Professional Documents
Culture Documents
1
SMASH!
Eksploitasi Anak di Balik
Audisi Badminton Djarum
Diterbitkan oleh:
1
DAFTAR ISI
Pengantar................................................................................................ 5
Kolom-Kolom
Otak Anak Seperti Spons, Liza Djaprie, Psikolog.......................... 49
Eksploitasi Anak melalui Beasiswa Bulutangkis,
Hamid Patilima, Kriminolog.............................................................. 51
Menyelamatkan Indonesia di Babak Ketiga,
Reza Indragiri Amriel, Ahli psikologi forensik
Universitas Indonesia............................................................................ 53
Olahraga, Anak-anak, dan Pemasaran Rokok,
Sudut Pandang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan,
Jalal, Pendiri – A+ CSR Indonesia....................................................... 57
Melindungi Anak dari Zat Adiktif,
Muhammad Joni, Praktisi hukum..................................................... 61
Djarum dan Anak-anak, Nina Mutmainnah Armand,
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia............................... 65
Manipulasi di Balik Audisi, Gian Carlo Binti,
Praktisi Marketing and Business Development.................................... 69
Referensi................................................................................................ 71
4 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum
PENGANTAR
S
ELALU ada jalan lain ke Roma. Pepatah ini amat pas
disematkan kepada industri rokok. Mereka selalu punya
cara memasarkan produk tembakau kendati ruang geraknya
telah menyempit. Industri rokok selalu punya cara dan inovasi
agar produk mereka sampai ke tangan konsumen dan calon
konsumennya secara elegan. Tapi, sesungguhnya, “inovasi-
inovasi” industri rokok terus mengepung masyarakat dengan
candu nikotin bukan hal yang aneh karena mereka adalah bisnis
dengan omzet Rp 345 triliun setahun .
Lanskap pemasaran industri rokok berubah sejak 2009,
yaitu ketika pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
mengesahkan Undang-Undang Kesehatan. Beleid itu menjadi
tonggak dan sejarah baru bahwa Indonesia akhirnya memiliki
undang-undang yang berpihak kepada perlindungan kesehatan
masyarakat.
Undang-undang tersebut lahir melalui ikhtiar yang panjang,
penuh onak dan halangan, karena inisiatif-inisiatif baru dalam
undang-undang ini sudah muncul sejak 1992. Seperti ditulis
dalam buku “The Giant Pack of Lies” karya Mardiyah Chamim,
dkk. industri rokok giat melobi banyak pihak agar gagasan
dan keinginan para ahli kesehatan dan masyarakat agar rokok
digolongkan sebagai zat adiktif dalam Undang-Undang
Kesehatan tak bisa lolos.
Usaha industri rokok itu berhasil, setidaknya revisi terhadap
Undang-Undang Kesehatan mandek hingga 16 tahun. Maka
setelah gagal membendung keinginan masyarakat menjadikan
rokok sebagai zat adiktif yang harus dikendalikan distribusi
dan pemasarannya, mereka melakukan upaya terakhir dengan
menghapus pasal penting tersebut dari naskah rancangan yang
dikirim kepada Presiden. Seperti termuat dalam banyak berita
5
media, sejumlah politikus dan pejabat Departemen Kesehatan
ditengarai terlibat dalam penghilangan pasal krusial tersebut.
Cara culas itu terbongkar dan populer di publik dengan sebu-
tan “pencurian ayat tembakau”. Koalisi masyarakat melaporkan
“pencurian ayat” tersebut kepada polisi, tapi agaknya para penyi
dik kurang minat menelisik lebih jauh pelanggaran konstitusi be-
rat ini. Polisi menghentikan penyelidikannya dan kasus tersebut
menguap begitu saja. Para pelaku pencuri pasal tembakau kini
masih duduk di lembaga-lembaga terhormat negeri ini.
Segera setelah Undang-Undang Kesehatan disahkan, aturan
turunannya disiapkan. Salah satu yang pokok adalah peraturan
pemerintah tentang pengaturan iklan rokok di ruang-ruang
publik dan peringatan bahaya yang mengancam kesehatan
manusia pada bungkus-bungkus rokok. Sudah banyak penelitian
yang menyimpulkan bahwa prevalensi perokok makin memuda
akibat terpapar iklan rokok yang tayang secara bebas di pelbagai
media publik.
Dalam jurnal Pediatrics yang terbit 18 September 2007,
misalnya, jelas disebutkan bahwa anak-anak remaja di Amerika
Serikat hanya perlu empat tahun sejak terpapar iklan rokok,
dalam pelbagai jenis, untuk sampai menjadi pecandu nikotin. Di
Amerika, iklan rokok menyamar dalam bentuk kartun Joe Camel
yang digemari anak-anak.
Dalam penelitian 1991, The Journal of The American Medical
Associations bahkan secara tegas menyebut bahwa R.J Reynolds,
produsen rokok Camel itu, menyasar anak-anak sebagai target
utama konsumen mereka. Pada tahun itu sebanyak 32 persen
konsumen rokok cap Unta itu adalah anak-anak usia di bawah
18 tahun.
Kesimpulan itu kian kukuh ketika pengadilan San Francisco
membuka dokumen strategi pemasaran Camel. Dari dokumen
yang dibuka jaksa dari sebuah investigasi setelah publikasi
Jurnal The American Medical itu terungkap bahwa R.J Reynolds
menargetkan anak-anak dan remaja usia 14-24 sebagai “konsumen
7
Sayangnya, PP ini terlalu lemah sehingga larangan itu diakali
justru oleh peringatan pemerintah di bungkus dan baliho iklan
rokok yang menampilkan orang merokok. Sehingga, meskipun
iklannya tak menampilkan rokok dan orang merokok, publik
tahu iklan tersebut adalah iklan rokok karena gambar imbauan
pemerintah itu. Pemerintah justru yang melanggar larangannya
sendiri.
Seperti akan terlihat dari paparan dalam buku ini, Djarum
menyasar anak-anak dan remaja yang menjadi peserta audisi
beasiswa bulu tangkis. Sepintas pembinaan olah raga itu terlihat
baik-baik saja sebagai usaha sebuah korporasi membantu
memajukan sebuah cabang olah tubuh yang selalu menjadi
andalan pengumpul medali bagi Indonesia dalam turnamen-
turnamen internasional. Tapi seperti liputan di tiga kota—dari
sembilan kota tempat audisi—segera terlihat bahwa ribuan
anak-anak yang menjadi peserta itu sesungguhnya sedang
diindoktrinasi dengan brand Djarum.
Mereka tengah dikenalkan secara diam-diam kepada merek
sebuah produk yang digolongkan ke dalam zat adiktif. Para
remaja ini sedang dibuat terbiasa dengan produk berbahaya
karena dibungkus melalui kegiatan yang menyehatkan. Sejak
baliho, sejak tayangan, hingga kaos para peserta tak beda dengan
bungkus rokok yang diproduksi Djarum.
Seperti strategi R.J Reynolds dalam tayangan kartun di
Amerika, anak-anak Indonesia sedang dibuat terlena agar
menerima Djarum sebagai merek produk yang baik untuk
mereka, bukan produk berbahaya karena mengandung zat adiktif.
Inilah strategi Djarum menemukan “jalan lain ke Roma” untuk
mengakali larangan dan usaha pengendalian bahaya produk
tembakau bagi generasi muda Indonesia.
Buku ini upaya mengingatkan kita agar tak lengah dengan
cara-cara baru “membunuh Indonesia” lewat candu nikotin.
Selain reportase dari tiga kota, para ahli dari pelbagai bidang
keilmuan menganalisis audisi tersebut dari pelbagai sudut
Lisda Sundari
Ketua Yayasan Lentera Anak
9
10 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum
SMASH!
EKSPLOITASI ANAK
DI BALIK AUDISI
BADMINTON DJARUM
S
IAPA saja yang memasuki Kota Pekanbaru pada 24-26 Maret
2018 akan disambut dengan baliho dan bendera merah
dan putih bertuliskan vertikal “Audisi Umum Beasiswa
Bulutangkis”. Tulisan “Djarum” dengan huruf kapital yang
khas di semua bungkus rokok yang diproduksi perusahaan ini,
bertengger di atasnya, berdampingan dengan sketsa kok.
Spanduk dan baliho itu terpacak di sepanjang Jalan Riau, jalan
11
GOR meriah berbalut warna merah Djarum
13
Anak mengenakan kaus Djarum
15
Penjualan cinderamata Djarum dan kaus panitia
17
putrinya ikut seleksi audisi di Pekanbaru. Ia tiba di kota ini sehari
sebelum audisi berlangsung. “Demi mimpi anak saya menjadi
atlet bulu tangkis profesional dan memberikan pengalaman
bertanding lintas kota,” katanya di GOR Angkasa pada 23 Maret
2018.
Ibu Laras menganggap tak masalah pencarian bakat dilakukan
oleh PB Djarum, perusahaan rokok yang bertolak belakang
dengan tujuan olah raga, yakni menjadikan hidup sehat dan
mengukir prestasi. “Toh, orang ke sini buat ikut audisi, bukan
disuruh merokok,” katanya.
Tak semua orang tua seperti Ibu Laras. Pak Akbar dari
Pekanbaru sadar bahwa audisi bulu tangkis ini merupakan bagian
dari strategi bisnis Djarum untuk memelihara dan meluaskan
pangsa pasar mereka. Soalnya, kata dia, tak ada tindak lanjut dari
Djarum terhadap anak-anak yang tidak lolos audisi. “Audisi ini
kembali lagi tahun berikutnya tanpa ada tindak lanjut, jadinya
terlihat untuk bisnis semata,” kata dia di GOR Angkasa Pekanbaru
pada 23 Maret 2018.
19
atau “Tiket Super” berdasarkan penilaian juri. Mereka tersaring
dari 210 anak yang lolos ke tahap turnamen dari babak screening.
Dari jumlah itu, hanya 72 anak yang lolos pada hari kedua. Pada
hari ketiga, 72 anak ini kembali diadu, namun ada pembedaan
untuk juara putra dan putri. Untuk nomor putra, mereka yang
mampu mencapai semifinal langsung dinyatakan lolos ke audisi
final di Kudus, Jawa Tengah. Sementara untuk putri, hanya
mereka yang masuk final yang berhak bertanding dengan anak
lain dari kota lain di Kudus.
Selama seleksi, sambil menunggu giliran bertanding, anak-
anak bermain simulasi badminton di layar televisi. Ini permainan
badminton secara virtual dengan sebuah televisi layar lebar. Ada
21
Pengambilan gambar untuk Iklan audisi
P
B Djarum memilih Balikpapan di Kalimantan Timur sebagai
kota kedua audisi beasiswa bulu tangkis setelah Pekanbaru,
pada 14-16 April 2018, di Gedung Olah Raga Hevindo.
Menurut Fung Permadi, Balikpapan dipilih karena kota ini mudah
dijangkau dari kota-kota lain Indonesia dan lebih dekat ke pulau
Sulawesi dibanding kota lain di Kalimantan Timur.
Di kota minyak ini tersedia pelabuhan, bandar udara,
dan gampang dijangkau dengan mobil. “Bahkan bisa mudah
dijangkau dari Jakarta dan Makassar,” kata Yoppy Rosimin,
Direktur Program PB Djarum.
23
mengikuti empat senior mereka yang berjaya di cabang olah
raga ini. Maka panitia audisi memasang foto Praveen di lokasi
turnamen. Karena itu para peserta tak menyoal pemberi beasiswa
adalah perusahaan rokok yang bertolak belakang dengan
semangat olah raga, yakni olah tubuh untuk kesehatan.
Audisi Balikpapan meloloskan 24 atlet muda yang berhak
mengikuti pertandingan final di Kudus pada 7-9 September 2018.
Para Pencari Bakat PB Djarum memberikan tiket super kepada
enam orang yang gugur dalam babak turnamen tapi dinyatakan
punya bakat dan potensial. “Mereka menunjukkan semangat
dan punya teknik lebih baik dibanding peserta lain,” kata Fung
Permadi di GOR Hevindo Balikpapan pada 15 April 2018.
Mereka yang lolos ke Kudus di Balikpapan berasal dari
beragam kota: Nganjuk, Makassar, Manado, Kutai, Samarinda,
Gianyar, Balikpapan, Tanah Laut. Para peserta ini akan berebut
tiket lolos ke asrama pembinaan PB Djarum untuk dicetak
menjadi atlet dan diikutkan dalam pelbagai kompetisi badminton
lokal dan internasional.
T
AK berbeda jauh dengan di Pekanbaru dan Balikpapan, di
Manado panitia PB Djarum juga menyulap GOR Arie Lasut
di pusat kota seperti kantor PT Djarum. Umbul-umbul
berkibar di jalan-jalan memandu siapa saja, atau mengabarkan
kepada siapa saja, bahwa pada 5 Mei 2018 itu sedang ada Audisi
Umum Beasiswa Bulutangkis Djarum. GOR semakin meriah
karena kedatangan 505 peserta.
Jumlah peserta audisi beasiswa Djarum tahun ini meningkat
dibanding tahun lalu yang hanya diikuti 315 anak-anak usia 11-
15 tahun. Seperti juga di Pekanbaru, peserta tak hanya datang
dari kota-kota di Sulawesi Utara, melainkan datang dari Banten,
Jawa Tengah, Kalimantan, Ambon, Bali, hingga Papua. Mereka
antusias mengikuti seluruh rangkaian acara sejak pembukaan
hingga penutupan dua hari kemudian.
Para juri yang menilai bakat-bakat atlet muda dalam cabang
bulu tangkis di Manado terdiri dari legenda bulu tangkis asal kota
IKLAN BERJALAN
JIKA diperhatikan secara saksama, anak-anak yang berbaris
saat upacara pembukaan dalam audisi beasiswa badminton
Djarum itu mirip barisan bungkus rokok. Mereka memakai kaos
yang serupa dan mirip dengan bungkus rokok Djarum MLD.
Beberapa anak memakai kostum audisi tahun lalu yang motifnya
mirip bungkus rokok Djarum Super.
25
Iklan berjalan
“PERUSAHAAN YANG
MENYEBABKAN SAKIT BANYAK
ORANG, TAMPIL DENGAN
PROYEK OLAH RAGA YANG
MEMBUAT DIRINYA SEAKAN
PRO-KESEHATAN.”
—Jalal, pendiri – A+ CSR Indonesia
27
11 tahun hingga 13 tahun, mereka umumnya tidak mengetahui
bahwa Djarum adalah merek rokok. Beberapa anak bahkan
mengasosiasikan Djarum dengan peniti karena namanya.
Anak lain mengatakan bahwa mereka tahu Djarum sebagai
perusahaan yang memberikan beasiswa untuk pembinaan bulu
tangkis dari ayah dan ibu mereka. Pada anak-anak ini mereka
kurang paham bahwa Djarum adalah merek rokok. Mereka juga
tak terlalu mengerti bahwa rokok membahayakan bagi kesehatan
manusia, sepanjang tidak menghisapnya secara langsung.
Anak-anak di bawah usia 13 pada akhirnya mengerti bahwa
Djarum adalah merek rokok setelah mereka mengikuti audisi ini.
Dilihat dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, banyak anak
yang gagal melaju ke Kudus lalu mengikuti kembali audisi ini
di kota mereka, bahkan di kota lain. Meski sudah mengetahui
Djarum adalah rokok, mereka tertarik terus mengikuti turnamen
ini karena mimpi menjadi atlet bulu tangkis.
Menurut psikolog Liza Djaprie, otak anak seperti spons, yang
lentur menyerap semua informasi yang diterimanya. Otak mereka
akan menyerap informasi sesuai yang tersampaikan kepadanya.
“Sehingga jika rokok dipersepsikan sebagai bulu tangkis, mereka
akan menerima seperti itu,” katanya dalam wawancara di Hotel
Ibis Tamarin Jakarta, 28 Agustus 2018. “Sama halnya jika mereka
menyerap Djarum sebagai pemberi beasiswa.”
Hasilnya, kata Liza, adalah denormalisasi rokok sebagai
produk yang berbahaya bagi kesehatan. Ribuan anak yang
menjadi peserta akan menganggap bahwa rokok adalah produk
yang baik, terasosiasi dengan olah raga, dan Djarum adalah
perusahaan yang dermawan dan peduli dengan pengembangan
badminton.
Dalam ilmu psikologi asosiasi semacam ini disebut priming
effects. Dalam Thinking, Fast and Slow (2012), Daniel Kahneman
menjelaskan bahwa otak manusia terbagi ke dalam pikiran yang
bekerja cepat dan lambat. Priming effects mengendalikan bagian
otak yang berpikir cepat. Ia mengolah informasi dengan asosiasi-
asosiasi sesuai dengan informasi yang diterimanya.
29
Menurut Daniel Kahneman, iklan dan alat peraga promosi,
dengan persuasinya yang menyenangkan, sanggup menembus
benteng pertahanan otak yang berpikir lambat. Meskipun otak
lambat cenderung skeptis dan rasional serta penuh pertimbangan,
sehingga bisa menolak hal-hal yang tak logis, ia sering sibuk dan
cepat lelah. Karena itu, kata Daniel, otak lambat juga gampang
terpengaruh, terutama jika tubuh dalam keadaan lelah.
Maka audisi beasiswa badminton Djarum itu cara paling efektif
menanamkan misi Djarum dengan sangat efektif. Ia mengandung
priming effects sehingga para peserta audisi akan menerima
asosiasi positif dari merek Djarum sebagai brand rokok. Anak-
anak ini juga gampang terpengaruh karena otak skeptis mereka
juga lemah karena tubuh sedang kelelahan setelah bertanding.
Sumber: pbdjarum.org
33
PROMOSI KAOS VS SPANDUK
P
ada 21 Agustus 2018 penulis mengonsultasikan
biaya yang harus dikeluarkan sebuah perusahaan
jika menggunakan spanduk untuk promosi kepada
salah satu agen periklanan di Jakarta. Di bawah adalah
simulasi untuk membandingkan biaya promosi yang
harus dikeluarkan dengan menggunakan spanduk
ukuran 1x4 meter (dikenai pajak daerah Rp125.000/
buah/hari ) dan biaya promosi dengan menggunakan
kaos (yang dikenakan 4.058 peserta audisi 2017 dan tidak
dikenai pajak).
35
Nina, PB Djarum patut diduga lebih menonjolkan
komunikasi merek sebagai upaya perusahaan menggelar
audisi bulu tangkis. Soal beasiswa bagi para atlet muda
yang seharusnya menjadi kampanye pokok acara ini
menjadi tenggelam. Hal itu terlihat, misalnya, acara
yang meriah menampilkan logo Djarum di setiap tempat
audisi menunjukkan PB Djarum ingin menekankan
soal ketertarikan masyarakat terhadap merek produk
perusahaan ini.
37
penyalahgunaan zat adiktif.
Ayat 2e pada pasal itu bahkan menyebut “korban zat adiktif
lainnya”. Artinya, ketentuan ini menyangkut rokok karena
produk ini adalah turunan produk tembakau yang mengandung
39
remaja dan dewasa muda. Maka anak-anak dan remaja adalah
target industri rokok untuk meluaskan jumlah konsumen dan
mempertahankan industri mereka.
Philip Morris:
“REMAJA MASA KINI ADALAH
CALON PELANGGAN RUTIN
BESOK, DAN SEBAGIAN BESAR
PEROKOK PERTAMA MULAI
MEROKOK SAAT MASIH REMAJA.
POLA MEROKOK REMAJA
SANGAT PENTING BAGI PHILIP
MORRIS.”
RJ Reynolds:
“KELOMPOK USIA 14-18 TAHUN
AKAN MENINGKATKAN
SEGMEN POPULASI MEROKOK.
RJR-T HARUS SEGERA
MEMBENTUK MEREK BARU
YANG SUKSES DI PASAR INI JIKA
KITA INGIN BERTAHAN LEBIH
LAMA DI INDUSTRI INI.”
Lorillard Tobacco:
“BASIS BISNIS KAMI ADALAH
SISWA SEKOLAH.”
U.S.Tobacco:
“CHERRY SKOAL UNTUK
SESEORANG YANG MENYUKAI
RASA PERMEN, JIKA ANDA TAHU
PEPATAH INI.”
41
memakai segala cara untuk mengenalkan produk mereka kepada
konsumen semuda mungkin.
43
Patut dicatat, tiga tahun sebelumnya, pemerintah menerbitkan
PP 109 tentang larangan iklan rokok dan pemuatan bahaya
merokok di bungkusnya dengan gambar menyeramkan. PP
ini merupakan turunan dari Undang-Undang Kesehatan
yang memasukkan rokok sebagai produk turunan olahan
tembakau yang mengandung zat adiktif sehingga konsumsi dan
distribusinya harus dikendalikan.
Slogan “Rokok Membunuhmu” tercantum di PP ini. Walhasil,
iklan rokok mulai dibatasi, tak boleh mempertontonkan kegiatan
orang merokok, terlarang dipasang di dekat sekolah dan pusat-
pusat kegiatan anak. Turunan PP itu adalah perintah kepada
semua kepala daerah menjadikan wilayahnya sebagai Kawasan
Tanpa Rokok.
Geliat industri rokok mulai dibatasi seiring kesadaran publik
yang meningkat akan bahaya produk bisnis ini. Karena itu industri
perlu inovasi-inovasi baru dalam mengenalkan produk mereka
dan memasarkannya. Audisi beasiswa olah raga merupakan cara
yang jenius karena merengkuh empat hal sekaligus.
• Pertama, seperti dalam pendapat anak-anak yang menjadi
peserta, Djarum menjadi merek yang terasosiasi dengan
perusahaan pemberi beasiswa. Dengan predikat ini anak-
anak mendapatkan kesan positif bahwa Djarum adalah
perusahaan yang peduli terhadap anak-anak yang bercita-
cita menjadi atlet bulu tangkis. Namun, ketika usianya
bertambah mereka tahu Djarum adalah merek rokok.
Tapi karena kesan pertama yang mereka dapatkan adalah
Djarum adalah pemberi beasiswa, para peserta dan orang
tua mereka tak mempermasalahkan Djarum menghela
olah raga ini.
• Kedua, Djarum mendukung olah raga, kegiatan yang
menyehatkan yang menjadi kebalikan dari produk mereka
yang merusak kesehatan. Anak-anak
• Ketiga, iklan terselubung. Karena audisi, pengibaran panji-
panji Djarum, baliho, kaos, dan desain panggung, juga
pengumuman di media sosial, tersaput pada kegiatan
“AUDISI BEASISWA
BADMINTON DJARUM ADALAH
SALAH SATU CONTOH
CSR-WASHING. OLAH RAGA
MERUPAKAN SALAH SATU
JALAN CSR-WASHING INDUSTRI
ROKOK YANG PALING POPULER,
SELAIN MUSIK.”
—Jalal, Pendiri – A+ CSR Indonesia
45
bisa dikategorikan eksploitasi karena perusahaan mengambil
keuntungan ekonomi dari kegiatan tersebut.
Djarum mendapatkan promosi dan iklan melalui audisi
tersebut, sementara anak-anak dan orang tua mereka yang
menjadi peserta tak sadar telah menjadi alat promosi merek
sebuah rokok yang mengancam masa depan mereka.
47
48 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum
OTAK ANAK
SEPERTI SPONS
D
alam psikologi, eksploitasi itu diartikan sebagai meminta
sesuatu kepada orang lain, tanpa orang lain itu sadar
ketika melakukannya. Dalam hal audisi badminton
Djarum, ada sekian ribu anak-anak yang dimanfaatkan untuk
mendapat keuntungan oleh sebuah perusahaan rokok. Anak-
anak ini memakai kaos berlogo sebuah perusahaan, tanpa sadar
bahwa logo tersebut adalah logo rokok.
Analisis, logika, dan cara berpikir anak-anak ini belum
bekerja sehingga mereka belum memiliki kemampuan untuk
menganalisis informasi dengan bijak, tidak punya kemampuan
logika yang cukup bagus untuk menimbang apa yang sedang
terjadi. Karena itu yang akan muncul di benak anak-anak ketika
ikut audisi adalah perusahaan rokok tersebut sangat dermawan.
Asumsi anak-anak itu sangat simpel: ketika orang berbuat
baik, memberikan sesuatu yang banyak, melakukan hal yang
baik juga menurut asumsi mereka, perusahaan tersebut tidak
menyakiti mereka, artinya perusahaan itu menjadi baik. Ketika
perusahaan ini dianggap baik, perusahaan ini akan jadi panutan
sehingga mereka mengesampingkan bahwa rokok itu tidak baik
buat mereka.
Ini mengkhawatirkan, karena ketika itu sudah tersimpan di
bawah alam sadar, tinggal tunggu waktu saja, ketika mereka
sudah dewasa, tinggal tunggu momennya, mereka akan mencari
pelampiasan. Sementara yang ada di benak mereka adalah
Djarum. Sama seperti cara kerja merek tertentu. Karena sebuah
iklan atau cerita teman, sebuah obat merek tertentu kita anggap
49
bagus. Maka ketika luka, obat itulah yang akan kita cari dan pakai.
Karena itu, audisi ini menjadi semacam eksploitasi karena
anak-anak itu tanpa sadar terpapar oleh logo merek. Djarum
memang tidak mempresentasikan rokok, rasanya, atau hal lain,
tapi justru karena itu anak-anak ini akan menyerapnya demikian.
Djarum pasti akan mengatakan mereka tak memaksa karena
peserta datang sendiri. Betul, karena itu saya katakan bahwa niat
Djarum ini bagus hanya caranya keliru.
Audisi Djarum menjadi bentuk eksploitasi ketika logo
perusahaan, yang itu adalah merek rokok, terpampang di mana-
mana. Di kaos, di spanduk. Seandainya yang tercetak di kaos itu
kata Indonesia atau kata lain yang bukan merek rokok, audisi
menjadi tidak eksploitatif.
Iklan rokok pasti tidak akan mengatakan, “Ayo, hisap rokok
kami”, dan seterusnya. Iklan itu sangat reseptif. Alam pikir anak-
anak itu seperti spons. Ia akan menyerap apa saja yang masuk
ke dalamnya. Jika kita masukkan spons ke air, ia akan berisi air.
Jika kita masukkan ke minyak goreng, ia juga akan berisi minyak.
Batas analisis dan logika resistensi mereka itu antara alam sadar
dan alam bawah sadar itu tipis sekali. Apa pun yang dikatakan
orang luar akan ditelan bulat-bulat oleh otak mereka, seperti
spons menyerap apa pun yang datang kepadanya.
A
UDISI Umum Djarum Bulutangkis di berbagai kota telah
menjaring 222 anak penerima beasiswa bulu tangkis dari
17.726 anak sejak 2008 hingga 2017. Upaya sadar dan
berkelanjutan PB Djarum meningkatkan jumlah peserta audisi
menarik untuk dikritisi, karena yang teringat dalam benak anak-
anak peserta seleksi, bila ditanyakan apa PB Djarum adalah
“Rokok” dan PB Djarum adalah “Bulu tangkis.”
Strategi marketing yang cerdas, namun eksploitatif ini berhasil
membranding sebuah produk kepada anak-anak sebagai calon
konsumen pada masa kini dan datang. Selain itu, melemahkan
pemerintah dan pemerintah daerah dalam melindungi dan
memenuhi hak tumbuh dan kembang anak.
Pemerintah telah menetapkan bahwa “setiap penyelenggaraan
kegiatan yang disponsori oleh produk tembakau dan/atau
bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau dilarang
mengikutsertakan anak di bawah usia 18 (delapan belas)
tahun.” Bila ketentuan ini diabaikan, penyelenggara kegiatan
dimaksudkan dikenakan sanksi oleh pejabat Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya.
Cerdasnya penyelenggara PB Djarum dalam mengemas Audisi
Djarum Bulutangkis berdampak pada semakin meningkatnya
prevalensi merokok pada anak-anak. Berbagai studi menyebutkan
“iklan, promosi, dan sponsor rokok atau yang terkait dengan
branding dapat menimbulkan keinginan anak-anak untuk
memulai merokok, mendorong anak-anak perokok untuk terus
51
merokok dan mendorong anak-anak yang telah berhenti merokok
untuk kembali merokok (Penjelasan PP109/2012).
Penyelenggaraan Audisi Djarum Bulutangkis secara sadar,
terstruktur, dan berkelanjutan memoles potensi anak untuk
menjadi seorang calon “Juara”, namun meninggalkan sebuah
pesan yang sangat sulit terhapuskan pada memori anak tentang
“Djarum” sebagai rokok. Perusahaan rokok, perusahaan
penyelenggara, pembuat iklan, perusahaan penyiaran (Kompas
TV), dan lain-lainnya, di balik penyelenggaraan audisi ini telah
mendapatkan banyak keuntungan secara materi dan immateri.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) melakukan pembiaran atas strategi
marketing yang sangat merugikan pemenuhan hak-hak anak.
Penghindaran anak dari eksploitasi yang sangat sistematis, orang
tua perlu melakukan langkah-langkah sadar dalam menelusuri
jejak perusahaan penyelenggara audisi, bila ini tidak dilakukan,
orang tua turut serta dalam melakukan pengabaian terhadap
anaknya.
KPI yang memiliki kewenangan dalam melakukan pengawasan
terhadap isi dan waktu penayangan perlu memberikan sanksi
yang maksimal ke lembaga penyiaran. KPAI seharusnya proaktif
melakukan pemantauan, pengawasan, dan bertanggung jawab
terhadap kegiatan yang mengikutsertakan anak, di mana dapat
diduga terjadinya eksploitasi terhadap anak.----
P
ADA tulisan Ibu Hamil dalam Ancaman Narkoba (Media
Indonesia, 2016), saya menyinggung betapa pentingnya
ibu hamil yang mengonsumsi rokok diperlakukan setara
dengan ibu hamil yang menyalahgunakan narkoba. Tujuannya
adalah untuk melindungi anak dari konsekuensi maut narkoba
dan rokok.
Kegelisahan sekian tahun lalu yang melatari narasi itu ternyata
‘tidak ada apa-apanya’ dibandingkan dengan realitas yang baru
saja saya temukan datanya. Data ini menyangkut bagaimana
sebuah perusahaan rokok raksasa menyelenggarakan program
besar pembinaan atlet bulu tangkis.
Informasi yang tersaji di situs perusahaan rokok itu
memamerkan angka-angka tentang begitu tingginya animo
anak-anak untuk mengikuti seleksi calon atlet binaan. Yakni, dari
445 anak pada tahun 2008 meningkat tajam ke 4.000 lebih anak
peserta audisi di sembilan tahun berikutnya. Itu berarti, dalam
kurun kurang dari satu dasawarsa, terjadi pelonjakan sekitar
1.000 persen anak yang terpikat menjalani seleksi yang diadakan
oleh perusahaan rokok tersebut.
Terlalu naif memandang ribuan anak-anak tersebut sebatas
generasi belia yang bercita-cita menjadi olahragawan. Ini bukan
ihwal bagaimana anak-anak mengembangkan diri menjadi
atlet profesional an sich. Keberadaan perusahaan produsen
rokok sebagai penyelenggara program audisi tahunan tersebut
mengharuskan semua pihak untuk secara bijak mencermatinya
53
sebagai bentuk cognitive dissonance yang dimainkan perusahaan
tersebut untuk menetralkan persepsi masyarakat akan bahaya
rokok, utamanya di kalangan anak-anak.
Cognitive dissonance merupakan kondisi ketika manusia
berhadapan dengan sejumlah informasi yang bertentangan
satu sama lain mengenai objek tertentu. Spesifik dalam kasus
ini, informasi-informasi yang saling kontras itu adalah rokok
(diidentikkan sebagai benda yang menyakitkan) dengan olahraga
bulu tangkis (terasosiasi sebagai benda yang menyehatkan).
Berada dalam cognitive dissonance, manusia mengalami kerancuan
berpikir. Akibatnya, manusia akan mengalami kesulitan untuk
menarik simpulan pasti atas objek tersebut. Konkretnya,
masyarakat--utamanya anak-anak--akan tidak mampu
menentukan sikap definitif mereka terhadap rokok.
Anggaplah pada satu sisi anak-anak bisa membaca dan
memahami pesan tentang bahaya rokok, termasuk “rokok
membunuhmu!”, yang terpampang di bungkus dan media
promosi rokok. Namun pada sisi lain, program audisi atlet
badminton justru membentuk kebutuhan di dalam diri anak-anak
(dan orang tua mereka) untuk kemudian bergerak aktif mendekati
layanan yang disediakan oleh benda yang memunculkan
risiko kematian tersebut. Manakala masyarakat dan anak-anak
sudah mengalami kegamangan, itulah pertanda keberhasilan
perusahaan rokok dalam menciptakan narasi kontra akan bahaya
rokok. Ibarat sebuah pertandingan, kedudukan antara antirokok
dan prorokok sudah imbang, 1-1. Tinggal lagi, strategi-strategi
susulan dibombardemen ke publik—khususnya anak-anak—
agar kelak skor berubah menjadi 1-2, 1-3, dan seterusnya untuk
kemenangan perusahaan rokok.
Data lain dari situs perusahaan rokok yang sama menjadi
dasar bagi masyarakat untuk kian waswas. Yaitu, jumlah peserta
audisi yang akhirnya terpilih sebagai atlet binaan perusahaan
rokok tersebut. Dalam rentang waktu yang sama, anak-anak yang
terpilih adalah berjumlah 20 (tahun 2008) dan 29 orang pada 2017.
Jadi, rerata tahunan ternyata tak jauh-jauh dari angka 20an anak.
55
Pertanyaan tertuju ke tiga pihak. Pertama, di mana
sesungguhnya posisi negara--utamanya Pemerintah--terhadap
rokok. Kedua, di mana gerangan kiprah para pelaku usaha
selain industri rokok dalam memajukan dunia perbulutangkisan
nasional. Ketiga, di mana peran orang tua dalam mendidik anak-
anak mereka akan bahaya tingkat tinggi yang bersumber dari
rokok.
Khusus berkenaan dengan pihak ketiga di atas, dalam khazanah
pendidikan moral dan dihubungkan dengan soal kesehatan,
anak-anak--apalagi yang masih bau kencur--membutuhkan
informasi dan sikap yang pasti. Kepada anak-anak seharusnya
dihidangkan penjelasan yang hitam atau putih, buruk atau baik,
sakit atau sehat, jauhi atau dekati. Informasi dan sikap yang abu-
abu, apalagi ketika orang tua ternyata adalah perokok, jelas akan
menjerumuskan anak ke dalam cognitive dissonance. Dan itu sama
sekali tidak konstruktif bagi upaya menumbuhkan kesadaran
sekaligus perilaku antirokok.
Hajatan nasional audisi atlet bulu tangkis oleh perusahaan
rokok, tidak cukup dilihat sebagai masalah hari ini saja. Di
hadapan kita, dari tahun ke tahun, ada program rekayasa
pikiran terhadap ribuan anak Indonesia yang dilakukan secara
masif. Negara, dengan semangat revolusi mentalnya, semoga
sanggup melancarkan smash mematikannya untuk memastikan
kemenangan di babak rubber set. Demi anak-anak Indonesia, insya
Allah.----
A
DA banyak penelitian yang membuktikan bahwa
perusahaan-perusahaan yang berada di industri-industri
yang kontroversial atau penuh dosa (controversial or sinful
industries) cenderung lebih banyak menggelontorkan sumber daya
untuk memoles citra mereka. Industri-industri itu—energi fosil,
judi, minuman keras, dan rokok, untuk menyebut yang paling
kerap dijadikan contoh—memang kesulitan menangani dampak
negatif bisnis inti mereka, sehingga kemudian melakukan banyak
kegiatan untuk menutupi dampak negatifnya.
Tanggung jawab perusahaan terhadap dampak yang
diakibatkan oleh keputusan dan tindakan perusahaan adalah
pengertian yang sebenarnya dari tanggung jawab sosial
perusahaan atau corporate social responsibility, biasa disingkat
dengan CSR. Namun, pengertian itu kerap diselewengkan, agar
perusahaan tidak benar-benar menegakkannya. Dan upaya
penyelewengan tersebut, dikenal sebagai CSR-washing, itu
banyak yang berhasil lantaran masyarakat banyak yang belum
paham atas makna CSR yang sebenarnya. Perusahaan yang
melakukan CSR bertujuan untuk berkontribusi terhadap tujuan
pembangunan berkelanjutan; sementara pelaku CSR-washing
bisnisnya bertentangan dengan tujuan tersebut.
Tujuan dari CSR-washing adalah menampilkan citra yang baik,
57
tanpa harus benar-benar bertanggung jawab atas dampaknya.
Tentu, hal ini membutuhkan upaya komunikasi yang jauh
lebih masif dibandingkan dengan apabila perusahaan benar-
benar bertanggung jawab atas dampak bisnisnya. Jadi, bila ada
perusahaan yang berada pada industri yang kontroversial atau
penuh dosa, melakukan kegiatan sosial yang tak mengurusi
dampak negatif bisnis inti mereka, dengan komunikasi yang
masif, maka kita sudah bisa menduga bahwa mereka sedang
melakukan CSR-washing.
Djarum Beasiswa Bulutangkis adalah salah satu contoh
CSR-washing ini. Rokok adalah produk yang menyakitkan dan
mematikan. Jumlah orang yang sakit dan meninggal lebih cepat
dari cohort-nya lantaran rokok sudah diketahui secara ilmiah
sejak lama. Industri ini juga bertanggung jawab atas pemiskinan
masyarakat, lantaran konsumennya banyak yang datang dari
kalangan miskin. Bayangkan, mereka yang miskin kemudian
sakit dan meninggal, tentu akan meninggalkan beban yang berat
untuk keluarganya. Di Indonesia, setiap 3 hingga 5 tahun sekali
Riskesdas menunjukkan dampak kesehatan dari rokok; dan
setiap kuartal BPS mengingatkan kaitan antara rokok dengan
kemiskinan.
Kalau CSR menekankan perusahaan untuk bertanggung jawab
atas itu, CSR-washing malah memberi ide untuk mengelak dari
tanggung jawab itu. Maka, ada banyak contoh bahwa perusahaan
melakukan hal-hal yang ironis. Perusahaan yang banyak emisinya,
menanam pohon dalam jumlah pohon yang kalau dihitung maka
sangat sedikit menyerap karbon dibandingkan dengan jumlah
emisinya. Perusahaan yang bisnisnya memiskinkan banyak orang,
memberikan dana yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan
dengan nilai pemiskinan yang terjadi. Dan, perusahaan yang
menyebabkan sakit banyak orang, tampil dengan proyek olah
raga yang membuat dirinya seakan pro-kesehatan.
Yang terakhir itulah yang dilakukan oleh Djarum dengan
beasiswa bulutangkisnya. Kita tak boleh lengah atas dampak
kesehatan yang timbul akibat konsumsi rokok. Kita juga tak
59
dalam materi komunikasi itu? Apakah orang tua mereka sadar
bahwa anak-anak mereka telah terlibat dalam iklan, promosi, dan
sponsorship rokok sekaligus? Tampaknya tidak.
Pertanyaan terpentingnya kemudian adalah apakah kegiatan
ini berhasil sebagai CSR-washing? Tentu hal ini membutuhkan
kajian yang lebih serius. Tetapi penelitian-penelitian telah
membuktikan bahwa olah raga merupakan salah satu jalan CSR-
washing industri rokok yang paling popular, selain musik. Anak-
anak juga terus menjadi target industri rokok sejak beberapa
dekade lalu. Kajian-kajian serupa telah menunjukkan bahwa bila
perusahaan rokok melakukan kegiatan sosial, banyak perokok
yang berpikir bahwa perusahaan itu lebih baik dibandingkan
perusahaan rokok yang lain, bahkan dibandingkan perusahaan di
sektor lainnya.
Kemudian, kalau sebagian saja dari anak-anak peserta audisi,
maupun anak-anak yang terpapar kegiatan tersebut, memandang
bahwa rokok adalah barang normal, yang layak dikonsumsi
ketika mereka dewasa, itu berarti Djarum telah berhasil
mengurangi tekanan publik atas mereka. Kalau di kemudian hari
di antara anak-anak itu menjadi perokok, apalagi kalau mereka
mulai merokok di usia pra-dewasa, maka itu adalah keberhasilan
tertinggi CSR-washing yang mereka lakukan.
Yang bangsa Indonesia perlu ingat adalah semakin berhasil
CSR-washing, semakin jauh bangsa ini dari pencapaian Sustainable
Development Goals (SDGs). Kalau von Eichborn dan Abshagen
(2015) menyimpulkan bahwa 11 dari 17 Tujuan SDGs bakal sulit
bahkan mustahil dicapai bila rokok tak dikendalikan, saya sendiri
(Jalal, 2016) menemukan bahwa mungkin lebih tepat disebutkan
13 dari 17 Tujuan SDGs. Kalau kita benar-benar ingin SDGs itu
dicapai negeri ini, maka sudah seharusnya produksi dan konsumsi
rokok dikendalikan. Dan untuk itu berarti CSR-washing industri
rokok harus dihentikan.
Depok, 18 Agustus 2018
S
AYA melihat ada tiga aspek yang bisa dibahas dari Audisi
Beasiswa Badminton Djarum dari segi perlindungan
anak. Dalam kategori usia, peserta audisi masih dalam
kualifikasi perlindungan, yakni di bawah 18 tahun. Karena itu
mereka termasuk ke dalam usia rentan, yang perlu perlindungan
terhadap perkembangan maupun hal-hal yang terjadi maupun
yang diintervensi terhadap mereka.
Prinsip utama perlindungan terhadap hak anak adalah
kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang mereka. Tumbuh kembang anak
tidak bisa dipisahkan atau dalam satu tarikan nafas dengan
hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya. Jadi ada
pengaruh yang signifikan terhadap lingkungan anak dalam
audisi badminton tersebut dengan tumbuh kembang para peserta.
Mereka jadi lebih mudah diintervensi dalam penggunaan atau
pembiasaan terhadap rokok sebagai zat adiktif.
Rokok adalah zat adiktif. Secara eksplisit dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak harus
dilindungi dari zat adiktif. Jadi sangat beralasan perlu ada
perlindungan terhadap para peserta bahkan pelarangan terhadap
audisi produk berbahaya yang melibatkan anak sebagai peserta.
Hal lain mengingat anak-anak ini kelak punya peran bagi
generasi mereka, pelibatan mereka dalam audisi badminton
yang mengiklankan rokok, maka bisa digolongkan ke dalam
penyalahgunaan ataupun eksploitasi ekonomi, karena ada
kepentingan ekonomi di balik audisi itu. Aspek eksploitasi makin
61
kentara karena para peserta tersebut digolongkan ke dalam
kelompok usia yang rentan. Eksploitasi terjadi jika ada orang
yang mendapatkan manfaat dari para peserta.
Dalam hal ini, Djarum tentu mendapat manfaat dari audisi,
yakni brand awareness terhadap produk mereka. Apakah anak-
anak itu juga mendapatkan manfaat? Tentu saja. Tapi ini seperti
analogi penjajahan. Apakah orang Indonesia beruntung karena
dijajah Belanda yang membangun infrastruktur? Tentu saja.
Tapi Belanda mendapat untung jauh lebih besar karena mereka
mendapatkan penguasaan sumber daya alam.
Maka Djarum mendapatkan manfaat jauh lebih besar dari
audisi ini ketimbang keuntungan ekonomi yang didapat para
peserta. Setidaknya ada pencitraan perusahaan bahwa Djarum
adalah perusahaan yang peduli pada olah raga bulu tangkis.
Keuntungan lain adalah mereka tengah membangun pasar masa
depan karena peserta adalah anak dan remaja. Maka pemenang
utama dari audisi beasiswa badminton ini adalah Djarum, bukan
anak-anak yang lolos ke Kudus bahkan menjadi juara badminton
kelak.
Audisi ini juga patut diduga sebagai upaya Djarum
menormalkan produknya. Rokok adalah produk tidak normal
karena mengandung zat adiktif. Audisi ini usaha agar produk ini
dianggap biasa oleh masyarakat. Apalagi audiensnya anak-anak.
Mereka tahu ada iklan yang menyebutkan rokok berbahaya tapi
mereka menjadi terbiasa karena toh perusahaannya punya citra
baik sebagai penyokong olah raga dan pemberi beasiswa.
Audisi sebagai eksploitasi atau bukan eksploitasi memang
akan tergantung pada sudut pandangnya. Anak dan orang tua
mereka bisa merasa bukan objek eksploitasi, tapi cara pandang
undang-undang tentu tak bisa didasarkan oleh cara pandang
perorangan. Paradigma ini harus diuji kesahihannya di muka
hukum. Bagi saya, definisi eksploitasi itu jelas jika ada yang
diuntungkan secara ekonomi sehingga ada korbannya. Pasal
66 UU Perlindungan Anak jelas mengamanatkan agar negara
melindungi anak dari eksploitasi ekonomi.
63
64 — SMASH! Eksploitasi Anak di Balik Audisi Badminton Djarum
DJARUM DAN
ANAK-ANAK
D
jarum dan anak-anak. Itu dua hal yang berseberangan.
Djarum adalah merek rokok, sementara anak-anak harus
dilindungi (dan karenanya harus dijauhkan) dari rokok.
Dua hal yang seharusnya berada pada tempat berseberangan itu
disatukan oleh Djarum Foundation dengan amat baik melalui
Audisi Beasiswa Djarum Badminton. Program ini adalah seleksi
pemain badminton muda usia 6-14 tahun yang diselenggarakan
PB Djarum sejak tahun 2015, yang diselenggarakan di berbagai
kota untuk menjaring bibit pemain badminton.
Program audisi ini dipromosikan besar-besaran menggunakan
media-media above the line dan below the line, antara lain liputan
di media cetak dan televisi, iklan di media cetak, iklan di kanal
YouTube, promosi di situs, program siaran khusus di televisi,
umbul-umbul serta spanduk yang bertebaran di jalan-jalan dan
sekitar lokasi acara, serta melalui media sosial .
Semua bentuk promosi itu menampilkan kata Djarum, yang
kita semua tahu adalah merek rokok. Dalam acara audisi yang
diliput dan dipromosikan, anak-anak peserta audisi ditampilkan
dengan menggunakan baju kaus dengan logo Djarum di bagian
depan. Dengan demikian tubuh anak-anak itu digunakan sebagai
sarana mempromosikan merek rokok. Tidak hanya itu, anak-
anak peserta audisi (dan juga kita semua khalayak dari berbagai
kelompok usia yang melihat promosi audisi tersebut melalui
berbagai media) menyaksikan di tempat acara bagaimana tulisan-
logo Djarum muncul di berbagai pojok venue. Seluruh fasilitas
65
dalam tempat acara didesain berwarna merah dan hitam dengan
logo Djarum, antara lain di panggung, tenda, gerai registrasi, gerai
penjual makanan, seragam panitia dan SPG, bahkan juga game.
Pada semua itu tulisan-logo Djarum ditampilkan dengan
jauh lebih besar dibandingkan tulisan lainnya. Jelas yang ingin
ditonjolkan adalah merek Djarum, yang tidak lain tidak bukan
adalah merek rokok.
Melalui kegiatan ini tampak bahwa Djarum Foundations
sedang menanamkan brand image tentang merek rokok Djarum.
Brand image adalah persepsi merek di benak pelanggan, atau
bagaimana pelanggan memikirkan suatu merek. Brand image
lebih dari sekadar logo yang mengidentifikasi bisnis, produk
atau layanan yang diberikan, tetapi “it is a mix of the associations
consumers make based on every interaction they have with your
business”.
Dengan membuat program acara yang menyasar anak-
anak, Djarum sedang berupaya menancapkan image tentang
merek Djarum di kalangan anak. Dengan aktivitas itu, mereka
memperkenalkan merek kepada anak-anak dan berusaha
menciptakan persepsi positif tentang merek rokok tersebut
(yang dikaitkan dengan sumbangsih Djarum menemukan dan
mengembangkan bakat anak-anak di bidang bulu tangkis).
Sekaligus dengan munculnya image positif mengenai merek
Djarum, melalui penanaman merek ini juga dapat lahir gambaran
bahwa rokok adalah suatu produk normal, yang baik, produk
yang tidak bermasalah sama sekali, bahkan merupakan sesuatu
yang hebat. Kegiatan ini pada dasarnya menjadi bagian dari upaya
industri rokok untuk menangkal upaya denormalisasi rokok
dari barang normal menjadi tidak normal, sebuah upaya yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat pengendalian
tembakau. Sesungguhnya melalui semua kegiatan tersebut
Djarum sedang melakukan upaya penyesatan informasi yang
meremehkan dampak kesehatan bagi anak-anak.
Penanaman image mengenai rokok ini dilakukan dengan cara
yang halus, masuk ke alam bawah sadar dengan tanpa terasa.
D
jarum dan anak-anak. Kedua hal tersebut seharusnya
berseberangan. Tetapi bagi Djarum, tampaknya anak-
anak bukan berada di posisi berseberangan. Mereka
adalah kelompok yang mau diraih sebagai pangsa pasar dan
karenanya harus terus didekati.
Hal ini tidak mengherankan karena upaya industri rokok
untuk menyasar kaum muda sudah menjadi rahasia umum. Pada
Djarum sendiri, tekad agar produknya juga digemari generasi
yang lebih muda dapat dilihat pada apa yang terjadi pada akhir
1990-an. Saat itu timbul keinginan Djarum agar produknya tidak
lagi hanya dikonsumsi oleh generasi 1970-an atau 1980-an.
Djarum menyebut generasi yang lebih muda sebagai potential
buyer. Saat itu, iklan-iklan yang lama dirasakan sudah tidak
pas untuk generasi muda dan dianggap “jadul”. Karena itulah
Djarum melakukan rejuvenasi (peremajaan) produk demi meraih
pangsa pasar baru anak muda. Untuk menjangkau kalangan
muda, komunikasi produknya dibuat lebih segar.
Upaya peremajaan diawali saat tahun-tahun krisis 1997—1998.
Yang pertama kali mendapat upaya peremajaan adalah Djarum
Coklat. Setelahnya juga lahir peremajaan iklan Djarum 76. Maka
lahirlah promosi iklan besar-besaran Djarum Coklat dan Djarum
76 yang dilakukan oleh biro iklan Dwi Sapta Pratama. Oleh biro
iklannya, upaya promosi rokok ini dinyatakan akan dilakukan
terus-menerus, tiada henti, a never ending process demi meraih
kaum muda sebagai potential buyers.
Djarum terus konsisten beriklan menyasar anak muda.
Sementara itu Djarum Foundation –yang disebut sebagai CSR-nya
perusahaan rokok Djarum—juga melakukan program-program
yang menyasar kaum muda. Program Audisi Beasiswa Djarum
Badminton inilah salah satunya, yang tampak jelas menjadi
67
bagian dari upaya Djarum untuk terus meraih pangsa pasar anak
sebagai potential buyers di masa depan. Caranya halus, melalui
penanaman brand image, dengan menanamkan gambaran positif
tentang produk yang sebenarnya berbahaya kepada anak.
Apalagi, iklan di kanal YouTube menampilkan model anak-
anak dan dengan bentuk animasi. Animasi adalah hal yang sangat
dekat dan sering kali dianggap melekat dengan dunia anak. Jadi,
jelas sekali iklan ini dibuat dengan menyasar anak.
Jika pun program Audisi Beasiswa Djarum Badminton
dianggap Djarum sebagai sebuah produk yang tidak ada
kaitannya dengan produk tembakau (rokok), maka Djarum
Foundation tampak melanggar ketentuan dalam PP 109/2012
tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan Pasal 35 ayat (1) dan
(2) huruf b dan c, yakni:
(1) Pemerintah melakukan pengendalian Promosi Produk
Tembakau.
(2) Ketentuan pengendalian Promosi Produk Tembakau
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai
berikut:
b. tidak menggunakan logo dan/atau merek Produk
Tembakau pada produk atau barang bukan Produk
Tembakau; dan
c. tidak menggunakan logo dan/atau merek Produk
Tembakau pada suatu kegiatan lembaga dan/atau
perorangan.
D
ari sudut pandang marketing, ketika logo, brand tampil
dalam sebuah acara untuk tujuan apa pun, itu sudah
mencakup branding produk. Bentuknya bisa macam-
macam. Bahkan dalam kegiatan corporate social responsibility, ketika
kegiatan itu menonjolkan produk, kegiatan itu bisa dikategorikan
branding, menjadi bagian dari marketing.
Maka secara teoritis, apa yang dilakukan Djarum dengan
audisi beasiswa badminton, sudah tergolong promosi. Kita bicara
advertising. Pada dasarnya, advertising adalah manipulasi. Salah
satu contohnya adalah British Tobacco.
Pada waktu itu perokok pada umumnya adalah laki-laki.
Perempuan yang merokok dianggap negatif dan dicap tidak
baik. British Tobacco ingin mengubah pandangan ini agar pasar
rokok mereka kian besar. Caranya adalah mengubah persepsi
perempuan merokok tidak baik menjadi positif.
Mereka masuk ke film-film Hollywood. Mereka bayar
produksi film dan meminta para pemain film utama perempuan
itu merokok. Dari situ persepsi perempuan perokok menjadi
berubah, tidak lagi negatif melainkan independen, kuat, dan
sebagainya. Citra buruk perempuan merokok berhasil diubah
melalui memanipulasi opini lewat film. Jadi ketika kita masuk
ke dunia adversiting, the nature of advertising memang seperti itu.
Manipulatif.
Kalau mau jujur, promosi as product as it is. Misalnya “Belilah
rokok saya, maka Anda akan sesak napas lima tahun lagi”.
Promosi tidak seperti itu. Ada manipulasi dengan masuk ke dalam
69
gaya hidup masyarakat. Rokok Marlboro mencitrakan diri dengan
koboi yang memperlihatkan kejantanan, rokok A Mild yang gaul.
Caranya lewat kegiatan yang disukai anak muda 16-20 tahun.
Maka begitu pun dengan audisi beasiswa badminton ini. Itu
semua tidak kebetulan, itu semua ada tujuan, begitu pun dengan
yang audisi ini, yaitu mempengaruhi masyarakat agar melirik
produk rokok mereka. Hanya saja kita perlu bukti, perlu ada
penelitian untuk membuktikan klaim itu,. Tapi secara teori hal ini
benar.
Diakui atau tidak, menampilkan logo produk di sebuah acara,
sekali lagi, adalah promosi. Ada contoh sederhana: saya punya
sebuah perusahaan, produknya kopi, tapi saya membuat kegiatan
parenting. Saya tampilkan logo perusahaan kopi saya di acara itu.
Orang yang menjadi peserta akan bertanya, logo apakah itu?
Ketika orang tahu itu adalah logo kopi saya, orang akan
berpikir “Baik juga, ya, perusahaan kopi mau mengajari saya soal
parenting”. Begitu juga dengan Djarum ini, “Baik juga, ya, Djarum
mau memberikan beasiswa untuk pembinaan badminton”.
Dengan mengatakan Djarum ini baik saja sudah mengubah
persepsi orang terhadap merek rokok yang punya citra negatif.
Dengan kata lain, itu manipulasi.
Karena itu, audisi ini merupakan siasat Djarum. Memberikan
beasiswa untuk 25 orang bagi perusahaan sebesar Djarum itu duit
receh sekali. Tapi dari situ mereka berhasil meningkatkan brand
awareness produk Djarum. Terbukti dari kenaikan jumlah peserta
audisi tiap tahun. Mereka semakin banyak melibatkan anak-
anak dan orang tua dalam audisi ini, tapi yang mendapatkan
beasiswanya tetap sedikit. Jumlahnya tidak ikut bertambah.
Audisi Djarum ini murah dibanding benefit yang mereka
terima. Ada 4.500 anak terekspos oleh merek Djarum, sementara
mereka hanya mengeluarkan beasiswa untuk 25-30 anak. Audisi
adalah cara sangat murah dalam mempromosikan produk Djarum
ke anak-anak, pasar masa depan rokok di Indonesia.
71
Okezone.com (2017). 25 Ribu Perokok Pasif Telah Meninggal,
Waspadai Bahaya Third Hand Smoke. Dikutip dari https://
lifestyle.okezone.com/read/2017/08/09/481/1752728/25-
ribu-perokok-pasif-telah-meninggal-waspadai-bahaya-third-
hand-smoke
PB Djarum. (2018). Sejarah singkat PB Djarum. Dikutip dari
pbdjarum.org.
U.S. Department of Health and Human Services. (2012). Preventing
Tobacco Use Among Youth and Young Adults: A Report of the
Surgeon General. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and
Human
Services, Centers for Disease Control and Prevention, National
Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion,
Office on Smoking and Health.