You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat sesuai pengertiannya adalah suatu ilmu yang berusaha mencari sebab
yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran atau rasio sementara
ilmu adalah bagian yang harus mengupayakan segala bentuk hasil dari pikiran tersebut
melalui penelitian, penyelidikan dan meningkatkan pemahaman manusia agar dapat
menemukan sesuatu hingga mencapai kebenarannya

Keadaan Filsafat Pendidikan Islam yang diperdebatkan menjadikan


Kedudukannya juga dalam pertanyaan. Apakah ia mempunyai kontribusi terhadap
pendidikan dan juga terhadap Islam. Tetapi yang jelas bahwa dalam pengembangan
Pendidikan Islam diperlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan
mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakekat yang ada di balik masalah
pendidikan yang dihadapi. Dengan demikian Filsafat Pendidikan menyumbangkan
analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakekat masalah yang nyata dan
rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam
proses kependidikan.

Sebagai Disiplin Ilmu Filsafat, Filsafat Pendidikan Islam mempunyai sumber-


sumber dasar pijakan yang dijadikan rujukan operasional disiplinnya. Filsafat pendidikan
ini adalah dalam lingkup Islam, maka sudah barang tentu ia mengikuti ajaran islam dalam
pembahasan masalah-amsalahnya. Ajaran dan pendidikan islam itu sendiri bersumber
pada al-Qur’an dan al-Hadis, maka kita akan mendapati keduanya sebagai rujukan utama
dalam isu-isu filsafat pendidikan Islam.

Dalam beberapa kajian pemikiran Ahmad Syafii Maarif baik yang dikemukakan
oleh mahasiswa maupun intelektual lain, yang sering dikaji dan telah dipaparkan dalam

1
jurnal maupun artikel adalah tentang pemikiran Ahmad Syafii Maarif terkait Pendidikan
Islam, pemikiran politik Negara dan agama, maupun tinjauan sosiologi tentang Ahmad
Syafii Maarif.

Makalah ini akan membahas tentang tinjauan pemikiran Ahmad Syafii Maarif
dalam pendidikan islam yang akan diuraikan dalam cabang filsafat ilmu yakni ontologis,
epistemologis, dan aksiologis.

B. Tujuan Penulsan
Menemukan pemikiran pendidikan Islam Ahmad Syafi’i Ma’arif 
Menemukan aktualisasi pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif  terhadap praktek pendidikan
Islam di Indonesia

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Pendidikan Islam


Filsafat pendidikan Islam terbentuk dari perkataan filsafat, Pendidikan dan Islam.
Penambahan kata Islam di akhir itu untuk membedakan filsafat pendidikan Islam dari
pengertian filsafat pendidikan secara umum. Dengan demikian filsafat pendidikanIislam
mempunyai pengertian secara khusus yang ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Lebih jauh, Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, melihat falsafah pendidikan
adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam pengalaman manusia
yang disebut pendidikan (al-Syaibany, 1979) Secara rinci dikemukakan bahwa falsafah
pendidikan merupakan usaha untuk mencari konsep-konsep di antara gejala yang
bermacam-macam meliputi : (1) proses pendidikan sebagai rancangan yang terpadu dan
menyeluruh; (2) menjelaskan berbagai makna yang mendasar tentang segala istilah
pendidikan; dan (3) pokok-pokok yang menjadi dasar dari konsep pendidikan dalam
kaitannya dengan bidang kehidupan manusia (al-Syaibany, 1973).
Dalam masyarakat islam pendidikan islam itu merupakan ajaran-ajaran berdasar
pada wahyu, yang juga menjadi dasar dari pemikiran filsafat pendidikan Islam. Hal ini
menunjukkan falsafah pendidikan Islam yang berisi teori umum mengenai pendidikan
Islam, dibina atas dasar konsep ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis. Hal
ini sejalan dengan berfikir falsafi, yakni mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang
ditawarkan yaitu kebenarah tuhan yang mutlak.
Selanjutnya banyak pakar yang mendefinisikan Filsafat Pendidikan Islam,
Omar Mohamad al-Toumy al-Syaibany, menurutnya bahwa filsafat pendidikan
Islam tidak lain ialah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah filsafat dalam bidang
pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam.
Ia juga menyebutkan penjelasannya dalam bukunya Falsafah Pendidikan Islam
yang mengarah kepada pengertian Filsafat Pendidikan Islam seperti dalam kutipan
berikut : “Jika kita telah membicarakan tentang kepentingan pembinaan falsafah

3
pendidikan secara umum, kita tidak menentukan jenis falsafah yang harus menonjol pada
falsafah itu. Judul atau bab yang kita bincangkan tentang sifat-sifat falsafah dan apa yang
disebut bagi falsafah ini tentang sumber-sumber, unsure-unsur, dan syarat-syarat dari dan
apa yang akan kita sebut tentang prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan, andaian-
andaian dan premis yang menjadi asas falsafah ini, yaitu falsafah pendidikan yang berasal
dari prinsip-prinsip dan ruh Islam. Itulah Falsafah Islam untuk pendidikan, atau disebut
filsafat pendidikan Islam”.
Abudin Nata menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan suatu
kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan
pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Selain itu
filsafat pendidikan Islam dapat dikatakan suatu upaya menggunakan jasa filosofis, yakni
berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal tentang masalah-masalah
pendidikan, seperti masalah manusia (anak didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan
dengan menggunakan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai dasar acuannya. Dengan demikian,
filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia
bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam
pemikiran filsafat pada umumnya.
Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam itu merupakan hasil pemikiran para filosof berdasarkan sumber yang
berasal dari wahyu Ilahi, sedangkan falsafah pendidikan lainnya berasal dari hasil
renungan (pemikiran) yang didasarkan atas kemampuan rasio. Hasil pemikiran yang
bersumber dari wahyu bagaimanapun memiliki kebenaran yang mutlak, tidak tergantung
pada kondisi ruang dan waktu. Seba liknya hasil pemikiran berdasarkan rasio, sangat
tergantung kepada kondisi ruang dan waktu.
Kajian Falsafat pendidikan Islam beranjak dari kajian falsafat pendidikan yang
termuat dalam al-Qur’an dan hadis yang telah diterapkan oleh nabi Muhammad salla
Alloh ‘alaihi wa sallam selama hanya beliau, baik selama periode Makkah maupun
selama Periode Madinah. Falsafat Pendidikan Islam yang lahir bersamaan dengan
turunnya wahyu pertama itu telah meletakkan dasar kajian kokoh, mendasar, menyeluruh

4
serta terarah ke suatu tujuan yang jelas, yaitu sesuai dengan tujuan ajaran islam itu
sendiri.
M. Arifin dalam pendahuluan buku Filsafat Pendidikan Islam menyebutkan
bahwa Filsafat Pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar,
sistematis, logis dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya
dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan Agama Islam saja, melainkan menuntut kepada
kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan.
Selanjutnya M. Arifin menyebutkan tentang sebuah pemikiran bercorakkan khas
Islam, Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang
kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan ajaran agama Islam tentang hakekat
kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi
manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa
manusia harus dibina menjadi hamba Alloh yang berkepribadian demikian. [5]
Dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, Ia menyebutkan bahwa suatu falsafah
yang hanya membicarakan masalah yang menyangkut bagaimana system pendidikan
agama islam berlangsung dan dilangsungkan di dalam Negara yang berdasarkan Islam di
Negara di mana Islam diajarkan atau dididikkan di dalam lembaga-lembaga pendidikan
yang ada dan berkembang di Negara tersebut. Oleh karena bila hanya demikian sudah
bisa dikatakan sebagai filsafat pendidikan Islam.
Falsafah Pendidikan Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba
mendalam, mendasar, sistematis, terpadu dan logis, menyeluruh serta universal yang
tertuang atau tersusun ke dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu
system.
Filsafat Pendidikan Islam adalah falsafah tentang pendidikan yang tidak dibatasi
oleh lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman
keislaman semata-mata, melainkan menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas
seluas aspirasi masyarakat muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak
studinya adalah ilmu pengetahuan teoritis dan praktis dalam segala bidang keilmuan yang
berkaitan dengan masalah kependidikan yang ada dan yang aka nada dalam masyarakat
yang berkembang terus tanpa mengalami kemandegan.

5
Dengan demikian, yang lebih tepat dalam melakukan studi tentang Filsafat
Pendidikan Islam ini adalah bila keduanya dapat terpenuhi yakni segi ilmiah dapat
dibenarkan dan dari segi diniyah dapat dipertanggungjawabkan.
Dari penjelasan dan paparan pengertian Filsafat pendidikan Islam yang telah
disebutkan oleh para pakar di atas, dapat disimpilkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam
adalah suatu kajian secara filosofis yakni berfikir secara mendalam, sistematik, radikal,
dan universal tentang masalah-masalah pendidikan, seperti masalah manusia (anak
didik), guru, kurikulum, metode, lingkungan , hakekat kemampuan manusia untuk dapat
dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam, serta mengapa manusia harus dibina menjadi hamba
Alloh yang berkepribadian demikian yang didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai
sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber
sekunder.

B. Kedudukan Filsafat Pendidikan Islam.


Kedudukan Filsafat Pendidikan Islam dalam Islam dan Pendidikan Islam adalah
sebagai alat atau sarana untuk memahami, dan untuk menyelasaikan permasalahan
pendidikan Islam dengan mendasarkan atas keterkaitan hubungan antara teori dan praktek
pendidikan. Karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat
dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi)
atau saling mengembangkan, sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan
untuk mengokohkan posisi dan fungsi serta idealistas kehidupannya. Ia memerlukan
landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan
sistematis tentang hakekat yang ada di balik masalah pendidikan yang dihadapi.
Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu
pendidikan Islam tentang hakekat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung
nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses pendidikan.[7]
Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan seperti abad 21 ini,
kegunaan fungsional dari Filsafat Pendidikan Islam adalah semakin penting, karena
filsafat menjadi landasan strategi dan kompas jalannya pendidikan Islam. Kemungkinan-

6
kemungkinan yang menyimpang dari tujuan pendidikan Islam akan dapat diperkecil dan
sebaliknya kemampuan dan kedayagunaan pendidikan Islam dapat lebih dimantapkan
dan diperbesar karena gangguan, hambatan serta rintangan yang bersifat Mental/spiritual
serta teknis operasional akan dapat diatasi atau disingkirkan dengan lebih mudah.

C. Sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam.


Dalam pengertian Filsafat Pendidikan Islam yang disebut di atas disebutkan
bahwa filsafat ini didasarkan pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer, dan
pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim , sebagai sumber sekunder. Maka dari
sini kita tahu bahwa sumber-sumber Filsafat Pendidikan Islam itu ada dua, yaitu 1.
Sumber Primer yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, 2. Sumber Sekunder yaitu pendapat para
filosof muslim.
Al-Syaibany disebutkan oleh Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam
bahwa Dasar dan tujuan Falsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar
dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya, yaitu al-Qur’an dan hadis. Dari kedua sumber ini
kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam
berbagai aspek, termasuk falsafat pendidikan. Dengan demikian hasil pemikiran para
ulama’ seperti qiyas syar’I dan ijma’ sebagai sumber sekunder (al-Syaibany, 1973), pada
dasarnya berasal dari kedua sumber pokok tadi (al-Qur’an dan hadis).[9] Dalam paparan
ini sumber sekundernya adalah Hasil pemikiran ulama’ seperti qiyas syar’I dan Ijma’
bukan lagi pemikiran filosof muslim..
Al-Qur’an menganut faham integralistik dalam bidang ilmu pengetahuan. Seluruh
ilmu yang bersumber dari alam raya (ilmu-ilmu fisika, sains), tingkah laku manusia(ilmu-
ilmu social), wahyu atau ilham (ilmu agama, tasawuf, filsafat) adalah bersumber dari
Alloh. Hal lain yang juga amat mendasar adalah bahwa al-Qur’an amat menekankan
pentingnya hubungan yang harmonis antara ilmu dan iman. Ilmu tanpa iman akan
tersesat, dan iman tanpa ilmu tidak akan berdaya
Al-Qur’an menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan
pengajaran. Seperti pemuatan istilah-istilah yang digunakan oleh pendidikan seperti kata
tarbiyah, ta’lim, iqra;, hingga ada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah kitab pendidikan.

7
Adapun Hadis atau al-Sunnah menjadi sumber kedua dalam filsafat pendidikan
Islam karena Nabi Muhammad Shalla Alloh ‘alaihi wa sallam telah memberikan
perhatian amat besar terhadap pendidikan, dan mencaangkan pendidikan sepanjang hidup
(long life education), sampai ia mewajibkan mencari ilmu. Dan Ia diutus ke bumi ini
untuk menjadi pengajar, menyempurnakan aklah mulia dan mengajak menyembah Alloh
semata.
Adapun sumber sekunder itu belum dioptimalkan. Banyak pendapat ulama’ yang
tertulis dalam kitab klasik. Sumber ini untuk pengembangan filsafat pendidikan Islam.
Namun demikian secara subtansial pendapat para filosof muslim pun masih dapat
dipersoalkan,yaitu jika sesuatu dijadikan sebagai sumber, maka sumber itu harus
permanen, constant, dan tidak diperselisihkan keberadaannya. Sedang filsafat dari
manapun ia berasal atau disampaikan tetap memiliki sifat-sifat kekurangan dan
kelemahan yang menyebabkan kedudukannya sebagai sumber dapat dipermasalahkan.
Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris “education” yang berbahasa
latin“educer ” yang berarti memasukkan sesuatu istilah ini kemudian dipakai
untuk pendidikan dengan maksud bahwa pendidikan dapat diterjemahkan
sebagai usahamemasukkan ilmu pengetahuan dari orang yang dianggap memilikinya
kepadamereka yang dianggap belum memilikinya (Bakry, 2005:2)
Dalam hal ini ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikanIslam yaitu
at-Tarbiyah, al-Ta'lim at-Ta'dib (Jalaludin, 2003:72). Berdasarkananalisa konsep, ketiga
istilah tersebut mempunyai konteks makna yang berbeda bahkan
untuk satu istilah saja. Akan tetapi kalau dikaji dari segi etimologi ketigakata tersebut
mengandung kesamaan dalam segi esensi yaitu mengacu pada
sebuah proses. Jalalludin dalam dalam buknya Teologi Pendidikan
mengungkapkan:“Apabila ketiga istilah tersebut dikembalikan pada asalnya, maka
ketiga-tiganyamengacu pada sumber dan prinsip yang sama, yaitu pendidikan Islam
bersumberdari Allah dan didasarkan pada prinsip ajarannya” (Jalaludin, 2003:73).

D. Konsep Pemikiran Ahmad Syafii Maarif


1. Biografi

8
Ahmad Syafi’i Ma’arif  lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf dan
Fathiyah pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus "Makkah Dara
Sumatera Barat. Sumpur Kudus "Makkah Darat" (Makkah Darek dalam
bahasaMinang). Ayah Syafi’I Ma’arif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang
terpandangdi kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi kepala
nagaritahun 1936. Keluarga Ahmad Syafi’i Ma’arif  merupakan keluarga
terhormat,ayahnya sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk
Rajo Malayu yang jabatannya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk
dalam kategori elit di kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai
masalah,tidak saja menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga
tingkat nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca.
Bahkanayahnya cerdas, semua orang kampung mengakui. Ma’arif  sendiri sering
menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti dating dengan
sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak untuk itu.
Dunia awal masa kecil Ahmad Syafi’i Ma’arif  dilewati di kampunghalamannya.
Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus.Selanjutnya
Ahmad Syafi’i Ma’arif  melanjutkan sekolah di Madrasah IbtidaiyahMuhammadiyah
Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus dariMadrasah
Ibtidaiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif  melanjutkan pendidikan di MadrasahMu'allimin
Muhammadiyah di Balai Tengah Lintau dan selesai pada tahun 1953.Pendidikan
menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagiandilanjutkan di
Yogjakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu’alimin Yogyakarta
(Ma’arif , 2000:1).
Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafi’i Ma’arif  berangkat keAmerika,
ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio StateUniversity
(1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama teman- temannya dari
Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students’ Association) yang masih serba
belia, sementara usia Syafi’I Ma’arif  sendiri sudah di atas 30tahun. Selama
perkembangan pemikiran keislamaan Syafi’i  Ma’arif  di
Atheans belum ada perkembangan yang berarti, Syafi’I Ma’arif  masih terpasung
dalam status quo. Masih berkutat pada ajaran maududi, Maryam Jameelah, tokoh-

9
tokohIkhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan
penyairdari pakistan pun telah Syafi’I Ma’arif  ikuti, tetapi ruh ijtihadanya belum
singgahsecara mantap di otak Syafi’I Ma’arif  yang masih bercorak aktivis, belum
reflektifdan kontemplatif. Apalagi Syafi’I Ma’arif  aktif dalam MSA
(Muslim Students Association), yang masih merindukan tegaknya sebuah negara
Islam di suatu Negeri (Ma’arif , 2000:209).Pada tahun 1978 diusia 43 tahun
Ma’arif meninggalkan Athens, Di Ohioinilah ia mendapat MA pada Departemen
Sejarah dengan tesis“Islamic PoliticsUnder Guided Democracy in Indonesia” (1959-
1965) dibawah bimbingan Prof.William H. Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia
dan sejarah Jepang yangteramat baik terhadapnya

E. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif


Untuk menganalisa serta memetakan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
pendidikan Islam dan relevansinya terhadap pendidikan Islam di Indonesia digunakan
kerangka teori sebagai berikut; 1. Pendidikan Islam a. Pandangan Islam Terhadap
Manusia Pemahaman mengenai hakekat manusia merupakan bagian yang amat esensial,
dengan pemahaman tersebut dapat diketahui tentang kedudukan dan perannya di alam
semesta ini. Pemahaman mengenai hakekat manusia juga amat dibutuhkan dalam dunia
pendidikan, karena dalam proses kependidikan, manusia bukan saja sebagai objek tetapi
juga subjek, sehingga pendekatan yang dipilih dan aspek apa saja yang harus
diperhatikan dalam proses kependidikan dapat direncanakan secara matang
Para ahli memberikan penafsiran tentang hakekat manusia yang berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandang yang digunakan. 16 Sastraprateja, mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang historis. Hakekat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa
yang bukan semata-mata datum. Hakekat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan
sejarah bangsa manusia.
Ibnu „Arabi melukiskan hakekat manusia dengan mengatakan bahwa, tidak ada
makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah swt membuatnya hidup,
mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan,
dan ini adalah merupakan sifat-sifat Rabbaniyah.

10
Problematika pendidikan Islam yang selanjutnya adalah adanya dualismesistem
pendidikan umat Islam sebagai akibat dari adanya dikotomi pendidikandalam Islam
(Ma’arif ,1996:7). Sehingga dikenal dikenal adanya pendidikan umumdan pendidikan ke-
Islaman. Dalam perkembangannya pendidikan Islam dimaknaihanya sebagai pendidikan
yang mengurusi urusan ritual dan spiritual semata,
yang berorientasi pada akhirat. Sedangkan pendidikan umum merupakan pendidika yang
berorientasi pada keduniawian tugas-tugas kekhalifahannya dengan terlebih dahulu
mempersiapkan diri denganilmu pengetahuna tanpa mengenal batas. Di samping juga
menyadari, hakikatseluruh kehidupan dan penguasaan ilmu pengetahuan tersebut, tetap
bersumber dan bermuara pada pengharapan kepada Allah SWT sebagai yang maha
pencipta danyang maha mengetahui (Usa, 1996:41).Problematika pendidikan Islam yang
selanjutnya adalah adanya dualismesistem pendidikan umat Islam sebagai akibat dari
adanya dikotomi pendidikandalam Islam (Ma’arif ,1996:7). Sehingga dikenal
dikenal adanya pendidikan umumdan pendidikan ke-Islaman.
Dilihat dari sejarah menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif  , dualisme merupakanwarisan
jaman penjajahan barat atas dunia Islam yang berlangsung cukup lama.Sehungga
mengakibatkan miss-communication dan adanya gape antara sistem pendidikan pesantren
(Islam) dengan sistem pendidikan sekuler. Hal ini merupakaninidikasi rapuhnya filosofi
pendidikan Islam (Ma’arif , 1996:8).Sehingga dari pola pikir yang semacam itu
berimplikasipada pengembangan pendidikan Islam yang hanya dianggap berorientasi pad
akeakhiratan, hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan
mengajakmanusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjungjung tinggi budi
pekerti luhur.
Dalam mengkaji pemikiran pendidikan Islam menurut Ahmad Syafi’iMa’arif  harus
dilakukan dengan pendekatan filsafat. Ia lebih menekankan pada aspek moralitas melalui
proses pemberdayaan umat, sebagai manifestasi dari model pendidikan yang integratif.
Disinilah letak pentingnya pendidikan Islam yang jauhdari buaian helenisme yang diberi
jubah Islam dan harus kembali pada sumbu Islam.al-Qur’an dan karir yang pernah diraih
Muhammad, utusan Allah (Ma’arif,1996:6). Sebelum lebih lanjut penulis uraikan
pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif tentang definisi pemberdayaan.

11
Pendidikan, pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewarisakan nilai,yang
menjadi penolong dan panutan umat manusia dalam menjalani
kehidupan, juga sekaligus memperbaiki nasib dan peradaban manusia dalam rangka
mengembangakan potensi fitrah manusia seorang pendidikan yang benar-benaralim
(Ma’arif , 1996:7)
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka yang harus dimiliki pertama
kalikhusunya Pendidikan Islam adalah harus memiliki kemandirian dalam segala
aspek.Hal ini melindungi pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang
akanmemperkosa untuk bersiteguh pada konsep yang murni dari al-Qur’an untuk
memberdayakan bangsa yang mayoritas muslim. Setelah itu adalah
kehawatiran bahwa kelak pendidikan Islam dihapus. Menurut Ahmad Syafi’I
penghapusan pendidikan Islam itu tidak mungkin dan bukan hanya karena jumlah Isla
m yang besar, bahkan terbesar yang terhimpun dalam satu negara, tetapi karena adake
terbatasan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Pemerintah tetap
mengaharapkan adanya partisipasi masyarakat, yang hal tersebut kesempatan inidiisi
secara maksimal disamping bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umatIslam adalah
ketauhidan.
Kemunduran pendidikan Islam sangat mungkin terjadi, dan sekarang saja
cenderung menjadi pendidikan kelas dua, dan akan semakin tergusur apabila
tidaksegera dibenahi. Untuk itu menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif  Pendidikan Islam
harus segera kearah integrasi, sekaligus menciptakan perangkat lunaknya, yaitu
kerangkafilosofis yang jelas dan baku, yang kini belum terwujud. Integrasi yang
dituju bukan hanya kelembagaan saja, tetapi menyakup seluruh aspek penyelenggara
pendidikan.Pendidikan Islam belum memiliki contoh yang solid terhadap model
pendidikanyang demikian (Ma’arif, 1996:11)

12
BAB III

PEMBAHASAN

A. Ontologi
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau
teori tentang wujud hakikat yang ada.
Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan
yang tidak nampak (metafisis).
Metafisika sebagai cabang filsafat mengenai kenyataan (realitas) berusaha
mencari hakikat sesuatu. Karena usahanya mencari hakikat, maka timbullah ilmu-ilmu
keagamaan atau ketuhanan, dan yang berhubungan dengan masalah apa.
Ontologi pendidikan Islam membahas hakikat substansi dan pola organisasi
pendidikan Islam. Secara ontologis, Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan
manusia sebagai makhluk berakal dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak
ada pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai usaha pengembangan diri manusia,
dijadikan alat untuk mendidik
Secara ontologis pemahaman terhadap pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan
dengan Allah selaku Pencipta manusia. Karena pendidikan Islam ditujukan pada
terbentuknya kepribadian Muslim yang dapat memenuhi hakikat penciptaannya, yakni
menjadi Pengabdi Allah.

B. Epistemology
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang
berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya.
Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber

13
pengetahuan. Menyimak dari pernyataan tersebut maka dalam pendidikan Islam harus
mengetahui pendekatan dan metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Dalam konsep epistimologi Islam yang berdemensi tauhid, tercrmin pada pandangan
bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari ayatayat Allah yang
terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat Allah yang tersurat dalam Al-
Qur’an. Ayat-ayat Allah dalam alam besar, termasuk manusia dalam dimensi fisiknya
dikembangkan menjadi prinsp-prinsip kebenaran dalam kajian ilmu alam, ilmu pasti
termasuk teknologi. Ayat-ayat Allah dalam diri manusia dan sejarah dikembangkan
dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sedangkan ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an
dikembangkan dalam ilmu agama
Cara mengembangkan teori dalam pendidikan Islam sangat tergantung pada
karakteristik materinya, apakah materi itu berada dalam pengalaman yang empiris,
rasional, hermeneutis. Jika karakteristik adalah empiris maka metode yang digunakan
adalah observasi, eksperimen, dan induktif inferensial. Jika karakteristik materinya
adalah rasional maka metode analisis yang digunakan adalah metode deduktif

C. Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu;  axios yang berarti
sesuai atau wajar dan logos yang berarti ilmu.Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran
tentang masalah nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai
agama, dan nilai keindahan (estetika)
Dalam pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam diperlukan etika
profetik, yakni etika yang dikembangkan atas dasar nilai-nilai Ilahiyah. Ada beberapa
butir nilai, hasil deduksi dari Al-Qur’an yang dapat dikembangkan untuk etika profetik
pengembangan dan penerapan ilmu. Pertama, nilai ibadah, yakni bagi 143 Sulesana
Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011 pemangku ilmu pendidikan Islam. Pengembangan dan
penerapannya merupakan ibadah (QS. al-Dzariyat/51: 56, Ali Imran/3: 190-191). Kedua,
nilai ihsan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya dikembangkan untuk berbuat baik
kepada semua pihak pada setiap generasi, disebabkan karena Allah telah berbuat baik
kepada manusia dengan aneka nikmat-Nya, dan dilarang berbuat kerusakan dalam bentuk

14
apapun. (QS. al-Qashash/28: 77). Ketiga, nilai masa depan, yakni ilmu pendidikan Islam
hendaknya ditujukan untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik
berarti menyiapkan generasi yang akan hidup dan akan menghadapi tantangan-tantangan
masa depan yang jauh berbeda dengan periode sebelumnya (QS. al-Hasyr/59: 18).
Keempat, nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi
kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta (QS. al-
Anbiya’/21: 107). Kelima, nilai amanah, yakni ilmu pendidikan Islam itu adalah amanah
Allah bagi pemangkunya, sehingga pengembangan penerapannya dilakukan dengan niat,
cara dan tujuan sebagaimana dikehendaki-Nya (QS. alAhzab/33: 72). Keenam, nilai
dakwah, yakni pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan Islam merupakan wujud
dialog dakwah menyampaikan kebenaran Islam (QS. Fushshilat/41: 33). Ketujuh, Nilai
tabsyir, yakni pemangku ilmu pendidikan Islam senantiasa memberikan harapan baik
kepada umat manusia tentang masa depan mereka, termasuk menjaga kseimbanagan atau
kelestarian alam (QS. al-Baqarah/2: 119)

15
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena memenuhi
persyaratan sebagai ilmu pengetahuan, baik menyangkut objek, metode maupun
tujuan. Dalam terminologi filsafat, ketiga persyaratan itu disebut ontologi,
efistimologi dan aksiologi. 2. Dalam ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada
yang lahiriah dalam bentuk alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib.
Realitas yang lahiriyah dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan.
Dalam pemahaman seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu tidak
hanya terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut Tuhan.
Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia dalam keterkaitan dengan filsafat
pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi, kosmologi dan antropologi. 3.
Dalam konsep epistimologi Islam yang berdemensi tauhid, tercermin pada pandangan
bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari ayat-ayat Allah
yang terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat Allah yang tersurat dalam
Al-Qur’an. Ilmu dibangun atas dasar kemampuan membaca dan mengenal ayat-ayat,
baik ayat kauniyah (alam dan manusia) maupun ayat qauliyah. Ketika seseorang ingin
menyingkap rahasia Tuhan lewat ayat-ayat kauniyah maka lahirlah berbagai disiplin
ilmu eksakta dan ilmu sosial.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, Endah. 2014. Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Ahmad Syafii


Ma’arif. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Tesis.
Hidayatullah, Taufiq. 2014. Pendidikan Islam Menurut Ahmad Syafii Ma’arif.
Skripsi
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3S, 1985
file:///C:/Users/Microsoft/Downloads/1409-2897-1-PB.pdf Rahmat. 2011.
Pendidikan Islam Sebagai Ilmu. Artikel : diakses tanggal 28 Desember 2017 pukul
20.00

17

You might also like