You are on page 1of 9

Incarnation Retalation

Genre: Fantasy, Romance, Drama, Sci-fi, Action.


Story By: Rinna Zefora
Pada suatu zaman, hiduplah seorang putri yang tengah diurung duka. Ia melempar
pandangan keluar istana, menatap luasnya kebun bangsawan dengan mengingat percikan
memori bersama orang yang dicintainya. Seseorang yang telah tenang di alam sana, yang
kematiannya membawa kehormatan istana, mendirikan kembali semangat yang telah runtuh.
Namun tidak dengannya, kini ia merasa dalam kehampaan, menatap dengan mata kepala
sendiri kematian seseorang itu.
Tiba-tiba terdengar ketukan pelan dari arah pintu besar setinggi 3 meter di ujung
ruang kamar yang sangat luas ini, dan perlahan pintu tersebut terbuka memperlihatkan sosok
personal maid yang telah mengabdikan diri pada sang putri selama 12 tahun, walaupun
umurnya sebaya dengan majikannya.
“Putri, sarapan telah siap, dan anda harus mempersiapkan diri untuk sayembara”
personal maid tersebut menundukkan kepalanya, dapat dilihat ia sedang memegang gaun biru
muda dengan manik-manik putih indah tersusun acak sehingga terlihat seperti bintang, gaun
tersebut tidak memiliki lengan bahkan hanya sampai menutupi dada, namun di sebelah kanan
tangannya terlihat ia sedang memegang sarung tangan panjang yang menutupi lengan
berwarna biru yang senada dengan gaunnya, sungguh indah terlihat.
Sang putri tersenyum dan beranjak dari kursi yang sedaritadi ia duduki, melangkah
menuju personal maid-nya. Sang putri menatapnya, mencoba melihat mukanya yang
tentunya tidak terlihat karena menunduk, sang putri hanya melihat rambut kemerahannya
yang dikuncir kuda dengan ikat rambut berwarna putih kesukaannya, yang tentunya memakai
baju maid.
“Sudah kukatakan berulang kali, panggil aku Zora, tidak usah begitu formal, kita
sebaya” Zora menepuk bahu maid yang sekarang telah menegakkan badannya dan tersenyum.
Akhirnya Zora dapat melihat wajahnya yang tirus, hidungnya yang agak mancung dan bibir
kecil nan ranumnya.
“Biar bagaimanapun, kau itu Putri Zora, putri sulung Kerajaan Fleuria yang akan
segera menjadi ratu kerajaan, aku tidak bisa terus bersikap lancang padamu” maid tersebut
memiringkan kepalanya, menatap Zora dari atas sampai bawah seakan sedang menilainya
“dan kau, sepertinya kau harus mengatur baju tidurmu, tidak ada putri kerajaan yang tidur
dengan kaus dan celana panjang. Kau harus mulai memakai piyamamu, apalagi sebentar lagi
kau akan punya suami” omel maid itu seraya mendorong Zora ke arah kamar mandi, cara
halus untuk menyuruh seorang putri segera mandi pagi pada jam sebelas siang.
“Kau harus lebih santai, Nia. Aku belum tentu dapat menemukan suami yang pas
untukku di sayembara ini” Ucap Zora yang meninggikan suaranya agar terdengar oleh Nia
yang menunggu di luar kamar mandi setelah menggantung gaun dan membereskan kasur
Zora. “Walaupun mereka bilang yang memenangkan sayembara ini akan menikah denganku,
bila memang aku tak cocok dengannya, aku takkan mau! Apalagi jika yang ia incar hanya
tahta!” lanjut Zora yang diiringi oleh bunyi gedubrak yang nyaring, hampir mengkhawatirkan
Nia bila setelah itu Zora tidak meneriakkan sumpah serapah pada sabun yang ia injak lalu
mengakibatkannya jatuh.
“Kau harus membuka hatimu, Zora. Di kerajaan ini akan sulit mencari pria untukmu
bila standarmu adalah Gail” Ucap Nia dengan memelankan sedikit suaranya pada kata
terakhir. Sejenak hening melanda, Zora tidak menanggapi ucapan Nia hingga ia keluar dari
kamar mandi beberapa menit kemudian dengan menggunakan sehelai handuk. “Hey, sudah
kubilang kau harus memakai baju mandimu sebelum keluar dari kamar mandi!” ujar Nia
yang beranjak mendekati majikannya yang sangat merepotkan dan keras kepala itu.
“Terkadang aku melupakannya,” gumam Zora yang lalu menujuk ke arah meja
dandan, yang dapat terlihat di kursinya menggantung baju mandi Zora. Nia menghela nafas
berat, sambil mendumal ia mengambil baju mandi Zora, meletakkannya di kamar mandi agar
Zora tidak punya alasan untuk tidak memakainya lagi. Setelah memakaikan gaun birunya,
Nia permisi untuk memberitakan Lilac, adik Zora, bahwa Zora telah siap. Zora menatap
keluar jendela sejenak, menatap gerbang istana yang telah dipenuhi bangsawan ataupun
pangeran yang akan mengikuti sayembara. Zora menarik nafas dan beranjak keluar kamar
dengan postur tegaknya.

***
Terdengar hiruk pikuk rakyat yang menyerukan nama putri kerajaan, mereka tak sabar
ingin melihat sesosok yang segera akan menjadi ratu mereka. Zora menatap rakyatnya dari
ketinggian beberpa ratus meter, ia berdiri tepat di pintu balkon istana sehingga rakyat belum
bisa melihatnya. Ia menunggu penyambutan dari penasihat kerajaan, yang ia rencanakan
ingin di ganti menjadi patih, agar ia dapat menganggkat Nia menjadi penasihat kerajaan.
Terdengar mustahil, memang, Zora tahu takkan semudah itu namun keputusannya sudah
bulat, Ia tak ingin mencampakkan orang yang telah mengurusnya bertahun-tahun.
“Inilah calon ratu kita, Putri Miazora Lisianthus IV Kerajaan Fleuria!!” Suara nyaring
penasihat kerajaan membuyarkan lamunannya, ia segera melangkah ke arah ujung balkon
sambil tersenyum dan melambaikan tangan pada rakyatnya, hal yang klise untuk seorang
putri. Dan tentunya saat itu pula suara rakyat bagai di terjang kegembiraan, hingar bingar dan
teriakan histeris terdengar dari bawah. Zora menatap, mencari, meski ia tahu apa yang
dicarinya takkan ada di sana. Takkan pernah ada.
Setelah beberapa lama prosedur pembukaan sayembara berlalu, Zora duduk di kursi
sebelah kanan Raja Bergamoth Lisianthus III dan istrinya Ratu Amaranth dan sebelah kirinya
Lilacinia Lisianthus V. Zora menatap kosong ke arah pangeran dan bangsawan yang tengah
mengerahkan seluruh tenaga dan siasat untuk memenangkan sayembara ini.
Memang takkan pernah ada yang dapat menyamaimu, Gail, Gaillardia yang
seharusnya terletak nama Lisianthus IV dibelakangnya, bukan aku, Zora tanpa sengaja
mengeluarkan bulir air matanya dan dengan spontan beranjak permisi ke kamar mandi.
Bodoh, bodoh, kau tak boleh terlihat lemah di depan rakyatmu, Miazora!! Ujar Zora yang
segera menyeka air matanya, dan berhenti saat melewati jendela yang mengarah ke kebun
bangsawan. Ia berhenti sejenak, kembali melihat kebun tersebut dan menarik nafas.
“Aku akan mencari pria yang paling mendekatimu, kalau tidak aku sendiri yang akan
mengatur kerajaan ini, karena takkan ada yang pantas memimpin negri ini selainmu”

***
Ketika Zora kembali ke kursinya, setengah dari kerumunan rakyat menatapnya, Zora
hanya tersenyum dan melambai yang dibalas oleh sorak sorai membahana di halaman istana.
Sayembara kali ini, setelah Zora perhatikan, adalah sayembara memanah. Hal tersebut
semakin membuat Zora menatap lekat-lekat para peserta sayembara, hal ini pun menurutnya
menentukan layak atau tidaknya seseorang itu untuk dinikahi olehnya karena Gail sangat
identik degan memanah, berkuda dan berpedang, hal klise untuk seorang pangeran tampan,
yang dengan tidak wajarnya, dicintai oleh adiknya sendiri.
“Mia” Terdengar suara lembut dari sisi kiri nya, rupanya ratu memanggil Zora dengan
nama kecilnya yang telah lama tak didengarnya. Karena saat itu, hanya Gail yang
memanggilnya Mia. Dengan perasaan terkejut, Zora melirik ke arah ratu dan langsung
memandang kecewa, mengethui ia berharap pada sesuatu yang takkan pernah terjadi. “Jangan
mencari Gail, carilah Pria yang pantas untuk memimpin kerajaan ini, setiap manusia itu
berbeda, maka kau takkan pernah melihat orang yang sama persis, bahkan kembar sekalipun”
Tangan ratu perlahan mengusap kepala Zora dan menariknya dalam pelukan “Kecuali
beberapa ratus tahun kemudian atau di dimensi lain, orang tersebut bereinkrnasi, kita tak
pernah tahu itu. Namun kita tahu bahwa bukan kita yang akan menemuinya, namun kita yang
sezaman dengan mereka. Maka, lihatlah masa sekarang dan masa depan, Mia” perlahan pula
ratu melepas dekapannya dan berdiri, bermaksud meninggalkan balkon karena ada suatu
urusan bersama raja yang harus diselesaikan.
Hal tersebut membuat Zora gelisah, ibunya tau apa yang ia perhatikan sepanjang
sayembara. Dan ibunya memiliki harapan tinggi padanya untuk melihat apa yang didepan
mata, bukan di belakang, apalagi imajinasi.

Gail telah tiada, aku tahu itu,

***
“Zora apa aku harus memberi tahumu setiap hari bahwa kau harus memakai baju
mandi!?” ujar Nia yang sedng menutupi muka dengan kedua tangannya “Bagaimana kau
akan bertemu Phlox hari ini bila baju mandi saja kau selalu lupa!” dengan kesal Nia
mendorong Zora kembali ke kamar mandi, menyuruhnya memakai baju mandi, agar terbiasa
katanya.
“Hari ini aku hanya bertemu Phlox dan menentukan aku akan menikahinya atau tidak
kan? Tidak ada hubungannya dengan baju mandi” Jawab Zora yang mengerutkan dahinya
setelah keluar dari kamar mandi menggunakan baju mandi, tentunya.
“Bisa saja kau menerimanya yang berarti sebentar lagi kau akan sekamar dengannya
dan mengetahui kalau kau sangat berantakan” gerutu Nia seraya memakaikan gaun merah
muda selutut yang belakangnya lebih panjang hingga menyentuh tanah, memiliki pita di
bagian pinggang untuk diikat sehingga terlihat seperti sabuk dan sarung tangan sampai siku
dengn warna yang senada. “Kau harus mulai belajar mangurus dirimu, tanpa aku” ucap Nia
lirih dan menurunkan nada di bagian akhir kalimat beberapa oktaf.
“Kita akan tetap seperti ini, sampai kapanpun” tukas Zora yang telah siap dengan
gaunnya, tersenyum menatap Nia dengan tatapan yang sulit Nia artikan.
Lalu ia beranjak meninggalkan Nia.
***

Zora melangkah memasuki ruang makan besar dengan menaikkan dagunya sedikit,
melangkah ala tuan putri, hal klise, sebelum ia duduk di samping sang ratu ia menundukkan
kepalanya pada sang raja yang duduk di kepala meja lalu menyebar senyum pada tamu
kerajaan, Gerberos Weston I sang bangsawan kelas atas dan anaknya Phlox Weston II yang
memenangkan sayembara. Phlox sangat good-looking, ya, tidak terlalu tampan namun enak
dilihat, postur gagah membuatnya terlihat keren, walau tak sekeren Gail. Zora
menggelengkan kelapanya perlahan, memorinya tentang Gail kembali meluap-luap.
Konsentrasi, Zora, buka matamu dan nilai dia, objektif. Jangan memikirkan Gail,
Zora menatap kearah Phlox sejenak dan mengukir senyum. Setelah sarapan selesai, Zora
diberi waktu untuk berdua dan mengenal satu sama lain. Phlox mengajak Zora ke kebun
bangsawan, hal yang mengejutkan bagi Zora karena jarang sekali tamu kerajaan mengajaknya
ke kebun tersebut, sekalipun kebun itu bernama kebun bangsawan.
“Kenapa kebun bangsawan?” Tanya Zora yang memancarkan senyum terpaksa,
kurang fokus karena setiap langkahnya di kebun tersebut, ia mengingat Gail yang menariknya
berlari menyusuri kebun, dan setiap ia melihat bunga yang bermekaran, ia mengingat Gail
yang menjelaskan satu persatu nama bunga-bunga itu. Zora akhirnya sadar, bahwa Phlox
tidak lagi di tempatnya tadi berdiri, ia tidak lagi di samping Zora. Kemana Phlox?
“Karena ada ini, untukmu” Phlox muncul dengan mengejutkan dari belakang Zora,
menyodorkan Bunga Lisianthus. Zora tersenyum, namun saat ia ingin mengambilnya, Phlox
menarik kembali bunga itu, dan ia selipkan di telinga Zora “Azora Lisianthus dengan Bunga
Lisianthus yang menghiasinya” Phlox tersenyum, Zora pun tersenyum, kali ini tulus karena ia
belum pernah diperlakukan begitu berbeda, kecuali oleh.. Gail tentunya. Phlox menarik
lembut tangan Zora, dan mengajaknya duduk di kursi putih gading panjang yang terletak di
sisi jalan setapak kebun.
“Jadi,.. kau memenangkan sayembara?” Tanya Zora, walau hanya basa-basi, ia sudah
tahu karena kemarin menonton kelangsungan sayembara. Zora melihat Phlox tersenyum, dan
berdiri.
“Apa kau memiliki orang yang kau cintai?” Phlox membalas perkataan Zora dengan
pertanyaan yang membingungkan karena Zora tak tahu harus berkata apa. Apa ia harus
berkata, bahwa ia telah memiliki orang yang dicintainya kepada calon suaminya? Tentu tidak,
ia tau bahwa itu adalah tindakan bodoh. “Jawab saja, karena jujur, aku punya”
Zora terbelalak.
Apakah ini pengakuan? Penolakan? Pernyataan? Zora tambah bingung. Ia
mendongakkan kepalanya, agar dapat melihat wajah Phlox yang sedang mengukir senyum
terpaksa. Gantian. Namun entah kenapa, hati Zora seperti bergejolak yang mendekati rasa
sakit. Apa-apaan ini? Zora mencintai Gail, dan takkan pernah berubah. Namun perasaan apa
ini? Apa ini perasaan tersinggung karena ditolak? Zora rasa tidak, karena belum tentu karena
telah memiliki orang yang dicintai, Phlox jadi tak ingin menikah dengannya.
“Iya, aku... punya” Jawab Zora setelah terjadi keheningan sesaat, ia menundukkan
kepalanya, tak dapat tersenyum. Ntah karena teringat Gail atau karena apa yang barusan
terjadi, tapi Zora merasakan satu hal. Harga dirinya seperti terinjak-injak. Zora spontan
berdiri, meremas tangannya, bermaksud menampar Phlox namun diurungkan, ia malah
berlari masuk ke istana, namun tentunya dicegat Phlox.
“Tunggu, Zora, kumohon biarkan aku menjelaskan” pinta Phlox yang sekarang
menghadang jalan Zora menuju istana, sangat mudah baginya berhubung badan tinggi nan
gagahnya dapat memenuhi jalan hanya dengan berdiri. “Aku tahu tentang Gail, tentu saja,
karena aku teman dekatnya” Ucap Phlox yang membuat Zora segera menatap nya penuh arti,
namun tak dapat di artikan oleh Phlox.
“Kau...” Zora mundur beberapa langkah, berbalik dan duduk di kursi panjang tadi
“Jadi, mau mu apa?” Zora menghela nafas, menyilangkan kakinya dan menutup muka dengan
kedua tanganya, nampak lelah dengan segala sesuatu tentang Gail, kerajaan, sayembara dan
sekarang Phlox.
“Maaf bila aku membuatmu lelah” ucap Phlox seperti mengerti keluhan dalam hati
Zora lalu ia kembali duduk di samping Zora “Sebenarnya aku ingin sekali bertemu
denganmu, namun mengingat statusmu sebagai putri kerajaan, sangat sulit melakukannya”
Zora mulai menurunkan tangannya, menegakkan badannya dan melihat Phlox yang
ekspresinya seperti diredam duka, Zora tahu alasannya, karena ia pun merasaan hal yang
sama “hanya ini jalan satu-satunya” Phlox memberi satu surat yang di segel rapi, sebelum
mengambilnya Zora menatp Phlox seakan bertanya apa itu, namun Phlox hanya tersenyum
dan menyodorkan lagi surat tersebut lebih dekat dengan Zora dan berkata “Dari orang yang
mencintaimu”
Lalu Phlox berdiri, menundukkan kepalanya dan permisi pergi. Zora membuka
segelnya, melihat kalung dengan batu biru langit sebagai pendannya, besi pemegangnya
berukirkan huruf Z, huruf yang identik dengan nama Zora, walau Gail sendiri memanggilnya
Mia, tapi tak apa, Zora suka itu. Selain kalung indah tersebut, terdapat surat yang
bertandatangan Gail, secepat kilat Zora membuka surat itu dengan gemetar dan berlinang air
mata.
“Gail...” jeritan tertahan Zora terdengar parau, tangan kanannya yang tidak memegang
surat menutup mulutnya “Aku juga... Mencintaimu” Zora tiba-tiba seperti teringat sesuatu,
lalu dengan sigap ia memakaikan kalung pemberian-nya dan mengejar Phlox, menjerit
menghentikan langkah Phlox dan mendadak lupa bahwa ia adalah tuan putri, artinya, ia tidak
bersikap layaknya tuan putri dengan berlari kencang, mengangkat gaunnya keatas dan
menjerit, tentu saja, dengan tidak anggunnya.
“Ada apa tuan putri?” Phlox seperti kebingungan melihat perubahan drastis sang putri
setelah membaca surat yang ia berikan, dari sahabatnya Gail.
Apa yang kau katakan padanya, Gail?, Batin Phlox.
Setelah Phlox menghentian langkahnya yang nyaris keluar dari kebun dan menemui
ayahnya, Zora memelankan larinya hingga sampai di dekat Phlox lalu menariknya masuk
kembali ke kebun dan berjalan menyusuri jalan setapak. Namun tiba-tiba Zora berhenti
kemudian berbalik, salah satu tangannya berkacak pinggang dan tangan lainnya menunjuk ke
arah Phlox seraya mencondongkan sedikit tubuhnya kearah Phlox yang berada di
hadapannya.
“Putri Kerajaan Fleuria ini akan menikahimu”
Dan hari itu, Phlox benar-benar manunjukkan raut muka orang kebingungan.
***
Di sisi lain, tergeletak surat di kursi panjang dekat kebun, yang tertulis di dalamnya..

Untuk adikku,
Miazora Lisianthus IV

Saat kau membaca surat ini,


sudah dapat ku pastikan bahwa ku takkan ada di sampingmu lagi,
tentu saja aku meninggalkanmu dengan berat hati
aku pun merindukanmu disini, dan di tempat dimana ku berada nanti
namun, Fleuria membutuhkan seorang raja,
Aku tak rela melepasmu,
Namun aku lebih tak rela membiarkanmu larut dalam duka
Dan aku tak rela bila kau disalahkan atas kerajaan ini
Dengan berat hati ku berkata, bila ku tak disisimu lagi,
Carilah penggantiku, yang menurutmu pantas

Di samping surat tersebut, terselip secarik kertas yang rupanya surat lain.

Surat kedua dari Gaillardia


Untuk orang yang kucintai,
Miazora
Surat untuk mu lagi? Tidak,
Surat sebelumnya adalah untuk adikku,
Miazora Lisianthus, Putri Kerajaan Feluria
Dan surat ini untukmu, Orang yang kucintai, Mia
Hanya satu pesan yang ku ungkapkan di surat ini
Jangan melupakanku, jangan melupakan kita
Walau suatu saat akan kata ‘kalian’
Dariku disini, di tempat yang jauh darimu
Ah, satu lagi, maaf merusak suasana,
Tetapi kau pasti kenal Phlox? Ya,
Aku yang menyuruhnya mengajakmu ke kebun bangsawan
Dan mengambilkanmu bunga Lisianthus untuk di selipkan di telingamu
Mudah-mudahan itu mewakilkan rasa rinduku padamu,
Miazora,
Aku mencintaimu
P.S: Aku juga menyuruhnya untuk jujur kalau dia mencintai Lilac, ya, adik kita,
bilang padaku jika dia tidak memberitahumu, tentu saja saat kita bertemu suatu saat nanti
***
“Jadi... kau setuju menikahinya?” ucap Nia seperti setengah sadar dengan ekspresi tak
percaya, membuat Zora yang setelah keluar dari kamar mandi untuk memakai baju mandi
(sebelumnya sudah keluar dan kembali diprotes oleh Nia karena tidak memakai baju mandi
lagi) mengangguk mantap sambil tersenyum, yang membuat Nia heran adalah senyumnya
adalah senyum jahil, namun Nia hanya percaya dan melonjak senang, spontan memeluk Zora
yang masih memakai baju mandi dengan erat “akhirnya..!! kapan!?”
“Entahlah...” Jawab Zora asal-asalan, karena memang ia tak berencana untuk
menikahi Phlox, ia hanya ‘memiliki rencana’ untuk Phlox menikah, tapi bukan dengannya.
“Nia, jika aku suatu saat menghilang, datanglah ke Sungai Gerbera, ya?” ucap Zora santai
sambil memilih gaun yang ingin dipakainya karena ia meminta untuk memlih sendiri gaun
yang akan dipakainya.
“Apa..?” Nia bingung dengan perkataan Zora, namun setelah itu ia seperti mendapat
ide akan apa yang akan dilakukan Zora, rencananya Nia akan menjerit ‘Kau akan kabur!?!!’
namun mulutnya dibekap duluan oleh Zora, setelah Nia tenang, Zora menceritakan
semuanya, termasuk pertemunnya dengan Phlox, surat dari Gail dan rencananya. “... Baiklah”
ucap Nia akhirnya setelah Zora memohon-mohon sampai mengancam ia akan bersujud pada
Nia bila ia tidak setuju juga. Tentu saja Nia langsung setuju karena ia sangat menyegani sang
putri dan tak ingin orang dekatnya, tuan putri, turun martabatnya karena bersujud ke seorang
maid, sekali pun tak ada yang melihat.
“Janji takkan memberitahu siapa-siapa..?” Ucap Zora yang disambut oleh anggukan
dari Nia.
***
Sejak saat itu, Zora sering menyuruh Lilac untuk mendampingi Phlox sementara ia
bersiap atau jika ia sedang banyak urusan –sebenarnya hanya alasan untuk membiarkan Phlox
dan Lilac berdua– atau saat ia sedang tidak diistana. Zora, sebagai putri kerajaan yang segera
akan menjadi ratu tentu memiliki banyak hal untuk dilakukan, mengingat pernikahannya
dengan Phlox masih akan di lakukan tahun depan karena kerajaan sekarang sedang tidak
stabil. Berbeda dengan Phlox yang masih memiliki banyak waktu jika dibandingkan oleh
Zora, maka dari itu Lilac lebih sering menghabiskan waktunya berdua dengan Phlox, hingga
suatu hari rencana Zora berhasil. Lilac seperti tertarik dengan Phlox, dan selalu murung bila
Phlox tidak bisa datang ke istana.
“Apa teh nya enak?” Tanya Zora dengan anggunnya, berbeda seratus delapan puuh
derajat jika di depan Nia. Zora melihat Lilac yang baru saja selesai menyesap tehnya
mengangguk lalu tersenyum dan meletakkan kembali cangkir tehnya, kemudian menatap
kakaknya dengan tatapan penuh arti, tentu saja Zora dapat mengartikannya. “Ada yang perlu
dibicarakan? Biasanya kau jarang ingin bertemu denganku, sekarng kau bahkan meminta
patih mengganti jadwalku dengan Private Tea Time denganmu” ucap Zora seraya tersenyum,
menunggu jawaban yang telah ia ketahui.
Di suatu sisi di istana, terdapat sebuah ruang kecil terbuka, berbentuk bulat dengan cat
putih bersih berisi meja bundar terbuat dari kayu jati yang diukir sedemikian rupa hingga
sangat nyaman untuk dilihat, disertai oleh 7 kursi yang terbuat dari bahan yang sama
mengelilingi meja tersebut. Tempat itu memang dibangun khusus untuk para putri kerajaan
beristirahat dan berbincang, disanalah Zora dan Lilac sekarng berada.
“Aku bukanya tidak ingin bertemu dengan kakak” Lilac mengambil cangkir teh dan
memutarnya, kemudian meminumnya sebelum ia meletakkannya kembali, khas Lilac jika
sedang gugup, selalu memutar benda apapun yang di pegangnya. Zora ingat waktu itu, saat ia
dan Lilac berumur 6 dan 5 tahun, Lilac pernah memelintir jarinya akibat gugup telah
berbohong pada ratu setelah kabur keluar istana menemui bocah laki-laki pujaannya yang
sampai sekarang tidak Zora ketahui namanya, Lilac hanya bilang pada Zora bahwa namanya
adalah Lex atau Lox, Zora lupa karena waktu itu Lilac seperti sulit mengucapkannya. “Aku
hanya tidak ingin mengganggu kakak di kegiatanmu yang sangat padat akhir-akhir ini” lanjut
Lilac yang memecahkan lamunan Zora.
“Ah.. aku mengerti” Zora kembali tersenyum dan kali ini gilirannya menyesap teh
favoritnya, Milk Tea, Zora tau itu bukan hal yang identik dengan tuan putri namun seleranya
tak dapat diganggu gugat. “Jadi, ada apa?”
“Kakak...” Lilac menggenggam cangkirnya dan seperti biasa memutarnya, ia terlihat
ragu untuk melanjutkan, Zora yang mengetahui hal itu memegang tangan Lilac untuk
menenangkannya dan meletakkan tangan lainnya di pipi adiknya tersebut.
“Aku tahu karena aku, karena urusanku, kita tidak lagi sedekat dulu, namun aku akan
tetap menjadi kakakmu selamanya, ingat, tidak ada yang namanya mantan kakak di dunia ini
karena saudara terikat oleh darah” tangan Zora yang tadi berada di pipi Lilac sekarang berada
ditangannya “Kau harus jujur padaku, oke?”
Akhirnya Lilac mengangguk mentap dan tersenyum, “Apa kakak mencintai Phlox?”
tangan Lilac yang Zora genggam mulai memelintir tangan Zora, sedankan Zora memang
sudah terbiasa dengan itu. Pertanyaan terduga itu dijawab dengan tak terduga oleh Zora.
“Ya” Zora memasang muka pura-pura serius, ingin melihat reaksi Lilac yang berubah
menegang dan spontan meremas tangan Zora. Sepertinya Lilac sebentar lagi menangis,
karena matanya mulai berair, Zora pun mulai berpikir apa bercandanya keterlaluan. Nmun
tiba-tib ia mendapat ide, “Memangnya kenapa, Li?” Zora menyebut sebutan ‘Li’, nama kecil
Lilac yang hanya digunakan oleh Zora. Lilac seperti menyadari sesuatu dan tiba-tiba
menggebuk pelan kakaknya sambil meneteskan air mata yang terbendung, namun sambil
tertawa.
“Ya Tuhan, kenapa kau selalu mengerjaiku!!” Ujar Lilac di sela-sela tertawanya, ia
menutupi sebagian wajahnya, tepatnya mulutnya dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan
kirinya menyeka air matanya. “Berhenti melakukan itu!” Lilac mencubit pipi kakaknya
sekarang mengaduh seraya tertawa.
“Ampun! Hahaha”

You might also like