You are on page 1of 35

UNIVERSITAS DIPONEGORO

PENYEBAB TERJADINYA REAKTIVASI GUNUNGAPI


MAAR DENGAN KETERKAITAN AKTIVITAS TEKTONIK
BERDASARKAN DATA CITRA SATELIT DI SEMENANJUNG
MURIA, JAWA TENGAH

SEMINAR

GUSNETI 21100118120008
BILQIS NURUL HIKMAH 21100118130076
STEFANUS YUDA SATRIATAMA 21100116130067
EXAUDI EL SHADDAI 21100116140065

FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

SEMARANG
OKTOBER 2021
SARI

Semenanjung Muria terletak di sebelah timur laut kota Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah.
Daerah ini terbagi menjadi tiga wilayah yaitu Kabupaten Jepara di bagian barat - utara, Kabupaten
Pati di bagian timur - tenggara, dan Kabupaten Kudus di bagian selatan. Semenanjung Muria
merupakan suatu kumpulan/kompleks kegiatan vulkanik. Dalam penelitian ini metode kajian yang
digunakan adalah penafsiran dari data citra satelit dan pengambilan data sekunder daerah sekitar
Semenanjung Muria. Berdasarkan penelitian yang sudah ada apabila dilihat dari kandungan kimia
nya, Muria dipengaruhi oleh kombinasi Mid Ocean Ridge Benioff dan sedimen lempeng Australia
dengan lempeng Australia itu sendiri berdasarkan pola diferensiasinya . Dan struktur geologi yang
ada di Semenanjung Muria berupa kekar dan sesar yang mempunyai pola umum timur laut – barat
daya dan barat laut – tenggara. Berdasarkan analisis tektonik daerah semenanjung Muria dengan
data pendukung berupa gempa yang terjadi dalam beberapa waktu yang lalu secara berulang dalam
waktu berdekatan, dapat memicu terjadinya reaktivasi sesar muria. Pada peta anomali lengkap,
daerah penelitian memiliki 3 zona massa jenis batuan yang terdiri dari rapat massa jenis rendah,
sedang, dan tinggi. Pada peta anomali Bouguer lengkap terlihat bahwa nilai anomali pada daerah
penelitian berkisar antara 169.5 mGal hingga 197.7 mGal. Pemodelan bawah permukaan
dilakukan dengan menggunakan 5 lintasan sayatan pada anomali Bouguer lengkap. Lintasan
sayatan pemodelan melintang dari Barat ke Timur dan Utara Selatan, hal tersebut dapat dilakukan
untuk memetakan sesar yang berada di bawah permukaan. Kondisi geologi bawah permukaan
gunung muria terdiri dari cekungan muria dengan nilai rapat massa jenis batuan 2.0 g/cc hingga
2.35 g/cc yang terletak disebelah selatan daerah penelitian.

Kata kunci: semanjung muria, reaktivasi, tektonik, anomali bouger, vulkanik, cekungan muria

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatNya
sehingga proposal Seminar Capstone yang berjudul “ Penyebab Terjadinya
Reaktivasi Gunungapi Maar Dengan Keterkaitan Aktivitas Tektonik Berdasarkan
Data Citra Satelit Di Smenanjung Muria Jawa Tengah” ini dapat diselesaikan
dengan maksimal, tanpa ada halangan yang berarti. Proposal ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Seminar yang mana dibimbing oleh Tri Winarno,
ST, M.Eng.
Adapun tujuan dari penulisan proposal penelitian ini adalah untuk
mempelajari lebih detail mengenai faktor-fktor yang menyebabkan reaktivasi atau
Kembali aktivnya Gunungapi Maar ditinjau secara tektonik hingga geokimia yang
didasarkan pada data citra satelit dan data sekunder yang telah ada.
Proposal ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, yakni Bapak Tri Winarno, ST, M.Eng.., selaku
dosen pembimbing, dan koordinasi dari anggota penyusun, serta teman teman
Teknik Geologi 2018. Untuk itu saya ucapkan terima kasih atas segala bantuannya
dalam berbagai bentuk hingga proposal ini dapat terselesaikan dan sampai ke
tangan pembaca.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan
proposal ini, baik dari segi EBI, kosakata, tata bahasa, etika maupun isi. Maka
dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran seluas-luasnya dari
pembaca yang kemudian akan penulis jadikan sebagai evaluasi.
Demikian, semoga proposal seminar ini dapat diterima sebagai ide/gagasan yang
menambah kekayaan intelektual bangsa.

Semarang, 19 November 2021

Penulis

II
HALAMAN PENGESAHAN
Karya tulis ini disusun oleh :
Nama : Gusneti
NIM : 21100118120008
Depertamen : Teknik Geologi

Nama : Bilqis Nurul Hikmah


NIM : 21100118130076
Depertamen : Teknik Geologi

Nama : Stefanus Yuda Satriatama


NIM : 21100116130067
Depertamen : Teknik Geologi

Nama : Exaudi El Shaddai


NIM : 21100116140065
Depertamen : Teknik Geologi

Telah disetujui dan disahkan oleh Dosen Pembimbing sebagai bagian persyaratan
dalam Kurikulum Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro.

Menyetujui,
20 November 2021

Tri Winarno, S.T, M. Eng

III
NIP.197909172008121004
DAFTAR ISI
SARI......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Bealakng........................................................................................1
1.2.Maksud dan Tujuan Penelitian................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Semenanjung Muria................................................................................3
2.2 Geologi Umum........................................................................................4
2.3 Gunungapi Maar......................................................................................5
2.4 Metode Gravity.......................................................................................7
2.5 Analisa Gradien.......................................................................................8
2.6 Struktur Geologi pada Semenanjung Muria............................................8
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian....................................................................................10
3.2 Diagram Alir...........................................................................................10
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Penyebab Terjadinya Reaktivasi Gunungapi Maar.........................................11
4.2 Keterkaitan Antara Penyebab Reaktivasi Gunungapi Maar dan Aktivitas
Tektonik...........................................................................................................12
4.3 Anomali Bouger Lengkap...............................................................................13
4.4 Analisis Gradien..............................................................................................15
4.5 Interpretasi Kuantitatif.....................................................................................16
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan..............................................................................................24
5.2 Saran........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26

IV
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian di kawasan kompleks Semenanjung Muria dan
Sekitarnya..............................................................................................................3
Gambar 3.2 Diagram Alir Proses Penelitian.........................................................10
Gambar 4.1 Maar Bambang, Gunungrowo, dan Gembong (data dari citra landsat
no. 115010)............................................................................................................11
Gambar 4.3 Peta Anomali Bouguer Lengkap........................................................14
Gambar 4.4. Hasil analisa gradient horizontal daerah penelitian (a) hasil first
horizontal gradient, dan (b) hasil second horizontal gradient...............................15
Gambar 4.5 Kontur anomali Bouguer dengan empat lintasan sayatan untuk
pemodelan bawah permukaan...............................................................................17
Gambar 4.6 Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan
daerah penelitian (A-A’), (a) Hasil Grafik Sayatan (A-A’), (b) Hasil Penampang
Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox...................................17
Gambar 4.7. Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan
daerah penelitian (B-B’), (a) Hasil Grafik Sayatan (B-B’), (b) Hasil Penampang
Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox...................................18
Gambar 4.8 Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan
daerah penelitian (C-C’), (a) Hasil Grafik Sayatan (C-C’), (b) Hasil Penampang
Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox...................................19
Gambar 4.9 Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan
daerah penelitian (D-D’), (a) Hasil Grafik Sayatan (D-D’), (b) Hasil Penampang
Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox...................................20
Gambar 4.10. Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan
daerah penelitian (E-E’), (a) Hasil Grafik Sayatan (E-E’), (b) Hasil Penampang
Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox...................................21
Gambar 4.11 Hasil Stacking Penampang Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan
pada Section Y.......................................................................................................22
Gambar 4.12 Hasil Stacking Penampang Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan
pada Section X.......................................................................................................22

V
VI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penafsiran adanya reaktivasi sesar di Semenanjung Muria diindikasikan
oleh adanya dua gempa bumi yang terjadi dalam rentang waktu berdekatan,
yaitu pada bulan Mei 2018. Reaktivasi sesar tersebut menjadi salah satu
faktor pemicu terjadinya aktivitas vulkanisme. Maar sempat dinyatakan
dalam kondisi nonaktif. Tercatat di zona tersebut beberapa kali telah
mengalami kegempaan yang cukup signifikan pada 25 Desember 1821, 19
Januari 1856, 12 Desember 1890, 23 Oktober 2015, 18 Juli 2016, 3 Mei
2018 , dan 12 Mei 2018 (HAKI dan BMKG, 2018).
Semenanjung Muria terletak di sebelah timur laut kota Semarang,
ibukota Provinsi Jawa Tengah. Daerah ini terbagi menjadi tiga wilayah yaitu
Kabupaten Jepara di bagian barat - utara, Kabupaten Pati di bagian timur -
tenggara, dan Kabupaten Kudus di bagian selatan. Di tengah-tengah
Semenanjung Muria terdapat Gunung Muria, yang berdasarkan klasifikasi
Direktorat Vulkanologi tidak termasuk gunungapi aktif . Maar juga diartikan
sebagai kerucut gunungapi monogenesis yang memotong batuan dasar di
bawah permukaan air tanah dan membentuk kerucut berpematang landai yang
tersusun oleh rempah gunungapi berbutir halus hingga kasar, mempunyai
diameter kawah bervariasi antara 100 – 3000 m, yang sering terisi air
sehingga membentuk danau Kompleks Gunung Muria berada di bagian utara
Pulau Jawa, tepatnya di Sunda back arc.
Semenanjung Muria merupakan suatu kumpulan/kompleks kegiatan
vulkanik. Semenanjung Muria ini terbagi menjadi Kabupaten Jepara, Kudus,
dan Pati. Di kaki Gunungapi Muria bagian utara ditemukan Gunung Genuk
dengan beberapa intrusi dasit di sayap bagian timurnya. Pada lereng
Gunungapi Muria bagian tenggara tampak tinggian Patiayam yang
merupakan batuan tersier yang terangkat akibat intrusi batuan beku berbentuk
kubah.

1
Dari beberapa sumber data batuan Gunungapi Muria memperlihatkan
tatanan kimia yang beragam dari kalk-alkali normal hingga kandungan
potassium yang tinggi. Hal ini menunjukan bahwa sumber magma yang
cukup dalam.

1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud dilakukan penelitian ini adalah :
a. Melakukan penelitian terhadap terjadinya reaktivasi gunungapi maar di
Semenanjung Muria Jawa Tengah.
b. Mempelajari tentang aktivitas tektonik yang terjadi pada gunungapi
maar.
c. Mempelajari dan memahami metode gravity.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
a. Mengetahui parameter penyebab dari terjadinya reaktivasi gunungapi
maar.
b. Mengkaitkan penyebab reaktivasi gunungapi maar dan tektonik yang
bekerja pada gunung tersebut.
c. Mengaplikasikan metode gravity untuk identifikasi struktur bawah
permukaan di Semenanjung Muria.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Semenanjung Muria
Kompleks Gunung Muria berada di bagian utara Pulau Jawa, tepatnya di
Sunda back arc (busur belakang Sunda). Semenanjung Muria merupakan
suatu kumpulan/kompleks kegiatan vulkanik. Gunung Muria adalah yang
terbesar dan tertinggi di kawasan ini, mencapai ketinggian 1625 m di atas
muka laut. Lokasi penelitian terletak pada koordinat 110°30’- 111°30’ Bujur
Timur dan 6°20’-6°50’ Lintang Selatan (Gambar 2.1). Semenanjung Muria
ini terbagi menjadi Kabupaten Jepara, Kudus, dan Pati.

Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian di kawasan kompleks Semenanjung Muria dan
sekitarnya.
Di kaki Gunung Muria bagian utara ditemukan Gunung Genuk dengan
beberapa intrusi dasit di sayap bagian timurnya. Pada lereng Gunung Muria
bagian tenggara tampak tinggian Patiayam yang merupakan batuan tersier
yang terangkat akibat intrusi batuan beku berbentuk kubah. Dari beberapa
sumber data (Soemarno, 1982 dan Sukyar drr, 1998) batuan Gunung Muria

3
memperlihatkan tatanan kimia yang beragam dari kalk-alkali normal hingga
kandungan potassium yang tinggi. Hal ini menunjukan bahwa sumber magma
cukup dalam. Casadevall (1987), berpendapat bahwa berdasarkan penelitian
pentarikhan radiometrik kalium-argon letusan terakhir terjadi pada 80.000
tahun lalu, sehingga menurutnya Gunung Muria diperkirakan berpotensi
untuk aktif kembali yang memicu seismisitas dan erupsi aliran lava serta
erupsi eksplosif material piroklastik.

2.2 Geologi Umum


Menurut Suwarti dan Wikarno (1992), satuan batuan paling tua yang
tersingkap di daerah telitian, yaitu Formasi Ngrayong yang terdiri atas
perselingan napal, batupasir dan batulempung dengan sisipan batugamping
pasiran; berumur Miosen Tengah. Napal berwarna putih keabu-abuan,
berlapis kurang baik dengan ketebalan 20-30 cm dan banyak mengandung
foraminifera plangton. Batupasir gampingan berwarna kuning kecoklatan,
agak padat dan berlapis kurang baik dengan ketebalan mencapai 1 m.
Batulempung, agak keras, setempat gampingan, berfosil foraminifera.
Batugamping pasiran putih kecoklatan, mengandung foraminifera besar,
sebagian telah mengalami penghabluran ulang dengan tebal sisipan 10-30 cm.
Formasi ini mempunyai arah jurus umum baratdaya–timurlaut dengan
kemiringan 10° hingga 15°. Di daerah penelitian, Formasi Ngrayong tertindih
selaras oleh Formasi Bulu yang terdiri atas betugamping dengan sisipan
batugamping pasiran dan batugamping lempungan yang berumur Miosen
Akhir.
Formasi Bulu yang tertindih tak selaras oleh Formasi Patiayam yang
terdiri atas perselingan batupasir tufaan dan konglomerat tufaan, dengan
sisipan batulempung, batugamping dan breksi, dan berumur Pliosen.
Batugamping berwarna putih abu-abu hingga kecoklatan, berlapis tipis dan
memiliki ketebalan perlapisan 4-15 cm mengandung foreminifera kecil.
Ketebalan seluruh perlapisan mencapai 70 cm. Batugamping pasiran
berwarna kelabu, mengandung mineral hitam dan berlapis tipis. Batugamping

4
lempungan berwarna kelabu muda, agak padat dan memiliki tebal perlapisan
sekitar 5 cm dan 10 cm. Kontak antara Formasi Bulu dan Formasi Patiayam
tidak di temukan.
Formasi Patiayam merupakan perselingan batupasir tufaan dan
konglomerat tufaan dengan sisipan batulempung, batugamping dan breksi.
Batupasir tufaan berwarna kuning kecoklatan dijumpai banyak kepingan batu
apung, ketebalan perlapisan antara 5-10 cm akan tetapi di beberapa tempat
mencapai 1,5 m. Konglomerat tufaan yang terdiri atas beragam material,
ukuran fragmen 2-10 cm dan di beberapa tempat mencapai 1 m, kompak dan
tebal lapisan antara 2-5 m. Terkadang dijumpai lensa batulempung tufaan
berwarna abu-abu dan agak padat. Batulempung tufaan berwarna kuning
kelabu, berlapis baik dengan ketebalan perlapisan antara 5-10 cm. Tebal
lapisan antra 1-2 m ditemukan sebagai sisipan dalam batupasir atau
konglomerat. Batugamping berwarna putih sampai kelabu, berfosil
foraminifera dan moluska sebagai sisipan dalam batupasir atau konglomerat.
Di sekitar Gunung Genuk di bagian utara Gunung Muria dijumpai struktur
lapisan bersusun dalam batupasir, konglomerat dan breksi.
Batuan gunungapi Kuarter yang terdiri dari beberapa satuan batuan
menindih tidak selaras batuan yang lebih tua. Batuan gunungapi tersebut
tersusun dari hasil kegiatan Gunung Muria yang berupa tufa, lahar, breksi dan
lava, dan kegiatan Gunung Genuk yang berupa lava, breksi gunungapi dan
tufa serta retas basal, leusit, sienit dan andesit. Batuan terobosan berupa retas
di dalam batuan gunungapi, tersingkap setempat-setempat. Endapan termuda
adalah aluvium yang terhampar di sepanjang pantai barat dan bagian selatan
daerah penelitian.

2.3 Gunungapi Maar


Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang
umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan
hasil letusannya. Gunungapi maar yang cekungan kawahnya tidak berisi air
disebut maar kering. Maar juga diartikan sebagai kerucut gunungapi

5
monogenesis yang memotong batuan dasar di bawah permukaan air tanah dan
membentuk kerucut berpematang landai yang tersusun oleh rempah
gunungapi berbutir halus hingga kasar, mempunyai diameter kawah
bervariasi antara 100 – 3000 m, yang sering terisi air sehingga membentuk
danau (Bronto,2001; Cas & Wright, 1988). Pandangan dari atas, baik
menggunakan foto udara, citra satelit, maupun peta rupa bumi, menunjukkan
bahwa kawah Gunung Maar memperlihatkan penampakan lingkaran (circular
features) atau cekungan melingkar (circular depressions). Wood (vide Cas&
Wright, 1988) berpendapat bahwa maar banyak ditemukan sebagai kerucut
skoria. Menurut Heiken (1971, videCas&Wright,1988) kebanyakan letusan
maar terjadi pada lingkungan geologi gunungapi besar bersusunan basal
seperti yang ditemukan di Fort Rock, Chrismast Lake Valley Oregon.
Munculnya magma ke permukaan hingga menyentuh air tanah tersebut,
dikontrol oleh rekahan (sesar) sebagai akibat gaya ekstensi.
Di Indonesia dan selain di kawasan Gunung Muria, maar antara lain
terdapat di kompleks Gunung Dieng, Jawa Tengah, sekitar Gunung
Lamongan, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur (van Padang, 1951;
Kusumadinata, 1979), di kaki Gunung Cerme, Jawa Timur (Bronto dan
Fernandy, 2000) dan di kaki Gunung Gamalama di Pulau Ternate
(Brontodkk.,1982). Batuan dasar di bawah Gunung Lamongan adalah batuan
karbonat, yang apabila bersentuhan dengan magma dapat membentuk gas
CO2, sehingga menambah tekanan gas di bawah permukaan. Pada waktu
letusan kawah Sinila, Dieng 1979, di dalam bahan lontaran banyak terdapat
fragmen batugamping dan koral. Hal ini mendukung bahwa batugamping dan
air tanah di dalamnya ikut berperan dalam meningkatkan volume dan tekanan
gas.
Secara umum, aktivitas gunungapi maar dapat berupa letusan freatik,
freatomagmatik, dan magmatik. Letusan freatik terjadi jika pancaran panas
magma bersentuhan dengan air tanah di dalam batuan dasar, yang kemudian
berubah menjadi uap dengan tekanan semakin tinggi karena adanya batuan
penudung (cap rock). Letusan dapat terjadi jika tekanan uap air panas itu

6
sudah lebih besar dari tekanan batuan penudung dan batuan di atasnya.
Letusan freatik tersebut menghasilkan material hamburan dalam berbagai
ukuran yang berasal dari batuan dasar (non magmatic material atau endapan
hidroklastika) sebagai akibat proses letusan. Pada letusan freatomagmatik
sebagian kecil komponen magma sudah ikut terlontarkan ke luar, sedangkan
bahan utama hasil letusan magmatik berasal langsung dari magma itu sendiri
yang kemudian membentuk endapan piroklastika. Apabila tekanan gas di
dalam magma itu sudah melemah, maka magma keluar secara lelehan
(efusive eruptions), dapat berupa aliran lava, kubah lava atau sumbat lava.
Dengan demikian, secara lengkap rangkaian erupsi gunungapi maar diawali
oleh letusan freatik, kemudian dilanjutkan dengan letusan freatomagmatik
dan magmatik, serta diakhiri dengan erupsi lelehan lava.

2.4 Metode Gravity


Metode gravity adalah salah satu metode eksplorasi geofisika yang
digunakan untuk mengukur variasi medan gravity bumi akibat adanya
perbedaan rapat massa antar batuan di bawah permukaan dan perbedaan
topografi di permukaan bumi (lembah atau bukit) (Sarkowi, 2014). Teori
yang paling mendasar dalam metode gaya berat adalah hukum gravitasi
Newton. Hukum gravitasi Newton yang menyatakan bahwa gaya tarik
menarik antara dua buah benda adalah sebanding dengan massa kedua benda
tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat antara pusat massa
kedua benda tersebut. Kedua benda tertentu yang dipisahkan oleh jarak
tertentu akan memiliki gaya tarik menarik yang besarnya dinyatakan oleh
Persamaan (2.1) (Grandis, 2009):

𝐹⃗(𝑟) = 𝐺 𝑀₁.𝑀₂ 𝑟 2 𝑟̂ (2.1)

Keterangan :
𝐹⃗(𝑟) : gaya tarik menarik yang bekerja pada 𝑀2 karena adanya 𝑀2
G : konstanta universal gaya berat (6,67 x 10-11 m3 kg-1 s -2 )

7
𝑀1 : massa benda 1 (kg)
𝑀₂ : massa benda 2 (kg)
r : jarak antar pusat massa (m)

2.5 Analisa Gradien


Horizontal Gradien digunakan untuk menentukan lokasi batas kontak rapat
massa jenis horizontal dari data gravitasi (Cordell, 1979). Metode horizontal
gradien dapat mendeteksi struktur geologi dalam maupun dangkal dan dapat
juga digunakan untuk menekankan anomali tinggi yang terdapat di data
gravity, nilai maksimum ini menunjukkan kepadatan lateral pada kontras yang
diidentifikasikan sebagai sesar. Besarnya horizontal gradien pada sumbu x dan
y didefinisikan oleh Persamaan (2.2) (Cordell dan Graunch, 1985).

( / 𝜕𝑥) dan ( 𝜕𝑔/ 𝜕𝑦) merupakan turunan pertama horizontal gradien, 𝜕𝑥


merupakan gradien di sumbu x, 𝜕𝑦 merupakan gradien di sumbu y, dan HG
merupakan anomali gaya berat. Satuan dari HG pada penurunan pertama
adalah mGal.m-1. Pada turunan kedua horizontal gradien didapatkan
Persamaan (2.3) (Cordell dan Graunch, 1985).

Untuk penurunan kedua di sumbu x, ( 2𝑔/ 𝜕𝑥2 ) dan ( 𝜕 2𝑔/ 𝜕𝑦2 ) dianggap
nol. Satuan dari penurunan kedua HG pada penurunan kedua adalah mGal.m-2

2.6 Struktur Geologi pada Semenanjung Muria


Struktur geologi yang ada di Semenanjung Muria berupa kekar dan sesar
yang mempunyai pola umum timur laut – barat daya dan barat laut –
tenggara. Dari analisis seismik refleksi, pada bagian utara dari Laut Jawa
terdapat indikasi sesar yang hampir mirip dengan struktur sesar regional
daerah ini (McBirney dkk.,2003). Sesar regional tersebut tercermin dalam
Depresi Rembang. Menurut Mallard dkk.(1991) dan Serva (2001), Depresi

8
Rembang terekam sebagai cekungan pull-apart, yang dibentuk oleh dua
sistem sesar utama di wilayah ini. Patahan yang memanjang dari puncak
Gunung Muria menerus ke arah Gunung Genuk di utara melalui Desa
Tempur, selanjutnya disebut sebagai patahan tempur. Patahan tempur
memiliki indikasi tebing yang sangat curam dengan triangular fase yang
berjajar pada permukaannya. Indikasi patahan yang sama juga dijumpai pada
patahan yang membelah puncak Gunung Muria di bagian barat dan
memanjang ke arah utara dan berlanjut hingga sebelah barat Gunung Genuk.
Patahan ini melalui Desa Rahtawu, patahan ini disebut sebagai patahan
Rahtawu. Patahan Rahtawu merupakan patahan menyerong , dimana tebing
bagian barat yang sangat curam merupakan foot wall dengan triangular fase,
sedangkan tebing bagian timur yang menyingkapkan selang seling batuan tuf
dan breksi serta air terjun sebagai hanging wall.
Menurut van Bemmelen (1947), Boomgaart (1947), Nicholls and Whitford
(1983) dan Maury dkk. (1987), Bellon dkk. (1989), Edwards (1990), Edwards
dkk. (1991) produk erupsi Muria dan Genuk merupakan batuan sosonit
kalium tinggi yaitu basal, basanit, tefrit, trasit, dan fonolit. Studi petrologi dan
geofisika yang berhubungan dengan sifat magma (Boomgaart, 1947; Maury
dkk., 1987; Marzuki dan Sardjono, 1991; Nicholls and Whitford, 1983; dan
van Bemmelen, 1947).

9
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah penafsiran dari data citra
satelit. Untuk menunjang penafsiran tersebut, sebagai langkah pertama adalah
melakukan studi literature dari para peneliti terdahulu. Selain mempelajari
literatur tentang Gunung Muria yang telah diterbitkan oleh para pakar geologi
maupun volkanologi, digunakan peta geologi Lembar Kudus yang dipetakan
oleh Suwarti dan Wikarno (1992). Metode yang juga digunakan yaitu Metode
Studi Pustaka, dimana merangkum dari bebarapa referensi buku, jurnal,
skripsi, maupun paper. Metode sekunder ini guna untuk memberi pemahaman
lengkap terhadap studi kasus yang dikaji dengan membandingkan penelitian
penelitian terdahulu, sehingga dapat mengambil kesimpulan ataupun korelasi
dari data-data yang diperoleh.

3.2 Diagram Alir


Untuk lebih mudah dipahami terkait proses penelitian berikut dilampirkan
diagram alir dari proses penelitian yang dilakuakan

Mulai

Studi Literatur dan Pengumpulan dan Data

Penyusunan Laporan

Pembuatan Poster

selesai

10
Gambar 3.2 Diagram Alir Proses Penelitian

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Penyebab Terjadi Reaktivasi Gunungapi Maar


Analisis citra satelit lembar P00003, 115010 dan 1200658 telah berhasil
menginterpretasi adanya bentukan atau penampakan lingkaran (circular
features) di kaki Gunungapi Muria dengan diameter bervariasi dari 750 m
hingga 2,5 km. Gambar 4.1 menunjukkan 12 penampakan lingkaran (PL) di
Semenanjung Muria.

Gam
bar 4.1 Maar Bambang, Gunungrowo, dan Gembong (data dari citra landsat no. 115010)
Reaktivasi gunungapi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kondisi
tektonik yang membentuk gunungapi itu sendiri hingga kondisi geokimia dari
gunungapi tersebut. Berdasarkan penelitian yang sudah ada apabila dilihat
dari kandungan kimianya, Muria dipengaruhi oleh kombinasi Mid Ocean
Ridge Benioff (MORB) dan sedimen lempeng Australia dengan lempeng

11
Australia itu sendiri berdasarkan pola diferensiasinya (NTT, 2000).

Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada konsentrasi episenter di


bawah Gunung Muria sehingga peneliti ini menganggap bahwa Gunung
Muria ini tidak memiliki kemampuan untuk terjadi erupsi di kemudian hari.

4.2 Keterkaitan Antara Penyebab Reaktivasi Gunungapi Maar dan Aktivitas


Tektonik

Struktur geologi yang ada di Semenanjung Muria berupa kekar dan sesar
yang mempunyai pola umum timur laut – barat daya dan barat laut –
tenggara. Dari analisis seismik refleksi, pada bagian utara dari Laut Jawa
terdapat indikasi sesar yang hampir mirip dengan struktur sesar regional
daerah ini (McBirney dkk.,2003).
Adapun berdasarkan faktor yang mempengaruhi reaktivasi gunungapi,
setting tektonik merupakan salah satu yang berpengaruh dalam proses
rekativasi gunungapi. Berdasarkan analisis tektonik daerah semenanjung
Muria dengan data pendukung berupa gempa yang terjadi dalam beberapa
waktu yang lalu secara berulang dalam waktu berdekatan, dapat memicu
terjadinya reaktivasi sesar muria ini dan mungkin berkapasistas atau memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan terjadi peningkatan aktivitas vulkanik pada
gunungapi maar di Semenanjung Muria.
Secara tektonik, patahan yang berada di Semenanjung Muria, yakni
Patahan Tempur dan Patahan Rahtawu, kedua patahan tersebut berkembang
di kawasan gunungapi yang memiliki material batuan yang kurang padat
(unconsolidated) hingga padat, dan sangat berpotensi mengalami pergerakan
ulang. Selain itu, kedua patahan ini berumur muda, yaitu sekitar 80.000 tahun
yang lalu, sehingga diklasifikasikan sebagai patahan aktif (Cassadevall,1987).
Begitu pula menurut Billings (1979), kedua patahan di semenanjung Muria
termasuk dalam kriteria patahan aktif yang bergerak setidaknya 500.000
tahun yang lalu, dan diindikasikan memiliki skala periodik untuk bergerak

12
setiap 500.000 tahun.

Sehingga, jika saat ini daerah di sekitar patahan tersebut memperoleh


pembebanan energi yang dapat melampaui patahan, dapat mengakibatkan
gempa bumi di sekitar Semenanjung Muria seperti halnya gempa bumi yang
terjadi di bulan Mei 2018 ini.
Berdasarkan analisis melalui citra satelit yang menunjukkan adanya
kenampakan morfologi maar tersebut, diketahui bahwa diagenesis dari maar
tersebut terbentuk oleh penerobosan magma melalui celah atau rekahan di
sekitar pusat erupsi. Agar magma bisa sampai ke permukaan bumi, tentu
diperlukan adanya tekanan yang kuat sehingga magma dapat bergerak dengan
cepat. Tekanan yang kuat ini bisanya diakibatkan karena adanya aktivitas
tektonik yang tinggi. Aktivitas tektonik yang tinggi ini biasanya memiliki
pola danfrekuensi yang dapat diprediksi. Terjadinya gempa di sekitar Gunung
Muria yang baru-baru ini terjadi dapat mengindikasikan bahwa Gunung
Muria sedang megalami peningkatan aktivitas gunungapi. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa akan terjadi reaktivasi kembali sesar muria
pada daerah ini.

4.3 Anomali Bouger Lengkap


Data anomali Bouguer lengkap yang digunakan merupakan data satelit
yang didapatkan dari website http://bgi.omp.obs-mip.fr. Luas daerah
penelitian 62,2 km x 50,7 km, dengan jumlah titik sebanyak 375 titik.
Kemudian data tersebut dikonversi ke UTM lalu dilakukan proses gridding di
software Geosoft Oasis-Montaj maka diperoleh persebaran massa jenis
batuan di bawah permukaan ditunjukkan pada Gambar 4.2. Berdasarkan peta
anomali Bouguer lengkap, daerah penelitian memiliki 3 zona massa jenis
batuan yang terdiri dari rapat massa jenis rendah, sedang, dan tinggi. Pada
peta anomali Bouguer lengkap terlihat bahwa nilai anomali pada daerah
penelitian berkisar antara 169.5 mGal hingga 197.7 mGal. Anomali rendah

13
ditunjukkan dengan warna biru pada rentang nilai 169.5 mGal hingga 179.2
mGal yang tersebar di sebelah Selatan daerah penelitian, dan tengah daerah
penelitian. Nilai anomali Bouguer lengkap yang rendah ini diasumsikan
sebagai daerah yang memiliki sebaran massa jenis batuan yang rendah. Nilai
sebaran massa jenis batuan yang rendah disebelah selatan daerah penelitian
dapat diasumsikan adanya keterdapatan endapan sedimen alluvial akibat
proses pengendapan daerah pesisir dan rawa-rawa pasca massa interglasial,
atau dapat diasumsikan sebagai sebuah cekungan akibat proses tektonisme.
Sedangkan nilai Bouger rendah pada tengah daerah penelitian diindikasikan
terjadinya robohan pada puncak muria, yang diakibatkan oleh erupsi muria
purba, sehingga akibat robohan membentuk nilai Bouger rendah di bawah
permukaan.

Gambar 4.3 Peta Anomali Bouguer Lengkap


Anomali sedang pada rentang nilai 179.2 mGal hingga 187.3 mGal yang
tersebar di beberapa titik sebelah Selatan, Baratdaya dan Baratlaut daerah
penelitian. Nilai anomali Bouguer lengkap yang rendah ini diasumsikan
sebagai daerah yang memiliki rapat massa jenis yang sedang. Anomali
Bouger yang bernilai sedang, mayoritas terletak di lereng Gunung Muria yang
diindikasikan terbentuk karena akibat endapan vulkanik, sehingga belum

14
mengalami kompaksi secara sempurna.
Anomali tinggi ditunjukkan dengan rentang nilai 187.3 mGal hingga 197.7
mGal dan berada di tengah daerah penelitian. Nilai anomali Bouguer lengkap
yang tinggi ini berasosiai pada daerah yang memiliki massa jenis batuan yang
besar. Kemungkinan pada daerah ini terdiri dari batuan yang telah
terkompaksi cukup lama dan berusia tua. Nilai anomali Bouguer lengkap
yang tinggi ini juga terletak pada Gunung Muria, sehingga mengindikasikan
di sekitar daerah tersebut tersusun dari batuan vulkanik yang berusia tua.
Pada anomali Bouguer terdapat pasangan klosur tinggi dan rendah yang
saling berdekatan. Zona tersebut dapat diidentifikasikan sebagai zona
diskontinuitas yang diindikasikan adanya sesar.

4.4 Analisis Gradien


Interpretasi gradien merupakan teknik interpretasi dengan menggunakan
metode gradient atau metode turunan terhadap persamaan laplace. Dalam
interpretasi gradien dengan melakukan perhitungan secara turunan terhadap
sumbu x, sumbu y dan sumbu z persamaan laplace. Tujuan dilakukannya
analisis gradien yaitu untuk melihat batas kontak batuan, dan identifikasi
struktur bawah permukaan.
Analisa gradient pada bidang horizontal bertujuan untuk menentukan
lokasi batas kontak rapat massa jenis horizontal dari data gravitasi (Cordell,
1979). Metode horizontal gradien dapat mendeteksi struktur geologi dalam
maupun dangkal. Horizontal Gradien dapat digunakan untuk menekankan
anomali tinggi yang terdapat di data gravity, nilai maksimum ini
menunjukkan kepadatan lateral pada kontras yang diidentifikasikan sebagai
sesar. Pada daerah penelitian muria dilakukan analisa gradient terhadap
bidang horizontal pada orde pertama kedua , hasil dari horizontal gradient
pada orde pertama dan kedua yang ditunjukkan pada gambar 4.4.

15
Gambar 4.4. Hasil analisa gradient horizontal daerah penelitian (a) hasil first horizontal
gradient, dan (b) hasil second horizontal gradient
Hasil analisa gradient horizontal pada orde pertama didapat nilai
maksimum pada derah penelitian terletak ditengah daerah penelitian. Hal ini
menunjukkan hasil dari analisa gradient horizontal orde pertama
menunjukkan batas wilayah dari tubuh gunung muria yang ditunjukkan
dengan nilai gradient maksimum. Selain itu nilai gradient maksimum
mendominasi daerah tengah penelitian dan utara penelitian. Pada daerah utara
penelitian nilai gradient maksimum mengelilingi daerah yang terduga sebagai
puncak dari Gunung Genuk. Secara keseluruahan pada hasil horizontal
gradient orde pertama lebih cenderung mengidentifikasi batasan dari tubuh
Gunung Muria dan Gunung Genuk. Pada hasil analisa gradient horizontal
orde kedua diperoleh nilai maksimum dominan terletak ditengah daerah
penelitian. Dari hasil analisa gradient orde kedua diperoleh beberapa sesar

16
lokal yang terindikasi terletak di daerah Gunung Muria. Sesar lokal ini
terasosiasi dengan nilai gradient horizontal maksimum. Namun letak sesar
hasil gradient horizontal tidak berkorelasi dengan letak sesar geologi
dipermukaan.

4.5 Interpretasi Kuantitatif


Pemodelan bawah permukaan dilakukan dengan menggunakan 5 lintasan
sayatan pada anomali Bouguer lengkap. Lintasan sayatan pemodelan
melintang dari Barat ke Timur dan Utara Selatan, hal tersebut dapat dilakukan
untuk memetakan sesar yang berada di bawah permukaan.

Gambar 4.5 Kontur anomali Bouguer dengan empat lintasan sayatan untuk pemodelan
bawah permukaan
Dilakukan lima sayatan pada daerah penelitian, yang membentang secara
vertikal dari utara ke selatan yang melewati daerah dengan indikasi
terdapatnya cekungan yang memisahkan muria pada interglasial, yaitu
sayatan (C-C’), sayatan (D-D’), dan Sayatan (E-E’). Selain itu juga terdapat
sayatan yang berarah timur ke barat untuk mengetahui kondisi bawah
permukaan daerah yang terindikasi adanya cekungan, yaitu sayatan (A-A’)
dan sayatan (B-B’). Pada gambar 4.6 (b) dan (c) hasil pemodelan sayatan A-
A’ diperoleh bahwa daerah yang terindikasi adanya cekungan terdiri dari nilai
rapat massa jenis rendah dengan range 2.15 g/cc hingga 2.35 g/cc yang
disekelilingnya terdapat batuan intrusi yang dihasilkan karena proses

17
vulkanik dengan range nilai 2.9 g/cc hingga 3.05 g/cc.

Gambar 4.6 Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan daerah
penelitian (A-A’), (a) Hasil Grafik Sayatan (A-A’), (b) Hasil Penampang Rapat Massa
Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox
Pada sayatan A-A’ cekungan yang berasosiasi dengan nilai rapat massa
jenis rendah dibagian tengah diakibatkan oleh bentuk dari antikloriaum jawa
timur yang memanjang kearah barat dan membentuk cekungan di utara
semenanjung muria. Nilai rapat massa jenis rendah berafiliasi dengan satuan
batuan sedimen dan gamping yang terbentuk akibat pengendapan di bawah
samudra. Nilai rapat massa jenis rendah yang muncul mengkonfirmasi bahwa
daerah tersebut dahulu pernah terendam oleh air laut, sehingga banyak
ditemukan satuan batuan sedimen yang mayoritas bernilai rapat massa jenis
rendah. Sebaran daerah yang memiliki nilai rapat massa jenis tinggi
merupakan bentuan intrusi yang diakibatkan oleh proses vulkanik pada massa
pembentukan yang naik keatas dan membeku dipermukaan. Satuan batuan ini
terdiri dari breksi andesit, dan tuff yang terletak dipermukaan. Pada gambar
4.9 terdapat indikasi sesar yang terletak di timur daerah penelitian dengan
adanya perbuahan nilai rapat massa jenis yang sangat signifikan dan terlihat

18
dari analisa gradient pada gambar 4.7.

Gambar 4.7. Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan
daerah penelitian (B-B’), (a) Hasil Grafik Sayatan (B-B’), (b) Hasil Penampang Rapat
Massa Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox
Pada gambar 4.7 (b), hasil bawah permukaan yang membentang secara
horizontal di puncak gunung muria, terdapat kesuaian antara model grabblox
dengan model yang dihasilkan oleh oasis. Hal ini diperoleh adanya nilai rapat
massa jenis sangat rendah yang teretak dibawah puncak muria. Nilai rapat
massa jenis rendah tersebut memiliki range 2.15 g/cc hingga 2.35 g/cc. Rapat
massa jenis rendah tersebut diindikasikan karena adanya robohan gravitasi
yang terisi oleh batuan andesit dari satuan lava muria. Satuan batuan tersebut
mengisi kaldera dan mengendap dipermukaan. Dari hasil model tersebut juga
tampak bahwa kaldera muria dikelilingi oleh oleh beberapa puncak lainnya
yang bersifat lebih massif dan kompak dengan nilai rapat massa jenis yang
tinggi yaitu range 2.95 g/cc hingga 3.05 g/cc. Selain itu dari model oasis dan
grabblox juga diperoleh adanya intrusi batuan yang terletak di sebalah timur
daerah penelitian dan teriindikasi merupakan sesar yang terbentuk akibat
proses vulkanik muria.

19
Gambar 4.8 Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan daerah
penelitian (C-C’), (a) Hasil Grafik Sayatan (C-C’), (b) Hasil Penampang Rapat Massa
Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox
Pada gambar 4.8 (b), hasil dari pomedalan bawah permukaan yang
membentang secara vertikal dari utara ke selatan dapat diperoleh adanya
beberapa indikasi sesar di bawah permukaan. Indikasi adanya sesar terdapat
disebelah utara daerah penelitian yang memanjang kearah timur daerah
penenlitian. Indikasi ini sesar ini juga dapat dilihat dari hasil analisa gradient
pada gambar 3. Sayatan yang membentang vertical melewati puncak muria
juga diperoleh nilai denistas yang sangat rendah di puncak muria. Hal ini
diindikasi merupakan kalder muria yang terbentuk akibat erupsi muria purba.
Selain itu nilai rapat massa jenis rendah disebelah selatan daerah penelitian
dipengaruhi karena adanya cekungan di daerah tersebut. Sedangkan indikasi
adanya patahan didapatkan dari hasil analisa gradient yang kemudia
dicocokkan dengan model yang terdapat di utara daerah penelitian.

20
Gambar 4.9 Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan daerah
penelitian (D-D’), (a) Hasil Grafik Sayatan (D-D’), (b) Hasil Penampang Rapat Massa
Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox.
Pada gambar 4.9 (b) merupakan hasil pemodelan bawah permukaan pada
sayatan D-D’ yang membentang vertikal dari Utara ke Selatan yang melewati
puncak muria yang memiliki nilai rapat massa jenis bawah permukaan yang
sangat rendah dan indikasi cekungan di sebelah Selatan daerah penelitian.
Dari hasil model tersebut terdapat beberapa indikasi adanya sesar bawah
permukaan yang tereletak di sebelah Utara daerah penelitian. Hal ini
dikarenakan adanya perubuhan nilai rapat massa jenis yang berubah secara
signifikan disebelah Utara penelitian. Indikasi tersebut munculnya nilai rapat
massa jenis yang bernilai tinggi dengan range 2.95 g/cc hingga 3.05 g/cc yang
diindikasi merupakan intrusi batuan yang bersebelahan dengan batuan yang
bernilai rapat massa jenis rendah dengan range 2.15 g/cc hingga 2.35 g/cc.

21
Gambar 4.10 Hasil Pemodelan Struktur Bawah Permukaan pada lintasan sayatan
daerah penelitian (E-E’), (a) Hasil Grafik Sayatan (E-E’), (b) Hasil Penampang Rapat
Massa Jenis Bawah Permukaan Software Grabblox
Pada gambar 4.10 (b) merupakan hasil pemodelan bawah permukaan pada
sayatan E-E’ yang membentang vertikal dari Utara ke Selatan yang melewati
daerah sebelah timur puncak muria yang memiliki nilai rapat massa jenis
bawah permukaan yang sangat rendah dan indikasi cekungan di sebelah
Selatan daerah penelitian. Dari hasil model tersebut terdapat beberapa
indikasi adanya sesar bawah permukaan yang tereletak di sebelah Utara
daerah penelitian. Hal ini dikarenakan adanya perubuhan nilai rapat massa
jenis yang berubah secara signifikan disebelah Utara penelitian. Indikasi
tersebut munculnya nilai rapat massa jenis yang bernilai tinggi dengan range
2.95 g/cc hingga 3.05 g/cc yang diindikasi merupakan intrusi batuan yang
bersebelahan dengan batuan yang bernilai rapat massa jenis rendah dengan
range 2.15 g/cc hingga 2.45 g/cc.

22
Gambar 4.11 Hasil Stacking Penampang Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan pada
Section Y

Gambar 4.12 Hasil Stacking Penampang Rapat Massa Jenis Bawah Permukaan pada
Section X
Pada gambar 4.11 hasil section diperoleh bahwa indikasi adanya cekungan
terlihat disebelah selatan daerah penelitian dengan munculnya nilai rapat
massa jenis bawah permukaan dengan range nilai 2.15 g/cc hingga 2.35 g/cc,
nilai rapat jenis yang rendah diakibatkan akebat daerah tersebut tersusun atas
satuan sediemen dan alluvial dipermukaan yang belum terkompaksi
sempurna. Nilai rapat jenis massa yang rendah tersebut memanjang dari barat
ke timur yang merupakan kemenurunan dari antiklorium di utara jawa.
Namun nilai rapat massa jenis rendah tidak menerus ke utara karena
berbatasan dengan pegunungan muria. Nilai rapat massa jenis rendah di
puncak muria lebih diakibatkan oleh adanya robohan gravitasi yang
diindikasikan yaitu terbentuknya kaldera dipermukaan muria, yang kemudian
terisi oleh satuan lava muria yang terdiri dari andesit, tuff, dan breksia. Pada
gambar 4.12 diperoleh bahwa kondisi bawah permukaan muria pada sayatan
X pada lintasan pertama diperoleh adanya nilai rapat massa jenis batuan yang
sangat rendah ditengah daerah penelitan. Rapat massa jenis rendah tersebut
diindikasikan merupakan kaldera muria yang terbentuk akibat erupsi muria
purba yang kemudian mengalami robohan dan terisi oleh satuan lava muria.

23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Semenanjung Muria terletak di sebelah timur laut kota Semarang, ibu kota
Provinsi Jawa Tengah. Daerah ini terbagi menjadi tiga wilayah yaitu
Kabupaten Jepara di bagian barat - utara, Kabupaten Pati di bagian timur -
tenggara, dan Kabupaten Kudus di bagian selatan. Semenanjung Muria
merupakan suatu kumpulan/kompleks kegiatan vulkanik. Dalam penelitian ini
metode kajian yang digunakan adalah penafsiran dari data citra satelit dan
pengambilan data sekunder daerah sekitar Semenanjung Muria. Analisis citra
satelit lembar P00003, 115010 dan 1200658 telah berhasil menginterpretasi
adanya bentukan atau penampakan lingkaran (circular features) di kaki
Gunungapi Muria dengan diameter bervariasi dari 750 m hingga 2,5 km dan
12 penampakan lingkaran (PL) di Semenanjung Muria.
Reaktivasi gunungapi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kondisi
tektonik yang membentuk gunungapi itu sendiri hingga kondisi geokimia dari
gunungapi tersebut. Berdasarkan penelitian yang sudah ada apabila dilihat
dari kandungan kimianya, Muria dipengaruhi oleh kombinasi Mid Ocean
Ridge Benioff (MORB) dan sedimen lempeng Australia dengan lempeng
Australia itu sendiri berdasarkan pola diferensiasinya (NTT, 2000). Dan
struktur geologi yang ada di Semenanjung Muria berupa kekar dan sesar yang
mempunyai pola umum timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara.
Berdasarkan analisis tektonik daerah semenanjung Muria dengan data
pendukung berupa gempa yang terjadi dalam beberapa waktu yang lalu secara
berulang dalam waktu berdekatan, dapat memicu terjadinya reaktivasi sesar
muria. Secara tektonik, patahan yang berada di Semenanjung Muria yaitu
Patahan Tempur dan Patahan Rahtawu, kedua patahan tersebut berkembang
di kawasan gunungapi yang memiliki material batuan yang kurang padat.
Berdasarkan analisis melalui citra satelit yang menunjukkan adanya
kenampakan morfologi maar , diketahui bahwa diagenesis dari maar tersebut

24
terbentuk oleh penerobosan magma melalui celah atau rekahan di sekitar
pusat erupsi. Pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan menggunakan
metode gravity berupa anomaly Bouger lengkap. Pada peta anomali Bouguer
lengkap, daerah penelitian memiliki 3 zona massa jenis batuan yang terdiri
dari rapat massa jenis rendah, sedang, dan tinggi. Pada peta anomali Bouguer
lengkap terlihat bahwa nilai anomali pada daerah penelitian berkisar antara
169.5 mGal hingga 197.7 mGal.
Pemodelan bawah permukaan dilakukan dengan menggunakan 5 lintasan
sayatan pada anomali Bouguer lengkap. Lintasan sayatan pemodelan
melintang dari Barat ke Timur dan Utara Selatan, hal tersebut dapat dilakukan
untuk memetakan sesar yang berada di bawah permukaan. Kondisi geologi
bawah permukaan gunung muria terdiri dari cekungan muria dengan nilai
rapat massa jenis batuan 2.0 g/cc hingga 2.35 g/cc yang terletak disebelah
selatan daerah penelitian. Daerah tersebut diakibatkan adanya proses
sedimentasi semenanjung muria, dan bentuk cekungan yang menerus dari
antiklorium jawa. Selain itu di daerah tengah penelitian diperoleh adanya
kaldera muria yang terbentuk akibat robohan dinding puncak muria karena
erupsi muria purba dengan nilai densitas 2.2 g/cc hingga 2.4 g/cc, yang
kemudian diiisi dengan satuan lava muria.

5.2 Saran
Metode yang digunakan dalam penelitian ini hanya berupa metode literasi
sehingga peneliti tidak dapat melakukan pencocokan data dengan keadaan
yang terjadi dilapangan saat ini. Peneliti tidak dapat melakukan analisis
langsung ke lapangan karena kondisi pandemi saat ini. Diharapkan untuk
penelitian selanjutnya dapat dilakukan pencocokan data dengan langsung
terjun kelapangan untuk melakukan indentifikasi lebih lanjut.

25
DAFATAR PUSTAKA

Anisa, H.A., Indriyana, R.D. dan Irham, M. 2018. Aplikasi Metode Gravity
dengan Data Satelit untuk Identifikasi Struktur Bawah Permukaan
(Studi Kasus Semenanjung Muria). Youngster Physics Journal. 7(2),
90-100.

Astjario, P. dan Kusnida, D. 2007. Penafsiran Struktur Geologi Semenanjung


Muria dari Data Citra Satelit. Jurnal Geologi Kelautan, 5(2), 63-71.

Bronto, S dan Mulyaningsih, S. 2007. Gunung api maar di Semenanjung


Muria. Jurnal Geologi Indonesia. 2(1), 43-54.

Casadevall, T.J., 1987, Muria Volcano, Central Java : Ideal site for
Indonesia’s first Nuclear Power Plan ?, A report to the director
Volcanological Survey Indonesia.

Cordell, E. 1979, Gravimetric Expression of Graben Faulting in Santa Fe


County and Espanola Basin, 30th Field Conf.

Suwarti, T., dan Wikarno, R., 1992. Peta Geologi Lembar Kudus, Jawa
Lembar 1409 – 3 & 1409 – 6. . Skala : 1 : 100.000. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi.

Soemarno, S., 1982, Penelitian Batuan Mengandung Kalium di Sekitar


Gunung Muria (Jawa Tengah), Dengan Cara Geomagnet, Laporan
Penelitian Sub Proyek Inventarisasi Sumberdaya Mineral, Lembaga
Geologi dan Pertambangan Nasional-Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.

Sribudiyani, Muchsin, N., Tyacudu, R., Kunto, T., Astono, P., Prasetya, I.,
Sapiie, B., Asikin, S. Dan Harsolumakso, A.H., 2003, The Collision
of the East Java Microplate

Sukhyar, Mamay, S., Agus, B., dan Hirabayashi, J., 1998. New chemical
data of gas and rocks from Muria volcanik complex Central Java,
Indonesia. Symposium on Japan – Indonesia IDNDR Project.

26
Wibowo, B., Mellawati, J. dan Susiati, H. 2011. Kajian Evolusi Geokimia
Dan Kaitannya Dengan Tingkat Bahaya Vulkanik Gunung Muria
Terhadap Tapak PLTN Muria. Jakarta.

27
28

You might also like