metodologi istinbath hukum ini. Sebab, tidak tertutup kemungkinan ushul fiqh-lah
yang menjadi kendalanya, dikarenakan ilmu ini tidak cukup lagi menjelaskan dan
menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum Islam yang muncul.

Bab 3
Dalil-dalil Hukum Syarak

1. Pengertian Dalil Hukum


Dalam kajian ilmu ushul fikih, para ulama mengartikan dalil secara etimologis sebagai
sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki atau dicari, Dapat juga
dikatakan bahwa kata dalil secara bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk,
buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Denghan kata lain, dalil
adalah penunjuk kepada sesuatu, baik yang bersifat inderawi-kasat mata (hissi) maupun yang
abstrak (ma’nawi).

Berikut akan dikemukakan beberapa definisi tentang dalil menurut para ulama ushul fiqh, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan
(orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang
diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli ushul fiqh biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang
mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek
informatif”.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syarak yang bersifat
praktis.

2. Dalil Hukum Yang Disepakati

1. Al-qur’an
a.Pengertian Al-qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Alquran dalam perspektif etimologis merupakan bentuk
mashdar dari kata qara’a, yang bisa dimasukkan pada wazan fu’lan, yang berarti bacaan atau
apa yang tertulis padanya, Sebagai contoh ialah firman Allah swt. dalam QS Al-Qiyamah 17
– 18.

Dari aspek bahasa, lafaz qur’an memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf
dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”.
b.Kedudukan Al-qur’an Sebagai Sumber Hukum
Alquran berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar
berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya
ia berhakim kepada Alquran. Alquran lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan
pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang
telah dikoreksi oleh Allah swt. Di samping itu Alquran juga mampu memecahkan problem-
problem kemanusiaan dari berbagai aspek kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi
maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh Allah swt.

c.Hukum-hukum Dalam Al-qur’an


Hukum-hukum yang terkandung di dalam Alquran itu ada 3 macam, yaitu:
Pertama; hukum-hukum i’tiqadiyah, yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban
para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua; hukum-hukum akhlak; yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan
sifat-sifat yang tercela.
Ketiga; hukum-hukum amaliah; yakni, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, akad dan
muamalah (interaksi) antar sesama manusia.
Kategori yang ketiga inilah yang disebut fiqh Alquran dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu ushul fiqh. Hukum-hukum amaliah di dalam Alquran itu terdiri atas dua macam, yakni:
1) Hukum ibadat; seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2) Hukum-hukum muamalat; seperti segala macam hokum perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
muamalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan antar sesame manusia,
baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Hukum-hukum selain ibadat
menurut syarak disebut dengan hukum mu’amalat.

Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata,
pidana, perundang-undangan internasional, ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-
maliyah), maka dalil-dalil hukumnya merupakan ketentuan yang umum atau masih
merupakan dasar-dasar yang asasi. Hal ini disebabkan karena hukum-hukum tersebut
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat
dihajatkan.

2. Sunah
a.Pengertian Sunah
Pengertian Sunah secara etimologis adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang selalu
dilakukan, tanpa mempermasalahkan apakah jalan atau cara tersebut baik atau buruk.

Sunah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa
qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (persetujuan) Nabi saw. Berdasarkan tiga ruang
lingkup Sunah yang disandarkan kepada Rasulullah saw. maka Sunah dapat dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu:
1) Sunah qauliyah; ialah sabda Nabi yang disampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
2) Sunah fi’liyah; ialah segala tindakan Rasulullah saw.Sebagai contoh adalah tindakan
beliau melaksanakan shalat 5 waktu sehari semalam dengan menyempurnakan cara-cara,
syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunah taqririyah; ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah saw.atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh
beliau sendiri.

You might also like