Professional Documents
Culture Documents
Filsafat Syafii Maarif .
Filsafat Syafii Maarif .
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat sesuai pengertiannya adalah suatu ilmu yang berusaha mencari sebab
yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran atau rasio sementara
ilmu adalah bagian yang harus mengupayakan segala bentuk hasil dari pikiran tersebut
melalui penelitian, penyelidikan dan meningkatkan pemahaman manusia agar dapat
menemukan sesuatu hingga mencapai kebenarannya
Dalam beberapa kajian pemikiran Ahmad Syafii Maarif baik yang dikemukakan
oleh mahasiswa maupun intelektual lain, yang sering dikaji dan telah dipaparkan dalam
1
jurnal maupun artikel adalah tentang pemikiran Ahmad Syafii Maarif terkait Pendidikan
Islam, pemikiran politik Negara dan agama, maupun tinjauan sosiologi tentang Ahmad
Syafii Maarif.
Makalah ini akan membahas tentang tinjauan pemikiran Ahmad Syafii Maarif
dalam pendidikan islam yang akan diuraikan dalam cabang filsafat ilmu yakni ontologis,
epistemologis, dan aksiologis.
B. Tujuan Penulsan
Menemukan pemikiran pendidikan Islam Ahmad Syafi’i Ma’arif
Menemukan aktualisasi pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif terhadap praktek pendidikan
Islam di Indonesia
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
pendidikan secara umum, kita tidak menentukan jenis falsafah yang harus menonjol pada
falsafah itu. Judul atau bab yang kita bincangkan tentang sifat-sifat falsafah dan apa yang
disebut bagi falsafah ini tentang sumber-sumber, unsure-unsur, dan syarat-syarat dari dan
apa yang akan kita sebut tentang prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan, andaian-
andaian dan premis yang menjadi asas falsafah ini, yaitu falsafah pendidikan yang berasal
dari prinsip-prinsip dan ruh Islam. Itulah Falsafah Islam untuk pendidikan, atau disebut
filsafat pendidikan Islam”.
Abudin Nata menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu
kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan
pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Selain itu
filsafat pendidikan Islam dapat dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni
berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah
pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan
dengan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai dasar acuannya. Dengan demikian,
filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia
bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam
pemikiran filsafat pada umumnya.
Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam itu merupakan hasil pemikiran para filosof berdasarkan sumber yang
berasal dari wahyu Ilahi, sedangkan falsafah pendidikan lainnya berasal dari hasil
renungan (pemikiran) yang didasarkan atas kemampuan rasio. Hasil pemikiran yang
bersumber dari wahyu bagaimanapun memiliki kebenaran yang mutlak, tidak tergantung
pada kondisi ruang dan waktu. Seba liknya hasil pemikiran berdasarkan rasio, sangat
tergantung kepada kondisi ruang dan waktu.
Kajian Falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang
termuat dalam al-Qur’an dan hadis yang telah diterapkan oleh nabi Muhammad salla
Alloh ‘alaihi wa sallam selama hanya beliau, baik selama periode Makkah maupun
selama Periode Madinah. Falsafat Pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan
turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan dasar kajian kokoh, mendasar, menyeluruh
4
serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu sesuai dengan tujuan ajaran islam itu
sendiri.
M. Arifin dalam pendahuluan buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan
bahwa Filsafat Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar,
sistematis, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya
dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut kepada
kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan.
Selanjutnya M. Arifin menyebutkan tentang sebuah pemikiran bercorakkan khas
Islam, Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang
kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran agama Islam tentang hakekat
kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi
manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa
manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian. [5]
Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Ia menyebutkan bahwa suatu falsafah
yang hanya membicarakan masalah yang menyangkut bagaimana system pendidikan
agama islam berlangsung dan dilangsungkan di dalam Negara yang berdasarkan Islam di
Negara di mana Islam diajarkan atau dididikkan di dalam lembaga-lembaga pendidikan
yang ada dan berkembang di Negara tersebut. Oleh karena bila hanya demikian sudah
bisa dikatakan sebagai filsafat pendidikan Islam.
Falsafah Pendidikan Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba
mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh serta universal yang
tertuang atau tersusun ke dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu
system.
Filsafat Pendidikan Islam adalah falsafah tentang pendidikan yang tidak dibatasi
oleh lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman
keislaman semata-mata, melainkan menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas
seluas aspirasi masyarakat muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak
studinya adalah ilmu pengetahuan teoritis dan praktis dalam segala bidang keilmuan yang
berkaitan dengan masalah kependidikan yang ada dan yang aka nada dalam masyarakat
yang berkembang terus tanpa mengalami kemandegan.
5
Dengan demikian, yang lebih tepat dalam melakukan studi tentang Filsafat
Pendidikan Islam ini adalah bila keduanya dapat terpenuhi yakni segi ilmiah dapat
dibenarkan dan dari segi diniyah dapat dipertanggungjawabkan.
Dari penjelasan dan paparan pengertian Filsafat pendidikan Islam yang telah
disebutkan oleh para pakar di atas, dapat disimpilkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam
adalah suatu kajian secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal,
dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak
didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat
dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba
Alloh yang berkepribadian demikian yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai
sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber
sekunder.
6
kemungkinan yang menyimpang dari tujuan pendidikan Islam akan dapat diperkecil dan
sebaliknya kemampuan dan kedayagunaan pendidikan Islam dapat lebih dimantapkan
dan diperbesar karena gangguan, hambatan serta rintangan yang bersifat Mental/spiritual
serta teknis operasional akan dapat diatasi atau disingkirkan dengan lebih mudah.
7
Adapun Hadis atau al-Sunnah menjadi sumber kedua dalam filsafat pendidikan
Islam karena Nabi Muhammad Shalla Alloh ‘alaihi wa sallam telah memberikan
perhatian amat besar terhadap pendidikan, dan mencaangkan pendidikan sepanjang hidup
(long life education), sampai ia mewajibkan mencari ilmu. Dan Ia diutus ke bumi ini
untuk menjadi pengajar, menyempurnakan aklah mulia dan mengajak menyembah Alloh
semata.
Adapun sumber sekunder itu belum dioptimalkan. Banyak pendapat ulama’ yang
tertulis dalam kitab klasik. Sumber ini untuk pengembangan filsafat pendidikan Islam.
Namun demikian secara subtansial pendapat para filosof muslim pun masih dapat
dipersoalkan,yaitu jika sesuatu dijadikan sebagai sumber, maka sumber itu harus
permanen, constant, dan tidak diperselisihkan keberadaannya. Sedang filsafat dari
manapun ia berasal atau disampaikan tetap memiliki sifat-sifat kekurangan dan
kelemahan yang menyebabkan kedudukannya sebagai sumber dapat dipermasalahkan.
Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris “education” yang berbahasa
latin“educer ” yang berarti memasukkan sesuatu istilah ini kemudian dipakai
untuk pendidikan dengan maksud bahwa pendidikan dapat diterjemahkan
sebagai usahamemasukkan ilmu pengetahuan dari orang yang dianggap memilikinya
kepadamereka yang dianggap belum memilikinya (Bakry, 2005:2)
Dalam hal ini ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikanIslam yaitu
at-Tarbiyah, al-Ta'lim at-Ta'dib (Jalaludin, 2003:72). Berdasarkananalisa konsep, ketiga
istilah tersebut mempunyai konteks makna yang berbeda bahkan
untuk satu istilah saja. Akan tetapi kalau dikaji dari segi etimologi ketigakata tersebut
mengandung kesamaan dalam segi esensi yaitu mengacu pada
sebuah proses. Jalalludin dalam dalam buknya Teologi Pendidikan
mengungkapkan:“Apabila ketiga istilah tersebut dikembalikan pada asalnya, maka
ketiga-tiganyamengacu pada sumber dan prinsip yang sama, yaitu pendidikan Islam
bersumberdari Allah dan didasarkan pada prinsip ajarannya” (Jalaludin, 2003:73).
8
Ahmad Syafi’i Ma’arif lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf dan
Fathiyah pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus "Makkah Dara
Sumatera Barat. Sumpur Kudus "Makkah Darat" (Makkah Darek dalam
bahasaMinang). Ayah Syafi’I Ma’arif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang
terpandangdi kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi kepala
nagaritahun 1936. Keluarga Ahmad Syafi’i Ma’arif merupakan keluarga
terhormat,ayahnya sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk
Rajo Malayu yang jabatannya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk
dalam kategori elit di kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai
masalah,tidak saja menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga
tingkat nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca.
Bahkanayahnya cerdas, semua orang kampung mengakui. Ma’arif sendiri sering
menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti dating dengan
sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak untuk itu.
Dunia awal masa kecil Ahmad Syafi’i Ma’arif dilewati di kampunghalamannya.
Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus.Selanjutnya
Ahmad Syafi’i Ma’arif melanjutkan sekolah di Madrasah IbtidaiyahMuhammadiyah
Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus dariMadrasah
Ibtidaiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif melanjutkan pendidikan di MadrasahMu'allimin
Muhammadiyah di Balai Tengah Lintau dan selesai pada tahun 1953.Pendidikan
menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagiandilanjutkan di
Yogjakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu’alimin Yogyakarta
(Ma’arif , 2000:1).
Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafi’i Ma’arif berangkat keAmerika,
ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio StateUniversity
(1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama teman- temannya dari
Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students’ Association) yang masih serba
belia, sementara usia Syafi’I Ma’arif sendiri sudah di atas 30tahun. Selama
perkembangan pemikiran keislamaan Syafi’i Ma’arif di
Atheans belum ada perkembangan yang berarti, Syafi’I Ma’arif masih terpasung
dalam status quo. Masih berkutat pada ajaran maududi, Maryam Jameelah, tokoh-
9
tokohIkhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan
penyairdari pakistan pun telah Syafi’I Ma’arif ikuti, tetapi ruh ijtihadanya belum
singgahsecara mantap di otak Syafi’I Ma’arif yang masih bercorak aktivis, belum
reflektifdan kontemplatif. Apalagi Syafi’I Ma’arif aktif dalam MSA
(Muslim Students Association), yang masih merindukan tegaknya sebuah negara
Islam di suatu Negeri (Ma’arif , 2000:209).Pada tahun 1978 diusia 43 tahun
Ma’arif meninggalkan Athens, Di Ohioinilah ia mendapat MA pada Departemen
Sejarah dengan tesis“Islamic PoliticsUnder Guided Democracy in Indonesia” (1959-
1965) dibawah bimbingan Prof.William H. Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia
dan sejarah Jepang yangteramat baik terhadapnya
10
Problematika pendidikan Islam yang selanjutnya adalah adanya dualismesistem
pendidikan umat Islam sebagai akibat dari adanya dikotomi pendidikandalam Islam
(Ma’arif ,1996:7). Sehingga dikenal dikenal adanya pendidikan umumdan pendidikan ke-
Islaman. Dalam perkembangannya pendidikan Islam dimaknaihanya sebagai pendidikan
yang mengurusi urusan ritual dan spiritual semata,
yang berorientasi pada akhirat. Sedangkan pendidikan umum merupakan pendidika yang
berorientasi pada keduniawian tugas-tugas kekhalifahannya dengan terlebih dahulu
mempersiapkan diri denganilmu pengetahuna tanpa mengenal batas. Di samping juga
menyadari, hakikatseluruh kehidupan dan penguasaan ilmu pengetahuan tersebut, tetap
bersumber dan bermuara pada pengharapan kepada Allah SWT sebagai yang maha
pencipta danyang maha mengetahui (Usa, 1996:41).Problematika pendidikan Islam yang
selanjutnya adalah adanya dualismesistem pendidikan umat Islam sebagai akibat dari
adanya dikotomi pendidikandalam Islam (Ma’arif ,1996:7). Sehingga dikenal
dikenal adanya pendidikan umumdan pendidikan ke-Islaman.
Dilihat dari sejarah menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif , dualisme merupakanwarisan
jaman penjajahan barat atas dunia Islam yang berlangsung cukup lama.Sehungga
mengakibatkan miss-communication dan adanya gape antara sistem pendidikan pesantren
(Islam) dengan sistem pendidikan sekuler. Hal ini merupakaninidikasi rapuhnya filosofi
pendidikan Islam (Ma’arif , 1996:8).Sehingga dari pola pikir yang semacam itu
berimplikasipada pengembangan pendidikan Islam yang hanya dianggap berorientasi pad
akeakhiratan, hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan
mengajakmanusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjungjung tinggi budi
pekerti luhur.
Dalam mengkaji pemikiran pendidikan Islam menurut Ahmad Syafi’iMa’arif harus
dilakukan dengan pendekatan filsafat. Ia lebih menekankan pada aspek moralitas melalui
proses pemberdayaan umat, sebagai manifestasi dari model pendidikan yang integratif.
Disinilah letak pentingnya pendidikan Islam yang jauhdari buaian helenisme yang diberi
jubah Islam dan harus kembali pada sumbu Islam.al-Qur’an dan karir yang pernah diraih
Muhammad, utusan Allah (Ma’arif,1996:6). Sebelum lebih lanjut penulis uraikan
pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif tentang definisi pemberdayaan.
11
Pendidikan, pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewarisakan nilai,yang
menjadi penolong dan panutan umat manusia dalam menjalani
kehidupan, juga sekaligus memperbaiki nasib dan peradaban manusia dalam rangka
mengembangakan potensi fitrah manusia seorang pendidikan yang benar-benaralim
(Ma’arif , 1996:7)
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka yang harus dimiliki pertama
kalikhusunya Pendidikan Islam adalah harus memiliki kemandirian dalam segala
aspek.Hal ini melindungi pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang
akanmemperkosa untuk bersiteguh pada konsep yang murni dari al-Qur’an untuk
memberdayakan bangsa yang mayoritas muslim. Setelah itu adalah
kehawatiran bahwa kelak pendidikan Islam dihapus. Menurut Ahmad Syafi’I
penghapusan pendidikan Islam itu tidak mungkin dan bukan hanya karena jumlah Isla
m yang besar, bahkan terbesar yang terhimpun dalam satu negara, tetapi karena adake
terbatasan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Pemerintah tetap
mengaharapkan adanya partisipasi masyarakat, yang hal tersebut kesempatan inidiisi
secara maksimal disamping bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umatIslam adalah
ketauhidan.
Kemunduran pendidikan Islam sangat mungkin terjadi, dan sekarang saja
cenderung menjadi pendidikan kelas dua, dan akan semakin tergusur apabila
tidaksegera dibenahi. Untuk itu menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif Pendidikan Islam
harus segera kearah integrasi, sekaligus menciptakan perangkat lunaknya, yaitu
kerangkafilosofis yang jelas dan baku, yang kini belum terwujud. Integrasi yang
dituju bukan hanya kelembagaan saja, tetapi menyakup seluruh aspek penyelenggara
pendidikan.Pendidikan Islam belum memiliki contoh yang solid terhadap model
pendidikanyang demikian (Ma’arif, 1996:11)
12
BAB III
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau
teori tentang wujud hakikat yang ada.
Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan
yang tidak nampak (metafisis).
Metafisika sebagai cabang filsafat mengenai kenyataan (realitas) berusaha
mencari hakikat sesuatu. Karena usahanya mencari hakikat, maka timbullah ilmu-ilmu
keagamaan atau ketuhanan, dan yang berhubungan dengan masalah apa.
Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi
pendidikan Islam. Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan
manusia sebagai makhluk berakal dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak
ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai usaha pengembangan diri manusia,
dijadikan alat untuk mendidik
Secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan
dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan Islam ditujukan pada
terbentuknya kepribadian Muslim yang dapat memenuhi hakikat penciptaannya, yakni
menjadi Pengabdi Allah.
B. Epistemology
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya.
Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber
13
pengetahuan. Menyimak dari pernyataan tersebut maka dalam pendidikan Islam harus
mengetahui pendekatan dan metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Dalam konsep epistimologi Islam yang berdemensi tauhid, tercrmin pada pandangan
bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari ayatayat Allah yang
terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat Allah yang tersurat dalam Al-
Qur’an. Ayat-ayat Allah dalam alam besar, termasuk manusia dalam dimensi fisiknya
dikembangkan menjadi prinsp-prinsip kebenaran dalam kajian ilmu alam, ilmu pasti
termasuk teknologi. Ayat-ayat Allah dalam diri manusia dan sejarah dikembangkan
dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sedangkan ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an
dikembangkan dalam ilmu agama
Cara mengembangkan teori dalam pendidikan Islam sangat tergantung pada
karakteristik materinya, apakah materi itu berada dalam pengalaman yang empiris,
rasional, hermeneutis. Jika karakteristik adalah empiris maka metode yang digunakan
adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika karakteristik materinya
adalah rasional maka metode analisis yang digunakan adalah metode deduktif
C. Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar dan logos yang berarti ilmu.Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran
tentang masalah nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai
agama, dan nilai keindahan (estetika)
Dalam pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam diperlukan etika
profetik, yakni etika yang dikembangkan atas dasar nilai-nilai Ilahiyah. Ada beberapa
butir nilai, hasil deduksi dari Al-Qur’an yang dapat dikembangkan untuk etika profetik
pengembangan dan penerapan ilmu. Pertama, nilai ibadah, yakni bagi 143 Sulesana
Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011 pemangku ilmu pendidikan Islam. Pengembangan dan
penerapannya merupakan ibadah (QS. al-Dzariyat/51: 56, Ali Imran/3: 190-191). Kedua,
nilai ihsan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya dikembangkan untuk berbuat baik
kepada semua pihak pada setiap generasi, disebabkan karena Allah telah berbuat baik
kepada manusia dengan aneka nikmat-Nya, dan dilarang berbuat kerusakan dalam bentuk
14
apapun. (QS. al-Qashash/28: 77). Ketiga, nilai masa depan, yakni ilmu pendidikan Islam
hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik
berarti menyiapkan generasi yang akan hidup dan akan menghadapi tantangan-tantangan
masa depan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya (QS. al-Hasyr/59: 18).
Keempat, nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi
kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta (QS. al-
Anbiya’/21: 107). Kelima, nilai amanah, yakni ilmu pendidikan Islam itu adalah amanah
Allah bagi pemangkunya, sehingga pengembangan penerapannya dilakukan dengan niat,
cara dan tujuan sebagaimana dikehendaki-Nya (QS. alAhzab/33: 72). Keenam, nilai
dakwah, yakni pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud
dialog dakwah menyampaikan kebenaran Islam (QS. Fushshilat/41: 33). Ketujuh, Nilai
tabsyir, yakni pemangku ilmu pendidikan Islam senantiasa memberikan harapan baik
kepada umat manusia tentang masa depan mereka, termasuk menjaga kseimbanagan atau
kelestarian alam (QS. al-Baqarah/2: 119)
15
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena memenuhi
persyaratan sebagai ilmu pengetahuan, baik menyangkut objek, metode maupun
tujuan. Dalam terminologi filsafat, ketiga persyaratan itu disebut ontologi,
efistimologi dan aksiologi. 2. Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada
yang lahiriah dalam bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib.
Realitas yang lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan.
Dalam pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu tidak
hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut Tuhan.
Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia dalam keterkaitan dengan filsafat
pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi, kosmologi dan antropologi. 3.
Dalam konsep epistimologi Islam yang berdemensi tauhid, tercermin pada pandangan
bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari ayat-ayat Allah
yang terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat Allah yang tersurat dalam
Al-Qur’an. Ilmu dibangun atas dasar kemampuan membaca dan mengenal ayat-ayat,
baik ayat kauniyah (alam dan manusia) maupun ayat qauliyah. Ketika seseorang ingin
menyingkap rahasia Tuhan lewat ayat-ayat kauniyah maka lahirlah berbagai disiplin
ilmu eksakta dan ilmu sosial.
16
DAFTAR PUSTAKA
17