Professional Documents
Culture Documents
Counter Retalation
Counter Retalation
***
Terdengar hiruk pikuk rakyat yang menyerukan nama putri kerajaan, mereka tak sabar
ingin melihat sesosok yang segera akan menjadi ratu mereka. Zora menatap rakyatnya dari
ketinggian beberpa ratus meter, ia berdiri tepat di pintu balkon istana sehingga rakyat belum
bisa melihatnya. Ia menunggu penyambutan dari penasihat kerajaan, yang ia rencanakan
ingin di ganti menjadi patih, agar ia dapat menganggkat Nia menjadi penasihat kerajaan.
Terdengar mustahil, memang, Zora tahu takkan semudah itu namun keputusannya sudah
bulat, Ia tak ingin mencampakkan orang yang telah mengurusnya bertahun-tahun.
“Inilah calon ratu kita, Putri Miazora Lisianthus IV Kerajaan Fleuria!!” Suara nyaring
penasihat kerajaan membuyarkan lamunannya, ia segera melangkah ke arah ujung balkon
sambil tersenyum dan melambaikan tangan pada rakyatnya, hal yang klise untuk seorang
putri. Dan tentunya saat itu pula suara rakyat bagai di terjang kegembiraan, hingar bingar dan
teriakan histeris terdengar dari bawah. Zora menatap, mencari, meski ia tahu apa yang
dicarinya takkan ada di sana. Takkan pernah ada.
Setelah beberapa lama prosedur pembukaan sayembara berlalu, Zora duduk di kursi
sebelah kanan Raja Bergamoth Lisianthus III dan istrinya Ratu Amaranth dan sebelah kirinya
Lilacinia Lisianthus V. Zora menatap kosong ke arah pangeran dan bangsawan yang tengah
mengerahkan seluruh tenaga dan siasat untuk memenangkan sayembara ini.
Memang takkan pernah ada yang dapat menyamaimu, Gail, Gaillardia yang
seharusnya terletak nama Lisianthus IV dibelakangnya, bukan aku, Zora tanpa sengaja
mengeluarkan bulir air matanya dan dengan spontan beranjak permisi ke kamar mandi.
Bodoh, bodoh, kau tak boleh terlihat lemah di depan rakyatmu, Miazora!! Ujar Zora yang
segera menyeka air matanya, dan berhenti saat melewati jendela yang mengarah ke kebun
bangsawan. Ia berhenti sejenak, kembali melihat kebun tersebut dan menarik nafas.
“Aku akan mencari pria yang paling mendekatimu, kalau tidak aku sendiri yang akan
mengatur kerajaan ini, karena takkan ada yang pantas memimpin negri ini selainmu”
***
Ketika Zora kembali ke kursinya, setengah dari kerumunan rakyat menatapnya, Zora
hanya tersenyum dan melambai yang dibalas oleh sorak sorai membahana di halaman istana.
Sayembara kali ini, setelah Zora perhatikan, adalah sayembara memanah. Hal tersebut
semakin membuat Zora menatap lekat-lekat para peserta sayembara, hal ini pun menurutnya
menentukan layak atau tidaknya seseorang itu untuk dinikahi olehnya karena Gail sangat
identik degan memanah, berkuda dan berpedang, hal klise untuk seorang pangeran tampan,
yang dengan tidak wajarnya, dicintai oleh adiknya sendiri.
“Mia” Terdengar suara lembut dari sisi kiri nya, rupanya ratu memanggil Zora dengan
nama kecilnya yang telah lama tak didengarnya. Karena saat itu, hanya Gail yang
memanggilnya Mia. Dengan perasaan terkejut, Zora melirik ke arah ratu dan langsung
memandang kecewa, mengethui ia berharap pada sesuatu yang takkan pernah terjadi. “Jangan
mencari Gail, carilah Pria yang pantas untuk memimpin kerajaan ini, setiap manusia itu
berbeda, maka kau takkan pernah melihat orang yang sama persis, bahkan kembar sekalipun”
Tangan ratu perlahan mengusap kepala Zora dan menariknya dalam pelukan “Kecuali
beberapa ratus tahun kemudian atau di dimensi lain, orang tersebut bereinkrnasi, kita tak
pernah tahu itu. Namun kita tahu bahwa bukan kita yang akan menemuinya, namun kita yang
sezaman dengan mereka. Maka, lihatlah masa sekarang dan masa depan, Mia” perlahan pula
ratu melepas dekapannya dan berdiri, bermaksud meninggalkan balkon karena ada suatu
urusan bersama raja yang harus diselesaikan.
Hal tersebut membuat Zora gelisah, ibunya tau apa yang ia perhatikan sepanjang
sayembara. Dan ibunya memiliki harapan tinggi padanya untuk melihat apa yang didepan
mata, bukan di belakang, apalagi imajinasi.
***
“Zora apa aku harus memberi tahumu setiap hari bahwa kau harus memakai baju
mandi!?” ujar Nia yang sedng menutupi muka dengan kedua tangannya “Bagaimana kau
akan bertemu Phlox hari ini bila baju mandi saja kau selalu lupa!” dengan kesal Nia
mendorong Zora kembali ke kamar mandi, menyuruhnya memakai baju mandi, agar terbiasa
katanya.
“Hari ini aku hanya bertemu Phlox dan menentukan aku akan menikahinya atau tidak
kan? Tidak ada hubungannya dengan baju mandi” Jawab Zora yang mengerutkan dahinya
setelah keluar dari kamar mandi menggunakan baju mandi, tentunya.
“Bisa saja kau menerimanya yang berarti sebentar lagi kau akan sekamar dengannya
dan mengetahui kalau kau sangat berantakan” gerutu Nia seraya memakaikan gaun merah
muda selutut yang belakangnya lebih panjang hingga menyentuh tanah, memiliki pita di
bagian pinggang untuk diikat sehingga terlihat seperti sabuk dan sarung tangan sampai siku
dengn warna yang senada. “Kau harus mulai belajar mangurus dirimu, tanpa aku” ucap Nia
lirih dan menurunkan nada di bagian akhir kalimat beberapa oktaf.
“Kita akan tetap seperti ini, sampai kapanpun” tukas Zora yang telah siap dengan
gaunnya, tersenyum menatap Nia dengan tatapan yang sulit Nia artikan.
Lalu ia beranjak meninggalkan Nia.
***
Zora melangkah memasuki ruang makan besar dengan menaikkan dagunya sedikit,
melangkah ala tuan putri, hal klise, sebelum ia duduk di samping sang ratu ia menundukkan
kepalanya pada sang raja yang duduk di kepala meja lalu menyebar senyum pada tamu
kerajaan, Gerberos Weston I sang bangsawan kelas atas dan anaknya Phlox Weston II yang
memenangkan sayembara. Phlox sangat good-looking, ya, tidak terlalu tampan namun enak
dilihat, postur gagah membuatnya terlihat keren, walau tak sekeren Gail. Zora
menggelengkan kelapanya perlahan, memorinya tentang Gail kembali meluap-luap.
Konsentrasi, Zora, buka matamu dan nilai dia, objektif. Jangan memikirkan Gail,
Zora menatap kearah Phlox sejenak dan mengukir senyum. Setelah sarapan selesai, Zora
diberi waktu untuk berdua dan mengenal satu sama lain. Phlox mengajak Zora ke kebun
bangsawan, hal yang mengejutkan bagi Zora karena jarang sekali tamu kerajaan mengajaknya
ke kebun tersebut, sekalipun kebun itu bernama kebun bangsawan.
“Kenapa kebun bangsawan?” Tanya Zora yang memancarkan senyum terpaksa,
kurang fokus karena setiap langkahnya di kebun tersebut, ia mengingat Gail yang menariknya
berlari menyusuri kebun, dan setiap ia melihat bunga yang bermekaran, ia mengingat Gail
yang menjelaskan satu persatu nama bunga-bunga itu. Zora akhirnya sadar, bahwa Phlox
tidak lagi di tempatnya tadi berdiri, ia tidak lagi di samping Zora. Kemana Phlox?
“Karena ada ini, untukmu” Phlox muncul dengan mengejutkan dari belakang Zora,
menyodorkan Bunga Lisianthus. Zora tersenyum, namun saat ia ingin mengambilnya, Phlox
menarik kembali bunga itu, dan ia selipkan di telinga Zora “Azora Lisianthus dengan Bunga
Lisianthus yang menghiasinya” Phlox tersenyum, Zora pun tersenyum, kali ini tulus karena ia
belum pernah diperlakukan begitu berbeda, kecuali oleh.. Gail tentunya. Phlox menarik
lembut tangan Zora, dan mengajaknya duduk di kursi putih gading panjang yang terletak di
sisi jalan setapak kebun.
“Jadi,.. kau memenangkan sayembara?” Tanya Zora, walau hanya basa-basi, ia sudah
tahu karena kemarin menonton kelangsungan sayembara. Zora melihat Phlox tersenyum, dan
berdiri.
“Apa kau memiliki orang yang kau cintai?” Phlox membalas perkataan Zora dengan
pertanyaan yang membingungkan karena Zora tak tahu harus berkata apa. Apa ia harus
berkata, bahwa ia telah memiliki orang yang dicintainya kepada calon suaminya? Tentu tidak,
ia tau bahwa itu adalah tindakan bodoh. “Jawab saja, karena jujur, aku punya”
Zora terbelalak.
Apakah ini pengakuan? Penolakan? Pernyataan? Zora tambah bingung. Ia
mendongakkan kepalanya, agar dapat melihat wajah Phlox yang sedang mengukir senyum
terpaksa. Gantian. Namun entah kenapa, hati Zora seperti bergejolak yang mendekati rasa
sakit. Apa-apaan ini? Zora mencintai Gail, dan takkan pernah berubah. Namun perasaan apa
ini? Apa ini perasaan tersinggung karena ditolak? Zora rasa tidak, karena belum tentu karena
telah memiliki orang yang dicintai, Phlox jadi tak ingin menikah dengannya.
“Iya, aku... punya” Jawab Zora setelah terjadi keheningan sesaat, ia menundukkan
kepalanya, tak dapat tersenyum. Ntah karena teringat Gail atau karena apa yang barusan
terjadi, tapi Zora merasakan satu hal. Harga dirinya seperti terinjak-injak. Zora spontan
berdiri, meremas tangannya, bermaksud menampar Phlox namun diurungkan, ia malah
berlari masuk ke istana, namun tentunya dicegat Phlox.
“Tunggu, Zora, kumohon biarkan aku menjelaskan” pinta Phlox yang sekarang
menghadang jalan Zora menuju istana, sangat mudah baginya berhubung badan tinggi nan
gagahnya dapat memenuhi jalan hanya dengan berdiri. “Aku tahu tentang Gail, tentu saja,
karena aku teman dekatnya” Ucap Phlox yang membuat Zora segera menatap nya penuh arti,
namun tak dapat di artikan oleh Phlox.
“Kau...” Zora mundur beberapa langkah, berbalik dan duduk di kursi panjang tadi
“Jadi, mau mu apa?” Zora menghela nafas, menyilangkan kakinya dan menutup muka dengan
kedua tanganya, nampak lelah dengan segala sesuatu tentang Gail, kerajaan, sayembara dan
sekarang Phlox.
“Maaf bila aku membuatmu lelah” ucap Phlox seperti mengerti keluhan dalam hati
Zora lalu ia kembali duduk di samping Zora “Sebenarnya aku ingin sekali bertemu
denganmu, namun mengingat statusmu sebagai putri kerajaan, sangat sulit melakukannya”
Zora mulai menurunkan tangannya, menegakkan badannya dan melihat Phlox yang
ekspresinya seperti diredam duka, Zora tahu alasannya, karena ia pun merasaan hal yang
sama “hanya ini jalan satu-satunya” Phlox memberi satu surat yang di segel rapi, sebelum
mengambilnya Zora menatp Phlox seakan bertanya apa itu, namun Phlox hanya tersenyum
dan menyodorkan lagi surat tersebut lebih dekat dengan Zora dan berkata “Dari orang yang
mencintaimu”
Lalu Phlox berdiri, menundukkan kepalanya dan permisi pergi. Zora membuka
segelnya, melihat kalung dengan batu biru langit sebagai pendannya, besi pemegangnya
berukirkan huruf Z, huruf yang identik dengan nama Zora, walau Gail sendiri memanggilnya
Mia, tapi tak apa, Zora suka itu. Selain kalung indah tersebut, terdapat surat yang
bertandatangan Gail, secepat kilat Zora membuka surat itu dengan gemetar dan berlinang air
mata.
“Gail...” jeritan tertahan Zora terdengar parau, tangan kanannya yang tidak memegang
surat menutup mulutnya “Aku juga... Mencintaimu” Zora tiba-tiba seperti teringat sesuatu,
lalu dengan sigap ia memakaikan kalung pemberian-nya dan mengejar Phlox, menjerit
menghentikan langkah Phlox dan mendadak lupa bahwa ia adalah tuan putri, artinya, ia tidak
bersikap layaknya tuan putri dengan berlari kencang, mengangkat gaunnya keatas dan
menjerit, tentu saja, dengan tidak anggunnya.
“Ada apa tuan putri?” Phlox seperti kebingungan melihat perubahan drastis sang putri
setelah membaca surat yang ia berikan, dari sahabatnya Gail.
Apa yang kau katakan padanya, Gail?, Batin Phlox.
Setelah Phlox menghentian langkahnya yang nyaris keluar dari kebun dan menemui
ayahnya, Zora memelankan larinya hingga sampai di dekat Phlox lalu menariknya masuk
kembali ke kebun dan berjalan menyusuri jalan setapak. Namun tiba-tiba Zora berhenti
kemudian berbalik, salah satu tangannya berkacak pinggang dan tangan lainnya menunjuk ke
arah Phlox seraya mencondongkan sedikit tubuhnya kearah Phlox yang berada di
hadapannya.
“Putri Kerajaan Fleuria ini akan menikahimu”
Dan hari itu, Phlox benar-benar manunjukkan raut muka orang kebingungan.
***
Di sisi lain, tergeletak surat di kursi panjang dekat kebun, yang tertulis di dalamnya..
Untuk adikku,
Miazora Lisianthus IV
Di samping surat tersebut, terselip secarik kertas yang rupanya surat lain.