You are on page 1of 43

HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Keluarga di Dunia Islam
Yang diampu oleh Ibu Septi Wulan Sari, M.H.

OLEH
Kelompok 5 kelas HKI 3F
Syaifudin 126102202251
Ahmad Lukman Z 126102202252
Mega Patria Sri W 126102202253
Wafiq Arza Maulana 126102202254
Siti Nur Hidayah 126102202255

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UIN SAYYID RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2
A. SEJARAH HUKUM KELUARGA DI MESIR....................................................................................3
B. WILAYAH ‘ALA AL NASH..........................................................................................................10
C. BATAS USIA PERKAWINAN......................................................................................................11
D. PENCATATAN PERNIKAHAN DI NEGARA MESIR......................................................................18
E. PERTUNANGAN (AL-KHITHBAH).............................................................................................19
F. PERKAWINAN ( Al Zawaj ).......................................................................................................27
G. NAFKAH ( An Nafaqah )...........................................................................................................32
H. PROSEDUR PERCERAIAN.........................................................................................................35
I. HADHANAH.............................................................................................................................36
J. POLIGAMI...............................................................................................................................38

2
NAMA : SAIFUDDIN

NOMOR ABSEN : 22

NIM : 126102202251

KELAS : HKI 3F

MATA KULIAH : HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM

PEMBAHASAN

SEJARAH HUKUM KELUARGA DI MESIR


Nama resmi negara ini adalah Republik Arab Mesir yang memiliki Undang-undang
Dasar tanggal 11 September 19711 Negara Mesir terletak di Pantai Timur Laut Benua Afrika.
Ia berbatasan dengan laut tengah di Utara, Sudan di Selatan dan Libia di Barat. Luasnya
sekitar 997.739 Km Persegi. Jumlah penduduknya 54.609.000 jiwa (1990). Sekitar 90%
penduduknya beragama Islam (Sunni). Kelompok etnik yang terpenting yang ada adalah
Mesir, Badui, Nubia. Ibukotanya Kairo dan bahasa resminya adalah bahasa Arab. Islam
masuk ke daerah Mesir pada masa Khalifah Umar bin Khattab Selanjutnya yang
memerintahnya berturut-turut adalah Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Thulun (868-905),
Ikhsyidiyah (935-969), Fatimiyah (909-1171), Ayyu-Biyah (1174-1250) yang ditandai
dengan terjadinya perang Salib serta Dinasti Mamluk (1250-1517) kemudian menjadi bagian
dari kekuasaan kerajaan Usmani.

Sebelum Islam datang, pengaruh Romawi ditemukan dalam masyarakat, oleh Karena
itu Islam diterapkan secara bertahap yaitu menjunjung tinggi keadilan, Menetapkan
persamaan hak, serta secara berangsur-angsur hukum Islam dapat Diterapkan. Demikian pula
ia yang menetapkan dua dewan atau mahkamah Peradilan serta segala urusan diserahkan
kepada ilmuan dan fuqaha. Amr bin Ash Adalah orang yang pertama meletakkan dasar
mahkamah tersebut dan bahkan ia Dianggap orang yang pertama yang memisahkan antara
bidang agama dan perdata, Jika terjadi perselisihan antara orang muslim dan non-
muslim.Mazhab Maliki yang menjadi mazhab negara kemudian digantikan oleh Mazhab
Hanafi pada masa Dinasti Thulun.

Akan tetapi pada masa Usmani hukum Islam mulai beradaptasi dengan hukum Barat maka
muncullah ide dari beberapa Pakar hukum untuk mencari suatu sistem hukum yang lebih

3
sesuai dengan tuntutan Masyarakat dan adat istiadat yang telah lama berlaku dan adanya
gejala yang Semakin menuntut perubahan hukum dengan kembali kepada hukum Islam yang
Lebih sesuai dengan watak masyarakat Mesir. Dan inilah satu-satunya hukum yang
Memberikan kepuasan atas dasar keadilan yang hakiki bagi setiap individu Masyarakat.6
Hukum keluarga dalam masyarakat muslim khususnya di Mesir menarik Dikaji; sebab di
dalam hukum keluarga itulah kini terhadap jiwa wahyu Ilahi dan Sunnah Rasulullah, sedang
pada hukum (muamalah) lain, pada umumnya, jika itu Telah hilang disebabkan berbagai hal,
diantaranya karena penjajahan barat, selama Berabad-abad di bagian dunia yang
didiami.Ummat Islam di Afrika dan Asia serta stagnasi perkembangan hukum Islam Sebelum
dan pada waktu penjajahan barat itu tiba untuk menguasai kehidupan Ummat Islam di segala
bidang, telah mengakibatkan hukum Islam sebagai sistem

Hukum yang mempunyai corak sendiri di samping sistem hukum (Kristen) barat
(termasuk diganti atau sekurang-kurangnya didorong ke tepi oleh hukum (Kristen) Barat,
hukum para penjajah. Dengan berbagai cara, baik halus seperti resepsi, pilihan hukum,
penundukan Dengan sukarela, pernyataan berlaku hukum (Kristen) barat mengenai bidang-
bidang hukum tertentu, maupun dengan kasar memberlakukan hukum pidana (Kristen) barat
pada ummat Islam, kendatipun bertentangan dengan asas dan kaidah Hukum Islam serta
kesadaran hukum masyarakat muslim, mengakibatkan hukum Islam sebagai salah satu
hukum Islam di dunia ini “lenyap” dari permukaan kecuali Hukum keluarga.Dahulu, hukum
keluarga dalam pengertian sempit yakni hukum perkawinan Dan perceraian, terdapat dalam
berbagai kitab fikhi di suatu negara. Pada umumnya Kitab-kitab itu adalah hasil ijtihad pada
mujahid berbagai tingkatan. Untuk Memenuhi kebutuhan hukum masyarakat muslim pada
masanya. Hukum keluarga Yang demikian kini, dapat dilihat dan ditelusuri dalam kitab-kitab
fikhi berbagai Mashab, empat mashab dalam sunni (hanafi, maliki, syafii dan hambali) dan
tiga Pada syiah (itsna asyari, ismaili dan zaidi). Meskipun hasil penalaran para fuqaha di
masa lampau yang sesuai dan Memenuhi kebutuhan masyarakat muslim di masa itu, tetapi
tidak sesuai lagi Dengan perkembangan zaman dan kepentingan ummat Islam sekarang ini.
Selain Itu, isinya pun berbeda satu dengan lain karena tingkat pengetahuan dan Pengalaman
para penalarnya, kendatipun mereka berada dalam satu mazhab yang Sama. Karena itu
menimbulkan rasa tidak puas terhadap isi yang dikandungnya, juga Mengakibatkan
ketidakpastian hukum karena perbedaan pendapat yang terdapat di Dalamnya, sehingga
masyarakat muslim ada yang lebih senang mengikuti hukum Adat yang turun temurun telah

4
berlaku bagi mereka/atau berpaling pada sistem Hukum Kristen (barat) yang disusun secara
sistematis dan jelas dalam satu kitab atau Peraturan perundang-undangan.1

Kini keadaan sudah berubah hukum keluarga yang mampu bertahan dari Hempasan
gelombang westernisasi, sekularisme yang dilaksanakan melalui Sekularisasi di segala bidang
kehidupan, telah diperbaharui, dikembangkan selaras Dengan perkembangan zaman dan
tempat serta dimodifikasikan baik secara parsial Maupun secara total.Untuk melaksanakan
hukum keluarga yang telah ditetapkan di Mesir, Diadakan reorganisasi dan penyempurnaan
peradilan agama dengan mengeluarkan Peraturan perundang-undangan. Dalam pada itu ada
negeri Islam yang sama sekali tidak mau melakukan Pembaharuan dan masih tetap
memberlakukan hukum keluarga sebagaimana yang Tertuang dalam kitab-kitab fikhi dari
mashab yang dianut. Sebaliknya ada pula Negeri Islam yang sama sekali telah meninggalkan
hukum keluarga Islam dan Sebagai gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Namun yang
akan dibahas dalam Tulisan ini adalah negera yang berusaha memberlakukan hukum
keluarga Islam Tetapi setelah mengadakan pembaharuan di sana sini.

Pada mulanya wilayah kekaisaran Islam sangatlah luas. Dengan bentang Wilayah mulai dari
benua Eropa di sebelah barat, benua Afrika di sebelah selatan, Dan benua Asia di timur
tengah. Sampai pada perang dunia yang mengakibatkanBerbagai wilayah yang dulunya
dikuasai oleh kerajaan Islam, yang pada saat itu di Kuasai oleh Turki Utsmani, terpecah-
pecah dan membentuk identitas negara. Hal Ini mengawali penjajahan dan kekuasaan negara-
negara barat terhadap wilayah-Wilayah muslim. Selain sebagai penjajah mereka pun ikut
serta dalam Mempengaruhi pembentukan hukum di berbagai negara tersebut. Salah satu
Wilayah yang ikut terlepas dari kerajaan Utsmaniyah kemudian memerdekakan Diri dari
kekuasaan asing adalah negara Mesir.

Pengaruh Daulah Utsmaniyah sangatlah erat dalam penerapan dan praktikHukum di


negara Mesir. Ini terlihat dengan masih diterapkannya produk-produk Hukum dalam mazhab
Hanafi sebagai mazhab negara tersebut. Selain itu, negara Ini juga sejak terlepas dari wilayah
kekuasaan Turki Utsmani, kemudian dijajah Oleh negara Perancis diterapkanlah aturan yang
dalam Code Napoleon pada tahun 1883, dengan alasan bahwa hukum Islam dalam bentuknya
yang ada tidak bisa

Dijadikan bahan perundang-undangan negara. Namun program ini berakhir karena Mendapat
kritikan yang keras dari masyarakat dengan menyatakan bahwa hukum Islam sanggup
1
https://www.pa-situbondo.go.id/images/file_manager/artikel/Historisitas_Pembaruan_Hukum_Isl.
%20rahmat%20yudistiawan.pdf

5
memenuhi kebutuhan negara dalam pembentukan perundang-Undangan. Kejadian tersebut
menimbulkan gejolak upaya pembaruan dari berbagai Pihak, baik kalangan tradisionalis
maupun kalangan reformis. Mardani dalam Bukunya Hukum Perkawinan Islam menyatakan
bahwa sejarah pembaruan hukum Keluarga di Mesir dimulai sejak sekitar tahun 1920.
Meskipun sebelum itu Terdapat usaha dalam membentuk rancangan undang-undang hukum
perdata dan Undang-undang perwakafan yang diinisiasi oleh hakim Qudri Pasya, dengan
Melandaskan pada mazhab Hanafi, namun keduanya tidak pernah diundangkan Sama sekali
sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Meskipun Demikian, peraturan tersebut
tidak sedikit sumbangannya bagi usaha-usaha Mewujudkan perundang-undangan Islam yang
datang sesudahnya.Pada tahun yang sama, dengan waktu singkat upaya kodifikasi digulirkan
Kembali.

Dengan lahirnya Undang-undang No. 25 tahun 1920 tentang hukum Keluarga (Qanun
al-Ahwal al-Syakhsiyyah). Undang-undang ini merupakan upaya Pertama Mesir dalam
meratifikasi aturan hukum serta salah bentuk unifikasi Hukum dengan berlandaskan pada
undang-undang, walaupun substansinya masih Berpegang pada pendapat mazhab. Isinya
menyangkut persoalan pokok yang Berkaitan dengan hukum keluarga, seperti aturan
mengenai nafkah, hak Menggugat cerai dan beberapa ketentuan umum lainnya.Usaha dalam
membentuk dan melakukan reformasi hukum terus Digalangkan. Pada tahun 1929, Undang-
undang No. 25 tahun 1920 disempurnakan Dengan menerbitkan Undang-undang No. 25
tahun 1929 yang terdiri dari 23 pasal Dengan sembilan pokok persoalan. Undang-undang ini
menghapus beberapa pasal

Dalam undang-undang sebelumnya dan melahirkan beberapa pasal baru, di Antaranya


tentang gugatan perceraian dengan inisiatif istri dan ketentuandiiku Lainnya.9Reformasi
hukum di Mesir ini terus terjadi secara berkelanjutan sehingga Awal tahun 1950-an. Lembaga
hukum di Mesir secara bertahap melakukan Reformasi hukum yang berpengaruh penting
terhadap hukum keluarga (perkawinan dan waris). Undang-undang No. 25 tahun 1929 ini
kemudian diikuti Oleh undang-undang lain seperti Undang-undang No. 56 tahun 1923
mengenaiBatasan usia perkawinan, Undang-undang No. 25 tahun 1929 mengenai aturan
Perceraian dan pertengkaran dalam rumah tangga, disusul oleh kitab undang-Undang sipil
atau perdata (civil code) tahun 1931, Undang-undang No. 77 tahun 1943 mengenai hukum
waris, dan Undang-undang No. 71 tahun 1946 mengenai Hukum wasiat. Dari berbagai upaya
kodifikasi hukum tersebut dapat kita lihat aspek-Aspek apa saja yang diperbarui. Mulai dari
persiapan atau sebelum perkawinan Hingga perceraian dan kewarisan. Salah satu yang

6
nampak dan berpengaruh dalamMerepresentasikan pembaruan adalah hukum waris Islam di
Mesir, hal ini terlihat Ketika diundangkannya peraturan No. 71 tahun 1946 tentang wasiat
yang Mengatur wasiat wajibah bagi cucu yatim. Sri Hidayati dalam tulisannya juga
Menyatakan bahwa di antara isu bidang kewarisan yang paling menonjol dan Banyak
mengundang kontroversi adalah posisi cucu yatim terhadap kewarisan Kakeknya.11
Walaupun sebelumnya lahir Undang-undang No. 77 tahun 1943 Tentang waris sebagai
bagian dari upaya unifikasi hukum namun bagi penulis Undang-undang ini tidak
menggambarkan dan mencerminkan pembaruan di Bidang waris Islam secara substansial.
Sebab undang-undang tersebut mayoritas Pasalnya ternyata mengkodifikasi prinsip-prinsip
hukum waris dalam mazhab Kembali kepada pembahasan cucu yatim yang mencerminkan
tema ijtihad kontemporer yang diterapkan di Mesir.

Menurut hukum Islam, seperti yang Tertuang dalam kitab-kitab fikih, cucu tidak
berhak menerima bagian waris jika ia bertemu dengan anak laki-laki atau dengan kata lain ia
terhalang oleh anak laki-laki. Ketentuan ini didasari bahwa anak laki-laki tentunya lebih
dekat dan didahulukan dibandingkan cucu yang yatim. Maka, anak dari anak tidak boleh
memperoleh harta warisan selama pemilik bagian yang sudah ditetapkan dengan jelas (dzaw
al-furud) masih ada. Anak dari anak yang telah meninggal dunia (cucu) ketika ayahnya masih
hidup, dengan demikian, juga tidak mendapat hak Waris, jika terdapat satu orang atau lebih
anak laki-laki.Ketentuan ini dianggap oleh beberapa kalangan ahli hukum di berbagai Dunia
muslim sebagai ketentuan yang kurang memberikan rasa keadilan kepada Cucu. Untuk
menyelesaikan persoalan ketidakadilan ini, para ahli hukum Islam di Dunia mencoba
memperkenalkan ketentuan wasiat yang meskipun tidak dibuat Oleh pewaris harus
dilaksanakan. Ketentuan ini dikenal dengan konsep wasiat Wajibah. Dan hal tersebut bila kita
runut melalui pembahasan sejarah reformasi di Bidang hukum khususnya mengenai waris,
Mesirlah yang memprakarsai Ketentuan mengenai wasiat wajibah ini dan
memperkenalkannya pada beberapa Negara muslim lainnya.Selain berbicara alasan hukum,
konstruk sosial masyarakat Mesir pun ikutMempengaruhi pembaruan hukum waris Islam,
dan ini dapat kita simak dari Pendapat Husayn Ahmad Amin, seorang penulis, jurnalis
sekaligus dosen di Universitas Kairo. Beliau sebagaimana yang dikutip oleh Nadia Abu
Zahrah Menyatakan bahwa kemandegan sosial, disebabkan atas krisis kepercayaan
Masyarakat Islam dan tiadanya pembaruan hukum Islam. Hal ini akan berakibat Hukum
Islam menjadi pasif dan tak berdaya guna dalam menyelesaikan persoalan Sosial. Akhirnya
masyarakat sebagai subjek hukum (mukallaf) berada dalam Posisi yang terdiskriminasi hak-

7
haknya. Hal tersebut diperparah dengan Masyarakat yang buta terhadap pemaham Islam,
mereka (dalam hal ini para Akademisi, ulama dan masyarakat pada umumnya) menginginkan
penerapan Syariat Islam namun di sisi lain mengingkari hak pihak-pihak lain
untukMemperbaharui dan mengusung pendapat-pendapat baru guna menjawab realitas-
Realitas masyarakat.

Melihat kemerosotan sosial dan kemunduran umat Islam yang terjadi di Mesir,
muncul upaya pembaruan. Dengan lahirnya para pembaru Islam atau Mujadid yang
berpengaruh terhadap pemahaman Islam di Mesir, seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridho.17 Ide pembaruan Yang di gadang oleh mereka menjadikan para
ulama dan masyarakat Mesir pada Umumnya berusaha mengkaji ulang dan bergegas
melakukan reformasi hukum, Khususnya di bidang hukum keluarga. Mengapa hukum
keluarga? Sebab bidang Inilah yang lebih berpengaruh secara nyata dan langsung mengena
bagi tiap-tiap Individu, terlebih kaitannya dengan kewarisan Islam. Karena waris merupakan
Salah satu hal penting yang pembahasannya menuntut keadilan dan kesetaraan Dalam
prakteknya, sebab ini menyangkut kelangsungan hidup seseorang atau Banyak orang.Untuk
itu mengenai kedudukan cucu yatim yang dihijab oleh saudara laki-Laki ayah, perlu adanya
rekonstruksi agar pencapaian keadilan dan kemaslahatan Dalam pembagian waris dapat
terwujudkan. Usaha ini disambut baik oleh Pemerintah Mesir, dengan lahirnya Undang-
undang No. 71 tahun 1946 tentang Wasiat. Ketentuan tersebut dapat kita pelajari dengan
melihat secara spesifik pasal 76-78, yang intinya menyatakan:

Pasal 76: “Sekiranya seorang pewaris (al-mayyit) tidak berwasiat untuk Keturunan dari anak
yang telah meninggal sebelum dia (pewaris), atau meninggal Bersama-sama dengan dia,
sebesar bagian yang seharusnya diperoleh anak itu dari Warisan, maka keturunan tersebut
akan menerima bagian itu melalui wasiat (wajib) dalam batas 1/3 harta, dengan syarat (a)
keturunan tersebut tidak Mewarisi, (b) orang yang meninggal (pewaris) belum pernah
memberikan harta Dengan cara-cara yang lain sebesar bagiannya itu. Sekiranya telah diberi
atau Pernah diberi tetapi kurang dari bagian yang seharusnya ia terima, maka Kekurangan
dianggap sebagai wasiat wajibah. Wasiat ini menjadi hak keturunan Derajat pertama dari
anak laki-laki dan perempuan serta keturunan seterusnya Menurut garis laki-laki. Setiap
derajat menghijab keturunannya sendiri, tetapi Tidak dapat menghijab keturunan dari yang
lainnya. Setiap derajat membagi Wasiat tersebut seolah-olah sebagai warisan dari orang tua
mereka.”Pasal 77: “Jika seseorang memberi wasiat lebih dari bagian yang Seharusnya
diterima, maka kelebihan itu dianggap sebagai wasiat ikhtiariyyah. Sekiranya kurang,

8
kekurangan itu di sempurnakan melalui wasiat wajibah. Jika Berwasiat kepada sebagian
keturunan dan meninggalkan sebagian yang lain, maka Wasiat wajibah diberlakukan kepada
semua keturunan dan wasiat yang ada Dianggap berlaku sepanjang ketentuan dalam pasal
76.”Pasal 78: “Wasiat wajibah didahulukan dari wasiat yang lainnya. Apabila Pewaris (al-
mayyit) tidak berwasiat kepada orang yang wajib baginya berwasiat,Dan ia berwasiat kepada
yang lainnya, maka orang yang wajib baginya wasiat Tersebut berhak menerima bagian yang
seharusnya ia terima dari sisa 1/3 harta Warisan seandainya mencukupi. Apabila tidak, maka
baginya dan bagi yang diberi Wasiat lainnya dalam batas 1/3 tersebut.”Dari penjelasan pasal
di atas, maka kedudukan atau posisi cucu yatim kini Dapat dinaungi dan difasilitasi haknya
oleh undang-undang tersebut melalui Wasiat wajibah. Inilah tonggak awal pembaruan hukum
waris Islam yang Berperan penting dalam reformasi ketetapan-ketetapan pembagian waris
yang Diprakarsai oleh Mesir. 2

Dan ide serta konsep ini kemudian dipelajari dan diikuti di Berbagai negara yang menerapkan
hukum Islam dalam perundang-undangnya, Termasuk negara kita Indonesia yang juga
menerapkan wasiat wajibah. Hal ituTermaktub dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam
dengan menerapkan wasiat Wajibah bagi anak dan orang tua angkat.

2
Journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/download/1497/1457

9
NAMA : AHMAD LUKMAN ZAKARIA

NOMOR ABSEN : 23

NIM : 126102202252

KELAS : HKI 3F

MATA KULIAH : HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM

PEMBAHASAN

WILAYAH ‘ALA AL NASH


Hukum materiil wilayah ‘ala an-Nafs di atur oleh Undang-Undang Nomor 100 Tahun 1985
sebagai perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 20 dan 25 Tahun 1929.

Wilayah ‘ala an-Nafs

Wilayah ‘ala al-Nafs dapat dibagi menjadi:

a. Pertunangan (al-Khitbah).

b. Perkawinan (al-Jawaz).

c. Talak (ath-Thalaq).

d. Nafkah (an-Nafaqah).

e. Pengasuh / pemeliharaan (al-Hadhanah).

f. Perwalian (al-Wilayah) dan lain sebagainya.

Perbedaan antar wilayah ‘ala al-nafs dan wilayah ‘ala al-mal dapat

digambarkan sebagai berikut:

Pertama: Wilayah ‘ala al-nafs diterapkan hukum agama. Dengan kata lain, untuk muslim
berlaku hukum Islam dan non-muslim berlaku hukum agamanya masing-masing. Sedangkan
wilayah ‘ala al-mal diterapkan untuk seluruh warga negara Mesir tanpa memandang
agamanya.

10
Kedua: Wilayah ‘ala al-nafs berakhir apabila anak telah mencapai usia 16 tahun untuk anak
laki-laki, dan 18 tahun untuk anak perempuan. Sedangkan wilayah ‘ala al-mal apabila
seseorang telah mencapai usia 21 tahun.3

BATAS USIA PERKAWINAN


Perkawinan anak di Negara-Negara Arab telah tersebar luas. Mesir telah melakukan
berbagai upaya untuk melawan fenomena praktik kawin anak ini dengan pembatasan usia
minimum perkawinan yang dilegalkan di dalam Undang-Undang sebagai syarat mutlak
dalam sebuah perkawinan yang berlaku mutlak untuk seluruh warga negara Mesir. Meski
demikian, itu tidak tidaklah cukup untuk menghentikan praktik perkawinan usia anak-anak.
Praktik perkawinan yang bertentangan dengan Undang-Undang Mesir, masih saja terjadi saat
ini.

Terlebih pasca revolusi Mesir dan kisruh politik pasca 2011, inflasi meningkat tidak
terkendali. Dulu, sebelum 2011, 100USD bisa dapat 550EGP, namun pasca revolusi 100
USD bisa dapat 1400 – 1600 EGP, inflasi lebih dari 200 persen, biaya hidup dan pendidikan
meningkat tajam tidak searah dengan jumlah lapangan pekerjaan yang semakin menghilang
dari pasar tenaga kerja sebagai akibat terpuruknya sektor pariwisata yang menjadi jantung
ekonomi Mesir dalam beberapa dekade. Kemiskinan, kelaparan, makin menjadi langganan
para pencari warta berita dari berbagai media lokal. Praktik itu (nikah anak) pun kembali
marak. Anak-anak perempuan menjadi martir dalam sebuah situasi yang menyakitkan.

Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Mesir tahun 2014 dan Undang-Undang Anak
(Qânȗn al-Thifl) mendefinisikan anak sebagai berikut:

“Setiap orang yang usianya belum mencapai 18 tahun masehi dengan sempurna”, atau setiap
orang yang belum mencapai usia 18 tahun penuh. Kata ”man” di dalam definisi yang
diungkap dalam Undang-Undang tersebut secara literalis yaitu isim isyarah berlaku secara
umum, isyarat yang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Jadi bukan hanya mencakup
laki-laki saja atau perempuan saja, namun berlaku untuk keduanya. Konstitusi Mesir
mengatur hal itu sebagai kewajiban Negara melindungi anak-anak dari kekerasan dan
eksploitasi seksual, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nasional Mesir nomor 80.

3
Anshoruddin, Peradilan Di Republik Arab Mesir diakses dari
https://pta-pontianak.go.id/e_dokumen/2016/Peradilan%20Di%20Republik%20Arab-
Mesir_1%20oleh%20Anshoruddin.pdf diakses pada 29 September 2021

11
Perintah di dalam Undang-Undang tersebut jelas, melindungi anak dari perkawinan anak
yang dianggap sebagai praktik eksploitasi seksual (al-Istighlâl al-jinsiy).Selain itu, Undang-
Undang Mesir dengan tegas menyatakan dalam Undang-Undang nomor 28 tentang Ahwal
Syakhsiyyah (Undang-Undang privat/keluarga):

Lâ yajȗzu tautsȋqu ’aqdi al-zawâj idzâ kânat sinnu al-zawji aqalla min tsamâniyata ’asyara
sanatan wa sinnu al-zauujati aqalla min sittata ’asyara, (tidak boleh melegalisasikan akad
nikah bila usia mempelai pria belum mencapai 18 tahun dan usia mempelai perempuan belum
mencapai 16 tahun).

Undang-Undang ini dikritik oleh para akademisi di Mesir, misalnya Prof. Dr. Futuh
al-Syadzili, wakil Dekan Fakultas Pascasarjana Universitas Iskandaria di tahun 2005,
termasuk yang paling keras mengkritik Undang-Undang tersebut karena masih membedakan
kedudukan hukum antara laki-laki dan perempuan yang mestinya diperlakukan sama di mata
hukum.Banyaknya kritik dari masyarakat akademisi dan tokoh agama di Mesir, akhirnya
Undang-Undang tersebut di amandemen pada tahun 2008 di dalam kitab Undang-Undang
Status Sipil (al-Ahwâl al-Madaniyyah) Nomor 31 tahun 2008 yang berbunyi:

“Lâ yajȗzu tautsȋqu ’aqdi al-zawâji li man lam yablugh mina al-jinsiyain tsamâniyata ’asyara
sanatan milâdiyyatan kâmilatan” (tidak diperbolehkan melegalisasi akad perkawinan bagi
orang dari kedua jenis tersebut yang belum mencapai 18 tahun masehi penuh).

Kedua jenis yang dimaksud di sini yaitu laki-laki dan perempuan. Namun yang
menjadi celah untuk dikritik menurut Futuh al-Syadzilli yaitu di dalam teks Undang-Undang
nomor 31 tahun 2008 itu, secara tekstual, hanya melarang untuk melegalkan akad perkawinan
secara hukum. Ini masih memberi ruang terjadinya praktik nikah urfi atau nikah di bawah
tangan yang tidak dicatat di pencatatan sipil, di Indonesia populer dengan sebutan nikah sirri,
karena larangan itu hanya menyasar pada legalisasi akad nikah bukan larangan praktik nikah
itu sendiri.

Terakhir, Presiden Abdel Fattah al-Sisi menerbitkan al-Qarâr al-Gomhourîy


(ketetapan Republik) di Indonesianya setara dengan Keputusan Presiden, memperkuat
Undang-Undang pembatasan usia minimum perkawinan 18 tahun untuk laki-laki dan
perempuan pada akhir tahun 2016 yang oleh netizen diplesetkan menjadi al-Qarâr al-
Gomhourîy li Ta’addud al-Zawjât (ketetapan Republik untuk Poligami) dengan bulan dan
tahun yang sama (desember 2016) yang kemudian menjadi viral di sosmed dan menjadi

12
perdebatan serius di kalangan ulama, meski kemudian pihak Kementerian Keadilan beberapa
pekan lalu menyatakan bahwa itu hoax.

Perdebatan Ulama Al-Azhar di Gedung Parlemen

Pada saat rapat perumusan Undang-Undang di Majlisi al-Nuwab (Dewan Perwakilan


Rakyat) Mesir, terjadi perdebatan panjang di kalangan para anggota dewan. Pro-kontra soal
RUU tersebut berlangsung alot dan melibatkan berbagai argumentasi keagamaan yang
panjang. Bagi yang kontra RUU berpendapat bahwa RUU tersebut bertentangan dengan
syariat Islam, namun bagi yang pro terhadap RUU mengatakan justru RUU tersebut senafas
dengan maqashid syariah dalam syariat Islam yang perlunya menjamin hak-hak dasar
manusia. Kedua belah pihak, baik pro dan kontra masing-masing memiliki tradisi nalar
keagamaan yang kuat karena para anggota dewan pada umumnya merupakan para tokoh
agama dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Mesir dan banyak di antaranya para
ulama Al-Azhar dari berbagai daerah di Mesir. Perdebatan ini merupakan perdebatan yang
lama terjadi di kalangan masyarakat Mesir, dan kembali mencuat saat RUU ini di bahas
untuk di sahkan atau tidak. Namun pada akhirnya para anggota dewan menemukan
kesepakatan bersama dan menyetujui RUU pembatasan usia kawin dan sepakat menjamin
hak-hak anak-anak perempuan untuk tidak dikawinkan sebelum usia 18 tahun dilandasi
argumentasi keagamaan yang kuat sebagai ciri khas perumusan Undang-Undang di negara-
negara Arab.

Mayoritas referensi teks keagamaan yang pernah diproduksi dan digunakan ulama Al-
Azhar secara tegas-literalis tidak mengatakan bahwa pembatasan usia kawin itu melanggar
syariat Islam. Prof. Dr. Sa’duddin Hilali, salah seorang tokoh senior di Al-Azhar yang
disertakan dalam rapat pembahasan RUU tersebut, menyuarakan dengan keras pentingnya
Negara melindungi anak-anak dalam momen tersebut, ia berkata,

“Al-Qur’an itu selaras dengan masyarakat sesuai dengan tradisi dan karakter sosialnya
menyepakati pembatasan usia ini sebagai upaya untuk memberi perlindungan dan
menghormati hak-haknya sebagai anak-anak dan tidak melarang orang yang sudah mencapai
usia kawin untuk berkawin. (pemberlakuan) batasan usia itu berbeda-beda di setiap zaman
dan lokasinya bergantung pada peradaban manusia itu sendiri dan standar batasan usia kawin
yang sesuai dengan syariat Islam itu bergantung pada masyarakat itu sendiri, ditinggikan atau
dikurangi itu bergantung pada maslahat dan upaya menghindari mafsadat itu sendiri. Oleh

13
karena itu, wajib bagi semua pihak untuk mengikuti peraturan perundang-undangan yang
baru yang menaikkan batasan usia kawin dari 16 tahun ke 18 tahun.”

Senada dengan Sa’duddin Hilali, Prof. Dr. Ahmad Karimah, guru besar Jurusan Syariah
Islamiyah, Al-Azhar University bahwa pembatasan usia kawin itu sudah sepakat dengan
syariat Islam dengan menyertai argumentasi “Sesunggunya pendapat yang paling râjih
(unggul) dalam mazhab Hanafi yaitu anak perempuan itu belum sah bertransaksi secara syar’i
dan sahih kecuali bila sudah berusia 18 tahun lebih.” Kalau sudah Sa’duddin Hilali yang
bicara tentu yang lain mengikuti dan mengamini pernyataannya, mengingat dia sebagai tokoh
kharismatik, salah seorang yang paling penting dalam merumuskan fatwa di majelis fatwa
Al-Azhar dan Mesir sejak era mufti Ali Jum’ah.

Dalam sebuah kasus praktik pernikahan anak berusia 14 tahun di sebuah


perkampungan di Geza selatan, sebuah daerah dekat lokasi situs bersejarah Piramida, di era
Syaikh Ali Jum’ah menjabat sebagai mufti Mesir, 2010 silam, seorang pengacara berasal dari
lembaga bantuan hukum setempat mengadukan persoalan tersebut kepada mufti yang
dianggap sebagai seorang yang punya otoritas pemberi fatwa, tentang persoalan tersebut.
Syaikh Ali Jum’ah menjawab,” zawâj al-shighâr (Kawin Anak) merupakan eksploitasi
seksual terhadap anak-anak, setiap orang yang terlibat di dalam proses akad nikah itu wajib
diberi hukuman, termasuk pelaku, orang tua, ahli hukum, dan penghubung”.

Pandangan ulama Al-Azhar tersebut menghapuskan perisai teologis bagi para pendukung dan
pelaku kawin anak di Mesir, sehingga para pendukung praktik kawin anak tidak memiliki
legalitas keagamaan.

Fenomena Praktik Kawin Anak di Mesir

Meskipun Undang-Undang batasan usia kawin telah diamandemen dari semula 16


tahun menjadi 18 tahun untuk anak-anak perempuan dan laki secara setara namun tetap saja
praktik kawin anak masih saja terjadi di Mesir.

Praktik kawin anak terbanyak di Mesir terpusat di dua provinsi, yaitu provinsi Geza yang
berbatasan langsung dengan ibukota Kairo, dan Provinsi al-Sa’id.

Secara geografis dan ekonomi. Provinsi Geza merupakan destinasi wisata yang populer, di
dalamnya terdapat Ahram (makam Fir’aun berupa gugusan piramida dan patung singa
berkepala manusia). Sementara Provinsi Al-Sa’id merupakan sebuah daerah padang pasir
luas yang membentang antara provinsi Geza hingga provinsi Aswan di sebelah barat Mesir,

14
sebuah daratan tinggi yang dilalui sungai Nil. Mata pencaharian penduduknya bertani tebu
dan tingkat kemiskinan sangat tinggi di wilayah ini. Provinsi al-Sa’id memiliki berbagai situs
bersejarah di era keemasan dinasti keluarga Fir’aun dan makam para Nabi, sehingga wilayah
ini menjadi destinasi wisata yang sangat berharga di musim gugur. Namun sayang sekali
pembangunan proyek wisata di kedua wilayah besar tersebut tidak diimbangi dengan
peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi para penduduknya. Pendidikan masyarakat di kedua
wilayah ini juga sangat timpang dibanding pendidikan warga Mesir lainnya. Beruntung
banyaknya cabang Universitas Al-Azhar di berbagai provinsi di Mesir yang memberikan
beasiswa untuk satu strata diperuntukkan untuk warga Mesir, belum lagi paket beasiswa di
era ibu negara Souzan Mobarok hingga akhir 2010. Namun kuota beasiswa itu sangatlah
terbatas dibanding pertumbuhan penduduk usia kuliah, sehingga masih banyak anak-anak
yang tidak bisa bersekolah hingga perguruan tinggi. Di samping itu kesempatan mendapatkan
pekerjaan yang semakin rendah pasca revolusi Mesir 2011. Sementara paket beasiswa yang
menjadi program mantan ibu Negara, Souzan Mobarok tidak lagi berjalan karena telah
berganti penguasa baru.

Fenomena nikah sirri di kedua provinsi tersebut beragam. Pertama, “al-Zawâj al-
Siyâhȋy” (Nikah Wisata), yaitu praktik menikahkan anak perempuan, masih kecil, dan belum
berusia 18 tahun, dengan orang Arab yang kaya raya yang berasal dari luar Mesir (pada
umumnya), di mana orang tua si anak menerima kompensasi berupa uang dengan jumlah
tertentu yang dilakukan selama kunjungan wisatawan, setelah itu perempuan ditinggal begitu
saja hanya diberikan sejumlah uang saja.

Praktik ini mirip sekali dengan praktik perdagangan manusia sebenarnya bisa diatasi dengan
Undang-Undang anti trafficking yang disahkan DPR Mesir tahun 2010. Para mediator
pernikahan anak itu sangat marak, mereka mencari anak-anak perempuan cantik dari keluarga
yang sangat miskin dan sangat membutuhkan uang.

Al-Majlis al-Qaumi li al-Mar’ah (Dewan Nasional untuk Perempuan) menghitung terdapat


300 pasangan yang nikah anak perharinya terdaftar di badan pencatatan sipil, di mana anak-
anak perempuan berkewarganegaraan Mesir dan laki-lakinya pada umumnya berasal dari luar
Mesir (para pelancong). Jumlahnya pun meningkat pada musim panas menjadi 500 pasangan.
Transaksi pernikahan biasanya dilakukan secara urfîy (sirri) atau kawin resmi dengan cara
menaikkan usia si anak perempuan menjadi 18 tahun agar sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku sehingga pernikahan bisa dilegalisasi.

15
Kedua, Zawâj al-Qâshir bi Hukm ‘Adât (Kawin Anak karena Adat-Istiadat)
diselenggarakan berdasar adat istiadat dan tradisi masyarakat pedalaman di Mesir.
Pernikahan diselenggarakan seperti biasa, mempelai pria tidak diberikan syarat harus
mengeluarkan sejumlah uang yang besar, namun keputusan nikah berada di tangan keluarga
besar yang mengamalkan tradisi menikahkan anak-anak mereka di bawah umur. Tradisi
kawin anak ini masih berada dalam koridor Undang-Undang yang berlaku tentang aturan
tradisi penduduk pedalaman.

Dewan Nasional untuk Perempuan mencatat, anak-anak perempuan desa yang


dikawinkan itu, 36% di antaranya berusia kurang dari 16 tahun. Kawin anak di pedalaman
Mesir merupakan tradisi masyarakat setempat yang menikahkan anaknya karena khawatir
menjomblo dan masih perawan saat usia 16 tahun. Tradisi ini masih berlaku di sana karena
kurangnya pendidikan di wilayah pedesaan. Penduduk desa di Mesir memiliki bahasa dan
dialek yang jauh berbeda dengan bahasa Arab sendiri. Bahasa arab yang dikenal pun kasar,
berbeda dari bahasa Arab resmi. Mereka memiliki tradisi yang tidak dimiliki oleh masyarakat
Arab secara umum. Kehidupan mereka seperti terisolasi secara ekonomi dan budaya.
Pernikahan dilakukan dengan cara ‘Urfiy (sirri) lalu diresmikan dalam pencatatan sipil saat
anak sudah mencapai usia 18 tahun. Berdasar data Dewan Nasional untuk Perempuan Mesir,
terdapat 300-400 anak dinikahi di bawah 18 tahun setiap musim gugur setiap tahunnya.

Ketiga, pernikahan secara resmi dengan cara membuat akte kelahiran baru yang sudah
dinaikkan usia si anak menjadi 18 tahun, meski kenyataannya masih berusia di bawah 16
tahun.Undang-Undang Mesir Nomor 227 tentang pidana dengan tegas memberikan sanksi
pidana penjara selama 2 tahun bagi yang sengaja melakukan pemalsuan dokumen dengan
menaikkan usia agar bisa nikah resmi. Setiap musim gugur terdapat lebih dari 100 kasus
pemalsuan dokumen yang melibatkan banyak pihak termasuk orang tua, penghubung, tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Bunyi Undang-Undang nomor 227 sebagai berikut,

“Undang-Undang Pidana Mesir memberlakukan hukuman penjara selama masa tertentu


sampai dua tahun (maksimal) untuk setiap orang yang menyatakan di hadapan petugas
khusus dengan maksud menetapkan seseorang dari salah satu mempelai sudah mencapai usia
yang minimum berdasar Undang-Undang untuk menyesuaikan akad perkawinan secara lisan
meskipun ia tahu bahwa itu tidaklah benar, atau secara tertulis atau mengajukan beberapa
lembaran kertas kepada petugas itu, hal itu dimaksud agar di dalam transksi akad perkawinan
itu antara tulisan dan ucapat itu seragam.”

16
“Sanksi pidana penjara atau denda bagi setiap orang yang telah diberikan kekuasaan oleh
Undang-undang untuk melaksanakan proses akad nikah sedangkan dia mengetahui bahwa
salah satu pihak belum mencapai uusia yang ditentukan di dalam Undang-Undang.”

Undang-undang ini dianggap sebagai upaya untuk memerangi berbagai bentuk praktik
penipuan terkait legalitas usia anak. Namun ancaman pidana penjara atau denda tidaklah
cukup untuk menghentikan praktik ini. Perlu pendekatan sosial-budaya, agama-peradaban,
pendidikan, ekonomi dan politik untuk mencegah terjadinya praktik ini.4

4
Ahmad Hilmi, Undang-Undang Batasan Usia Kawin di Mesir Pacsa Revolusi 2011, diakses dari
https://rumahkitab.com/undang-undang-batasan-usia-kawin-di-mesir-pasca-revolusi-2011/ .

17
NAMA : MEGA PATRIA SRI WILUJENG

NOMOR ABSEN : 24

NIM : 126102202253

KELAS : HKI 3F

MATA KULIAH : HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM

TUGAS RESUME HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM

SUB BAB :

1. PENCATATAN PERNIKAHAN
2. PERTUNANGAN ( AL-KHITHBAH )

PENCATATAN PERNIKAHAN DI NEGARA MESIR


Usaha untuk menetapkan pencatatan pernikahan di Mesir dimulai dengan terbitnya
Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai
pencatat nikah nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan
pelaksanaan pencatat nikah kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan
kepentingan mereka.

Ordonasi tahun 1880 itu diikuti dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal 31-
nya menyatakan bahwa “gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan
perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak
apabila tidak dibuktikan dengan adanya suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan”.
Tampak bahwa pasal ini mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu
agar dapat dijadikan dasar keputusan. Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung
ketentuab bahwa dokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang yang
ditugaskan untuk itu. Dari sini jelas bahwa Undang-Undang di Mesir mengambil prinsip”
tidak mendengarkan suatu gugatan” dalam kasus-kasus perkawinan dan akibat-akibat
hukumnya apabila perkawinan tersebut tidak terbukti berdasarkan suatu dokumen resmi yang
diterbitkan oleh pjabat berwenang, seperti hakim dan pegawai pencatat nikah atau konsul
(untuk luar negri)5

5
Syamsul anwar “Islam, Negara dan Hukum” (Jakarta: INIS) hal. 106-107

18
PERTUNANGAN (AL-KHITHBAH)
Dalam islam persoalan nikah adalah salah satu persoalan urgen yang diatur dalam
berbagai ajarannya. Al-Qur’an dan As Sunnah dan dua sumber utama ajaran islam,banyak
berbicara tentang persoalan itu, salah satu persoalan yang terkait dengan persoalan pranikah
adalah khitbah, yakni pinangan (melamar) atau maknanya meminta seorang wanita untuk
menikah dengan cara dan media yang biasa dikenal ditenggah masyrakat 6. Khitbah
merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita menjadi istri kepada pihak laki-laki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri. Khitbah juga
merupakan pendahuluan perkawinan yang diisyaratkan sebelum ada ikatan suami istri dengan
tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasari kerelaan yang didapatkan dari penelitian,
penegtahuan serta kesadaran masing-masing pihak7.

Tunangan di adat masyarakat Mesir menjadi acara yang benar-benar membahagiakan.


Orang mesir selalu menyebut acara pernikahan dan pertunangan dengan nama “farah” yang
berarti “bahagia”, sehingga di sela-sela acaranya terlihat sekali kebahagiaan itu,diacara
tunangan selalu ada pesta dan lagu-lagu khas Mesir dengan cara berjoget bersama termasuk
sang mempelai dan selalu ada suara siulan dari orang-orang perempuan. Kebahagiaan
terpancar sangat kuat ketika seorang pemuda Mesir bila menjalin sebuah hubungan resmi
dengan seorang perempuan, kemudian berjoget bersama disertai iringan musik arab khas
Mesir dari albumnya, Sa’ad Shugoyyar yang terkenal untuk acara “farah”. 8

Dasar Hukum Khitbah

Adapun dasar nahs Al-Qur’an tentang khithbah:

‫طبَ ِة النِّ َس ۤا ِء اَوْ اَ ْكنَ ْنتُ ْم فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ُك ْم ۗ َعلِ َم هّٰللا ُ اَنَّ ُك ْم َست َْذ ُكرُوْ نَه َُّن َو ٰل ِك ْن اَّل‬ْ ‫َواَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما َعرَّضْ تُ ْم بِ ٖه ِم ْن ِخ‬
‫اح َح ٰتّى يَ ْبلُ َغ ْال ِك ٰتبُ اَ َجلَهٗ َۗوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن هّٰللا َ يَ ْعلَ ُم َما‬ ِ ‫ْز ُموْ ا ُع ْق َدةَ النِّ َك‬ ِ ‫تُ َوا ِع ُدوْ ه َُّن ِس ًّرا آِاَّل اَ ْن تَقُوْ لُوْ ا قَوْ اًل َّم ْعرُوْ فًا ەۗ َواَل تَع‬
‫فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ُك ْم فَاحْ َذرُوْ هُ ۚ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َحلِ ْي ٌم‬

Terjemahnya: “Tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita dengan sindiran atau
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut nyebut mereka, dalam pada itu

6
Syaikh Mahmud Al- Mashri, Bekal Pernikahan,cet I(Jakarta : Qishti Press, 2011),h
7
Sayid Sabiq,Fiqh as Sunnah,cet 1. (Mesir : Dar Al- Fath Lil I’lami Al-‘arabiy,2004),h.507
8
Bisyri Ichwan,Tunangan Orang Mesir, diakses dari
https://www.kompasiana.com/bisyriichwan/54ffcc51813311d660fa708b/tunangan-orang-mesir
pada tanggal 28 September 2021 pukul 19.27

19
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia,
kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan ma’ruf
(sindiran).”(QS. Al-Baqarah : 235). 9

Memang banyak terdapat dalam al-qur’an dan hadis Nabi yang membicarakan hal
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan
melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan
kalimat yang jelas, baikdalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam
menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti
hukumannya mubah.10

Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy,
mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada
hadis-hadis nabi yang gambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan
tradisi yangdilakukan nabi dalam peminangan itu.11

Hikmah Khitbah

Sebagaimana sebuah tuntutan, peminangan atau khitbah memiliki banyak hikmah dan
keutamaan. Peminangan bukan sekedar pertistriwa social, juga bukan semata-mata peristiwa
ritual. Ia memiliki sejumlah keutamaan yang membuat pernikahan yang akandilakukan
menjadi lebih barakah. Diantara hikmah yang terkandung dalam peminangan atau khitbah
adalah:12

a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dan yang dipinang beserta kedua belah
pihak.

Dengan pinangan, maka kedua belah pihak akan saling menjajaki kepribadian masing-
masing dengan mencoba melakukan pengenalan secara mendalam. Tentu saja pengenalan
ini tetap berada dalam koridor syari’at, yaitu memperhatikan batasan-batasan interaksi
dengan lawan jenis yang belum terikatoleh pernikahan. Demikian pula dapat bisa saling
mengenal keluarga dari keduabelah pihak agar bisa menjadi awal yang baik dalam
mengikat hubungan persaudaraan dengan pernikahan yang akan mereka lakukan.

b. Menguatkan tekad untuk melaksanakan pernikahan

9
al-Qur’an, 2:235.
10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 50.
11
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II (Beirut: Darul Fikri, 2005), h. 3.
12
Cahyadi Takariawan, Izinkan Aku Meminangmu (Solo: Era Intermedia, 2004), h. 32.

20
Pada awalnya laki-laki atau perempuan berada dalam keadaan bimbang untuk
memutuskan melaksanakan pernikahan. Mereka masih memikirkan dan
mempertimbangkan banyak hal sebelum melaksanakan keputusan besar untuk menikah.
Dengan khitbah, artinya proses menuju jenjang pernikahan telahdimulai. Mereka sudah
berada pada suatu jalan yang akan menghantarkan mereka menuju gerbang kehidupan
berumah tangga.13

Sebelum melaksanakan khitbah, mereka belum memiliki ikatan moral apa pun
berkaitan dengan calon pasangan hidupnya. Masing-masing dari laki-laki dan perempuan
yang masih lajang hidup “bebas”, belum memiliki suatu beban moral dan langkah pasti
menuju pernikahan. Dengan adanya peminangan, mau tidak mau kedua belah pihak akan
merasa ada perasaan bertanggung jawab dalam dirinya untuk segera menguatkan tekad dan
keinginan menuju pernikahan. Berbagai keraguan hendaknya harus sudah dihilangkan
pada masa setelah peminangan. Ibarat orang yang merasa bimbang untuk menempuh
sebuah perjalanan tugas, namun dengan mengawali langkah membeli tiket pesawat, ada
dorongan dan motivasi yang lebih kuat untuk berangkat.

c. Menumbuhkan ketentraman jiwa

Dengan peminangan, apalagi telah ada jawaban penerimaan, akan menimbulkan perasaan
kepastian pada kedua belah pihak. Perempuan merasa tentram karena telah terkirim
padanya calon pasangan hidup yang sesuai harapan. Kehawatiran bahwa dirinya tidak
mendapat jodoh terjawab sudah. Sedang bagi laki-laki yang meminang, ia merasa tentram
karena perempuan ideal yang diinginkan telah bersedia menerima pinangannya.

d. Menjaga kesucian diri menjelang pernikahan

Dengan adanya pinangan, masing-amsing pihak akan lebih menjaga kesucian diri. Mereka
merasa tengah mulai menapaki perjalanan menuju kehidupan rumah tangga, oleh karena itu
mencoba senantiasa menjaga diri agar terjauhkan dari hal-hal yang merusakkan kebahagiaan
pernikahan nantinya.

Kedua belah pihak dari yang meminang maupun yang dipinang harus berusaha menjaga
kepercayaan pihak lainnya. Allah telah memerintahkan agar lelaki beriman bisa menjaga
kesucian diri mereka,

َ‫ك اَ ْز ٰكى لَهُ ۗ ْم اِ َّن هّٰللا َ َخبِ ْي ۢ ٌر بِ َما يَصْ نَعُوْ ن‬


َ ِ‫ار ِه ْم َويَحْ فَظُوْ ا فُرُوْ َجهُ ۗ ْم ٰذل‬
ِ ‫ص‬َ ‫قُلْ لِّ ْل ُمْؤ ِمنِ ْينَ يَ ُغضُّ وْ ا ِم ْن اَ ْب‬
13
Ibid., h. 35.

21
Terjemahnya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
merekamenahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
ituadalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat"...(An-Nur/24:30)14.

Selain itu, pinangan juga akan menjauhkan kedua belah pihak dari gangguan orang lain
yang bermaksud iseng.15

e. Melengkapi persiapan diri

Pinangan juga mengandung hikmah bahwa kedua belah pihak dituntut


untukmelengkapi persiapan diri guna menuju pernikahan. Masih ada waktu yang biasa
digunakan seoptimal mungkin oleh kedua belah pihak untuk menyempurnakan persiapan
dalam berbagai sisinya. Seorang laki-laki bisa mengevaluasi kekurangan dirinya dalam
proses pernikahan, mungkin ia belum menguasai beberapa hukum yang berkaitan dengan
keluarga, untuk itu bisa mempelajari terlebih dahulu sebelum terjadinya akad nikah.

Macam-macam Khitbah

Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:16

a. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya
berkeinginan untuk menikahimu.”

b. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan
maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”

Adapun sindiran selain ini yang dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki tersebut
ingin menikah dengannya, maka semua diperbolehkan. Diperbolehkan pula bagi wanita untuk
menjawab sindiran ini dengan kata-kata yang berisi sindiran juga. Tidak terlarang bagi wanita
mengatakan kata-kata sindiran yang diperbolehkan lakilaki, demikian pula sebaliknya.17

Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya
boleh dipinang dengan ucapan langsung atau terus terang dan boleh pula dengan ucapan
14
Al-Qur’an, 24: 30.
15
Cahyadi Takariawan, Izinkan, h. 38.
16
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, h.6492.
17
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2 (Jilid 3-6), (Jakarta:
Pustaka Azzam. 2007), h. 378.

22
sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun
dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya
dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.18

Hal-hal yang Berkaitan dengan Khitbah

1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.

Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahanakan tetapi bukan


termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini,
karena Peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang
akibat telah saling mengetahui. Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses
peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap
sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.

Dalam melakukan peminangan, hendaknya melakukannya dengan penuh sopan dan sesuai
dengan adat setempat. Ada beberapa ketentuan yang perlu diketahui oleh peminang ketika
akan melakukan peminangan. Yaitu19:

a) Peminang boleh melihat perempuan yang dipinang sebatas yang diperbolehkan oleh
syara’, seperti wajah dan telapak tangan. Alasannya karena dengan melihat perempuan
yang dipinangnya akan memberikan jaminan kelangsungan hubungan suami istri.

b) Mengenali sifat-sifat calon yang dipinangnya.

Sebagaimana mengetahui wajahnya, seorang peminang juga berhak untuk mengetahui


karakter dari calon yang dipinangnya. Akan tetapi dalam hal ini peminang hanya boleh
menanyakannya dengan orang-orang dekat perempuan.

c) Peminang dan perempuan yang dipinangnya tidak boleh menyendiri berduaan. Itulah
beberapa hal yang perlu dipahami laki-laki yang hendak meminang perempuan pilihannya.
Dengan mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam agama, berarti langkah awal dalam
rangka mewujudkan keluarga sakinah telah tercapai.

2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.

Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang


telah dipinang adalah haram. Ijma’ para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua,

18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h. 51-52.
19
A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, h. 21-23.

23
yang datang setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi
apabila:25

a) Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu
secara jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima
pinangan itu.

b) Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.

c) Peminang pertama belum membatalkan pinangan.

Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi:

ْ ‫ب َعلَى ِخ‬
‫طبَ ِة َأ ِخي ِه َحتَّى يَ َذ َر‬ َ ُ‫ْل ُمْؤ ِمنُ َأ ُخو ْال ُمْؤ ِم ِن فَالَ يَ ِحلُّ لِ ْل ُمْؤ ِم ِن َأ ْن يَ ْبتَا َع َعلَى بَي ِْع َأ ِخي ِه َوالَ يَ ْخط‬

Artinya: “orang mukmin adalah saudara orang mukmin, maka tidak boleh ia membeli atas
belian saudaranya dan tidak boleh ia meminang atas pinangan saudaranya kecuali
kalau sudah ditinggalkan.”20

Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah
sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakithati satu sama lain. Adapun
mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban,
beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiyah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang
sedangbingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan
pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram.
Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang
sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi
setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.

Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan
tata perilaku islam yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap
seseorang yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada
pemutusan silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang
dipinang.21

Orang-orang yang Tidak Boleh Dipinang.

20
Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqh, h.16.
21
Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islami, h. 6493.

24
Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang.
Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidakboleh pula untuk dipinang.

Secara global wanita-wanita yang haram dipinang adalah wanita-wanita yang haram
dinikahi, yang disebutkan perinciannya di dalam Al Qur’an di dalam Surat An Nisa’ : 22 –
23, Surat Al baqoroh : : 221 dan Surat An Nisa’ : 3, wanita yang mempunyai suami, wanita
yang masih dalam masa iddah, wanita yang sedang melakukan ihram haji dan wanita yang
sedang dipinang oleh orang lain. Secara rinci dapat kami sebutkan sebagai berikut :

1. Haram dinikahi karena nasab, yaitu :

a) Ibu, sampai ke atas

b) Anak perempuan, sampai ke bawah

c) Semua saudara perempuan, yang sekandung, seayah atau seibu

d) Semua bibi dari pihak ayah

e) Semua bibi dari pihak ibu

f) Semua anak perempuan dari saudara laki-laki yang sekandung, seayah atau seibu

g) Semua anak perempuan dari saudara perempuan yang sekandung, seayah atau seibu.

2. Haram dinikahi karena susuan

a) Ibu yang menyusui

b) Ibu dari ibu yang menyusui

c) Saudara perempuan dari ibu yang menyusui

d) Saudara perempuan dari suami ibu yang menyusui

e) Anak perempuan dari semua anak ibu yang menyusui

f) Semua saudara perempuan sepersusuan.

3. Haram dinikahi karena pernikahan

a) Ibu istri sampai ke atas

b) Anak perempuan istri jika telah bercampur dengannya sampai ke bawah

25
c) Istri anak atau cucu sampai ke bawah

d) Istri ayah. 22

Semua pengharaman pada ketiga sebab diatas adalah bersifat abadi.

4. Sebab mahram, yaitu melakukan pinangan kepada saudara perempuan atau bibi dari istri
yang masih sah atau istri yang dicerai tetapi masih dalam masa iddah, karena haram
hukumnya menikahi dua orang saudara semahram.

5. Wanita-wanita yang musyrik, seperti yang disebutkan dalamQS. Al Baqoroh : 221

6. Haram menikah dari sisi jumlah, karena istrinya telah empat orang misalnya, sehingga
diharamkan baginya untuk melakukan pinangan kepada wanita lainnya. Kecuali jika dia
telah menceraikan salah satu istrinya dan telah habis masa iddah istrinya.

7. Wanita-wanita yang msaih menjadi istri orang lain. Demikian juga diharamkan bagi
seorang wanita untuk meminta agar seseorang laki-laki menceraikan istrinya agar dia
dipinang dan dijadikan istrinya.

8. Meminang wanita yang sedang menjalankan iddah, baik karena ditinggal mati oleh
suaminya atau karena dicerai oleh suaminya atau pernikahannya dibatalkan oleh Hakim
(fasakh), kecuali dilakukan dengan cara sindiran. Seperti yang disebutkan pada Surat Al
Baqoroh : 235.

9. Wanita yang masih dalam pinangan orang lain, seperti yang disebutkan di dalam Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar di atas. Ini jika pinangan itu sudah jelas diterima atau
ada tanda-tanda diterima, baik pinangan itu dilakukan oleh orang yang shaleh atau orang
yang fasek, selama dia adalah seorang muslim. Adapun jika pinangan itu tidak dijawab
dan orang lain itu diijinkan atau orang yang datang kemudian tidak mengetahui pinangan
terdahulu, maka tidak apa-apa. Seperti yang terjadi pada Fathimah binti Qais ketika
dithalak tiga oleh suaminya.

10. Melakukan pinangan kepada wanita yang sedang melakukan ibadah ihram/ haji.

Itulah penjelasan tentang wanita-wanita yang haram untuk dipinang atau dikhithbah.

22
Ahmad Sarwat, fiqh Seri Pernikahan, (Kakarta: DU Publishing, 2011), h. 78-79.

26
NAMA : WAFIQ ARZA MAULANA

NOMOR ABSEN : 25

NIM : 126102202254

KELAS : HKI 3F

MATA KULIAH : HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM

PEMBAHASAN

PERKAWINAN ( Al Zawaj )
Setiap suku bangsa berbeda adat istiadatnya, demikian pula ritual pernikahannya.
Di Mesir, pernikahan bisa dikatakan sesuatu yang terbilang sulit pelaksanaannya jika
dibandingkan dengan tradisi perkawinan di Indonesia.Soalnya, kalau lelaki Mesir ingin
melamar seorang wanita ia harus punya mahar berupa emas perhiasan lengkap, mencakup
gelang, kalung, cincin, dan kalau perlu gelang kaki. Mereka menyebut perangkat ini
“Syabkah”. Tak cuma itu. Lelaki Mesir juga harus mempersiapkan sebuah rumah beserta
isinya agar bisa ditempati bersama sang istri setelah menikah.Beberapa gadis Mesir malah
minta disediakan kendaraan sebagai syarat menikah. Jadi, untuk mahar minimal harus
tersedia pound kira-kira Rp 600 juta, barulah lamaran diterima. Sulitnya menikah tidak
hanya terjadi di Mesir, tetapi juga di hampir semua negara-negara Arab. Sejauh yang saya
amati, banyak remaja putra maupun putri Mesir yang baru mampu menikah pada usia
yang sudah lumayan tua. Ini karena sulitnya persayaratan menikah dalam tradisi Mesir.
Itu sebab, ketika satu pasangan berhasil mengatasi ketatnya persyaratan itu, mereka
benar-benar merayakannya dengan penuh kemenangan.

Bandingkan dengan di Aceh yang biasanya setelah lamaran, acara pernikahan


akan dilangsungkan selang tiga minggu, satu bulan, atau paling lama enam bulan. Tapi di
Mesir, antara masa lamaran dengan akad nikah bisa dua tahun selang waktunya. Hal ini
karena calon suami perlu waktu lama untuk mempersiapkan segala keperluan rumah
tangga, seperti perhiasan emas, rumah (saah), dan lainnya. Rumah yang disediakan
biasanya dibeli kontan. Tapi ada juga yang membelinya secara kredit. Tergantung
kemapanan ekonomi sang pengantin pria. Rumah itu nantinya harus atas nama sang istri.
Tunangan atau acara pernikahan dalam adat masyarakat Mesir benar-benar menjadi acara
yang membahagiakan. Orang Mesir selalu menyebut acara pertunangan dan pernikahan
dengan nama “farah” yang berarti “bahagia”, sehingga di sela-sela acara itu terlihat jelas

27
kebahagiaan mereka. Setelah akad nikah biasanya kedua mempelai dan rombongan naik
mobil untuk keliling kampung. Klakson mobil dan sepeda motor dibunyikan secara
bersamaan, kemudian mempelai menuju tempat dilaksanakannya pesta pernikahan.

Orang Mesir sering mengadakan pesta pernikahan di tempat-tempat terbuka,


seperti di pinggir jalan dekat rumah mereka. Tak jarang pula mereka rayakan di pinggir
Sungai Nil, sungai kebanggaan rakyat Mesir. Tapi mereka yang mampu biasanya
menyewa gedung. Sesampai di tempat pesta, kita jangan berharap ada aneka makanan
seperti rendang, ayam goreng, rujak, acar, dan segala macam makanan seperti halnya di
Aceh, sebab orang Mesir tidak menyediakan makanan berat apa pun. Mereka hanya
menyuguhkan makanan ringan seperti molto (roti berisi cokelat) dan syibsi (sejenis
kerupuk citato yang terbuat dari kentang). Disediakan juga minuman ringan bermerek.
Sambil menikmati snack-snack kecil yang disediakan, orang Mesir selalu menghidupkan
musik Arab khas Mesir dari albumnya Sa’ad Shugoyyar yang terkenal untuk acara pesta.
Mereka biasanya berjoget bersama, termasuk kedua mempelai. Apabila orang Indonesia
melihat acara pernikahan orang Mesir ini pastilah agak merasa aneh. Seakan kurang
sakral dibandingkan dengan acara pernikahan di Indonesia. Tapi, aneh menurut kita,
sudah cukup baik menurut mereka. Inilah yang namanya perbedaan budaya.Hanya malam
hari Prosesi pernikahan di Mesir biasanya berlangsung pada malam hari, dimulai seusai
magrib sampai tengah malam. Baju yang dikenakan kedua mempelai pun cukup satu setel
saja, terlihat seperti pakaian selayar untuk mempelai wanita dan jas untuk mempelai laki-
laki. Mengintip adat pernikahan Mesir yang sangat jauh berbeda dengan adat kita di
Indonesia dan di Aceh khususnya, patutlah kita bangga membayangkan tentang
khidmatnya adat pernikahan di daerah kita. Dalam setiap acara pernikahan, ada tangis
bahagia dan tawa gembira. Pengantinnya dibalut pakaian adat serta pelaminan khas Aceh
yang ditata bak singgasana raja, dilengkapi dengan segala macam hidangan yang
menambah meriahnya pesta pernikahan. Tapi inilah kenyataannya. Allah menciptakan
manusia dengan beragam suku dan bangsa yang berbeda-beda, untuk saling kenal-
mengenal. Mengenal budayanya, mengenal karakternya.

a. Pencatatan Perkawinan

Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya


Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai

28
pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan
pelaksanaan pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang berakad dan
pertimbangan kepentingan mereka.

Ordonansi tahun1880 itu diikuti dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal 31-
nya menyatakan bahwa “gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya
hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah
satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan adanya suatu dokumen yang bebas dari
dugaan pemalsuan”. Tampak  bahwa pasal ini mengandung persyaratan adanya dokumen
yang diduga tidak palsu agar dapat dijadikan dasar keputusan.

Demikian pula Ordonasi tahun 1921 mengandung ketentuan bahwa


dokumen itu harus bersifat resmi, dibuat oleh pegawai berwenang yang
ditugaskan untuk itu.Dari sini jelaslah bahwa undang-undang di Mesir mengambil
prinsip” tidak mendengarkan suatu g ug at an ”    dalam kasus-kasus perkawinan dan
akibat-akibat hukumnya apabila perkawinan tersebut tidak terbukti berdasarkan suatu
dokumen resmi yang diterbitkan oleh pejabat berwenang, seperti hakim dan pegawai
pencatat nikah atau kosul (untuk luar Negri).23

b. Usia Perkawinan

Dalam bidang perkawinan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas


minimum usia pernikahan yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi wanita 16 Tahun.24 Jika
umur mereka yang akan melangsungkan pernikahan kurang dari ketentuan diatas maka
pernikahan tidak boleh dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan Bab 99 UU No 78
Tahun 1931.25

Ada dua hal untuk mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU
yaitu: Akte Kelahiran atau berupa surat resmi yang dapat menaksir tanggal kelahiran
seseorang, dan sertifikat kesehatan yang memperlihatkan taksiran tanggal atau data
kelahiran yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan setempat. Jika
keduanya atau salah satu pihak calon suami atau istri tidak memenuhi ketentuan umur
perkawinan dalam UU tersebut, maka dilarang untuk melakukan pendaftaran perkawinan.

23
Syamsul Anwar,Islam Negara Hukum (Jakarta: INIS),hal.106-107
24
Atho’ Muzar dan Khairuddinn, Hukum Keluarga Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press)
25
ibid

29
c. Mahar

Jika terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus
dapat membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan, maka
sumpah suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan jumlah yang
tidak wajar senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut26.

Di Mesir pengantin lelaki harus menyediakan rumah yang mafrusyah (fasilitas


isinya lengkap, sejak kasur, bantal hingga sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum,
sekitar 100 Km di timur Kairo, seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3 ribu
Pound Mesir (500 Dolar AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu saja,
pendapatan tetap, itu belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga sebuah rumah
yang mafrusyah di kawasan itu bisa mencapai 80 ribu Pound (13 ribu Dolar AS). Di kota
besar seperti Kairo, dalam persoalan mahar, orang Mesir, konon, tidak macam-macam ;
cukup dengan peralatan shalat, atau kitab suci AlQuran. Biaya hidup bulanan seorang
isteri Mesir, nampaknya, juga sangat tinggi. akibat mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir
banyak yang lambat nikah27.

D. Putusnya perkawinan

Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa


ketentuan hukum keluarga  menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara
mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada
isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan
denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum
sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk
janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberian mut`ah yang besarnya sama dengan
nafkah selama dua tahun. Di Mesir Pengucapan Talak Tiga hanya jatuh satu talak. Semua
pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak perempuan.28

E.Penyelesaian perselisihan

jika seorang istri menuduh suaminya telah berbuat kejam dan tidak mungkin
melanjutkan hubungan perkawinannya, istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada
hakim. Dan hakim harus memutuskan perceraian keduanya jika tuduhan istri dapat

26
Pasal 19 UU No.25/1929
27
www.google.com/mesir
28
UU NO.25 1929 pasal 6

30
dibuktikan dan tidak dapat didamaikan. Tetapi jika hakim menolak permohonan cerai
istri, dan kemudian istri mengulangi tuduhannya tetapi tidak dapat membuktikan tuduhan
tersebut, hakim akan menunjuk dua orang sebagai juru damai.29

F. Perkawinan Beda Kewarganegaraan

Hal kawin campur terdapat dalam Law No. 68 tahun 1947 yang diamandemen oleh Law
No. 103 tahun 1976 yang memindahkan pasal 2, 5, 6, 9 dan 12 kepada peraturan baru. Dalam
pasal 5 dikatakan bahwa notaris, sebelum mencatat perkawinan harus memperjelas identitas
kedua mempelai. Jika terdapat perkawinan antara wanita Mesir dengan pria non Mesir, maka
Dinas Perkawinan harus memastikan hal-hal berikut:

1.      Kehadiran mempelai pria saat akad.

2.      Perbedaan umur antara keduanya tidak lebih dari 25 tahun.

3.      Pihak pria harus menyertakan dua buah setifikat dari negara asal atau kedutaannya.
Pertama menyatakan bahwa negara asal tidak melarang pernikahan itu dan kedua
menggambarkan identitasnya meliputi Tempat dan Tanggal Lahir, agama, pekerjaan, tempat
di negara asal, status perkawinan, jumlah isteri dan anak, sirkulasi keuangan dan sumber
penghasilan. Kedua sertifikat itu harus ditandatangani oleh pihak pemerintahan Mesir.

4.      Kedua mempelai harus mempunyai Akta Kelahiran atau surat resmi lain yang
menunjukkan tanggal lahir30.

Dalam hal ini maka jelas Hukum Keluarga Mesir menitikberatkan pada legalitas pihak asing
memperbolehkan untuk menikahi warganegaranya, tanpa ada persyaratan yang memberatkan.

G. Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan

Ketentuan Pidana dalam Perkawinan menyangkut pada pelanggaran ketentuan


poligami, yakni suami yang melanggar pasal 11A  UU No. 100 tahun 1985  dapat
diberikan sanksi hukuman penjara atau denda, atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Hal
ini diatur dalam pasal 23A UU no. 100 tahun 1985, yaitu: seorang yang menceraikan
isterinya, bertentangan dengan aturan yang ada dalam pasal 5A undang-undang ini, dapat
dihukum dengan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda 200 pound Mesir
atau kedua-duanya. Sama juga dengan orang yang membuat pengakuan palsu. Kepada
pegawai pencatat yang lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat dihukum dengan
29
UU NO. 25 tahun 1929
30
Dawud Sudqi El-Alami,Op.cit.hal.85

31
hukuman penjara maksimal satu bulan dan dengan hukuman denda maksimal 50 pound
Mesir. Pegawai yang bersangkutan dapat dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.31

NAFKAH ( An Nafaqah )
Ketentuan tentang pemberian nafkah

Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri sejak perkawinan disahkan


meskipun istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri
untuk mendapatkan nafkah. Nafkah mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal,
pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban memberi
nafkah jika istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa alasan atau pergi tanpa
izin suaminya.32

Di dalam perkawinan, wanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, dia


diperlukan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak kemanusiaan yang sempurna.
Selain mempunyai hak mahar, dia juga mempunyai hak nafkah yang pada dasarnya
adalah menjadi tanggung jawab suami. Namun ketentuan ini tidaklah kaku karena di
dalam kasus-kasus tertentu Hukum Islam tidak dilarang kepada istri membantu suaminya
dalam mencari nafkah.Dalam kasus Negara Syiria dan Tunisia, Undang-undang Hukum
Keluarga kedua negara ini telah melakukan begitu mendetail masalah nafkah ini. Lingkup
pembiayaan nafkah tidak hanya terbatas pada sandang, pangan dan papan melainkan juga
meliputi biaya-biaya pengobatan. Bahkan perbedaan agama istri tidak menjadi
penghalang akan wajibnya nafkah ini. Selain itu juga istri mempunyai hak menolak untuk
mendampingi suami jika suami mengabaikan kewajiban ini. Dan lebih ekstrim lagi bahwa
pengabaian kewajiban ini bisa menjadi salah satu alasan istri untuk memohon
perceraian.Dalam masalah ini, kedua negara ini telah melakukan terobosan yang
signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri untuk menuntut hak nafkahnya
yang begitu luas. Hal ini berbeda dengan pandangan para ulama mazhab di mana biaya
apengobatan bukan menjadi tanggung jawab suaminya. Menurut mereka, ongkos atau
biaya pengobatan mrnjadi tanggungannya sendiri atau keluarganya, karena obat-obatan
tidaklah dinggap sebagai kebutuhan pokok, mereka menganalogkannya dengan makanan
cuci mulut. Makanan jenis ini tidk harus ada atau disediakan.45 Hal ini disebabkan

31
Tahrir Mahmood, Personal Law In Islam (New Delhi:1987)
32
Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah(Yogyakarta:Lkis,2003)

32
karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak memerlukan pengobtan
seperti sekrang ini. Akan tetapi, dewasa ini kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan
telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Wahbah al-Zuhaili-ahli fiqih kontemporer
dari Syiria– menolak pandangan para ulama empat mazhab di atas. Menurutnya nafkah
untuk kesehatan adalah termasuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Pemberian
nafkah kesehatan merupakan bentuk dari mu’asyarah bi al-Ma’ruf. Katanya: Bukanlah
mu’asyarah bi al-ma’ruf namanya, kalau suami dalam keadaan istrinya sehat dapat
bersenang-senang (istimta’), tetapi manakala ia sakit, lalu mengembalikannya kepada
keluarganya. Ilustrasi Wahbah ini selaras dengan aturan di Syiria, Tunisia bahkan Mesir

Al-Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberi


nafkah kepada istrinya, meskipun istri mempunyai kekayaan dan pendapatan. Istri tidak
diwajibkan memberi suaminya apa yang didapatkan atas jerihnya sendiri. Adapun sebab
wajib nafkah atas suami kepada isteri adalah, karena dengan selesainya akad yang sah,
wanita menjadi terikat dengan hak suaminya, yaitu untuk menyenangkannya, wajib taat
kepadanya, harus tetap tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangganya, mengasuh
anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai imbalan yang demikian Islam mewajibkan
kepada suami untuk memberi nafkah kepada isterinya.Nafkah suami terhadap istri selama
perkawinannya itu dibangun atas akad yang sah, terlepas istrinya muslim atau tidak, kaya
atau miskin. Kewajiban ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.22 Perintah pemberian
nafkah ini berdasarkan al-Qu’an, al-Sunnah, al-Qiyas, al-Ijma’.23Harus dicatat bahwa
memberi nafkah meliputi sandang, papan dan pangan. Tentang tempat tinggal, al-Qur’an
mengatakan: 33

Mengenai nafkah bagi istri dalam Undang-undang Syiria dijelaskan bahwa nafkah
diberikan kepada istri sejak akad terlaksana. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
bangunan fiqih klasik. Adapun ketentuan nafkah Syiria adalah:

Pasal 65: “ Suami wajib memberikan rumah yang sama dengannya”.

Pasal 66:“Suami setelah istrinya sembuh dari penyakitnya hendaknya, dia tinggal
bersamanya”.

Pasal 67: “Suami jika ber[oligami wajib memberikan tempat tinggal yang sama terhadap
istri-istrinya”.

33
Muhammad Amin Summa, Hukum Kelurga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Press)

33
Pasal 71; “Nafkah meliputi sandang, pangan dan papan dan sejenisnya yang baik yang
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam masyarakat”.

Pasal 72 ayat (1): “Suami tetap terikat dengan hal pemberian biaya hidup kepada istri
selama masih berlangsungnya perkawinan, bahkan bila si istri merupakan pengikut agama
lain atau menetap di rumah keluarganya, kecuali bila suami memintanya untuk tinggal
bersama di kediamannya sementara sang istri menolak tanpa ada haknya.”

Pasal 72 ayat (2) Bahkan si istri mempunyai hak untuk menolak untuk hidup bersama
suaminya jika suaminya tidak mematuhi untuk membayar mahar secara seketika atau
menyediakan tempat tinggal berdasarkan aturan hukum.”

Sedangkan nafkah menurut Hukum Keluarga Tunisia menerapkan prinsip-


prinsip mazhab Maliki dalam hak-hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal
ini secara rinci dalam pasal-pasal 32-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa istri
diizinkan untuk membelanjakan harta pribadinya guna biaya hidup dengan maksud untuk
meminta ganti biaya suaminya. Adapun mengenai besarnya jumlah nafkah disesuaikan
dengan kemampuan suaminya (pembayar) dan diperhatikan pula status istriserta biaya
hidup yang wajar pada saat itu, sebagaimana yang tertera pada pasal 52.

NAMA : SITI NUR HIDAYAH

NOMOR ABSEN : 26

NIM : 126102202255

KELAS : HKI 3F

MATA KULIAH : HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM

34
PEMBAHASAN

PROSEDUR PERCERAIAN
Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini
berbeda dengan kitab-kitab fikhi yang umum menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan
pernyataan sepihak dari pihak suami baik secara lisan maupun tertulis. Tujuan Pasal 39 ayat
(1) ini adalah untuk mempersulit dan mengurangi. terjadinya perceraian. Otoritas Islam
tertinggi Mesir telah mengambil keputusan bulat untuk menolak reformasi aturan perceraian
yang diusulkan Presiden Abdul-Fattah al Sisi. Dalam usulannya, Sisi meminta agar
perceraian pasangan suami istri Mesir tanpa melalui pengadilan diakhiri.Usulan tersebut
dibuat al Sisi karena berdasarkan laporan, sekitar 40 persen dari pernikahan di Mesir berakhir
dengan perceraian meski dengan usia pernikahan di bawah lima tahun. Ulama Al Azhar turut
menyatakan keprihatinan terhadap tingginya perceraian di tanah Mesir.Dengan ditolaknya
usulan tersebut, maka pria Mesir tetap bisa menceraikan istrinya hanya melalui ucapan talak.
Artinya, laki-laki muslim dapat menceraikan istri mereka tanpa melalui pembenaran hukum
atau berkonsultasi dengan pengadilan. Dalam sebuah pernyataan, Dewan Keagamaan
mengatakan bahwa praktik ini tak terbantahkan sejak abad ketujuh. Laki-laki tanpa 'pikiran
yang sehat' tidak bisa menceraikan istri mereka.Keputusan ini tentu memicu kekhawatiran
bagi perempuan Mesir yang merasa didiskriminasi dengan aturan perceraian tersebut. Hal
tersebut juga diungkapkan oleh kelompok-kelompok pembela hak asasi.Berdasarkan catatan,
hukum status pribadi Mesir masih berat sebelah terhadap perempuan. Selain itu, agresi dan
kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat sejak gejolak politik yang menurunkan
Presiden Husni Mubarak pada 2011 dan Presiden Muhamad Mursi pada 2013.34

HADHANAH
. Mesir Masa pengasuhan anak dalam setatus hukum perorangan personal status law
yang di amandemen tahun 1985, menetapkan bahwa wanita istri memiliki hak untuk
mengasuh anak laki-laki hingga usia 10 tahun dan 12 tahun bagi anak perempuan. Setelah
habis masa pengasuhan, hakim dapat memerintahkan bahea anak yang dalam pengasuhan
tetap pada ibu tanpa adanya upah hingga berusia 15 tahun bagi anak laki-laki, dan sampai
menikah bagi anak perempuan. Jika hakim yakin bahwa kemaslahatan anak akan terpenuhi.
34
Lihat Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern”, dalam Mimbar Hukum, No. 12,
Jakarta: Ditbinbapera Islam, 1994, h. 28-32

35
46 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta:
Kencana, 2008, h.431. 47 Soedaryo Soimin, Kitab Undang- Undang Hukum Perda, Jakarta:
Sinar Grafika, 2007, h.15. Mengenai syarat-syarat pemegang hak hadhanah, dirumuskan
sebagai berikut: orang yang baligh, berakal, mampu mengasuh anak, sehat dan mempunyai
garis hubungan kekeluargaan. Adapun mengenai gugur atau pencabutan hak hadhanah, hakim
dapat mempertimbangkan dua hal : - Pertama, apabila pemegang hak hadhanah berprilaku
buruk yang dapat mempengaruhi akhlak dan tabiat anak yang dalam pengasuhannya. -
Kedua, jika pemegang hak hadhanah sering mengabaikan danatau meninggalkan anak yang
dalam pengasuhannya. 48 b. Yordania Ketentuan hadhanah dalam perundang-undangan
yordania, terdiri dari 12 pasal yakni pasal 154 sampai dengan pasal 166. Ketentuan hadhanah
berlaku setelah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian antara suami istri, maka ibu
mempunyai hak utama untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Adapun tertib urutan
pemegang hak hadhanah setelah ibu disesuaikan pendapat Imam Abu Hanifah. 35Adapun
syarat-syarat hadhanah, dewasa, berakal, tidak meninggalkan anak karena ksibukannya,
mampu untuk mendidik dan menjaganya, tidak murtad, dan tidak menikah dengan laki-laki
lain, kecuali mempunyai hubungan 48 Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum
Pengangkatan Anak Persfektif Islam, Jakarta : Kencana, 2008, Cet.I, h.135-136. kekerabatan
dekat dengan anaka asuhnya, dan tidak menempatkannya di rumah yang penuh konflik. 49 c.
Syria Masa pengasuhan anak dalam Undang-Undang Syiria, dirumuskan bahwa bagi anak
laki-laki sampai berusia 7 tahun, sedangkan anak perempuan sampai berusia 9 tahun.
Meskipun demikian, jika hakim melihat ada kemaslahatan, maka ia dapat menambah masa
pengasuhan masing-masing anak selama 2 tahun, yakni bagi anak laki-laki dapat
diperpanjang menjadi 9 tahun, sedangkan anak perempuan hingga berusia 11 tahun. Syarat-
syarat pemegang hak hadhanah dirumuskan sebagai berikut, yaitu: dewasa, berakal, mampu
mengasuh anak baik jasmani maupun rohani,.

Kemudian hak hadhanah seseorang dapat digugurkan apabila: pemegang hak


hadhanah memiliki sifat tercela yang dapat mempengaruhi si anak, gila, dan murtad. Bahkan
hak pengasuhan anak dapat digugurkan karena tidak mempu melakukan pengasuhan dengan
alasan kesehatan. Apabila pemegang hak hadhanah mengaku sering meninggalkan rumah,
dan tidak mempunyai kesempatan mengasuh anak, maka hak hadhanahnya di gugurkan,
meskipun anak tersebut masih sangat kecil. 50 d. Kuwait Secara umum hukum keluarga
Kuwait tidak berbeda dengan hukum keluarga fikih klasik, termasuk didalamnya pasal-pasal

35
Lihat., ibid., h. 319

36
yang mengatur tengtang 49 Ibid, h.139. 50 Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum
Pengangkatan Anak Persfektif Islam, h.142. hadhanah. Misalnya tentang ketentuan
pemegang hak hadhanah, Undang-Undang hukum keluarga Kuwait mengutamakan
pemegang hak hadhanah adalah ibu. Penetapan hak hadhanah itu di dasarkan pada sunah,
ijma’, dan rasio akal. Mengenai hal yang dapat menggugurkan hak hadhanah antara lain,
pemegang hak menikah lagi dengan laki-laki yang bukan kerabat dekatnya. Namun
perbedaan agama tidak menyebabkan gugurnya hak untuk mengasuh, sehingga ia mengerti
agama. Mengenai lamanya masa hadhanah perundang- undangan Kuwait lebih cenderung
kepada pendapat Imam Malik. Maka pengasuhan anak berakhir apabila laki-laki ia sampai
baligh sedangkan wanita sampai ia telah menikah. e. Tunisia Dalam perundang-undangan
Keluarga Tunisa tahun 1958 dirumuskan: 1. Pasal 54, hadhanah adalah pemeliharaan anak,
termasuk juga merawat dan mendidik anak sampai ia mencapai usia dewasa. 2. Pasal 57,
selama masa perkawinan, anak dipelihara kedua orang tuanya. Jika terjadi perceraian atau
meninggal dunia, hak pemeliharaan anak secara berturut-turut diberikan kepada ibu dan
nasab ibunya. 3. Pasal 58, syarat memelihara anak antara lain harus dewasa, dapat dipercaya,
dan cakap dalam menjalankan kewajiban. 4. Pasal 61, jika seorang wanita dalam memelihara
anak memiliki tempat tinggal jauh dan menghambat proses perawatan anak, maka ia bisa
kehilangan hak pemeliharaannya. 5. Pasal 64, seorang pemelihara anak tidak boleh
melalaikan kewajibannya, meskipun dalam keadaan sulit. 6. Pasal 67, anak laki-laki dirawat
sampai berumur 7 tahun dan anak perempuan dipelihara sampai berusia 9 tahun selanjutnya
ayah dapat mengambil alih pemeliharaan anak, kecuali adanya keputusan pengadilan yang
berkehendak lain berdasarkan kepentingan anak. Dari undang-undang tersebut diatas maka
dapat disimpulkan bahwa masa pemeliharaan anak Tunisia masih berpegang teuh pada
pendapat fikih sedangkan keutamaan pemeliharaan anak lebih cenderung mengakomodir
kemaslahatana anak, ketimbang mengikuti pendapat fukaha. Mengenai pencabutan hak
hadhanah tidak disebut dengan tegas, nampaknya diserahkan pada pertimbangan pengadilan.
51 51 Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam,
h.147.36

36
Sebelum memberlakukan hukum Perdata Turki 1926, Turki pernah memperlakukan majallat al-ahkam al
adliyah, yang merupakan undang-undang sipil pertama yang ditetapkan di dunia Islam. Rumusannya sebagian
didasarkan pada mazhab Hanafi dan mazhab- mazhab yang lain, sebagian juga didasarkan pada hukum Barat,
tetapi di dalamnya tidak memuat aturan tentang hukum keluarga. Untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan
hukum keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah Ustamani secara formal dengan mengadopsi hukum dari
mazhab Hanafi, tetapi hanya berlangsung hingga tahun 1915. Lihat JND. Anderson, Islamic Law in the Modern
World, terj. Machnun Husen, Hukum Islam di dunia Modern (Surabaya: Amapress, 1991), h. 26

37
POLIGAMI
Islam membolehkan poligami, tetapi oleh kaum perempuan, seiring dengan
meningkatnya kesadaran akan hak dan martabat statusnya, dipandang sebagai suatu upaya
eksploitasi kaum hawa demi kebutuhan biologis kaum adam. Sementara bagi kaum adam
pada umumnya, poligami adalah sesuatu yang legal dan telah dipraktikkan oleh Nabi saw.37
Meskipun Nabi saw. mempraktikkannya, tetapi dalam perkembangannya, beragam
pendapatpun mengemuka terkait keberadaan poligami tersebut. Poligami senantiasa menjadi
wacana yang menarik untuk didiskusikan. Poligami tidak hanya menjadi obyek perbincangan
dunia Islam, tetapi juga barat. Barat sering mengangkat isu poligami sebagai alat untuk
mendeskreditkan Islam. Barat menganggap poligami menjadi salah satu sebab kemunduran
dan keterbelakangan dunia Islam. Sementara di dunia Islam, akibat pengaruh barat pasca
kolonial, muncul diskursus apakah konsep poligami dalam al-qur’an (Q.S.al-Nisa/4:3)
berlaku secara normatif atau kontekstual. Implikasinya, di dunia Islam terjadi polarisasi di
dalam menentukan kebijakan tentang poligami. Menurut Tahir Mahmood setidaknya ada
enam bentuk kontrol terhadap poligami, pertama; menekankan ketentuan berlaku adil
sebagaimana ditetapkan di dalam al-qur’an. pernyataan anti poligami dalam surat perjanjian
perkawinan, ketiga; harus memperoleh izin lembaga peradilan, keempat; hak menjelaskan
dan mengontrol dari lembaga perkawinan kepada pihak yang akan berpoligami, kelima;
benar-benar melarang poligami, dan keenam; memberikan sanksi pidana bagi pelanggar
aturan poligami. Lalu bagaimanakah bentuk kontrol aturan poligami dalam
hukum keluarga di dunia Islam38, berikut paparannya. Turki adalah negara muslim pertama
yang melarang poligami secara mutlak, sebagaimana dirumuskan dalam UU Perdata Turki16
Tahun 1926 pasal 93 Kemudian aturan ini diamandemen Tahun 1951 dengan pasal 8 dan 19
(a): Seseorang yang akan melakukan akad perkawinan harus lebih dahulu memberi
keterangan ke pengadilan bahwa ia sedang tidak berada dalam sebuah ikatan perkawinan.
Bila melakukan akad nikah padahal di saat yang bersamaan ia sedang dalam ikatan
perkawinan, maka akad ttersebudianggap batal” Pasal 17 UU No. 34 Tahun 1975 Tentang
UU Hukum Keluarga Syria17 menetapkan bahwa, hanya hakim yang menentukan dapat atau
tidaknya seorang melakukan poligami, dengan syarat:
(1) ada atau tidaknya alasan hukum,
37
Mereka mengklaim bahwa Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan ada yang secara ekstrem
berpendapat bahwa jka bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Sebuah pandangan
yang keliru, karena yang benar adalah bahwa masyarakat manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal dan
mempraktikkan poligami. Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami (Jakarta: LKAJ, 1999), h. 3.
38
1lahir Mahmood, Family Law in the Muslim World (New Dehli: The Indian Law Institute,
1972), h. 272-275

38
(2) ada atau tidaknya kemampuan ekonomi suami memberi nafkah keluarga, serta
(3) kemampuan suami berlaku adil terhadap istri-istrinya. Hal ini berarti hakim boleh
menolak memberi izin kepada seorang suami yang akan menikah lagi jika ternyata laki-laki
tersebut tidak mampu mencukupi nafkah dan berbuat adil kepada istri-istri dan anak-anaknya
kelak.

Dalam Hukum Keluarga di Syria istri dimungkinkan membuat taklik talak, bahwa
suaminya tidak akan poligami. Sebab istri berhak membuat taklik talak sepanjang:
a. tidak bertentangan dengan hukum Islam;

b. tidak mempengaruhi hak pihak ketiga; dan

c. tidak mengurangi hak dan kemerdekaan suami.

Dengan adanya rumusan konsep taklik talak tersebut, dimungkinkan bagi istri untuk
menyatakan bahwa jika suaminya melakukan poligami maka istri
berhak meminta cerai kepada suaminya.39 Meskipun poligami diperbolehkan dalam hukum
Keluarga Somalia,namun demikian persyaratannya agak diperketat, misalnya terkait
kemandulan istri harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter, begitu
jugaPasal 17 UU No. 34 Tahun 1975 Tentang UU Hukum Keluarga Syria menetapkan
bahwa, hanya hakim yang menentukan dapat atau tidaknya seorang melakukan poligami,
dengan syarat:
(1) ada atau tidaknya alasan hukum,
(2) ada atau tidaknya kemampuan ekonomi suami memberi nafkah keluarga,
(3) kemampuan suami berlaku adil terhadap istri-istrinya. Hal ini berarti hakim boleh
menolak memberi izin kepada seorang suami yang akan menikah lagi jika ternyata laki-laki
tersebut tidak mampu mencukupi nafkah dan berbuat adil kepada istri-istri dan anak-anaknya
kelak. Dalam Hukum Keluarga di Syria istri dimungkinkan membuat taklik talak, bahwa
suaminya tidak akan poligami. Sebab istri berhak membuat taklik talak sepanjang:
a. tidak bertentangan dengan hukum Islam;
b. tidak mempengaruhi hak pihak ketiga; dan

39
Turki sepenuhnya memiliki kerangka hukum sekuler yang diambil secara langsung dari
kode Swiis dan Hukum Pidana Italia. Perempuan Turki diberi hak suara dan praktik kerudung
dilarang, perempuan juga diberi hak yang sama dengan laki-laki dalam hukum, misalnya dalam
hal kesaksian. Selain itu, pemerintah juga membatalkan nama suami sebagai kepala keluarga
mereka. Lihat Abdullah Ahmad An-1D·LP
HGIslamic Family Lawin a Changing World: A Global
Resource Book (New York: Zed Book Ltd., 2003), h. 27

39
c. tidak mengurangi hak dan kemerdekaan suami.
Dengan adanya rumusan konsep taklik talak tersebut, dimungkinkan bagi
istri untuk menyatakan bahwa jika suaminya melakukan poligami maka istri
berhak meminta cerai kepada suaminya.
Meskipun poligami diperbolehkan dalam hukum Keluarga Somalia, namun demikian
persyaratannya agak diperketat, misalnya terkait kemandulan, istri harus dapat dibuktikan
dengan surat keterangan dari dokter, begitu jugaPoligami dalam hukum keluarga Tunisia23
dirumuskan dalam pasal 1824 No. 66 Tahun 1956 yang intinya adalah poligami merupakan
tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana, baik pidana kurungan, pidana denda
maupun kombinasi pidana kurungan dan pidana denda. Adapun alasan yang digunakan
Tunisia melarang poligami ada dua; pertama,institusi budak dan poligami hanya boleh pada
masa perkembangan, tetapi dilarang setelah menjadi masyarakat berbudaya. Kedua,
al-Nisa/4:3, yang menetapkan bahwa syarat mutlak seorang suami boleh poligami kalau dapat
berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi yang
dapat berlaku adil terhadap istri istrinya. Senada dengan itu, Esposito menyebutkan bahwa
alasan pemerintah
Tunisia melarang poligami karena;
(1) poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan institusi yang selamanya tidak diterima
mayoritas umat manusia di manapun.
(2) Ideal lebih dari itu, syarat yang diajukan, supaya suami berlaku adil terhadap istri-
istrinya, adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasi
dengan sepenuhnya.27 David Pearl sebagaimana dikutip Khoiruddin menilai, Tunisia tetap
melandaskan penetapan larangan poligami pada al-qur’an.Adapun bentuk kontrol di Tunisia
apabila merujuk pada dapat Tahir Mahmood, selain melarang poligami secara mutlak juga
memberikan sanksi pidana bagi yang melanggarnya.40
Di Indonesia, prinsip perkawinan adalah monogami.Namun demikian masih ada
kemungkinan untuk poligami, maksimal empat orang. Untuk melakukan poligami harus ada
izin dari pengadilan. Sebaliknya bila tanpa izin maka tidak mempunyai kekuatan hukum
tetap. Bagi PNS yang akan berpoligami, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
Pejabat,33dan PNS perempuan tidak diizinkan menjadi istri yang kedua/ ketiga/ keempat.
Izin beristri lebih dari seorang, termasuk PNS, hanya dapat diberikan

40
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), h. 122.

40
apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative, dan ketiga syarat
komulatif. Adapun syarat-syarat alternative dimaksud adalah :
(a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;
(b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
(c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.Sedang syarat komulatif adalah :
(a) Adanya persetujuan tertulis dari istri/ istri-istri;
(b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka; dan
(c) Adanya jaminan tertulis bahwa
suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak- anak mereka. Persetujuan istri harus
dipertegas di Pengadilan.Bentuk kontrol aturan poligami dalam hukum keluarga di Indonesia
bila mengacu pada pendapat Tahir Mahmood adalah melalui lembaga peradilan, yakni
poligami boleh dilakukan setelah terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditentukan baik itu
syarat alternatif maupun syarat komulatif. Apabila mengacu aturan poligami sebagaimana
dikemukakan Khoiruddin Nasution, maka Tunisia dan Turki masuk dalam kelompok
pertama, yakni poligami dilarang secara mutlak. Namun demikian, untuk Tunisia, selain
dapat dimasukkan dalam kelompok pertama, bisa juga dimasukkan dalam kelompok kedua,
yakni dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan poligami. Sementara untuk Syria,
Somalia, Mesir, dan Indonesia, bila mengacu pada teori Khoiruddin Nasution tentang
pemilahan aturan poligami di negara-negara Islam, maka negara-negara tersebut secara
umum bisa dimasukkan dalam kelompok ketiga, yakni poligami harus ada izin dari
pengadilan. Selain dimasukkan ke dalam kelompok tiga, Mesir bisa juga dimasukkan ke
dalam kelompok kedua, yakni akan dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan
poligami dan juga kelompok empat, yakni poligami bisa menjadi alasan perceraian, baik
dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Berdasar teori yang diajukan oleh Tahir
Mahmood, maka baik Turki maupun Tunisia masuk dalam kelompok yang kelima, poligami
dilarang secara mutlak. Tetapi kalau Turki masih memakai UU Tahun 1917 maka bisa
dikelompokkan ke dalam kelompok kedua, bahwa poligami dapat menjadi alasancerai,
dengan syarat dicantumkan dalam taklik talak. Tapi UU Tahun 1917 ini sekarang sudah tidak
berlaku lagi dan diganti dengan UU Turki Tahun 1926. Selain dimasukkan dalam kelompok
yang melarang poligami secara mutlak, berdasar teori Tahir Mahmood tersebut, Tunisia bisa
dimasukkan ke dalam kelompok enam yakni memberikan sanksi hukuman bagi pelaku yang
melanggar aturan tentang poligami.41
41
40Tahir Mahmood, Family Law in the Muslim World (New Dehli: The Indian Law Institute,

41
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud,. 1997. Hukum Islam dan Peradilan Agama,. Jakarta: P.T. Raja
Grafindo.

1972), h. 275-278.

42
Alimi, Mohammad Yasir dkk. 1999. . Advokasi Hak-hak Perempuan : Membela Hak,
Mewujudkan Perubahan. Yogyakarta: Lkis.
Anshoruddin. n.d. Peradilan Di Republik Arab Mesir. Accessed September 29, 2021.
https://pta-pontianak.go.id/e_dokumen/2016/Peradilan%20Di%20Republik%20Arab-
Mesir_1%20oleh%20Anshoruddin.pdf .
Hilmi, Ahmad. 2017. Undang-Undang Batasan Usia Kawin di Mesir. Mei 5. Accessed
September 29, 2021. https://rumahkitab.com/undang-undang-batasan-usia-kawin-di-
mesir-pasca-revolusi-2011/ .
Husein, Machnun. 1001. Islamic Law in The Modern World. Surabaya: Amapers.
London, Arab World. 1996. The Hague. Boston: Kluwer Law International.
Mahmood, Tahir. 1987. Personal Law In Islam. New Delhi.
Nasution, Atho' Muadzar dan Khairuddin. 2003. Hukum Keluarga Islam Muslim. Jakarta:
Ciputat Press.
Summa, Muhammad Amin. n.d. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali
Press.
Thaha, Mahmud Muhammad. 2003. Arus Balik Syariah. Yogyakarta: LkiS.

43

You might also like